Anda di halaman 1dari 8

Jurnal Malige Arsitektur, Vol. 2, No. 1, Juni 2020, hal.

30-37 ISSN 2656-8160

STUDI KENYAMANAN TERMAL PADA BANGUNAN HUNIAN BUGIS


(TIMPALAJA) TRADISIONAL KOTA MAKASSAR
(TINJAUAN KENYAMANAN RUANG LUAR BANGUNAN)
1*
Muhammad Husni Kotta, 2Ainussalbi Al-Ikhsan, 3M. Arzal Tahir, 4Sitti Rosydah
1,2,3,4
Jurusan Arsitektur, Fakultas Teknik, Universitas Halu oleo
1 2 3 4
* hkottahusni@yahoo.com; ainussalbi@gmail.com; arzal.tahir@gmail.com; Riska_rosyidah@yahoo.com

ABSTRAK
Keberadaan suatu hunian sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor kenyamanan termal pada bangunan hunian
tradisional Bugis (Timpalaja), menggunakan metode pendekatan kuantitatif atau studi pendekatan pengukuran
lapangan. Variabel Kenyamanan termal berdasarkan kenyamaman termal melalui pengukuran temperatur,
kelembaban, kecepatan angin, dan radiasi sinar matahari , penentuan kasus penelitian ini melalui penelitian
berdasarkan kriteria material atap timpalaja dan kondisi lingkungan di ruang luar bangunan, terutama tumbuhan
atau pepohonan (Vegetasi). Data pengukuran digunakan dengan menggunakan alat ukur antara lain: Thermo-
Hygrometer, Altimeter, Anenometer, dan radiasi cahaya matahari (suns radiation).Sedangkan pengamatan
kemampuan pengendalianradiasi sinar matahari dipengaruhi oleh kerapatan dan ketebalan tajuk
pepohonan.Tujuan dari Penelitian untuk mendapatklan kenyamanan termal bangunan hunian dan lingkungan
luar bangunan (Out door thermal). Hasil perekaman dan pengukuran di analisis secara kuantitatif dengan
menggunakan standar ASHRAE kenyamanan termal penelitian terdahulu. Hasil penelitian di dinding sisi
Bangunan Tradisional menunjukkan bahwa ada perbedaan yang signifikan antara timpa laja atap bambu dengan
timpa laja atap seng, membuktikan pada pagi hari timpa laja atap bambu lebih rendah temperaturnya (0 C) sekitar
25,5 0 C, dan siang hari timpalaja atap seng tertinggi 26,5 0 C, Sedangkan di Bangunan tradisional, siang hari
timpa laja atap bambu mencapai suhu terendah 30,5 0 C, dan suhu tertinggi timpa laja atap seng, suhu tertinggi
sekitar 35 0C, namun kelembaban (RH) timpa laja atap bambu tertinggi sekitar 75% dari pada atap timpalaja
atap seng terendah 68%, Hasil uji regresi untuk mengetahui variable X1 (faktor pepohonan / tumbuhan) yang
berpengaruh terhadap variabel Y1(atap bambu),dan Y2 (atap seng) yaitu suhu udara/ temperatur ( faktor Material
Atap ) menunjukkan pengaruh yang signifikan dengan taraf kesalahan 5% ( p < 0,05 ), ternyata suhu udara/
temperatur ( material atap ) dan dipengaruhi oleh lingkungan manusia dan pakaian sebesar 50,70 %, sedangkan
49,30% dipengaruhi oleh faktor kenyamanan ruang luar (pepohonan / tumbuhan).
Kata Kunci : Bangunan tradisional, Bugis, Kenyamanan Termal, Ruang Luar, Timpalaja

ABSTRACK
The are with property as very effects in factor-factor thermal comport as Bugis Tradisional so haves to
approach kuantitatif methode as nears measurement feasibility out door. Variable thermal comfort as basic
thermal comfort, the are measurement Temperature, Humidity,Wind Velocity and suns radiation, The issues
research this is measures as basic material sfecification roof timpalaja and environment condition out
door building, the sfecification of vegetation. The measure of references as have in parameter ad:. Thermo-
Hygrometer, Altimeter, Anenometer, and Suns Radiation. Besaids ability measuredradiation as controlling
as very-very at nearest and asolid vegetation and thicknes canopy vegetation. The purpose as with to hads
comfort thermal building property and out door building environment out door thermal. The fhinish at record
and measures in analysis be of kuantitatif with had to used standart ASHRAE research termal comfort
pradesign. The fhinish research in behind Building Traditional about, and justick the are not all significant at
between as roof timpalaja bamboo and roof timpalaja zinc, the realisation in day morning at low
temperature 25,5 0 C, and at day siang the usead roof timpa laja zinc at highs temperature 26,50C, Besaids at
day siang in area , uses Building Traditional Timpalaja roof bamboo at low temperature 30,50 C, and
temperature at hights as roof timpalaja zinc at hights temperature 35 0C, and justick the Humidity (RH)
timpa laja roof bamboo, tempetatur 78%, besides the Humidity (RH)used timpa laja roof timpalaja zinc, with
as lows temperature68%.The testing finaly fhinish as regretionif to realize variable X1 ( vegetation factor) the
effects with variable Y1 (temperature ) are just significant different across signed 5 % ( p < 0,05 ), The justick
as effects vegetation factor 50,70%, and besides 49,30 % as effect comport thermal out door.

