1. DEFINISI
Gagal nafas akut /ARDS adalah ketidakmampuan sistem pernafasan untuk
mempertahankan oksigenasi darah normal (PaO2), eliminasi karbon dioksida (PaCO2) dan pH
yang adekuat disebabkanoleh masalah ventilasi difusi atau perfusi (Susan Martin T, 1997)
Gagal nafas akut/ARDS adalah kegagalan sistem pernafasan untuk mempertahankan
pertukaran oksigen dankarbondioksida dalam jumlah yangdapat mengakibatkan gangguan pada
kehidupan (RS Jantung “Harapan Kita”, 2001)
Gagal nafas akut/ARDS terjadi bilamana pertukaran oksigen terhadap karbondioksida
dalam paru-paru tidak dapat memelihara laju komsumsioksigen dan pembentukan karbon
dioksida dalam sel-sel tubuh. Sehingga menyebabkan tegangan oksigen kurang dari 50 mmHg
(Hipoksemia) dan peningkatan tekanan karbondioksida lebih besar dari 45 mmHg (hiperkapnia).
(Brunner & Sudarth, 2001)
Dari pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa ARDS ( Gagal nafas Akut ) merupakan
ketidakmampuan atau kegagalan sitem pernapasan oksigen dalam darah sehingga pertukaran
oksigen terhadap karbondioksida dalam paru - paru tidak dapat memelihara laju konsumsi
oksigen dan pembentukan karbondioksida dalam sel –sel tubuh.sehingga tegangan oksigen
berkurang dan akan peningkatan karbondioksida akan menjadi lebih besar.
2. ETIOLOGI
1. Depresi Sistem saraf pusat
Mengakibatkan gagal nafas karena ventilasi tidak adekuat. Pusat pernafasan yang
menngendalikan pernapasan, terletak dibawah batang otak (pons dan medulla) sehingga
pernafasan lambat dan dangkal.
2. Kelainan neurologis primer
Akan memperngaruhi fungsi pernapasan. Impuls yang timbul dalam pusat pernafasan menjalar
melalui saraf yang membentang dari batang otak terus ke saraf spinal ke reseptor pada otot-otot
pernafasan. Penyakit pada saraf seperti gangguan medulla spinalis, otot-otot pernapasan atau
pertemuan neuromuslular yang terjadi pada pernapasan akan sangatmempengaruhiventilasi.
3. Efusi pleura, hemotoraks dan pneumothoraks
Merupakan kondisi yang mengganggu ventilasi melalui penghambatan ekspansi paru. Kondisi
ini biasanya diakibatkan penyakti paru yang mendasari, penyakit pleura atau trauma dan cedera
dan dapat menyebabkan gagal nafas.
4. Trauma
Disebabkan oleh kendaraan bermotor dapat menjadi penyebab gagal nafas. Kecelakaan yang
mengakibatkan cidera kepala, ketidaksadaran dan perdarahan dari hidung dan mulut dapat
mnegarah pada obstruksi jalan nafas atas dan depresi pernapasan. Hemothoraks, pnemothoraks
dan fraktur tulang iga dapat terjadi dan mungkin meyebabkan gagal nafas. Flail chest dapat
terjadi dan dapat mengarah pada gagal nafas. Pengobatannya adalah untuk memperbaiki patologi
yang mendasar.
5. Penyakit akut paru
Pnemonia disebabkan oleh bakteri dan virus. Pnemonia kimiawi atau pnemonia diakibatkan oleh
mengaspirasi uap yang mengritasi dan materi lambung yang bersifat asam. Asma bronkial,
atelektasis, embolisme paru dan edema paru adalah beberapa kondisi lain yang menyababkan
gagal nafas.
3. PATOFISIOLOGI
Gagal nafas ada dua macam yaitu gagal nafas akut dan gagal nafas kronik dimana masing
masing mempunyai pengertian yang bebrbeda. Gagal nafas akut adalah gagal nafas yang timbul
pada pasien yang parunyanormal secara struktural maupun fungsional sebelum awitan penyakit
timbul. Sedangkan gagal nafas kronik adalah terjadi pada pasien dengan penyakit paru kronik
seperti bronkitis kronik, emfisema dan penyakit paru hitam (penyakit penambang
batubara).Pasien mengalalmi toleransi terhadap hipoksia dan hiperkapnia yang memburuk secara
bertahap. Setelah gagal nafas akut biasanya paru-paru kembali kekeasaan asalnya. Pada gagal
nafas kronik struktur paru alami kerusakan yang ireversibel.
Indikator gagal nafas telah frekuensi pernafasan dan kapasitas vital, frekuensi penapasan
normal ialah 16-20 x/mnt. Bila lebih dari20x/mnt tindakan yang dilakukan memberi bantuan
ventilator karena “kerja pernafasan” menjadi tinggi sehingga timbul kelelahan. Kapasitasvital
adalah ukuran ventilasi (normal 10-20 ml/kg).
Gagal nafas penyebab terpenting adalah ventilasi yang tidak adekuatdimana terjadi
obstruksi jalan nafas atas. Pusat pernafasan yang mengendalikan pernapasan terletak di bawah
batang otak (pons dan medulla).
Pada kasus pasien dengan anestesi, cidera kepala, stroke, tumor otak, ensefalitis,
meningitis, hipoksia dan hiperkapnia mempunyai kemampuan menekan pusat pernafasan.
Sehingga pernafasan menjadi lambat dan dangkal. Pada periode postoperatif dengan anestesi bisa
terjadi pernafasan tidak adekuat karena terdapat agen menekan pernafasan denganefek yang
dikeluarkanatau dengan meningkatkan efek dari analgetik opiood. Pnemonia atau dengan
penyakit paru-paru dapat mengarah ke gagal nafas akut.
4. MANIFESTASI KLINIS
Gejala klinis utama pada kasus ARDS :
1.Peningkatan jumlah pernapasan
2. Klien mengeluh sulit bernapas, retraksi dan sianosis
3. Pada Auskultasi mungkin terdapat suara napas tambahan
4.Penurunan kesadaran mental
5. Takikardi, takipnea
6.Dispnea dengan kesulitan bernafas
7. Terdapat retraksi interkosta
8. Sianosis
9. Hipoksemia
10. Auskultasi paru : ronkhi basah, krekels, stridor, wheezing
11. Auskultasi jantung : BJ normal tanpa murmur atau gallop
5. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
a. Pemeriksaan laboratorium
1. Pemeriksaan fungsi ventilasi
a. Frekuensi pernafasan per menit
b. Volume tidal (TV)= ins dan eks (500ml), cadangan ins (IRV) = 300 ml, cadangan Eks (ERV)
1100 ml. Residu dalam (VR) dalam paru setelah eks.
c. Ventilasi semenit
d. Kapasitas vital paksa
e. Volume ekspirasi paksa dalam 1 detik
f. Daya inspirasi maksimum
g. Rasio ruang mati/volume tidal .
h. PaCO2, mmHg
2. Pemeriksaan status oksigen
3. Pemeriksaan status asam-basa
4. Arteri gas darah (AGD) menunjukkan penyimpangan dari nilai normal pada PaO2, PaCO2,
dan pH dari pasien normal; atau PaO2 kurang dari 50 mmHg, PaCO2 lebih dari 50 mmHg, dan
pH < 7,35.
