Anda di halaman 1dari 493

Hak Cipta  dan Hak Penerbitan diliondungi Undang-undang ada pada

Universitas Terbuka - Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi


Jalan Cabe Raya, Pondok Cabe, Pamulang, Tangerang Selatan 15418
Banten – Indonesia
Telp.: (021) 7490941 (hunting); Fax.: (021) 7490147;
Laman: www.ut.ac.id.

Dilarang mengutip sebagian atau pun seluruh buku ini


dalam bentuk apa pun, tanpa izin dari penerbit

Edisi kedua
Cetakan pertama, Agustus 2012
Cetakan kedua, Januari 2013
Cetakan ketiga, Juni 2014
Cetakan keempat, September 2014
Cetakan kelima, Maret 2015

Penulis : Ds. Achmad Sobirin, M.B.A.


Penelaah Materi : Andi Silvana, S.E, M.Si.
Pengembang Desain Instruksional: 1. Drs. Soekiyono, M.M.
2. Nenah Sunarsih, S.E, M.Si.

Desain Cover & Ilustrator : Zulkarnaini/Bangun Atmo


Lay-outer : Sapriyadi
Copy Editor : Siti Nurhayati

658.406

SOB SOBIRIN, Achmad


m Materi pokok manajemen perubahan; 1 – 6; EKMA4565/
2 sks/ Achmad Sobirin. -- Cet.5; Ed.2 --. Tangerang Selatan:
Universitas Terbuka, 2014.
495 hal; ill.; 21 cm
ISBN: 978-979-011-732-7

1. manajemen perubahan
I. Judul
iii

Daftar Isi

TINJAUAN MATA KULIAH ........................................................... vii

MODUL 1: KONSEP DASAR PERUBAHAN DAN


PERUBAHAN ORGANISASI 1.1
Kegiatan Belajar 1:
Konsep Dasar Perubahan .................................................................... 1.5
Latihan …………………………………………............................... 1.30
Rangkuman ………………………………….................................... 1.31
Tes Formatif 1 ……………………………..…….............................. 1.31

Kegiatan Belajar 2:
Keberhasilan dan Kegagalan dalam Perubahan ................................ 1.34
Latihan …………………………………………............................... 1.60
Rangkuman ………………………………….................................... 1.60
Tes Formatif 2 ……………………………..…….............................. 1.61

KUNCI JAWABAN TES FORMATIF ............................................. 1.63


DAFTAR PUSTAKA ........................................................................ 1.64

MODUL 2: FAKTOR PENDORONG DAN TIPOLOGI


PERUBAHAN ORGANISASI 2.1
Kegiatan Belajar 1:
Faktor Pendorong Perubahan Organisasi ........................................... 2.5
Latihan …………………………………………............................... 2.34
Rangkuman ………………………………….................................... 2.36
Tes Formatif 1 ……………………………..…….............................. 2.37

Kegiatan Belajar 2:
Tipologi Perubahan Organisasi ......................................................... 2.42
Latihan …………………………………………............................... 2.76
Rangkuman ………………………………….................................... 2.81
Tes Formatif 2 ……………………………..…….............................. 2.82
iv

KUNCI JAWABAN TES FORMATIF ............................................. 2.86


DAFTAR PUSTAKA ........................................................................ 2.87

MODUL 3: MANAJEMEN PERUBAHAN: KONSEP DAN


IMPLEMENTASI 3.1
Kegiatan Belajar 1:
Konsep Manajemen Perubahan .......................................................... 3.5
Latihan …………………………………………............................... 3.41
Rangkuman ………………………………….................................... 3.42
Tes Formatif 1 ……………………………..…….............................. 3.44

Kegiatan Belajar 2:
Model dan Implementasi Perubahan Organisasi ............................... 3.47
Latihan …………………………………………............................... 3.70
Rangkuman ………………………………….................................... 3.72
Tes Formatif 2 ……………………………..…….............................. 3.73

KUNCI JAWABAN TES FORMATIF ............................................. 3.76


DAFTAR PUSTAKA ........................................................................ 3.77

MODUL 4: IMPLEMENTASI PERUBAHAN:


FAKTOR MANUSIA DAN KEPEMIMPINAN 4.1
Kegiatan Belajar 1:
Faktor Manusia dalam Perubahan Organisasi .................................... 4.4
Latihan …………………………………………............................... 4.35
Rangkuman ………………………………….................................... 4.37
Tes Formatif 1 ……………………………..…….............................. 4.38

Kegiatan Belajar 2:
Kepemimpinan dalam Perubahan Organisasi .................................... 4.40
Latihan …………………………………………............................... 4.66
Rangkuman ………………………………….................................... 4.68
Tes Formatif 2 ……………………………..…….............................. 4.69
v

