Anda di halaman 1dari 34

 

 
BAB II
 
LANDASAN TEORI
 
2.1 Pencahayaan
 
a. Definisi cahaya
 
Cahaya menurut Newton (1642-1727) terdiri dari partikel-partilkel ringan
  berukuran sangat kecil yang dipancarkan oleh sumbernya ke segala arah dengan
kecepatan
  yang sangat tinggi. Cahaya dapat juga didefinisikan sebagai energi
radiasi
  yang dapat dievaluasi secara visual (menurut Illuminating Engineering
Society, 1972), atau bagian dari spektrum radiasi elektromagnetik yang dapat
 
dilihat (visible).
Cahaya berada pada daerah panjang gelombang 400 nm s.d. 800 nm (atau 380
nm s.d. 780 nm). Di luar daerah tersebut, mata manusia tidak sensitif. Radiasi
elektromagnetik dengan panjang gelombang di bawah 400 nm disebut sinar
ultraviolet, sedangkan radiasi elektromagnetik di atas 800 nm disebut sinar
inframerah.

Gambar 2.1 Spektrum cahaya tampak


(http://fisbang.tf.itb.ac.id, Dasar-dasar pencahayaan 2002)

2.2 Sumber Cahaya


Pencahayaan alami siang hari, terutama di daerah tropis, dimanfaatkan untuk
penerangan dalam ruangan selama siang hari (pukul 08.00 ~ 16.00). Penggunaan
pencahayaan alami siang hari dalam bangunan sangat bermanfaat terutama untuk
mengurangi konsumsi energi listrik dalam bangunan, serta untuk memberikan
kenyamanan secara Fisiologis dan Psikologis bagi penghuni bangunan. (Veitch J.
A, 2001).

5
 
  `6

 
Pencahayaan alami umumnya dibagi dua:
 
1. Sunlight: yaitu cahaya matahari langsung, umumnya memiliki intensitas
 
yang tinggi dan sudut penyebaran cahaya yang sempit. Cahaya jenis ini
  harus selalu dijaga agar jumlahnya tetap terkendali, sehingga tidak
  menimbulkan silau dan radiasi panas yang terlalu tinggi.
2. Daylight: yaitu cahaya matahari tidak langsung yang disebarkan oleh
 
partikel-partikel atmosfer, termasuk awan, umumnya memiliki intensitas
 
yang sedang sampai dengan rendah dan sudut penyebaran cahaya yang
  lebar (mendekati difus/merata ke segala arah). Cahaya jenis ini umumnya
  lebih disukai untuk digunakan sebagai pencahayaan alami dalam
bangunan, karena tidak terlalu menimbulkan silau dan radiasi panas yang
tinggi.
Sumber cahaya dapat digolongkan menjadi sumber cahaya alami (misal matahari,
bintang) dan sumber cahaya buatan (non-listrik dan listrik). Sumber cahaya buatan
listrik dapat dibagi lagi menjadi:
1. Lampu Incandescent yaitu lampu yang pada prinsipnya menggunakan kawat
halus (filamen) yang berpijar untuk menghasilkan cahaya. Terdiri dari lampu
pijar dan halogen
2. Lampu pelepasan gas (gas discharge) yaitu lampu yang pada prinsipnya
menggunakan atom-atom gas yang dirangsang untuk naik tingkat energinya,
sehingga memancarkan cahaya pada saat turun kembali. Terdiri dari lampu
fluoresen dan high intensity discharge (merkuri, metal halida, sodium
bertekanan tinggi, dan sodium bertekanan rendah).
(http://fisbang.tf.itb.ac.id, Pencahayaan alami siang hari, 2008)

2.2.1 Model Langit


Pencahayaan alami siang hari sangat bergantung dari kondisi langit pada
setiap saat. Untuk keperluan perancangan, Commision Internationale L’Eclairage
(CIE) telah menentukan beberapa jenis langit perancangan untuk berbagai lokasi
dan kondisi, antara lain:

 
  7

 
1. Langit cerah (clear sky): langit dengan luminansi yang bervariasi menurut
 
lintang geografis dan ketinggian matahari (azimut). Luminansi tertinggi
 
berada dekat posisi matahari dan terendah berada pada posisi yang
 berseberangan dengan matahari.

  2. Langit menengah (intermediate sky): variasi dari langit cerah yang lebih
„gelap‟. Luminansi tertinggi juga berada dekat posisi matahari, tetapi tidak
 
seterang pada langit cerah. Perubahan luminansi yang ada tidak sedrastis pada
 
langit cerah.
3.  Langit mendung (overcast sky): langit dengan luminansi yang bervariasi
  menurut lintang geografis. Luminansi pada titik zenit (tepat di atas kepala)
sebesar tiga kali luminansi pada horison (cakrawala). Model langit jenis ini
umumnya digunakan untuk pengukuran faktor pencahayaan alami siang hari
dalam bangunan.
4. Langit merata (uniform sky): langit dengan luminansi yang sama pada seluruh
posisi, tidak tergantung dari lintang geografis dan ketinggian matahari.
Untuk Indonesia, dalam SNI 03-2396-2001 ditetapkan langit perancangan
berupa langit merata dengan iluminansi pada bidang datar di lapangan terbuka
sebesar 10.000 lux.
(http://fisbang.tf.itb.ac.id, Pencahayaan alami siang hari, 2008)
Selain itu dalam segi kesehatan matahari memiliki khasiat yang sangat
berguna bagi makhluk hidup. Berikut ini adalah beberapa manfaat cahaya
matahari :
1. Membunuh mikroba. Itulah sebabnya kita harus menjemur karpet atau
kasur yang susah untuk dicuci. sinar matahari membuat kulit tampak cerah
dan meningkatkan elastisitas, juga terbukti dapat memperkuat sistem
kekebalan tubuh.
2. Meningkatkan suasana hati dan mood. Sinar matahari juga membantu
menjadi terapi dalam kasus depresi kronis dan akut dengan cara
merangsang sintesis endorfin. Itulah sebabnya kita merasa takut dalam
suasana gelap.

 
  `8

 
3. Mengurangi insomnia, juga sinar matahari meningkatkan produksi hormon
 
melatonin di malam hari, hormon ini membantu kita tidur lelap.
 