5. Oksimetri nadi untuk mendeteksi penurunan SaO2
6. Pemantauan CO2 tidal akhir (kapnografi) menunjukkan peningkatan
7. Hitung darah lengkap, serum elektrolit, urinalisis dan kultur (darah, sputum) untuk
menentukan penyebab utama dari kondisi pasien.
8. Sinar-X dada dapat menunjukkan penyakit yang mendasarinya.
9. EKG, mungkin memperlihatkan bukti-bukti regangan jantung di sisi kanan, disritmia.
b. Pemeriksaan hasil Analisa Gas Darah :
1. Hipoksemia ( pe ↓ PaO2 ) 2. Hipokapnia ( pe ↓ PCO2 ) pada tahap awal karena hiperventilasi
2. Hiperkapnia ( pe ↑ PCO2 ) menunjukkan gagal ventilasi
3. Alkalosis respiratori ( pH > 7,45 ) pada tahap dini
4.Asidosis respiratori / metabolik terjadi pada tahap lanjut
c Pemeriksaan Rontgent Dada :
1.Tahap awal ; sedikit normal, infiltrasi pada perihilir paru
2.Tahap lanjut ; Interstisial bilateral difus pada paru, infiltrate di alveoli
d. Tes Fungsi paru :
1.Pe ↓ komplain paru dan volume paru
2. Pirau kanan-kiri meningkat
6. PENATALAKSANAAN ARDS
• Terapi oksigen
Pemberian oksigen kecepatan rendah : masker Venturi atau nasal prong
• Ventilator mekanik dengan tekanan jalan nafas positif kontinu (CPAP) atau PEEP
• Inhalasi nebulizer
• Fisioterapi dada
• Pemantauan hemodinamik/jantung
• Pengobatan Brokodilator Steroid
• Dukungan nutrisi sesuai kebutuhan
7. KOMPLIKASI
Menurut Hudak & Gallo ( 1997 ), komplikasi yang dapat terjadi pada ARDS adalah :
- Abnormalitas obstruktif terbatas ( keterbatasan aliran udara )
- Defek difusi sedang
- Hipoksemia selama latihan
- Toksisitas oksigen
- Sepsis
1. Penyebab sentral
a.Trauma kepala : contusio cerebri
b.Radang otak : encephalitis
c.Gangguan vaskuler : perdarahan otak , infark otak
d.Obat-obatan : narkotika, anestesi
2.Penyebab perifer
a.Kelainan neuromuskuler : GBS, tetanus, trauma cervical, muscle relaxans
b.Kelainan jalan nafas : obstruksi jalan nafas, asma bronchiale
c.Kelainan di paru : edema paru, atelektasis, ARDS
d.Kelainan tulang iga/thoraks: fraktur costae, pneumo thorax, haematothoraks
e.Kelainan jantung : kegagalan jantung kiri
1.Faktor predisposisi
Terjadinya gagal napas pada bayi dan anak dipengaruhi oleh beberapa faktor yang
berbeda dengan orang dewasa, yaitu :
a.Struktur anatomi
1).Dinding dada
Dinding dada pada bayi dan anak masih lunak disertai insersi tulang iga yang kurang
kokoh, letak iga lebih horisontal dan pertumbahan otot interkostal yang belum
sempurna, menyebabkan pergerakan dinding dada terbatas.
2).Saluran pernapasan
Pada bayi dan anak relatif lebih besar dibandingkan dengan dewasa. Besar trakea
neonatus 1/3 dewasa dan diameter bronkiolus ½ dewasa, sedangkan ukuran tubuh
dewasa 20 kali neonatus. Akan tetapi bila terjadi sumbatan atau pembengkakan 1 mm
saja, pada bayi akan menurunkan luas saluran pernafasan 75 %. 3).Alveoli
Jaringan elastis pada septum alveoli merupakan ‘ elastic recoil ’ untuk mempertahankan
alveoli tetap terbuka. Pada neonatus alveoli relatif lebih besar dan mudah kolaps.
Dengan makin besarnya bayi, jumlah alveoli akan bertambah sehingga akan menambah
‘ elastic recoil’.
b.Kerentangan terhadap infeksi
Bayi kecil mudah terkena infeksi berat seperti pneumonia, pada anak kerentangan
terhadap infeksi traktus respiratorius merupakan faktor predisposisi gagal napas.
c.Kelainan konginetal
Kelainan ini dapat mengenai semua bagian sistem pernafasan atau organ lain yang
berhubungan dengan alat pernafasan.
d.Faktor fisiologis dan metabolik
Kebutuhan oksigen dan tahanan jalan nafas pada bayi lebih besar daripada dewasa. Bila
terjadi infeksi, metabolisme akan meningkat mengakibatkan kebutuhan oksigen
meningkat. Kebutuhan oksigen tersebut di capai dengan menaikkan usaha pernafasan,
dengan akibat pertama adalah kehilangan kalori dan air; Kedua dibutuhkan kontraksi
otot pernafasan yang sempurna. Karena pada bayi dan anak kadar glikogen rendah,
maka dengan cepat akan terjadi penimbunan asam organik sebagai hasil metabolisme
anaerib akibatnya terjadi asidosis.
D.PATOFISIOLOGI GAGAL NAPAS
Gagal nafas ada dua macam yaitu gagal nafas akut dan gagal nafas kronik dimana
masing masing mempunyai pengertian yang bebrbeda. Gagal nafas akut adalah gagal
nafas yang timbul pada pasien yang parunyanormal secara struktural maupun
fungsional sebelum awitan penyakit timbul. Sedangkan gagal nafas kronik adalah
terjadi pada pasien dengan penyakit paru kronik seperti bronkitis kronik, emfisema dan
penyakit paru hitam (penyakit penambang batubara).Pasien mengalalmi toleransi
terhadap hipoksia dan hiperkapnia yang memburuk secara bertahap. Setelah gagal
nafas akut biasanya paru-paru kembali kekeasaan asalnya. Pada gagal nafas kronik
struktur paru alami kerusakan yang ireversibel.
