Anda di halaman 1dari 20

Tugas Berstruktur Dosen Pembimbing

Masailul Fiqh Al Hadits Drs. H. Izzuddin, M.Ag

EUTHANASIA

Disusun Oleh :
Kelompok V
Nama NPM
Hatim Raji Amran Jailani Sukri 16.12.3914
Muhammad Zaini 16.12.4034
Nor Hasanah 16.12.4038
Siti Rahmaniah 16.12.3984

INSTITUT AGAMA ISLAM DARUSSALAM (IAID) MARTAPURA


JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
FAKULTAS TARBIYAH
2018/2019
KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah SWT yang telah melimpahkan taufik dan hidayah-Nya
sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini, yang berjudul Euthanasia.
Shalawat serta salam senantiasa tercurah kepada junjungan kita yaitu nabi besar
Muhammad SAW yang membawa kita dari alam jahiliyah menuju alam yang terang
benderang. Adapun tujuan dari makalah ini sebagai tugas kelompok dari mata kuliah
Masailul fiqh Al-Hadits. Sehubungan dengan hal tersebut, perlu kiranya kami
dengan ketulusan hati mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah
membantu kami dalam menyelesaikan makalah ini, khususnya kepada dosen
pembimbing.
Dalam penulisan makalah ini, kelompok kami merasa masih banyak
kekurangan baik pada teknis penulisan maupun materi, mengingat akan kemampuan
yang dimiliki anggota kelompok kami. Untuk itu kritik dan saran dari semua pihak
sangat kami harapkan demi penyempurnaan pembuatan makalah ini. Harapan kami
semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi para pembaca sekalian.

Martapura, 14 Oktober 2018

Kelompok 5

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ...................................................................................... i

DAFTAR ISI ................................................................................................... ii

BAB I : PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah ........................................................................ 1


B. Fokus Masalah ...................................................................................... 2
C. Tujuan Penulisan ................................................................................... 2

BAB II : PEMBAHASAN

A. Pengertian Euthanasia ........................................................................... 3


B. Motivasi Euthanasia .............................................................................. 4
C. Macam-Macam Euthanasia.................................................................... 5
D. Hukum Euthanasia ................................................................................ 7

BAB III : PENUTUP

A. Kesimpulan ......................................................................................... 16

DAFTAR PUSTAKA .................................................................................... 17

ii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Manusia adalah makhluk ciptaan Allah SWT yang paling sempuna, sesuai yang
dikatakan di dalam firman-Nya dalam surat At-Tiin ayat 4, “Sesungguhnya telah
kami ciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya”. Manusia di karuniai
kemampuan inteligensi yang tinggi, memiliki qalbu, serta nafsu syahwat, untuk itu
manusia seharusnya banyak-banyak bersyukur atas nikmat yang telah diberikan,
seperti nikmat kesehatan, dengan tubuh yang sehat manusia mampu melaksanakan
kegiatannya sehari-hari baik itu untuk pendidikan, pekerjaan, dan terutama dalam
rangka beribadah kepada Allah SWT.
Namun sepandai-pandainya manusia menjaga kesehatan, secanggih-canggih
apapun obat untuk mengantisipasi datangnya penyakit, tidak seorangpun manusia
dapat menolaknya. Sebab penyakit itu datangnya atas izin Allah, dan atas izin Allah
pulalah seseorang itu sembuh. Meskipun penyakit itu datang atas izin Allah, tetapi
tanpa kita sadari bahwa ternyata manusia itu sendirilah yang menyebabkan penyakit
itu menggerogotinya, sebagai contoh penyakit paru-paru, kolesterol tinggi, gula darah
tinggi, kanker yang paling sering dialami pada masa kini, penyakit itu mucul bisa saja
akibat dari pola makanan yang jauh dari kata sehat, seperti makan makanan instan,
kemudian juga berasal dari kebiasaan-kebiasaan buruk yang bersifat kumulatif,
seperti merokok yang pada akhirnya menjadi penyakit yang sangat parah sehingga
dapat menyebabkan kematian.
Banyaknya penderita penyakit kritis yang terjadi saat ini, bisa dibuktikan
dengan semakin banyaknya jumlah Rumah Sakit yang ada, dan tiap-tiap RS itu selalu
memiliki pasien yang sakit kritis, atau boleh dikatakan tidak pernah kosong. Penyakit
kritis seperti kanker yang sudah berada pada stadium 4, atau pasien yang telah lama
mengalami koma akibat benturan keras dikepala, membutuhkan waktu yang sangat
lama untuk melakukan perawatan serta pengobatannya.
1
Bagi pihak penderita yang memiliki kemampuan dalam bidang ekonomi tentu
saja bisa bernafas lega, dan bahkan sanggup mengatakan “Berapapun biayanya akan
ditanggung, asalkan ia sehat kembali seperti biasa” meskipun sebenarnya tidak ada
lagi harapan untuk hidup. Tetapi hal sebaliknya terjadi kepada pihak penderita yang
tidak memiliki kemampuan untuk menanggung seluruh biaya pengobatan dan
perawatan. Sehingga dari pihak medis tidak sepenuh hati dalam menjalankan
tugasnya, bahkan lebih ekstrim lagi, menghentikan pengobatan kepada pasien dan
mengakibatkan kematian.
Kasus yang telah dipaparkan di atas, merupakan salah satu contoh yang
termasuk pada perbuatan Euthanasia. Agar kita bisa lebih memahami tentang
euthanasia, kami akan mencoba menguraikan beberapa hal sehingga kita mampu
memahami, serta mengatahui status perbuatan tersebut, apakah dibolehkan dalam
Islam, ataupun dilarang.1