Keyword : Building Tradisional, Bugis, Comfort Thermal, Out Door, Timpalaja

Jurusan Arsitektur Fakultas Teknik – Universitas Halu Oleo 30


Jurnal Malige Arsitektur, Vol. 2, No. 1, Juni 2020, hal. 30-37 ISSN 2656-8160

PENDAHULUAN

Bangunan hunian tradisional merupakan kekayaaan yang dimiliki bangsa Indonesia, yang sepatutnya di
lestarikan keberadaannya sebagai warisan budaya yang tak ternilai harganya. Hunian yang diciptakan oleh
nenek moyang kita adalah produk dari pengalaman hidup nenek moyang kita bertahun-tahundengan berbagai
macam pengaruh kondisi alam. Pada akhirnya terciptalah hunian yang sampai saat ini masih berada, dimana
sangat memperhatikan nilai kenyamanan bagi penghuninya yang menikmati perasaan (nyaman, aman dari
gangguan alam /cuaca ), gangguan di binatang buas dan tentunya dari gangguan dari musuh. Rumah tradisional
suku bugis (timpalaja) tidak berbeda jauh dengan bangunan tradisional suku Makassar dan Gowa, merupakan
salah satu hunian tradisional yang di miliki bamgsa Indonesia. Model Atap Timpalaja, mengandung pengertian
dengan melihat bentuk atap permukaan depan dengan susunan sirip atau tingkatan- tingkatan raja atau
istilah “Andi atau Karaeng”, bangunan tradisional ini dibangun, sebagian besar pada daerah pedesaan atau
sepanjang sisi jalan utama ke kabupaten daerah tertentu di Kota Makassar, Sulawesi Selatan, bahan
bangunannya semua berasal dari bahan alam, antara lain : bambu, atap rumbia, atau menggunakan atap seng,
dengan perkembangan jaman dan berkembangnya aneka ragam material bangunan, sekarang ini atap dari
timpalaja bambu, berubah menjadi atap seng. Dengan pertimbangan atap seng, dari fungsinya dapat bertahan
lama penggunaannya., akan tetapi kalau semua model timpalaja berubah menggunakan atap seng, maka
“Citra” Timpalaja yang menggunakan atap bambu akan hilang.
Bangunan tradisional Bugis (timpalaja) Makassar, secara khusus dapat ditemui atau letaknya dipinggir
pantai, orientasi bangunan memanjang dari utara selatan – utara, tampak depan bangunan menghadap ke
timur, tata letak dalam satu kawasan berpencar-pencar sehingga perolehan udara yang segar dapat di peroleh
dengan baik dan bentuknya sederhana yaitu berbentuk bujursangkar. Terlihat dari bentuk peninggiannya yang
dapat mengalirkan udara secara bebas serta memberikan temperatur yang nyaman dan selubung bangunan
dengan material lokal dapat menmenuhi kenyamaanan dalam bangunan dan penghematan energi. Rumah
panggung Bugis (timpalaja) Makassar ternyata sangat adaptif/responsip terhadap iklim tropis lembab
(Lippsmeier, G.1980). Bangunan tropis dengan rujukan arsitektural tradisional, dapat kita lihat dari
tempat/lokasi, dimana bangunan tersebut berdiri. Bangunan tradisional umumnya berfungsi mewadahi aktifitas
tradisional, umumnya dibangun dikawasan yang masih hijau atau terbuka, dimana suhu udara sekitarnya
relative masih rendah ( karena banyak pohon) atau tiupan angin yang masih memadai untuk memberikan
kenyamanan bagi penghuninya (Karyono,1998). Menurut Szokolay (1987), untuk iklim tropis lembab yang
tepat adalah efek pergerakan udara. Peningkatan potensi comfort zone dilakukan dengan meningkatkan efek
pergerakan angin, hal ini untuk menghapus panas secara fisiologis, untuk iklim tropis lembab kecepatan angin
(V m/detik) yang nyaman berkisar antara 1 – 1,5 m/detik (Andi, 2005).
Penggunaan atap rumah timpalaja merupakan permukaan yang paling besar menerima panas, Tekanan
panas dari bagian atap bangunan dapat diperbesar dengan adanya rongga langit-langit, dan langit-langit serta
aliran udara atau sirkulasi udara di dalam rongga langit-langit. Tumbuhan atau Vegetasi disekitar bangunan
tradisional bugis (timpalaja) dan semacamnya, sangat mempengaruhi radiasi matahari,Suhu/Temperatur (0C),
Kelembaban (RH) dan pergerakan aliran angin (V m/detik ) yang masuk ke dalam ruangan rumah melalui atap
timpalaja, Sehingga perlu diadakan penelitian mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi kenyamanan
termal dalam bangunan dan di luar lingkungan bangunan (out door environment) bangunan tradisional timpalaja
Bugis di Kota Makassar.