4. Kulit mensintesa vitamin D dengan bantuan sinar matahari, vitamin D
  membantu penyerapan kalsium dalam usus yang membuat tulang menjadi
  kuat. Sinar matahari mencegah rachitis pada anak-anak dan osteoporosis
pada lanjut usia
 
5. Dengan vitamin D dan beberapa senyawa lainnya yang dapat menghambat
 
pengembangan sel kanker, selain itu sinar matahari yang teratur dan
  terkontrol dapat melawan penyakit kanker usus, payudara, leukemia.
  6. Memperkuat sistem kardiovaskuler, meningkatkan sirkulasi darah, denyut
nadi, tekanan arteri dan menormalkan kadar kolesterol
7. Sinar matahari meningkatkan fungsi hati, yang efektif dalam mengobati
penyakit kuning.
8. Membantu kerja ginjal, saat matahari panas tubuh mengeluarkan air
melalui keringat.
9. Membantu menurunkan berat badan dengan meningkatkan tingkat
metabolik melalui stimulasi tiroid.
10. Menolong meringankan radang sendi dalam kasus arthritis.
(www.prudentschool.sch.id)

2.2.2 Faktor Pencahayaan Alami Siang Hari


Faktor pencahayaan alami siang hari (FPASH) pada suatu titik dalam
ruangan adalah perbandingan antara iluminansi horisontal di bidang kerja dalam
ruangan (Ei [lux]) terhadap iluminansi horisontal di lapangan terbuka di luar
ruangan (Eo [lux]) pada saat yang sama.
(2.1)

keterangan :

FPASH : Faktor Pencahayaan Alami Siang Hari


Ei : Iluminansi horizontal di bidang kerja dalam ruangan.
Eo : Iluminansi horizontal di lapangan terbuka di luar ruangan

 
  9

 
Pengukuran FPASH minimal dilakukan pada 1 titik ukur utama (TUU) dan 2 titik
 
ukur samping (TUS), seluruhnya pada ketinggian 75 cm dari lantai, serta pada
 
jarak d/3 (d = kedalaman ruangan) dari bidang di mana terdapat lubang cahaya.
TUU
  berada pada tengah-tengah dari kedua dinding samping, sedangkan TUS

  masing-masing berada pada jarak 0,5 meter dari dinding samping yang terdekat.

Gambar 2.2 Ilustrasi TUU, TUS, dan d


(SNI 03-2396-2001)

Untuk merancang besar faktor pencahayaan alami siang hari pada suatu titik
dalam ruangan, perlu dihitung terlebih dahulu besarnya faktor langit, faktor
refleksi dalam, dan faktor refleksi luar pada titik itu. Jumlah dari ketiga faktor
tersebut menghasilkan faktor pencahayaaan alami siang hari.

2.2.3 Faktor Langit


Faktor langit adalah komponen pencahayaan alami siang hari yang berasal
dari langit. Faktor langit, FL (dalam persen), ditentukan dari harga H/D dan L/D,
dengan H dan L adalah tinggi dan lebar lubang cahaya efektif, serta D adalah jarak
titik ukur ke bidang lubang cahaya efektif.

( ) (2.2)
√ ( ) √ ( )

keterangan :
FL : Faktor Langit
H : Tinggi ruangan.
L : Lebar lubang cahaya efektif.
D : Jarak titik ukur ke bidang lubang cahaya efektif.

 
  `10

 
Pada prakteknya, harga faktor langit sebagai fungsi dari H/D dan L/D ditentukan
 
berdasarkan pada SNI 03-2396-2001. Perlu diketahui bahwa standar tersebut
 
hanya berlaku untuk lubang cahaya efektif seperti pada Gambar 2.4 a. Untuk
lubang
  cahaya efektif yang tidak tepat berhimpit dengan proyeksi titik ukur pada
  bidang lubang cahaya, seperti pada Gambar 2.3, faktor langit di titik ukur
ditentukan dengan cara menambah dan/atau mengurangi faktor langit dari bidang-
 
bidang yang melalui proyeksi titik ukur pada bidang lubang cahaya.
 

Gambar 2.3 Contoh posisi lubang cahaya efektif terhadap titik ukur.
(SNI 03-2396-2001)

Pada Gambar 2.4 b, lubang cahaya efektif ABCD dapat dinyatakan sebagai bidang
(EGCH – EFDH + EFAI – EGBI). Maka faktor langit di titik ukur U akibat
lubang cahaya efektif ABCD adalah :

-
= FL( ⁄ ⁄ ) ( ⁄ ⁄ )

= 9.25% - 4,99% + 1,39% - 2,40% = 3,52%

2.2.4 Faktor Refleksi Dalam


Faktor refleksi dalam adalah komponen pencahayaan alami siang hari
yang berasal dari refleksi oleh permukaan-permukaan dalam ruangan.
Penghitungan faktor refleksi dalam, FRD (dalam persen), menggunakan rumus :
FRD = ( ) (2.3)

 
  11

 
keterangan :
 
FRD : Faktor Refleksi Dalam
 
W : Luas jendela [m2]
T   : Faktor refleksi kaca jendela (diasumsikan sebesar 85%)
  A : Luas seluruh bagian dalam ruangan [m2]
R : Faktor refleksi rata-rata seluruh bagian dalam ruangan
 
C : Faktor bentuk yang dipengaruhi oleh sudut θ antara titik ukur dengan
 
tinggi penghalang luar
Rfw  : Faktor refleksi rata-rata dari lantai dan bagian bawah dinding, tidak
  termasuk tempat jendela yang sedang dihitung; bagian bawah dihitung dari
garis tengah jendela ke bawah
Rcw : Faktor refleksi rata-rata dari langit-langit dan bagian atas dinding, tidak
termasuk tempat jendela yang sedang dihitung; bagian atas dihitung dari
garis tengah jendela ke atas.
Harga perhitungan FRD dari tiap jendela yang ada dalam ruangan dijumlahkan
dan didapat harga FRD untuk setiap titik dalam ruangan tersebut.

Gambar 2.4 Skema sudut penghalang


(SNI 03-2396-2001)

 
  `12

 
Hubungan antara θ dan C dapat ditabulasikan sebagai berikut:
 
Tabel 2.1 Hubungan antara θ dan C
  (http://fisbang.tf.itb.ac.id, 2008)

2.2.5 Faktor Refleksi Luar


Faktor refleksi dalam adalah komponen pencahayaan alami siang hari
yang berasal dari refleksi oleh benda-benda di luar bangunan yang bersangkutan.
Faktor refleksi luar, FRL (dalam persen), hanya ada bila terdapat penghalang di
depan jendela. Rumus yang digunakan:
FRL = FLP × Lrata-rata (2.4)
Keterangan :
FRL : Faktor Refleksi Luar
FLp : Faktor Langit (dalam persen).
Lrata-rata : Perbandingan luminansi penghalang dengan luminansi rata-rata langit,
umumnya berharga 0,1.
FLP adalah faktor langit (dalam persen) yang diakibatkan oleh permukaaan
penghalang luar. Untuk menghitungnya digunakan cara yang sama dengan
penghitungan faktor langit, dengan perbedaan H adalah tinggi bagian jendela yang
terhalang oleh penghalang luar (tinggi jendela dikurangi tinggi lubang cahaya
efektif). Lrata-rata adalah perbandingan luminansi penghalang dengan luminansi
rata-rata langit, umumnya berharga 0,1.

