http://jokoyuwonoautis.com/2020/05/10/guru-pembimbing-khusus-gpk-di-sekolah-
inklusi-rekonsepsi-guru-pembimbing-khusus-gpk-sebuah-gagagsan/
PENGANTAR
Implementasi pendidikan inklusif di Indonesia terus bergerak. Implementasi
pendidikan inklusif pada Jenjang Pendidikan Dasar dan Menengah terus berkembang, baik
secara kuantitatif maupun kualitatif. Hal tersebut ditunjukan dengan adanya jumlah Satuan
Pendidikan Penyelengara Pendidikan Inklusif (SPPPI) pada tingkat pendidikan dasar dan
pendidikan menengah makin bertambah jumlahnya dan menunjukan kualitas layanan ke
arah yang lebih baik. Namun demikian, harus diakui masih sangat banyak sekolah
penyelenggara pendidikan inklusif yang masih jauh dari harapan.
Pada tahun 2019 jumlah Satuan Pendidikan Penyelenggara Pendidikan Inklusif
(SPPPI) yakni 18.542 Sekolah Dasar (SD), 7.216 Sekolah Menengah Pertama (SMP) dan
3.560 Sekolah Menengah Atas sederajat. Jumlah SPPPI tersebut melayanani 104.931
Peserta Didik Berkebutuhan Khusus (PDBK) dengan rincian yakni 69.649 PDBK di SD,
23.497 PDBK di SMP dan 11.785 di SMA sederajat. Jenis hambatan yang ada di Satuan
Pendidikan Penyelenggara Pendidikan Inklusif (SPPPI) sangat beragam. Adapun beberapa
jenis hambatan yang umum ada di sekolah inklusi seperti anak berkesulitan belajar,
hambatan, penglihatan, hambatan pendengaran, slow learner, dan hambatan fisik dan lain-
lainnya. (Dapodik, 2019). Sunguh fantastik!
1
Tabel. 01. Jumlah SPPPI dan Peserta Didik Bekebutuhan Khusus (PDBK)
SISWA BERKEBUTUHAN
NO JENJANG/JENIS SEKOLAH INKLUSIF
KHUSUS
Sekolah Dasar
1 18.541 69.649
Kelas I – VI
Sekolah Menengah Pertama
2 7,216 23.497
Kelas VII – IX
Sekolah Menengah Atas
3 1.783 6.373
Kelas X – XII
Sekolah Menengah Kejuruan
4 1.777 5.412
Kelas X – XII
JUMLAH 29.317 104.931
Sumber: Dapodik, 2019
Implementasi pendidikan inklusif di satuan pendidikan memiliki tantangan-
tantangan yang berbeda-beda. Tentu tantangannya sangat tergantung pada kondisi setiap
sekolah dan berbagai dukungan yang dimiliki sekolah baik secara eksternal maupun
internal. Faktor dukungan eksternal seperti adanya kebijakan pemerintah daerah dan
peran masyarakat umum merupakan faktor penting bagi terselenggaranya sekolah inklusi.
Adanya regulasi terkait pendidikan inklusif pada level daerah; propinsi (Pergub),
kabupaten (Perbub)/ kota (Perwal) yang mengatur penyelenggaraan SPPPI; dan kesadaran
serta penerimaan masyarakat tentang keberagaman peserta didik menjadi bagian dari
sekolah adalah hal yang sangat penting bagi dasar pengembangan pendidikan inklusif.
Faktor dukungan internal seperti eksistensi pengawas, kepala sekolah dan guru kelas serta
guru mata pelajaran di sekolah adalah faktor utama dalam menciptakan pembelajaran yang
berkualitas sebagai bagian dari implementasi pendidikan inklusif.
Berbicara tentang SPPPI, salah satu yang menjadi tantangan utama adalah peran
guru, baik guru kelas dan Guru Mata Pelajaran (Mapel), Guru Bimbingan dan Konselin (BK)
dan adanya dukungan Guru Pembimbing Khusus (GPK). Tantangan utamanya adalah
bagaimana guru menciptakan pembelajaran yang dapat mengakomodasi semua peserta
didik tak terkecuali PDBK dalam kelas yang inklusif. Guru di sekolah umum selama ini
cenderung memilih menghadapi peserta didik yang homogen, meskipun kenyataanya
peserta didik yang dihadapi adalah hiterogen (beragam dan beranekaragam). Dengan
homogenitas peserta didik di kelas, guru dengan mudah melakukan pengelaolaan
pembelajaran di kelas dibanding kelas yang peserta didiknya beragam.
2
Guru seringkali kesulitan ketika menghadapi peserta didik yang beragam dalam
kelas. Guru tidak siap untuk menciptakan pembelajaran yang mengakomodasi semua
peserta didik. Sebagai contoh ketika guru mengajar di dalam kelas yang terdapat peserta
didik yang berbeda dari peserta didik kebanyakan karena kondisi fisik, emosi, kemampuan
berkomunikasi dan bahasa, perilaku dan kemampuan kognitif (PDBK), maka guru
cenderung bingung, menyerah, mangabaikan, dan meninggalkan PDBK (tidak diikutkan
dalam proses belajar) sehingga peserta didik tersebut tidak dapat berpartisipasi dalam
kegiatan belajar bersama teman-temannya. Hal ini dikarenakan guru umum tidak
memahami tentang PDBK (keberagaman dan keanekaragaman peserta didik) dengan baik
sehingga guru umum kurang berusaha untuk menemukan inisiatif dalam menciptakan
pembelajaran yang dapat melibatkan dan meningkatkan partisipasi semua peserta didik
termasuk di dalamnya PDBK sehingga mencapai prestasi yang sesuai dengan kemampuan
PDBK tanpa mengabaikan peserta didik pada umummya. Guru masih memiliki perspektif
bahwa anak yang berbeda karena kondisi tertentu (PDBK) adalah bukan menjadi bagian
peserta didik di kelasnya, merepotkan, menambah pekerjaan, sebaiknya diberikan
pendampingan khusus dan berbagai alasan lainnya.
Untuk mendukung penyelenggaraan pendidikan inklusif pada SPPPI, maka
dibutuhkan dukungan (supporting) yang salah satunya adalah adanya Guru Pembimbing
Khusus (GPK). Permendiknas 70 tahun 2009 tentang Pendidikan Inklusif bagi Peserta
Didik yang Memiliki Kelainan dan Memiliki Potensi Kecerdasan dan/atau Bakat Istimewa
pasal 10 menyatakan bahwa pemerintah kabupaten/kota wajib menyediakan paling sedikit
1 (satu) orang guru pembimbing khusus pada satuan pendidikan yang ditunjuk untuk
menyelenggarakan pendidikan inklusif. Dengan hadirnya GPK diharapkan dapat
memberikan dukungan sekolah agar terciptanya praktik pembelajaran yang terbaik bagi
semua peserta didik tak terkecuali termasuk di dalamnya adalah PDBK. Dukungan GPK
pada pengembangan dan penyelenggaraan sekolah inklusi, lebih spesifik kepada guru
dapat dimulai dari masa persiapan, pelaksanaan dan evaluasi pembelajaran.
Pada bagian ini, Penulis akan menjelaskan sejarah GPK, beberapa istilah GPK,
reulasi tentang GPK, definisi GPK, fungsi dan tugas GPK dan tantangan guru di sekolah
inklusi.
3
SEJARAH AWAL MULA ISTILAH GPK
Istilah Guru Pembimbing Khusus (GPK) sebenarnya sudah digagas sekitar tahun
1979. Mulanya, menurut Dr. Sari Rudiyati, M.Pd, Dosen PLB Universitas Negeri Yogyakarta
dalam tulisan skripsinya tahun 1981 dengan judul “Studi Kasus tentang Pelaksanaan Tugas
Guru Pembimbing Khusus pada Pendidikan Terpadu Tunanetra di DIY Tahun 1980-1981
yang memaparkan bahwa pada tahun 1977 Dr. J. Kenmore dari Helen Keller International
Incorporated berkunjung ke Indonesia dan melakukan ceramah-ceramah di Jakarta dan
Bandung. Kedatangannya bertujuan untuk menjajaki kemungkinan-kemungkinan
membantu meningkatkan usaha-usaha pendidikan para tunanetra.
Selanjutnya terjadilah kesepatan kerjasama antara Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan RI dengan Helen Keller International Incorporated untuk menyelenggarakan
kegiatan Program Pendidikan Terpadu (mainstreaming). Selanjutnya dipersiapkanlah
kegiatan kursus-kursus pelatihan untuk Program Pendidikan Terpadu bagi Anak
Tunanetra. Adapun kegiatan-kegiatan tersebut sebagai berikut:
1. Penyelenggaraan Kursus Penataran Dosen-Dosen IKIP dan Guru-Guru SGPLB
Yogyakarta dan Bandung yang langsung mengelola bidang pendidikan tunanetra,
pada tanggal 5 April sampai dengan 2 Juni 1978, di Bandung
2. Kursus Penataran Pendidikan Terpadu bagi anak Tunanetra, untuk mempersiapkan
tenaga Guru Pembimbing Khusus (GPK) Angkatan Ke-I dari tanggal 27 Nopember
1978 sampai dengan 24 Maret 1979 di Bandung untuk menghadapi implementasi di
Bandung dan sekitarnya.
3. Kursus Penataran tentang Masalah Kurang-Lihat (low-Vision) bagi Dosen IKIP
pengelola bidang pendidikan Tunanetra, serta Guru-Guru SGPLB dan SLB Bagian A
Jurusan Tunanetra pada tanggal 8 Oktober sampai dengan 3 Nopember 1979 di
Bandung.
4. Kursus Penataran Pendidikan Terpadu bagi Anak-anak Tunanetra untuk
mempersiapkan tenaga Guru Pembimbing Khusus Angkatan Ke-II dari tanggal 5
Nopember 1979 sampai 5 Maret 1980 di Bandung untuk menghadapi implementasi
di Daerah Istimewa Yogyakarta.