KAJIAN PUSTAKA

A. Pendaerahan Termal
Pendaerahan Termal adalah upaya membagi bangunan menurut kondisi thermal yang terbentuk yang erat
hubungannya dengan upaya merancang tatanan zona dalam bangunan berdasarkan pada fungsi yang diwadahi.
Dengan demikian pendaerahan termal merupakan sebuah upaya optimasi pencapaian tujuan efesiensi antara
fungsi termal dan fungsi aktivitas pemakai bangunan. Hasil penelitian sebelumnya didahului oleh beberapa
penelitian dengan domain keilmuan “Thermal preference dan thermal performance of building”, khususnya
untuk bangunan di daerah tropis lembah (Santosa, 1996, 1997, 1998, 1999 ). Dari hasil penelitian yang terdahulu
tersebut melalui dua hal, yang diangkat dibawah ini sebagai aksioma awal untuk penelitian, meliputi : 1) Bahwa
posisi bangunan dalam kaitannya dengan arah aliran angin yang dominan mempunyai pengaruh yang signifikan
pada pembentukan termal bangunan. 2) Bahwa pengaruh edar matahari terhadap posisi bangunan tergantung
pada kelakuan sistem termal konstruksi bangunan. Dari ke dua hal tersebut, selanjutnya dapat dinyatakan bahwa
dalam penataan ruang dalam bangunan yang dapat didayagunakan prinsip pendaerahan berdasarkan pada
tananan fungsi dan distribusi termal pada setiap bagian ruang dalam hunian seperti salah satu diantaranya
bangunan rumah tradisional bugis / Makassar. Ukuran atau Standart performance yang dipakai adalah
kenyamanan termal pemakai hunian bangunan.
Jurusan Arsitektur Fakultas Teknik – Universitas Halu Oleo 31
Jurnal Malige Arsitektur, Vol. 2, No. 1, Juni 2020, hal. 30-37 ISSN 2656-8160

B. Kenyamanan Termal
Kenyamanan termal sangat dibutuhkan tubuh agar manusia dapat beraktifitas dengan baik (di sekolah, di
rumah ataupun di tempat bekerja / kantor ). Koeningsberger dalam buku Manual of Tropical Housing and
Building (1973) menyebutkan kenyamanan tergantung pada variabel iklim ( matahari/ radiasi, kelembaban, suhu
udara, dan kecepatan angin ) dan beberapa faktor individual/subyektif seperti pakaian, usia dan jenis
kelamin,tingkat kesehatan, tingkat kegemukan, jenis makanan dan minuman yang dikonsumsi, aklimatisasi dan
warna kulit. ASHRAE (American Society of Heating Refrigating Air Condiotioning Engineer ) memberikan
defenisi kenyamanan thermal sebagai kondisi pikir yang meng ekspresikan tingkat kepuasan seseorang terhadap
lingkungan termalnya. Apabila dihubungkan dengan bangunan, kenyamanan didefenisikan sebagai keadaan
tertentu yang menghasilkan perasaan menyenangkan bagi penghuninya (Karyono, 1989). Sementara itu, batas
kenyamanan untuk kondisi khatulistiwa adalah pada kisaran suhu udara 22,50C - 290C, Nilai kenyamanan
tersebut harus dipertimbangkan dengan kemungkinan kombinasi antara radiasi panas, suhu udara, kelembaban
udara dan kecepatan angin. Penyelesaian yang dicapai menghasilkan suhu efektif (TE). Suhu efektif ini
diperoleh dengan percobaan – percobaan yang mencakup suhu udara, kelembaban udara dan kecepatan angin.
Menurut penyelidikan, batas-batas kenyamanan untuk mukondisi khatulistiwa adalah 190 TE (batas bawah) –
260 TE (batas atas). Pada suhu 260 TE, banyak manusia mulai berkeringat. Sementara itu kemampuan kerja
manusia mulai menurun pada suhu 26,50TE – 300TE. Kondisi lingkungan mulai sulit bagi manusia pada suhu
33,50TE – 35,50TE dan tidak memungkinkan lagi pada suhu 350TE – 360TE. Kondisi lingkungan mulai sulit
bagi manusia pada suhu 33,50TE – 35,50TE dan tidak memungkinkan lagi pada suhu 350TE – 360TE
(Lippsmeir, 1994). Di Indonesia, perancangan sistem ventilasi dan pengkondisian udara dalam gedung, sudah
diatur berdasarkan SNI 03-6572-2001. Aturan tersebut telah ditentukan standar kenyamanan termal Indonesia,
mengacu pada tiga angkatan, sebagai berikut :
1. Sejuk nyaman, 20,50C - 22,80C, kelembaban relatif 50% - 80%
2. Nyaman optimal, 22,80C – 25,80C, kelembaban relative 70% - 80%
3. Hampir nyaman 25,80C – 27,10 C, kelembaban relative 60% - 70%
Indonesia, untuk daerah tropis, kelembaban udara relative yang dianjurkan antara 40% - 50%, tetapi untuk
ruangan yang jumlah orangnya padat seperti ruang pertemuan, kelembaban udara relative masih diperbolehkan
berkisar antara 55% - 60%. Untuk mempertahankan kondisi nyaman, kecepatan angin yang jatuh diatas kepala
tidak boleh lebih besar dari 0,25 m/detik dan sebaliknya lebih kecil dari 0,15 m/detik (SNI 03-6572-2001).

C. Suhu dan Material Permukaan Jenis Atap


Penggunaan material atap pada bangunan, yang apabila kita amati secara seksama, merupakan material alam,
yaitu kayu, papan, dan daun nipah, atau alang – alang yang kering, material ini merupakan material yang berpori,
material yang masih dapat memasukkan perolehan udara dari luar bangunan. Sehingga peroleh pergantian udara
tidak hanya dibutuhkan dari, jendela, ventilasi , pintu, tetapi juga dari material selubung bangunan. Semua
material didapat dari lingkungan Kearifan Lokal “wisdom locality’’ dan juga bisa menghemat energi yang
dinamakan “Konservasi Energi”sesuai kebutuhan lingkungan hijau dan ruang penghuni bangunan. Pada atap
rumah panggung Bugis / Makassar ini ada yang dinamakan timpa laja tersebut bisa berfungsi thermal comfort
(kenyamanan). Susunan tersebut berfungsi sebagai ventilasi udara, karena terdapat kisi-kisi dimana udara dapat
keluar masuk. Bangunan pile/tiang dapat menyediakan kenyamanan pengkondisian udara, sebagai ventilasi atap
yang mengalirkan udara masuk ke dalam bangunan melalui jalusi (timpa laja) yang bahan alami adalah bambu,
atap nipa dan atap seng.
Suhu permukaan jenis atap dan suhu udara rongga atap akan mempengaruhi suhu udara ruang di bawahnya.
Pada ruang yang menggunakan jenis atap datar bambu ( Y1) rata-rata suhu udara pada kelompok jendela terbuka
sebesar 30,80 C dan pada rekayasa jendela tertutup sebesar 30,80 C dan jendela tertutup sebesar 30,80 C, berarti
terjadi selisih kurang dari 10 C dengan atap miring seng. Sedangkan pada rata-rata suhu udara ruang yang
menggunakan atap miring (Y2) pada rekayasa jendela terbuka sebesar 30,70 C dan pada rekayasa jendela
tertutup sebesar 30,50 C (Afrizal kholiq, 2016), Hasil tersebut membuktikan bahwa suhu udara / temperatur
ruang atap datar bambu lebih tingi, dibandingkan dengan suhu udara / temperatur permukaan atap miring seng.
Penggunaan atap rumah timpalaja merupakan permukaan yang paling besar menerima panas, Tekanan panas dari
bagian atap bangunan dapat diperbesar dengan adanya rongga langit-langit, dan langit-langit serta aliran udara
atau sirkulasi udara di dalam rongga langit-langit. Tumbuhan atau Vegetasi disekitar bangunan tradisional bugis
(timpalaja) dan semacamnya, sangat mempengaruhi radiasi matahari,Suhu/Temperatur (0C), Kelembaban (RH)
dan pergerakan aliran angin (V m/detik ) yang masuk ke dalam ruangan rumah melalui atap timpalaja, Sehingga
perlu diadakan penelitian mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi kenyamanan termal dalam bangunan dan
di luar lingkungan bangunan (out door environment) bangunan tradisional timpalaja Bugis di Kota Makassar.