Indikator gagal nafas telah frekuensi pernafasan dan kapasitas vital, frekuensi
penapasan normal ialah 16-20 x/mnt. Bila lebih dari20x/mnt tindakan yang dilakukan
memberi bantuan ventilator karena “kerja pernafasan” menjadi tinggi sehingga timbul
kelelahan. Kapasitasvital adalah ukuran ventilasi (normal 10-20 ml/kg).
Gagal nafas penyebab terpenting adalah ventilasi yang tidak adekuatdimana terjadi
obstruksi jalan nafas atas. Pusat pernafasan yang mengendalikan pernapasan terletak di
bawah batang otak (pons dan medulla). Pada kasus pasien dengan anestesi, cidera
kepala, stroke, tumor otak, ensefalitis, meningitis, hipoksia dan hiperkapnia
mempunyai kemampuan menekan pusat pernafasan. Sehingga pernafasan menjadi
lambat dan dangkal. Pada periode postoperatif dengan anestesi bisa terjadi pernafasan
tidak adekuat karena terdapat agen menekan pernafasan denganefek yang
dikeluarkanatau dengan meningkatkan efek dari analgetik opiood. Pnemonia atau
dengan penyakit paru-paru dapat mengarah ke gagal nafas akut.
Pada pernafasan spontan inspirasi terjadi karena diafragma dan otot intercostalis
berkontraksi, rongga dada mengembang dan terjadi tekanan negatif sehingga aliran
udara masuk ke paru, sedangkan fase ekspirasi berjalan secara pasif .
Pada pernafasan dengan ventilasi mekanik, ventilator mengirimkan udara dengan
memompakan ke paru pasien, sehingga tekanan selama inspirasi adalah positif dan
menyebabkan tekanan intra thorakal meningkat. Pada akhir inspirasi tekanan dalam
rongga thoraks paling positif.
Terdapat 2 mekanisme dasar yang mengakibatkan kegagalan pernafasan yaitu obstruksi
saluran nafas dan konsolidasi atau kolaps alveolus. Apabila seorang anak menderita
infeksi saluran nafas maka akan terjadi :
1.Sekresi trakeobronkial bertambah
2.Proses peradangan dan sumbatan jalan nafas
3.aliran darah pulmonal bertambah
4.‘metabolic rate’ bertambah
Akibat edema mukosa, lendir yang tebal dan spasme otot polos maka lumen saluran
nafas berkurang dengan hebat. Hal ini mengakibatkan terperangkapnya udara dibagian
distal sumbatan yang akan menyebabkan gangguan oksigenasi dan ventilasi. Gangguan
difusi dan retensi CO2 menimbulkan hipoksemia dan hipercapnea, kedua hal ini
disertai kerja pernafasan yang bertambah sehingga menimbulkan kelelahan dan
timbulnya asidosis. Hipoksia dan hipercapnea akan menyebabkan ventilasi alveolus
terganggu sehingga terjadi depresi pernafasan, bila berlanjut akan menyebabkan
kegagalan pernafasan dan akirnya kematian.
Hipoksemia akan menyebabkan vasokontriksi pembuluh darah pulmonal yang
menyebabkan tahanan alveolus bertambah, akibatnya jantung akan bekerja lebih berat,
beban jantung bertambah dan akirnya menyebabkan gagal jantung.
Akibat bertambahnya aliran darah paru, hipoksemia yang mengakibatkan permiabilitas
kapiler bertambah, retensi CO2 yang mengakibatkan bronkokontriksi dan ‘metabolic
rate’ yang bertambah, terjadinya edema paru. Dengan terjadinya edema paru juga
terjadinya gangguan ventilasi dan oksigenisasi yang akhirnya dapat menimbulkan gagal
nafas.
F. PEMERIKSAAN FISIK
1. Sirkulasi
· Tanda : Takikardia, irama ireguler
· S3S4/Irama gallop
· Daerah PMI bergeser ke daerah mediastinal
· Hamman’s sign (bunyi udara beriringan dengan denyut jantung menandakan
udara di mediastinum)
· TD : hipertensi/hipotensi
· Nyeri/Kenyamanan
– Gejala : nyeri pada satu sisi, nyeri tajam saat napas dalam, dapat menjalar ke
leher, bahu dan abdomen, serangan tiba-tiba saat batuk
– Tanda : Melindungi bagian nyeri, perilaku distraksi, ekspresi meringis
· Pernapasan
– Gejala : riwayat trauma dada, penyakit paru kronis, inflamasi paru , keganasan,
“lapar udara”, batuk
– Tanda : takipnea, peningkatan kerja pernapasan, penggunaan otot asesori,
penurunan bunyi napas, penurunan fremitus vokal, perkusi : hiperesonan di atas area
berisi udara (pneumotorak), dullnes di area berisi cairan (hemotorak); perkusi :
pergerakan dada tidak seimbang, reduksi ekskursi thorak. Kulit : cyanosis, pucat,
krepitasi sub kutan; mental: cemas, gelisah, bingung, stupor.
· Keamanan
– Gejala : riwayat terjadi fraktur, keganasan paru, riwayat radiasi/kemoterapi
Penyuluhan/pembelajaran
– Gejala : riwayat faktor resiko keluarga dengan tuberkulosis, kanker.
G.PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pengenalan dini gagal nafas sulit diketahui secara klinis, pemeriksaan laboratorium
yang terpenting untuk membantu diagnosa gagal napas ialah pemeriksaan analisa gas
darah untuk mengetahui keadaan oksigenasi, ventilasi dan keseimbangan asam basa,
saturasi O2 dan pH darah.
Pada pemeriksaan BGA pada gagal nafas akan didapat Hipoksemia, hiperkapnia,
asidosis (respiratorik atau metabolik).
Hb : dibawah 12 gr %
I. LANDASAN TEORI
A. PENGERTIAN
Gagal napas akut adalah pertukaran gas yang tidak adekuat sehingga terjadi hipoksia,
hiperkapnia (peningkatan konsentrasi karbon dioksida arteri), dan asidosis (Corwin, 2009).
Gagal napas akut adalah memburuknya proses pertukaran gas paru yang mendadak dan
mengancam jiwa, menyebabkan retensi karbon dioksida dan oksigen yang tidak adekuat
(Morton, 2011).
Urden, Stacy dan Lough mendifinisikan gagal napas akut sebagai suatu keadaan klinis yaitu
sistem pulmonal tidak mampu mempertahankan pertukaran gas yang adekuat (Chang, 2009).
Gagal nafas adalah pertukaran gas yang tidak adekuat sehingga terjadi hipoksia, hiperkapnia
(peningkatan konsentrasi karbondioksida arteri) dan asidosis.