 
  13

 
2.3 Sifat Cahaya
 
Cahaya merupakan gelombang elektromagnetik transversal dengan panjang
 
gelombang antara 400 nm sampai 600 nm. Sebab merupakan gelombang
elektromagnetik,
  cahaya tidak memerlukan medium sebagai perambatannya.
  Sifat-sifat cahaya:
1. Merambat lurus
 
2. Menembus benda bening
 
3. Dapat dipantulkan.
  4. Dapat dibiaskan (bila melalui dua medium yang memiliki dua indeks
  bias yang berbeda (lensa)).
5. Cahaya monokromatis (cahaya putih) dapat diuraikan menjadi
beberapa cahaya berwarna (colour mixing (CP)).
6. Memiliki energi (Lux).
7. Berbentuk gelombang (CP rainbow).
8. Merambat tanpa medium perantara.
9. Dipancarkan dalam bentuk radiasi.
10. Sifat cahaya dapat dipantulkan.

 
  `14

 
2.4 Penglihatan
 
Retina mata manusia terdiri dari dua jenis fotoreseptor, yaitu sel batang dan
 
kerucut. Sel batang umumnya aktif dalam kondisi minim cahaya disebut
penglihatan
  skotopik. Sel kerucut lebih sensitif dalam membedakan warna dan
  umumnya aktif dalam kondisi terang disebut penglihatan fotopik. Respon mata
manusia terhadap cahaya tidak sama, tergantung panjang gelombang cahaya.
 
Untuk penglihatan fotopik, mata manusia paling sensitif (respon relatifnya sama
 
dengan 1) pada panjang gelombang 555 nm.
 

Gambar 2.5 Kurva sensitivitas mata manusia


(http://fisbang.tf.itb.ac.id, Dasar-dasar pencahayaan 2002)

Jika dibuat tabel dari data diatas, hubungan antara panjang gelombang (λ) dengan
respon relatif mata manusia (V (λ)) secara detail dapat dilihat pada tabel 2.2
mengenai data Fotopik dan Sokotopik. Data mengenai kemampuan mata manusia
untuk merespon berdasarkan panjang gelombangnya.

 
  15

 
Tabel 2.2 Fotopik dan Skotopik
  (http://fisbang.tf.itb.ac.id)
 
Fotopik Skotopik
λ (nm)
V ( λ) Efikasi (lm/W) V ( λ) Efikasi (lm/W)
 
380 0,000039 0,027 0,000589 1,001
  390 0,00012 0,082 0,002209 3,755
400 0,000396 0,27 0,00929 15,793
  410 0,00121 0,826 0,03484 59,228
420 0,004 2,732 0,0966 164,22
  430 0,0116 7,923 0,1998 339,66
440 0,023 15,709 0,3281 557,77
  450 0,038 25,954 0,455 773,5
460 0,06 40,98 0,567 963,9
  470 0,09098 62,139 0,676 1149,2
480 0,13902 94,951 0,793 1348,1
490 0,20802 142,078 0,904 1536,8
500 0,323 220,609 0,982 1669,4
507 0,44431 303,464 1 1700
510 0,503 343,549 0,997 1694,9
520 0,71 484,93 0,935 1589,5
530 0,862 588,746 0,811 1378,7
540 0,954 651,582 0,655 1105
550 0,99495 679,551 0,481 817,7
555 1 683 0,402 683
560 0,995 679,585 0,3288 558,96
570 0,952 650,216 0,2076 352,9
580 0,87 594,21 0,1212 206,4
590 0,757 517,031 0,0655 111,35
600 0,631 430,973 0,03315 56,355
610 0,503 343,549 0,01593 27,081
620 0,381 260,223 0,00737 12,529
630 0,265 180,995 0,003335 5,67
640 0,175 119,525 0,001497 2,545
650 0,107 73,081 0,000677 1,151
660 0,061 41,663 0,000313 0,532
670 0,032 21,856 0,000148 0,252
680 0,017 11,611 0,000072 0,122
690 0,00821 5,607 0,000035 0,06
700 0,004102 2,802 0,000018 0,03
710 0,002091 1,428 0,000009 0,016
720 0,001047 0,715 0,000005 0,008
730 0,00052 0,355 0,000003 0,004
740 0,00249 0,17 0,000001 0,002
750 0,00012 0,082 0,000001 0,001
760 0,00006 0,041 0 0

 
  `16

 
Efikasi adalah konversi antara daya cahaya (dalam satuan lumen) dengan daya
 
radiasi (dalam satuan watt), yang besarnya sama dengan 683 × V(λ) lm/W untuk
 
penglihatan fotopik, atau 1.700 × V(λ) lm/W untuk penglihatan skotopik. Sebagai
contoh,
  sebuah lampu menghasilkan daya radiasi sebesar 1 watt pada panjang
  gelombang 460 nm. Dengan demikian lampu tersebut menghasilkan daya cahaya
sebanyak 683 × 0,06 lm/W × 1 W = 40,98 lumen. Meskipun demikian, daya
 
cahaya dari suatu sumber tidak pernah dinyatakan per panjang gelombang,
 
melainkan jumlah keseluruhan dari seluruh panjang gelombang yang terkandung
  cahaya sumber tersebut.
dalam
 
2.5 Fotometri
Fotometri adalah ilmu yang mempelajari pengukuran besaran-besaran cahaya,
meliputi aspek-aspek psikofisis energi radiasi yang dapat terlihat oleh mata
manusia. Besaran-besaran fotometri yang umum antara lain:

1. Fluks luminus
Fluks luminus atau fluks cahaya (Φ atau F) adalah laju aliran energi cahaya,
atau energi radiasi yang telah dibebani dengan respon sensitivitas mata
manusia per satuan waktu. Fluks luminus memiliki satuan lumen (lm). Pada
panjang gelombang 555 nm, 1 watt daya radiasi suatu sumber cahaya setara
nilainya dengan fluks luminus sebesar 683 lumen. Fluks luminus umumnya
disebut juga keluaran cahaya, yaitu besaran yang menyatakan kuantitas daya
cahaya yang dihasilkan oleh suatu sumber cahaya.

2. Intensitas cahaya
Intensitas cahaya atau intensitas luminus (I) adalah fluks luminus per satuan
sudut ruang (ω, dalam steradian) dalam arah tertentu. Intensitas cahaya
memiliki satuan candela (cd), atau setara dengan lumen/steradian.