Jurusan Arsitektur Fakultas Teknik – Universitas Halu Oleo 32


Jurnal Malige Arsitektur, Vol. 2, No. 1, Juni 2020, hal. 30-37 ISSN 2656-8160

METODE PENELITIAN

Penelitian ini dilaksanakan pada Kecamatan Tamalate dan Kecamatan Mariso, serta lokasi penelitian di
kawasan bangunan Adat Tradisional Bugis (timpalaja) kawasan Pesisir Tanjung Bayan Kota Makassar,
Sedangkan penelitian pengujian kenyamanan termal dilakukan pada ruang dalam bangunan dan luar bangunan (
out door ), ruang dalam bangunan, pengukuran dimulai pada ruang tamu keluarga, ruang tidur anak (1) dan (2),
ruang dapur (balai-balai), ruang makan, jendela, dan perlakuan penelitian khusus, atap bambu bangunan
tradisional bugis (timpalaja) Makassar, dan atap seng bangunan tradisional bugis (timpalaja), Lokasi penelitian
ini ditentukan secara sengaja (purpossive sampling) dengan pertimbangan yang dapat mewakili beberapa rumah
adat tradisional Bugis (timpalaja) Makassar, sebagai potensi daerah (Galony S, Gedeon, 1995). Hasil uji
regresi untuk mengetahui variable X1 (faktor pepohonan) yang berpengaruh terhadap variable Y1 (suhu udara/
temperatur ) menunjukkan pengaruh yang signifikan dengan taraf kesalahan 5% ( p < 0,05 ), ternyata suhu
udara dipengaruhi oleh faktor pepohonan atau tumbuhan dipengaruhi oleh faktor kenyamanan ruang luar.
Rancangan uji eksperimen ini sangat dipengaruhi oleh pengukuran dengan menggunakan alat ukur antara
lain: Thermo-Hygrometer, Altimeter, Anenometer, dan cahaya matahari (Suns Radiation). Sedangkan
pengamatan kemampuan pengendalian radiasi sinar matahari dipengaruhi oleh kerapatan dan ketebalan tajuk
pepohonan. Hasil uji penelitian dilakukan di halaman bangunan tradisional.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Berdasarkan data iklim dari hasil pengukuran, hasilnya mendapatkan rata-rata, nilai minimum dan
maksimum, disusun dalam bentuk tabel sebagai berikut : Hasil penelitian di sisi Dinding Bangunan Tradisional
menunjukkan bahwa ada perbedaan yang signifikan antara timpa laja atap bambu dengan timpa laja atap
seng, membuktikan pada pagi hari (pukul 06-8.00) timpa laja atap bambu, total rata-rata minimum (luar)lebih
tinggi temperaturnya (0C) sekitar 26,5 0C, dan Sisi Dinding (dalam ) sekitar 25,50C.siang hari (12.00- 14.00)
timpalaja atap seng, total rata-rata maksimum tertinggi 26,80C, Sedangkan di Bangunan Tradisional, pagi hari
(.06–8.00.) timpalaja atap bambu suhutotal rata - rata rminimum terendah 26,100C, dan siang hari (12.00 –
14.00 ) suhu total rata - rata tertinggi timpalaja atap seng,sekitar 27,100C, Data temperatur suhu total rata-rata ,
minimum dan maksimum hasil pengukuran di lapangan (Tabel. 1), namun, di Bangunan Tradisional
kelembaban (RH%) timpalaja atap bambu,pagi hari (06- 8.00) total rata-rata maksimum ( dalam )terendah
sekitar 71,5% dari pada atap timpalaja atap seng, pagi hari (06 – 8.00) total rata-rataminimum ( luar )tertinggi
74,5%, Hasil uji regresi untuk mengetahui variable X1 (faktor pepohonan) yang berpengaruh terhadap variable
Y1 (suhu udara/ temperatur ) menunjukkan pengaruh yang signifikan dengan taraf kesalahan 5% ( p < 0,05 ),
ternyata suhu udara dipengaruhi oleh faktor pepohonan sebesar 50,70 %, sedangkan 49,30% dipengaruhi oleh
faktor kenyamanan ruang luar.

Tabel. 1. Data temperatur (Suhu0C) dan Kelembaban (RH %)


Data temperatur suhu rata-rata , minimum dan maksimum hasil pengukuran di lapangan
Bugis Rata-rata Rata-rata Rata-rata Rata- rata
(Timpalaja) (Maksimum)0C ( Minimium )0C ( Maksimum) RH% ( Minimum )RH%
Bangunan Dinding Sisi Bangunan Dinding Sisi
Tradisional BangunanTradisional Tradisional BangunanTradisional
Dalam Luar Dalam Luar Dalam Luar Dalam Luar
Atap Bambu 25,5 26, 5 25,5 26,5 75 % 75 % 75 % 76,8%
Atap Seng 26,8 28,5 26,8 28,8 68 % 70,5% 68 % 69,5%
26.10 27,10 26,10 27,60 71,5% 74,5% 71,5% 73,10%
Total (Rata-rata) Total (Rata-rata) Total (Rata-rata) Total (Rata-rata)
Sumber:Muhammad Husni Kotta, 2018 dalam Muchlis A, 2012

Kondisi Existing Bangunan, tradisional bugis (timpalaja) terletak dipinggir pesisir pantai tanjung bayan,
perumahan masyarakat adat tradisional Bugis (timpa laja) Kota Makassar.
Orientasi bangunan memanjang dari selatan – utara, orientasi rumah menghadap ke Timur. Tatanan massa
terletak dalam satu kawasan, tetapi berpencar-pencar berjauhan sehingga perolehan udara yang segar masih
dapat diperoleh dengan baik. Bentuk bangunan sederhana memiliki bujursangkar, tetapi upaya untuk memenuhi
perolehan angin dengan bukaan yang optimal pada arah dominan datangnya angin. Adapun proses pengukuran
bangunan tradisional Bugis (timpalaja) Makassar, sebagai berikut:

A. Analisis pengukuran Ruang Tidur Anak (1) dan Ruang Tidur Orang Tua (2)
Ruang tidur : Anak (1) dan Orang Tua (2) Prosentase pemenuhan air change dengan pergantian udara di
dalam bangunan , tidak hanya berpengaruh dari iklim ( Kecepatan angin (V/m/detik), Temperatur ( 0 C ) dan
Jurusan Arsitektur Fakultas Teknik – Universitas Halu Oleo 33
Jurnal Malige Arsitektur, Vol. 2, No. 1, Juni 2020, hal. 30-37 ISSN 2656-8160

