Anda di halaman 1dari 17

Proses Pemilihan Ketua Partai

Politik yang Demokratis

PROSES PEMILIHAN KETUA UMUM PARTAI POLITIK

YANG DEMOKRATIS

Oleh:
Kurniawan S, S.H., LL. M

Abstrak

Tujuan dilakukannya kajian ini adalah untuk menjelaskan sistem pemilihan


demokratis dalam memilih ketua umum partai politik. Penelitian ini merupakan
penelitian hukum normatif (legal normatif study). Tipe penelitian dalam tulisan ini
adalah bersifat deskriptif. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah
pendekaan kasus (cases approach) dan pendekatan sejarah (historical approach) yaitu
dengan melihat fenomena yang tumbuh dan berkembang berdasarkan kasus-kasus
yang muncul dan disertai dengan pengamatan pada aspek sejarah perjalanan partai
politik di Indonesia.
Hasil kajian menunjukkan bahwa Sistem pemilihan ketua partai politik
secara umum terdapat dua cara yaitu: pertama, pemilihan secara aklamasi
(aclamation); dan kedua, sistem pemilihan secara vooting dimana setiap pemilih
memiliki hak suara yang sama dengan para pemilih lainnya (one man one voot).
Sistem pemilihan ketua partai politik secara vooting dapat berupa 2 (dua) model
yaitu sistem pemilihan secara vooting dengan menggunakan terbuka dan sistem
pemilihan secara vooting dengan menggunakan model tertutup. Setiap pilihan sistem
pemilihan ketua umum partai politik baik dengan menggunakan pilihan secara
aklamasi maupun dengan sistem pemilihan secara vooting baik dengan pilihan
sistem pemilihan secara vooting dengan menggunakan model terbuka maupun model
tertutup memiliki implikasi positif dan implikasi negatif. Pada hakikatnya, kedua
sistem pemilihan tersebut termasuk beserta ragam model (terbuka atau tertutup)
yang digunakan sesuai (cocok) diterapkan pada setiap partai politik. Sesuai tidaknya
diterapkan kedua sistem pemilihan tersebut berserta ragam modelnya yang
digunakan sangat ditentukan pada 2 variabel penting yaitu Pertama, variabel kondisi
kemapanan berdemokrasi (proses kaderisasi suatu partai politik), dan Kedua,
variabel ragam kepentingan politik (diversity of political interrest) yang menumpang
pada suatu partai politik yang pada akhirnya akan mempengaruhi tinggi tidaknya
(stabil tidaknya) eskalasi (konfigurasi) rivalitas konflik (pertarungan kepentingan)
atau disharmonisasi di inernal partai dari suatu partai politik.

Kurniawan S, Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala (Unsyiah) - Aceh, Mobile Phone:
085370903661, Email : kurniawanfh@yahoo.com

1
1. PENDAHULUAN
Latar Belakang

Keberadaan Partai Politik merupakan manifestasi dari kehendak (aspirasi)


politik rakyat. Partai politik dapat dimaknai sebagai organisasi politik yang dibentuk
oleh sekelompok warga negara republik Indonesia secara sukarela atas dasar
persamaan kehendak dan cita-cita untuk memperjuangkan kepentingan anggota,
masyarakat, bangsa, dan negara melalui pemilihan umum sebagaimana yang
dikatakan oleh Appadorai, yaitu :1

“A political party is more or less organized group of citizens who act together
as a political unit, have distinctive aims and opinions on the leadig political
questions of controversy in the state, and who, by acting together as a political
unit, seek toobtain control of the government, it is based on two fundamentals
of human nature: men difer in their opinions, and are gregarious; they try to
achieve by combination what they can not achieve individually”.
Carl J Friedrich menuliskan pengertian partai politik sebagai sekelompok
manusia yang terorganisir secara stabil dengan tujuan merebut atau
mempertahankan penguasaan terhadap pemerintahan bagi pimpinan partainya dan
berdasarkan penguasaan ini, memberikan kepada anggota partainya kemanfaatan
yang bersifat idiil serta materil.2 Giovanni Sartori secara lebih jelas mendefinisikan
partai politik sebagai suatu kelompok politik yang mengikuti pemilihan umum, dan
melalui pemilihan umum itu, mampu menempatkan calon-calonnya untuk
menduduki jabatan-jabatan publik.3 Dapat disimpulkan bahwa partai politik
merupakan suatu kelompok tertentu yang di dalamnya terdiri atas orang-orang
dengan otientasi tertentu guna meraih kekuasaan politik untuk menjalankan
program-programnya. Adapun dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), partai
politik berarti perkumpulan yang didirikan untuk mewujudkan ideologi politik
tertentu.

Tujuan dari kelompok-kelompok yang terdapat dalam suau organisasi partai


politik tersebut ialah untuk memperoleh kekuasaan politik dan merebut kedudukan
politik yang dilakukan secara konstitusional untuk mewujudkan visi-visinya dalam
bentuk program-program. Dalam negara yang melaksanakan prinsip demokrasi,
kedudukan dan peranan setiap lembaga negara seyogyanya memiliki kekuatan yang
seimbang dan bersifat saling mengendalikan dalam hubungan “Check and balances”.4
Namun apabila terjadinya kekuatan yang tidak seimbang diantara para lembaga
negara di suatu negara tentunya akan menyebabkan tidak adanya eran saling kontrol

1
A. Appadorai, The substance of Politics, (New Delhi: Oxford University Press, 2005), hlm. 537 –
538. Secara umum, Partai politik dapat didefinisikan sebagai suatu kelompok terorganisir yang anggota-
anggotanya mempunyai orientasi, nilai-nilai, dan cita-cita yang sama baik yang berdasarkan partai kader
atau struktur kepartaian yang dimonopoli oleh sekelompok anggota partai yang terkemuka. Atau bisa juga
berdasarkan partai massa, yaitu partai politik yang mengutamakan kekuatan berdasarkan keunggulan
jumlah anggotanya.
2
Jimly Asshiddiqie, Kemerdekaan Berserikat Pembubaran Partai Politik dan Mahkamah
Konstitusi,(Jakarta: Konstitusi Press, 2006), hlm. 52.
3
Miriam Budiardjo, Dasar-dasar Ilmu Politik, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2008), hlm. 405.
4
Jimly Asshiddiqie, Loc. Cit.

2
antara satu lembaga negara terhadap embaga negara lainnya. Situasi tersebut
berimplikasi terjadinya praktik penyelenggaraan negara yang tidak sehat, yang pada
akhirnya menyebabkan terabaikannya pelaksanaan demokrasi secara murni dan
konsekuen. Kondisi tersebut tentunya akan membuka ruang bagi partai - partai
politik yang rakus lah yang mendominasi sebagai pemegang kekuasaan
penyelenggaraan negara.

Partai politik merupakan pilar demokrasi dalam perjalanan suatu bangsa


karena memiliki peranan yang penting sebagai penghubung antara pemerintahan
negara (the state) dengan warga negaranya (the citizen). Pertai politik memiliki
kedudukan (status) dan peranan (role) yang sentral dan penting dalam setiap sistem
demokrasi.5 Bahkan menurut Schattscheider (1942), “political parties create
democracy”, partai politik lah yang membentuk demokrasi, bukan sebaliknya. 6
Baik buruknya sistem kepartaian (termasuk sistem atau model pemilihan
ketua umum suatu partai politik) yang dianut oleh suatu partai tentunya akan
memberikan warna terhadap baik tidaknya bekerjanya sistem ketatanegaraan dan
demokrasi suatu negara. Untuk itu sangat penting dan strategis untuk dilakukan
penguatan terhadap derajat perlembagaannya (the degree of institutionalization)
dalam sistem poitik yang demokratis.