I= (2.5)

 
  17

 
Sudut ruang (ω, dalam steradian) adalah sudut yang dibentuk oleh suatu bidang
 
pada permukaan bola, ditinjau dari titik pusat bola. Besarnya sudut ruang
 
tergantung dari luas bidang (A) dan radius (r) bola tersebut, yaitu:
 

  = (2.6)

Gambar 2.6 Sudut ruang


(http://fisbang.tf.itb.ac.id, 2008)

Suatu bola penuh memiliki sudut ruang sebesar 4π (= 4πr2/r2) steradian,


sehingga suatu sumber cahaya berbentuk titik yang memancarkan cahaya
secara merata ke segala arah, akan memiliki intensitas cahaya sebesar Φ/(4π)
candela, dengan Φ adalah fluks luminus yang dipancarkan sumber cahaya
tersebut. Umumnya sumber cahaya memiliki intensitas cahaya yang berbeda
jika dilihat dari sudut ruang yang berbeda. Meskipun demikian, intensitas
cahaya selalu bernilai tetap untuk sudut ruang yang sama.

3. Iluminansi
Iluminansi atau tingkat pencahayaan (E) adalah fluks luminus yang datang
pada suatu permukaan per satuan luas (A, dalam m2) permukaan yang
menerima cahaya tersebut. Iluminansi memiliki satuan lux (lx) atau setara
dengan lumen/m2.

E= (2.7)

Iluminansi adalah besaran fotometri yang paling mudah diukur, yaitu dengan
menggunakan alat fotometer/luxmeter yang terdiri dari suatu sensor dioda yang

 
  `18

 
peka cahaya, dihubungkan dengan meter pembacaan setelah terlebih dahulu
 
dibobotkan menurut kurva sensitivitas mata manusia.
 

 
Gambar 2.7 Hubungan antara iluminansi dan jarak
(http://fisbang.tf.itb.ac.id, 2008)

Dari Gambar 2.8 terlihat bahwa sebuah sumber titik memancarkan cahaya
dengan intensitas I cd pada arah sudut ruang ω. Sebuah bidang penerima pada
jarak r1 dari sumber tersebut menerima fluks luminus sebesar Φ lumen per
satuan luas bidang A1. Demikian juga sebuah bidang penerima pada jarak r2
dari sumber tersebut menerima menerima fluks luminus sebesar Φ lumen per
satuan luas bidang A2.

Hubungan matematis antara Iluminansi, Intensitas cahaya, dan Jarak adalah:

= (2.8)

Keterangan :
E1 : Iluminansi (Lumen/m2 atau setara dengan Lux).
Φ : Fluks luminus (Lumen).
A : satuan luas bidang m2.

 
  19

 
Menurut persamaan 2.6, A = ωr2, sedangkan I = Φ/ω menurut persamaan 2.5
  Maka:
 
= (2.9)
 

 
sehingga, perbandingan antara E1 dan E2 adalah :
 

  ( )2 (2.10)

  Persamaan 2,10 ini dikenal sebagai Hukum Kuadrat Terbalik (Inverse Square
Law) untuk cahaya. Hukum Kuadrat Terbalik hanya berlaku untuk sumber cahaya
yang berbentuk titik, atau pada jarak minimal 5 kali dimensi terbesar dari suatu
sumber cahaya. Pada jarak kurang dari 5 kali dimensi terbesar sumber, pendekatan
sumber titik tidak lagi dapat digunakan, dan untuk itu pendekatan sumber garis
atau sumber bidang harus digunakan.

Gambar 2.9 Iluminansi pada bidang yang tidak tegak lurus arah datangnya
cahaya
(http://fisbang.tf.itb.ac.id, 2008)

Pada Gambar 2.9, titik P terletak pada suatu bidang yang normalnya (N)
membentuk sudut sebesar α terhadap arah datangnya cahaya. Misalkan bidang
di mana titik P berada kini diputar sebesar sudut α sehingga menjadi tegak lurus
arah datangnya cahaya, maka iluminansi di titik P mula-mula (EP) memiliki
hubungan dengan iluminansi di titik P setelah bidangnya diputar (EP1).

 
  `20

 
(2.11)
 

 
Persamaan 2.11 disebut “Hukum Cosinus Lambert”. Tetapi persamaan 2.9
mengisyaratkan
  bahwa EP‟ = Iθ/r2 , dengan Iθ adalah intensitas cahaya dari

  sumber (θ adalah sudut arah datangnya cahaya terhadap normal dari sumber)
dan r adalah jarak titik P ke sumber cahaya. Maka:
 

 
(2.12)
 

  Persamaan 2.12 adalah gabungan dari Hukum Kuadrat Terbalik untuk cahaya
dengan Hukum Cosinus Lambert. Persamaan ini juga hanya berlaku untuk
pendekatan sumber titik.

4. Luminansi
Luminansi (L) adalah intensitas cahaya dari suatu permukaan dalam arah
tertentu (Iθ, dalam cd) per satuan luas proyeksi permukaan tersebut jika dilihat
dari arah yang dimaksud (Aθ, dalam m2). Luminansi memiliki satuan cd/m2.

L= (2.13)

Gambar 2.9 Luminansi dari suatu bidang


(http://fisbang.tf.itb.ac.id, 2008)

Misalkan suatu bidang dengan luas penampang A diamati pada sudut θ dari
normal bidang. Maka luas proyeksi bidang tersebut ialah Aθ = A cos θ, yaitu
luas permukaan yang tampak oleh mata. Jika permukaan bidang tersebut

 
  21

 
bersifat difus atau memantulkan cahaya secara merata ke segala arah, maka
 
luminansinya bernilai tetap walaupun diamati dari berbagai arah.
 