Arah angin) ,tetapi juga sangat dipengaruhi orientasi bukaan dan posisi bukaan serta bentuk
bangunan.Kecepatan angin berkisar 1-1,5 m/detik, Sedangkan Temperatur (dalam) bangunan adat tradisional
(timpalaja) sekitar 26,80 C, Temperatur (luar) sekitar 28,5 0C. Lihat pada tabel (1), Hasil pengukuran, dimulai
dari pukul ( 06-8.00 s.d 12.00 -14.00) yang terpilih Bangunan tradisional Bugis Atap seng (timpalaja)
berdasarkan hasil penelitian di lapangan..

B. Analisis pengukuran Ruang Tamu, Ruang Makan dan Ruang Dapur


Ruang Tamu dan Ruang Makan Keluarga Prosentase air change dengan Kebutuhan50% untuk periode
waktu pukul ( 06-8.00 s.d 12.00- 14.00 ), pada waktu tersebuttemperatur di luar ruang diatas temperatur
kenyamanan termal, dimaksudkan sebagai pergantian udara yang dapat menghapus akumulasi panas
dalamruang. Begitu pula pada Ruang Dapur, bagian pintu masuk belakang prosentase air change dengan
kebutuhan 50% yang membatasi Ruang Makan, tem peratur di dalam ruangberada diatas temperatur rata-rata
normal sekitar 26,10 0 C. Dari hasil analisis yang telah dilakukan, maka dapat disimpulkan bahwa rentang
temperatur yang terjadi pada pengukuran bangunanadat tradisional (timpalaja) berada di ketinggian780 m/dpl,
dimana suhu rata-rata 24,7 0C - 25,9 0 C (Muchlis, 2012), ternyata terbukti totalsuhu rata-rata maksimun sekitar
26,10 0 C(dalam ruangan ) dan 27,100 C (luar ruangan) (Husni,K,2018 dalam Muchlis, A.2012) posisi kondisi
nyaman optimal (untuk luar bangunan), sementara untuk yang di dalam bangunan rata-rata 25 0C - 26,20 C
sama dalam kondisi nyaman optimal. Sedang menurut hasil penelitian pada bangunan dinding sisi luar
bangunan menunjukan kondisi temperatur yang rendah ke hangat, suhu total rata-rata antara 27,60 0 C ( pukul
08.00–10.00), Muchlis, A, 2012, menyebutkan pada sisi lain luar bangunan menunjukkan temperatur yang
rendahke dingin, suhu rata-rata antara 21,9 0 C - 23,30 C semua pada kondis Sejuk Nyaman cenderung ke
dingin.
Tangga ke loteng

Tangga
Service

Ruang Ruang
TidurAnak Dapur

Ruang
Ruang
TAMAN TidurOrang
Makan
Tua

-0,20 Tamping
Ruang Tamu
( Ruang tambahan
TUMBUHAN Kesamping
0,00

Tangga UTAR
Teras
Kayu Naik A

Gambar 1. Denah rumah adat Tradisional Bugis (Timpalaja)


(Sumber: Muhammad Husni Kotta, 2019)

C. Atap Bangunan Bugis (Timpalaja)


Konstruksi atap rumah panggung Bugis/Makassar ini ada yang dinamakan “ timpalaja” tersebut, dapat
berfungsi sebagai sebagai thermal comfort ( kenyamanan) Susunan tersebut berfungsi sebagai ventilasi udara,
karena terdapat kisi-kisi, dimanaudara dapat keluar masuk dengan bebasnya, Bangunan pile/tiang dapat
menyediakan kenyamanan pengkondisianudara sebagai ventilasi atap yang mengalirkan udara masuk ke
dalam bangunan melalui jalusi (timpa laja) yang bahannya dari bambu yang dipecah-pecah.( Gambar. 2)

Jurusan Arsitektur Fakultas Teknik – Universitas Halu Oleo 34


Jurnal Malige Arsitektur, Vol. 2, No. 1, Juni 2020, hal. 30-37 ISSN 2656-8160

Kisi- kisi jalusi timpalaja


Ventilasi udara

Gambar 2. Rumah Adat Tradisional Bugis (Timpalaja)


(Sumber: Muhammad Husni Kotta, 2019)