KUNCI JAWABAN TES FORMATIF ............................................. 4.71


DAFTAR PUSTAKA ........................................................................ 4.72

MODUL 5: PENGEMBANGAN ORGANISASI DAN


ORGANISASI PEMBELAJAR 5.1
Kegiatan Belajar 1:
Pengembangan Organisasi ................................................................. 5.3
Latihan …………………………………………............................... 5.43
Rangkuman ………………………………….................................... 5.44
Tes Formatif 1 ……………………………..…….............................. 5.44

Kegiatan Belajar 2:
Organisasi Pembelajar ...................................................................... 5.47
Latihan …………………………………………............................... 5.79
Rangkuman ………………………………….................................... 5.80
Tes Formatif 2 ……………………………..…….............................. 5.80

KUNCI JAWABAN TES FORMATIF ............................................. 5.83


DAFTAR PUSTAKA ........................................................................ 5.84

MODUL 6: MANAJEMEN PENGETAHUAN DAN INOVASI


ORGANISASI 6.1
Kegiatan Belajar 1:
Knowledge Management .................................................................... 6.5
Latihan …………………………………………............................... 6.36
Rangkuman ………………………………….................................... 6.37
Tes Formatif 1 ……………………………..…….............................. 6.38

Kegiatan Belajar 2:
Inovasi Organisasi ............................................................................. 6.40
Latihan …………………………………………............................... 6.76
Rangkuman ………………………………….................................... 6.77
Tes Formatif 2 ……………………………..…….............................. 6.78
vi

KUNCI JAWABAN TES FORMATIF ............................................. 6.80


DAFTAR PUSTAKA ........................................................................ 6.81
vii

Tinjauan Mata Kuliah

B uku Materi Pokok (BMP) Manajemen Perubahan, diharapkan dapat


menjadi salah satu referensi berharga dalam pengembangan organisasi,
baik organisasi yang berorientasi pada profit, maupun organisasi publik.
Buku materi pokok ini memberikan pemahaman tentang konsep-konsep dan
teori manajemen perubahan.
Secara umum materi-materi yang dibahas dalam BMP ini: Konsep dasar
perubahan dan perubahan organisasi; Faktor pendorong dan tipologi
perubahan organisasi; Manajemen perubahan: Konsep dan implementasinya;
Implementasi perubahan: factor manusia dan kepemimpinan; Pengembangan
organisasi dan Organisasi pembelajaran; serta Manajemen pengetahuan dan
inovasi organisasi. Secara skematis kompetensi yang ingin dicapai dari
mempelajari BMP Manajemen Perubahan dapat Anda lihat pada bagan
berikut ini.
viii

Pet a Ko m pe ten si
Manajemen Perubahan/EKMA4565/2 sks

Implementasi Perubahan: Pengembangan Organisasi dan Manajemen Pengetahuan dan


Faktor Manusia dan Kepemimpinan Organisasi Pembelajaran Inovasi Organisasi

Faktor Pendorong dan Tipologi Manajemen Perubahan: Konsep


Perubahan Organisasi dan Implementasi

Konsep Dasar Perubahan dan


Perubahan Organisasi
Modul 1

Konsep Dasar Perubahan dan


Perubahan Organisasi
Drs. Achmad Sobirin, MBA., Ph.D.

PEN D A HU L UA N

Nothing changes except the change itself


Everything changes except change
All things are flowing
Change or die

J ika diterjemahkan secara bebas ke dalam bahasa Indonesia, ungkapan-


ungkapan di atas akan berbunyi…… “di dunia ini tidak ada yang tidak
berubah kecuali perubahan itu sendiri”, “semuanya berubah hanya satu
yang tidak berubah yaitu perubahan”, “tidak ada satupun yang tetap diam,
semuanya selalu bergerak mengalir” dan “berubah atau mati”. Itulah
ungkapan-ungkapan populer tentang perubahan. Ungkapan-ungkapan
tersebut di antaranya datang dari seorang filosof Yunani bernama Heraclitus
(544 – 483 SM) yang hidup sekitar 500 tahun sebelum masehi. Ucapan-
ucapannya menyebabkan Heraclitus dikenal sebagai filosof perubahan
(Müller-Merbach, 2006). Ungkapan Heraclitus tersebut menunjukkan bahwa
perubahan merupakan fenomena hidup dan kehidupan manusia yang tidak
bisa dihindari. Siapapun akan terlibat dalam perubahan, suka atau tidak;
dikehendaki atau tidak.
Sementara itu filosof Cina, Zhuangzi, mengatakan bahwa kita ini hidup
di dalam dunia sedang mengalami perubahan dan akan terus berubah tanpa
pernah diketahui oleh siapapun kapan perubahan itu dimulai dan kapan akan
berhenti (Wang, 2000). Perubahan akan terus terjadi di mana-mana sejak
dulu sampai sekarang. Bahkan dewasa ini perubahan terjadi dengan
akselerasi yang semakin tinggi, baik secara mikro maupun makro; baik pada
skala lokal maupun regional; baik pada tataran nasional maupun global.
1.2 Manajemen Perubahan 