4
Disamping kursus-kursus juga telah diselenggarakan survey atau studi kelayakan
pelaksanaan Pendidikan terpadu Tunanetra secara berturut-turut di Bandung tahun 1978,
di Yogyakarta tahun 1979 dan di Surabaya tahun 1980.
Selanjutnya, setelah dilakukannya Kursus Penataran Pendidikan Terpadu bagi
Anak-anak Tunanetra untuk mempersiapkan tenaga Guru Pembimbing Khusus angkatan
pertama dan kedua pada tahun 1979, maka terbitlah Surat Keputusan dari Ketua Badan
Penelitian dan Pengembangan Pendidikan dan Kebudayaan Depertemen Pendidikan dan
Kebudayaan Nomor: 1462/G/T/80 tertanggal 21 April 1980 tentang Pengangkatan Guru-
Guru untuk Proyek Perintisan Pendidikan Terpadu bagi Anak-Anak Tunanetra pada
Delapan Sekolah Dasar di Bandung dan Tiga Belas Sekolah Dasar di DIY.
Dr. Sari Rudiyati, M.Pd (1981) menjelaskan bahwa Pelaksanaan Pendidikan Terpadu
Tunanetra di Daerah Istimewa Yogyakarta yakni 17 Maret 1980-20 Juli 1982. Pelaksanaan
program rintisan sekolah terpadu tunanetra di Yogyakarta ada 16 sekolah. Beberapa
sekolah tersebut seperti di SD IMPRES Purwodiningratan (sekolah basis), SD IMPRES
Tegalyoso (sekolah kunjungan), SD Taman Sari, SD Muhammadiyah Wirobrajan di Kota
Yogyakarta, dan SD Inpres Pojok di Kabupaten Sleman. Jumlah GPK yakni 14 orang. Syarat
GPK adalah mengikuti Kursus Penataran Pendidikan Terpadu Bagi Anak Tunanetra dari
tanggal 27 Nopember 1978 sampai dengan 24 Maret 1979, di Bandung. Program
Pendidikan Terpadu Tunanetra di Yogyakarta terdiri yakni Program Ruang Bimbingan dan
Program Guru Keliling. Program Ruang Bimbingan melibatkan 12 sekolah dasar yang
ditangani oleh 12 GPK. Program Guru Keliling dilakukan oleh 2 orang GPK. Pada waktu itu
tugas pokok GPK bagi anak tunanetra di Program Pendidikan Terpadu antara lain adalah:
1. Tugas Penyelenggaraan administrasi khusus, yaitu mengadakan pencatatan segala
gatra administrasi dari anak-anak tunanetra, yang tidak termasuk lingkup
adminsitrasi dari sekolah bersangkutan.
2. Tugas menyelenggarakan evaluasi khusus, yaitu mengadakan evaluasi terhadap
anak tunanetra yang tidak menjadi bagian dari tugas-tugas evaluasi para guru dari
sekolah bersangkutan.
3. Tugas membina hubungan antara manusia yakni mengadakan pembinaan hubungan
yang serasi dan wajar terhadap semua orang yang terlibat di dalam pelaksanaan
pendidikan terpadu tunanetra.
5
4. Tugas pengembangan program pendidikan terpadu yakni mengadakan pengenalan
terhadap wilayah sekitar sehingga mengetahui adanya anak-anak tunanetra usia
sekolah dan atau balita yang perlu dipersiapkan.
Pada tahun 1980, di Daerah Istimewa Yogyakarta ditunjuklah Ketua Unit
Pelaksanaan Pendidikan Terpadu Tunanetra Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta yaitu
Frans Harsana Sasraningrat, M.Ed dari IKIP Yogyakarta yang dikukuhkan dengan Surat
Keputusan Ketua Badan Penelitian dan Pengembangan Pendidikan dan Kebudayaan
Depertemen Pendidikan dan Kebudayaan Nomor: 0351/G3/G/80 tertanggal 28 Januari
1980 tentang Pembentukan Unit Pelaksana Dalam Rangka Proyek Kerjasama dengan Helen
Keller International Incorporated di Daerah Istimewa Yogyakarta.
Istilah GPK mulai muncul sejak tahun 1977-1980 melalui program sekolah terpadu
waktu itu. Setelah penugasan GPK pada tahun 1980-1982, penulis tidak mendapatkan
informasi yang memadahi tentang eksistensi GPK antara tahun 1982-2000-an. Istilah GPK
muncul kembali di beberapa daerah seperti di Jawa Tengah. Pada tahun 2004-2005,
Pemerintah Propinsi Jawa Tengah membuka penerimaan guru bantu dengan latar belakang
pendidikan khusus yang berjumlah antara 8-12 guru yang ditugaskan di sekolah umum.
Namun sayangnya, pada tahun 2008 hampir semua GPK tersebut berpindah tugas ke
Sekolah Luar Biasa (SLB) dengan berbagai alasan. Di Jawa Timur, GPK juga mulai
dimunculkan sekitar tahun 2002-2006. Di Banjarmasin, Kalimantan Selatan GPK mulai
dikenal tahun 2007 yang ditempatkan di sekolah inklusi. Mungkin di beberapa daerah
seperti Jawa Barat, Jakarta juga tidak jauh berbeda. Sementara tulisan ini selesai, penulis
terus mencoba mencari informasi tentang hal tersebut.