Partai politik tentunya bukan satu-satunya bentuk perlembagaan sebagai


wujud ekspresi ide, pikiran, pandangan, dan keyakinan bebas dalam suatu
masyarakat demokratis, melainkan terdapat bentuk perlembagaan lainnya seperti
adanya kebebasan pers, kebebasan berkumpul dan berserikat melalui organisasi non
partai politik seperti lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), Organisasi
Kemasyarakatan (ORMAS), Organisasi Non Pemerintah (NGO’s) dan lain sebagainya.
Namun, dalam hubungannya dengan kegiatan bernegara, peranan partai politik
sebagai media dan wahana sangat menonjol dalam menentukan warna dan dinamika
penyelenggaraan kekuasaan negara. Partai politik sangat berperan dalam proses
dinamika perjuangan nilai dan kpentingan (values dan interest) dari konstituen yang
diwakilinya untuk menentukan kebijakan dalm konteks kegiatan bernegara.7

Partai politik merupakan satu-satunya bentuk perlembagaan sebagai wujud


ekspresi ide, pikiran, pandangan dan keyakinan bebas yang dapat bertindak sebagai
perantara dalam proses pengambilan keputusan bernegara sekaligus
menghubungkan antara kepentingan para warga negara (konstituennya) dengan
berbagai instrumen atau institusi-institusi kenegaraan yanga ada. Robert Michels
dalam bukunya yang berjudul “Political Parties: A sociological Study of the
Olygarchical Tendencies of Modern Demoracy”, mengataka bahwa: “..... organisasi ....
merupakan satu-satunya sarana ekonomi atau politik untuk membentuk kemauan
kolektif”.8 Kemapanan pelaksanaan demokrasi suatu negara sangat ditentukan pada
kemapanan dari proses perlembagaan partai - partai politik yanga da di suatu negara.
Hal ini mengingat keberadaan partai politik merupakan suatu keniscayaan dalam

5
Jimly Asshiddiqie, Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Reformasi, (Jakarta: PT.
Bhuana Ilmu Populer Kelompok Gramedia, 2007), hlm. 709 – 708.
6
Ibid.
7
Ibid., hlm. 712.
8
Robert Michels dalam Jimly Asshiddiqie. Ibid.

3
suat pemerintahan yang demokratis. Hal senada juga dikemukakan oleh Yves Meny
and Andrew Knapp, yang mengatakan bahwa: “A Democratic System without political
parties or with a single party is impossible or at any rate hard to imagine”.9 Ketiadaan
partai politik tentunya akan menyebabkan ketiadaan (hilangnya) media atau wadah
penyaluran aspirasi masyarakat dalam upaya mempengaruhi proses pengambilan
kebijakan bagi kemaslahatan publik dalam praktek penyelenggaraan kekuasaan
negara.

Keberadaan partai politik sebagai salah satu bentuk perlembagaan sebagai


wujud ekspresi ide, pikiran, pandangan dan keyakinan bebas dalam suatu masyarakat
demkratis pada hakikanya merupakan manifestasi dari prinsip-prinsip kemerdekaan
berpendapat (freedom of expression), berorganisasi (freedom of association), dan
kebebasan berkumpul (freedom of assembly). Ketiga prinsip kemerdekaan atau
prinsip kebebasan diakui dan dijamin oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia (NKRI) Tahun 1945 sebagaimana yang diamanatkan dalam Pasal 28E ayat
(3) UUD NRI Tahun 1945 yang mengamanatkan bahwa: “Setiap orang berhak atas
kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat”.

Proses demokratisasi dalam penyelenggaraan pemerintahan kekuasaan


negara pada hakikatnya bersifat integral dan inklusif. Oleh karenanya
penyelenggaraan suatu pemerintahan yang demokratis hanya dapat berjalan mapan
bilamana adanya proses yang demokratis di dalam internal partai politik baik dalam
hal penempatan calon legislator, maupun khususnya dalam hal pemilihan ketua
umum partai politik. Hal ini mengingat, secara umum keberadaan ketua umum partai
politik memiliki pengaruh signifikan dalam menentukan arah dan kebijakan partai
politik termasuk dalam menentukan warna praktek penyelenggaraan kekuasaan
negara.10 Mengingat akan penting dan strategisnya jabatan ketua partai politik,
untuk itu fokus kajian tulisan ini menitik beratkan pada masalah sistem pemilihan
ketua umum partai politik yang demokratis.

2. KAJIAN TEORITIK

2.1. Peran Partai Politik pada Era Penjajahan

Dalam sejarah Indonesia, keberadaan Partai politik di Indonesia diawali


dengan didirikannya organisasi Boedi Oetomo (BO), pada tahun 1908 di Jakarta oleh

9
Yves Meny and Andrew Knapp, Government and Politics in Western Europe: Britain, France,
italy, Germany, third edition, (Britian: Oxford University Press, 1998), hlm. 86.
10
Dalam perjalan ketatanegaraan Indonesia, menunjukkan bahwa keberadaan posisi ketua
umum partai politik menjadi rebutan diantara kalangan pengurus partai politik. Padahal dalam sistem
pemerintah seperti di Indonesia yang cenderung mempraktikkan sistem Presidensil keberadaan ketua
umum partai politik tidak memiliki pengaruh yang cukup signifikan dalam menentukan arah dan warna
kebijakan suatu rezim pemerintahan yang sedang berkuasa. Berbeda halnya dalam sistem pemerintahan
parlementer, dimana ketua umum partai politik memiliki pengaruh cukup signifikan dalam menentukan
warna kebijakan suatu pemerintahan baik pada levek nasional maupun pada levek regional (provinsi dan
kabupaten/kota). Namun demikian, kenyataannya menunjukkan bahwa kecenderungan jabatan ketua
umum partai politik menjadi rebutan diantara pengurus partai politik.

4
Dr. Wahidin Soediro Hoesodo dkk.11 Walaupun pada waktu itu BO belum bertujuan
ke politik murni, tetapi keberadaan BO sudah diakui para peneliti dan pakar sejarah
Indonesia sebagai perintis organisasi modern. Dengan kata lain, BO merupakan cikal
bakal dari organisasi massa atau organisasi politik di Indonesia.

Sejarah keberadaan Partai Politik di Indonesia diawali dengan berdirinya


Indische Partij yang diprakarsai oleh Tiga Serangkai (Douwes Dekker, Tjipto
Mangunkusumo dan Soewardi Soeryaningrat).12 Partai politik inilah yang menjadi
pelopor munculnya partai-partai politik sebelum kemerdekaan Indonesia baik yang
bersifat legal maupun ilegal. Setelah Indische Partij dibubarkan oleh kolonial Belanda
kemudian lahir partai-partai politik baru. Partai politik zaman pra-kemerdekaan pada
umumnya bertujuan untuk pergerakan demi kemerdekaan Indonesia.