Demikian juga perubahan bukan hanya melibatkan individu tetapi juga


kelompok dan organisasi; bukan hanya pada dunia bisnis tetapi juga birokrasi
pemerintahan. Di samping itu, perubahan bukan hanya terjadi pada
lingkungan internal tetapi juga eksternal. Pada lingkungan eksternal,
perubahan bukan hanya terjadi pada sektor ekonomi tetapi juga politik,
sosial, budaya dan teknologi. Bisa dikatakan manusia hidup dalam
lingkungan yang sedang berubah, serba berubah dan akan terus berubah.
Yang lebih menarik lagi, pola perubahannyapun, tidak luput, mengalami
perubahan. Tidak seperti pada masa lalu yang pola perubahannya seolah-olah
mengikuti irama langgam atau simfoni atau aliran sungai yang tenang, mudah
diprediksi, pelan tapi pasti; sekarang layaknya air bah, musik jazz dan rock &
roll, perubahan sering kali terjadi secara mendadak tidak ditandai oleh sinyal-
sinyal yang jelas, begitu dinamis, bergejolak, radikal dan tidak menentu.
Lingkungan tiba-tiba berubah tidak menentu bahkan menjadi semakin ruwet
(messy) mengarah pada kondisi keos (chaotic). Siapa menyangka misalnya
harga minyak dunia tiba-tiba meroket mendekati $US 150 per barel hanya
dalam hitungan bulan dan kemudian turun lagi dalam hitungan bulan juga.
Siapa menyangka Cina yang semula begitu gigih menjaga sistem ekonomi
sosialisme sekarang menjadi kekuatan ekonomi baru yang berkiblat pada
kapitalisme. IBM hampir saja kolaps (ambruk) gara-gara perubahan
teknologi dari mainframe ke personal komputer.
Dengan hiruk-pikuk perubahan seperti digambarkan di atas,
pertanyaannya sudah bukan lagi perlu atau tidak, siap atau tidak kita
mengikuti perubahan. Pertanyaannya menjadi apakah kita akan berpartisipasi
dalam arus perubahan dan bahkan secara aktif menginisiasi proses
perubahan, atau apakah kita sakedar menjadi target perubahan itu sendiri.
Jawabannya jelas, kita pasti akan terlibat dalam perubahan dan kalau tidak
beruntung kita akan terseret dan terombang-ambing pada arus perubahan.
Artinya kita harus berhati-hati dalam pusaran perubahan tersebut karena
perubahan tidak berujung dan tidak berpangkal, dan seperti putaran gasing
begitu cepat sehingga perubahan sering kali menguras energi dan perhatian
dan tentu saja sangat melelahkan. Dalam kondisi seperti ini yang bisa kita
lakukan adalah mengatur rythme perubahan (Huy & Mintzberg, 2003) –
kapan secara intensif ikut dalam perubahan dan kapan harus sedikit
mengendurkannya. Tujuannya agar di satu sisi kita tetap terlibat dalam
dinamika perubahan tetapi di sisi lain tidak larut dan lantas menjadi korban
perubahan. Nasihat orang bijak “ngeli ning ora keli – ikut dalam arus
 EKMA4565/MODUL 1 1.3

