Anda di halaman 1dari 8

A.

Silsilah Ali bin Abi Thalib (36-41 H/656-661 M)


Ali adalah putera Abi Thalib ibn Abdul Muthalib. Ia dilahirkan di Mekkah,
daerah Hejaz, Jazirah Arab, hari Jum’at pada tanggal 13 Rajab tahun 602 M atau 10
tahun sebelum kelahiran Islam. Ia adalah sepupu Nabi Muhammad SAW yang telah
ikut bersamanya sejak bahaya kelaparan mengancam kota Mekkah, demi untuk
membantu keluarga pamannya yang mempunyai banyak putra. Ia merupakan anak
muda pertama yang menerima Islam pada usia belum mencapai 10 tahun. Nabi
mencintainya karena sifat-sifat yang mulia dan Ali dijadikan menantu oleh nabi
Muhammad SAW dengan menikahkannya dengan Fatimah salah seorang putri
Rasulullah.1
B. Kepribadian Ali bin Abi Thalib
Ali adalah salah seorang pemeluk Islam pertama dan juga keluarga dari Nabi
Muhammad SAW. Ali bin Abi Thalib membesar menjadi anak yang cepat matang,
yang juga menunjukkan kekuatan dan ketegasan. Saat ia menginjak usia remaja, ia
segera berperan penuh dalam dakwah Islam, tidak seperti yang dilakukan oleh
pemuda seusianya. Contoh yang paling jelas adalah keikhlasannya untuk menjadi
tameng Rasulullah SAW saat beliau hijrah dengan menempati tidur beliau. Ia juga
terlibat dalam peperangan yang hebat, seperti dalam perang Al Ahzab, dia pula yang
telah menembus benteng Khaibar. Sehingga dia dijuluki sebagai pahlawan Islam yang
pertama. Beliau amat fasih dalam berbicara, berani, pantang mundur, dermawan,
pemaaf, lembut dalam berbicara, dan halus perasaannya. Beliau adalah seorang yang
takwa tak terkira, tidak mau masuk dalam perkara yang syubhat, dan tidak pernah
melalaikan syariat. Beliau adalah seorang yang zuhud, dan memilih hidup
kesederhanaan. Ia meletakkan perkara pada tempatnya yang tepat. 2
C. Ali bin Abi Thalib Diangkat Menjadi Khalifah 656 M

1
Ali Mufrodi, Islam di Kawasan Kebudayaan Arab, (Jakarta : Logos, 1997), hlm. 63-64
2
http://www.academia.edu/8478476/Kepribadian_Para_Sahabat_Rasulullah_SAW, dikutip :
Selasa, 31 Maret 2015, pukul :12.55 WITA
Beberapa hari setelah pembunuhan Utsman, stabilitas keamanan kota
Madinah menjadi rawan. Gafiqy ibn Harb memegang keamanan ibukota Islam itu
selama kira-kira lima hari sampai terpilihnya khalifah yang baru. Kemudian Ali bin
Abi Thalib tampil menggantikan Utsman, menerima sumpah setia (bai’at) dari
sejumlah kaum Muslimin. Sjadzali menerangkan bahwa Madinah saat itu sedang
kosong, para sahabat banyak yang berkunjung kewilayah-wilayah yang baru
ditaklukan. Para sahabat tinggal sedikit yang berada di Madinah, mereka itu antara
lain ialah Thalhah ibn Ubaidillah dan Zubair ibn Awwam. Sedangkan mereka tidak
semuanya yang menyokong Ali, seperti Sa’ad ibn Waqqas dan Abdullah ibn Umar.
Ali menanyakan dimana kebereradaan mereka itu, karena merekalah yang berhak
menentukan siapa yang bakal menjadi Khalifah lantaran keseniorannya dan
mengikuti perang Badar. Maka, munculah Thalhah, Zubair dan Sa’ad membaiat Ali
dan kemudian diikuti oleh banyak orang baik dari kalangan Anshor maupun
Muhajirin, dan yang paling awal membaiat Ali adalah Thalhah ibn Ubaidillah.3
Oleh karena itu, pada tanggal 23 Juni 656 M, setiap orang memberikan
sumpah setia kepadanya, dan dia dinyatakan sebagai khalifah Islam. 4