B. Fokus Masalah
1. Pengertian euthanasia
2. Motivasi euthanasia
3. Macam-macam euthanasia
4. Hukum euthanasia

C. Tujuan Penulisan
1. Mengetahui pengertian euthanasia
2. Mengetahui motivasi euthanasia
3. Mengetahui macam-macam euthanasia
4. Mengetahui hukum euthanasia

1
Rahmad Ashari “ Mutiara Ilmu”, http://rahmadashariuinsuska.blogspot.com/2013/10/pengertian-
euthanasia-sejarah-ragam.html

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Euthanasia
Euthanasia berasal dari bahasa Yunani “euthanatos” yang terbentuk dari
kata “eu” yang berarti “baik”, dan “thanatos”, yang berarti “kematian” adalah
tindakan dengan sengaja untuk mengakhiri hidup seseorang agar terbebas dari
kesengsaraan sakit yang diderita karena diyakini tidak ada lagi harapan untuk
sembuh.2 Dalam bahasa Arab dikenal dengan istilah qatlu ar-rahma atau taysir al-
maut yang diartikan sebagai tindakan memudahkan kematian seseorang dengan
sengaja tanpa merasakan sakit, karena kasih sayang, dengan tujuan meringankan
penderitaan orang yang sakit. 3 Menurut istilah kedokteran, euthanasia berarti
tindakan agar kesakitan atau penderitaan yang dialami seseorang yang akan
meninggal diperingan. Juga berarti mempercepat kematian seseorang yang ada
dalam kesakitan dan penderitaan hebat menjelang kematiannya. 4

Euthanasia (mempercepat kematian) tidak dikenal dalam terminologi Islam,


karena soal kematian itu penentu otoritas tunggalnya adalah Allah SWT.
Sebagaimana firman-Nya dalam surah Yunus ayat 49 (yang artinya) :

“Apabila telah datang ajal mereka tidak dapat mengundurkannya barang sesaat
pun, dan tidak (pula) dapat mempercepatnya.”

2
Ahmad Zahro, Fiqh Kontemporer Buku 1, (PT Qaf Media Krative, 2016), cet ke-1, h. 87
3
Yusuf Qardhawi, Fatwa-fatwa Kontemporer, (Jakarta: Gema Insani Press, 1995), h. 749-751.
4
Fahmi Drakel “Coretan Dinding”, http://drakelfahmi.blogspot.com/2012/06/euthanasia-dalam-
pandangan-hukum-islam.html
3
B. Motivasi Euthanasia

Pasien yang melakukan euthanasia didasari beberapa alasan seperti dibawah ini :
1. Faktor Ekonomi
Faktor ekonomi adalah satu sebab bagi seseorang ingin melakukan euthanasia,
dikarenakan biaya yang dibutuhkan untuk pengobatan yang sangat mahal,
sehingga pasien dibiarkan dengan peralatan medis yang seadanya, padahal pasien
tersebut membutuhkan pengobatan yang maksimal untuk mengobati penyakit itu.
Faktor ekonomi ini sangat berpengaruh dalam pengobatan pasien, apalagi pada
zaman sekarang ini, semua peralatan medis sulit dijangkau oleh masyarakat biasa
(miskin).
2. Pertimbangan Sarana dan Petugas Medis
Argumen pemikiran ini didasarkan atas pengutamaan seseorang individu diatas
individu yang lain, dengan alasan apabila ada pasien yang masih muda dan
diprediksikan lebih berpeluang untuk sembuh. Dengan alasan semacam ini,
petugas medis lebih mengutamakan pasien yang lebih muda tersebut. Namun
bagi seorang muslim, masalah seperti ini tidak diindahkan, hal ini di tegaskan di
dalam Al-Quran surat Ali Imran ayat 145:

