Anda di halaman 1dari 7

PENDAHULUAN

Bahasa adalah fungsi luhur yang paling utama bagi manusia selain fungsi
daya mengingat, persepsi, kognisi, dan emosi. Kerusakan atau kelainan di otak dapat
menimbulkan gangguan kemampuan berbahasa yang disebut afasia. Afasia adalah
gangguan kemampuan berbahasa seseorang (baik lisan maupun tulis) yang
disebabkan oleh gangguan atau kerusakan di otak (Kusumoputro, 1999:22).
Kerusakan otak itu sendiri dapat disebabkan oleh berbagai macam penyakit, tetapi
yang paling sering oleh penyakit gangguan peredaran darah di otak dan cedera otak
(strok dan trauma) (Yunus, 1999:3). Seringkali orang mengira mereka mengalami
gangguan kejiwaan, padahal menderita afasia.
Banyak orang mengalami frustasi saat berlibur di negara lain. Frustasi tersebut
berasal dari ketidakmampuan mengungkapkan dengan jelas apa yang mereka
maksudkan atau tidak sepenuhnya mengerti apa yang dikatakan orang lain. Pada
penderita afasia mengalami hal-hal seperti ini sehari-hari. Dengan demikian, afasia
adalah gangguan kemampuan berbahasa.
Tidak ada dua penderita afasia yang persis sama. Afasia berbeda dari satu
orang dengan yang lain. Tingkat keparahan dan luasnya cakupan afasia tergantung
dari lokasi dan keparahan cedera otak, kemampuan berbahasa sebelum afasia, dan
kepribadian seseorang. Beberapa penderita afasia dapat mengerti bahasa dengan baik,
tetapi mengalami kesulitan untuk mendapatkan kata-kata yang tepat atau membuat
kalimat-kalimat. Penderita yang lain dapat berbicara panjang lebar, tetapi apa yang
diucapkan susah atau tidak dapat dimengerti oleh lawan bicaranya. Penderita seperti
ini sering mengalami masalah besar dalam memahami bahasa. Kemampuan
berbahasa dari kebanyakan penderita afasia berada diantara dua situasi tadi.

1
LAPORAN KASUS

Pasien laki-laki berumur 28 tahun datang ke rumah sakit dengan keluhan pusing
dan kesulitan dalam berkata-kata. Keluhan sudah dirasakan sejak dua hari sebelum
masuk rumah sakit. Sebelumnya, pasien sedang mengendarai motor menuju ke rumah
pasien di daerah Air Salobar. Kemudian, tiba-tiba pasien merasa pusing dan akhirnya
mengakibatkan pasien terjatuh dari atas motor. Pasien kemudian di tolong dan dibawa
ke rumah pasien. Setelah kejadian tersebut, pasien mengeluh kesulitan dalam berkata-
kata. Pasien dirawat di rumah selama dua hari sebelum akhirnya dibawa ke rumah
sakit karena kondisi pasien yang semakin memburuk.
Saat masuk di rumah sakit, pemeriksaan tanda-tanda vital didapatkan tekanan
darah pasien 110/70 mmHg, nadi 90 kali per menit, pernapasan 22 kali per menit,
suhu 36,5°C, saturasi oksigen 98%. Dari pemeriksaan fisik semua dalam batas normal
dan tidak menunjukkan adanya kelainan. Pada pemeriksaan kimia darah ditemukan
kadar GDS 28 mg/dl dan leukosit 11,5×103/mm3 sementara hasil pemeriksaan darah
rutin dan kimia darah yang lain masih dalam batas normal. Pada pemeriksaan fungsi
luhur, ditemukan pasien mengalami gangguan kognitif dimana nilai MoCA-Ina
pasien adalah 18/30 dimana hal ini menandakan adanya gangguan kognitif.
Berdasarkan data yang diperoleh dari pemeriksaan yang telah dilakukan, maka
diagnosis klinis pasien ini adalah SNH dengan afasia anomik. Oleh karena itu,
diberikan terapi citicolin 2×500 mg ampul (IV), aspilet, sohobion 1 ampul/24 jam,
dan ranitidin 2×25 mg ampul (IV)

2
BAB III
DISKUSI

A. DEFINISI
Telah dilaporkan suatu kasus afasia anomik pada seorang pria berusia 28
tahun. Menurut Guyton dkk, afasia anomik merupakan suatu afasia dimana penderita
kesulitan menemukan kata dan tidak mampu menamai benda yang dihadapkan
kepadanya. Bicara, gramatika dan irama lancar, tetapi sering tertegun ketika mencari
kata dan mengenal nama objek. Pada afasia jenis ini, fungsi yang terganggu yakni
penamaan. Artikulasi, pemahaman, dan repetisi masih baik namun pasien tidak dapat
menyebutkan nama dari benda-benda dan pasien kesulitan dalam mengeja kata-kata.
Seringkali output bahasa pasien parafasik, sirkumlokusius, dan tidak bermakna.
Kelancaran bahasa terganggu ketika pasien berusaha menyebutkan nama benda-
benda.
Menurut Barret dkk tahun 2010, afasia anomik dapat timbul akibat cedera otak
atau proses patologik pada area girus angularis. Pada pasien ini, kemungkinan dapat
disebabkan oleh SNH yang dialami oleh pasien. Girus angularis merupakan bagian
lobus parietalis posterior yang paling inferior, terletak tepat di belakang area
Wernicke dan di sebelah posterior bergabung dengan area visual lobus oksipitalis.
Bila daerah ini mengalami kerusakan sedangkan area Wernicke di lobus temporalis
tetap utuh, pasien masih dapat menginterpretasikan pengalaman auditoriknya namun
rangkaian pengalaman visual yang berjalan dari korteks visual ke area Wernicke
benar-benar terhambat. Oleh karena itu pasien mungkin masih mampu melihat kata-
kata dan bahkan tahu mengenai kata-kata itu tetapi tidak dapat menginterpretasikan
arti dari kata-kata itu.