6
kognitif yang jauh berbeda dengan peserta didik umum lainya. Secara pragmatis, guru
mengusulkan agar peserta didik dengan kondisi ini bersekolah di Sekolah Khusus (SKh)
atau masyarakat lebih mengenal dengan istilah Sekolah Luar Biasa (SLB). Itu lebih tepat
kata guru-guru umum menegaskannya.
Isu pendidikan inklusif di dunia pendidikan terus bekembang sejak tahun 2000-an. .
Masyarakat umum dan pendidikan mulai menyadari pentingnya pendidikan bagi semua
anak tak terkecuali anak-anak berkebutuhan khusus. Sejak itu, sekolah umum mulai sudi
menerima ABK tertentu namun dengan catatan yakni anak harus ditemani selama di
sekolah. Beberapa sekolah menyebutnya dengan istilah guru pendamping, Shadow Teacher
(guru bayangan) dan GPK.
Menurut penulis, istilah guru pendamping, shadow teacher dan guru pembimbing
khusus (GPK) dimaksudkan pada hal yang sama yakni membantu proses pembelajaran
yang dilakukan oleh guru kelas atau Guru Mata Pelajaran (Mapel) sehingga semua anak
dapat belajar bersama-sama. Memang secara teknis, guru pembimbing khusus, guru
pendamping dan shadow teacher terdapat kesamaan tugas yakni melakukan
pendampingan pada peserta didik berkebutuhan khusus di kelas. Selain itu, ketiganya juga
berperan dalam memberikan layanan individual bagi peserta didik berkebutuhan khusus
di luar jam pelajaran berdasarkan program kebutuhan yang telah dibuat. (Program
Pendidikan Individual/PPI).
Kebutuhan guru pendamping, shadow atau GPK yakni untuk mendampingi dan
menemani anak berkebutuhan khusus selama melakukan kegiatan di sekolah; dimanapun
dan kapanpun. Dalam proses belajar, guru pendamping, shadow atau GPK duduk disamping
anak sementara guru kelas atau mata pelajaran mengajar di depan. Pada jam istirahat, guru
pendamping, shadow atau GPK menemani bermain, membantu anak makan snack,
mendampingi anak ke toilet jika belum mandiri dan lain sebagainya. Intinya adalah
membantu memenuhi kebutuhan anak berkebutuhan khusus selama di sekolah.
Tiga istilah yakni guru pendamping, shadow teacher atau GPK berkembang begitu
saja di sekolah-sekolah inklusi. Guru pendamping berbeda makna dengan pendamping
guru. Disebut guru pendamping karena guru tersebut bertugas memberikan
7
pendampingan pembelajaran bagi PDBK di kelas. Beda lagi dengan istilah shadow teacher
(guru bayangan) yang secara harafiah berperan mendampingi PDBK yang diilustrasikan
seperti “bayangan” dimana selalu membayangi PDBK kemana beraktifitas. Selain itu
diksinya sangat “keren”, “shadow!”. Yang berbeda lagi adalah berbahasa inggris. Sedang
guru pembimbing khusus dimaknai memberikan bimbingan baik kepada PDBK dan guru
meski pada umumnya tugas yang menonjol adalah membimbing PDBK di kelas. (baca:
mendampingi).
8
GPK DALAM PERSPEKTIF KEBIJAKAN
Isu GPK sebenarnya sudah muncul jauh pendidikan khusus belum dikenal
sebagaimana saat ini. Pada tahun 1980-an di Indonesia sudah mengembangkan sekolah
terpadu atau dikenal dengan “Maisntreaming”. Mainstreaming merupakan integrasi sosial,
instruksional dan temporal anak berkebutuhan khusus dengan teman-teman “normalnya”,
berdasarkan pada kebutuhan pendidikan yang diukur secara individual, serta memerlukan
klasifikasi tanggung jawab koordinasi dalam penyusuanan program oleh tim dari berbagai
profesi dan disiplin. (Kauffman, Gottlieb, Agard dan Kukic, 1975). Pada projek ini
dibutuhkan guru kunjung untuk membantu anak-anak berkebutuhan khusus di sekolah
umum yang pada waktu itu peserta didik yang menjadi fokus perhatian adalah anak-anak
tunanetra. Sejak itulah guru kunjung yang disebut dengan guru pembimbing khusus mulai
dikenal secara terbatas.
9
Peraturan Menteri Pendidikan Dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2018
Tentang Pemenuhan Beban Kerja Guru, Kepala Sekolah, Dan Pengawas Sekolah mengatur
pada Pasal 5 ayat 2 bahwa pemenuhan beban kerja guru pendidikan khusus dengan tugas
tambahan sebagai guru pembimbing khusus dalam melaksanakan pembelajaran atau
pembimbingan diekuivalensikan dengan 6 (enam) jam Tatap Muka per minggu.