B. ANATOMI DAN FISIOLOGI
1. Saluran Nafas Bagian Atas
a. Rongga hidung
Udara yang dihirup melalui hidung akan mengalami tiga hal :
Dihangatkan
Disaring
Dan dilembabkan
Yang merupakan fungsi utama dari selaput lendir respirasi ( terdiri dari :Psedostrafied ciliated
columnar epiteliumyang berfungsi menggerakkan partikel partikel halus kearah faring sedangkan
partikel yang besar akan disaring oleh bulu hidung, sel golbet dan kelenjar serous yang berfungsi
melembabkan udara yang masuk, pembuluh darah yang berfungsi menghangatkan udara).
Ketiga hal tersebut dibantu dengan concha. Kemudian udara akan diteruskan ke
b. Nasofaring (terdapat pharyngeal tonsildan Tuba Eustachius)
c. Orofaring (merupakan pertemuan rongga mulut dengan faring,terdapat pangkal lidah)
d. Laringofaring(terjadi persilangan antara aliran udara dan aliran makanan)
e. Laring
Terdiri dari tiga struktur yang penting
Tulang rawan krikoid
Selaput/pita suara
Epilotis
Glotis
2. Saluran Nafas Bagian Bawah
a. Trakhea
Merupakan pipa silider dengan panjang ± 11 cm, berbentuk ¾ cincin tulang rawan seperti
huruf C. Bagian belakang dihubungkan oleh membran fibroelasticmenempel pada dinding
depan usofagus.
b. Bronkhi
Merupakan percabangan trakhea kanan dan kiri. Tempat percabangan ini
disebutcarina.Brochus kanan lebih pendek, lebar dan lebih dekat dengan trachea.Bronchuskanan
bercabang menjadi : lobus superior, medius, inferior. Brochuskiri terdiri dari : lobus
superior dan inferior
c. Paru
Paru-paru terletak di dalam rongga dada bagian atas, di bagian samping dibatasi oleh otot dan
rusuk dan di bagian bawah dibatasi oleh diafragma yang berotot kuat. Paru-paru ada dua bagian
yaitu paru-paru kanan (pulmo dekster) yang terdiri atas 3 lobus dan paru-paru kiri (pulmo
sinister)yang terdiri atas 2 lobus.
Paru-paru dibungkus oleh dua selaput yang tipis, disebut pleura. Selaput bagian dalam yang
langsung menyelaputi paru-paru disebut pleura dalam (pleura visceralis) dan selaput yang
menyelaputi rongga dada yang bersebelahan dengan tulang rusuk disebut pleura luar (pleura
parietalis).Antara selaput luar dan selaput dalam terdapat rongga berisi cairan pleura yang
berfungsi sebagai pelumas paru-paru. Cairan pleura berasal dari plasma darah yang masuk secara
eksudasi. Dinding rongga pleura bersifat permeabel terhadap air dan zat-zat lain.
Paru-paru tersusun oleh bronkiolus, alveolus, jaringan elastik, dan pembuluh darah. Paru-paru
berstruktur seperti spon yang elastis dengan daerah permukaan dalam yang sangat lebar untuk
pertukaran gas.
Di dalam paru-paru, bronkiolus bercabang-cabang halus dengan diameter ± 1 mm, dindingnya
makin menipis jika dibanding dengan bronkus. Bronkiolus ini memiliki gelembung-gelembung
halus yang disebut alveolus. Bronkiolus memiliki dinding yang tipis, tidak bertulang rawan, dan
tidak bersilia.
Gas memakai tekanannya sendiri sesuai dengan persentasenya dalam campuran, terlepas dari
keberadaan gas lain (hukum Dalton). Bronkiolus tidak mempunyi tulang rawan, tetapi rongganya
masih mempunyai silia dan di bagian ujung mempunyai epitelium berbentuk kubus bersilia. Pada
bagian distal kemungkinan tidak bersilia. Bronkiolus berakhir pada gugus kantung udara
(alveolus).
Alveolus terdapat pada ujung akhir bronkiolus berupa kantong kecil yang salah satu sisinya
terbuka sehingga menyerupai busa atau mirip sarang tawon. Oleh karena alveolus berselaput
tipis dan di situ banyak bermuara kapiler darah maka memungkinkan terjadinya difusi gas
pernapasan.
C. ETIOLOGI
1. faktor penyebab gagal napas
a. penyakit paru/ jalan napas instrinsik
1) obstruksi jalan napas besar:
a) deformitas kongenital
b) laringitis akut, epiglotis
c) Benda asing
d) Tekanan ekstrinsik
e) Cedera traumatik
f) Pembesaran tonsil dan adenoid
g) Apnea tidur obstruktif
2) Penyakit bronkial:
a) Bronkitis kronis
b) Asma
c) Bronkiolitis akut
3) Penyakit parenkim:
a) Emfisems pulmonal
b) Fibrosis pulmonal dan penyakit infiltratif difusi kronis lainnya.
c) Pneumonia berat.
d) Cedera paru akut akibat berbagai penyebab (sindrom gawat napas akut).
4) Penyakit kardiovaskulaer:
a) Edema jantung paru
b) Embolisme paru masif atau berulang
c) Vaskulitis pulmonal
b. Gangguan ekstra pulmonal:
1) Penyakit pleura dan dinding dada:
a) Pneumototaks
b) Efusi pleura
c) Fibrotoraks
d) Deformitas dinding dada
e) Cedera traumatik pada dinding dada: flail chest
f) Obesitas
2) Gangguan otot pernapasan dan taut neuromuskuler:
a) Miastenia gravis dan gangguan mirip miastenia
b) Distrofi muskuler
c) Polimiositis
d) Botulisme
e) Obat paralisis otot
f) Hipokalemia berat dan hipofosfatemia
3) Gangguan saraf perifer dan medula spinalis:
a) Poliomielitis
b) Sindrom Guillain-Barre
c) Trauma medula spinalis (kuadriplegia)
d) Sklerosis lateral amiotropik
e) Tetanus
f) Sklerosis multipel
4) Gangguan sistem saraf pusat:
a) Overdosis obat sedatif dan narkotik
b) Trauma kepala
c) Hipoksia serebral
d) Cedera serebrovaskuler
e) Infeksi sistem saraf pusat
f) Kejang epilepsi: status epileptikus
g) Gangguan metabolik dan endokrin
h) Poliomielitis bulbar
i) Hipoventilasi alveolar primer
j) Sindrom apnea tidur
k)
2. Faktor pemicu gagal napas akut:
a. Perubahan sekret trakeobronkus
b. Infeksi virus atau bakteri
c. Gangguan pembersih trakeobronkus
d. Obat-obat: sedatif, narkotik, anestesi, oksigen
e. Inhalasi atau aspirasi iritan, muntah, benda asing
f. Gangguan kardiovaskuler: gagal jantung, embolisme paru, syok
g. Faktor mekanis: pneumothoraks, efusi pleura, distensi abdomen
h. Trauma termasuk pembedahan
i. Abnormalitas neuromuskuler
j. Gangguan allergi: bronkospasme
k. Peningkatan kebutuhan oksigen: demam, infeksi
l. Keletihan otot inspirasi (Morton, 2012)
D. Patofisiologi
Gagal nafas akut dapat disebabkan oleh berbagai keadaan, diantaranya mengakibatkan ventilasi
yang tidak adekuat. Salah satu penyebab terpenting pada ventilasi yang tidak adekuat adalah
obstruksi saluran pernapasan atas.
