Anda di halaman 1dari 3

Fita Dwi Rahayu / 17025010073

Agroforestry merupakan sistem penggunaan lahan secara terpadu yang


mengombinasikan pepohonan dengan tanaman pertanian dan/atau ternak (hewan)
yang dilakukan baik secara bersama-sama atau bergilir dengan tujuan untuk
menghasilkan dari penggunaan lahan yang optimal dan berkelanjutan (Hairiah,
2003).

Menurut Anggraeni (2002), agroforestry dikelompokkan menjadi dua


sistem, yaitu sistem agroforestry sederhana dan sistem agroforestry kompleks.
Perbedaan kedua sistem tersebut yaitu:

1. Sistem Agroforestry Sederhana

Sistem agroforestry sederhana merupakan perpaduan satu jenis tanaman


tahunan dengan satu atau beberapa jenis tanaman semusim.

2. Sistem Agroforestry Kompleks

Sistem agroforestry kompleks merupakan suatu sistem pertanian menetap yang


berisi banyak jenis tanaman (berbasis pohon) yang ditanam dan dirawat oleh
penduduk setempat dengan pola tanam dan ekosistem seperti kawasan hutan.

Tugas agroforestry yang berkunjung langsung ke lapangan mendapatkan


komponen penyusun agroforestry silvopastura, yang artinya hanya ada pohon
tahunan dan peternakan. menurut Indriyanto (2008) silvopastura adalah bentuk
agroforestri yang menggabungkan kegiatan kehutanan dan peternakan dalam satu
sistem pengelolaan lahan. Lokasi lahan Silvopastura ini terletak di hutan produksi
RPH Oro-Oro Ombo, Desa Oro-Oro Ombo, Kec. Batu, Kota Batu, Jawa Timur
dengan luas kawasan hutan secara keseluruhan seluas 2.486,9 ha. Areal
silvopastura terletak  pada petak 45 E dan F   seluas 19,75 ha. Lokasi lahan
silvopastura  di RPH Oro-Oro Ombo terdapat di dataran tinggi dengan ketinggian
1100 mdpl, kemiringan lahan 3,7o tekanan udaran 29,92 hg, dan suhu rata –
rata 18-320 C. Lahan silvopastura ini termasuk system agroforestry kompleks,
karena terdapat 3 pohon yaitu pohon pinus, pohon ekaliptus dan pohon
flamboyant serta peternakannya yaitu kuda dan angsa.
Menurut ibu Suntini warga sekitar hutan produksi RPH Oro-Oro Ombo
mengatakan bahwa dilahan ini merupakan lahan milik perhutani. Lahan/hutan ini
tidak pernah di rawat oleh pihak perhutani sendiri. Sehingga digunakan sebagai
wisata kuda, karena pohon pinus, pohon galitus dan pohon flamboyan dapat
menaungi orang-orang yang berkunjung. Selain itu juga oleh masyrakat
digunakan untuk memelihara angsa, karena dapat dijual sehingga menghasilkan
uang. Dan juga disekitar hutan tersebut banyak rumput teki sehingga di
manfaatkan oleh peternak kuda untuk makan kuda nya. Warga sekitar juga
memanfaatkan hasil getah pinus untuk dijual. Karena pihak perhutani hanya
mengambil pohon bagian batang nya saja. Daun-daun pohon pinus dan pohon
galitus yang gugur ke tanah, batang atau ranting yang patah, semuanya akan
mengalami proses dekomposisi kemudian hancur menjadi seperti tanah berwarna
coklat-kehitaman. Wujudnya semula tidak dikenal lagi. Melalui proses
dekomposisi terjadi proses daur ulang unsur hara secara alamiah. Limbah ternak
kuda dapat diolah dan digunakan sebagai pupuk kandang sehingga dapat
menambah penghasilan ekonomi masyarakat sekitar.

Hama dan penyakit yang ada pada sekitar tersebut menurut ibu suntini ialah
hama cabuk. Hama cabuk menyerang pada pohon pinus dan pohon galitus.
Namun tidak ada pengendaliannya seperti sudah dijelaskan bahwa lahan tersebut
tidak dirawat dengan baik oleh perhutani. Hama utama menurut Haneda (2010),
Definisi hama ini menunjuk pada adanya aktivitas organisme yang tinggi yang
bisa menimbulkan kerugian secara ekonomis. Aktivitas organisme tersebut
meliputi makan, berkembang biak dan bertempat tinggal. Apabila kerusakan yang
ditimbulkan ini dinilai belum merugikan secara ekonomis belum bisa dikatakan
sebagai hama perusak. Hama yang dimaksud disini bisa terdiri atas berbagai
organisme seperti serangga, burung, babi hutan, tikus, hewan piaraan dan satwa
liar yang lain. Namun dalam perkembangan ilmu perlindungan hutan definisi
hama khususnya hama hutan lebih menekankan pada aktivitas serangga,
sedangkan gangguan dari hewan piaraan dan satwa liar dibawah dalam disiplin
ilmu yang lain. Penyakit menurut ibu suntini tidak ada. Menurut Edi Batara
(2005) penyakit utama, Penyakit kanker batang di luar negeri banyak terjadi pada
tanaman pinus dan jenis Pinus radiata, sedangkan di Indonesia sering terjadi pada
tanaman pinus jenis Pinus merkusii. Gejala yaitu Infeksi awal kanker batang
biasanya terjadi pada batang yang masih hijau, terutama pada pangkal
percabangan dekat daun jarum. Infeksi patogen menyebabkan bercak-bercak pada
batang yang bentuknya tidak teratur yang mengeluarkan ekudat berupa resin.
Daun-daun jarum yang berdekatan dengan lokasi infeksi terlihat menguning dan
akhirnya kering (berwarna cokelat). Pada pohon yang telah dewasa, infeksi
biasanya di mulai disekeliling kerucut tajuk, kemudian berkembang beberapa
meter ke atas dan mencapai cabang. Infeksi di sekeliling cabang biasanya
menghasilkan kanker yang cukup besar. Dan Penyakit Bercak Daun( Leaf Spot
Disease) Gejala Bercak daun ( leaf spot) merupakan kematian jaringan
(nekrotik) yang mempunyai batas-batas tegas dan merupakan ahsil infeksi
lokal oleh patogen. Apabila jaringan yang mati tersebut runtuh, maka
penyakit ini dinamakan bercak berlobang ( shot hole). Apabila terjadi
kematian seluruh atau sebagaian anggota tumbuhan secara cepat, penyakit
ini disebut penyakit hawar (blight). Bercak-bercak yang sangat kecil
disebut bintik (flecks) dan bila bintik menjadi lebih jelas karena adanya patogen
yang berwarna gelap, maka bercak-bercak ini disebut noda (blotch).

Sumber :

Anggraeni, T. E. 2002. Kajian Pengaruh Faktor Sosial-Ekonomi Rumah Tangga


Petani terhadap Pola Agroforestry pada Hutan Rakyat di Pakuan Ratu
Kabupaten Way Kanan. (Skripsi). Universitas Lampung. Bandar
Lampung. Tidak dipublikasikan.
Edy, Batara. 2005. Penyakit Tanaman Pinus. Universitas Sumatera Utara

Hairiah K, Sardjono MA, Sabarnurdin S. 2003. Pengantar Agroforestry. Bahan


Ajaran 1. Bogor : World Agroforestry Centre (ICRAF).
Indriyanto. 2008. Silvikultur Pada Sistem Wanatani. Pengantar Budidaya Hutan.
PT Bumi Aksara. Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai