Anda di halaman 1dari 4

Sejarah Sultan Ageng Tirtayasa

Sultan Ageng Tirtayasa atau Pangeran Surya lahir di Banten pada tahun
1961, Sejak kecil ia bergelar Pangeran Surya, ayahnya bernama Sultan Abu
al-Ma'ali Ahmad sultan Banten periode 1940-1960 dan Ibunya bernama
Ratu Martakusuma. Sultan Ageng Tirtayasa masih memiliki hubungan
darah dengan Sunan Gunung Jati melalui anaknya Sultan Hasanuddin.
Raden Ageng Tirtayasa merupakan pewaris tahta Kesultanan Banten,
ayahnya belum sempat diangkat menjadi sultan karena kakeknya masih
memimpin kesultanan Demak, hingga ayahnya wafat. Pada tahun 1651
ketika kakeknya sultan Abdul Mufakhir Mahmud Abdul Qodir wafat, Raden
Ageng kemudian naik tahta menjadi Sultan Banten ke 6 dengan nama Sultan
Ageng Tirtayasa. Dibawah kepemimpinan Sultan Ageng Tirtayasa,
kesultanan Demak mencapai puncak kejayaan dan kemegahannya, ia
membangun sistem pertanian dan irigasi, ia juga berhasil menyusun armada
perangnya. Salah satu penyebab keberhasilan Sultan Ageng Tirtayasa adalah
hubungan diplomatik dengan kerajaan-kerajaan besar di Indonesia seperti,
Makasar, Cirebon, Indrapura dan Bangka. Sultan Ageng Tirtayasa juga
mempunyai hubungan yang baik di bidang perdagangan dan pelayaran
dengan negara-negara asing seperti Inggris, Turki, Denmark serta Prancis.
Hubungan inilah yang membuat pelabuhan Banten ramai dikunjungi oleh
para pedagang dari luar seperti Arab, India, Cina serta Filipina. Pada
pemimpin Sultan Ageng Tirtayasa pula konflik antara kesultanan Banten
dan belanda semakin meruncing, penyebabnya adalah campur tangannya
Belanda dalam internal kesultanan Banten yang saat itu sedang melakukan
pemisahan pemerintahan.
Sultan Ageng Tirtayasa berkuasa di Kesultanan Banten pada periode 1651-
1683. Ia memimpin banyak perlawanan terhadap Belanda. Masaitu, VOC
menerapkan perjanjian Perjuangan monopoli perdagangan yang merugikan
Kesultanan Banten. Kemudian Tirtayasa menolak perjanjian ini dan
menjadikan Banten sebagai pelabuhan terbuka. Saat itu, Sultan Ageng
Tirtayasa ingin mewujudkan Banten sebagai kerajaan Islam terbesar. Di
bidang ekonomi, Tirtayasa berusaha meningkatkan kesejahteraan rakyat
dengan membuka sawah-sawah baru dan mengembangkan irigasi. Di bidang
keagamaan, ia mengangkat Syekh Yusuf sebagai mufti kerajaan dan
penasehat sultan. Ketika terjadi sengketa antara kedua putranya, Sultan Haji
dan Pangeran Purbaya, Belanda ikut campur dengan cara bersekutu dengan
Sultan Haji untuk menyingkirkan Sultan Ageng Tirtayasa. Saat Tirtayasa
mengepung pasukan Sultan Haji di Sorosowan (Banten), Belanda membantu
Sultan Haji dengan mengirim pasukan yang dipimpin oleh Kapten Tack dan
Saint-Martin. Pada masa pemerintahan Sultan Hubungan Diplomatik Ageng
Tirtayasa, Kesultanan Banten aktif membina hubungan baik dan kerjasama
dengan berbagai kesultanan di sekitarnya, bahkan dengan negara lain di luar
Nusantara. Banten menjalin hubungan dengan Turki, Inggris, Aceh,
Makassar, Arab, dan kerajaan lain. Sekitar tahun 1677, Banten mengadakan
kerjasama dengan Trunojoyo yang sedang memberontak terhadap Mataram.
Tidak hanya itu, Banten juga menjalin hubungan baik dengan Makassar,
Bangka, Cirebon dan Inderapur Sultan Ageng Tirtayasa memiliki 18
orang putera[14][15]:

Keluaga :
1. Sultan Abu Nashar Abdulqahar
2. Pangeran Purbaya
3. Tubagus Abdul
4. Tubagus Rajaputra
5. Tubagus Husaen
6. Tubagus Ingayudadipura
7. Raden Mandaraka
8. Raden Saleh
9. Raden Rum
10. Raden Sugiri
11. Raden Muhammad
12. Tubagus Rajasuta
13. Raden Muhsin
14. Arya Abdulalim
15. Tubagus Muhammad Athif
16. Tubagus Wetan
17. Tubagus Kulon
18. Raden Mesir

Sejarah Syekh Nawawi Al-Bantani

Syekh Nawawi al-Bantani (1813-1897) merupakan salah seorang ulama


Nusantara yang karismatik dan berjasa besar. Ia lahir di Desa Tanara,
Kecamatan Tirtayasa, Serang, Banten, Jawa Barat. Banyak hasil karyanya
yang menjadi rujukan utama berbagai pesantren di Tanah Air, bahkan luar
negeri, dari dahulu hingga masa kini. Nama lengkapnya adalah Abu
Abdullah al-Mu'thi Muhammad Nawawi bin Umar al-Tanari al-Bantani al-
Jawi. Sejak kecil, Nawawi telah diarahkan ayahnya--KH Umar bin Arabi--
untuk menjadi seorang ulama. Setelah mendidik langsung putranya, Kiai
Umar yang sehari-hari bekerja sebagai penghulu Tanara menyerahkan
Nawawi kepada KH Sahal. Kiai Sahal adalah seorang ulama terkenal di
Banten. Usai dari Banten, Nawawi muda melanjutkan pendidikannya
kepada ulama besar Purwakarta, Kiai Yusuf. Ketika berusia 15 tahun, ia
bersama dua orang saudaranya pergi ke Tanah Suci untuk menunaikan
ibadah haji. Akan tetapi, setelah musim haji usai, Nawawi tidak langsung
kembali ke Tanah Air. Dorongan menuntut ilmu menyebabkan ia bertahan
di Kota Suci untuk menimba ilmu kepada ulama-ulama besar. Di kiblat
umat Islam sedunia itu, Nawawi belajar kepada Imam Masjid al-Haram
Syekh Ahmad Khatib Sambas, Abdul Ghani Bima, Yusuf Sumbulaweni,
Syekh Nahrawi, dan Syekh Ahmad Dimyati. Guru-gurunya yang lain adalah
Ahmad Zaini Dahlan, Muhammad Khatib Hambali, dan Syekh Abdul
Hamid Daghestani. Tiga tahun lamanya ia menggali ilmu dari ulama-ulama
Mekkah. Setelah merasa bekal ilmunya cukup, segeralah ia kembali ke
tanah air. Ia lalu mengajar di pesantren ayahnya. Namun kondisi Tanah Air
agaknya tidak menguntungkan pengembangan ilmunya. Saat itu, hampir
semua ulama Islam mendapat tekanan dari penjajah Belanda. Keadaan itu
tidak menyenangkan hati Nawawi. Lagipula, keinginannya menuntut ilmu
di negeri yang telah menarik hatinya, begitu berkobar. Akhirnya, kembalilah
Syekh Nawawi ke Tanah Suci. Masyhur di Tanah Suci Kecerdasan dan
ketekunannya mengantarkan ia menjadi salah satu murid yang terpandang di
Masjid al-Haram. Ketika Syekh Ahmad Khatib Sambas uzur, Nawawi
ditunjuk menggantikannya. Sejak saat itulah ia menjadi Imam Masjid al-
Haram dengan panggilan Syekh Nawawi al-Jawi. Selain menjadi imam
Masjid, ia juga mengajar dan menyelenggarakan halaqah (diskusi ilmiah)
bagi murid-muridnya yang datang dari berbagai belahan dunia. Snouck
Hurgronje, orientalis yang pernah mengunjungi Mekkah antara tahun 1884-
1885 menyebut rutinitas Syekh Nawawi. Setiap hari, sang syekh sejak pukul
07.30 hingga 12.00 memberikan tiga perkuliahan sesuai dengan kebutuhan
jumlah muridnya. Di antara muridnya yang berasal dari Indonesia adalah