Depresi sistem saraf pusat juga akan mengakibatkan ventilasi yang tidak adekuat. Pusat
pernapasan, yang mengendalikan pernapasan, terletak di bagian bawah batang otak /pons dan
medulla oblongata (muttaqin)
E. Klasifikasi
Berdasarkan penyebab organ yang terganggu dapat dibagi menjadi 2, yaitu:
1. kardiak
Gangguan gagal nafas bisa terjadi akibat adanya penurunan PaO2 dan peningkatan PaCO2 akibat
jauhnya jarak difusi akibat edema paru. Edema paru ini terjadi akibat kegagalan jantung untuk
melakukan fungsinya sehinmgga terjadi peningkatan perpindahan cairan dari vaskuler ke
interstitial dan alveoli paru. Terdapat beberapa penyakit kardiovaskuler yang mendorong
terjadinya disfungsi miokard dan peningkatan LVEDV dan LVEDP yang menyebabkan
mekanisme backward-forward sehingga terjadi peningkatan tekanan hidrostatik kapiler paru,
cairan berpindah ke -Penyakit yang menyebabkan disfungsi miokard : infark miokard,
kardiomiopati, dan miokarditis
Penyakit yang menyebabkan peningkatan LVEDV dan LVEDP :
a. Meningkatkan beban tekanan : aorta stenosis, hipertensi, dan Coartasio Aorta
b. Meningkatkan volume : mitral insufisiensi, aorta insufisiensi. ASD dan VSD
c. Hambatan pengisian ventrikel : mitral stenosis, dan trikuspidal insufisiensi
interstitial – alveolar paru dan terjadilah edema paru.
2. Nonkardiak
Terutama terjadi gangguan di bagian saluran pernafasan atas dan bawah serta proses difusi. Hal
ini bisa disebabkan oleh beberapa hal seperti adanya obstruksi, emfisema, atelektasis,
pneumothorax, ARDS dll.
1. mekanisme oksigenasi yang tidak adekuat atau hipoksemia.
Tipe 2 gagal napas hipoksemia hiperkapnea : kegagalan ini menunjukkan abnormalitas
oksigenasi darah dan ketidakmampuan sistem
pernapasan untuk mengeliminasi karbon dioksida. Pada tipe ini, PaO2 pasien dapat rendah ( 60
mmHg atau kurang ), sedangkan PaCO2 dapat naik ( lebih dari 45 mmHg ). Dengan
demikian Berdasarkan perubahan O2 dan CO2 dapat dibagi menjadi :
Kegagalan pada sistem respirasi dapat terjadi dengan atau tanpa gangguan eliminasi
karbodioksida.
Akibatnya gagal napas di bagi menjadi dua tipe utama, yaitu : kegagalan hipoksia dan kegagalan
hipoksemia hiperkapnea.
2. Tipe 1 gagal nafas hipoksemia : kegagalan ini dideskripsikan sebagai oksigenasi darah yang
abnormal. Sebagaimana ditunjukkan oleh namanya, pada tipe gagal nafas ini, PaO2 pasien ini
dapat rendah ( 60 mmHg atau kurang ) dan SaO2 akan rendah
( kurang dari 90 % ), namun PaO2 dapat normal hingga rendah. Jadi, mekanisme primer pada
tipe kegagalan ini adalah kegagalan tipe 2 merupakan kombinasi retensi CO2 ( hiperkapnea )
dengan oksigenasi yang tidak adekuat ( hipoksemia ).
F. ManifestasiKlinis
1. Sianosis
2. Dispneaberat
G. Pemeriksaan diagnostik
1. Hb : dibawah 12 gr %
2. Analisa gas darah :
pH dibawah 7,35 atau di atas 7,45
. paO2 Hipoksemiaringan : PaO2 < 80 mmHg
Hipoksemiasedang : PaO2 < 60 mmHg
Hipoksemiaberat : PaO2 < 40 mmHg
pCO2 di bawah 35 atau di atas 45 mmHg
H. Penatalaksanaan
Dasar penatalaksanaan terdiri dari penatalaksaan suportif/non spesifik dan kausatif/spesifik.
Umumnya dilakukan secara simultan antara keduanya.
Penatalaksanaan Suportif/Non spesifik
Penatalaksanaan non spesifik adalah tindakan yang secara tidak langsung ditujukan untuk
memperbaiki pertukaran gas, seperti pada tabel 2 berikut ini
1. Atasi Hipoksemia
Terapi Oksigen
Pada keadaan paO2 turun secara akut, perlu tindakan secepatnya untuk menaikkan PaO2
sampai normal. Berlainan sekali dengan gagal nafas dari penyakit kronik yang menjadi akut
kembali dan pasien sudah terbiasa dengan keadaan hiperkarbia sehingga pusat pernafasan tidak
terangsang oleh hipercarbia drive melainkan terhadap hypoxemia drive. Akibatnya kenaikan
PaO2 yang terlalu cepat, pasien dapat menjadi apnoe (Muhardi, 1989).
Dalam pemberian oksigen harus dipertimbangkan apakah pasien benar-benar membutuhkan
oksigen. Indikasi untuk pemberian oksigen harus jelas. Oksigen yang diberikan harus diatur
dalam jumlah yang tepat, dan harus dievaluasi agar mendapat manfaat terapi dan menghindari
toksisitas (Sue dan Bongard, 2003)
Terapi oksigen jangka pendek merupakan terapi yang dibutuhkan pada pasien-pasien dengan
keadaan hipoksemia akut. Oksigen harus segera diberikan dengan adekuat karena jika tidak
diberikan akan menimbulkan cacat tetap dan kematian. Pada kondisi ini oksigen harusdiberikan
dengan FiO2 60-100% dalam waktu pendek dan terapi yang spesifik diberikan. Selanjutnya
oksigen diberikan dengan dosis yang dapat mengatasi hipoksemia dan meminimalisasi efek
samping. Bila diperlukan oksigen dapat diberikan terus-menerus. (Brusasco dan Pellegrino,
2003)
Cara pemberian oksigen secara umum ada 2 macam yaitu sistem arus rendah dan sistem arus
tinggi (Tabel 3). Kateter nasal kanul merupakan alat dengan sistem arus rendah yang digunakan
secara luas. Nasal Kanul arus rendah mengalirkan oksigen ke nasofaring dengan aliran 1-6
L/mnt, dengan FiO2 antara 0,24-0,44 (24 %-44%). Aliran yang lebih tinggi tidak meningkatkan
FiO2 secara bermakna diatas 44% dan dapat mengakibatkan mukosa membran menjadi kering.