ً ‫و ِلاَّل ِلِل ْف ِلا لاَّل ِل ِلتَا ًا ُمم َ اَّل‬ ‫ َوَما َ ا َا ِلََن ْف ٍس ْف‬....
َ ‫َا َ ُم‬
"Sesuatu yang bernyawa tidak akan mati melainkan dengan izin Allah, sebagai
ketetapan yang telah ditentukan waktunya". (QS. Ali „Imran [3] : 145)

Dengan demikian tidak ada jaminan bahwa pasien yang sakit ringan mampu
hidup lebih lama ketimbang pasien yang sakit parah. Padahal kematian seseorang
tidak akan terjadi kecuali atas kehendak-Nya.

3. Mati dengan Layak


Artinya bagi pasien yang sekarat yang diberikan kesempatan seluas-luasnya
untuk menikmati apa yang mereka inginkan daripada terbaring ditempat tidur,

4
yaitu dengan memberikan obat dalam dosis yang mematikan, sehingga si pasien
bisa dengan cepat mengakhiri hidupnya, padahal tindakan semacam ini sama saja
dengan bunuh diri dan merupakan dosa besar dalam pandangan Islam.

Hadits Rasulullah ‫ ﷺ‬dari Anas bin Malik yang artinya:

"Janganlah seseorang diantara kamu mengharapkan mati dikarenakan oleh


musibah yang menimpanya : tetapi jika ia mengharapkan mati, hendaknya ia
mengatakan : "Ya Allah, panjangkanlah umurku jika itu yang terbaik bagiku dan
matikanlah aku jika kematian adalah yang terbaik untukku".

Karena itu, seseorang muslim harus selalu berserah diri (tawakal) kepada Allah
dan kesedihan tidak boleh dibiarkan melanda selama masa-masa buruk yang
dialaminya, kendati harus pasrah menerima datangnya kematian, seseorang tidak
boleh kehilangan harapan akan kasih sayang Allah.5

C. Macam-macam Euthanasia

Secara umum euthanasia dapat dikelompokkan menjadi dua katagori:


1. Euthanasia aktif atau positif (taisir al-maut al-fa’al)
Euthanasia aktif ialah tindakan memudahkan kematian si penderita
dikarenakan kasih sayang, yang dilakukan oleh dokter dengan mempergunakan
instrumen (alat).
Beberapa contoh kasus euthanasia aktif :
a. Seseorang menderita kanker ganas dengan rasa sakit yang luar biasa hingga
penderita sering pingsan. Dalam hal ini dokter yakin bahwa yang
bersangkutan akan meninggal dunia. Kemudian dokter memberinya obat
dengan takaran tinggi (overdosis) yang sekiranya dapat menghilangkan rasa
sakitnya, tetapi menghentikan pernapasannya sekaligus.

5
Wita Aulia Rahmat, “Pendidikan Islam”, http://aul-al-ghifary.blogspot.com/2013/10/hukum-
euthanasia-menurut-islam.html

5
b. Orang yang mengalami keadaan koma yang sangat lama, misalnya karena
bagian otaknya terserang penyakit atau bagian kepalanya mengalami benturan
yang sangat keras. Dalam keadaan demikian ia hanya mungkin dapat hidup
dengan mempergunakan alat pernapasan, sedangkan dokter berkeyakinan
bahwa penderita tidak akan dapat disembuhkan. Alat pernapasan itulah yang
memompa udara ke dalam paru-parunya dan menjadikannya dapat bernapas
secara otomatis. Jika alat pernapasan tersebut dihentikan, si penderita tidak
mungkin dapat melanjutkan pernapasannya. Maka satu-satunya cara yang
mungkin dapat dilakukan adalah membiarkan si sakit itu hidup dengan
mempergunakan alat pernapasan buatan untuk melanjutkan gerak
kehidupannya. Namun, ada yang menganggap bahwa orang sakit seperti ini
sebagai “orang mati” yang tidak mampu melakukan aktivitas. Maka
memberhentikan alat pernapasan itu sebagai cara yang positif untuk
memudahkan proses kematiannya.