10
pendidikan khusus dapat diselenggarakan melalui sekolah khusus dan secara inklusif, tidak
disebutkan dengan jelas pada peraturan-peraturan tersebut bahwa guru pendidikan
khusus dapat menjadi guru pembimbing khusus dengan tugas tambahan. Jika guru
pendidikan khusus menjadi GPK sebagai tugas tambahan, lalu pertanyaannya adalah apa
tugas pokoknya di sekolah umum?. Guru pendidikan khusus tidak mungkin menjadi guru
kelas atau guru mata pelajaran secara system. Dengan demikian, jika GPK diperankan oleh
guru pendidikan khusus, maka regulasi harus mengatur dan menetapkan guru pendidikan
khusus sebagai GPK dengan tugas utama.
GPK dikonsepsikan sebagai tugas tambahan. Secara faktual, GPK diperankan oleh
guru kelas (SD), guru mapel (SMP, SMA/SMK) dan guru pendidikan khusus dari Sekolah
Khusus (SKh) sebagai tugas tambahan. Beban tugas tambahanya adalah 6 JP.
(Permendikbud No. 15 Tahun 2018 tentang Beban Kerja Guru). Kebijakan tentang GPK
sebagai tugas tambahan memang terlihat realistis. Namun demikian, upaya peningkatan
kompetensi GPK sebagai tugas tambahan yang diperankan oleh guru kelas atau mata
pelajaran harus terus dilakukan. Peningkatan kualitas profesional, pedagogik, sosial, dan
kepribadian serta kompetensi tambahan terkait dengan pengetahuan dan keterampilan
spesifik terhadap layanan pendidikan khusus yang harus dimiliki.
11
adalah penunjukkan. Yang menarik adalah pengakuan guru atas tugasnya karena terpaksa.
Celakanya lagi, sejak penunjukan guru sebagai GPK hanya sekali pernah diberikan
sosialisasi tentang pendidikan inklusif, bukan pelatihan/workshop pembelajaran dari
identifikasi, asesmen, pembuatan PPI, pembuatan Rencana Persiapan Pembelajaran (RPP)
Akomodatif, penilaian dan seterusnya. Padahal tugas yang diembanya sudah menginjak
tahun ke 3.
Harus diakui bahwa peran GPK sebagai tugas tambahan sangat membantu, tetapi
tidak menunjukkan fungsi dan tugasnya berjalan dengan maksimal karena berbagai
masalah. Masalah yang paling nyata adalah bagaimana guru kelas atau guru mata pelajaran
berbagi waktu tugas sebagai GPK untuk membantu peserta didik berkebutuhan khusus
yang berada dalam kelas-kelas yang berbeda dan dalam waktu yang sama guru harus
mengajar kelas, memberikan layanan bagi PDKB dalam jumlah tertentu dan waktu yang
berbeda-beda. Dengan kata lain manajemen waktu adalah masalah utama bagi GPK sebagai
tugas tambahan. Masalah lain adalah terkait dengan kompetensi spesifik dari GPK dalam
mengenal semua jenis ABK, melakukan identifikasi dan asesmen, membuat program
pendidikan individual anak, dan membuat desain pembelajaran dengan memperhatikan
karakteristik dari setiap jenis anak berkebutuhan khusus yang ada (penanganan dan
pembelajaran). Para GPK mengaku kesulitan dan bingung apa yang harus dilakukan ketika
menghadapi PDBK karena belum memiliki kompetensi yang memadahi dalam memberikan
pembelajaran dalam kelas dengan peserta didik beragam, pengenalan jenis dan
penanganan anak berkebutuhan khusus dan program khusus bagi anak berkebutuhan
khusus.
12
berkebutuhan khusus melalui berbagai model pelatihan/workshop peningkatan
kompetensi GPK sebagai tugas tambahan, atau calon GPK dikirim ke Perguruan Tinggi
untuk menempuh pendidikan S1 Program Pendidikan Khusus.
Dulu, pernah ada GPK sebagai tugas tambahan yang diperankan oleh guru dari SKh.
Program ini sama juga kurang efektif jika melihat fungsi dan tugas GPK yang di emban.
Selain jumlah SKh di sebagian daerah yang terbatas dan dalam jangkauan yang cukup jauh,
pengaturan waktu kunjung oleh guru SKh ke SPPPI tidak selalu tepat waktunya (saat
krusial, timing yang tepat) atau sangat tergantung pada tugas utamanya di SKh. Bebarapa
kondisi menunjukkan bahwa guru di SKh jumlahnya terbatas, sehingga ketika ada guru SKh
meninggalkan sekolah untuk mengunjungi ke SPPPI, peserta didik di SKh menjadi tidak
terlayani secara maksimal. Guru SKh memiliki peran yang kompleks di sekolahnya. Tugas
tambahan sebagai GPK tidak mudah untuk dilakukan bagi guru SKh. Ini adalah tantangan
yang nyata dari Guru dan GPK sebagai tugas tambahan
GPK sebagai tugas utama adalah pilihan yang perlu dipertimbangkan. GPK tidak
berfungsi dan bertugas sebagai tambahan. GPK diperankan oleh guru yang memiliki
kompetensi terkait dengan pendidikan khusus yakni GPK dengan latar belakang
pendidikan khusus. GPK dengan latar belakang pendidikan khusus dipastikan memiliki
kompetensi spesifik terkait dengan pengetahuan dan keterampilan mengenali berbagai
jenis anak berkebutuhan khusus dan karakteristiknya, cara mengidentifikasi, melakukan
asesmen dan membuat laporanya, pembuatan PPI dan pelaksanaanya, serta penerapan
model layanan pendidikannya baik individu maupun setting kelas.