5.  Faktor absorbsi
Sebagian dari cahaya yang mengenai sesuatu permukaan akan diserap oleh
 
permukaan itu. Bagian yang diserap ini menimbulkan panas pada permukaan
 
tersebut. Permukaan yang gelap dan buram menyerap banyak cahaya. Bagian
 fluks cahaya yang diserap oleh suatu permukaan ditentukan oleh faktor

 absorbsi (a) permukaan itu :

a= (2.14)

6. Faktor refleksi
Jumlah cahaya yang dipantulkan tidak saja ditentukan oleh mengkilatnya
suatu permukaan, tetapi juga ditentukan oleh sifat-sifat bahan permukaan
tersebut. Permukaan difus kadang-kadang dapat memantulkan lebih banyak
cahaya daripada suatu permukaan yang mengkilat. Bagian fluks cahaya yang
dipantulkan ditentukan oleh faktor refleksi (r) suatu permukaan :

r= (2.15)

7. Faktor transmisi
Bahan-bahan tembus cahaya, seperti berbagai jenis kaca seluloida dan
sebagainya, akan memantulkan atau menyerap sebagian saja dari cahaya yang
mengenainya. Sebagian besar dari cahaya tersebut dapat menembus bahan
tersebut bagian fluks cahaya yang dapat menembus, ditentukan oleh faktor
transmisi (t) suatu bahan :

t= (2.16)

 
  `22

 
Dari persamaan 2.14, 2.15, 2.16 digabungkan dan didapatkan rumus untuk
 
mencari seberapa besar nilai absorsbsi yang di serap, yang dapat dianalisa
 
dengan rumus sebagai berikut :
 
a+r+t=1 (2.17)
 

  8. Eksitansi luminus
 Eksitansi luminus (M) adalah rasio antara fluks luminus yang dipantulkan (Φρ,

 
dalam lumen) atau yang ditransmisikan oleh suatu permukaan (Φττ, dalam
lumen) terhadap luas permukaan (A, dalam m2) yang menerima cahaya
 
tersebut. Eksitansi luminus memiliki satuan lumen/m 2.

M= atau (2.18)

9. Efikasi
Efikasi atau efisiensi luminus adalah rasio antara fluks luminus yang
dihasilkan suatu sumber cahaya listrik (Φ atau F dalam lumen) terhadap daya
listrik yang digunakan sebagai masukan (P, dalam watt). Efikasi memiliki
satuan lumen/watt.

Efikasi = (2.19)

2.6 Tingkat pencahayaan


a. Tingkat cahaya rata-rata (E rata-rata).
Tingkat pencahayaan pada suatu ruangan pada umumnya diartikan sebagai
tingkat pencahayaan pada bidang kerja. Bidang kerja di sini yaitu bidang
horisontal imajiner yang terletak 0,75 meter di atas lantai pada seluruh
ruangan. Tingkat pencahayaan rata-rata E rata-rata (lux), dapat dihitung dengan
persamaan:

E rata-rata = (lux) (2.20)

 
  23

 
Keterangan:
 
Erata-rata : Iluminasi rata-rata (lux)
 
Ftotal : Fluks luminous total dari semua lampu yang menerangi bidang kerja
  (lumen)
  A : Luas bidang kerja (meter²)
Kp : Koefisien penggunaan
 
Kd : Koefisien depresiasi (penyusutan)
 

b.  Koefiseien penggunaan(Kp)
Sebagian dari cahaya yang dipancarkaan oleh lampu diserap oleh armatur,
 
sebagian sebagian dipancarkan ke arah atas dan sebagian lagi dipancarkan ke
arah bawah. Faktor penggunaan didefinisikan sebagai perbandingan antara
fluks luminus yang sampai di bidang kerja terhadap keluaran cahaya yang
dipancarkan oleh semua lampu.
Besarnya koefisien pengguna dipengaruhi oleh beberapa faktor di bawah ini:
1. Distribusi dari cahaya armatur.
2. Perbandingan antara keluaran cahaya dari armatur dengan keluaran
cahaya dari lampu di dalam armatur.
3. Refleksi cahaya dari langit-langit, dinding dan lantai,
4. Pemasangan armatur apakah menempel atau digantung pada langit-
langit.
5. Dimensi ruangan.

Besarnya koefisien pengguna untuk sebuah armatur, bisa diberikan dalam


bentuk tabel yang dikeluarkan oleh pabrik pembuat armatur yang berdasarkan
hasil pengujian dari instansi terkait.
Setiap pabrik atau instansi diharuskan untuk memberikan tabel Kp, karena
tanpa adanya tabel, perancangan pencahayaan tidak dapat dilakukan dengan
baik.

 
  `24

 
c. Koefisien depresi
 
Koefisien depresi bisa disebut juga keofisien rugi-rugi cahaya atau koefisien
 
pemeliharaan, disefinisikan sebagai pembandingan antara tingkat pencahyaan
 setelah jangka waktu tertentu dari instalasi pencahayaan digunakan terhadap

  tingkat pencahyaan pada waktu instalasi baru.


Besarnya koefisiensi depresiasi dipengaruhi oleh:
 
1. Kebersihan dari lampu dan armatur.
 
2. Kebersihan dari permukaan-permukaan ruangan.
  3. Penurunan keluaran cahaya lampu selama waktu penggunaan.
  4. Penurunan keluaran cahaya lampu karena penurunan tegangan listrik.
Besarnya koefisien depresiasi biasanya ditentukan berdasarkan estimasi.
Untuk ruangan dan armatur dengan pemeliharaan yang baik pada umumnya
koefisien depresiasi diambil sebesar 0,8. Jumlah armatur yang diperluakan
untuk mendapatkan tingkat pencahayaan tertentu. Untuk menghitung jumlah
armatur, terlebih dahulu dihitung jumlah flux luminus total yang diperlukan
untuk mendapatkan tingkat pencahayaan yang direncanakan dengan
menggunakan persamaan :

Ftotal = (lumen) (2.21)

Kemudian untuk menghitung jumlah armatur yaitu:

Ntotal = (2.22)

Keterangan:
F1 : fluks luminous satu buah lampu.
n : jumlah lampu dalam satu buah armatur.
d. Iluminasi oleh komponen cahaya langsung.
Iluminasi oleh komponen cahaya langsung pada suatu titik pada bidang kerja
dari sebuah sumber cahaya yang dapat dianggap sebagai sumber cahaya titik,
dapat dihitung dengan menggunakan persamaan berikut:

Ep = (lux) (2.23)

 
  25

 
Keterangan:
 
I : intensitas cahaya pada sudut
 
h : tinggi armatur di atas bidang kerja (meter)
 

Gambar 2.10 Titik penerima komponen langsung dari sumber cahaya titik

Jika terdapat beberapa armatur, maka tingkat pencahayaan tersebut merupakan


penjumlahan dari tingkat pencahayaan yang diakibatkan oleh masing-masing
armatur dan dinyatakan sebagai berikut :

Etotal = Ep1 + Ep2 + Ep3 + ………(lux) (2.24)

2.7 Sistem pencahayaan


Di bawah ini merupakan pengelempokan sistem pencahayaan :
a. Sistem pencahyaan merata.
Sistem pencahyaan ini merupakan tingkatan pecahayaan yang merata di
seluruh ruangan, sistem ini digunakan jika tugas visual dilakukan diseluruh
tempat dalam ruangan dan memerlukan tingkat pencahayaan yang sama.
Tingkat pencahayaan ini dapat diperoleh dengan memasang armatur secara
merata langsung atau diseluruh langit-langit.
b. Sistem pencahayaan setempat
Sistem ini merupakan tingkat pencahayaan yang tidak merata pada tempat
yang diperlukan. Jika tugas visual memerlukan tingkat pencahayaan yang
lebih tinggi, diberikan cahaya yang lebih banyak dibandingkan dengan

 
  `26

 
sekitarnya. Hal ini dapat diperoleh dengan mengkonsentrasikan penempatan
 
armatur di atas tempat tersebut.
 
c. Sistem pencahayaan gabungan antara merata dan setempat.
  Sistem ini didapatkan dengan menambah sistem pencahayaan setempat pada

  sistem pencahyaan merata dengan armatur yang dipasang berdekatan dengan


tugas visual.
 