D. Langkah-Langkah Perjuangan Khalifah Ali bin Abi Thalib


Sebagai seorang khalifah, Ali meneruskan cita-cita Abu Bakar dan Umar. Dia
mau mengikuti dengan tepat prinsip-prinsip baitul mal. Dia memutuskan untuk
mengembalikan ke dalam pembendaharaan negara semua tanah yang diambil alih
oleh Bani Umayyah dan lainnya pada masa kekhalifahan Utsman. Khalifah Ali juga
bertekad untuk mengganti semua gubernur yang tidak disenangi oleh rakyat. Dia
mengangkat Utsman bin Hanif sebagai gubernur Basra menggantikan Ibnu Amir.
Qais di kirim ke Mesir untuk menjadi gubernur yang disana menggantikan Abdullah.
Gubernur-gubernur Kufah dan Syiria dimintanya meletakkan jabatan, tetapi

3
Ibid, 64
4
Syed Mahmudunnasir, Islam Konsepsi dan Sejarahnya, (Bandung : Remaja Rosdakarya,
1994), hlm. 195
Muawiyah, gubernur Syiria menolak menaati Ali sebagai khalifah. Oleh karena itu,
khalifah Ali harus menghadapi kesulitan-kesulitan dengan Muawiyah.5
Ali bin Abi Thalib memindahkan ibu kota pemerintahan Islam dari Madinah
ke Kuffah. Langkah kebijakan Ali bin Abi Thalib yang demikian itu menimbulkan
perpecahan. Ada yang mendukung dan ada yang menolak, bahkan ada yang merasa
sakit hati. Akibatnya, di kalangan umat Islam terjadi perpecahan sehingga terdapat
tiga golongan yaitu :
1. Golongan Ali bin Abi Thalib, yaitu pendukung yang setia kepada khalifah Ali
bin Abi Thalib.
2. Golongan Muawiyah, yaitu orang yang menolak kekhalifahan Ali bin Abi
Thalib. Mereka mendukung Muawiyah menjadi khalifah. Mereka juga
menuntut balas atas kematian Utsman bin Affan. Mereka menuduh bahwa Ali
mendukung pemberontak yang mengakibatkan terbunuhnya Utsman bin
Affan.
3. Golongan Aisyah. Golongan ini didukung oleh Thalhah bin Zubair. Mereka
tidak setuju Ali bin Abi Thalib diangkat menjadi khalifah. Mereka juga
menolak penuntutan atas kematian Utsman bin Affan.6
Adanya golongan-golongan tersebut menimbulkan perselisihan yang semakin
besar diantara kaum Muslimin. Akibat perselisihan itu, terjadilah perang saudara.
Yaitu terjadinya Perang Jamal dan Perang Shiffin.
a. Perang Jamal (36 H/675 M)
Oposisi terhadap khalifah secara terang-terangan dimulai oleh Aisyah,
Thalhah dan Zubair. Meskipun masing-masing mempunyai alasan pribadi
sehubungan dengan penentangan terhadap Ali. Mereka sepakat menuntut Khalifah
segera menghukum para pembunuh Usman. Tuntutan yang sama juga diajukan oleh
Muawiyah, dan bahkan ia memanfaatkan peristiwa berdarah itu untuk menjatuhkan

