Anda di halaman 1dari 32

ARDS (Acute respiratory distress syndrome)

Diposting oleh jovi ardan di 18.11

1.      DEFINISI 
Gagal nafas akut /ARDS adalah ketidakmampuan sistem pernafasan untuk
mempertahankan oksigenasi darah normal (PaO2), eliminasi karbon dioksida (PaCO2) dan pH
yang adekuat disebabkanoleh masalah ventilasi difusi atau perfusi (Susan Martin T, 1997)
        Gagal nafas akut/ARDS adalah kegagalan sistem pernafasan untuk mempertahankan
pertukaran oksigen dankarbondioksida dalam jumlah yangdapat mengakibatkan gangguan pada
kehidupan (RS Jantung “Harapan Kita”, 2001)
Gagal nafas akut/ARDS terjadi bilamana pertukaran oksigen terhadap karbondioksida
dalam paru-paru tidak dapat memelihara laju komsumsioksigen dan pembentukan karbon
dioksida dalam sel-sel tubuh. Sehingga menyebabkan tegangan oksigen kurang dari 50 mmHg
(Hipoksemia) dan peningkatan tekanan karbondioksida lebih besar dari 45 mmHg (hiperkapnia).
(Brunner & Sudarth, 2001)
Dari pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa ARDS ( Gagal nafas Akut ) merupakan
ketidakmampuan atau kegagalan sitem pernapasan oksigen dalam darah sehingga pertukaran
oksigen terhadap karbondioksida dalam paru - paru tidak dapat memelihara laju konsumsi
oksigen dan pembentukan karbondioksida dalam sel –sel tubuh.sehingga tegangan oksigen
berkurang dan akan peningkatan karbondioksida akan menjadi lebih besar.

2.      ETIOLOGI
1.      Depresi Sistem saraf pusat
Mengakibatkan gagal nafas karena ventilasi tidak adekuat. Pusat pernafasan yang
menngendalikan pernapasan, terletak dibawah batang otak (pons dan medulla) sehingga
pernafasan lambat dan dangkal.
2.      Kelainan neurologis primer
Akan memperngaruhi fungsi pernapasan. Impuls yang timbul dalam pusat pernafasan menjalar
melalui saraf yang membentang dari batang otak terus ke saraf spinal ke reseptor pada otot-otot
pernafasan. Penyakit pada saraf seperti gangguan medulla spinalis, otot-otot pernapasan atau
pertemuan neuromuslular yang terjadi pada pernapasan akan sangatmempengaruhiventilasi.
3.       Efusi pleura, hemotoraks dan pneumothoraks
Merupakan kondisi yang mengganggu ventilasi melalui penghambatan ekspansi paru. Kondisi
ini biasanya diakibatkan penyakti paru yang mendasari, penyakit pleura atau trauma dan cedera
dan dapat menyebabkan gagal nafas.
4.      Trauma
Disebabkan oleh kendaraan bermotor dapat menjadi penyebab gagal nafas. Kecelakaan yang
mengakibatkan cidera kepala, ketidaksadaran dan perdarahan dari hidung dan mulut dapat
mnegarah pada obstruksi jalan nafas atas dan depresi pernapasan. Hemothoraks, pnemothoraks
dan fraktur tulang iga dapat terjadi dan mungkin meyebabkan gagal nafas. Flail chest dapat
terjadi dan dapat mengarah pada gagal nafas. Pengobatannya adalah untuk memperbaiki patologi
yang mendasar.
5.      Penyakit akut paru
Pnemonia disebabkan oleh bakteri dan virus. Pnemonia kimiawi atau pnemonia diakibatkan oleh
mengaspirasi uap yang mengritasi dan materi lambung yang bersifat asam. Asma bronkial,
atelektasis, embolisme paru dan edema paru adalah beberapa kondisi lain yang menyababkan
gagal nafas.

3.      PATOFISIOLOGI
Gagal nafas ada dua macam yaitu gagal nafas akut dan gagal nafas kronik dimana masing
masing mempunyai pengertian yang bebrbeda. Gagal nafas akut adalah gagal nafas yang timbul
pada pasien yang parunyanormal secara struktural maupun fungsional sebelum awitan penyakit
timbul. Sedangkan gagal nafas kronik adalah terjadi pada pasien dengan penyakit paru kronik
seperti bronkitis kronik, emfisema dan penyakit paru hitam (penyakit penambang
batubara).Pasien mengalalmi toleransi terhadap hipoksia dan hiperkapnia yang memburuk secara
bertahap. Setelah gagal nafas akut biasanya paru-paru kembali kekeasaan asalnya. Pada gagal
nafas kronik struktur paru alami kerusakan yang ireversibel. 
Indikator gagal nafas telah frekuensi pernafasan dan kapasitas vital, frekuensi penapasan
normal ialah 16-20 x/mnt. Bila lebih dari20x/mnt tindakan yang dilakukan memberi bantuan
ventilator karena “kerja pernafasan” menjadi tinggi sehingga timbul kelelahan. Kapasitasvital
adalah ukuran ventilasi (normal 10-20 ml/kg).
Gagal nafas penyebab terpenting adalah ventilasi yang tidak adekuatdimana terjadi
obstruksi jalan nafas atas. Pusat pernafasan yang mengendalikan pernapasan terletak di bawah
batang otak (pons dan medulla).
Pada kasus pasien dengan anestesi, cidera kepala, stroke, tumor otak, ensefalitis,
meningitis, hipoksia dan hiperkapnia mempunyai kemampuan menekan pusat pernafasan.
Sehingga pernafasan menjadi lambat dan dangkal. Pada periode postoperatif dengan anestesi bisa
terjadi pernafasan tidak adekuat karena terdapat agen menekan pernafasan denganefek yang
dikeluarkanatau dengan meningkatkan efek dari analgetik opiood. Pnemonia atau dengan
penyakit paru-paru dapat mengarah ke gagal nafas akut.
4.      MANIFESTASI KLINIS
Gejala klinis utama pada kasus ARDS :
1.Peningkatan jumlah pernapasan
2. Klien mengeluh sulit bernapas, retraksi dan sianosis
3. Pada Auskultasi mungkin terdapat suara napas tambahan
4.Penurunan kesadaran mental
5. Takikardi, takipnea
6.Dispnea dengan kesulitan bernafas
7. Terdapat retraksi interkosta
8. Sianosis
9. Hipoksemia
10. Auskultasi paru : ronkhi basah, krekels, stridor, wheezing
11. Auskultasi jantung : BJ normal tanpa murmur atau gallop                
5.      PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
a.       Pemeriksaan laboratorium 
1.      Pemeriksaan fungsi ventilasi
a. Frekuensi pernafasan per menit
b. Volume tidal (TV)= ins dan eks (500ml), cadangan ins (IRV) = 300 ml, cadangan Eks (ERV)
1100 ml. Residu dalam (VR) dalam paru setelah eks.
c. Ventilasi semenit
d. Kapasitas vital paksa
e. Volume ekspirasi paksa dalam 1 detik
f. Daya inspirasi maksimum
g. Rasio ruang mati/volume tidal .
h. PaCO2, mmHg
2. Pemeriksaan status oksigen
3. Pemeriksaan status asam-basa
4. Arteri gas darah (AGD) menunjukkan penyimpangan dari nilai normal pada PaO2, PaCO2,
dan pH dari pasien normal; atau PaO2 kurang dari 50 mmHg, PaCO2 lebih dari 50 mmHg, dan
pH < 7,35.
5. Oksimetri nadi untuk mendeteksi penurunan SaO2
6. Pemantauan CO2 tidal akhir (kapnografi) menunjukkan peningkatan
7. Hitung darah lengkap, serum elektrolit, urinalisis dan kultur (darah, sputum) untuk
menentukan penyebab utama dari kondisi pasien.
8. Sinar-X dada dapat menunjukkan penyakit yang mendasarinya.
9. EKG, mungkin memperlihatkan bukti-bukti regangan jantung di sisi kanan, disritmia.
                  b. Pemeriksaan hasil Analisa Gas Darah :
1. Hipoksemia ( pe ↓ PaO2 ) 2. Hipokapnia ( pe ↓ PCO2 ) pada tahap awal karena hiperventilasi
2. Hiperkapnia ( pe ↑ PCO2 ) menunjukkan gagal ventilasi
3. Alkalosis respiratori ( pH > 7,45 ) pada tahap dini
4.Asidosis respiratori / metabolik terjadi pada tahap lanjut
                 
                  c Pemeriksaan Rontgent Dada :
1.Tahap awal ; sedikit normal, infiltrasi pada perihilir paru
2.Tahap lanjut ; Interstisial bilateral difus pada paru, infiltrate di alveoli
                  d. Tes Fungsi paru :
1.Pe ↓ komplain paru dan volume paru
2. Pirau kanan-kiri meningkat
6.      PENATALAKSANAAN ARDS
• Terapi oksigen
Pemberian oksigen kecepatan rendah : masker Venturi atau nasal prong
• Ventilator mekanik dengan tekanan jalan nafas positif kontinu (CPAP) atau PEEP
• Inhalasi nebulizer
• Fisioterapi dada
• Pemantauan hemodinamik/jantung
• Pengobatan Brokodilator Steroid
• Dukungan nutrisi sesuai kebutuhan
7.      KOMPLIKASI
Menurut Hudak & Gallo ( 1997 ), komplikasi yang dapat terjadi pada ARDS adalah :
- Abnormalitas obstruktif terbatas ( keterbatasan aliran udara )
- Defek difusi sedang
- Hipoksemia selama latihan
- Toksisitas oksigen
- Sepsis 

A.DEFINISI GAGAL NAPAS


Gagal nafas adalah ketidakmampuan tubuh dalam mempertahankan tekanan parsial
normal O2 dan atau CO2 didalam darah.
Gagal nafas adalah suatu kegawatan yang disebabkan oleh gangguan pertukaran
oksigen dan karbondioksida, sehingga sistem pernafasan tidak mampu memenuhi
metabolisme tubuh. Kegagalan pernafasan adalah pertukaran gas yang tidak adekuat
sehingga terjadi hipoksia, hiperkapnia (peningkatan konsentrasi karbon dioksida
arteri), dan asidosis.
Ventilator adalah suatu alat yang digunakan untuk membantu sebagian atau seluruh
proses ventilasi untuk mempetahankan oksigenasi.
B. KLASIFIKASI

Berdasarkan penyebab organ yang terganggu dapat dibagi menjadi 2, yaitu:


1)      Kardiak
Gangguan gagal nafas bisa terjadi akibat adanya penurunan PaO2 dan peningkatan
PaCO2 akibat jauhnya jarak difusi akibat edema paru. Edema paru ini terjadi akibat
kegagalan jantung untuk melakukan fungsinya sehinmgga terjadi peningkatan
perpindahan cairan dari vaskuler ke interstitial dan alveoli paru. Terdapat beberapa
penyakit kardiovaskuler yang mendorong terjadinya disfungsi miokard dan peningkatan
LVEDV dan LVEDP yang menyebabkan mekanisme backward-forward sehingga terjadi
peningkatan tekanan hidrostatik kapiler paru, cairan berpindah ke interstitial – alveolar
paru dan terjadilah edema paru.
a)   Penyakit yang menyebabkan disfungsi miokard : infark miokard, kardiomiopati, dan
miokarditis
b)   Penyakit yang menyebabkan peningkatan LVEDV dan LVEDP :
·   Meningkatkan beban tekanan : aorta stenosis, hipertensi, dan Coartasio Aorta
·   Meningkatkan volume : mitral insufisiensi, aorta insufisiensi. ASD dan VSD
·    Hambatan pengisian ventrikel : mitral stenosis, dan trikuspidal insufisiensi
2)      Nonkardiak
Terutama terjadi gangguan di bagian saluran pernafasan atas dan bawah serta proses
difusi. Hal ini bisa disebabkan oleh beberapa hal seperti adanya obstruksi, emfisema,
atelektasis, pneumothorax, ARDS dan lain.lain.
Gagal nafas ada dua macam yaitu gagal nafas akut dan gagal nafas kronik dimana
masing masing mempunyai pengertian yang berbeda.
1.      Gagal nafas akut adalah gagal nafas yang timbul pada pasien yang
parunyanormal secara struktural maupun fungsional sebelum awitan penyakit timbul.
2.      Gagal nafas kronik adalah terjadi pada pasien dengan penyakit paru kronik
seperti bronkitis kronik, emfisema dan penyakit paru hitam (penyakit penambang
batubara).
C.ETIOLOGI GAGAL NAPAS

1. Penyebab sentral
a.Trauma kepala : contusio cerebri
b.Radang otak : encephalitis
c.Gangguan vaskuler : perdarahan otak , infark otak
d.Obat-obatan : narkotika, anestesi
2.Penyebab perifer
a.Kelainan neuromuskuler : GBS, tetanus, trauma cervical, muscle relaxans
b.Kelainan jalan nafas : obstruksi jalan nafas, asma bronchiale
c.Kelainan di paru : edema paru, atelektasis, ARDS
d.Kelainan tulang iga/thoraks: fraktur costae, pneumo thorax, haematothoraks
e.Kelainan jantung : kegagalan jantung kiri
1.Faktor predisposisi
Terjadinya gagal napas pada bayi dan anak dipengaruhi oleh beberapa faktor yang
berbeda dengan orang dewasa, yaitu :
a.Struktur anatomi
1).Dinding dada
Dinding dada pada bayi dan anak masih lunak disertai insersi tulang iga yang kurang
kokoh, letak iga lebih horisontal dan pertumbahan otot interkostal yang belum
sempurna, menyebabkan pergerakan dinding dada terbatas.
2).Saluran pernapasan
Pada bayi dan anak relatif lebih besar dibandingkan dengan dewasa. Besar trakea
neonatus 1/3 dewasa dan diameter bronkiolus ½ dewasa, sedangkan ukuran tubuh
dewasa 20 kali neonatus. Akan tetapi bila terjadi sumbatan atau pembengkakan 1 mm
saja, pada bayi akan menurunkan luas saluran pernafasan 75 %. 3).Alveoli
Jaringan elastis pada septum alveoli merupakan ‘ elastic recoil ’ untuk mempertahankan
alveoli tetap terbuka. Pada neonatus alveoli relatif lebih besar dan mudah kolaps.
Dengan makin besarnya bayi, jumlah alveoli akan bertambah sehingga akan menambah
‘ elastic recoil’.
b.Kerentangan terhadap infeksi
Bayi kecil mudah terkena infeksi berat seperti pneumonia, pada anak kerentangan
terhadap infeksi traktus respiratorius merupakan faktor predisposisi gagal napas.
c.Kelainan konginetal
Kelainan ini dapat mengenai semua bagian sistem pernafasan atau organ lain yang
berhubungan dengan alat pernafasan.
d.Faktor fisiologis dan metabolik
Kebutuhan oksigen dan tahanan jalan nafas pada bayi lebih besar daripada dewasa. Bila
terjadi infeksi, metabolisme akan meningkat mengakibatkan kebutuhan oksigen
meningkat. Kebutuhan oksigen tersebut di capai dengan menaikkan usaha pernafasan,
dengan akibat pertama adalah kehilangan kalori dan air; Kedua dibutuhkan kontraksi
otot pernafasan yang sempurna. Karena pada bayi dan anak kadar glikogen rendah,
maka dengan cepat akan terjadi penimbunan asam organik sebagai hasil metabolisme
anaerib akibatnya terjadi asidosis.
D.PATOFISIOLOGI GAGAL NAPAS

Gagal nafas ada dua macam yaitu gagal nafas akut dan gagal nafas kronik dimana
masing masing mempunyai pengertian yang bebrbeda. Gagal nafas akut adalah gagal
nafas yang timbul pada pasien yang parunyanormal secara struktural maupun
fungsional sebelum awitan penyakit timbul. Sedangkan gagal nafas kronik adalah
terjadi pada pasien dengan penyakit paru kronik seperti bronkitis kronik, emfisema dan
penyakit paru hitam (penyakit penambang batubara).Pasien mengalalmi toleransi
terhadap hipoksia dan hiperkapnia yang memburuk secara bertahap. Setelah gagal
nafas akut biasanya paru-paru kembali kekeasaan asalnya. Pada gagal nafas kronik
struktur paru alami kerusakan yang ireversibel.
Indikator gagal nafas telah frekuensi pernafasan dan kapasitas vital, frekuensi
penapasan normal ialah 16-20 x/mnt. Bila lebih dari20x/mnt tindakan yang dilakukan
memberi bantuan ventilator karena “kerja pernafasan” menjadi tinggi sehingga timbul
kelelahan. Kapasitasvital adalah ukuran ventilasi (normal 10-20 ml/kg).
Gagal nafas penyebab terpenting adalah ventilasi yang tidak adekuatdimana terjadi
obstruksi jalan nafas atas. Pusat pernafasan yang mengendalikan pernapasan terletak di
bawah batang otak (pons dan medulla). Pada kasus pasien dengan anestesi, cidera
kepala, stroke, tumor otak, ensefalitis, meningitis, hipoksia dan hiperkapnia
mempunyai kemampuan menekan pusat pernafasan. Sehingga pernafasan menjadi
lambat dan dangkal. Pada periode postoperatif dengan anestesi bisa terjadi pernafasan
tidak adekuat karena terdapat agen menekan pernafasan denganefek yang
dikeluarkanatau dengan meningkatkan efek dari analgetik opiood. Pnemonia atau
dengan penyakit paru-paru dapat mengarah ke gagal nafas akut.
Pada pernafasan spontan inspirasi terjadi karena diafragma dan otot intercostalis
berkontraksi, rongga dada mengembang dan terjadi tekanan negatif sehingga aliran
udara masuk ke paru, sedangkan fase ekspirasi berjalan secara pasif .
Pada pernafasan dengan ventilasi mekanik, ventilator mengirimkan udara dengan
memompakan ke paru pasien, sehingga tekanan selama inspirasi adalah positif dan
menyebabkan tekanan intra thorakal meningkat. Pada akhir inspirasi tekanan dalam
rongga thoraks paling positif.
Terdapat 2 mekanisme dasar yang mengakibatkan kegagalan pernafasan yaitu obstruksi
saluran nafas dan konsolidasi atau kolaps alveolus. Apabila seorang anak menderita
infeksi saluran nafas maka akan terjadi :
1.Sekresi trakeobronkial bertambah
2.Proses peradangan dan sumbatan jalan nafas
3.aliran darah pulmonal bertambah
4.‘metabolic rate’ bertambah
Akibat edema mukosa, lendir yang tebal dan spasme otot polos maka lumen saluran
nafas berkurang dengan hebat. Hal ini mengakibatkan terperangkapnya udara dibagian
distal sumbatan yang akan menyebabkan gangguan oksigenasi dan ventilasi. Gangguan
difusi dan retensi CO2 menimbulkan hipoksemia dan hipercapnea, kedua hal ini
disertai kerja pernafasan yang bertambah sehingga menimbulkan kelelahan dan
timbulnya asidosis. Hipoksia dan hipercapnea akan menyebabkan ventilasi alveolus
terganggu sehingga terjadi depresi pernafasan, bila berlanjut akan menyebabkan
kegagalan pernafasan dan akirnya kematian.
Hipoksemia akan menyebabkan vasokontriksi pembuluh darah pulmonal yang
menyebabkan tahanan alveolus bertambah, akibatnya jantung akan bekerja lebih berat,
beban jantung bertambah dan akirnya menyebabkan gagal jantung.
Akibat bertambahnya aliran darah paru, hipoksemia yang mengakibatkan permiabilitas
kapiler bertambah, retensi CO2 yang mengakibatkan bronkokontriksi dan ‘metabolic
rate’ yang bertambah, terjadinya edema paru. Dengan terjadinya edema paru juga
terjadinya gangguan ventilasi dan oksigenisasi yang akhirnya dapat menimbulkan gagal
nafas.

E.TANDA DAN GEJALA GAGAL NAPAS


Umum : Kelelahan, berkeringat
Respirasi : Wheezing, merintih, menurun/menghilangnya suara napas,
cuping Hidung retraksi, takipnea, bradipnea atau apnea, sianosis.
Kardiovaskuler : Bradikardia atau takikardia hebat, hipotensi/hipertensi,pulsus
Paroksus 12 mmHg, henti jantung.
Serebral : Gelisah, iritabilitas, sakit kepala, kekacauan mental,kesadaran Menurun,
kejang, koma.

F. PEMERIKSAAN FISIK

1. Sirkulasi
·         Tanda : Takikardia, irama ireguler
·         S3S4/Irama gallop
·         Daerah PMI bergeser ke daerah mediastinal
·         Hamman’s sign (bunyi udara beriringan dengan denyut jantung menandakan
udara di mediastinum)
·         TD : hipertensi/hipotensi
·         Nyeri/Kenyamanan
–        Gejala : nyeri pada satu sisi, nyeri tajam saat napas dalam, dapat menjalar ke
leher, bahu dan abdomen, serangan tiba-tiba saat batuk
–        Tanda : Melindungi bagian nyeri, perilaku distraksi, ekspresi meringis
·         Pernapasan
–        Gejala : riwayat trauma dada, penyakit paru kronis, inflamasi paru , keganasan,
“lapar udara”, batuk
–        Tanda : takipnea, peningkatan kerja pernapasan, penggunaan otot asesori,
penurunan bunyi napas, penurunan fremitus vokal, perkusi : hiperesonan di atas area
berisi udara (pneumotorak), dullnes di area berisi cairan (hemotorak); perkusi :
pergerakan dada tidak seimbang, reduksi ekskursi thorak. Kulit : cyanosis, pucat,
krepitasi sub kutan; mental: cemas, gelisah, bingung, stupor.
·         Keamanan
–        Gejala : riwayat terjadi fraktur, keganasan paru, riwayat radiasi/kemoterapi
Penyuluhan/pembelajaran
–        Gejala : riwayat faktor resiko keluarga dengan tuberkulosis, kanker.
G.PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pengenalan dini gagal nafas sulit diketahui secara klinis, pemeriksaan laboratorium
yang terpenting untuk membantu diagnosa gagal napas ialah pemeriksaan analisa gas
darah untuk mengetahui keadaan oksigenasi, ventilasi dan keseimbangan asam basa,
saturasi O2 dan pH darah.
Pada pemeriksaan BGA pada gagal nafas akan didapat Hipoksemia, hiperkapnia,
asidosis (respiratorik atau metabolik).

Hb : dibawah 12 gr %

–     Analisa gas darah :


·      pH dibawah 7,35 atau di atas 7,45
·      paO2 di bawah 80 atau di atas 100 mmHg
·      pCO2 di bawah 35 atau di atas 45 mmHg
·      BE di bawah -2 atau di atas +2
–     Saturasi O2 kurang dari 90 %
–     Ro : terdapat gambaran akumulasi udara/cairan , dapat terlihat perpindahan letak
mediastinum.
H. TERAPI
Penatalaksanaan jika terjadi gagal nafas antara lain:
1. Suplemen Oksigen
·         Merupakan tindakan tempore rsambil dicari diagnosis etiologi dan terapinya.
·         Pemberian O2peningkatan Gradien Tekanan O2 Alveolus dgn kapiler. Difusi lebih
banyak peningkatan PaO2.
2. Obat dan Penatalaksanaan Lainnya
·         Mukolitik
·         Postural orainase
·         Chest physical therapy
·         Nasotracheal suctioning
·         Cough/deep Breathing Exercise
 GAGAL NAPAS AKUT

I.            LANDASAN TEORI

A.    PENGERTIAN
Gagal napas akut adalah pertukaran gas yang tidak adekuat sehingga terjadi hipoksia,
hiperkapnia (peningkatan konsentrasi karbon dioksida arteri), dan asidosis (Corwin, 2009).
Gagal napas akut adalah memburuknya proses pertukaran gas paru yang mendadak dan
mengancam jiwa, menyebabkan retensi karbon dioksida dan oksigen yang tidak adekuat
(Morton, 2011).
Urden, Stacy dan Lough  mendifinisikan gagal napas akut sebagai suatu keadaan klinis yaitu
sistem pulmonal tidak mampu mempertahankan pertukaran gas yang adekuat (Chang, 2009).
Gagal nafas adalah pertukaran gas yang tidak adekuat sehingga terjadi hipoksia, hiperkapnia
(peningkatan konsentrasi karbondioksida arteri) dan asidosis.
B.     ANATOMI DAN FISIOLOGI
1.      Saluran Nafas Bagian Atas
a.       Rongga hidung
Udara yang dihirup melalui hidung akan mengalami  tiga hal :
         Dihangatkan
         Disaring
         Dan dilembabkan
Yang merupakan fungsi utama dari selaput lendir respirasi ( terdiri dari :Psedostrafied ciliated
columnar epiteliumyang berfungsi menggerakkan partikel partikel halus kearah faring sedangkan
partikel yang besar akan disaring oleh bulu hidung, sel golbet dan kelenjar serous yang berfungsi
melembabkan udara yang masuk,  pembuluh darah yang berfungsi menghangatkan udara).
Ketiga hal tersebut dibantu dengan concha. Kemudian udara akan diteruskan ke
b.      Nasofaring (terdapat pharyngeal tonsildan Tuba Eustachius)
c.       Orofaring (merupakan pertemuan rongga mulut dengan faring,terdapat pangkal lidah)
d.      Laringofaring(terjadi persilangan antara aliran udara dan aliran makanan)
e.       Laring
      Terdiri dari tiga struktur yang penting
         Tulang rawan krikoid
         Selaput/pita suara
         Epilotis
         Glotis
2.      Saluran Nafas Bagian Bawah
a.       Trakhea
Merupakan pipa silider dengan panjang ± 11 cm, berbentuk ¾ cincin tulang rawan        seperti
huruf C. Bagian belakang dihubungkan  oleh membran fibroelasticmenempel pada dinding
depan usofagus.
b.      Bronkhi
Merupakan percabangan trakhea kanan dan kiri. Tempat percabangan ini
disebutcarina.Brochus kanan lebih pendek, lebar dan lebih dekat dengan trachea.Bronchuskanan
bercabang menjadi : lobus superior, medius, inferior. Brochuskiri terdiri dari : lobus
superior dan inferior
c.       Paru  
Paru-paru terletak di dalam rongga dada bagian atas, di bagian samping dibatasi oleh otot dan
rusuk dan di bagian bawah dibatasi oleh diafragma yang berotot kuat. Paru-paru ada dua bagian
yaitu paru-paru kanan (pulmo dekster) yang terdiri atas 3 lobus dan paru-paru kiri (pulmo
sinister)yang terdiri atas 2 lobus.
Paru-paru dibungkus oleh dua selaput yang tipis, disebut pleura.  Selaput bagian dalam yang
langsung menyelaputi paru-paru disebut pleura dalam (pleura visceralis)  dan selaput yang
menyelaputi rongga dada yang bersebelahan dengan tulang rusuk disebut pleura luar (pleura
parietalis).Antara selaput luar dan selaput dalam terdapat rongga berisi cairan pleura yang
berfungsi sebagai pelumas paru-paru. Cairan pleura berasal dari plasma darah yang masuk secara
eksudasi. Dinding rongga pleura bersifat permeabel terhadap air dan zat-zat lain.
Paru-paru tersusun oleh bronkiolus, alveolus, jaringan elastik, dan pembuluh darah. Paru-paru
berstruktur seperti spon yang elastis dengan daerah permukaan dalam yang sangat lebar untuk
pertukaran gas.
Di dalam paru-paru, bronkiolus bercabang-cabang halus dengan diameter ± 1 mm, dindingnya
makin menipis jika dibanding dengan bronkus. Bronkiolus ini memiliki gelembung-gelembung
halus yang disebut alveolus. Bronkiolus memiliki dinding yang tipis, tidak bertulang rawan, dan
tidak bersilia.
Gas memakai tekanannya sendiri sesuai dengan persentasenya dalam campuran, terlepas dari
keberadaan gas lain (hukum Dalton). Bronkiolus tidak mempunyi tulang rawan, tetapi rongganya
masih mempunyai silia dan di bagian ujung mempunyai epitelium berbentuk kubus bersilia. Pada
bagian distal kemungkinan tidak bersilia. Bronkiolus berakhir pada gugus kantung udara
(alveolus).
Alveolus terdapat pada ujung akhir bronkiolus berupa kantong kecil yang salah satu sisinya
terbuka sehingga menyerupai busa atau mirip sarang tawon. Oleh karena alveolus berselaput
tipis dan di situ banyak bermuara kapiler darah maka memungkinkan terjadinya difusi gas
pernapasan.

Merupakan  jalinan atau susunan bronhus bronkhiolus, bronkhiolus terminalis,bronkhiolus


respiratoty, alveoli, sirkulasi paru, syaraf, sistem limfatik.
d.      Alveoli
Terdiri dari : membran alveolar dan ruanginterstisial.
Membran alveolar :
         Small alveolar cell dengan ekstensi ektoplasmik ke arah rongga alveoli
         Large alveolar cell mengandunginclusion bodies yang menghasilkansurfactant.
         Anastomosing capillary, merupakan system vena dan arteri yang saling berhubungan langsung,
ini terdiri dari : sel endotel, aliran darah dalam rongga endotel.

Interstitial space merupakan ruangan yang dibentuk oleh : endotel kapiler,epitel alveoli,


saluran limfe, jaringan kolagen dan sedikit serum.
e.       Sirkulasi Paru
Mengatur aliran darah vena – vena dariventrikel kanan ke arteri pulmonalis dan mengalirkan
darah yang bersifat arterialmelaului vena pulmonalis kembali keventrikel kiri.
Kepatenan Ventilasi tergantung pada empat faktor :
a.       Kebersihan jalan nafas, adanya sumbatan atau obstruksi jalan nafas akan menghalangi masuk
dan keluarnya dari dan ke paru-paru.
b.      Adekuatnya system syaraf pusat dan pusat pernafasan
c.       Adekuatnya pengembangan dan pengempesan peru-peru
d.      Kemampuan oto-otot pernafasan seperti diafpragma, eksternal interkosa, internal interkosa, otot
abdominal.
Ventilasi paru mengacu kepada pergerakan udara dari atmosfir masuk dan keluar paru. Ventilasi
berlangsung secara bulk flow.Bulk flow adalah perpindahan atau pergerakan gas atau cairan dari
tekanan tinggi ke rendah.
Faktor-faktor yang mempengaruhi ventilasi antara lain :
         tekanan
         resistensi bronkus
         persyarafan bronkus.