perubahan tapi tidak larut dalam perubahan” tampaknya patut


dipertimbangkan. Nasihat tersebut mengajak kita agar tetap sadar siapa diri
kita dan tidak kehilangan jati diri. Pasalnya perubahan yang berkepanjangan
dan menembus kemana-mana (pervasive) sering kali justru menimbulkan
anarkhi (Huy & Mintzberg, 2003) – sebuah situasi yang tidak dikehendaki
siapapun tetapi itulah perubahan. Dalam banyak kasus seperti yang pernah
terjadi di Indonesia dan Thailand misalnya, anarkhi mengiringi perubahan
(baca: reformasi) yang tujuan sesungguhnya demi kemajuan.
Ungkapan terakhir – change or die sesungguhnya mengajak kita turut
dalam perubahan agar tetap bertahan hidup (survive) seperti pesan iklan PT
Gudang Garam beberapa waktu lalu “perubahan itu perlu”. Pada intinya
perubahan dimaksudkan agar kita bukan sekadar survive tetapi bisa menjalani
hidup lebih baik dan mengalami progres meski hal itu kadang tidak mudah
dilakukan karena hasil perubahan sering kali juga tidak menentu. Bisa jadi
hasilnya lebih baik atau sebaliknya. Itulah sebabnya mereka yang terbiasa
hidup dalam sangkar besi (iron cage) terisolasi dan mengisolasi diri dari
dunia luar, atau mereka yang terbiasa hidup dalam kenyamanan dan
kemapanan (comfort zone) memandang perubahan sebagai musuh yang
menakutkan. Bagi mereka perubahan adalah malapetaka karena akan
menghilangkan hak privilege yang selama ini mereka nikmati. Oleh karena
itu sangat tidak mengherankan jika orang-orang ini selalu berdiri paling
depan bukan untuk mengawal perubahan tetapi menolaknya.
Uraian di atas secara tidak langsung menegaskan bahwa perubahan
adalah sebuah keniscayaan yang harus diterima dan dijalani. Menghindari
perubahan sama artinya dengan menyuruh kita menjadi dinosaurus – besar,
kuat tetapi tidak berdaya ketika alam berubah. Di Yogya misalnya orang
bilang kita belum ke Malioboro jika belum ke toko Samijaya. Itu dulu tahun
1970an ketika toko Samijaya masih jaya, terbesar dan atraktif. Sekarang
kondisinya berbeda. Ketika yang lain-lain berubah dan Samijaya masih ajeg
tidak berubah, jangankan orang mau mampir, melirikpun barangkali tidak.
Akibatnya Samijaya seperti ditelan perubahan semakin kecil dan terus
semakin kecil, dan mungkin suatu saat seperti dinosaurus.
Lepas dari tuntutan dan keharusan untuk berubah karena lingkungan
berubah, tetap saja kita harus mencermati arah perubahan sebab seperti
disebutkan di muka perubahan itu sendiri hasilnya kadang tidak menentu.
Artinya pemahaman dan pengetahuan tentang perubahan menjadi penting
agar kita tidak terjebak dalam perubahan. Lebih penting lagi adalah arah dan
1.4 Manajemen Perubahan 

hasil perubahan harus dikawal dan dikontrol agar tidak melenceng dari tujuan
awal perubahan yaitu kemajuan dan progres.
Modul 1 yang berisi konsep dasar perubahan dan perubahan organisasi
bermaksud mengantarkan mahasiswa untuk memahami konsep-konsep dasar
perubahan secara umum sebagai dasar agar mahasiswa bisa memahami
konsep perubahan pada konteks yang lebih luas, khususnya perubahan pada
organisasi. Dengan demikian, setelah selesainya mempelajari Modul 1
mahasiswa diharapkan dapat menjelaskan:
1. pengertian perubahan;
2. perubahan secara makro;
3. perubahan secara mikro;
4. pengalaman- pengalaman perusahaan besar yang mengalami perubahan;
5. keberhasilan dalam perubahan organisasi;
6. kegagalan dalam perubahan organisasi.
 EKMA4565/MODUL 1 1.5

Kegiatan Belajar 1

Konsep Dasar Perubahan

A. PENGERTIAN PERUBAHAN

Perubahan berasal dari kata dasar “ubah” yang berarti (1) menjadi lain
(berbeda) dari semula; (2) bertukar (beralih, berganti) menjadi sesuatu yang
lain (3) berganti. Setelah mendapat imbuhan “pe” dan “an”, kata ubah
menjadi perubahan yang berarti hal (keadaan) berubah; peralihan; pertukaran
(lihat kamus besar Bahasa Indonesia). Sementara itu pengertian perubahan
yang cukup beragam diberikan oleh Webster's Ninth New Collegiate
Dictionary, menurut kamus ini perubahan berarti:
1. to make different in some particular – membuat perbedaan dalam
beberapa bagian.
2. to make radically different – membuat perbedaan secara radikal.
3. to give a different position, course, or direction to – memberikan posisi,
jalan atau arah berbeda.
4. to replace with another – menggantikan sesuatu dengan sesuatu yang
lain.
5. to make a shift from one to another – menggeser dari satu kondisi ke
kondisi lain.
6. to exchange for an equivalent sum or comparable item – bertukar untuk
jumlah yang sepadan atau sesuatu yang bisa diperbandingkan.
7. to undergo a modification of – menjalani modifikasi.
8. to undergo transformation, transition or substitution – menjalani
transformasi, transisi atau pergantian.

