Anda di halaman 1dari 4

Terik matahari setelah sepulang sekolah membuat kerongkongan meronta

menginginkan sejumlah air untuk melewatinya. Matahari awal musim panas yang menatap
tanpa ampun seolah menginginkan agar semua memaki dirinya. Oh iya, perkenalkan,
namaku Linda, seorang siswi SMA yang sedikit mempunyai kisah menarik, bukan karena aku
ajaib atau apa tapi aku memiliki sesuatu di dalam tubuhku. Berat memiliki tubuh seperti ini,
ya mungkin bagi sebagian orang hal itu bisa dibilang merupakan suatu kelebihan, tetapi
bagiku itu merupakan suatu bencana. Hal tersebut dimulai pada musim panas bulan lalu,
semua dimulai Ketika seorang anak bernama Aldi memungut sebuah bungkusan yang dia
sendiri tidak yakin dengan isi bungkusan tersebut. Bukan seorang pemberani tapi ia sangat
penasaran dengan apa yang sebenarnya disembunyikan di balik bungkusan itu. Dengan
tatapan agak kurang yakin, ia mencoba melucuti kain-kain yang membalut entah apa itu.
Sedikit demi sedikit terbuka dan terlihat , kaget bukan kepalang, “tanah?” ujarnya. Ya tepat
sekali memang itu adalah tanah, coklat seperti tanah pada umumnya namun ada yang agak
berbeda dari tanah yang lain, tapi apalah itu tetap saja tanah. “siapa orang yang repot repot
membungkus segumpal tanah dengan kain di siang bolong seperti ini” sahutku. “aku juga
ingin menanyakan itu”. Bahkan anak kecilpun tak mau melakukannya.
“sudah, buang saja lagian buat apa tanah seperti itu”
“entahlah tapi mungkin ini akan berguna”
“yah terserah kau sajalah, aku mau beli minum dulu”
“…….”
“hei!!, kau mau minum atau tidak!?”
“oh oke oke aku ikut”
Terlihatlah dua anak duduk di kursi meneteng plastik berisikan air kelapa, dengan
beratapkan pohon randu yang tak tanggung-tanggung besarnya. Rimbun tapi tidak
menyeramkan, ya mungkin karena siang, tidak terbayang juga kalau malam ‘ngeri juga’.
“mau kau apakan bungkusan tadi?”
“entah Lin, mungkin akan kutanyakan pada seseorang”
“siapa?”
“Paman Prabu”
“kau gila ya!? Mana mungkin paman punya waktu untuk meladeni entah apa benda itu”
“tapi aku memiliki firasat, pasti ada tujuan tertentu”
“yah terserah kamu, aku sih nggak mau ikut-ikut, mungkin juga karena cuaca panas ini
sedikit membuat otakmu terganggu”
“mungkin” sambil tetap memandangi tanah tersebut seperti seorang murid yang diberi soal
matematika oleh gurunya padahal ia sama sekali tak belajar.
“baiklah, sepertinya sudah waktuku pulang, aku duluan ya”
“iya” acuh tak acuh
“hmmph, kalau kau menemukan sesuatu yang menarik hubungi aku, oke?”
“hmm” sekali lagi acuh tak acuh
“yah terserahlah, sampai besok”
Dirumah aku melakukan kegiatan biasa, tidak ada yang spesial. Ibu menyiapkan
makan malam, Raka adikku sedang sibuk dengan kosol gamenya di kamar, dan ayah
mungkin sedang terjebak macet dalam perjalan pulang untuk melepaskan penat dari
suasana kantor yang sangat sibuk.
Buku adalah salah satu pelarian ku untuk sekedar memecah kepenatan yang
menumpuk di kepala setelah seharian penuh bertarung dengan angka-angka yang saat
melihatnya pun membuat kepala serasa seperti CPU yang overheating karena program yang
dijalankan terlalu berat. Tapi mau tidak mau itu tetaplah suatu keharusan seorang murid
SMA mempelajari angka-angka sebagai syarat untuk kelulusan nantinya. Membaca buku
bagiku merupakan suatu kenikmatan yang mungkin bagi Sebagian orang itu aneh, kenapa
aneh? Ya aku sangat suka dengan buku-buku kuno yang sesekali membutuhkan seorang
penerjemah untuk mengetahui apa isi buku tersebut. Pemandangan langka seorang siswi
SMA yang dikelilingi buku-buku berdebu dengan bebeberapa halaman hilang karena sudah
dimakan rayap atau memang sengaja untuk dihilangkan. Tapi itulah aku, mencari apa yang
sebenarnya telah terjadi di masa lampau.
“Lin, itu dicari temanmu di depan”
“teman? Ibu yakin?”
“itu di depan”
Sedikit terkejut karena bisa dibilang aku tidak memiliki banyak teman di sekolah.
Wajar bagi seorang kutu buku kuno. Satu-satunya orang yang kuanggap sebagai teman
hanya Aldi, dia teman sejak berada di bangku SD, sempat berpisah saat SMP dan sekarang
satu SMA. Orangnya cukup pendiam kadang juga menjengkelkan, dia baik dan ramah pada
semua orang seakan tidak mungkin seorang seperti dirinya mempunyai dendam pribadi. Ya
seperti itulah Andi, terkadang ia melakukan hal-hal yang agak berbeda tapi itu tidak menjadi