C.    ETIOLOGI
1.      faktor penyebab gagal napas
a.       penyakit paru/ jalan napas instrinsik
1)      obstruksi jalan napas besar:
a)      deformitas kongenital
b)       laringitis akut, epiglotis
c)      Benda asing
d)     Tekanan ekstrinsik
e)      Cedera traumatik
f)       Pembesaran tonsil dan adenoid
g)      Apnea tidur obstruktif
2)      Penyakit bronkial:
a)      Bronkitis kronis
b)      Asma
c)      Bronkiolitis akut
3)      Penyakit parenkim:
a)      Emfisems pulmonal
b)      Fibrosis pulmonal dan penyakit infiltratif difusi kronis lainnya.

c)      Pneumonia berat.
d)     Cedera paru akut akibat berbagai penyebab (sindrom gawat napas akut).
4)      Penyakit kardiovaskulaer:
a)      Edema jantung paru
b)      Embolisme paru masif atau berulang
c)      Vaskulitis pulmonal
b.      Gangguan ekstra pulmonal:
1)      Penyakit pleura dan dinding dada:
a)      Pneumototaks
b)      Efusi pleura
c)      Fibrotoraks
d)     Deformitas dinding dada
e)      Cedera traumatik pada dinding dada: flail chest
f)       Obesitas
2)      Gangguan otot pernapasan dan taut neuromuskuler:
a)      Miastenia gravis dan gangguan mirip miastenia
b)      Distrofi muskuler
c)      Polimiositis
d)     Botulisme
e)      Obat paralisis otot
f)       Hipokalemia berat dan hipofosfatemia
3)      Gangguan saraf perifer dan medula spinalis:
a)      Poliomielitis
b)      Sindrom Guillain-Barre
c)      Trauma medula spinalis (kuadriplegia)
d)     Sklerosis lateral amiotropik
e)      Tetanus
f)       Sklerosis multipel
4)      Gangguan sistem saraf pusat:
a)      Overdosis obat sedatif dan narkotik
b)      Trauma kepala
c)      Hipoksia serebral
d)     Cedera serebrovaskuler
e)      Infeksi sistem saraf pusat
f)       Kejang epilepsi: status epileptikus
g)      Gangguan metabolik dan endokrin
h)      Poliomielitis bulbar
i)        Hipoventilasi alveolar primer
j)        Sindrom apnea tidur
k)       
2.      Faktor pemicu gagal napas akut:
a.       Perubahan sekret trakeobronkus
b.      Infeksi virus atau bakteri
c.       Gangguan pembersih trakeobronkus
d.      Obat-obat: sedatif, narkotik, anestesi, oksigen
e.       Inhalasi atau aspirasi iritan, muntah, benda asing
f.       Gangguan kardiovaskuler: gagal jantung, embolisme paru, syok
g.      Faktor mekanis: pneumothoraks, efusi pleura, distensi abdomen
h.      Trauma termasuk pembedahan
i.        Abnormalitas neuromuskuler
j.        Gangguan allergi: bronkospasme
k.      Peningkatan kebutuhan oksigen: demam, infeksi
l.        Keletihan otot inspirasi (Morton, 2012)

D.    Patofisiologi
Gagal nafas akut dapat disebabkan oleh berbagai keadaan, diantaranya mengakibatkan ventilasi
yang tidak adekuat. Salah satu penyebab terpenting pada ventilasi yang tidak adekuat adalah
obstruksi saluran pernapasan atas.
Depresi sistem saraf pusat juga akan mengakibatkan ventilasi yang tidak adekuat. Pusat
pernapasan, yang mengendalikan pernapasan, terletak di bagian bawah batang otak /pons dan
medulla oblongata (muttaqin)
E.     Klasifikasi
 
Berdasarkan penyebab organ yang terganggu dapat dibagi menjadi 2, yaitu:
1.      kardiak
Gangguan gagal nafas bisa terjadi akibat adanya penurunan PaO2 dan peningkatan PaCO2 akibat
jauhnya jarak difusi akibat edema paru. Edema paru ini terjadi akibat kegagalan jantung untuk
melakukan fungsinya sehinmgga terjadi peningkatan perpindahan cairan dari vaskuler ke
interstitial dan alveoli paru. Terdapat beberapa penyakit kardiovaskuler yang mendorong
terjadinya disfungsi miokard dan peningkatan LVEDV dan LVEDP yang menyebabkan
mekanisme backward-forward sehingga terjadi peningkatan tekanan hidrostatik kapiler paru,
cairan berpindah ke -Penyakit yang menyebabkan disfungsi miokard : infark miokard,
kardiomiopati, dan miokarditis
Penyakit yang menyebabkan peningkatan LVEDV dan LVEDP :
a.       Meningkatkan beban tekanan : aorta stenosis, hipertensi, dan Coartasio Aorta
b.      Meningkatkan volume : mitral insufisiensi, aorta insufisiensi. ASD dan VSD
c.       Hambatan pengisian ventrikel : mitral stenosis, dan trikuspidal insufisiensi
interstitial – alveolar paru dan terjadilah edema paru.
2.      Nonkardiak
Terutama terjadi gangguan di bagian saluran pernafasan atas dan bawah serta proses difusi. Hal
ini bisa disebabkan oleh beberapa hal seperti adanya obstruksi, emfisema, atelektasis,
pneumothorax, ARDS dll.
1.      mekanisme oksigenasi yang tidak adekuat atau hipoksemia.
Tipe 2 gagal napas hipoksemia hiperkapnea : kegagalan ini menunjukkan abnormalitas
oksigenasi darah dan ketidakmampuan sistem
pernapasan untuk mengeliminasi karbon dioksida. Pada tipe ini, PaO2 pasien dapat rendah ( 60
mmHg atau kurang ), sedangkan PaCO2 dapat naik ( lebih dari 45 mmHg ). Dengan
demikian Berdasarkan perubahan O2 dan CO2 dapat dibagi menjadi :  
Kegagalan pada sistem respirasi dapat terjadi dengan atau tanpa gangguan eliminasi
karbodioksida.
Akibatnya gagal napas di bagi menjadi dua tipe utama, yaitu : kegagalan hipoksia dan kegagalan
hipoksemia hiperkapnea.
2.      Tipe 1 gagal nafas hipoksemia : kegagalan ini dideskripsikan sebagai oksigenasi darah yang
abnormal. Sebagaimana ditunjukkan oleh namanya, pada tipe gagal nafas ini, PaO2 pasien ini
dapat rendah ( 60 mmHg atau kurang ) dan SaO2 akan rendah 
( kurang dari 90 % ), namun PaO2 dapat normal hingga rendah. Jadi, mekanisme primer pada
tipe kegagalan ini adalah kegagalan tipe 2 merupakan kombinasi retensi CO2 ( hiperkapnea )
dengan oksigenasi yang tidak adekuat ( hipoksemia ).

F.     ManifestasiKlinis
1.      Sianosis
2.      Dispneaberat

G.    Pemeriksaan diagnostik
1.      Hb   : dibawah 12 gr %
2.      Analisa gas darah :
          pH dibawah 7,35 atau di atas  7,45
.        paO2 Hipoksemiaringan            : PaO2 < 80 mmHg
Hipoksemiasedang            : PaO2 < 60 mmHg
Hipoksemiaberat                : PaO2 < 40 mmHg
         pCO2 di bawah 35 atau di atas  45 mmHg

.        BE di bawah -2 atau di atas  +2


3.      Saturasi O2 kurang dari 90 %
4.      Ro” : terdapat gambaran akumulasi udara/cairan , dapat terlihat perpindahan letak mediastinum
5.      EKG mungkin memperhatikan bukti- bukti regangan jantung di sisi kanan distritmia.
6.      Radiografi dada
7.      Pemeriksaan sputum
8.      Pemeriksaan fungsi paru
9.      Angiografi
10.  Pemindaian ventilasi perfusi
11.  CT
12.  Skrinning toksikologi
13.  Hitung darah lengkap
14.  Elektrolit serum
15.  Sitology
16.  Urinalisis
17.  Bronkogram
18.  Bronkoskopii
19.  Ekokardiografi
20.  Torasentesis

H.    Penatalaksanaan
Dasar penatalaksanaan terdiri dari penatalaksaan suportif/non spesifik dan kausatif/spesifik.
Umumnya dilakukan secara simultan antara keduanya.
Penatalaksanaan Suportif/Non spesifik
Penatalaksanaan non spesifik adalah tindakan yang secara tidak langsung ditujukan untuk
memperbaiki pertukaran gas, seperti pada tabel 2 berikut ini
1.      Atasi Hipoksemia
Terapi Oksigen
Pada keadaan paO2 turun secara akut, perlu tindakan secepatnya untuk menaikkan PaO2
sampai normal. Berlainan sekali dengan gagal nafas dari penyakit kronik yang menjadi akut
kembali dan pasien sudah terbiasa dengan keadaan hiperkarbia sehingga pusat pernafasan tidak
terangsang oleh hipercarbia drive melainkan terhadap hypoxemia drive. Akibatnya kenaikan
PaO2 yang terlalu cepat, pasien dapat menjadi apnoe (Muhardi, 1989).
Dalam pemberian oksigen harus dipertimbangkan apakah pasien benar-benar membutuhkan
oksigen. Indikasi untuk pemberian oksigen harus jelas. Oksigen yang diberikan harus diatur
dalam jumlah yang tepat, dan harus dievaluasi agar mendapat manfaat terapi dan menghindari
toksisitas (Sue dan Bongard, 2003)
Terapi oksigen jangka pendek merupakan terapi yang dibutuhkan pada pasien-pasien dengan
keadaan hipoksemia akut. Oksigen harus segera diberikan dengan adekuat karena jika tidak
diberikan akan menimbulkan cacat tetap dan kematian. Pada kondisi ini oksigen harusdiberikan
dengan FiO2 60-100% dalam waktu pendek dan terapi yang spesifik diberikan. Selanjutnya
oksigen diberikan dengan dosis yang dapat mengatasi hipoksemia dan meminimalisasi efek
samping. Bila diperlukan oksigen dapat diberikan terus-menerus. (Brusasco dan Pellegrino,
2003)
Cara pemberian oksigen secara umum ada 2 macam yaitu sistem arus rendah dan sistem arus
tinggi (Tabel 3). Kateter nasal kanul merupakan alat dengan sistem arus rendah yang digunakan
secara luas. Nasal Kanul arus rendah mengalirkan oksigen ke nasofaring dengan aliran 1-6
L/mnt, dengan FiO2 antara 0,24-0,44 (24 %-44%). Aliran yang lebih tinggi tidak meningkatkan
FiO2 secara bermakna diatas 44% dan dapat mengakibatkan mukosa membran menjadi kering.
Untuk memperbaiki efisiensi pemberian oksigen, telah didisain beberapa alat,
diantaranya electronic demand device, reservoir nasal canul, dan transtracheal cathethers, dan
dibandingkan nasal kanul konvensional alat-alat tersebut lebih efektif dan efisien. Alat oksigen
arus tinggi di antaranya ventury mask dan reservoir nebulizer blenders. Alat ventury
maskmenggunakan prinsip jet mixing (efek Bernoulli). Dengan sistem ini bermanfaat untuk
mengirimkan secara akurat konsentrasi oksigen rendah (24-35 %). Pada pasien dengan PPOK
dan gagal napas tipe 2, bernapas dengan mask ini mengurangi resiko retensi CO2 dan
memperbaiki hipoksemia. Alat tersebut terasa lebih nyaman dipakai, dan masalah rebreathing
diatasi melalui proses pendorongan dengan arus tinggi tersebut. Sistem arus tinggi ini dapat
mengirimkan sampai 40 L/mnt oksigen melalui mask, yang umumnya cukup untuk total
kebutuhan respirasi. Dua indikasi klinis untuk penggunaan oksigen dengan arus tinggi ini adalah
pasien yang memerlukan pengendalian FiO2 dan pasien hipoksia dengan ventilasi
abnormal  (Sue dan Bongard, 2003).