2. Euthanasia pasif atau negatif (taisir al- maut al-munfa’il)


Euthanasia pasif adalah tindakan dokter menghentikan pengobatan pasien
yang menderita sakit keras, yang secara medis sudah tidak mungkin lagi dapat
disembuhkan. Penghentian pengobatan ini berarti mempercepat kematian pasien.
Maka dapat dikatakan euthanasia aktif dengan euthanasia pasif terdapat
perbedaan, pada euthanasia negatif tidak dipergunakan alat-alat atau langkah-
langkah aktif untuk mengakhiri kehidupan si penderita, tetapi ia hanya dibiarkan
tanpa diberi pengobatan untuk memperpanjang hayatnya.
Contoh euthanasia pasif diantaranya :
a. Penderita kanker yang sudah kritis, orang sakit yang sudah dalam keadaan
koma, disebabkan benturan pada bagian kepalanya atau terkena semacam
penyakit pada otak yang tidak ada harapan untuk sembuh. Atau orang yang
terkena serangan penyakit paru-paru yang jika tidak diobati (padahal masih
ada kemungkinan untuk diobati) akan dapat mematikan penderita. Dalam hal

6
ini, jika pengobatan terhadapnya dihentikan akan dapat mempercepat
kematiannya.
b. Seorang anak yang kondisinya sangat buruk karena menderita tashallub al-
Asyram (kelumpuhan tulang belakang) atau syalal almukhkhi (kelumpuhan
otak). Dalam keadaan demikian ia dapat saja dibiarkan (tanpa diberi
pengobatan) apabila terserang penyakit paru-paru atau sejenis penyakit otak,
yang mungkin akan dapat membawa kematian anak tersebut.
At-tashallub al-asyram atau asy-syaukah al-masyquqah ialah kelainan pada
tulang belakang yang bisa menyebabkan kelumpuhan pada kedua kaki dan
kehilangan kemampuan/kontrol pada kandung kencing dan usus besar. Anak
yang menderita penyakit ini senantiasa dalam kondisi lumpuh dan selalu
membutuhkan bantuan khusus selama hidupnya.
Sedangkan asy-syalal al-mukhkhi (kelumpuhan otak) ialah suatu keadaan
yang menimpa saraf otak sejak anak dilahirkan yang menyebabkan
keterbelakangan pikiran dan kelumpuhan badannya dengan tingkatan yang
berbeda-beda. Anak yang menderita penyakit ini akan lumpuh badan dan
pikirannya serta selalu memerlukan bantuan khusus selama hidupnya.
Dalam contoh tersebut, “penghentian pengobatan” merupakan salah satu
bentuk eutanasia pasif. Menurut gambaran umum, anak-anak yang menderita
penyakit seperti itu tidak berumur panjang, maka menghentikan pengobatan
dan mempermudah kematian secara pasif (eutanasia negatif) itu mencegah
perpanjangan penderitaan si anak yang sakit atau kedua orang tuanya. 6

D. Hukum Euthanasia

Syariah Islam merupakan syariah sempurna yang mampu mengatasi segala


persoalan di segala waktu dan tempat. Berikut ini solusi syariah terhadap
euthanasia, baik euthanasia aktif maupun euthanasia pasif.

6
Yusuf Qardhawi, Fatwa-fatwa Kontemporer, (Jakarta: Gema Insani Press, 1995), h. 749-750
7
Ajaran Islam memberi petunjuk yang pasti tentang kematian. Dalam Islam
ditegaskan bahwa semua bentuk kehidupan ciptaan Allah akan mengalami
kebinasaan, kecuali Allah sendiri sebagai Sang Pencipta.
Firman Allah SWT :

“Tiap-tiap sesuatu pasti binasa, kecuali Allah. Bagi-Nyalah segala penentuan,


dan hanya kepada-Nyalah kamu dikembalikan”. (Q.S. Al Qasas [28] : 88)

Islam mengajarkan bahwa kematian datang tidak seorang pun yang dapat
memperlambat atau mempercepatnya. Allah menyatakan bahwa kematian hanya
terjadi dengan izin-Nya dan kapan saat kematian itu tiba telah ditentukan
waktunya oleh Allah. Dalam Islam kematian adalah sebuah gerbang menuju
kehidupan abadi (akhirat) dimana setiap manusia harus mempertanggung
jawabkan perbuatannya selama hidup didunia dihadapan Allah SWT.