Konsep GPK sebagai tugas utama dapat didefinisiskan bahwa GPK adalah guru
pendidikan khusus yang ditempatkan dan ditugaskan di sekolah umum (baca: sekolah
inklusi) guna memberikan dukungan secara kolaboratif pada guru kelas dan atau guru
mata pelajaran sehingga tercapai pembelajaran yang berkualitas bagi seluruh peserta
didik. (all student). Dengan latar belakang pendidikan khusus, diharapkan GPK sebagai
tugas utama dapat berfungsi menjadi sumber informasi bagi semua pihak yang terlibat
dalam layanan pendidikan peserta didik berkebutuhan khusus dan merencanakan serta
melaksanakan jejaring kerjasama dengan berbagai pihak, disamping sebagai fungsi utama
13
dalam pembelajaran yakni melakukan pembimbingan, konsultasi, dan kolaborasi bersama
guru mapel, guru kelas, guru BK, guru TIK, dan/atau orang tua serta masyarakat dapat
berjalan secara maksimal.
14
anak berkebutuhan khusus. Pada bagian terakhir ini pada dunia pendidikan khusus disebut
dengan program khusus. Oleh karena itu, seorang GPK tidak hanya memerlukan 4
kompetensi utama sebagai seorang guru tetapi juga harus memiliki kompetensi khusus
yang digunakan untuk menangani anak berkebutuhan khusus.
Dengan melihat kompetensi GPK yang sedemikian hebatnya, apakah mungkin GPK
diperankan sebagai tugas tambahan. Ini artinya GPK di definisikan sebagai guru kelas atau
matapelajaran yang diberikan tugas tambahan untuk memberikan bantuan kepada guru
lainya dan peserta didik berkebutuhan khusus mulai dari identifikasi, asesmen, membuat
PPI, membuat desain pembelajaran yang akomodatif, melakukan evaluasi, mendampingi
PDBK dan memberikan layanan tambahan bagi PDBK dan atau layanan progsus (Program
Kebutuhan Khusus; Kompensatoris). Implikasi dari tugas GPK sebagai tugas tambahan
sepertinya cukup menantang. Berdasarkan pengalaman Penulis selama bertahun-tahun
berinteraksi dengan sekolah penyelenggara pendidikan inklusif dan GPK, mereka mengaku
kurang efektif atas tugas GPK sebagai tugas tambahan.
Bagaimana kalau tugas GPK adalah tugas utama, bukan tugas tambahan? Menurut
hemat Penulis, seyogyanya GPK diperankan oleh guru yang memiliki kompetensi
memadahi guna mendukung terselenggarakanya pendidikan yang berkualitas bagi semua
peserta didik. GPK tidak mungkin lagi diperankan sebagai tugas tambahan. GPK harus
sebagai tugas utama dan memiliki kualifikasi pendidikan khusus yang mumpuni. Di banyak
kota kabupaten telah berupaya mewujudkan adanya GPK sebagai tugas utama seperti di
Kota Pasuruan, Kota Salatiga, Kota Malang, Kota Padang, Riau, Surabaya, Tulung Agung,
Semarang, Propinsi Jakarta dan Kota Solo dan mungkin masih banyak lagi.
Berdasarkan paparan di atas maka GPK dapat didefinisikan sebagai guru yang
memiliki kualifikasi guru pendidikan khusus yang ditempatkan dan ditugaskan di sekolah
umum (baca: sekolah inklusi) guna memberikan dukungan secara kolaboratif dengan
unsur pelaksana sekolah sehingga tercapainya tujuan pendidikan yang berkualitas bagi
seluruh peserta didik. (all student). Definisi ini mengisyarakan bahwa lulusan dari prodi
pendidikan khusus/pendidikan luar biasa adalah satu-satunya yang memungkinkan
bertugas sebagai GPK karena kompetensinya. GPK ini ditempatkan di sekolah umum dan
15
bekerja secara kolaboratif dengan guru. Keberadaan GPK bukan untuk PDBK saja tetapi
untuk semua anak, bahwa pada praktiknya dalam kelas GPK akan dominan kepada PDBK.
GPK di sekolah inklusi dengan kualifikasi guru pendidikan khusus sangat ideal,
tetapi faktanya secara kuantitatif sangat terbatas jumlahnya. Hal ini dikarenakan jumlah
perguruan tinggi dengan Prodi Pendidikan Khusus/Pendidikan Luar Biasa sangat terbatas.