2.      Atasi Hiperkarbia: Perbaiki Ventilasi


Jalan napas (Airway)
Jalan napas sangat penting untuk ventilasi, oksigenasi, dan pemberian obat-obat pernapasan.
Pada semua pasien gangguan pernapasan harus dipikirkan dan diperiksa adanya obstruksi jalan
napas atas. Pertimbangan untuk insersi jalan napas artifisial seperti endotracheal tube (ETT)
berdasarkan manfaat dan resiko jalan napas artifisial dibandingkan jalan napas alami (Sue dan
Bongard, 2003).
Resiko jalan napas artifisial adalah trauma insersi, kerusakan trakea (erosi), gangguan respon
batuk, resiko aspirasi, gangguan fungsi mukosiliar, resiko infeksi, meningkatnya resistensi dan
kerja pernapasan. Keuntungan jalan napas artifisial adalah dapat melintasi obstruksi jalan napas
atas, menjadi rute pemberian oksigen dan obat-obatan, memfasilitasi ventilasi tekanan positif dan
PEEP, memfasilitasi penyedotan sekret, dan rute bronkoskopi fibreoptik (Sue dan Bongard,
2003).
Pada pasien gagal napas akut, pilihan didasarkan pada apakah oksigen, obat-obatan
pernapasan, dan terapi pernapasan via jalan napas alami cukup adekuat ataukah lebih baik
dengan jalan napas artifisial. Indikasi intubasi dan ventilasi mekanik adalah seperti pada Tabel 1
di atas dan juga tabel 4 berikut ini:
Tabel 4. Indikasi Intubasi dan ventilasi mekanik
                           Secara Fisiologis:
a.       Hipoksemia menetap setelah pemberian oksigen
b.      PaCO2 >55 mmHg dengan pH < 7,25
c.       Kapasitas vital < 15 ml/kgBB dengan penyakit neuromuskular
                           Secara Klinis:
a.       Perubahan status mental dengan dengan gangguan proteksi jalan napas
b.      Gangguan respirasi dengan ketidakstabilan hemodinamik
c.       Obstruksi jalan napas (pertimbangkan trakeostomi)
d.      Sekret yang banyak yang tidak dapat dikeluarkan pasien
Catatan: Perimbangkan trakeostomi jika obstruksi di atas trakea
            (Sue dan Bongard, 2003)
Panduan untuk memilih pasien yang memerlukan intubasi endotrakeal di atas mungkin
berguna, tetapi pengkajian klinis respon terhadap terapi lebih berguna dan bermanfaat. Faktor
lain yang perlu dipikirkan adalah ketersediaan fasilitas dan potensi manfaat ventilasi tekanan
positif tanpa pipa trakea (ventilasi tekanan positif non invasif) (Sue dan Bongard, 2003).
Ventilasi: Bantuan Ventilasi dan ventilasi Mekanik
Pada keadaan darurat bantuan nafas dapat dilakukan secara mulut kemulut atau mulut ke
hidung, biasanya digunakan sungkup muka berkantung (face mask atau ambu bag) dengan
memompa kantungnya untuk memasukkan udara ke dalam paru (Muhardi, 1989)..
Hiperkapnea mencerminkan adanya hipoventilasi alveolar. Mungkin ini akibat dari turunnya
ventilasi semenit atau tidak adekuatnya respon ventilasi pada bagian dengan imbalan ventilasi-
perfusi. Peningkatan PaCO2 secara tiba-tiba selalu berhubungan dengan asidosis respiratoris.
Namun, kegagalan ventilasi kronik (PaCO2>46 mmHg)  biasanya tidak berkaitan dengan asidosis
karena kompensasi metabolik. Dan koreksinya pada asidosis respiratoris (pH < 7.25) dan
masalahnya tidak mengkoreksi PaCO2. Pada pasien dimana pemulihan awal diharapkan, ventilasi
mekanik non invasif dengan nasal atau face mask merupakan alternatif yang efektif, namun
seperti telah diketahui, pada keadaan pemulihan yang lama/tertunda pemasangan ET dengan
ventilasi mode assist-control atausynchronized intermittent ventilation dengan setting rate sesuai
dengan laju nafas spontan pasien untuk meyakinnkan kenyamanan pasien (Nemaa, 2003).
Indikasi utama pemasangan ventilator adalah adanya gagal napas (Tabel 1 dan tabel 4) atau
keadaan klinis yang mengarah ke gagal napas (gawat nafas yang tidak segera teratasi). Kondisi
yang mengarah ke gagal napas adalah termasuk hipoksemia yang refrakter, hiperkapnia akut atau
kombinasi keduanya. Indikasi lainnya adalah pneumonia berat yang tetap hipoksemia walaupun
sudah diberikan oksigen dengan tekanan tinggi atau eksaserbasi PPOK dimana PaCO2nya
meningkat mendadak dan menimbulkan asidosis. Keputusan untuk memasang ventilator harus
dipertimbangkan secara matang. Sebanyak 75 % pasien yang dipasang ventilator umumnya
memerlukan alat tersebut lebih dari 48 jam. Bila seorang terpasang ventilator lebih dari 48 jam
maka kemungkinan dia tetap hidup keluar dari rumah sakit (bukan saja lepas dari ventilator) jadi
lebih kecil. Secara statistik angkasurvival berhubungan sekali dengan diagnosis utama, usia, dan
jumlah organ yang gagal. Pasien asma bronkial lebih dari 90 % survive sedangkan pasien kanker
kurang dari 10 %. Usia diatas 60 tahun kemungkinan survive kurang dari 50 %. Sebagian
penyebab rendahnya survival pasien terpasang ventilator ini adalah akibat komplikasi pemakaian
ventilator sendiri, terutama tipe positive pressure. Secara umum bantuan napas mekanik
(ventilator) dapat dilakukan dengan 2 cara yaitu invasive Positive Pressure Ventilator (IPPV),
dimana pasien sebelum dihubungkan dengan ventilator diintubasi terlebih dahulu dan Non
Invasive Positive Pressure Ventilator(NIPPV), dimana pasien sebelum dihubungkan dengan
ventilator tidak perlu diintubasi. Keuntungan alat ini adalah efek samping akibat tindakan
intubasi dapat dihindari, ukuran alatnya relatif kecil, portabel, pasien saat alat terpasang bisa
bicara, makan, batuk, dan bisa diputus untuk istirahat (Sue dan Bongard, 2003).
3.      Terapi suportif lainnya
a.       Fisioterapi dada.
Ditujukan untuk membersihkan jalan nafas dari sekret, sputum. Tindakan ini selain untuk
mengatasi gagal nafas juga untuk tindakan pencegahan. Pasien diajarkan bernafas dengan baik,
bila perlu dengan bantuan tekanan pada perut dengan menggunakan telapak tangan pada saat
inspirasi. Pasien melakukan batuk yang efektif. Dilakukan juga tepukan-tepukan pada dada,
punggung, dilakukan perkusi, vibrasi dan drainagepostural. Kadang-kadang diperlukan juga
obat-obatan seperti mukolitik dan bronkodilator (Muhardi, 1989)
b.      Bronkodilator (Agonis beta-adrenergik/simpatomimetik).
Obat-obat ini lebih efektif bila diberikan dalam bentuk inhalasi dibandingkan jika diberikan
secara parenteral atau oral, karena untuk efek bronkodilatasi yang sama, efek samping sacara
inhalasi lebih sedikit sehingga dosis besar dapat diberikan secara inhalasi. Terapi yang efektif
mungkin membutuhkan jumlah agonis beta-adrenergik yang dua hingga empat kali lebih banyak
daripada yang direkomendasikan. Peningkatan dosis (kuantitas lebih besar pada nebulisasi) dan
peningkatan frekuensi pemberian (hingga tiap jam/nebulisasi kontinu) sering kali dibutuhkan.
Pemilihan obat didasarkan pada potensi, efikasi, kemudahan pemberian, dan efek samping.
Diantara yang tersedia adalah albuterol, metaproterenol, terbutalin. Efek samping meliputi
tremor, takikardia, palpitasi, aritmia, dan hipokalemia. Efek kardiak pada pasien dengan penyakit
jantung iskemik dapat menyebabkan nyeri dada dan iskemia, walaupun jarang terjadi.
Hipokalemia biasanya dieksaserbasi oleh diuretik tiazid dan kemungkinan disebabkan oleh
perpindahan kalium dari kompartement ekstrasel ke intrasel sebagai respon terhadap stimulasi
beta adrenergik (Sue dan Bongard, 2003).
c.       Antikolinergik/parasimpatolitik.
Respon bronkodilator terhadap obat antikolinergik tergantung pada derajat tonus parasimpatis
intrinsik. Obat-obat ini kurang berperan pada asma, dimana obstruksi jalan napas berkaitan
dengan inflamasi, dibandingkan bronkitis kronik, dimana tonus parasimpatis tampaknya lebih
berperan. Obat ini direkomendasikan terutama untuk bronkodilatsi pasien dengan bronkitis
kronik. Pada gagal napas, antikolinergik harus selalu dikombinasikan dengan agonis beta
adrenergik. Ipratropium bromida tersedia dalam bentuk MDI (metered dose inhaler) atau solusio
untuk nebulisasi. Efek samping jarang terjadi seperti takikardia, palpitasi, dan retensi urin (Sue
dan Bongard, 2003).
d.      Teofilin.
Teofilin kurang kuat sebagai bronkodilator dibandingkan agonis beta adrenergik. Mekanisme
kerja adalah melalui inhibisi kerja fosfodiesterase pada AMP siklik (cAMP), translokasi kalsium,
antagonis adenosin, stimulasi reseptor beta adrenergik, dan aktifitas anti inflamasi. Efek samping
meliputi takikardia, mual dan muntah. Komplikasi yang lebih parah adalah aritmia, hipokalemia,
perubahan status mental dan kejang (Sue dan Bongard, 2003).
e.       Kortikosteroid.
Mekanisme kortikosteroid dalam menurunkan inflamasi jalan napas tidak diketahui pasti, tetapi
perubahan pada sifat dan jumlah sel inflamasi telah didemonstrasikan setelah pemberian sistemik
dan topikal. Kortikosteroid aerosol kurang baik distribusinya pada gagal napas akut, dan hampir
selalu digunakan preparat oral atau parenteral. Efek samping kortikosteroid parenteral adalah
hiperglikemia, hipokalemia, retensi natrium dan air, miopati steroid akut (terutama pada dosis
besar), gangguan sistem imun, kelainan psikiatrik, gastritis dan perdarahan gastrointestinal.
Penggunaan kortikosteroid bersama-sama obat pelumpuh otot non depolarisasi telah
dihubungkan dengan kelemahan otot yang memanjang dan menimbulkan kesulitan weaning (Sue
dan Bongard, 2003).
f.       Ekspektoran dan nukleonik.
Cairan peroral atau parenteral dapat memperbaiki volume atau karateristik sputum pada pasien
yang kekurangan cairan. Kalium yodida oral mungkin berguna untuk meningkatkan volume dan
menipiskan sputum yang kental. Penekan batuk seperti kodein dikontraindikasikan bila kita
menghendaki pengeluaran sekret melalui batuk. Obat mukolitik dapat diberikan langsung pada
sekret jalan napas, terutama pasien dengan ETT. Sedikit (3-5ml) NaCl 0,9 %, salin hipertonik,
dan natrium bikarbonat hipertonik juga dapat diteteskan sebelum penyedotan (suctioning) dan
bila berhasil akan keluar sekret yang lebih banyak (Sue dan Bongard, 2003).

g.      Penatalaksanaan Kausatif/Spesifik
Sambil dilakukan resusitasi (terapi suportif) diupayakan mencari penyebab gagal nafas.
Pengobatan spesifik ditujukan pada etiologinya, sehingga pengobatan untuk masing-masing
penyakit akan berlainan (Muhardi, 1989).