Perubahan juga sering diartikan sebagai “alternation, modification or


addition” (McLean 2004/2005). Sederhananya, perubahan merupakan suatu
pergantian kondisi dari kondisi lama ke kondisi baru (Gambar 1.1a),
modifikasi sebuah kondisi (Gambar 1.1b) atau penambahan terhadap sebuah
kondisi (Gambar 1.1c). Kebalikan dari Gambar 1.1c, perubahan bisa
diartikan pula sebagai pengurangan terhadap sebuah kondisi (Gambar 1.1d).
Dengan kata lain selama sesuatu itu tidak sama dengan keadaan sekarang
maka itulah yang dimaksudkan dengan perubahan. Perubahan tidak pernah
1.6 Manajemen Perubahan 

terjadi jika keadaan sekarang sama dengan keadaan pada masa lalu atau sama
dengan keadaan yang akan datang.

kondisi A kondisi B kondisi


kondisi A A

Gambar 1.1a: Gambar 1.1c: Penambahan dari


Perubahan kondisi dari A ke B kondisi A lama menjadi kondisi A baru

kondisi A kondisi A kondisi


kondisiAA

Gambar 1.1b: Modifikasi dari Gambar 1.1d: Perubahan karena


kondisi A lama ke kondisi A baru pengurangan

1. Perubahan dan Perbedaan


Implisit dari definisi di atas adalah perubahan selalu diikuti oleh
perbedaan, tidak peduli apakah kondisi setelah berubah lebih baik dari
kondisi semula, atau sebaliknya. Pada Gambar 1.1a kondisi A berubah
menjadi kondisi B. Walaupun bentuknya masih sama, kondisi A tidak bisa
dikatakan sama dengan kondisi B karena A sudah berubah menjadi B.
Sebagai contoh, jika sebuah perusahaan sebut saja PT. ABC yang semula
milik A kemudian diambil alih B, boleh jadi besaran PT. ABC masih tetap
sama tetapi karena pemiliknya berbeda maka PT. ABC baru tidak sama
dengan PT. ABC lama karena berubah kepemilikan sehingga nuansa pada
PT. ABC ikut berubah. Artinya, PT. ABC yang baru setelah berganti pemilik
tidak sama dengan PT. ABC lama. Dari sini bisa dikatakan ada perbedaan
antara PT. ABC yang baru dengan PT. ABC yang lama. Ketika Bank Niaga
diambil alih oleh perusahaan Malaysia, kegiatan Bank Niaga tetap tidak
berubah masih bergerak di bidang perbankan. Besaran Bank Niaga boleh jadi
juga masih sama. Namun sekarang, seperti yang kita lihat, logo perusahaan
berubah menjadi CIMB Niaga yang menandakan terjadi perubahan identitas
di dalam tubuh perusahaan tersebut. Atau dengan kata lain Bank Niaga yang
lama tidak sama dengan CIMB Niaga yang baru meski kegiatan bisnis Bank
Niaga tidak berubah.
 EKMA4565/MODUL 1 1.7

Sedangkan pada Gambar 1.1b, katakanlah PT. ABC masih tetap dimiliki
oleh pemilik yang sama (tidak ada pergantian pemilik) tetapi kondisi A yang
baru berbeda dengan kondisi A lama karena ada perubahan bentuk, misalnya
PT. ABC yang semula perusahaan tunggal sekarang menjadi perusahaan
holding. Atau, PT. ABC yang semula bergerak di bidang industri manufaktur
sekarang beralih ke industri jasa. IBM boleh jadi merupakan contoh yang
tepat untuk menggambarkan kondisi ini. IBM memodifikasi definisi bisnis
yang digelutinya dari semula menerjemahkan IBM sebagai perusahaan
manufaktur yang menghasilkan produk-produk komputer (mainframe)
sekarang di bawah kepemimpinan Lou Gerstner, Jr. IBM menjadi perusahaan
jasa yang bergerak di bidang jasa informasi (lihat: Louis V. Gerstener, Jr.
dalam bukunya Who says elephants can’t dance?, 2002). Dalam hal ini Lou
Gerstner berpandangan bahwa IBM bukan sekedar perusahaan menghasilkan
perangkat keras komputer tetapi lebih dari itu IBM adalah perusahaan yang
memanfaatkan teknologi komputer sebagai alat informasi. Oleh karenanya
Lou Gerstener secara tegas menyatakan bahwa IBM adalah perusahaan jasa
informasi. Sementara itu dalam kasus Samsumg (lihat Eric Minton, 1999),
bisnis dan definisi bisnis Samsung masih tetap sama tetapi dengan masuknya
Jong-Yong Yun sebagai CEO, cara kerja Samsung berubah. Jong-Yong Yun
memodifikasi operasionalisasi kerja Samsung dengan berlandaskan pada
konsep-konsep yang berkembang pada bidang teknologi industri – sebuah
pola kerja yang tidak dilakukan oleh CEO sebelumnya. Akibatnya pola kerja
Samsung berubah.
Pada Gambar 1.1c, kondisi A masih sama dengan kondisi sebelumnya,
katakanlah pemilik tidak berubah, dan bisnis yang digelutinya juga tidak
berubah. Namun karena PT. ABC seperti pada contoh sebelumnya,
memperbesar skala bisnisnya misalnya dari semula hanya memproduksi
1 juta unit sekarang memproduksi 5 juta unit sehingga jumlah karyawannya
bertambah dan cakupan pemasarannya juga semakin meluas ke wilayah
regional ASEAN dari semula hanya wilayah Indonesia, tidak berlebihan jika
dikatakan PT. ABC mengalami penambahan dan hal itu berarti ada
perubahan. Atau dengan kata lain tetap saja kondisi A berubah menjadi
kondisi A yang baru. Situasi pada Gambar 1.1c sangat mungkin terjadi
sebaliknya yakni terjadi perubahan tetapi bukan karena penambahan
melainkan karena pengurangan (lihat Gambar 1.1d). Ambillah contoh
PT. Garuda Indonesia Airways (GIA). Semula GIA memiliki dan
menjalankan beberapa bisnis misalnya penerbangan, maintenance facilities,
catering, travel bureau, dan perhotelan, namun karena lingkungan internal
1.8 Manajemen Perubahan 