Untuk memperbaiki efisiensi pemberian oksigen, telah didisain beberapa alat,
diantaranya electronic demand device, reservoir nasal canul, dan transtracheal cathethers, dan
dibandingkan nasal kanul konvensional alat-alat tersebut lebih efektif dan efisien. Alat oksigen
arus tinggi di antaranya ventury mask dan reservoir nebulizer blenders. Alat ventury
maskmenggunakan prinsip jet mixing (efek Bernoulli). Dengan sistem ini bermanfaat untuk
mengirimkan secara akurat konsentrasi oksigen rendah (24-35 %). Pada pasien dengan PPOK
dan gagal napas tipe 2, bernapas dengan mask ini mengurangi resiko retensi CO2 dan
memperbaiki hipoksemia. Alat tersebut terasa lebih nyaman dipakai, dan masalah rebreathing
diatasi melalui proses pendorongan dengan arus tinggi tersebut. Sistem arus tinggi ini dapat
mengirimkan sampai 40 L/mnt oksigen melalui mask, yang umumnya cukup untuk total
kebutuhan respirasi. Dua indikasi klinis untuk penggunaan oksigen dengan arus tinggi ini adalah
pasien yang memerlukan pengendalian FiO2 dan pasien hipoksia dengan ventilasi
abnormal (Sue dan Bongard, 2003).
g. Penatalaksanaan Kausatif/Spesifik
Sambil dilakukan resusitasi (terapi suportif) diupayakan mencari penyebab gagal nafas.
Pengobatan spesifik ditujukan pada etiologinya, sehingga pengobatan untuk masing-masing
penyakit akan berlainan (Muhardi, 1989).
Semua terapi diatas dilakukan dalam upaya mengoptimalkan pasien gagal nafas di UGD
sebelum selanjutnya nanti di rawat di ICU. Penanganan lebih lanjut terutama masalah
penggunaan ventilator akan dilakukan di ICU berdasarkan guidiles penanganan pasien gagal
nafas di ICU pada tahap berikutnya.
I. Komplikasi
1. Oksigenasi ke organ lain yang buruk dapat menyebabkan kegagalan multi organ
2. Individu yang mengalami gagal nafas beresiko tinggi terhadap kematian
3. Infeksi paru dan abdomen merupakan komplikasi yang sering dijumpai. Adanya edema paru,
hipoksia alveoli, penurunan surfaktan akan menurunkan daya tahan paru terhadap infeksi.
J. Prognosis
Mortalitas rata-rata sekitar 50-60%. Mortalitas sekitar 40% didapatkan pada pasien dengan gagal
nafas saja, sedangkan pada pasien dengan sepsis atau adanya kegagalan organ utama didapatkan
mortalitas sekitar 70-80% dan bahkan bisa sampai 90% kalau sindrom gagal nafas amat berat.
Pada pasien yang bertahan hidup, umumnya fungsi paru akan kembali setelah berbulan-bulan,
namun harapan tersebut sangat kecil karena pasien yang menderita ARDS akan mengalami
kerusakan paru yang permanen dengan infeksi dan fibrosis.
A. Pengkajian
Pengkajian Primer
1. Airway
a. Peningkatansekresipernapasan
b. Bunyinafaskrekels, ronkidanmengi
2. Breathing
a. Distress pernapasan :pernapasancupinghidung, takipneu/bradipneu, retraksi.
b. Menggunakanototaksesoripernapasan
c. Kesulitanbernafas : diaforesis, sianosis
3. Circulation
a. Penurunancurahjantung : gelisah, letargi, takikardia
b. Sakitkepala
c. Gangguantingkatkesadaran : ansietas, gelisah, kacau mental, mengantuk
d. Papiledema
e. Penurunanhaluaran urine
f. Kapiler refill
g. Sianosis.
PengkajianSekunder
1. Pemeriksaanfisik head to toe.
2. Pemeriksaankeadaanumum dan kesadaran
3. Eliminasi
Kajihaluaranurin, diare/konstipasi.
4. Makanan/cairan
Penambahan BB yang signifikan, pembengkakanekstrimitasoedemapadabagiantubuh.
5. Nyeri/kenyamanan
Nyeripadasatusisi, ekspresimeringis.
6. Neurosensori
Kelemahan :perubahankesadaran.
B. DiagnosaKeperawatan
1. Ketidakefektifan bersihan jalan napas berhubungandenganpeningkatanproduksi secret.
2. Gangguanpertukaran gas berhubungandengansekresitertahan di permukaan alveoli, alveolar
hipoventilasi.
3. Ketidakefektifan pola napas berhubungandengan PPOM, distensidinding dada, kelelahan,
kerjapernafasan.
4. Penurunanperfusijaringanberhubungandenganmenurunnyacurahjantung, hipoksiajaringan,
asidosisdankemungkinantrombusatau emboli.
5. Ketidakseimbangan nutrisi : kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan intake yang tidak
adekuat
6. Nyeri berhubungan dengan agen injuri biologi
7. Defisit perawatan diri berhubungan penurunan kesadaran.
C. Rencana Keperawatan
1. Ketidakefektifan bersihan jalan napas berhubungandenganpeningkatanproduksi secret
NOC :
a. Menunjukan pembersihan jalan nafas yang efektif.
b. Mengeluarkan sekresi secara efektif
c. Mempunyai irama dan frekwensi pernafasan dalam rentang normal.