Partai dalam arti modern sebagai suatu organisasi massa yang berusaha
untuk mempengaruhi proses politik, merombak kebijaksanaan dan mendidik para
pemimpin dan mengejar penambahan anggota, baru lahir sejak didirikan Sarekat
Islam pada tahun 1912. Sejak itulah partai dianggap menjadi wahana yang bisa
dipakai untuk mencapai tujuan-tujuan nasionalis. Selang beberapa bulan, lahir
sebuah partai yang di dirikan Douwes Dekker yaitu Indesce Partij, yang
dilatarbelakangi oleh adanya diskriminasi antara kaum Indo peranakan dan Belanda

11
Kebijakan Politik Etis (etische politic) atau kebijakan Politik Balas Budi pada 1901 di Hindia
Belanda yang diinisiasi oleh E.F.E. Douwes Dekker alias Setiabudi telah memberikan angin segar terhadap
Bumi Putra/rakyat Indonesia dalam kesadaran menuju kemerdekaan sebuah bangsa yang telah lama
tereksploitasi dari penjajahan Belanda, di abad ke-XX ini adalah kebangkitan bumi putra dalam cita-cita
kemerdekaan negara yang di tandai dengan lahirnya beberapa organisasi modern, dalam istilahnya Takeshi
Shiraisi dalam bukunya “Zaman Bergerak” sebagai titik tolak radikalisasi rakyat jawa. Perkembangan situasi
ekonomi sosial politik pada masa itu telah memberikan pelajaran bagi pemuda bangsa khususnya dan
rakyat ini, sehingga terbangunlah organisasi pemuda “Mahasiswa STOVIA” School tot Opleiding voor
Inlandsche Arsten yang lazimnya dikenal dengan Boedi Oetomo (BO) pada tanggal 20 Mei 1908 yang
diprakarsasi oleh Dr. Soetomo. Di awal mula berdirinya organisasi Boedi Oetomo merupakan organisasi
pelajar yang ruang lingkupnya masih kedaerahan, namun pada perkembangannya berubah menjadi
organisasi perkumpulan pemuda nasional, dan tanggal berdirinya organisasi ini di tetapkan oleh pemerintah
sebagai hari kebangkitan nasional. Dengan lahirnya organisasi tersebut memiliki pengaruh signifikan
terhadap kondisi sosioal politik di Hindia Belanda sekaligus menjadi pemicu kelahiran organisasi-oganisasi
modern lainnya masa itu. Seiring dengan semakin menonjolnya orientasi politik di kalangan pemuda tak
jarang yang meleburkan dan ikut serta dalam organisasi-organisasi lain seperri Serikat Dagang Islam (SI)
yang didirikan di Solo 16 Oktober 1905 (oleh Haji Samanhudi, Sumowardoyo, Wiryotirto, Suwandi,
Suryopranoto, Jarmani, Haryosumarto, Sukir dan Martodikoro), Sarikat Islamiyah (SI) yang didirikan di
Batavia tahun 1909 (oleh Tirtoadisuryo), Partai Hindia (Indische Party) yaitu organisasi campuran orang Indo
dan bumiputra yang didirikan di Bandung 25 Desember 1912 (oleh E.F.E. Douwes Dekker alias Setiabudi)
dan sebagainya. Selengkapnya dapat diakses pada : Saiful Hakki, Peranan Pemuda Dalam Perjuangan
Kemerdekaan Nasional Peranan Pemuda Dalam Perjuangan Kemerdekaan Nasional
(http://kehendakmassa.blogspot.co.id/2009/11/peranan-pemuda-dalam-perjuangan.html).
12
Partai Hindia atau Indische Partij (IP) didirikan di Bandung 25 Desember 1912 (atas prakarsa
E.F.E. Douwes Dekker alias Setiabudi). IP ini merupakan organisasi campuran orang Indo dan bumiputra. IP
menjadi organisasi politik yang kuat pada waktu itu, setelah ia bekerjasama dengan dr. Cipto
Mangunkusumo dan Suwardi Suryaningrat alias Ki Hajar Dewantoro. Douwes Dekker menjadi ketuanya, dr.
Cipto Mangunkusumo dan R.M. Suwardi Suryaningrat (Ki Hajar Dewantoro) menjadi anggota pengurus.
Indische Partij terbuka buat semua golongan bangsa (bangsa Indonesia, bangsa Eropa yang terus tinggal
disini, Belanda peranakan, peranakan Tionghoa dan sebagainya), yang merasa dirinya seorang “indier”.
Selengkapnya dapat diakses pada: (http://kehendakmassa.blogspot.co.id/2009/11/peranan-pemuda-
dalam-perjuangan.html).

5
baik dalam gaji maupun perlakuan lainnya menyebabkan timbulnya pergolakan jiwa
di kalangan kaum Indo.

Pada masa pendudukan Jepang semua Partai Politik yang telah ada sisa
peninggalan di masa Belanda dibubarkan. Selanjutnya Jepang mempelopori
berdirinya organisai-organisasi massa yang jauh menyentuh akar di masyarakat
seperti dibentuknya organisasi massa bernama Pusat Tenaga Rakyat (Poetera).
Namun nasib organisasi ini pada akhirnya juga ikut dibubarkan oleh Jepang karena
dianggap telah melakukan kegiatan yang bertujuan untuk mempengaruhi proses
politik.

2.2. Peran Partai Politik pada Era Awal Kemerdekaan


Setelah Indonesia merdeka dan berdaulat, telah menetapkan bahwa NKRI
menganut paham demokrasi dan sistem multi-partai, terbukalah kesempatan yang
besar untuk mendirikan partai politik. Yang melatar belakangi terbentuknya partai-
partai baru ini adalah adanya maklumat Nomor “X” pada tanggal 3 November 1945
yang dikeluarkan oleh Wakil Presiden RI yaitu Mohammad Hatta atas usulan dari
Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat (BP-KNIP), mendorong terbentuknya
partai-partai politik sebagai bagian dari demokrasi. 13 Maklumat tersebut merupakan
salah satu bagian dari rencana persiapan penyelenggaraan pemilu pada tahun
berikutnya yaitu 1946. Maklumat tersebut menggunakan nomor X (bukan sepuluh)
karena nomor urut maklumatnya sama dengan nomor sebelumnya. Maklumat
Nomor X pada tanggal 3 November 1945 ini melegitimasi partai-partai politik yang
telah terbentuk sebelumnya, sejak zaman Belanda dan Jepang.

Dalam perjuangan mempertahankan dan mengisi kemerdekaan, rakyat tidak


hanya menyusun pemerintahan dan militer yang resmi, tetapi juga menyusun laskar
atau badan perjuangan bersenjata dan organisasi politik. Pada zaman kemerdekaan
ini, partai politik tumbuh di Indonesia ibarat tumbuhnya jamur di musim hujan,
dengan berbagai haluan ideologi politik yang berbeda satu sama lain. Hal ini
dikarenakan adanya maklumat Pemerintah RI 3 November 1945 yang berisi anjuran
mendirikan partai politik dalam rangka memperkuat perjuangan kemerdekaan. Pada
masa ini peran partai politik adalah sebagai sarana perjuangan mempertahankan dan
mengisi kemerdekaan melalui cara-cara yang bersifat politis.