     Semua terapi diatas dilakukan dalam upaya mengoptimalkan pasien gagal nafas di UGD
sebelum selanjutnya nanti di rawat di ICU. Penanganan lebih lanjut terutama masalah
penggunaan ventilator akan dilakukan di ICU berdasarkan guidiles penanganan pasien gagal
nafas di ICU pada tahap berikutnya.

I.       Komplikasi
1.      Oksigenasi ke organ lain yang buruk dapat menyebabkan kegagalan multi organ
2.      Individu yang mengalami gagal nafas beresiko tinggi terhadap kematian
3.      Infeksi paru dan abdomen merupakan komplikasi yang sering dijumpai. Adanya edema paru,
hipoksia alveoli, penurunan surfaktan akan menurunkan daya tahan paru terhadap infeksi.

J.      Prognosis
Mortalitas rata-rata sekitar 50-60%. Mortalitas sekitar 40% didapatkan pada pasien dengan gagal
nafas saja, sedangkan pada pasien dengan sepsis atau adanya kegagalan organ utama didapatkan
mortalitas sekitar 70-80% dan bahkan bisa sampai 90% kalau sindrom gagal nafas amat berat.
Pada pasien yang bertahan hidup, umumnya fungsi paru akan kembali setelah berbulan-bulan,
namun harapan tersebut sangat kecil karena pasien yang menderita ARDS akan mengalami
kerusakan paru yang permanen dengan infeksi dan fibrosis.

II.            KONSEP DASAR KEPERAWATAN


    

A.    Pengkajian
Pengkajian Primer
1.      Airway
a.       Peningkatansekresipernapasan
b.      Bunyinafaskrekels, ronkidanmengi
2.       Breathing
a.       Distress pernapasan :pernapasancupinghidung, takipneu/bradipneu, retraksi.
b.      Menggunakanototaksesoripernapasan
c.       Kesulitanbernafas : diaforesis, sianosis
3.      Circulation
a.       Penurunancurahjantung : gelisah, letargi, takikardia
b.      Sakitkepala
c.       Gangguantingkatkesadaran : ansietas, gelisah, kacau mental, mengantuk
d.      Papiledema
e.       Penurunanhaluaran urine
f.       Kapiler refill
g.      Sianosis.

PengkajianSekunder
1.         Pemeriksaanfisik head to toe.
2.         Pemeriksaankeadaanumum dan kesadaran
3.         Eliminasi
Kajihaluaranurin, diare/konstipasi.
4.         Makanan/cairan
Penambahan BB yang signifikan, pembengkakanekstrimitasoedemapadabagiantubuh.
5.         Nyeri/kenyamanan
Nyeripadasatusisi, ekspresimeringis.
6.         Neurosensori
Kelemahan :perubahankesadaran.
B.     DiagnosaKeperawatan
1.      Ketidakefektifan bersihan jalan napas berhubungandenganpeningkatanproduksi secret.
2.      Gangguanpertukaran gas berhubungandengansekresitertahan di permukaan alveoli, alveolar
hipoventilasi.
3.      Ketidakefektifan pola napas berhubungandengan PPOM, distensidinding dada, kelelahan,
kerjapernafasan.
4.     Penurunanperfusijaringanberhubungandenganmenurunnyacurahjantung, hipoksiajaringan,
asidosisdankemungkinantrombusatau emboli.
5.      Ketidakseimbangan nutrisi : kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan intake yang tidak
adekuat
6.      Nyeri berhubungan dengan agen injuri biologi
7.      Defisit perawatan diri berhubungan penurunan kesadaran.
C.     Rencana Keperawatan
1.      Ketidakefektifan bersihan jalan napas berhubungandenganpeningkatanproduksi  secret
NOC :
a.       Menunjukan pembersihan jalan nafas yang efektif.
b.      Mengeluarkan sekresi secara efektif
c.       Mempunyai irama dan frekwensi pernafasan dalam rentang normal.
d.      Mempunyai fungsi paru dalam batas normal
     NIC :
Airway suction
a.       Pastikankebutuhan oral/ tracheal suctioning
b.      Auskultasisuaranafassebelumdansesudah suctioning
c.       Informasikankepadakliendankeluargatentang suctioning
d.      Berikan O2 dgnmenggunakan nasal untukmemfasilitasikansoctionnasotrakeal
e.       Anjurkanalat yang sterilsetiapmelakukantindakan
f.        Monitor status oksigenpasien

Airway management
a.   Bukajalannafas
b.  Posiskanpasienuntukmemaksimalkanventilasi
c.  Indentifikasipasienperlunyapemasanganalatjalannafasbuatan
d.  Lakukanfisioterapi dada jikaperlu
e.   Berikan bronchodilator bilaperlu
f.     Monitor respirasidan status O2

2.      Gangguanpertukaran gas berhubungandengansekresitertahan di permukaan alveoli, alveolar


hipoventilasi
NOC :
a.         Dapat memepertahankan Pertukaran CO2 atau O2 di alveolar dalam keadaan normal
b.        Tidak terdapat cyanosis pada pasien
c.         Pasien tdk mengalami nafas dangkal atau ortopnea

NIC :
Air way management
a.         Bukajalannafas
b.     Posisikanpasienuntukmemaksimalkanventilasi
c.       Pasang mayo bilaperlu
d.      Lakukan suction pada mayo
e.       Auskultasisuaranafas, catatadanyasuatutambahan
f.       Monitor konsentrasidan status O2

Respiratory monitoring :
a.        Monitor rata-rata, kedalaman, iramadanusaharespirasi
b.     Catatpengerakandada,amatikesimetrisan, penggunaanotottambahan,
retraksiototsupraclavikulardanintercostatis
c.        Monitor suaranafas, sprtdengkur
d.      Catatlokasitrakea
e.       Monitor kelelahanototdiafragma ( gerakanparadoksis )
Tentukankebutuhan suction denganmengaukultasicreklesdanronchipadajlannafasutama
Auskultasisuaraparusetelahtindakanuntukmengetahuihasilnya

3.      Ketidakefektifan pola napas berhubungandengan PPOM, distensidinding dada, kelelahan,


kerjapernafasan.
NOC :
a.       Pertukaran gas dan ventilasi pasien tidak bermasalah
b.      Tidak menggunakan pernafasan mulut
     
NIC :
Airway management
a.       Bukajalannafas
b.     Posiskanpasienuntukmemaksimalkanventilasi
c.       Pasang mayo bilaperlu
d.      Lakukan suction pada mayo
e.       Auskultasisuaranafas, catatadanyasuatutambahan
f.       Monitor konsentrasidan status O2

Terapioksigen
a.       Bersihkanmulut, hidungdan secret trakea
b.      Pertahankanjalannafas yang paten
c.       Aturperalatanoksigenasi
d.      Monitor aliranoksigenasi
e.       Monitor adanyakecemasanpasientrhadapoksigenasi

Vital sign management


a.       Monitor TD, nadi, suhu, dan RR
b.      Catatadanyafluktasitekanandarah
c.       Monitor VS saatverbaring, duduk, atauberdiri
d.     Auskultasitekanandarahpadakedualengandanbandingkan
e.       Monitor frekuensidaniramapernafasan
f.       Monitor suhu,warnadankelembabankulit
g.      Monitor adanyatekanannadi yang melebar, bradikardi, peningkatansistolik
h.      Indentifikasipenyebabdariperubahan vital sign

D.    Implementasi
1.      Implementasi  tindakan keperawatan gagal nafas didasarkan pada rencana yang telah
ditentukandengan prinsip : ABC (airway, breathing, circulation).
2.      Mempertahankan ventilasi yang adekuat.
3.      Menjaga bersihan jalan nafas
4.      Mengatasi perubahan proses keluarga dan antisipasi berduka/ cemas

E.     Evaluasi
Setelah tindakan keperawatan dilaksanakan evaluasi proses dan hasil mengacu pada kriteria
evaluasi yang telah ditentukan pada masing-masing diagnosa keperawatan sehingga :
1.      Masalah teratasi atau tujuan tercapai (intervensi di hentikan)
2.      Masalah teratasi atau tercapai sebagian (intervensi dilanjutkan.
3.      Masalah tidak teratasi / tujuan tidak tercapai (perlu dilakukan pengkajian ulang & intervensi
dirubah).

DAFTAR PUSTAKA
Chang, Ester, 2009, Patofisiologi: aplikasi pada praktik keperawatan,
        EGC: Jakarta                                                                             
http://kegawatdaruratan.blogspot.com/2008/02/asuhan-keperawatan-klien-gagal-napas.html
Corwin, Elizabeth J, (2001), BukusakuPatofisiologi, Edisibahasa Indonesia,
         EGC: Jakarta
Muttaqin, Arif, 2012, Buku Ajar Keperawatan Klien dengan Gangguan Sistem Persyarafan EGC:
Salemba Medika
Morton, Patricia Gonce, 2011, Keperawatan Kritis: Pendekatan Asuhan Kep. Holistik, Ed. 8,Egc:
Jakarta
http://curupmedicalcomunnity.blogspot.com/p/anatomi-dan-fisiologi-sistem-pernapasan.htm
VENTILASI MEKANIK VENTILATOR
Ventilasi Mekanik Ventilator adalah merupakan suatu alat bantu mekanik yang berfungsi
bermanfaat dan bertujuan untuk memberikan bantuan nafas pasien dengan cara memberikan
tekanan udara positif pada paru-paru melalui jalan nafas buatan dan juga merupakan mesin
bantu nafas yang digunakan untuk membantu sebagian atau seluruh proses ventilasi untuk
mempertahankan oksigenasi.

Ventilator adalah peralatan elektrik dan memerlukan sumber listrik. Beberapa ventilator,


menyediakan back up batere, namun batere tidak didesain untuk pemakaian jangka lama.
Ventilator adalah suatu metode penunjang/bantuan hidup (life - support). Maksudnya adalah
jika ventilator berhenti bekerja maka pasien akan meninggal. Oleh sebab itu harus tersedia
manual resusitasi seperti ambu bag di samping tempat tidur pasien yang memakai ventilator,
karena jika ventilator berhenti bekerja dapat langsung dilakukan manual ventilasi.
Tujuan dan Indikasi Pemasangan Ventilator

Ada beberapa hal yang menjadikan tujuan dan manfaat penggunaan ventilasi mekanik ini dan
juga beberapa kriteria pasien yang perlu untuk segera dipasang ventilator.

Tujuan Ventilator 
- Mengurangi kerja pernapasan.
- Meningkatkan tingkat kenyamanan pasien.
- Pemberian MV yang akurat.
- Mengatasi ketidakseimbangan ventilasi dan perfusi.
- Menjamin hantaran O2 ke jaringan adekuat.

Indikasi :
1.     Pasien Dengan Gagal Nafas.
Pasien dengan distres pernafasan gagal nafas, henti nafas (apnu) maupun hipoksemia yang
tidak teratasi dengan pemberian oksigen merupakan indikasi ventilasi mekanik. Idealnya pasien
telah mendapat intubasi dan pemasangan ventilasi mekanik sebelum terjadi gagal nafas yang
sebenarnya. Distres pernafasan disebabkan ketidakadekuatan ventilasi dan atau oksigenasi.
Prosesnya dapat berupa kerusakan paru (seperti pada pneumonia) maupun karena kelemahan
otot pernafasan dada (kegagalan memompa udara karena distrofi otot).
2.     Insufisiensi jantung.
Tidak semua pasien dengan ventilasi mekanik memiliki kelainan pernafasan primer. Pada
pasien dengan syok kardiogenik dan CHF, peningkatan kebutuhan aliran darah pada sistem
pernafasan (sebagai akibat peningkatan kerja nafas dan konsumsi oksigen) dapat
mengakibatkan jantung kolaps. Pemberian ventilasi mekanik untuk mengurangi beban kerja
sistem pernafasan sehingga beban kerja jantung juga berkurang.
3.     Disfungsi neurologis.
Pasien dengan GCS 8 atau kurang yang beresiko mengalami apnoe berulang juga
mendapatkan ventilasi mekanik. Selain itu ventilasi mekanik juga berfungsi untuk menjaga jalan
nafas pasien serta memungkinkan pemberian hiperventilasi pada klien dengan peningkatan
tekanan intra cranial.
4.     Tindakan operasi.
Tindakan operasi yang membutuhkan penggunaan anestesi dan sedative sangat terbantu
dengan keberadaan alat ini. Resiko terjadinya gagal napas selama operasi akibat pengaruh
obat sedative sudah bisa tertangani dengan keberadaan ventilasi mekanik.
Kriteria Pemasangan Ventilasi Mekanik
Menurut Pontopidan (2003), seseorang perlu mendapat bantuan ventilasi mekanik (ventilator)
bila :
- RR > 35 x/menit.
- Hasil AGD dengan O2 masker PaO2 < 70 mmHg.
- PaCO2 > 60 mmHg
- AaDO2 dengan O2 100 % hasilnya > 350 mmHg.
- Vital capasity < 15 ml / kg BB.
- Tidal Volume < 5 cc/kg BB.

Alat-alat yang disediakan


- Ventilator
- Spirometer
- Air viva (ambu bag)
- Oksigen sentral
- Perlengkapan untuk mengisap sekresi
- Kompresor Air

Setting Ventilator
1.     Tentukan “Minute Volume” (M.V.) yaitu :
   M.V = Tidal Volume (T.V) x Respiratory Rate (R.R)
   Normal T.V = 10 – 15 cc/kg BB
   Normal R.R =
-  Dewasa = 10 – 12 x/menit
-  Pada pasien dengan COPD, T.V lebih kecil, yaitu 6 – 8 cc/kg BB.
-  Pada Servo Ventilator 900 C :
o  M.V < 4 liter, pakai standar “infant”
o  M.V. > 4 liter, pakai standar “adult”
2.     Modus
   Tergantung dari keadaan klinis pasien.
   Bila mempergunakan “IMV”, harus dikombinasikan dengan “PEEP”.
3.     PEEP
   Ditentukan tergantung dari keadaan klinis pasien.
   Pada pasien dengan edema paru, PEEP dimulai dengan 5 mmHg.
   Pada pasien tidak dengan edema paru, PEEP dimulai dari nol, tetapi FiO2 dinaikan sampai
50%. Bila FiO2 tidak naik, baru diberikan PEEP mulai dari 5 mmHg.
   Catatan :
-  Selama pemakaian Ventilator, FiO2 diusahakan kurang dari 50 %
-  PEEP dapat dinaikkan secara bertahap 2,5 mmHg, sampai batas maximal 15 mmHg.
4.     Pengaturan Alarm
   Oksigen = batas terendah : 10 % dibawah yang diset
   batas tertinggi : 10 % diatas yang diset
   “Expired M.V = kira-kira 20 % dari M.V yang diset
   “Air Way Pressure” = batas tertinggi 10 cm diatas yang diset

Prosedur Pemberian Ventilator


Sebelum memasang ventilator pada pasien. Lakukan tes paru pada ventilator untuk
memastikan pengesetan sesuai pedoman standar. Sedangkan pengesetan awal adalah
sebagai berikut:
   Fraksi oksigen inspirasi (FiO2) 100%
   Volume Tidal: 4-5 ml/kg BB
   Frekwensi pernafasan: 10-15 kali/menit
   Aliran inspirasi: 40-60 liter/detik
   PEEP (Possitive End Expiratory Pressure) atau tekanan positif akhir ekspirasi: 0-5 Cm, ini
diberikan pada pasien yang mengalami oedema paru dan untuk mencegah atelektasis.
Pengesetan untuk pasien ditentukan oleh tujuan terapi dan perubahan pengesetan ditentukan
oleh respon pasien yang ditujunkan oleh hasil analisa gas darah (Blood Gas) 

Pemantauan
1.     Observasi keadaan kardiovaskuler pasien : denyut jantung, tekanan darah, sianosis,
temperatur.
2.     Auskultasi paru untuk mengetahui :
- Letak tube
- Perkembangan paru-paru yang simetris
- Panjang tube
3.     Periksa AGD tiap 6 jam, kecuali ada perubahan seting, analisa gas darah diperiksa 20 menit
setelah ada perubahan seting.
   Nilai standar : PCO2 = 35 – 45 mmHg
   Saturasi O2 = 96 – 97 %
   PaO2 = 80 – 100 mmHg
-  PaO2 > 100 mmHg → FiO2 diturunkan bertahap 10 %.
-  PCO2 > 45 mmHg → M.V dinaikkan.
-  PCO2 < 35 mmHg → M.V diturunkan.
4.     Periksa keseimbangan cairan setiap hari
5.     Periksa elektrolit setiap hari
6.     “Air Way Pressure” tidak boleh lebih dari 40 mmHg
7.     “Expired Minute Volume” diperiksa tiap 2 jam
8.     Usahakan selang nasogastrik tetap berfungsi.
9.     Foto Thorax setiap hari → untuk melihat perkembangan klinis, letak ETT dan komplikasi yang
terjadi akibat pemasangan Ventilator.
10.  Perhatikan ada tidaknya “tension pneumothorax” dengan melihat tanda-tanda sebagai berikut :
- Gelisah, kesadaran menurun
- Sianosis
- Distensi vena leher
- Trachea terdorong menjauh lokasi “tension pneumothorax”
- Salah satu dinding torak jadi mengembang
- Pada perkusi terdapat timpani.

Perawatan :
1.     Terangkan tujuan pemakaian ventilator pada pasien dan atau pada keluarganya bagi pasien
yang tidak sadar.
2.     Mencuci tangan sebelum dan sesudah melakukan tindakan, untuk mencegah infeksi.
3.     “Breathing circuit” sebaiknya tidak lebih tinggi dari ETT, agar pengembunan air yang terjadi
tidak masuk ke paru pasien.
4.     Perhatikan permukaan air di “humidifier”, jaga jangan sampai habis, air diganti tiap 24 jam.
5.     Fiksasi ETT dengan plester dan harus diganti tiap hari, perhatikan jangan sampai letak dan
panjang tube berubah.
1.     Tulis ukuran dan panjang tube pada “flow sheet”
6.     Cegah terjadinya kerusakan trachea dengan cara :
2.     Tempatkan tubing yang dihubungkan ke ETT sedemikian rupa sehingga posisinya berada
diatas pasien. Tubing harus cukup panjang untuk memungkinkan pasien dapat menggerakkan
kepala.
7.     Memberikan posisi yang menyenangkan bagi pasien, dengan merubah posisi tiap 2 jam. Selain
itu perubahan posisi berguna untuk mencegah terjadinya dekubitus.
8.     Memberi rasa aman dengan tidak meninggalkan pasien sendirian.
9.     Teknik mengembangkan “cuff” :
-  Kembangkan “cuff” dengan udara sampai tidak terdengar suara bocor.
-  “cuff” dibuka tiap 2 jam selama 15 menit.

Kriteria Penyapihan
Pasien yang mendapat bantuan ventilasi mekanik dapat dilakukan penyapihan bila memenuhi
kriteria sebagai berikut:
   Kapasitas vital 10-15 ml/kg BB
   Volume tidal 4-5 ml/kg BB
   Kekuatan inspirasi ≥ 20 cm H2O
   RR < 20 kali/menit.

Beberapa hal yang harus diperhatikan


A.    Humidifasi dan Suhu
Ventilasi Mekanik yang melewati jalan nafas buatan meniadakan mekanisme pertahanan tubuh
terhadap pelembaban dan penghangatan.
Dua proses ini harus ditambahkan pelembab (Humidifier) dengan pengontrol suhu dan diisi air
sebatas level yang sudah ditentukan (system boiling water) terjadi Kondensasi air dengan
penurunan suhu untuk mencapai suhu 370 C pada ujung sirkuit ventilasi mekanik. Pada
kebanyakan kasus suhu udara ± sama dengan suhu tubuh.
Pada kasus hypotermi suhu dapat dinaikkan lebih dari 370 C - 380 C.
Kewaspadaan dianjurkan karena lama dan tingginya suhu inhalasi menyebabkan luka bakar
pada trakea, lebih mudah terjadinya pengentalan sekresi dan akibatnya obstruksi jalan nafas
bisa terjadi. Sebaliknya apabila suhu ke pasien kurang dari 360 C membuat kesempatan untuk
tumbuhnya kuman.
Humidifikasi yang lain yaitu system Heating wire dimana kehangatan udara dialirkan melalui
wire di dalam sirkuit dan tidak terjadi kondensasi air.
Pada kasus penggunaan Ventilasi Mekanik yang singkat tidak lagi menggunakan kedua system
diatas, tetapi humidifasi jenis Moisture echanger yang di pasang pada ujung sirkuit Ventilasi
Mekanik.