D. Vegetasi ( Tumbuhan ) Pada Ruang Luar ( Out door )


Vegetasi atau pohon terutama pohon dapat memberikan perlindungan kepada suatu tempat dari sinar
matahari sehingga dapat menurunkan suhu udara di tempat tersebut (Shelfield dan Westering, 1997 dalam
Purnomo, 2002) Pepohonan dan vegetasi lainnya dapat menghambat angin yang diperlukan untuk proses
ventilasi bagi perpindahan panas (Mc.Pherson dan Simpson, 1995, dalam Yulianto, 2002). Dari pendapat diatas
dapat disimpulkan bahwa vegetasi terutama pepohonan mempunyai pengaruh yang positif terhadap
penurunan suhu udara. Rumah Panggung Adat Tradisional Bugis/Makassar ini dibangun di kawasan pesisir
pantai tanjung bayan yang masih hijau dan terbuka,di mana suhu atau temperatur udara di sekitar relatif
rendah (karena masih banyaknya pohon) atau tiupan angin yang masih menandai untuk memberikan
kenyamanan bagi penghuni bangunan.Pengukuran dan Pengujian ada tidaknya pengaruh penutupan tajukdan
kerapatan pohon terhadap kondisi iklim mikro kawasan tersebut dan tingkat kenyamanan (Hipotesis 1)
dilakukan dengan analisis sidik ragam dari rancangan acak (Completely Randomized Design), sedangkan untuk
menguji ada tidaknya pengaruhpepohonan terhadap suhu dan kelembaban (Hipotesis II), dilakukan dengan
Regresi berganda dan Parsial. Hasil uji regresi untuk mengetahui variable X1 (faktor pepohonan) yang
berpengaruh terhadap variable Y1 (suhu udara/ temperatur) menunjukkan pengaruh yang signifikan dengan
taraf kesalahan 5% (p < 0,05), ternyata suhu udaradipengaruhi oleh faktor pepohonan sebesar 50,70 %,
sedangkan 49,30% dipengaruholeh faktor kenyamanan ruang luar.Studi perbandingan bangunan kantor dengan
bangunan adat tradisional Bugis (timpalaja) (Gambar.3), seperti pada bangunan kantor dan sejenisnya
penggunaan vegetasi (pepohonan) di kawasan perkantoran harus mempertahankan nilai “philosofi vegetasi
tumbuhan yang lebih mengutamakan fungsi dan mamfaat tumbuhan sebagai tumbuhan pelindung, penyaring
kebisingan, dan tumbuhan pengarah, contohnya tumbuhan Kiara payung (Felicium decipiens), Trembesi
(Samaena saman(jacq) merr), Mahoni (Swettiana mahagoni) dan Cemara udang (Camara,sp), Palem botol dan
Angsana (Pterecarpus indicus). Sedangkan penggunaan vegetasi untuk bangunan adat tradisional
Bugis/Makassar, di Kawasan Pesisir Pantai Tanjung bayan, pada prinsipnya mengutamakan budaya setempat
kearifan lokal (wisdom) yang mengutamakan tumbuhan beragam “Biodeversity” dengan mempunyai fungsi
sebagai tumbuhan menahan abrasi pantai, penyerapan polutan udara , daya serapan CO2 dan pelindung/
pembatas pantai , contohnya tumbuhan Pandan Pantai (Pandanus tectorius), Waru laut (Hibiscus tiliticeus),
Ketapang (Terminilia catappa), Ketapang (Terminillia catappa), Nyamplung (CalophyllumInophylllum). ( Husni
Kotta, M. 2017, dkk.)

Jurusan Arsitektur Fakultas Teknik – Universitas Halu Oleo 35


Jurnal Malige Arsitektur, Vol. 2, No. 1, Juni 2020, hal. 30-37 ISSN 2656-8160

Gambar. 3 Vegetasi atau Pohon yang berada pada Rumah Adat Tradisional Bugis
( Studi Perbandingan Bangunan Kantor dan Bangunan Tradisional )
(Sumber: Muhammad Husni Kotta, 2019)

KESIMPULAN

Studi kenyamanan thermalyang paling terbaik, setelah melalui penelitian, menjelaskan bahwa perbedaan
yang mendasar yang terdapat pada ke dua bangunan adat atap bambu tradisional bugis (timpalaja) dengan
Bangunan atap seng tradisional bugis (timpala), Hasil penelitian di Halaman Bangunan Tradisional menunjukkan
bahwa ada perbedaan yang signifikan antara timpalaja atap bambu dengan timpa laja atap seng, membuktikan
pada pagi hari timpa laja atap bambu lebih rendah temperaturnya (0C) sekitar 25,5 0C, dan siang hari timpalaja
atap seng tertinggi 26,5 0C, Sedangkan di Taman Bangunan tradisional, siang hari timpa laja atap bambu, suhu
terendah 30,5 0C, dan suhu tertinggi timpa laja atap seng, suhu tertinggi sekitar 35 0C, namun kelembaban (RH)
timpa laja atap bambu tertinggi sekitar 75% dari pada atap timpalaja atap seng terendah 68%. Hasil uji regresi
untuk mengetahui variable X1 (faktor pepohonan / tumbuhan ) yang berpengaruh terhadap variabel Y1 dan Y2
(suhu udara/ temperatur ) menunjukkan pengaruh yang signifikan dengan taraf kesalahan 5% ( p < 0,05 ),
ternyata suhu udara dipengaruhi oleh faktor pepohonan sebesar 50,70 %, sedangkan 49,30% dipengaruhi oleh
faktor kenyamanan ruang luar ( out door ) bangunan. Rekomendasi, perlunya adanya penelitian lanjutan,
utamanya kepada peneliti lain, agar memperhatikan kondisi iklim pada suatu daerah, yang berbeda,yang
disesuaikan dengan standard ANSI / ASHRAE 55 – 1992, ASHRAE Standard Thermal Enviromental Conditions
for Human Occupancy, ASHRAE, 1981, United Stated Amerika (USA).dimana ini sangat mempengaruhi
perencanaan studi kenyamanan thermal, maupun lingkungan manusia, dan material penunjang bangunannya.