dan eksternal tidak mendukung, GIA terpaksa harus memperkecil skala


usahanya dengan melepas beberapa usaha bukan inti dan hanya
mempertahankan dua bisnis inti: penerbangan dan maintenance facilities.
Contoh ini memberi gambaran akan adanya pengurangan kondisi pada GIA
yang berarti terjadi perubahan.

2. Perubahan dan Ketidakpastian


Ada pepatah yang mengatakan bahwa di dunia ini hanya ada dua yang
pasti yaitu kematian dan membayar pajak. Selain kedua hal ini semuanya
hampir pasti penuh dengan ketidakpastian termasuk di dalamnya yang
berkaitan dengan perubahan. Artinya, selain identik dengan perbedaan,
perubahan selalu dikaitkan dengan ketidakpastian (uncertainty). Boleh jadi
yang tidak pasti adalah penyebabnya – karena lingkungan selalu berubah
sehingga menuntut kita untuk berubah, atau hasilnya tidak pasti – bisa jadi
hasil perubahannya lebih baik atau lebih buruk. Masih ada kemungkinan lain
yakni: proses dan isi perubahannya juga tidak pasti. Semua itu – penyebab
(context), proses, isi (content) dan hasil yang tidak pasti (result)
menyebabkan para aktor – mereka yang terlibat dalam perubahan sering kali
merasa takut. Mereka takut bukan pada perubahannya tetapi takut pada
ketidakpastian dan ketidaktahuan terhadap masa akan datang akibat
perubahan. Oleh karena itu menjadi wajar jika banyak orang enggan
melakukan perubahan, atau dengan kata lain, resistensi terhadap perubahan
merupakan sifat alami manusia. Artinya, meski perubahan itu bersifat logis –
bisa diterima oleh akal sehat, pada kenyataannya perubahan lebih bersifat
emosional. Itulah sebabnya selain diartikan sebagai “alternation,
modification or addition”, perubahan juga sering dimaknai sebagai sesuatu
yang menakutkan (scary), membuat sakit kepala (painful), membebaskan
(liberating), membuat arah tidak menentu (disorienting), menyegarkan
(exhilarating), memberdayakan (empowering), membuat frustrasi
(frustating), memenuhi kebutuhan (fulfilling), memusingkan (confusing), dan
menantang (challenging).

3. Respon terhadap Perubahan


Masyarakat yang terlibat dan dilibatkan dalam perubahan merespon
perubahan dengan sikap beragam. Sikap ini muncul karena adanya
ketidakpastian dalam perubahan. Secara umum respon masyarakat terhadap
perubahan bisa dibagi menjadi dua – setuju dan tidak setuju. Mereka yang
 EKMA4565/MODUL 1 1.9

merasa optimis terhadap perubahan cenderung mendukung perubahan.