B.    Perawatan jalan nafas


Perawatan jalan nafas terjadi dari pelembaban adequate, perubahan posisi dan penghisapan
sekresi penghisapan di lakukan hanya bila perlu, karena tindakan ini membuat pasien tidak
nyaman dan resiko terjadinya infeksi, perhatikan sterilitas !!
Selanjutnya selain terdengar adanya ronkhi (auscultasi) dapat juga dilihat dari adanya
peningkatan tekanan inspirasi (Resp. rate) yang menandakan adanya
perlengketan/penyempitan jalan nafas oleh sekresi ini indikasi untuk dilakukan pengisapan.
Fisioterapi dada sangat mendukung untuk mengurangi atelektasis dan dapat mempermudah
pengambilan sekresi, bisa dengan cara melakukan clapping, fibrasing perubahan posisi tiap 2
jam perlu dikerjakan untuk mengurangi pelengketan sekresi.

C.    Perawatan selang Endotrakeal


Selang endotrakeal harus dipasang dengan aman untuk mencegah terjadinya migrasi, kinking
dan terekstubasi, oleh sebab itu fiksasi yang adequate jangan diabaikan. Penggantian
plesterfiksasi minimal 1 hari sekali harus dilakukan karena ini merupakan kesempatan bagi kita
untuk melihat apakah ada tanda-tanda lecet/ iritasi pada kulit atau pinggir bibir dilokasi
pemasangan selang endotrakeal.
Pada pasien yang tidak kooperatif sebaiknya dipasang mayo/gudel sesuai ukuran, ini gunanya
agar selang endotrakeal tidak digigit, dan bisa juga memudahkan untuk melakukan pengisapan
sekresi.
Penggunaan pipa penyanggah sirkuit pada Ventilasi Mekanik dapat mencegah tertariknya
selang endotrakeal akibat dari beban sirkuit yang berat.
Bila pasien terpasang Ventilasi Mekanik dalam waktu yang lama perlu di pertimbangkan untuk
dilakukan pemasangan Trakeostomi yang sebelumnya kolaborasi dengan dokter dan keluarga
pasien.

D.    Tekanan cuff endotrakeal


Tekanan cuff harus dimonitor minimal tiap shift untuk mencegah kelebihan inflasi dan kelebihan
tekanan pada dinding trakea.
Pada pasien dengan Ventilasi Mekanik, tekanan terbaik adalah paling rendah tanpa adanya
kebocoran/penurunan tidal volume.
Cuff kalau memungkinkan di kempeskan secara periodik untuk mencegah terjadinya nekrosis
pada trakea.

E.     Dukungan Nutrisi
Pada pasien dengan dipasangnya Ventilasi Mekanik dukungan nutrisi harus diperhatikan
secara dini. Apabila hal ini terabaikan tidak sedikit terjadinya efek samping yang memperberat
kondisi pasien, bahkan bisa menimbulkan komplikasi paru dan kematian.
Bila saluran gastrointestinal tidak ada gangguan, Nutrisi Enteral dapat diberikan melalui
Nasogastric tube (NGT) yang dimulai dengan melakukan test feeding terlebih dahulu, terutama
pada pasien dengan post laparatomy dengan reseksi usus.
Alternatif lain apabila tidak memungkinkan untuk diberikan nutrisi melalui enteral bisa dilakukan
dengan pemberian nutrisi parenteral.
Pemberian nutrisi ?

F.     Perawatan Mata
Pada pasien dengan pemasangan Ventilasi Mekanik perawatan mata itu sangat penting dalam
asuhan keperawatan. Pengkajian yang sering dan pemberian tetes mata/zalf mata bisa
menurunkan keringnya kornea. Bila refleks berkedip hilang, kelopak mata harus di plester untuk
mencegah abrasi kornea, kering dan trauma. Edema sclera dapat terjadi pada pasien dengan
Ventilasi Mekanik bila tekanan vena meningkat. Atur posisi kepala lebih atas/ekstensi.

Komplikasi Ventilasi Mekanik (Ventilator)


Ventilator adalah alat untuk membantu pernafasan pasien, tapi bila perawatannya tidak tepat
bisa, menimbulkan komplikasi seperti:
1.     Pada paru
- Baro trauma: tension pneumothorax, empisema sub cutis, emboli udara vaskuler.
- Atelektasis/kolaps alveoli diffuse
- Infeksi paru
- Keracunan oksigen
- Jalan nafas buatan: king-king (tertekuk), terekstubasi, tersumbat.
- Aspirasi cairan lambung
- Tidak berfungsinya penggunaan ventilator
- Kerusakan jalan nafas bagian atas
2.     Pada sistem kardiovaskuler
- Hipotensi, menurunya cardiac output dikarenakan menurunnya aliran balik vena akibat
meningkatnya tekanan intra thorax pada pemberian ventilasi mekanik dengan tekanan tinggi.
3.     Pada sistem saraf pusat
- Vasokonstriksi cerebral
- Terjadi karena penurunan tekanan CO2 arteri (PaCO2) dibawah normal akibat dari
hiperventilasi.
- Oedema cerebral
- Terjadi karena peningkatan tekanan CO2 arteri diatas normal akibat dari hipoventilasi.
- Peningkatan tekanan intra kranial
- Gangguan kesadaran
- Gangguan tidur.
4.     Pada sistem gastrointestinal
- Distensi lambung, illeus
- Perdarahan lambung.

Mode Jenis Ventilasi Mekanik


Klasifikasi Ventilasi mekanik berdasarkan cara alat tersebut mendukung ventilasi, dua kategori
umum adalah ventilator tekanan negatif dan tekanan positif. Berdasarkan mekanisme kerjanya
ventilator mekanik tekanan positif dapat dibagi menjadi empat jenis yaitu :

1.     Volume Cycled Ventilator.


Volume cycled merupakan jenis ventilator yang paling sering digunakan di ruangan unit
perawatan kritis. Perinsip dasar ventilator ini adalah cyclusnya berdasarkan volume. Mesin
berhenti bekerja dan terjadi ekspirasi bila telah mencapai volume yang ditentukan. Keuntungan
volume cycled ventilator adalah perubahan pada komplain paru pasien tetap memberikan
volume tidal yang konsisten.

Jenis ventilator ini banyak digunakan bagi pasien dewasa dengan gangguan paru secara
umum. Akan tetapi jenis ini tidak dianjurkan bagi pasien dengan gangguan pernapasan yang
diakibatkan penyempitan lapang paru (atelektasis, edema paru). Hal ini dikarenakan pada
volume cycled pemberian tekanan pada paru-paru tidak terkontrol, sehingga dikhawatirkan jika
tekanannya berlebih maka akan terjadi volutrauma. Sedangkan penggunaan pada bayi tidak
dianjurkan, karena alveoli bayi masih sangat rentan terhadap tekanan, sehingga memiliki resiko
tinggi untuk terjadinya volutrauma.

2.     Pressure Cycled Ventilator


Prinsip dasar ventilator type ini adalah cyclusnya menggunakan tekanan. Mesin berhenti
bekerja dan terjadi ekspirasi bila telah mencapai tekanan yang telah ditentukan. Pada titik
tekanan ini, katup inspirasi tertutup dan ekspirasi terjadi dengan pasif. Kerugian pada type ini
bila ada perubahan komplain paru, maka volume udara yang diberikan juga berubah. Sehingga
pada pasien yang setatus parunya tidak stabil, penggunaan ventilator tipe ini tidak dianjurkan,
sedangkan pada pasien anak-anak atau dewasa mengalami gangguan pada luas lapang paru
(atelektasis, edema paru) jenis ini sangat dianjurkan.
3.     Time Cycled Ventilator
Prinsip kerja dari ventilator type ini adalah cyclusnya berdasarkan waktu ekspirasi atau waktu
inspirasi yang telah ditentukan. Waktu inspirasi ditentukan oleh waktu dan kecepatan inspirasi
(jumlah napas permenit). Normal ratio I : E (inspirasi : ekspirasi) 1 : 2.

4.     Berbasis aliran (Flow Cycle)


Memberikan napas/ menghantarkan oksigen berdasarkan kecepatan aliran yang sudah
disetting terlebih dahulu.

Mode Ventilator Mekanik


1.     Mode control (pressure control, volume control, continuous mode). 
Pasien mendapat bantuan pernafasan sepenuhnya, pada mode ini pasien dibuat tidak sadar
(tersedasi) sehingga pernafasan di kontrol sepenuhnya oleh ventilator. Tidal volume yang
didapat pasien juga sesuai yang di set pada ventilator. Pada mode control klasik, pasien
sepenuhnya tidak mampu bernafas dengan tekanan atau tidal volume lebih dari yang telah di
set pada ventilator. Namun pada mode control terbaru, ventilator juga bekerja dalam mode
assist-control yang memungkinkan pasien bernafas dengan tekanan atau volum tidal lebih dari
yang telah di set pada ventilator.
2.     Mode Intermitten Mandatory Ventilation (IMV).
Pada mode ini pasien menerima volume dan frekuensi pernafasan sesuai dengan yang di set
pada ventilator. Diantara pernafasan pemberian ventilator tersebut pasien bebas bernafas.
Misalkan respiratory rate (RR) di set 10, maka setiap 6 detik ventilator akan memberikan
bantuan nafas, diantara 6 detik tersebut pasien bebas bernafas tetapi tanpa bantuan ventilator.
Kadang ventilator memberikan bantuan saat pasien sedang bernafas mandiri, sehingga terjadi
benturan antara kerja ventilator dan pernafasan mandiri pasien. Hal ini tidak akan terjadi pada
3.     Mode Synchronous Intermitten Mandatory Ventilation (SIMV) yang sama dengan mode IMV
hanya saja ventilator tidak memberikan bantuan ketika pasien sedang bernafas mandiri.
Sehingga benturan terhindarkan.
4.     Mode Pressure Support atau mode spontan.
Ventilator tidak memberikan bantuan inisiasi nafas lagi. Inisiasi nafas sepenuhya oleh pasien,
ventilator hanya membantu pasien mencapai tekanan atau volume yang di set di mesin dengan
memberikan tekanan udara positif.

Anda mungkin juga menyukai