13
Pemerintah menerima usulan Badan Pekerja KNIP agar dibukanya kesempatan untuk
mendirikan partai-partai politik untuk mengikuti Pemilihan Umum yang rencananya akan digelar pada
Januari 1946. Ketetapan tersebut dituangkan dalam Maklumat Pemerintah tanggal 3 November 1945 yang
menegaskan kembali bahwa pembentukan partai politik tersebut adalah untuk memperkuat perjuangan
mempertahankan kemerdekaan dan menjamin keamanan masyarakat. Isi maklumat tersebut adalah:
“Pemerintah menyukai timbulnya partai-partai politik karena dengan adanya partai-partai itulah dapat
dipimpin ke jalan yang teratur segala aliran paham yang ada dalam masyarakat. Diharapkan bahwa
partai-partai telah tersusun sebelum pemilihan umum pada bulan Januari 1946”.
Pengumuman tersebut lalu disambut gembira oleh masyarakat karena selama 3,5 tahun penjajahan Jepang,
setiap kegiatan politik adalah terlarang. Berkaitan dengan pelaksanaan Pemilu yang rencananya akan
digelar pada bulan Januari tahun 1946, maka rencana tersebut terpaksa ditunda karena kondisi dalam
negeri yang tidak memungkinkan karena serangan sekutu yang ingin kembali melakukan penjajahan di
Indonesia. Selengkapnya dapat diakses pada: http://www.idsejarah.net/2014/12/sejarah-partai-politik-
pada-masa_3.html

6
2.3. Peran Partai Politik pada Era Orde Lama
Seiring dengan dikeluarkannya maklumat pemerintah pada tanggal 3
November 1945 yang menganjurkan dibentuknya Parpol, sejak saat itu berdirilah
puluhan partai. Maklumat ini ditandatangani oleh Wakil Presiden Mohammad Hatta.
Atas usul Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat yang meminta
diberikannya kesempatan pada rakyat yang seluas-luasnya untuk mendirikan Partai
Politik. Partai Politik hasil dari Maklumat Pemerintah 3 November 1945 berjumlah
29 buah, dikelompokkan dalam 4 kelompok partai berdasarkan ketuhanan,
kebangsaan, Marxisme, dan kelompok partai lain-lain yang termasuk partai lain-lain
adalah Partai Demokrat Tionghoa Indonesia dan Partai Indo Nasional.

Pada saat Indonesia menganut demokrasi liberal, sistem pemerintahan yang


dianut adalah parlementer. Dalam demokrasi parlementer, demokrasi liberal atau
demokrasi Eropa Barat, memberikan jaminan yang kuat dan luas terhadap kebebasan
individu. Dalam sistem pemerintahan berdasarkan rezim UUDS 1950 partai politik
memiliki pernaan yang signifikan. Keberadaan kelembagaan DPR memiliki
ketergantungan yang tinggi terhadap partai politik. Hal ini mengingat para anggota
DPR pada umumnya adalah berasal dari partai politik. Di awal peemrintahan setelah
pengakuan kedaulatan Negara Indonesia, terbangun stigma di masyarakat bahwa
partai politik merupakan sarana atau instrumen (media) menuju popularitas. Para
pemimpin partai politik memiliki pengaruh signifikan terhadap pemerintahan baik di
pusat maupun di daerah-daerah. Partai politik pada zaman liberal diwarnai suasana
penuh ketegangan politik, saling curiga mencurigai antara partai politik yang satu
dengan partai politik lainnya.
Dalam kondisi tersebut, Partai Politik tumbuh dan berkembang selama
revolusi fisik dan mencapai puncaknya pada tahun 1955 ketika diselenggarakan
Pemilihan Umum pertama yang diikuti oleh 36 Partai Politik, meski yang
mendapatkan kursi di parlemen hanya 27 partai. Pergolakan-pergolakan dalam
Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Konstituante hasil Pemilihan Umum telah
menyudutkan posisi Partai Politik. Hampir semua tokoh, golongan
mempermasalahkan keberadaan Partai Politik. Kekalutan dan kegoncangan di dalam
sidang konstituante inilah yang pada akhirnya memaksa Bung Karno membubarkan
partai-partai politik.

Pada tanggal 5 Juli 1960 Presiden Sukarno mengeluarkan Peraturan Presiden


No.13 tahun 1960 tentang pengakuan, pengawasan, dan pembubaran partai-partai.
Pada tanggal 14 April 1961 Presiden Sukarno mengeluarkan Keputusan Presiden No.
128 tahun 1961 tentang partai yang lulus seleksi, yaitu PNI, NU, PKI, partai Katolik,
Pertindo, Partai Murba, PSII, Arudji, dan IPKI. Setelah itu, terdapat 2 partai yang
menyusul yaitu Parkindo dan partai Islam Perti. Jadi pada waktu itu, parpol yang
boleh bergerak hanya 10 partai saja, sementara selebihnya dibubarkan karena
tergolong partai Gurem. Tetapi jumlah partai yang tinggal 10 buah itu berkurang satu
pada tahun 1964. Presiden Sukarno atas desakan PKI dan antek-anteknya,
membubarkan Partai Murba dengan alasan Partai Murba merongrong jalannya

7
revolusi dengan cara membantu kegiatan terlarang seperti BPS (Badan Pendukung
Sukarnoisme) dan Menikebu (Manifesto Kebudayaan).14

2.4. Peran Partai Politik pada Era Orde Baru


Perkembangan partai politik setelah tragedi G. 30 S/PKI, adalah dengan
dibubarkannya PKI dan dinyatakan sebagai organisasi terlarang di Indonesia.
Menyusul setelah itu Pertindo juga menyatakan bubar. Dengan demikian partai
politik yang tersisa hanya 7 buah. Tetapi jumlah itu bertambah dua dengan
direhabilitasinya Murba dan terbentuknya Partai Muslimin Indonesia. Golongan
Karya yang berdiri pada tahun 1964, semakin jelas sosoknya sebagai kekuatan sosial
politik baru.
Dalam masa Orde Baru dengan belajar dari pengalaman Orde Lama lebih
berusaha menekankan pelaksanaan Pancasila secara murni dan konsekuen.
Kristalisasi Parpol Suara yang terdengar dalam MPR sesudah pemilu 1971
menghendaki jumlah partai diperkecil dan dirombak sehingga partai tidak
berorientasi pada ideologi politik, tetapi pada politik pembangunan. Itu karena
banyaknya Partai Politik dianggap tidak menjamin adanya stabilitas politik dan
dianggap mengganggu program pembangunan. Usaha pemerintah ini baru terealisasi
pada tahun 1973, partai yang diperbolehkan tumbuh hanya berjumlah tiga yaitu
Partai Persatuan Pembangunan (PPP), GOLKAR dan Partai Demokrasi Indonesia
(PDI).

Hal tersebut terlihat secara tegas menunjukkan bahwa keberadaan partai-


partai politik yang ada di Indonesia di masa Orde Baru (ORBA) merupakan partai
yang dibentuk atas prakarsa atau intervensi negara, bukannya inisiatif atau wujud
sesungguhnya perlembagaan kehendak atas ide-ide dan kepentingan komunal yang
tumbuh, hidup dan berkembang di masyarakat masa itu.15

2.5. Peran Partai Politik pada Era Reformasi dan Masa Kini
Bergulirnya era reformasi yang ditandai dengan jatuhnya rezim Orde Baru
(ORBA) telah mendorong terjadinya perubahan (amandemen) signifikan terhadap
UUD NRI Tahun 1945 sebanyak 4 (empat) kali secara berturut-turut mulai tahun
1999 - 2002. Perubahan (amandemen) terhadap UUD NRI Tahun 1945 tersebut telah
mendorong terjadinya perubahan mendasar terhadap sistem perlembagaan
parlemen (termasuk perlembagaan MPR RI) yang akhirnya memberi akses bagi para
tokoh reformis masuk ke dalam kekuasaan penyelenggaraan pemerintahan negara.