d. Mempunyai fungsi paru dalam batas normal
NIC :
Airway suction
a. Pastikankebutuhan oral/ tracheal suctioning
b. Auskultasisuaranafassebelumdansesudah suctioning
c. Informasikankepadakliendankeluargatentang suctioning
d. Berikan O2 dgnmenggunakan nasal untukmemfasilitasikansoctionnasotrakeal
e. Anjurkanalat yang sterilsetiapmelakukantindakan
f. Monitor status oksigenpasien
Airway management
a. Bukajalannafas
b. Posiskanpasienuntukmemaksimalkanventilasi
c. Indentifikasipasienperlunyapemasanganalatjalannafasbuatan
d. Lakukanfisioterapi dada jikaperlu
e. Berikan bronchodilator bilaperlu
f. Monitor respirasidan status O2
NIC :
Air way management
a. Bukajalannafas
b. Posisikanpasienuntukmemaksimalkanventilasi
c. Pasang mayo bilaperlu
d. Lakukan suction pada mayo
e. Auskultasisuaranafas, catatadanyasuatutambahan
f. Monitor konsentrasidan status O2
Respiratory monitoring :
a. Monitor rata-rata, kedalaman, iramadanusaharespirasi
b. Catatpengerakandada,amatikesimetrisan, penggunaanotottambahan,
retraksiototsupraclavikulardanintercostatis
c. Monitor suaranafas, sprtdengkur
d. Catatlokasitrakea
e. Monitor kelelahanototdiafragma ( gerakanparadoksis )
Tentukankebutuhan suction denganmengaukultasicreklesdanronchipadajlannafasutama
Auskultasisuaraparusetelahtindakanuntukmengetahuihasilnya
Terapioksigen
a. Bersihkanmulut, hidungdan secret trakea
b. Pertahankanjalannafas yang paten
c. Aturperalatanoksigenasi
d. Monitor aliranoksigenasi
e. Monitor adanyakecemasanpasientrhadapoksigenasi
D. Implementasi
1. Implementasi tindakan keperawatan gagal nafas didasarkan pada rencana yang telah
ditentukandengan prinsip : ABC (airway, breathing, circulation).
2. Mempertahankan ventilasi yang adekuat.
3. Menjaga bersihan jalan nafas
4. Mengatasi perubahan proses keluarga dan antisipasi berduka/ cemas
E. Evaluasi
Setelah tindakan keperawatan dilaksanakan evaluasi proses dan hasil mengacu pada kriteria
evaluasi yang telah ditentukan pada masing-masing diagnosa keperawatan sehingga :
1. Masalah teratasi atau tujuan tercapai (intervensi di hentikan)
2. Masalah teratasi atau tercapai sebagian (intervensi dilanjutkan.
3. Masalah tidak teratasi / tujuan tidak tercapai (perlu dilakukan pengkajian ulang & intervensi
dirubah).
DAFTAR PUSTAKA
Chang, Ester, 2009, Patofisiologi: aplikasi pada praktik keperawatan,
EGC: Jakarta
http://kegawatdaruratan.blogspot.com/2008/02/asuhan-keperawatan-klien-gagal-napas.html
Corwin, Elizabeth J, (2001), BukusakuPatofisiologi, Edisibahasa Indonesia,
EGC: Jakarta
Muttaqin, Arif, 2012, Buku Ajar Keperawatan Klien dengan Gangguan Sistem Persyarafan EGC:
Salemba Medika
Morton, Patricia Gonce, 2011, Keperawatan Kritis: Pendekatan Asuhan Kep. Holistik, Ed. 8,Egc:
Jakarta
http://curupmedicalcomunnity.blogspot.com/p/anatomi-dan-fisiologi-sistem-pernapasan.htm
VENTILASI MEKANIK VENTILATOR
Ventilasi Mekanik Ventilator adalah merupakan suatu alat bantu mekanik yang berfungsi
bermanfaat dan bertujuan untuk memberikan bantuan nafas pasien dengan cara memberikan
tekanan udara positif pada paru-paru melalui jalan nafas buatan dan juga merupakan mesin
bantu nafas yang digunakan untuk membantu sebagian atau seluruh proses ventilasi untuk
mempertahankan oksigenasi.
Ada beberapa hal yang menjadikan tujuan dan manfaat penggunaan ventilasi mekanik ini dan
juga beberapa kriteria pasien yang perlu untuk segera dipasang ventilator.
Tujuan Ventilator
- Mengurangi kerja pernapasan.
- Meningkatkan tingkat kenyamanan pasien.
- Pemberian MV yang akurat.
- Mengatasi ketidakseimbangan ventilasi dan perfusi.
- Menjamin hantaran O2 ke jaringan adekuat.
Indikasi :
1. Pasien Dengan Gagal Nafas.
Pasien dengan distres pernafasan gagal nafas, henti nafas (apnu) maupun hipoksemia yang
tidak teratasi dengan pemberian oksigen merupakan indikasi ventilasi mekanik. Idealnya pasien
telah mendapat intubasi dan pemasangan ventilasi mekanik sebelum terjadi gagal nafas yang
sebenarnya. Distres pernafasan disebabkan ketidakadekuatan ventilasi dan atau oksigenasi.
Prosesnya dapat berupa kerusakan paru (seperti pada pneumonia) maupun karena kelemahan
otot pernafasan dada (kegagalan memompa udara karena distrofi otot).
2. Insufisiensi jantung.
Tidak semua pasien dengan ventilasi mekanik memiliki kelainan pernafasan primer. Pada
pasien dengan syok kardiogenik dan CHF, peningkatan kebutuhan aliran darah pada sistem
pernafasan (sebagai akibat peningkatan kerja nafas dan konsumsi oksigen) dapat
mengakibatkan jantung kolaps. Pemberian ventilasi mekanik untuk mengurangi beban kerja
sistem pernafasan sehingga beban kerja jantung juga berkurang.
3. Disfungsi neurologis.
Pasien dengan GCS 8 atau kurang yang beresiko mengalami apnoe berulang juga
mendapatkan ventilasi mekanik. Selain itu ventilasi mekanik juga berfungsi untuk menjaga jalan
nafas pasien serta memungkinkan pemberian hiperventilasi pada klien dengan peningkatan
tekanan intra cranial.
4. Tindakan operasi.
Tindakan operasi yang membutuhkan penggunaan anestesi dan sedative sangat terbantu
dengan keberadaan alat ini. Resiko terjadinya gagal napas selama operasi akibat pengaruh
obat sedative sudah bisa tertangani dengan keberadaan ventilasi mekanik.
Kriteria Pemasangan Ventilasi Mekanik
Menurut Pontopidan (2003), seseorang perlu mendapat bantuan ventilasi mekanik (ventilator)
bila :
- RR > 35 x/menit.
- Hasil AGD dengan O2 masker PaO2 < 70 mmHg.
- PaCO2 > 60 mmHg
- AaDO2 dengan O2 100 % hasilnya > 350 mmHg.
- Vital capasity < 15 ml / kg BB.
- Tidal Volume < 5 cc/kg BB.
Setting Ventilator
1. Tentukan “Minute Volume” (M.V.) yaitu :
M.V = Tidal Volume (T.V) x Respiratory Rate (R.R)
Normal T.V = 10 – 15 cc/kg BB
Normal R.R =
- Dewasa = 10 – 12 x/menit
- Pada pasien dengan COPD, T.V lebih kecil, yaitu 6 – 8 cc/kg BB.