5
Ibid, hlm. 195
6
Tim Bina Karya Guru, Bina Sejarah Kebudayaan Islam Jilid 4 untuk MI kelas 6, (Jakarta :
Erlangga, 2009), hlm.72-73
legalitas kekuasaan Ali, dengan membangkitkan kemarahan rakyat dan menuduh Ali
sebagai orang yang mendalangi pembunuhan Utsman, jika Ali tidak dapat
menemukan dan menghukum pembunuh yang sesungguhnya.
Akan tetapi tuntutan mereka tidak mungkin dikabulkan Ali. Pertama,  karena
tugas pertama yang mendesak dalam situasi kritis yang penuh intimidasi seperti saat
itu ialah memulihkan ketertiban dan mengonsolidasikan kependudukkan
kekhalifahan. Kedua, menghukum para pembunuh bukanlah perkara yang mudah,
khalifah Utsman tidak dibunuh hanya satu orang, melainkan banyak orang dari Mesir,
Irak, dan Arab secara langsung terlibat dalam perbuatan tersebut.
Khalifah Ali sebenarnya ingin menghindari pertikaian dan mengajukan
kompromi kepada Thalhah dan kawan-kawan, tetapi nampaknya penyelesaikan damai
sulit tercapai. Maka kontak senjata tak dapat dihindari lagi. Thalhah dan Zubair
terbunuh ketika hendak melarikan diri, sedangkan Aisyah dikembalikan ke Madinah.
Peperangan ini dikenal dengan nama “Perang Unta” (Jamal), pada tahun 36 H, dalam
pertempuran ini 20.000 kaum muslimin gugur.
Segera setelah menyelesaikan gerakan Thalhah dan kawan-kawan, pusat
kekuasaan Islam, khalifah memantapkan kekuasaannya di Basrah kemudian dia
berangkat ke kota Kuffah yang menjadi ibu kotanya. Maka, berakhirlah Madinah
sebagai ibukota kedaulatan Islam dan tidak ada lagi seorang khalifah yang berkuasa
berdiam disana. Sekarang Ali adalah pimpinan dari seluruh wilayah Islam, kecuali
Suriah. 7
b. Perang Shiffin
Ketua Bani Umayah, yaitu Muawiyah bin Abu Sufyan, gubernur Siria,
mengharapkan kekhalifahan dan memanfaatkan keadaan yang dtimbulkan oleh
pembunuhan Utsman itu untuk kepentingannya sendiri. Setelah pembunuhan Utsman,
banyak orang Bani Umayyah yang pergi ke Siria dan bergabung dengan Muawiyah.
Hal ini sangat memperkuat kekuatan ketua Umayyah dalam menentang khalifah Ali.
Lebih jauh lagi, Muawiyah menguasai seluruh sumber yang ada di provinsi yang luas
7
Ali Mufrodi, Op.Cit. hlm. 65
dan subur itu. Dia juga mengumpulkan orang-orang Arab Siria sebagai
mendukungnya. Akhirnya Muawiyah yang cerdik itu memanfaatkan pembunuhan
khalifah Utsman untuk menjatuhkan nama khalifah Ali dimata umat Islam. Dia
membangkitkan kemarahan rakyat dengan memperlihatkan di dalam mesjid
Damaskus barang-barang peninggalan khalifah Utsman. Dia menuntut Ali
menemukan dan menghukum para pembunuh, jika Ali tidak menemukannya, maka
dia harus menerima sebagai pembunuhnya.8
Dengan dikuasainya Suriah oleh Muawiyah, yang secara terbuka menentang
Ali, dan penolakannya atas perintah meletakan jabatan gubernur, memaksa Khalifah
Ali untuk bertindak. Pertempuran sesama Muslim terjadi lagi, yaitu antara pasukan
Ali dan pasukan Muawiyah di kota tua Siffin dekat sungai Euphrat, pada atahun 37
H. khalifah Ali mengerahkan 50.000 pasukan untuk menghadapi Muawiyah.
Sebenarnya pihak Muawiyah telah terdesak kalah, dengan 7.000 pasukannya
terbunuh, yang menyebabkan mereka mengangkat Al-Quran sebagai tanda minta
damai dengan cara tahkim. Khalifah diwakili olaeh Abu Musa al-asyari sedangkan
Muawiyah diwakili oleh ‘Amr ibn Ash yang terkenal cerdik. Dalam tahkim tersebut
khalifah dan muawiyah harus meletakkan jabatan, pemilihan baru harus dilaksanakan.
Abu Musa pertama kali menurunkan Ali sebagai khalifah. Tetapi ‘Amr bertindak
sebaliknya justru mengangkat Muawiyah sebagai Khalifah, karena Ali telah
diturunkan oleh Abu Musa. Peperangan Siffin yang diakhiri melalui tahkim arbitrase.
Dan menyebabkan lahirnya golongan Khawarij yang keluar dari barisan Ali, kira-kira
berjumlah 12.000 orang.
Karena kekuatannya telah banyak menurun, terpaksa khalifah Ali menyetujui
perjanjian damai dengan Muawiyah, yang secara politis berarti khalifah mengakui
keabsahan kepemilikan Muawiyah atas Suriah dan Mesir. Kompromi tersebut tanpa
diduga ternyata mengeraskan amarah kaum khawarij untuk menghukum orang-orang
yang tidak disukai.9