Kode etik kedokteran Islami yang disahkan oleh Konferensi Internasional


Pengobatan Islam yang pertama (The First International Conference of Islamic
Medical) menyatakan: bahwa euthanasia aktif sama halnya dengan bunuh diri
(tidak dibenarkan) sesuai dengan firman Allah SWT:

“Dan janganlah kamu membunuh dirimu. Sesungguhnya Allah adalah maha


penyayang kepadamu” (Q.S. An-Nisa [4] : 29)

Kesabaran dan ketabahan terhadap rasa sakit dan penderitaan sangat


dihargai dan mendapat pahala yang besar dalam Islam. Sabda Rasulullah ‫ ﷺ‬:

“Tidaklah menimpa kepada seseorang muslim suatu musibah, baik kesulitan,


sakit, kesedihan, kesusahan maupun penyakit, bahkan dari yang menusuknya,
kecuali Allah menghapuskan kesalahan atau dosanya dengan musibah yang
dicobakannya itu.” (HR. Bukhari Muslim).7

7
Wita Aulia Rahmat, “Pendidikan Islam”, http://aul-al-ghifary.blogspot.com/2013/10/hukum-
euthanasia-menurut-islam.html
8
1. Hukum euthanasia aktif
Memudahkan proses kematian secara aktif (eutanasia positif) seperti pada
contoh (pertama) yang telah diterangkan tidak diperkenankan oleh syara‟.
Sebab yang demikian itu berarti dokter melakukan tindakan aktif dengan tujuan
membunuh si sakit dan mempercepat kematiannya melalui pemberian obat
secara overdosis. Maka dalam hal ini, dokter telah melakukan pembunuhan,
baik dengan cara seperti tersebut dalam contoh yang pertama, dengan
pemberian racun yang keras, dengan penyengatan listrik, ataupun dengan
menggunakan senjata tajam. Semua itu termasuk pembunuhan yang haram
hukumnya, bahkan termasuk dosa besar yang membinasakan.
Perbuatan demikian itu tidak dapat lepas dari kategori pembunuhan,
meskipun yang mendorongnya itu rasa kasihan kepada si sakit dan untuk
meringankan penderitaannya. „Karena bagaimanapun si dokter tidaklah lebih
pengasih dan penyayang daripada Dzat Yang Menciptakannya‟. Karena itu
serahkanlah urusan tersebut kepada Allah Ta‟ala, karena Dia-lah yang memberi
kehidupan kepada manusia dan yang mencabutnya apabila telah tiba ajal yang
telah ditetapkan-Nya.8
Syariah Islam mengharamkan euthanasia aktif, karena termasuk dalam
kategori pembunuhan sengaja (al-qatlu al-„amad), walaupun niatnya baik yaitu
untuk meringankan penderitaan pasien. Hukumnya tetap haram, walaupun atas
permintaan pasien sendiri atau keluarganya. 9
Imam Fakhrurrazi menyatakan bahwa secara fitrah, manusia beriman
tidak akan melakukan tindakan bunuh diri. Akan tetapi, dalam kondisi tertentu,
misalnya karena frustasi, mengalami kegagalan dan sebagainya, akan terbuka

8
Yusuf qhardawi, op. cit,. h. 751
9
Eka Yuliana, “ulala –ulili” http://ulala-ulili.blogspot.com/2012/12/makalah-euthanasia-dalam-
syariah-islam.html
9
peluang cukup besar untuk melakukannya. Dalam rangka itulah Al Qur‟an
melarang keras kaum mukminin untuk melakukan bunuh diri.

Di sisi lain, seseorang juga dilarang keras membunuh orang lain. Sebagai
bukti keseriusannya, Islam memberikan ancaman dan sanksi yang tegas bagi
pelakunya. Allah SWT berfirman :

“Dan barang siapa membunuh seorang mukmin dengan sengaja, maka


balasannya ialah jahannam, kekal ia didalamnya dan Allah murka kepadanya,
dan mengutukinya serta menyediakan azab yang besar baginya.” (Q.S. An-
Nisa [4] : 93)10

Dalil-dalil dalam masalah ini sangatlah jelas, yaitu dalil-dalil yang


mengharamkan pembunuhan. Baik pembunuhan jiwa orang lain, maupun
membunuh diri sendiri. Misalnya firman Allah SWT :

“Dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (untuk


membunuhnya) melainkan dengan sesuatu (sebab) yang benar...” (QS Al-
An‟aam [6] : 151)

“Dan tidak layak bagi seorang mu`min membunuh seorang mu`min (yang lain),
kecuali karena tersalah (tidak sengaja)…” (QS An-Nisaa` [4] : 92)

“Dan janganlah kamu membunuh dirimu, sesungguhnya Allah adalah Maha


Penyayang kepadamu.” (QS An-Nisaa` [4] : 29).