Pada pasien ini telah dilakukan pemeriksaan darah rutin, darah kimia, dan
juga pemeriksaan neurologis namun semuanya masih dalam batas normal. Selain itu,
dilakukan juga pemeriksaan fungsi luhur untuk membantu menemukan diagnosa yang

3
cocok. Pemeriksaan fungsi luhur pada pasien ini menggunkan MoCA-Ina. MoCA-Ina
sendiri memerlukan waktu sekitar 10-15 menit dalam pengerjaannya. Tes MoCA-Ina
mampu menilai domain-domain kognitif seperti memori, kelancaran berbicara,
visuospasial, fungsi eksekutif, kalkulasi, pemikiran abstrak, bahasa, orientasi, atensi,
dan konsentrasi.

Gambar 1. MoCA-Ina

Montreal Cognitive Assessment–versi Indonesia (MoCA-Ina) yang telah


diteliti di Indonesia memiliki nilai normal dimana hasilnya dipengaruhi oleh usia,
tingkat pendidikan, dan jenis kelamin. Penilaian alat ukur ini dilakukan dengan teknik
wawancara secara langsung. Masing-masing nilai dari setiap domain-domain kognitif
tersebut dijumlahkan dan dari hasil penjumlahan dapat diketahui klasifikasi fungsi
kognitif yaitu skor maksimal adalah 30 poin. Jika total skor pasien antara 26-30,
maka pasien dinyatakan normal/tanpa gangguan kognitif. Sedangkan, jika total skor

4
pasien <26, maka pasien dinyatan mengalami gangguan kognitif. Pada pasien ini
didapatkan total skor sebesar 18/30 yang menandakan adanya gangguan kognitif pada
pasien tersebut dimana ganguan fungsi kognitif yang berkaitan yaitu adalah fungsi
bahasa.
Dalam penatalaksanaan untuk pasien ini diberikan citicolin untuk mencegah
kerusakan otak semakin parah dan juga diberikan juga aspilet untuk mambantu dalam
proses untuk menghilangkan penyumbatan yang terjadi pada pembuluh darah di otak
pasien. Selain itu, pasien diminta untuk lebih sering latihan untuk berkomunikasi dan
juga latihan untuk mengingat dan juga megucapkan kata-kata yang sulit untuk diingat
oleh pasien sehingga dapat membantu daalam mempercepat proses penyembuhan.
Prognosis hidup untuk pendertia afasia anomik tergantung pada penyebab afasia
anomik. Suatu tumor otak dapat dihubungkan dengan angka harapan hidup yang
kecil, sedangkan afasia anomik dengan stroke minor mungkin memiliki prognosis
yang sangat baik. Prognosis hidup ditentukan oleh penyebab afasia anomik tersebut.
Prognosis kesembuhan kemampuan berbahasa bervariasi, tergantung pada
ukuran lesi dan umur serta keadaan umum pasien. Secara umum, pasien dengan tanda
klinis yang lebih ringan memiliki kemungkinan sembuh yang lebih baik sedangkan
afasia anomik akibat penyakit yang tidak dapat atau sulit disembuhkan, misalnya
tumor otak, memiliki tingkat prognosis yang buruk.

5
KESIMPULAN

Seorang pasien laki-laki datang dengan keluhan pusing dan sulit dalam
berkata-kata. Pasien didiagnosa mengalami afasia anomik sesuai dengan gejala-gejala
yang dialami pasien dimana pasien sulit dalam menyebutkan nama-nama benda yang
ditunjukkan kepada pasien. Diagnosa topikal terletak pada girus anguli pada hemisfer
dextra. Oleh karena itu diberikan terapi berupa citicolin untuk membantu mencegah
kerusakan otak semakin parah dan juga aspilet untuk mengurangi trombus pada otak.
Selain itu, diberikan juga ranitidin kepada pasien untuk mengurangi efek smping dari
aspilet. Prognosis pada pasien ini baik dikarenakan sumbatan pada otak yang tidak
terlalu luas.

6
REFERENSI

1. Barrett, Kim E, Susan M Barman, Scott Boitano, dan Heddwen Brooks. Ganong's
Review of Medical Physiology. United States of America: McGraw Hill, 2010.

2. Guyton, Arthur C, dan John E Hall. Textbook of Medical Physiology. Singapore:


Elsevier, 2008.

3. Howard, Kirshner. Medscape Reference. 26 Januari 2012.


http://emedicine.medscape.com/article/1135944-clinical#showall (diakses Mei 28,
2012).

4. Longo, Dan L, Anthony S Fauci, Dennis L Kasper, dan Stephen L Hauser.


Harrison's Principles of Internal Medicine. United States of America: McGraw
Hill, 2012.

5. Lumbantobing, S M. Neurologi Klinik : Pemeriksaan Fisik dan Mental. Jakarta:


Balai Penerbit FKUI, 2010.

6. Research, Canadian Institute of Health. Canadian Institute of Health Research -


Institute of Neuroscience, Mental Health, adn Addiction. Juni 2010.
http://thebrain.mcgill.ca/flash/d/d_10/d_10_cr/d_10_cr_lan/d_10_cr_lan.html
(diakses Mei 28, 2012).

7. Ropper, Allan H, dan Martin A Samuels. Adams and Victor's Principles of


Neurology. United States of America : McGraw Hill, 2009.

8. Simon, Roger P, A David Greenberg, dan J Michael Aminoff. Lange : Clinical


Neurology 7e. United States of America: McGraw Hill, 2009.

Anda mungkin juga menyukai