8
Syed Mahmudunnasir, Op.Cit., hlm. 197
9
Ali Mufrodi. Loc.Cit. hlm. 66-67
Akibat tahkim tersebut pasukan Ali bin Abi Thalib terpecah menjadi dua
golongan. Orang-orang yang kecewa dan tidak setuju dengan tahkim, menyatakan
keluar dari golongannya dan mereka membentuk golongan sendiri yang disebut
dengan Kaum Khawarij, sedangkan orang-orang yang setia kepadanya membentuk
golongan sendiri yang kemudian disebut dengan Kaum Syiah.
Dengan demikian, maka dikalangan kaum Muslimin terdapat tiga golongan,
yaitu golongan Khawarij, golongan Syiah, dan golongan Muawiyah.
a. Golongan Khawarij
Adapun yang dimaksud dengan Khawarij menurut terminologi Ilmu Kalam
adalah suatu sekte atau kelompok atau aliran pengikut Ali bin Abi Thalib yang keluar
meninggalkan barisan karena ketidaksepakatan terhadap keputusan Ali yang
menerima Arbitrase (tahkim) dalam perang Shiffin pada tahun 37 H/648 M, perihal
persengketaan khilafah dengan kelompok Mua’wiyah.10
Awal mulanya kaum Khawarij adalah suatu gerakan kaum Muslimin dalam
bidang politik yang kemudian beralih pada bidang teologi. Mereka adalah orang-
orang yang mendukung Sayyidina Ali. Akan tetapi akhirnya mereka membencinya
karena dianggap lemah dalam menegakkan kebenaran, menerima tahkim yang sangat
mengecewakan, sebagaimana mereka membenci Mu’awiyah karena melawan
Sayyidina Ali sebagai khalifah yang sah. Mereka menyatakan konfrontasinya dengan
pihak Mu’awiyah. Mereka juga menuntut agar Sayyidina Ali mengakui kesalahannya
karena mau menerima tahkim. Jika Sayyidina Ali mau bertaubat, maka mereka
bersedia untuk bergabung kembali kebarisan Ali untuk melawan Mu’awiyah. Namun
bila tidak, orang-orang khawarij akan menyatakan perang kepadanya dan kepada
Mu’awiyah.11
b. Golongan Syiah