Mereka yang setuju, ditandai dengan pernyataan exhilarating, empowering,
fulfilling dan challenging, tentu akan mengawal perubahan dengan antusias
agar cita-cita yang terkandung dalam perubahan bisa tercapai. Sementara itu
bagi mereka yang tidak setuju, pesimis akan perubahan, masih merasa tidak
pasti dan tidak tahu akan masa depan akibat perubahan menganggap
perubahan sebagai: scary, painful, disorienting, frustating, dan confusing.
Mereka boleh jadi akan mengalami kejutan budaya (culture shock).
Akibatnya mereka mencari strategi atau jalan keluar yang menurutnya bisa
membebaskan diri dari persoalan tersebut. Farouk (2005) mengidentifikasi 5
(lima) jalan keluar (strategi) yang biasa dilakukan masyarakat ketika
menghadapi ketidakpastian dan ketidaktahuan perubahan.
a. Negative strategy. Mereka akan menutup diri, menolak perubahan, dan
berusaha membayangkan dan membangun lingkungan hidup
sebagaimana yang ada di masa sebelumnya dan membangun ikatan-
ikatan primordial,
b. Hedonist strategy. Mereka akan terbawa arus perubahan, kehilangan
ingatan akan pegangan masa lalu dan bahkan pada akhirnya bersikap
apatis terhadap segala yang mapan, meniscayakan serta menikmati
segala apa saja yang menimbulkan efek perubahan.
c. Fatalistic strategy. Mereka akan tetap bertahan hidup dalam perubahan
itu, tetapi dengan sikap kognitif, afektif dan motorik yang traumatik
yang menatap masa depan tanpa harapan dan berjuang hidup hanya pada
batas survival untuk sekedar bertahan hidup di masa kini,
d. Pragmatist strategy. Mereka akan bertahan hidup dalam perubahan
tetapi dengan membuat pegangan-pegangan baru yang bersifat sementara
untuk bisa digunakan dalam menyiasati masa lalu, masa kini maupun
masa depan, membangun kemapanan relatif yang berguna dalam
rentang waktu pendek yang selalu siap untuk dimodifikasi sesuai dengan
perubahan keadaan yang berjalan cepat, dan
e. Reflective strategy. Mereka menerima perubahan dengan sikap kritis dan
selektif dengan menggunakan program jangka panjang mereka sebagai
tolok ukur.

4. Perubahan dan Kemajuan/Progres


Pada intinya perubahan, yang pengertiannya telah dijelaskan di muka,
tidak bisa dilepaskan dari perbedaan. Dengan demikian kata kunci dari
1.10 Manajemen Perubahan 

perubahan adalah perbedaan. Setiap perubahan pasti menimbulkan


perbedaan, sekecil apapun perbedaan tersebut; tidak peduli apakah perbedaan
tersebut menyebabkan kondisi yang baru lebih baik atau lebih buruk dari
sebelumnya; apakah perbedaan tersebut berakibat positif atau negatif.
Artinya, setiap perubahan hampir pasti menimbulkan ketidakpastian. Dengan
demikian tidak berlebihan jika dikatakan ketidakpastian merupakan kata
kunci kedua dari perubahan.
Hanya saja dampak buruk atau dampak negatif perubahan sangat tidak
dikehendaki oleh siapa saja. Sebaliknya, sangat diharapkan perubahan
memberikan dampak baik dan positif bagi pertumbuhan dan perkembangan
manusia. Seperti kata pepatah “hari ini harus lebih baik dari hari kemarin dan
hari esok harus lebih baik dari hari ini”. Hal senada ditegaskan Stuhler (1994)
yang menyatakan bahwa perubahan tidak ada artinya jika tidak diikuti oleh
progres atau kemajuan. Oleh karena itu, untuk menghindari/meminimalisir
dampak buruk perubahan di satu sisi dan mencapai tujuan perubahan yang
dikehendaki pada sisi yang lain, perubahan perlu dikenali, dipahami, dikelola
dan dalam batas-batas tertentu bahkan perlu diciptakan. Semua itu tujuannya
hanya satu agar perubahan berdampak pada kemajuan/progres. Meski
kemajuan/progres merupakan harapan setiap orang, dalam sejarahnya setiap
kelompok masyarakat mengartikan kemajuan secara berbeda sesuai dengan
keinginan dan pemahaman masing-masing kelompok (Stuhler, 1994). Stuhler
lebih lanjut memberikan gambaran tentang pemahaman makna kemajuan dari
generasi berbeda sebagai berikut:
a. Pada zaman Yunani kuno, kemajuan dikaitkan dengan perkembangan
biografi seseorang.
b. Bagi Umat Kristen, Kitab Injil berisikan ajaran-ajaran tentang kemajuan
merupakan jalan menuju surga keabadian (Saint Agustinus).
c. Pada periode scholastic, manusia menganggap seni dan ilmu
pengetahuan sebagai akumulasi kemajuan.
d. Abad Pertengahan dan Renaissance menjadi landasan bagi versi modern
tentang konsep kemajuan. Dalam hal ini kemajuan dipahami sebagai ide
yang berorientasi masa depan.
e. Pada masa-masa Descartes, konsep progres dikombinasikan dengan
nalar dan empiris. Kemajuan hanya bisa dicapai jika kita bisa belajar dan
mengetahui lebih banyak melalui bukti empiris dengan menggunakan
akal sehat ketimbang melalui pengetahuan dan kearifan yang datang dari
seorang yang memiliki otoritas.
 EKMA4565/MODUL 1 1.11