14
Peranan partai politik pada masa ini sudah menjadi sarana penyalur aspirasi rakyat, namun
kurang maksimal karena situasi politik yang panas dan tidak kondusif. Dimana setiap partai hanya
mementingkan kepentingan partai sendiri tanpa memikirkan kepentingan yang lebih luas yaitu kepentingan
bangsa.
15
Pembentukan partai bukan atas dasar kepentingan masing-masing anggota melainkan karena
kepentingan negara. Dengan kondisi partai seperti ini, sulit rasanya mengharapkan partai menjadi wahana
artikulasi untuk mewujudkan kepentingan dan kesejahteraan rakyat, melainkan hanya sebagai wahana
untuk mempertahankan keberlanjutan kekuasaan rezim tertentu yang mengatas namakan rakyat.

8
Perubahan (amandemen) terhadap Konstitusi Indonesia sebanyak 4 (empat)
kali secara berturut-turut tersebut menunjukkan bahwa keberadaan UUD NRI Tahun
1945 sebelum amandemen (produk rezim ORBA) cenderung sama sekali tidak
memberi akses bagi perubahan kehidupan bangsa Indonesia dalam upaya
mendukung terus berjalannya pemerintahan yang demokratis di era reformasi.
Seiring dengan masifnya tekanan dan intervensi negara di bawah rezim
pemerintahan Orde Baru (ORBA) terhadap rakyat, maka pada saat jatuhnya rezim
Orde Baru (ORBA) telah mendorong munculnya hasrat kuat bagi kelompok-kelompok
masyarakat untuk melembagakan kesamaan ide (gagasan) dan kepentingan tersebut
ke dalam suatu partai politik. Karenanya di masa reformasi muncul begitu banyak
partai politik (multy party) di Indonesia sebagai wujud manifestasi dari
perlembagaan gagasan atau ide komunal yang tumbuh, hidup dan berkembang di
masyarakat yang dikekang selama rezim ORBA. Jadi negara melalui rezim yang
sedang berkuasa di masa reformasi tidak mampu membendung kuatnya hasrat
politik rakyat untuk melembagakan ide (gagasan) dan kepentingan komunalnya ke
dalam suatu partai politik.

3. PEMBAHASAN

3.1. Sistem Pemilihan Ketua Partai Politik Yang Demokratis


Baik tidaknya penyelenggaraan suatu pemerintahan yang demokratis sangat
ditentukan pada mekanisme dan proses demokratisasi di dalam internal partai
berdasarkan kesesuaian kondisi internal partai politik. Untuk itu, menjadi sangat
penting dan strategis membahas mengenai sistem pemilihan ketua umum partai
politik yangdemokratis. Hal ini mengingat setiap kebijakan partai (baik dalam hal
syarat pengusulan calon legislatif, recall, termasuk penentuan arah kebijakan koalisi
atau oposisi serta berbagai kebijakan strategis partai lainnya) sangat ditentukan oleh
figuritas dari para ketua umum partai politik.
Demokratis atau tidaknya suatu sistem pemilihan ketua umum partai pilitik
sangat ditentukan berdasarkan pilihan yang diputuskan dalam musyawarah mufakat
diantara para pemilik suara (pemilih) dalam suatu partai politik. Apabila tidak
tercapai kata sepakat selanjutnya diputuskan degan menggunakan mekanisme suara
terbanyak melalui vooting yaitu dimana setiap pemilik suara (pemilih) memiliki hak
suara yang sama dengan para pemilih lainnya (one man one voot) dalam menentukan
pilihan sistem pemilihan ketua umum partai politik yang akan digunakan. Apapun
keputusan pilihan yang digunakan dalam sistem pemilihan ketua umum partai politik
yang akan diterapkan tersebut pada hakikatnya merupakan kehendak bersama
(collective willingness) yang notabenanya adalah hasil berdemokrasi.

Sistem pemilihan ketua partai politik secara umum terdapat dua cara yaitu:

1. Pemilihan secara aklamasi (aclamation); dan


2. Sistem pemilihan secara vooting.
Sistem pemilihan ini memperlakukan setiap pemilih memiliki hak suara yang sama
dengan para pemilih lainnya (one man one voot). Sistem pemilihan ketua partai
politik secara vooting dapat berupa 2 (dua) model/tipe yaitu:

9
a. Sistem pemilihan secara vooting dengan menggunakan model/tipe terbuka;
dan
b. Sistem pemilihan secara vooting dengan menggunakan model/tipe tertutup.

Pada hakikatnya, kedua sistem pemilihan tersebut termasuk beserta ragam


model (terbuka atau tertutup) nya sesuai (cocok) untuk diterapkan pada setiap partai
politik bedasarkan variabel yag tepat. Sesuai tidaknya diterapkan kedua sistem
pemilihan tersebut berserta ragam modelnya di dalam suatu partai politik sangat
ditentukan pada 2 variabel penting yaitu:
1. Variabel kondisi kemapanan berdemokrasi (proses kaderisasi suatu partai
politik), dan
2. Variabel ragam kepentingan politik (diversity of political interrest) yang
menumpang pada suatu partai politik yang pada akhirnya akan mempengaruhi
tinggi tidaknya (stabil tidaknya) eskalasi (konfigurasi) rivalitas konflik
(pertarungan kepentingan) atau disharmonisasi di inernal partai dari suatu
partai politik.

Baik dalam kondisi partai politik yang sudah mapan berdemokrasi (proses
perekrutan dan kaderisasinya) maupun dalam kondisi partai politik yang belum
mapan berdemokrasi,16baik dalam kondisi masif maupun tidaknya (tinggi atau
tidaknya) rivalitas (persaingan kepentingan) yang ada dalam internal partai politik
sebaiknya menggunakan sistem pemilihan secara aklamasi (penunjukan secara
spontan dan kolektif). Namun dalam hal pemilihan secara aklamasi tersebut sulit
dicapai, maka satu-satunya pilihan yang tersisa hanya pemilihan dengan
menggunakan sistem pemilihan secara vooting dimana setiap pemilih memliki hak
suara yang sama dengan para pemilih lainnya (one man one voot). Sistem pemilihan
secara vooting terdapat 2 model yaitu sistem pemilihan secara vooting dengan model
terbuka dan sistem pemilihan secara vooting dengan model tertutup.
Dalam kondisi partai politik yang meskipun sudah mapan dalam
berdemokrasi dan mapan proses kaderisasinya, namun masih tingginya (masifnya)
eskalasi (konfigurasi) rivalitas (persaingan kepentingan) sehingga menyebabkan
kondisi internal partai politik menjadi tidak stabil (unstable political situation)
sebaiknya menggunakan sistem pemilihan scara vooting dengan menggunakan model
tertutup. Sistem pemilihan secara vooting dengan model tertutup yang notabenanya
menjamin kerahasiaan pilihan suara bagi pemilih cenderung menjadi lebih tepat
diterapkan dalam kondisi partai seperti ini karena dapat semakin memperkecil
adanya praktek politik penyingkiran alias politik bumi hangus terhadap mereka
(lawan-lawan politik) yang tidak mendukung ketua umum partai politik terpilih.
Adapun, dalam hal kondisi partai politik yang sudah mapan dalam
berdemokrasi dan mapan proses kaderisasinya, namun kondisi eskalasi (konfigurasi)
rivalitas (persaingan kepentingan) yang terjadi di internal partai politik rendah
(belum masif) sehingga menyebabkan kondisi internal partai politik masih stabil
(stable political situation) sebaiknya menggunakan sistem pemilihan secara vooting
dengan menggunakan model terbuka.

16
Partai politik yang memiliki kemapanan dalam berdemokrasi cenderung sudah memiliki
mekanisme rekrutmen serta kaderisasi yang baik sehingga membentuk sikap mental para kader yang
patriot dan negarawan serta mapan menerima perbedaan pandangan atau ide/gagasan.