10
Abdul Rozak, Rosihon Anwar, Ilmu Kalam untuk UIN, STAIN, PTAIS, (Bandung : Pustaka
Setia, 2007), hlm. 49
11
Rosihon Anwar, dan  Abdul Razak, Ilmu Kalam. (Bandung : Pustaka Setia. 2001), hlm. 50
Adalah orang yang mengikuti Ali dan termasuk bagian yang mengagungkan
khalifah Ali kemudian disebut sebagai syi’ahtu Ali (pengikut Ali) yang kemudian
hari dikenal dengan kelompok Syi’ah. Mereka kemudian berorientasi polotik.
Kekuatan politik tersebut mendudukan Ali sebagai khalifah, dan tidak pernah
mengakui kekhalifahan sebelumnya. Setelah Nabi wafat, kelompok simpatisan Ali
tersebut tidak mengakui Abu Bakar sebagai khalifah. Menurut mereka Ali adalah
keluarga Nabi (Ahl-al Bait) yang paling berhak untuk menjadi khalifah setelah
wafatnya Nabi Muhammad.12
c. Golongan Muawiyah
Golongan pendukung Dinasti Umayah. Golongan ini terdiri dari penduduk
Syam ( Suriah ) , Mesir, dan daerah-daerah sekitarnya. Mereka berpendapat bahwa
Kholifah harus berasal dari orang quraisy dan keturunan Dinasti Umayah lebih
berhak untuk itu.13
E. Khalifah Ali bin Abi Thalib Wafat
Proses disentegrasi tampaknya berjalan makin nyata dan cepat. Sahabat Ali
bin Abi Talib yang masuk Islam paling dini, sejak masih berusia 6 tahun, di kala
wahyu untuk pertama kali diterima Rasul, kini telah berusia 52 tahun. Panitia
pemilihan telah memilihnya untuk menjadi khalifah keempat. Namun saatnya
memang tidak menguntungkan. Thalhah maupun Zubair tidak berpihak padanya
dalam pemilihan, karena keduanya menuduh Ali dan Abi Thalib ada dibelakang
pembuhan terhadap Khalifah Usman. Mereka berdua memang dari Kelompok
Umayyah yang memilih Damaskus sebagai pusat pemerintahan.
Ali tidak sendirian dalam hal ini. Khalifah baru itu mendapat dukungan dari
partai Syiah, yang beranggapan bahwa seluruh kepemimpinan Islam sejak wafat
sebetulnya menjadi hak Ali bin Abi Thalib secara hukum. Mereka menuduh bahwa
para khalifah terdahulu telah merebut hak kewarisan kepemimpinan dari Ali.
12
M. Abdul Karim, Sejarah Pemikiran dan Peradaban Islam, (Yogyakarta : Pustaka Book
Publisher, 2007), hlm. 110
13
http://www.muhtarkhumaidi.com/2012/11/perkembangan-kebudayaan-peradaban-
islam.html, dikutip : Senin, 31 Maret 2014, pukul : 13. 16 WITA
Sebagaimana diketahui sahabat Ali bin Abi Thalib adalah kemenakan dan
sekaligus nenantu Nabi. Untuk selanjutnya partai Syi’ah selalu mengklaim bahwa
mereka merupakan keturunan lngsung Nabi Muhammad. Oleh karenanya merekalah
yang berhak atas semua kepemimpinan Islam sampai ahir zaman.14
Pada tahun 40 H, tiga orang Khawarij yaitu Abdurrahman bin Muljam, Barak
bin Abdillah at-Tamimy dan Amr bin Bakr at-Tamimy, berkomplot untuk membunuh
Ali, Muawiyah dan Amr bin Ash. Karena menurut tiga orang Khawarij ini ketiga
pemimpin inilah yang menyebabkan banyaknya pertikaian, perselisihan dan
peperangan.
Maka Abdurrahman bin Muljam berangkat ke Kufah untuk membunuh Ali.
Dia berhasil membunuh Ali dengan pedangnya pada saat Ali sedang memanggil
orang untuk sholat. Orang-orang yang sholat di masjid itu dapat menangkap ibnu
muljam, yang kemudian setelah Ali berpulang ke rahmatullah dia dibunuh.
Adapun Barak dapat menikam Muawiyah, tetapi tidak sampai membawanya mati.
Sedangkan Amr bin Bark telah menantikan Amr bin Ash keluar untuk sholat subuh,
tetapi beliau tidak keluar, karena kesehatannya terganggu.15

14
Abu Su’ud, Islamologi Sejarah, Ajaran, dan Peranannya dalam Peradaban Umat
Manusia, (Jakarta : Rineka Cipta, 2003), hlm. 64
15
A.Syalabi, Sejarah dan Kebudayaan Islam, Jilid I, Cet.V, (Jakarta: Pustaka Al husna,
1987), hlm. 307

Anda mungkin juga menyukai