Dari dalil-dalil di atas, jelaslah bahwa haram hukumnya bagi dokter


melakukan euthanasia aktif. Sebab tindakan itu termasuk ke dalam kategori
pembunuhan sengaja (al-qatlu al-„amad) yang merupakan tindak pidana
(jarimah) dan dosa besar. Dokter yang melakukan euthanasia aktif, misalnya
dengan memberikan suntikan mematikan, menurut hukum pidana Islam akan

10
Kutbuddin Aibak, Kajian Fiqh Kontemporer, (Yogyakarta: KALIMEDIA, 2017), Cet ke-1, h. 150-
151
10
dijatuhi qishash (hukuman mati karena membunuh), oleh pemerintahan Islam
(Khilafah), sesuai firman Allah SWT :

“Telah diwajibkan atas kamu qishash berkenaan dengan orang-orang yang


dibunuh.” (QS Al-Baqarah [2] : 178)

Namun jika keluarga terbunuh (waliyyul maqtuul) menggugurkan qishash


(dengan memaafkan), qishash tidak dilaksanakan. Selanjutnya mereka
mempunyai dua pilihan lagi, meminta diyat (tebusan), atau
memaafkan/menyedekahkan. Firman Allah SWT :

“Maka barangsiapa yang mendapat suatu pemaafan dari saudaranya,


hendaklah (yang memaafkan) mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah
(yang diberi maaf) membayar (diyat) kepada yang memberi maaf dengan cara
yang baik (pula).” (QS Al-Baqarah [2] : 178).11

2. Hukum euthanasia pasif


Memudahkan proses kematian dengan cara pasif (eutanasia negatif) yang
berkisar pada “menghentikan pengobatan” atau tidak memberikan pengobatan.
Hal ini didasarkan pada keyakinan dokter bahwa pengobatan yang dilakukan itu
tidak ada gunanya dan tidak memberikan harapan kepada si sakit, sesuai dengan
sunnatullah (hukum Allah terhadap alam semesta) dan hukum sebab-akibat.
Diantara masalah yang sudah terkenal di kalangan ulama syara‟ ialah
bahwa mengobati atau berobat dari penyakit tidak wajib hukumnya menurut
jumhur fuqaha dan imam-imam mazhab. Bahkan menurut mereka, mengobati
atau berobat ini hanya berkisar pada hukum mubah. Dalam hal ini hanya
segolongan kecil yang mewajibkannya seperti yang dikatakan oleh sahabat-
sahabat Imam Syafi‟i dan Imam Ahmad sebagaimana dikemukakan oleh

11
Eka Yuliana, “Ulala –Ulili” http://ulala-ulili.blogspot.com/2012/12/makalah-euthanasia-dalam-
syariah-islam.html

11
Syekhul Islam Ibnu Taimiyah, dan sebagian ulama lagi menganggapnya
mustahab (sunnah).
Para ulama bahkan berbeda pendapat mengenai mana yang lebih utama:
berobat ataukah bersabar? Diantara mereka ada yang berpendapat bahwa
bersabar (tidak berobat) itu lebih utama, berdasarkan hadits Ibnu Abbas yang
diriwayatkan dalam kitab sahih dari seorang wanita yang ditimpa penyakit
epilepsi. Wanita itu meminta kepada Rasulullah ‫ ﷺ‬agar mendoakannya, lalu
beliau menjawab :

‫ و ك ي‬,‫ ل صبر‬:‫ فقا ت‬,‫ و ا حب بو دع و آهلل ا يش يك‬,‫ا ح بو ا صبري و ك ج ة‬

‫كشف‬ ‫ فدعا ها‬,‫كشف‬ ‫ فآدع آهلل ي‬,‫كشف‬

“Jika engkau mau bersabar (maka bersabarlah), engkau akan mendapatkan


surga; dan jika engkau mau, akan saya doakan kepada Allah agar Dia
menyembuhkanmu.‟ Wanita itu menjawab, aku akan bersabar. „Sebenarnya
saya tadi ingin dihilangkan penyakit saya. Oleh karena itu doakanlah kepada
Allah agar saya tidak minta dihilangkan penyakit saya.‟ Lalu Nabi mendoakan
orang itu agar tidak meminta dihilangkan penyakitnya.”