sebuah masalah. Kadang juga ia larut dalam pikirannya saat sedang mengobrol, itu bagian
yang sangat menjengkelkan.
Dan benar, itu Aldi yang baru beberapa jam lalu aku berkata ‘Sampai besok’ padanya
“ada sesuatu yang menarik?” tanyaku penasaran.
“tidak juga, tapi ada sesuatu yang harus ku ketahui” dengan nada datar khas Aldi
“apa?”
“kau masih menyimpan buku yang kita ambil dari rumah kosong di hutan itu?”
“sama sekali belum ku sentuh”
“syukurlah”
“kenapa memangnya?”
“mungkin ada kaitannya dengan tanah itu”
“bagaimana kau bisa tahu?”
“lihatlah simbol pada kain ini”
“sepertinya aku pernah melihatnya”
“ya, kau pernah melihatnya, tepatnya pada sampul buku itu”
“aahh, kau benar, mungkin ada kaitannya, kau sudah tanya kepada paman Prabu?”
“belum, mungkin tidak”
“kenapa memang?”
“ini mungkin akan ada sangkut paut dengan paman Prabu”
“apa itu?”
“entahlah, Cuma firasat saja, mana bukunya?”
“sebentar”
Bahkan seorang yang awam tentang buku kuno dapat dengan mudah mengenali
bahwa itu buku yang sudah sangat lama sekali tidak terjamah manusia. Berdebu, dekil, bau
pengap, dan beberapa lembar hilang entah dimakan rayap atau memang sengaja
dihilangkan. Berada di sebuah rumah di tengah hutan, orang pun tak akan tahu letaknya
bila hanya berjalan tanpa mengamati dengan teliti apakah ada sebuah rumah disana.
Memang tersembunyi, kami menemukannya juga karena mencari kumbang untuk tugas
penelitian yang entah untuk apa sebenarnya tugas tersebut.
Rumah tua bergaya klasik, mungkin bekas villa keluarga kaya. Aksen cat putih
dengan daun-daun merambat dimana mana. Jendela tanpa kaca dan pintu masih tertutup
rapat dengan suasana seolah itu bukankah tempat yang ramah untuk orang yang tidak
sengaja menemukan sebuah persinggahan di tengah hutan. Sedikit kaget juga karena
selama 16 tahun tinggal di daerah ini belum pernah mendengar sedikitpun isu tentang
rumah tua di tengah hutan.
Entah pikiran apa yang merasuki kami waktu itu, bukan penasaran tapi ada sesuatu
yang membuat kami tertarik dengan bangunan itu. Karena hanyut dengan keterkejutan
kami tanpa sadar sudah berada di depan pintu. Tanpa pikir panjang kami memasuki rumah
itu, heran karena walaupun pintu terlihat kokoh dan tertutup rapat tapi pintu itu sama
sekali tidak terkunci. Ruangan luas bergaya klasik dengan perabot dibungkus dengan kain
putih berada dibalik pintu besar nan kokoh. Ditengah ruangan itu ada sebuah meja kecil
dengan sebuah buku diatasnya, buku yang kini berada di depan kami. ‘Duarrr!!!’ suara
benturan benda padat yang berasal dari belakang rumah membuat kami terkejut lalu
meninggalkan tempat itu dengan cepat tanpa tahu asal suara tersebut.
“apa yang kau tahu tentang simbol ini?” tanyaku
“aku juga tidak tahu, apa kau pernah melihat symbol ini selain pada dua benda ini?”
“sama sekali tidak”
“hmm, baiklah aku bawa dulu buku ini, siapa tahu aku menemukan sesuatu” sambil berjalan
keluar dari pakarangan rumah
“heii!!”
“apa lagi?” sekali lagi nada datar khas Aldi
“tidak ada kata salam?”
“kau ini, baiklah sampai besuk”
“hati-hati”
Beberapa hari kedepan berjalan seperti biasanya, tidak ada yang spesial. Namun
keberlangsungan itu harus terhenti Ketika Aldi sudah tidak masuk sekolah selama 3 hari
tanpa keterangan. Hal itu tentu membuatku bertanya-tanya ‘apa sebenarnya yang dilakukan
bocah itu’. Walaupun aku sendiri juga tidak mencari tahu secara langsung apa yang
sebenarnya terjadi pada anak itu. Bukannya tidak peduli, namun sehari sebelum dia
menghilang tanpa kabar dia sempat menghubungiku untuk tidak mencari tahu bila dia tidak
ada kabar selama bebebara hari kedepan. Tentu hal itu semakin membuatku semakin
penasaran, tapi apa daya aku yang tidak bisa berbuat apa-apa.
Hari ke-empat aku memutuskan untuk menjenguk kerumahnya. Aldi tinggal Bersama
neneknya karena kedua orangtuanya bekerja di kota. Rumah tua sederhana tapi bisa
dibilang besar dibanding dengan rumah-rumah tetangganya. Sesampainya disana tentu aku
bertemu dengan neneknya, tapi sesuatu yang membuat ku terkejut adalah saat neneknya
berkata
“loh sudah pulang duluan, katanya sampai satu minggu”
“satu minggu, nek?”
“iya, bukanya sekolah kalian ada kemah wisata selama seminggu?”
(sejenak ku berpikir, apa yang sebenarnya anak itu lakukan)
“oh iya, saya pulang duluan karena badan saya sedang tidak sehat nek”

Anda mungkin juga menyukai