10
Dalam hal kondisi partai politik yang belum mapan dalam berdemokrasi dan
belum mapan proses kaderisasinya namun kondisi eskalasi (konfigurasi) rivalitas
(persaingan kepentingan) yang terjadi di internal partai politik masih tinggi (masif)
sehingga menyebabkan kondisi internal partai politik menjadi tidak stabil l (unstable
political situation) sebaiknya menggunakan sistem pemilihan secara vooting dengan
menggunakan model tertutup. Dalam situasi seperti ini, sistem pemilihan secara
vooting dengan menggnakan model tertutup cenderung akan menekan laju (eskalasi)
konfigurasi rivalitas (persaingan kepentingan) yang terjadi di internal partai politik.
Adapun dalam hal kondisi partai politik yang belum mapan dalam
berdemokrasi dan belum mapan proses kaderisasinya, meskipun kondisi eskalasi
(konfigurasi) rivalitas (persaingan kepentingan) yang terjadi di internal partai politik
masih rendah (tidak masif) sehingga menyebabkan kondisi internal partai politik
masih stabil (stable political situation) sebaiknya untuk tetap menggunakan sistem
pemilihan secara vooting dengan menggunakan model tertutup. Hal ini mengingat
masih prematurnya suatu partai politik dalam berdemokrasi (belum dewasa) dan
belum mapannya proses kaderisasi di internal partai bila dipaksakan menggunakan
sistem pemilihan secara vooting dengan menggunakan model terbuka (dimana setiap
pemilih (pengguna suara) terlihat pilihan politiknya (memilih siapa dan tidak
memilih siapa)), dikuatirkan cenderung berpotensi menimbulkan praktek politik
penyingkiran (politik bumi hangus) terhadap para pemilik suara yang tidak memilih
ketua umum partai politik terpilih. Namun, bilamana dalam situasi ini setelah
dilakukannya musyawarah mufakat tidak tercapai kata sepakat untuk menggunakan
sistem pemilihan secara vooting dengan model tertutup, maka satu-satunya pilihan
(pilihan akhir/pilihan yang tersisa) adalah menggunakan sistem pemilihan secara
vooting dengan model terbuka, meskipun adanya konsekuensi kecenderungan
menimbulkan praktek politik penyingkiran (politik bumi hangus) terhadap para
pemilik suara yang tidak memilih ketua umum partai politik terpilih.

Model (sistem) Pemilihan Ketua Partai Politik Secara Aklamasi

Model (sistem) ini dilakukan tanpai melalui proses perdebatan alot di dalam
internal partai, melainkan disepakati secara kolektif di dalam internal partai dengan
menunjuk figur tertentu sebagai ketua partai sebagai pemegang amanat kolektif. Cara
ini terjadi biasanya dalam kondisi dimana di dalam suatu partai hanya terdapat
figuritas tunggal. Figuritas tokoh hanya melekat pada orang-perorangan tertentu saja.
Akibat adanya monopoli figuritas tokoh partai telah menyebabkan warna pemilihan
ketua partai terjadi secara aklamasi karena tidak adanya figur tandingan. Adanya
figuritas tunggal atau monopoli figur dalam suatu partai politik kecenderungan
disebabkan karena miskinnya kaderasi (pendidikan politik atau vooter education)
yang dilakukan, sehingga tidak muncul figur tokoh alternatif tempat di mana
konstituen dapat membanding-bandingkan kualitas (mutu) kepemimpinan.

Model (sistem) pemilihan ketua umum partai politik secara aklamasi


memiliki keunggulan yaitu tidak terbangun suasana (atmosfer) menang – kalah
diantara kelompok kelompok yang berbeda kepentingan dalam partai yang sama.
Model pemilihan secara aklamasi ini cenderung menutup kemungkinan munculnya
perpecahan di dalam internal partai politik sehingga menjauhkan prakek politik
penyingkiran (politik bumi hangus) terhadap para pemilih (kelompok-kelompok)
yang tidak memilih ketuan umum partai politik terpilih.

11
Monopoli figuritas tokoh partai akan menguntungan pemilik (owner)
figuritas tunggal tersebut karena tidak adanya tokoh figuritas tandingan. Dengan
demikian akan memperpanjang kekuasaan yang dimilikinya. Mengingat “kekuasaan”
cenderung membawa manusia kepada tindakan menyeleweng, maka kondisi
monopoli figuritas tokoh akan cenderung membawa suatu partai kepada arah
kebijakan yang meyimpang pula. Hal ini senada dengan pernyataan yang
dikemukakan oleh Seorang Filsuf Lord Acton pernah berkata “Power tends to corrupt
absolut power corrupt absolutely”.17 Bermakna bahwa: “Kekuasaan cenderung
menyeleweng, kekuasaan mutlak pasti melakukan penyelewengan”.18
Model (sistem) pemilihan ketua partai politik secara Vooting

Pemilihan ketua partai secara vooting (pemilihan) ini bermakna bahwa


setiap pengurus partai atau perwakilan setiap DPD dari suatu partai politik memiliki
hak untuk menggunakan pilihan politik (political choice) di mana setiap pengurus
atau perwakilan DPD memiliki hak suara dengan konsep one man one voot. Pemilihan
ketua partai politik dengan cara ini terjadi cenderung disebabkan karena beberapa
hal yaitu :

a. Tersebarnya figuritas tokoh di dalam suatu partai politik lebih dari satu orang.
b. Banyaknya (beragamnya) kepentingan yang melekat pada partai tertentu.
c. Mapannya proses dan jenjang kaderisasi bagi para pegurus partai politik.

Sistem pemilihan ketua partai politik dengan menggunakan model (sistem)


Vooting (pemilihan) ini cenderung terjadi di dalam tubuh partai politik memiliki
proses dan jenjang kaderisasi yang sudah mapan. Seiring dengan mapannya proses
dan jenjang pengkaderan yang ada sehingga tidak terjadinya konsentrasi (dominasi)
figuritas tokoh pada sosok tertentu, melainkan figuritas tokoh partai terdistribusi
secara merata.
Semakin mapannya proses dan jenjang kaderisasi suatu partai politik
cenderung akan menyebabkan meningkatnya daya tarik para tokoh yang berada di
luar pengurus partai (seperti tokoh masyarakat, intelektual, kalangan profesional,
dan berbagai tokoh yang mewakili komunitas tertentu lainnya) untuk bergabung
dengan partai tersebut. Dengan demikian, kondisi tersebut telah berimplikasi
semakin meningkatkan variasi kepentingan kelompok-kelompok yang dititipkan di
pundak partai tersebut. Kondisi keragaman (variasi) kepentingan politik di dalam
suatu partai politik cenderung akan menyebabkan semakin ketatnya rivalitas
(kompetesi) kepentingan yang diwakili oleh masing-masing tokoh komunitas
tersebut. Ketatnya rivalitas kompetesi diantara para tokoh di dalam suatu partai akan
menimbulkan kecenderungan mengarah pada pemilihan ketua partai menggunakan
pilihan model (sistem) pemilihan secara vooting (pemilihan).

3.2. Implikasi Positif dan Negatif Sistem Pemilihan Ketua Partai Politik

Setiap pilihan tentunya memiliki implikasi positif maupun negatif. Hal yang sama juga
pada sistem pemilihan ketua umum partai politik. Setiap pilihan sistem pemilihan

17
Ramlan Surbakti, Memahami Ilmu Politik, PT. Gramedia Widiasarana Indonesia, Jakarta, 2010,
hlm. 78
18
Ibid.

12
ketua umum partai politik baik dengan menggunakan sistem pemilihan secara
aklamasi maupun dengan sistem pemilihan secara vooting (baik dengan pilihan
model terbuka maupun tertutup) memiliki implikasi positif dan implikasi negatif.