Disamping itu, juga disebabkan banyak dari kalangan sahabat dan tabi‟in
yang tidak berobat ketika mereka sakit, bahkan diantara mereka ada yang
memilih sakit, seperti Ubai bin Ka‟ab dan Abu Dzar radhiyallahu‟anhuma.
Namun demikian, tidak ada yang mengingkari mereka yang tidak mau berobat
itu.
Dalam kaitan ini, Imam Abu Hamid al-Ghazali telah menyusun satu bab
tersendiri dalam “Kitab at-Tawakkul” dari Ihya‟ Ulumuddin, untuk
menyanggah orang yang berpendapat bahwa tidak berobat itu lebih utama
dalam keadaan apa pun.
Demikian pendapat para fuqaha mengenai masalah berobat atau
pengobatan bagi orang sakit. Sebagian besar diantara mereka berpendapat
12
mubah, sebagian kecil menganggapnya mustahab (sunnah), dan sebagian kecil
lagi (lebih sedikit dari golongan kedua) berpendapat wajib.
Dalam hal ini saya sependapat dengan golongan yang mewajibkannya
apabila sakitnya parah, obatnya berpengaruh, dan ada harapan untuk sembuh
sesuai dengan sunnah Allah Ta‟ala.
Inilah yang sesuai dengan petunjuk Nabi Muhammad ‫ ﷺ‬yang biasa
berobat dan menyuruh sahabat-sahabatnya berobat, sebagaimana yang
dikemukakan oleh Imam Ibnul Qayyim di dalam kitabnya Zadul-Ma‟ad. Dan
paling tidak, petunjuk Nabi saw. itu menunjukkan hukum sunnah atau
mustahab.
Oleh karena itu, pengobatan atau berobat hukumnya mustahab atau wajib
apabila penderita dapat diharapkan kesembuhannya. Sedangkan jika sudah
tidak ada harapan sembuh, sesuai dengan sunnah Allah dalam hukum sebab-
akibat yang diketahui dan dimengerti oleh para ahlinya (para dokter) maka
tidak ada seorang pun yang mengatakan mustahab berobat, apalagi wajib.
Apabila penderita sakit diberi berbagai macam cara pengobatan dengan
cara meminum obat, suntikan, diberi makan glukose dan sebagainya, atau
menggunakan alat pernapasan buatan dan lainnya sesuai dengan penemuan
ilmu kedokteran modern dalam waktu yang cukup lama, tetapi penyakitnya
tetap saja tidak ada perubahan, maka melanjutkan pengobatannya itu tidak
wajib dan tidak mustahab, bahkan mungkin kebalikannya (yakni tidak
mengobatinya) itulah yang wajib atau mustahab.
Maka memudahkan proses kematian (taisir al-maut) kalau boleh
diistilahkan demikian semacam ini tidak seyogyanya diembel-embeli dengan
istilah qatl ar-rahmah (membunuh karena kasih sayang), karena dalam kasus ini
tidak didapati tindakan aktif dari dokter. Tetapi dokter hanya meninggalkan
sesuatu yang tidak wajib dan tidak sunnah, sehingga tidak dikenai sanksi.

13
Jika demikian, tindakan pasif ini adalah jaiz dan dibenarkan syara‟, bila
keluarga penderita mengizinkannya dan dokter diperbolehkan melakukannya
untuk meringankan si sakit dan keluarganya, insya Allah. 12

Mengenai hukum euthanasia aktif pada contoh yang kedua akan


dijelaskan sebagai berikut :
Contoh kedua dari euthanasia positif menurut pertanyaan tersebut (bukan
negatif) yaitu menghentikan alat pernapasan buatan dari si sakit, yang menurut
pandangan dokter dia dianggap sudah “mati” atau “dihukumi telah mati” karena
jaringan otak atau sumsum yang dengannya seseorang dapat hidup dan
merasakan sesuatu telah rusak.
Kalau yang dilakukan dokter itu semata-mata menghentikan alat
pengobatan, hal ini sama dengan tidak memberikan pengobatan. Dengan
demikian, keadaannya seperti keadaan lain yang diistilahkan dengan ath-thuruq
al-munfa‟ilah (jalan-jalan pasif/eutanasia negatif).
Karena itu, saya berpendapat bahwa euthanasia seperti ini berada di luar
daerah “memudahkan kematian dengan cara aktif” (eutanasia positif), tetapi
masuk ke dalam jenis lain (yaitu eutanasia negatif)
Dengan demikian, tindakan tersebut dibenarkan syara‟, tidak terlarang.
Lebih-lebih peralatan-peralatan tersebut hanya dipergunakan penderita sekadar
untuk kehidupan yang lahir (yang tampak dalam pernapasan dan peredaran
darah/denyut nadi saja) padahal dilihat dari segi aktivitas maka si sakit itu
sudah seperti orang mati, tidak responsif, tidak dapat mengerti sesuatu dan tidak
dapat merasakan apa-apa, karena jaringan otak dan sarafnya sebagai sumber
semua itu telah rusak.
Membiarkan penderita dalam kondisi seperti itu hanya akan
menghabiskan dana yang banyak bahkan tidak terbatas. Selain itu juga