- Pada Servo Ventilator 900 C :
o M.V < 4 liter, pakai standar “infant”
o M.V. > 4 liter, pakai standar “adult”
2. Modus
Tergantung dari keadaan klinis pasien.
Bila mempergunakan “IMV”, harus dikombinasikan dengan “PEEP”.
3. PEEP
Ditentukan tergantung dari keadaan klinis pasien.
Pada pasien dengan edema paru, PEEP dimulai dengan 5 mmHg.
Pada pasien tidak dengan edema paru, PEEP dimulai dari nol, tetapi FiO2 dinaikan sampai
50%. Bila FiO2 tidak naik, baru diberikan PEEP mulai dari 5 mmHg.
Catatan :
- Selama pemakaian Ventilator, FiO2 diusahakan kurang dari 50 %
- PEEP dapat dinaikkan secara bertahap 2,5 mmHg, sampai batas maximal 15 mmHg.
4. Pengaturan Alarm
Oksigen = batas terendah : 10 % dibawah yang diset
batas tertinggi : 10 % diatas yang diset
“Expired M.V = kira-kira 20 % dari M.V yang diset
“Air Way Pressure” = batas tertinggi 10 cm diatas yang diset
Pemantauan
1. Observasi keadaan kardiovaskuler pasien : denyut jantung, tekanan darah, sianosis,
temperatur.
2. Auskultasi paru untuk mengetahui :
- Letak tube
- Perkembangan paru-paru yang simetris
- Panjang tube
3. Periksa AGD tiap 6 jam, kecuali ada perubahan seting, analisa gas darah diperiksa 20 menit
setelah ada perubahan seting.
Nilai standar : PCO2 = 35 – 45 mmHg
Saturasi O2 = 96 – 97 %
PaO2 = 80 – 100 mmHg
- PaO2 > 100 mmHg → FiO2 diturunkan bertahap 10 %.
- PCO2 > 45 mmHg → M.V dinaikkan.
- PCO2 < 35 mmHg → M.V diturunkan.
4. Periksa keseimbangan cairan setiap hari
5. Periksa elektrolit setiap hari
6. “Air Way Pressure” tidak boleh lebih dari 40 mmHg
7. “Expired Minute Volume” diperiksa tiap 2 jam
8. Usahakan selang nasogastrik tetap berfungsi.
9. Foto Thorax setiap hari → untuk melihat perkembangan klinis, letak ETT dan komplikasi yang
terjadi akibat pemasangan Ventilator.
10. Perhatikan ada tidaknya “tension pneumothorax” dengan melihat tanda-tanda sebagai berikut :
- Gelisah, kesadaran menurun
- Sianosis
- Distensi vena leher
- Trachea terdorong menjauh lokasi “tension pneumothorax”
- Salah satu dinding torak jadi mengembang
- Pada perkusi terdapat timpani.
Perawatan :
1. Terangkan tujuan pemakaian ventilator pada pasien dan atau pada keluarganya bagi pasien
yang tidak sadar.
2. Mencuci tangan sebelum dan sesudah melakukan tindakan, untuk mencegah infeksi.
3. “Breathing circuit” sebaiknya tidak lebih tinggi dari ETT, agar pengembunan air yang terjadi
tidak masuk ke paru pasien.
4. Perhatikan permukaan air di “humidifier”, jaga jangan sampai habis, air diganti tiap 24 jam.
5. Fiksasi ETT dengan plester dan harus diganti tiap hari, perhatikan jangan sampai letak dan
panjang tube berubah.
1. Tulis ukuran dan panjang tube pada “flow sheet”
6. Cegah terjadinya kerusakan trachea dengan cara :
2. Tempatkan tubing yang dihubungkan ke ETT sedemikian rupa sehingga posisinya berada
diatas pasien. Tubing harus cukup panjang untuk memungkinkan pasien dapat menggerakkan
kepala.
7. Memberikan posisi yang menyenangkan bagi pasien, dengan merubah posisi tiap 2 jam. Selain
itu perubahan posisi berguna untuk mencegah terjadinya dekubitus.
8. Memberi rasa aman dengan tidak meninggalkan pasien sendirian.
9. Teknik mengembangkan “cuff” :
- Kembangkan “cuff” dengan udara sampai tidak terdengar suara bocor.
- “cuff” dibuka tiap 2 jam selama 15 menit.
Kriteria Penyapihan
Pasien yang mendapat bantuan ventilasi mekanik dapat dilakukan penyapihan bila memenuhi
kriteria sebagai berikut:
Kapasitas vital 10-15 ml/kg BB
Volume tidal 4-5 ml/kg BB
Kekuatan inspirasi ≥ 20 cm H2O
RR < 20 kali/menit.
E. Dukungan Nutrisi
Pada pasien dengan dipasangnya Ventilasi Mekanik dukungan nutrisi harus diperhatikan
secara dini. Apabila hal ini terabaikan tidak sedikit terjadinya efek samping yang memperberat
kondisi pasien, bahkan bisa menimbulkan komplikasi paru dan kematian.
Bila saluran gastrointestinal tidak ada gangguan, Nutrisi Enteral dapat diberikan melalui
Nasogastric tube (NGT) yang dimulai dengan melakukan test feeding terlebih dahulu, terutama
pada pasien dengan post laparatomy dengan reseksi usus.
Alternatif lain apabila tidak memungkinkan untuk diberikan nutrisi melalui enteral bisa dilakukan
dengan pemberian nutrisi parenteral.
Pemberian nutrisi ?
F. Perawatan Mata
Pada pasien dengan pemasangan Ventilasi Mekanik perawatan mata itu sangat penting dalam
asuhan keperawatan. Pengkajian yang sering dan pemberian tetes mata/zalf mata bisa
menurunkan keringnya kornea. Bila refleks berkedip hilang, kelopak mata harus di plester untuk
mencegah abrasi kornea, kering dan trauma. Edema sclera dapat terjadi pada pasien dengan
Ventilasi Mekanik bila tekanan vena meningkat. Atur posisi kepala lebih atas/ekstensi.
Jenis ventilator ini banyak digunakan bagi pasien dewasa dengan gangguan paru secara
umum. Akan tetapi jenis ini tidak dianjurkan bagi pasien dengan gangguan pernapasan yang
diakibatkan penyempitan lapang paru (atelektasis, edema paru). Hal ini dikarenakan pada
volume cycled pemberian tekanan pada paru-paru tidak terkontrol, sehingga dikhawatirkan jika
tekanannya berlebih maka akan terjadi volutrauma. Sedangkan penggunaan pada bayi tidak
dianjurkan, karena alveoli bayi masih sangat rentan terhadap tekanan, sehingga memiliki resiko
tinggi untuk terjadinya volutrauma.