Sistem pencahayan gabungan ini dinjurkan untuk digunakan pada:
 
1. Tugas visual yang memerlukan tingkat pencahayaan yang tinggi.
  2. Memperlihatkan bentuk dan tekstur yang memerlukan cahaya datang dari

  arah tertentu.
3. Pencahayaan merata terhalang, sehinga tidak sampai pada tempat yang
terhalang tersebut.
4. Tingkat pencahayaan yang lebih tinggi diperlukan untuk orang tua atau
yang kemampuan penglihatannya sudah berkurang.

2.8 Distribusi luminasi


Distribusi luminansi didalam medan penglihatan harus diperhatikan sebagai
pelengkap keberadaan nilai tingkat pencahayaan di dalam ruangan. Hal penting
yang harus diperhatikan pada distribusi luminansi adalah sebagai berikut :
a. Rentang luminasi permukaan langit-langit dan dinding.
b. Distribusi luminansi bidang kerja.
c. Nilai maksimum luminansi armatur (untuk menghindari kesilauan).
Skala luminansi untuk pencahayaan interior dapat dilihat pada gambar di bawah
ini:

 
  27

 
Gambar 2.11 Skala luminansi untuk pencahayaan interior.
  (SNI 03-6575-2001)

2.8.1 Luminasi permukaan dinding


Luminansi permukaan dinding tergantung pada luminansi obyek dan tingkat
pencahayaan merata di dalam ruangan. Untuk tingkat pencahayaan ruangan antara
500 ~ 2000 lux, maka luminansi dinding yang optimum adalah 100 candela/m2.
Ada 2 (dua) cara pendekatan untuk mencapai nilai optimum ini, yaitu :
a. Nilai reflektansi permukaan dinding ditentukan, tingkat pencahayaan
vertikal dihitung.
b. Tingkat pencahayaan vertikal diambil sebagai titik awal dan reflektansi
yang diperlukan dihitung.
Nilai tipikal reflektansi dinding yang dibutuhkan untuk mencapai luminansi
dinding yang optimum adalah antara 0,5 dan 0,8 untuk tingkat pencahayaan rata-
rata 500 lux, dan antara 0,4 dan 0,6 untuk 1.000 lux.

2.8.2 Luminasi permukaan langit-langit


Luminansi langit-langit adalah fungsi dari luminansi armatur, seperti yang
ditunjukkan pada gambar grafik. Dari grafik ini terlihat jika luminansi armatur
kurang dari 120 candela/m2 maka langit-langit harus lebih terang dari pada terang
armatur. Nilai untuk luminansi langit-langit tidak dapat dicapai dengan hanya
menggunakan armatur yang dipasang masuk ke dalam langit-langit sedemikian
hingga langit-langit akan diterangi hampir selalu dari cahaya yang direfleksikan
dari lantai.

 
  `28

  500

 
200
 

  Gambar grafik 2.12 Luminansi langit-langit terhadap Luminansi armatur


(SNI 03-6575-2001)
 

2.9 Distribusi Luminansi Bidang Kerja.


Untuk memperbaiki kinerja penglihatan pada bidang kerja maka luminansi
sekeliling sebuah bidang kerja harus lebih rendah dari luminansi bidang kerjanya,
tetapi tidak kurang dari sepertiganya. Kinerja penglihatan dapat diperbaiki jika
ada tambahan kontras warna.

2.10 Berbagai macam cermin


2.10.1 Cermin datar
Pada permukaan yang datar, sinar yang dipantulkan akan membentuk pola yang
teratur. Sinar-sinar sejajar yang datang akan dipantulkan dalam bentuk yang
sejajar pula. Lihat gambar berikut :

Gambar 2.13 Pemantulan cermin datar


Sebuah cermin yang permukaannya datar sempurna disebut cermin datar. Hal
yang paling penting dalam melukis sebuah cermin adalah :

 
  29

 
1. Sinar selalu berasal dari sisi depan cermin dan dipantulkan kembali ke sisi
 
depan.
 
2. Bayangan nyata terbentuk oleh perpotongan langsung sinar-sinar pantul
  (dilukis sebagai garis utuh), sedang bayangan maya (tidak nyata) dibentuk
  oleh perpotongan perpanjangan sinar pantul.

 
2.10.2 Cermin cekung
a.   Pemantulan pada Cermin Cekung
  Tidak semua pemukaan cermin berupa bidang datar. Ada juga cermin yang
permukaannya melengkung, seperti cermin cekung dan cermin cembung. Cermin
 
cekung merupakan cermin yang permukaannya melengkung ke arah dalam.
contoh yang hampir mirip dengan cermin cekung, yaitu pada permukaan sendok.
Pada cermin cekung terdapat beberapa titik penting, yaitu titik fokus (F), titik
pusat kelengkungan (C), dan titik pusat optik (A). Pada cermin cekung, jarak
antara titik pusat optic terhadap titik pusat kelengkungan dinamakan jari-jari
kelengkungan (R), dan nilainya positif. Panjang jari-jari kelengkungan cermin
cekung adalah 2 kali panjang jarak fokus.
Pembentukan bayangan pada cermin cekung dapat digambarkan oleh tiga sinar
istimewa. Yaitu:
1. Sinar 1: Sinar yang datang sejajar dengan sumbu utama cermin
dipantulkan melalui titik fokus.

Gambar 2.14 Sinar istimewa


(http://blog.codingwear.com)

 
  `30

 
2. Sinar 2: Sinar yang datang melalui titik titik fokus dipantulkan sejajar
 
dengan sumbu cermin.
 

 
Gambar 2.15 Sinar istimewa
  (http://blog.codingwear.com)

  3. Sinar 3: Sinar yang datang melalui tiitk pusat kelengkungan cermin


dipantulkan kembali sepanjang jalan yang sama pada saat datang.

Gambar 2.16 Sinar istimewa


(http://blog.codingwear.com)

2.10.3 Reflektor Parabola


Sebuah reflektor parabola (atau piring atau cermin) adalah perangkat
reflektif digunakan untuk mengumpulkan atau memproyeksikan energi seperti
cahaya, suara, atau gelombang radio. Bentuknya seperti parabola yang melingkar,
yaitu, permukaan yang dihasilkan oleh parabola berputar di sekitar porosnya.
Reflektor parabola mengubah gelombang pesawat masuk perjalanan sepanjang
sumbu menjadi gelombang berbentuk bola konvergen menuju fokus. Sebaliknya,
gelombang berbentuk bola yang dihasilkan oleh sumber titik ditempatkan di fokus
berubah menjadi gelombang bidang merambat sebagai proses pengubahan sorot
berkas cahaya (sinar) yang berpencar menjadi berkas sejajar sepanjang sumbu.

 
  31

 
Gambar 2.17 Titik refleksi parabola
 
(Gregorian telescope, 1663)

  Lengkungan parabola yang menunjukkan direktriks (L) dan fokus (F). Jarak dari
suatu titik tertentu Pn untuk fokusnya adalah selalu sama dengan jarak dari Pn-Qn
ke titik tepat di bawah, di direktriks tersebut.

Gambar 2.18 Titik refleksi pada parabola


(Gregorian telescope, 1663)

Lengkungan parabola yang menunjukkan garis sewenang-wenang (L), fokus (F),


dan titik (V). L adalah tegak lurus garis sewenang-wenang terhadap sumbu simetri
dan sebaliknya fokus parabola dari titik (yaitu jauh dari V daripada dari F).
Panjang dari setiap baris F - Pn - Qn adalah sama. Hal ini mirip dengan
mengatakan bahwa parabola adalah elips, tetapi dengan satu titik fokus di tak
terhingga. Kita sekarang melihat situasi yang lebih praktis di mana kita mengenal
dimensi piring dan kita ingin mencari jarak fokus yang memberikan posisi relatif
fokus ke posisi piring sebagai swown pada gambar di bawah.

 
  `32

 
Gambar 2.19 Penentuan titik fokus pada parabola
  (Book Optica Promota, 1663)

  D adalah diameter piringan, d adalah kedalaman piring dan f adalah jarak fokus.
Poin-poin (D / 2, d) dan (-D / 2, d) berada pada parabola, maka

d = (D / 2) 2 / 4f (2.25)
yang memberikan hubungan antara D diameter, d = kedalaman dan f = jarak
fokus piring.

f = D2 / 16d (2.26)
Rumus di atas membantu dalam memposisikan feed dari antena parabola karena
memberikan f ( jarak fokus). Tentu saja dalam praktek bentuk piringan parabola
tidak sempurna dan oleh karena itu penyesuaian kecil diperlukan ketika posisi
feed. Reflektor parabola digunakan untuk mengumpulkan energi dari sumber yang
jauh (misalnya untuk gelombang suara atau cahaya bintang masuk) dan
membawanya ke titik fokus yang umum, sehingga mengoreksi penyimpangan
bola ditemukan di reflektor bola sederhana. Karena prinsip-prinsip refleksi adalah
reversibel, reflektor parabola juga dapat digunakan untuk memproyeksikan energi
dari sumber di luar fokus dalam balok paralel, digunakan pada perangkat seperti
lampu sorot dan lampu mobil.
D adalah diameter piringan, d adalah kedalaman piring dan f adalah jarak
“fokus”. Fungsi reflektor parabola karena sifat geometris dari bentuk
paraboloidal: jika sudut datang ke permukaan dalam dari kolektor sama dengan
sudut refleksi, maka setiap sinar masuk yang sejajar dengan sumbu piring akan
tercermin ke pusat titik, atau "fokus". Karena banyak jenis energi dapat tercermin

 
  33

 
dalam cara ini, reflektor parabola dapat digunakan untuk mengumpulkan dan
 
memusatkan energi memasuki reflektor pada sudut tertentu. Demikian pula,
 
energi radiasi dari "fokus" untuk hidangan dapat dikirim ke luar dalam sinar yang
sejajar
  dengan sumbu piring.

  Berbeda dengan reflektor bola, yang menderita penyimpangan bola yang


menjadi lebih kuat sebagai rasio dari diameter balok dengan jarak fokus menjadi
 
lebih besar, reflektor parabola dapat dibuat untuk menampung sinar lebar apapun.
 
Namun, jika sinar yang masuk membuat sudut bukan nol dengan sumbu (atau jika
 
sumber titik memancarkan tidak ditempatkan di fokus), reflektor parabola
  menderita kelainan yang disebut koma. Hal ini terutama kepentingan dalam
teleskop karena kebanyakan aplikasi lain tidak memerlukan resolusi yang tajam
dari sumbu parabola.
Prinsip reflektor parabola telah dikenal sejak jaman dahulu, ketika
“Mathematician Diocles” mereka menggambarkan dalam bukunya On Mirror
Pembakaran dan mereka membuktikan bahwa fokus sinar sejajar dengan titik.
“Archimedes” di abad ketiga SM dipelajari paraboloids sebagai bagian dari studi
tentang keseimbangan hidrostatik, dan telah menyatakan bahwa ia menggunakan
reflektor untuk mengatur armada Romawi turun selama Pengepungan Syracuse.
Hal ini tampaknya tidak mungkin benar, namun, seperti klaim tidak muncul dalam
sumber-sumber sebelum abad ke-2, dan Diocles tidak menyebutkan dalam
bukunya. Parabolic mirror juga dipelajari oleh” physicistIbnSahl” pada abad 10.
“James Gregory” tahun 1663 bukunya OpticaPromota (1663), menunjukkan
bahwa teleskop refleksi dengan cermin parabola yang akan mengoreksi aberasi
sferis serta chromatic aberration terlihat pada pembiasan teleskop. Desain ia
datang dengan menyandang namanya: yang "Gregorian teleskop", tetapi menurut
pengakuannya sendiri, “Gregory” tidak memiliki keterampilan praktis dan ia tidak
bisa menemukan kacamata yang mampu benar-benar membangun satu. “Isaac
Newton” tahu tentang sifat-sifat cermin parabola tapi memilih bentuk bola untuk
cermin “Teleskop Newtonian“ untuk menyederhanakan konstruksi. Mercusuar
juga biasa digunakan cermin parabolik untuk collimate titik cahaya dari lentera ke
balok, sebelum digantikan oleh lensa fresnel lebih efisien dalam abad 19.