Alasan pokok dari kondisi ini adalah tidak diakuinya atau legalitas GPK dengan lulusan
pendidikan khusus sebagai salah satu jenis guru dalam system pendidikan Pemerintah
Indonesia dimana hingga saat ini guru pendidikan khusus secara legalitas hanya dapat
bekerja di Sekolah Luar Liasa (SLB). Oleh karena itu Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan RI harus membuat kebijakan/regulasi yang membuka peluang para lulusan
Pendidikan Khusus/Pendidikan Luar Biasa menjadi Guru Pembimbing Khusus sebagai
tugas utama yang penempatan kerjanya di sekolah inklusi. Ini sangat penting bagi
kemajuan pendidikan inklusif di Indonesia.
16
2.2 Menginisiasi pengembangan program pendidikan
yang diindividualkan, bersama tim yang terdiri dari:
orang tua, guru kelas/guru mapel/guru BK/guru TIK,
ahli lain yang sesuai dengan kebutuhan, dan kepala
sekolah
2.3 Implementasi PPI, menilai kinerja siswa, dan
melacak kemajuan mereka.
2.4 Mengupdate PPI sepanjang tahun sekolah untuk
mencerminkan kemajuan dan tujuan siswa
2.5 Membantu guru kelas/mapel dalam penyusunan
program pembelajaran dan penilaian yang akomodatif
terdiri dari:
• Menyusun perencanaan pembelajaran
• Melaksanakan pembelajaran
• Memanfaatkan media, teknologi adaptif, dan
teknologi asistif
• Melakukan penilaian dan evaluasi hasil
pembelajaran
• Analisis hasil pembelajaran
• Laporan hasil pembelajaran
2.6 Pengembangan kebutuhan khusus terdiri dari
mulai perencanaa, pelaksanaan, penilaian dan laporan
program kebutuhan khusus.
2.7 Mendiskusikan kemajuan siswa dengan orang tua,
guru, konselor, dan administrator
2.8 Mengawasi dan memberi mentoring/ nasehat
kepada asisten guru yang bekerja dengan siswa
berkebutuhan khusus
2.9 Mengajar dan mentoring terhadap siswa di kelas,
dalam kelompok-kelompok kecil, bahkan secara
individual.
3. Merencanakan dan melaksanakan jejaring 3.1 Melakukan komunikasi dan koordinasi dengan
kerjasama dengan berbagai pihak. pemangku kepentingan, antara lain: Dinas pendidikan
provinsi/kota/kabupaten, Satuan Pendidikan khusus,
Pihak orang tua dan atau Persatuan Orang Tua, Dewan
Pendidikan/Komite Sekolah, Psikiater atau psikolog,
Organisasi profesi
3.2 Mempersiapkan dan membantu PDBK dalam
program transisi ke sekolah lanjutan atau ke
masyarakat
Mencermati tabel fungsi dan tugas GPK di atas menunjukkan bahwa GPK tidak
terbatas pada fungsi pembimbingan dalam pembelajaran saja yakni melakukan
pembimbingan, konsultasi, dan kolaborasi bersama guru mapel, guru kelas, guru BK, guru
TIK, dan/atau orang tua. Namun demikian, GPK juga berfungsi menjadi sumber informasi
bagi semua pihak yang terlibat dalam layanan pendidikan peserta didik berkebutuhan
khusus dan merencanakan dan melaksanakan jejaring kerjasama dengan berbagai pihak.
Ini semua menunjukkan betapa kompetensi GPK sangat memberi arti bagi kemajuan dan
17
perkembangan pendidikan inklusif saat ini. Mungkinkah GPK sebagai tugas tambahan
dapat melakukan fungsi dan tugasnya secara maksimal?
Menempatkan secara proporsional peran guru sebagai guru kelas, mata pelajaran,
guru BK merupakan keutamaan, termasuk bagaimana mengajar dalam kelas yang beragam
yang di dalamnya terdapat PDBK adalah bagian kerja profesionalitasnya. (part of
professional job). Guru harus terus ditingkatkan dan dikembangkan kemampuannya untuk
mengatur dan mengelola kelas yang di dalamnya terdapat peserta didik yang beragam dan
beranekaragam, juag di dalmnya terdapat peserta didik beragam. (class room management
in inclusive setting). Itulah tugas guru sejati. Namun demikian, guru belum sepenuhnya
memberikan dukungan sepenuhnya bagi penyelenggaraan pendidikan inklusif. Beberapa
hal yang harus disuport terkait dengan tugas guru kelas. guru mata pelajaran, dan guru BK
dalam penyelenggaraan pendidikan inklusif secara garis besar yakni:
18
pendidikan individual (PPI), dan pengembangan Rencana Pelaksanaan
Pembelajaran (RPP) akomodatif serta evaluasi dan penilaian.
Dengan beberapa hal di atas, setidaknya kita berharap ketika terdapat PDBK guru bersedia
dengan inkhlas menerima kehadiran PDBK karena guru memiliki perspektif pendidikan
anak yang pas. Guru memiliki keyakinan pedagogik yang kuat dimana “all student can learn
and all student can teach”. Guru memiliki semangat berbagi, membatu dan memberikan
layanan yang terbaik bagi semua peserta didik di kelasnya.