Berikut analisa terkait implikasi positif dan implikasi negatif dari sistem
pemilihan ketua partai politik secara aklamasi dan sistem pemeilihan ketua partai
politik secara vooting (baik dengan model terbuka dan model tertutup).

Sistem Pemilihan Ketua Partai secara Vooting dengan Menggunakan Model


Terbuka

Sistem pemilihan ketua partai politik secaar vooting dengan menggunakan


model terbuka adalah pemilihan yang dilakukan dengan cara dimana para pemilik
suara saling mengetahui pilihan masing-masing diantara meraka. Sistem pemilihan
ketua partai politik secara vooting dengan menggunakan model terbuka memiliki
implikasi positif dan juga memiliki implikasi negatif. Adapun diantara beberapa
implikasi positifnya yaitu sebagai berikut :

a. Para pemilih semakin terlatih untuk saling menerima perbedaan pilihan satu
dengan lainnya dalam penentuan ketua partai politik yang pada akhirnya akan
semakin memupuk den mendorong terbentuknya jiwa patriot serta melatih
terbentuknya karakter negarawan.
b. Semakin memperkecil ruang terjadinya kamuflase dukungan politik diantara para
pemilih terhadap para calon (kandidat) ketua umum partai politik.
c. Mempu menetralisir mentalitas ganda diantara para pemilih.
d. Mendorong terpilihnya ketua umum partai politik secara obyektif dan terbuka
sehingga dapat memperkecil kemungkinan terjadinya pemilihan ketua partai
politik yang transaksional (politik dagang sapi) yang syarat dengan kepentingan-
kepentingan.

Sementara beberapa implikasi negatif dari sistem pemilihan ketua partai politik
secara vooting dengan menggunaka model terbuka adalah sebagai berikut:
a. Sistem ini akan nampak secara jelas siapa yang mendukung siapa dan siapa yang
tidak mendukung siapa. Dalam kondisi tingginya eskalasi rivalitas diantara para
calon ketua umum dalam suatu partai tertentu, tentunya cenderung dapat
semakin mempertajam terjadinya disharmonisasi kepentingan sehinga
mendorong terjadinya perpecahan di dalam tubuh partai politik. Bahkan dalam
kondisi partai politik yang belum mapan dan miskin para pengurus yang memiliki
jiwa negarawan tentunya akan membawa kepada suatu situasi munculnya praktik
politik saling menyingkirkan alias politik bumi hangus terhadap para lawan
kepentingan politiknya.
b. Memperbesar gap konflik kepentingan di dalam tubuh partai politik dalam kondisi
partai politik yang belum mapan).
c. Melanggar asas “LUBER” yaitu Langsung, Umum, Bebas dan Rahasia. Sistem
(model) pemilihan ketua partai politik dengan menggunakan model terbuka tidak
dapat memenuhi unsur “kerahasiaan”.

13
Sistem Pemilihan Ketua Partai secara Vooting dengan menggunakan Model
Tertutup

Sistem pemilihan ketua partai politik secara vooting degan menggunakan


model tertutup adalah pemilihan yang dilakukan dengan cara dimana para pemilik
suara tidak saling mengetahui pilihan masing-masing diantara meraka.19 Sistem
pemilihan ketua partai politik dengan menggunakan model tertutup memiliki
implikasi positif dan juga memiliki implikasi negatif. Adapun diantara beberapa
implikasi positifnya yaitu sebagai berikut :
a. Dapat memenuhi asas “LUBER” sebagai salah satu prinsip demorkasi yaitu
“Langsung, Umum, Bebas dan Rahasia”. Sistem (model) pemilihan ketua partai
politik dengan menggunakan model tertutup ini cenderung lebih menjamin
terpenuhinya unsur “kerahasiaan” dari para pemilih (pemegang suara) sehingga
lebih demokratis.
b. Sistem tersebut dinilainya bisa membuat pemegang suara lebih jernih memilih.
c. Para calon ketua umum partai politik tidak mengetahui pilihan dari masing-masing
pemilih (pemegang suara), sehingga cenderung dapat membuat para pemegang
sura lebih bebas (tidak ada tekanan psikologis) dalam menggunakan hak suara
sebagai pilihan politiknya. Dengan demikian sistem ini tentunya cenderung dapat
memperkecil kemungkinan terjadinya disharmonisasi kepentingan (perpecahan)
di dalam tubuh partai politik.
d. Memperkecil gap konflik kepentingan di dalam tubuh partai politik.
Sementara beberapa implikasi negatif dari sistem pemilihan ketua partai politik ecara
vooting dengan menggunaka model tertutup adalah sebagai berikut:

19
Pada saat dilaksanakannya Musyawarah Nasional Luar Biasa (MUNASLUB) Partai Golongan
Karya (GOLKAR) di Nusa Dua Bali, para peserta MUNASLUB terjadi perdebatan sengit mengenai pilihan
piihan sistem pemunguta suara yang akan digunakan antara sistem pemugutan suara secara terbuka atau
sistem tertutup. Sekretaris Panitia Pengarah Munaslub Partai Golkar Agun Gunandjar Sudarsa mengatakan,
tetap berpegang terhadap rancangan yang sudah dipersiapkan oleh panitia, yakni sistem pemilihan
tertutup. Menurutnya sistem tersebut dinilainya bisa membuat pemegang suara lebih jernih memilih dan
suasana demokratis bisa terbangun. Namun, Tim sukses Setya Novanto, Ridwan Bae, cenderung menyetujui
sistem pemilihan terbuka. Menurut Ridwan Bae sistem terbuka jauh lebih bagus dibandingkan sistem
tertutup, bahkan Aklamasi juga jauh lebih bagus selama itu dikehendaki oleh semua, tidak melahirkan
perbedaan. Adapun Tim sukses Ade Komarudin, yaitu Bambang Soesatyo bersikukuh memilih sistem
pemilihan secara tertutup, bahkan mengancam akan melakukan boikot bila sistem pemilihan terbuka
dipaksakan. Sebelumnya, Rapat pramunas Partai Golkar berjalan alot, Sabtu, 14 Mei 2016. Perdebatan
berjalan alot dalam hal penentuan pemungutan suara, yakni antara sistem tertutup atau sistem terbuka.
Alotnya perdebatan membuat rapat penentuan sistem pemilihan buntu. Perdebatan meruncing denan
adanya adu argumentasi antara kubu yang memilih pemungutan untuk menentukan bakal calon ketua
menjadi calon ketua berjalan tertutup atau terbuka. Pimpinan rapat kemudian memutuskan adanya
musyawarah antara DPD 1 dan DPD 2. Hasilnya akan dipaparkan, Minggu, 14 Mei 2016. Bila musyawarah
masih belum mencapai kesepakatan, maka akan diadakan voting. Namun menurut pengamat politik dari
Lembaga Ilmu Pengetahuan Indoensia (LIPI), Syarif Hidayat berpendapat bahwa “Jika memang semua
mendukung proses demokrasi yang baik, seharusnya tidak ada kader, termasuk calon ketua umum Partai
Golkar yang akan menolak usulan votting terbuka” menjawab wartawan yang menghubunginya dari Nusa
Dua -Bali, Minggu (15/5/2016). Bahkan Syarif Hidayat berpendapat bahwa ”Semua calon ketua umum yang
menolak votting terbuka, jelas tidak membawa semangat perubahan pada Partai Golkar”.

14
a. Memungkinkan terjadinya pemilihan ketua partai politik yang transaksional
(politik dagang sapi) yang syarat dengan kepentingan-kepentingan.
b. Mempermudah terbukanya ruang praktek politik uang (money politic) dalam
pemilihan ketua umum partai politik. Kondisi ini tentunya akan semakin
memperkecil ruang (akses) munculnya para pemimpin (ketua umum) partai
politik yang bersih dan berkualitas serta bebas dari praktek pemilihan yang
bersifat transaksional.
c. Semakin menjauhkan keberadaan partai politik dari konsepsi perlembagaan ide
(gagasan) komunitas masyarakat, melainkan semakin cenderung menggambarkan
bahwa keberadaan suatu partai politik cenderung masih merepresentasikan
perlembagaan kaum feodal (pemilik modal/kalangan patrecia) bukannya wujud
perlembagaan kaum tertindas (plebei/rakyat jelata).
d. Terbuka ruang terjadinya kamuflase dukungan politik diantara para pemilih
terhadap para calon (kandidat) ketua umum partai politik.
e. Mendorong tumbuh suburnya mentalitas ganda diantara para pemilih.

4. PENUTUP
Kesimpulan

Demokratis atau tidaknya suatu sistem pemilihan ketua umum partai pilitik
sangat ditentukan berdasarkan pilihan yang diputuskan dalam musyawarah mufakat
diantara para pemilik suara (pemilih) dalam suatu partai politik. Apabila tidak
tercapai kata sepakat selanjutnya diputuskan degan menggunakan mekansme suara
terbanyak melalui vooting yaitu dimana setiap pemilik suara (pemilih) memiliki hak
suara yang sama dengan para pemilih lainnya (one man one voot) dalam menentukan
pilihan sistem pemilihan ketua umum partai politik yang akan digunakan. Apapun
keputusan pilihan yang digunakan dalam sistem pemilihan ketua umum partai politik
yang akan diterapkan tersebut pada hakikatnya merupakan kehendak bersama
(collective willingness) yang notabenanya adalah hasil berdemokrasi.

Setiap pilihan sistem pemilihan ketua umum partai politik baik dengan
menggunakan pilihan secara aklamasi maupun dengan sistem pemilihan secara
vooting (baik dengan model terbuka maupun model tertutup) memiliki implikasi
positif dan implikasi negatif. Pada hakikatnya, kedua sistem pemilihan tersebut
termasuk beserta ragam model (terbuka atau tertutup) tersebut sesuai diterapkan
pada setiap partai politik. Sesuai tidaknya diterapkan kedua sistem pemilihan
tersebut berserta ragam modelnya yang digunakan sangat ditentukan pada 2 variabel
penting yaitu Pertama, variabel kondisi kemapanan berdemokrasi (proses kaderisasi
suatu partai politik), dan Kedua, variabel ragam kepentingan politik (diversity of
political interrest) yang menumpang pada suatu partai politik yang pada akhirnya
akan mempengaruhi tinggi tidaknya (stabil tidaknya) eskalasi (konfigurasi) rivalitas
konflik (pertarungan kepentingan) atau disharmonisasi di inernal partai dari suatu
partai politik.

15
Saran
Berdasarkan analisa tersebut diatas, maka disarankan beberapa hal sebagai
berikut :
1. Disarankan kepada partai politik baik dalam kondisi partai politik yang sudah
mapan proses dan kaderisasi para pengurusnya maupun dalam kondisi partai
politik yang proses dan kaderisasi para pengurus dan para kadernya masih belum
mapan, baik dalam kondisi masif maupun tidaknya (tinggi atau tidaknya) rivalitas
(persaingan kepentingan) yang ada dalam internal partai politik disarankan
menggunakan sistem pemilihan secara aklamasi (penunjukan secara spontan dan
kolektif). Namun dalam hal pemilihan secara aklamasi tersebut sulit dicapai, maka
satu-satunya pilihan yang tersisa hanya pemilihan dengan menggunakan sistem
pemilihan secara vooting dimana setiap pemilih memliki hak suara yang sama
dengan para pemilih lainnya (one man one voot).
2. Dalam kondisi partai politik yang meskipun sudah mapan dalam berdemokrasi dan
mapan proses kaderisasinya, namun masih tingginya (masifnya) eskalasi
(konfigurasi) rivalitas (persaingan kepentingan) sehingga menyebabkan kondisi
internal partai politik menjadi tidak stabil (unstable political situation) disarankan
menggunakan sistem pemilihan scara vooting dengan menggunakan model
tertutup. Adapun dalam hal kondisi partai politik yang sudah mapan dalam
berdemokrasi dan mapan proses kaderisasinya, namun kondisi eskalasi
(konfigurasi) rivalitas (persaingan kepentingan) yang terjadi di internal partai
politik rendah (belum masif) sehingga menyebabkan kondisi internal partai politik
masih stabil (stable political situation) disarankan menggunakan sistem pemilihan
secara vooting dengan menggunakan model terbuka.
3. Dalam hal kondisi partai politik yang belum mapan dalam berdemokrasi dan
belum mapan proses kaderisasinya dan kondisi eskalasi (konfigurasi) rivalitas
(persaingan kepentingan) yang terjadi di internal partai politik masih tinggi
(masif) sehingga menyebabkan kondisi internal partai politik menjadi tidak stabil
(unstable political situation) disarankan menggunakan sistem pemilihan secara
vooting dengan menggunakan model tertutup.
4. Adapun dalam hal kondisi partai politik yang belum mapan dalam berdemokrasi
dan belum mapan proses kaderisasinya, meskipun kondisi eskalasi (konfigurasi)
rivalitas (persaingan kepentingan) yang terjadi di internal partai politik masih
rendah (tidak masif) sehingga menyebabkan kondisi internal partai politik masih
stabil (stable political situation) disarankan untuk tetap menggunakan sistem
pemilihan secara vooting dengan menggunakan model tertutup. Kecuali bilamana
setelah dilakukannya musyawarah mufakat tidak tercapai kata sepakat untuk
menggunakan sistem pemilihan secara vooting dengan model tertutup, maka satu-
satunya pilihan adalah menggunakan sistem pemilihan secara vooting dengan
model terbuka.

16
DAFTAR PUSTAKA

Buku-Buku

Appadorai. A, 2005. The substance of Politics, New Delhi: Oxford University Press.

Asshiddiqie, Jimly, 2006. Kemerdekaan Berserikat Pembubaran Partai Politik dan


Mahkamah Konstitusi, Jakarta: Konstitusi Press.

-----------------------, 2007. Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Reformasi,


Jakarta: PT. Bhuana Ilmu Populer Kelompok Gramedia.

Budiardjo, Miriam, 2008. Dasar-dasar Ilmu Politik, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Meny, Yves and Knapp, Andrew, 1998. Government and Politics in Western Europe:
Britain, France, italy, Germany, third edition, Oxford University Press.

Surbakti, Ramlan, 2010. Memahami Ilmu Politik, Jakarta: PT. Gramedia Widiasarana
Indonesia.

Internet

http://kehendakmassa.blogspot.co.id/2009/11/peranan-pemuda-dalam-
perjuangan.html.

http://www.idsejarah.net/2014/12/sejarah-partai-politik-pada-masa_3.html

17

Anda mungkin juga menyukai