 
  `34

 
Pembiasan
 
Pembiasan cahaya merupakan pembelokan gelombang cahaya yang disebabkan
 
adanya perubahan kelajuan gelombang cahaya ketika cahaya merambat melalui
dua  zat yang indeks biasnya berbeda. Dengan demikian, pembiasan cahaya ini
  sangat ditentukan oleh indeks bias bahannya.

  a. Indeks bias medium


Indeks
  bias suatu zat merupakan perbandingan cepat rambat cahaya pada udara
dengan
  cepat rambat cahaya pada medium lain. Semakin besar indeks bias suatu
benda, semakin besar cahaya dibelokan oleh zat tersebut. Dalam spectrum cahaya
 
tampak, panjang gelombang cahaya beragam dari gelombang merah dengan
panjang gelombang merah yang terpanjang sampai panjang gelombang ungu yang
terpendek.
Tabel 2.3 Indeks bias beberapa zat
(http://e-dukasi.net, 2010)

Nama zat N Nama zat N

Udara 1,00029 Gliserin 1,48


(0°c, 76 cmHg)
Hydrogen 1,00013 Balsam kanada 1,53
(0°c, 76 cmHg)
Karbondioksida 1,00045 Karbondisulfida 1,62
Air 1,33 Kaca kuarsa 1,45
Etanol 1,36 Kaca korona 1,53
Benzene 1,50 Kaca flinta 1,58

b. Hukum pembiasan
Sinar datang dari udara dibiaskan dalam kaca mendekati garis normal. Demikian
pula ketika sinar keluar dari kaca menuju udara, sinar dibiaskan kembali. Bila
besar sudut datangnya sinar diubah-ubah, maka besar sudut sinar bias pun akan
berubah. “Perbandingan proyeksi sinar datang dan sinar bias ternyata merupakan
bilangan yang tetap”. Orang pertama yang menemukan bahwa terdapat
perbandingan yang tetap antara proyeksi sinar datang dengan proyeksi sinar bias
adalah seorang ilmuwan Belanda yang bernama Willebrord Snell. Oleh karena itu,

 
  35

 
pernyataan tersebut dinamakan hukum Snell, atau lebih dikenal dengan hukum
 
Snellius. Hukum Snellius atau hukum pembiasan menyatakan bahwa:
 
1. Sinar datang, sinar bias, dan garis normal terletak pada satu bidang datar
  dan ketiganya berpotongan di satu titik.
  2. Apabila sinar melalui dua medium yang berbeda, maka hubungan sinar
datang, sinar bias, dan indeks bias medium dinyatakan oleh persamaan.
 

Hukum
  Snellius I
Adapun
  bunyi Hukum Snellius I adalah :
“Jika suatu cahaya melalui perbatasan dua jenis zat cair, maka garis semula
 
tersebut adalah garis sesudah sinar itu membias dan garis normal dititik biasnya,
ketiga garis tersebut terletak dalam satu bidang datar.”.

Gambar 2.20 Hukum snellius I


(http://www.agilegeoscience.com, 2011)

 
  `36

 
Hukum Snellius II
 
Adapun bunyi Hukum Snellius II adalah :
 
“Perbandingan sinus sudut datang dengan sinus sudut bias selalu konstan”. Nilai
konstanta
  dinamakan indeks bias (n).”
 

Gambar 2.21 Pembelokan pada pembiasan


(http://www.agilegeoscience.com, 2011)

= (2.27)
v =λ.f (2.28)
keterangan:
sin i : sudut yang terbentuk oleh sinar datang
sin r : sudut yang terbentuk oleh sinar bias
n 1 : indeks bias medium 1 ( N )
n 2 : indeks bias medium 2 ( N )
v : cepat rambat (m/s)
λ : panjang gelombang (m)
f : frekuensi (Hz)
Frekuensi tidak mengalami perubahan saat melalui 2 medium yang berbeda indeks
biasnya.

 
  37

 
2.11 Konversi Energi pada cermin
 
Cahaya matahari yang dijadikan sebagai media pembelokan sinar.
 
Mengalami kejadian seperti Absorbsi, Refleksi dan Transmisi. Dari faktor-faktor
tersebut
  menjadi sebuah pertimbangan pemanfaatan fungsi dari cermin. Absorbsi
  salah satunya, ialah faktor yang menyebabkan munculnya selisih dari setiap
pemantulan yang terjadi. Faktor tersebut berpengaruh terhadap penelitian yang
 
dilakukan saat ini, karena terjadi proses penyerapan energi disetiap pemantulan
 
cahaya matahari. Terjadi pula perubahan bentuk energi cahaya matahari menjadi
 
energi panas yang berubah pada cermin yang digunakan sebagai Reflektor.
  Perubahan energi itu bergantung pada Kalor jenis benda yang digunakan sebagai
mediasi. Faktor lain untuk menentukan besarnya panas yang diterima pada suatu
zat adalah sebagai berikut.
Keterangan :
c : Kalor jenis
Q : Kalor (Joule)
m : Massa benda (Kg)
ΔT : Perubahan suhu = Suhu akhir (ΔT2) – Suhu awal (ΔT1). (Kelvin)
1 Joule = 0,24 kkal
1 Joule = 1 watt second

Dan diturunkan dalam rumus :


c= (2.29)

c=

Sebagai acuan nilai kalor jenis benda telah ditetapkan nilainya dan tertera pada
tabel di bawah ini :

 
  `38

 
Tabel 2.4 Kalor jenis benda ( pada tekanan 1 atm dan suhu20oC )
  (http://e-dukasi.net, 2010)
  Jenis Benda Kalor Jenis (c)
 
J/KgoC Kkal/kgCo
Air 4.180 1,00
  Alkohol (Ethyl) 2.400 0,57
Es 2.100 0,50
  Kayu 1.700 0,40
Alumunium 900 0,22
  Marmer 860 0,20
Kaca 840 0,20
 
Besi/Baja 450 0,11
  Tembaga 390 0,093
Perak 230 0,056
Raksa 140 0,034
Timah Hitam 130 0,031
Emas 126 0,031

2.12 Teori perhitungan Tarif Dasar Listrik 2010


Berdasarkan TDL 2010, perhitungan beban pembayaran yang dibayar oleh
pelanggan dapat terhitung dan terurai jelas dengan perhitungan sebagai berikut :
1. TDL = Jumlah Beban x Jam Nyala x Rp.790 (Tarif R1-TR)
2. Pajak = Pajak penerangan 3% kWh pemakaian x Rp 790 (Tarif R1-TR)
3. Pembayaran tagihan perbulan = TDL + pajak (3% dari besar kWh pakai)
4. Pembayaran tagihan listrik dalam setahun = tagihan perbulan x 12 bulan
5. Pembayaran tagihan listrik dalam 10 tahun = Pembayaran listrik dalam
satu tahun x 10 tahun

Anda mungkin juga menyukai