DAFTAR REFERENSI

Andi Herniwati, 2005. Prinsip Hemat Energi Pada Rumah Tradisional Bugis MINTAKAT Jurnal Arsitektur,
Vol.6, No.2, September, 2005, hal.575 -582, Universitas Merdeka Malang.
Afrizal Kholiq, dan M.Syarif Hidayat, 2016. Pengaruh Bentuk Atap, Terhadap Karakteristik Thermal Pada
Rumah Tinggal Tiga Lantai, Jurnal Arsitektur Bangunan, dan Lingkungan, Vol. 5, No. 3, Juni 2016,hal.105 –
162, ISSN, 2088 : 8201 Universitas Mercu Buana Jakarta.
ANSI/ASHRAE 55 – 1992, ASHRAE Standard Thermal Enviromental Conditions for Human Occupancy,
ASHRAE, 1981, United Stated Amerika (USA).
ASHRAE, Handbook of Foundamental Chapter 8” (1981) Physiological Principles Comfort and Head
ASHRAE, USA.
Galony S, Gideon. 1995. Ethic and Urban Design, Jhon Willey and Sons, New York. USA.
Husni Kotta, M. and Mangkoediharjo, S. Ludang, Y.Trisutomo, S.(2017), The Design of Coastal Area of
AreaRiparian Zone In Tanjung Bunga, Makassar, Disertasi Program Doktor, Pascasarjana Teknik Sipil,
Lingkungan dan Kebumian ITS Surabaya, Departemen Teknik Lingkungan, International journal ARPN,
Journal of Engineering And Ap plied Science, SCOPUS Fakistan, Desember 2017, ISSN 1819 -6608.
Karyono, Harso, Tri.(1998). Arsitektur Tropis dan Bangunan Hemat Energi, Jurnal Kalang, Vol.1, No.1 Jurusan
Arsitektur, Universitas Tarumanegara, Jakarta.
Koeningsberger, dkk, 1973.Manual of Tropical Housing and Building, Orient Longman India.
Lippsmeier, George, (1984). Bangunan Tropis, edisi ke-2. Jakarta: Penerbit Erlangga

Jurusan Arsitektur Fakultas Teknik – Universitas Halu Oleo 36


Jurnal Malige Arsitektur, Vol. 2, No. 1, Juni 2020, hal. 30-37 ISSN 2656-8160

Muchlis Alauddin, 2012. Kenyamanan Termal Pada Bangunan Hunian Tradisional Toraja (Studi kasus
Tongkonan dengan Material atap seng ), Mustek Anim Ha, Universitas Musamus Merauke.Jayapura
Pemerintah Indonesia, (2001. SNI 03-6572-2001 tentang Tata Cara Perancangan Sistem Ventilasi dan
Pengkondisian Udara Pada Bangunan Gedung. Jakarta: Kementerian Pekerjaan Umum.
Punomo, Budi, Agus, (2002). Suhu Udara, Vegetasi dan Pola Penggunaan Ruang Luar Di Kampus. Jakarta:
International symposium.
Santosa, M. (1996), Rethingking environmentally responsible architecture, A case of traditional architecture in
the tropic of Indonesia, In Al Sayyad, N (ed), Proceedings of The International Association for The Study of
Tradisional Environment (IASTE), Berkeley, California Center for Enviromental Design Research,
University of California, 14 – 17 December 1996.
Santosa, M. (1997), Konsep Konservasi Energi Pada Rancang Bangunan Berkepadatan Tinggi Dengan
Penghawaan dan Penerangan Alam, Penelitian Hibah Bersaing Perguruan Tinggi V/ 1 dan 2, Dirjen Dikti,
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI.
Santosa, M. (1998), Adapting traditional design consepts for high density settlement development, Paper
presented at SOLAR “98 Conference , Renewable Energy for the Americas, American Institute of Architect
(AIA), Albuquerque, New Mexico, USA,15 – 17 June 1998.
Santosa, M. (1998), Konsep Insulasi Thermal Pada Hunian Daerah Berkepadatan Tinggi: Sebuah Kajian Untuk
Perbaikan Peraturan Bangunan, Penelitian Starter Grand, Dirjen Dikti, ADB Loan – No. 1432 – INO.
Szokolay, SV.,(1987). Thermal Design of Building, RAJA Education Division, Canberra, Australia.
Yulianto, (2002). Alternatif Bahan Dinding Permiabel Untuk Daerah Tropis Panas Lembab. Jakarta:
international symposium.

Jurusan Arsitektur Fakultas Teknik – Universitas Halu Oleo 37

Anda mungkin juga menyukai