KESIMPULAN
GPK sudah dikonsepsikan sebagai tugas utama sejak tahun 1977-1980 melalui
projek Program Sekolah Terpadu yang di inisiasi oleh Pemerintah RI melalui Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan bekerja sama dengan Helen Keller International Incorporated.
GPK pada waktu itu berperan membantu terselenggaranya sekolah terpadu di Bandung
dan Yogyakarta.
Selanjutnya, pada tahun 2000-an hingga kini GPK terus eksis dengan segala
dinamikanya. Pada akhirnya GPK dikonsepsikan sebagai tugas tambahan melalui.
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2017 Tentang Perubahan Atas
Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2008 Tentang Guru Pasal 15 ayat 2e dinyatakan
bahwa guru yang mendapat tugas tambahan sebagai pembimbing khusus pada satuan
pendidikan yang menyelenggarakan pendidikan inklusi atau pendidikan terpadu. Pasal 15
ayat 6b menjelaskan bahwa tugas tambahan tersebut memiliki ekuivalensi beban kerja
tugas tambahan yakni 6 (enam) jam tatap muka
Dengan fungsi dan tugas GPK yang menuntut kerja profesional, peran GPK sebagai
tugas tambahan memiliki tantangan yang besar. Alangkah eloknya GPK diperankan secara
penuh atau yang penulis sebut sebagai tugas utama. Maka, konsepsi GPK sebagai tugas
utama dapat didefiniskan sebagai guru pendidikan khusus yang ditempatkan dan
ditugaskan di sekolah umum (baca: sekolah inklusi) guna memberikan dukungan secara
kolaboratif dengan unsur pelaksana sekolah sehingga tercapainya tujuan pendidikan yang
berkualitas bagi seluruh peserta didik. (all student).
19
Legalitas GPK dengan tugas tambahan hanya diperuntukkan guru kelas dan mata
pelajaran. Guru dengan latar belakang pendidikan khusus tidak memungkinkan menjadi
GPK di sekolah inklusi karena di dalam sistem data pokok pendidikan/Dapodik GPK
dengan latar pendidikan khusus tidak ada. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI
harus membuat kebijakan/regulasi yang membuka peluang para lulusan Pendidikan
Khusus/Pendidikan Luar Biasa menjadi Guru Pembimbing Khusus sebagai tugas utama
yang penempatan kerjanya di sekolah inklusi. Ini sangat penting bagi kemajuan pendidikan
inklusif di Indonesia.
Peningkatan Kompenetsi guru kelas, guru mata pelajaran dan guru BK terkait
dengan penyelenggaraan pendidikan inklusif harus terus dilakukan. Kenyataanya, guru
selalu menghadapi peserta didik yang beragam dan beranekaragam. Oleh karena itu,
apapun alasannya, guru yang professional harus memiliki kemampuan dalam pengelolaan
pemebalajaran yang cakap. Peningkatan pemahaman dan keterampilan guru tentang Class
Room Management in Inclusive Setting/CRMIS menjadi prioritas.
PENUTUP
20
menjadi guru yang melayani secara professional bagi semua peserta didik tanpa kecuali.
Oleh karenanya, dibutuhkan langkah-langkah strategis untuk menciptakan guru dan GPK
yang professional guna mewujudkan implementasi pendidikan inklusif yang menjangkau
semua anak-anak untuk mendapatkan akses pendidikan yang berkualitas. Selanjutnya,
memastikan jaminan professional GPK dalam system pendidikan kita sehingga masa depan
karir GPK dapat diharapkan di masa yang akan datang.
Salam Inklusi!
Daftar Pustaka
Permendiknas No 70 Tahun 2009 tentang Pendidikan Inklusif Bagi Peserta Didik Yang
Memiliki Kelainan Dan Memiliki Potensi Kecerdasan Dan/Atau Bakat Istimewa
Kaufman, M. J., Gottlieb, J., Agard, J. A., & Kukic, M. B. (1975). Mainstreaming: Toward an
explication of the construc. In E. L. Meyen, G. A. Vergason, & R. J. Whelen (Eds.),
Alternatives for Teaching Exceptional Children Denver: Love publishing Co.
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2017 Tentang Perubahan Atas
Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2008 Tentang Guru
Peraturan Menteri Pendidikan Dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2018
Tentang Pemenuhan Beban Kerja Guru, Kepala Sekolah, Dan Pengawas Sekolah
Permendiknas Nomor 70 Tahun 2009 tentang Pendidikan Inklusif Bagi Peserta Didik Yang
Memiliki Kelainan Dan Memiliki Potensi Kecerdasan dan/atau Bakat Istimewa
Rudiyati, Sari. 1981. Studi Kasus tentang Pelaksanaan Tugas Guru Pembimbing Khusus
pada Pendidikan Terpadu Tunanetra. Yogyakarta: IKIP Yogyakarta
Yusuf, Munawir., dkk. 2018. Pendidikan Inklusif dan Perlindungan Anak. Solo: Tiga Serangkai
21
22