12
Yusuf Qardhawi, Fatwa-fatwa Kontemporer, (Jakarta: Gema Insani Press, 1995), hlm. 751-754

14
menghalangi penggunaan alat-alat tersebut bagi orang lain yang
membutuhkannya dan masih dapat memperoleh manfaat dari alat tersebut. Di
sisi lain, penderita yang sudah tidak dapat merasakan apa-apa itu hanya
menjadikan sanak keluarganya selalu dalam keadaan sedih dan menderita, yang
mungkin sampai puluhan tahun lamanya.
Yusuf Qhardawi telah mengemukakan pendapat seperti ini sejak beberapa
tahun lalu di hadapan sejumlah fuqaha dan dokter dalam suatu seminar berkala
yang diselenggarakan oleh Yayasan Islam untuk ilmu-ilmu Kedokteran di
Kuwait. Para peserta seminar dari kalangan ahli fiqih dan dokter itu menerima
pendapat tersebut.13

Jadi, agar tidak terjadi euthanasia, atau keinginan untuk euthanasia, maka
memperkokoh keimanan dan ketakwaan adalah jalan satu-satunya. Orang yang
beriman kukuh dan bertakwa kuat tiada mungkin meminta dilakukan euthanasia, baik
pada diri sendiri maupun keluarganya. 14
Segala puji kepunyaan Allah yang telah memberi petunjuk kepada kita ke
jalan Islam ini, dan tidaklah kita akan mendapat petunjuk kalau bukan Allah yang
menunjukkan kita. 15

13
Ibid., h. 754-755
14
Ahmad Zahro, Fiqh Kontemporer Buku 1, (PT Qaf Media Krative, 2016), Cet ke – 1, h. 90
15
Yusuf Qardhawi, Fatwa-fatwa Kontemporer, (Jakarta: Gema Insani Press, 1995), h. 755
15
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan

Euthanasia berasal dari bahasa Yunani “euthanatos” yang terbentuk dari


kata “eu” yang berarti “baik”, dan “thanatos”, yang berarti “kematian” adalah
tindakan dengan sengaja untuk mengakhiri hidup seseorang agar terbebas dari
kesengsaraan sakit yang diderita karena diyakini tidak ada lagi harapan untuk
sembuh.
Pasien yang melakukan euthanasia didasari beberapa alasan seperti, 1.
faktor Ekonomi, 2. pertimbangan sarana dan petugas medis, 3. mati dengan layak.
Macam-macam euthanasia ada euthanasia aktif (positif) dan euthanasia
pasif (negatif). Euthanasia aktif ialah tindakan memudahkan kematian si
penderita dikarenakan kasih sayang, yang dilakukan oleh dokter dengan
mempergunakan instrumen (alat). Euthanasia pasif adalah tindakan dokter
menghentikan pengobatan pasien yang menderita sakit keras, yang secara medis
sudah tidak mungkin lagi dapat disembuhkan. Hukum euthanasia aktif adalah
haram karena sama dengan melakukan pembunuhan sedang euthanasia pasif
adalah jaiz dan dibenarkan oleh syara‟.

16
DAFTAR PUSTAKA

Aibak, Kutbuddin. Kajian Fiqh Kontemporer. Yogyakarta: KALIMEDIA. cet-1


2017.

Qardhawi, Yusuf. Fatwa-fatwa Kontemporer. Jakarta: Gema Insani Press. 1995.

Zahro, Ahmad. Fiqh Kontemporer Buku 1. PT Qaf Media Krative. cet – 1. 2016.

http://aul-al-ghifary.blogspot.com/2013/10/hukum-euthanasia-menurut-islam.html
diakses pada Senin 12 November 2018 pukul 09.47 pm

http://rahmadashariuinsuska.blogspot.com/2013/10/pengertian-euthanasia-sejarah-
ragam.html diakses pada Senin 12 November 2018 pukul 09.55 pm

http://ulala-ulili.blogspot.com/2012/12/makalah-euthanasia-dalam-syariah-islam.html

diakses pada Jum‟at 9 November 2018 pukul 10.34 pm

17

Anda mungkin juga menyukai