KH Kholil Bangkalan, KH Asnawi Kudus, KH Tubagus Bakri, KH Arsyad
Thawil dari Banten, dan KH Hasyim Asy'ari dari Jombang. Mereka inilah
yang kemudian hari menjadi ulama-ulama terkenal di Tanah Air. Sejak 15
tahun sebelum wafatannya, Syekh Nawawi masih terus giat dalam menulis
buku. Akibatnya, ia tidak memiliki waktu lagi untuk mengajar. Ia termasuk
penulis yang produktif dalam melahirkan kitab-kitab mengenai berbagai
persoalan agama. Paling tidak, sebanyak 34 karya Syekh Nawawi tercatat
dalam Dictionary of Arabic Printed Books karya Yusuf Alias Sarkis.
Beberapa kalangan lainnya malah menyebut karya-karyanya mencapai lebih
dari 100 judul. Beberapa karangan yang mu'tabar (diakui secara luas--Red)
ialah Tafsir Marah Labid, Atsimar al-Yaniah fi Ar-Riyadah al-Badiah,
Nurazh Sullam, al-Futuhat al-Madaniyah, dan al-Aqdhu Tsamin. Syekh
Nawawi al-Bantani wafat dalam usia 84 tahun di Syeib A'li, sebuah
kawasan di pinggiran kota Mekkah, pada 25 Syawal 1314 H/1879 M. Sosok
ulama sufi ini, sering disebut sebagai penyambung sanad ulama Nusantara.
Ya, beliau Syaikh Nawawi al-Bantani merupakan ulama produktif yang
menulis kitab-kitab penting sebagai referensi pembelajaran pesantren.
Syaikh Nawawi lahir di Tanara, Banten, pada 1813 M/ 1230 H. Ia lahir di
lingkungan pesantren, yang menjadi keseharian keluarganya. Ayahandanya
bernama Kiai Umar bin Arabi dan ibunya bernama Zubaidah. Syaikh
Nawawi merupakan keturunan ke-12 dari Maulana Syarif Hidayatullah
(Sunan Gunung Jati), tepatnya dari jalur putra Maulana Hasanuddin (Sunan
Banten I). Sejak kecil, Syaikh Nawawi mendapat tempaan dari orang
tuanya, ia mengaji dengan ayahandanya kitab-kitab nahwu, sharaf, fiqh dan
tafsir. Pada usia 15 tahun, Syaikh Nawawi mendapatkan kesempatan untuk
mengaji ke tanah suci. Di Makkah, ia menunaikan ibadah haji sekaligus
belajar dengan beberapa ulama. Syaikh Nawawi belajar ilmu kalam, bahasa
dan sastra Arab, ilmu hadist, tafsir dan fiqh. Di antara guru beliau, yakni
Sayid Ahmad Nahrawi, Sayyid Ahmad Dhimyati, Ahmad Zaini Dahlan,
Muhammad Khatib al-Hambali. Setelah mengaji dengan beberapa guru di
Makkah, Syaikh Nawawi melanjutkan belajar ke Mesir dan Syam (Syiria).
Syaikh Nawawi pulang ke tanah air untuk sementara, selama tiga tahun.
Ketika itu, pada masa penjajahan Belanda, kawasan Banten tidak dalam
situasi yang kondusif. Ia memutuskan untuk kembali ke tanah suci. Selama
di Makkah, pada periode kedua, Syaikh Nawawi mengabdikan diri mengajar
dan menulis kitab. Santri-santri di penjuru Nusantara datang berguru kepada
Syaikh Nawawi, di antaranya: Kiai Khalil (Madura), Kiai Hasyim Asyari,
Kiai Asnawi, Kiai Asy’ari (Bawean), Kiai Tubagus Muhammad Asnawi,
Kiai Najihun, Kiai Ilyas, Kiai Abdul Ghafur dan Kiai Tubagus Sukri dari
Jawa Barat. Syaikh Nawawi menikah dengan Nyai Nasimah, gadis asli
Tanara. Pernikahan ini dikaruniai tiga orang putri, yakni Nafisah, Maryam
dan Rubi’ah. Syaikh Nawawi juga menikah dengan putri Kiai Saleh Darat,
Nyai Hamdanah. Dari pernikahannya ini, Syaikh Nawawi dikaruniai
seorang putri bernama Zuhroh.

Anda mungkin juga menyukai