f. Francis Bacon mengaitkan secara langsung kemajuan sosial politik


dengan kemajuan di bidang ilmu pengetahuan, seni, dan teknologi.
Artinya, ilmu pengetahuan, seni, dan teknologi menjadi sumber
kemajuan di bidang sosial politik.
g. Selama abad 18, dimensi politik dan moralitas merupakan bagian
integral dari konsep kemajuan. Setelah revolusi Perancis, orang mulai
yakin bahwa kemajuan tidak hanya bisa diramal tetapi bisa direncanakan
dan dikendalikan.
h. Menurut Emmanuel Kant, kemajuan secara eksplisit berarti “kemajuan
menuju perbaikan – progress towards better”. Kemajuan merupakan
sifat alami yang tersembunyi. Artinya kemajuan tidak bisa
dimanifestasikan kecuali atas konsensus orang-orang yang terlibat di
dalamnya.
i. Karl Marx menerjemahkan kemajuan sebagai sebuah masyarakat tanpa
kelas ekonomi.
j. Menurut teori evolusi Charles Darwin, kemajuan tidak lagi diartikan
sebagai bergerak maju menuju sesuatu yang lebih baik melainkan hasil
perkembangan yang lebih baik melalui mutasi dan seleksi alam.
k. Abad 20 menghasilkan dua sikap terhadap kemajuan: dukungan dan
empati terhadap kemajuan khususnya dalam hal perkembangan teknologi
dan kedua sebaliknya mengkritisi kemajuan.
l. Saat ini, dalam batas-batas tertentu, terjadi sikap progresif melawan
kemajuan.

B. PERUBAHAN DALAM SKALA MAKRO: PERUBAHAN


MASYARAKAT

Untuk mengenali dan memahami perubahan, tidak jarang kita harus


belajar dari sejarah masa lalu yakni bagaimana berlangsungnya proses
perubahan baik perubahan pada skala mikro (perubahan organisasi) maupun
perubahan pada skala makro (perubahan masyarakat). Kedua jenis perubahan
ini diyakini mempunyai keterkaitan yang tidak bisa dipisahkan. Perubahan
yang terjadi pada skala makro pasti akan berimbas pada perubahan pada
skala mikro mengingat organisasi merupakan bagian integral dari
masyarakat. Demikian sebaliknya, perubahan yang terjadi pada skala mikro,
misalnya perubahan pada organisasi politik seperti yang telah terjadi di
Indonesia pada akhirnya berpengaruh terhadap tata kehidupan masyarakat
1.12 Manajemen Perubahan 

Indonesia. Oleh karena itu membahas keduanya akan sangat membantu kita
memahami konteks perubahan secara umum. Untuk itu dan untuk
mempermudah pemahaman kita, bahasan tentang perubahan pada skala
makro akan didahulukan dan diikuti oleh bahasan tentang perubahan
organisasi yang akan disajikan pada sub-bab berikutnya.
Tentang perubahan masyarakat, Alvin Toffler – seorang sosiolog dan
futurologist, melalui trilogi bukunya: Future Shock (1970), The Third Wave
(1980) dan Power Shift (1991) menguraikan terjadinya pergeseran-
pergeseran tata kehidupan manusia yang bersifat struktural dan sering kali
menyebabkan kejutan kultural (cultural shock) bagi siapa saja yang tidak siap
menghadapinya. Dalam salah satu bukunya “The Third Wave – Gelombang
Ketiga” Toffler membagi tahap perkembangan manusia ke dalam tiga
gelombang perubahan yaitu gelombang pertama era pertanian (agrarian era),
gelombang kedua era industri (industrial era) dan gelombang ketiga era pasca
industri atau sering dikenal pula sebagai era informasi (post industrial, atau
information era). Pergeseran dari gelombang satu ke gelombang yang lain
selalu ditandai oleh perubahan atau tepatnya lompatan besar yang
menyebabkan karakteristik pada satu era berbeda dengan karakteristik era
lainnya.
Perubahan-perubahan seperti yang dikatakan Toffler, bermula dari
inovasi-inovasi yang dilakukan oleh sebagian kecil kelompok masyarakat
(Lenski & Lenski, 1987). Sudah hampir pasti inovasi ini kemudian ditiru,
merembet dan dikembangkan kelompok-kelompok masyarakat lain dan
hasilnya adalah inovasi-inovasi baru yang lebih baik. Inovasi yang terus
bergulir ini pada akhirnya, secara gradual, menyebabkan kemajuan pada
sekelompok masyarakat tertentu. Jika di satu sisi ada kelompok masyarakat
lebih maju pasti di sisi lain ada kelompok masyarakat yang tertinggal yaitu
kelompok masyarakat yang tidak inovatif. Secara makro perbedaan dua
kelompok masyarakat ini berakibat pada keberagaman antar kelompok
masyarakat. Bagi kelompok yang lebih maju, inovasi selain mengakibatkan
perubahan dan kemajuan, secara alami juga berakibat pada peningkatan dan
variasi kebutuhan masyarakat. Oleh karena itu sangat wajar jika kelompok
masyarakat ini terus berusaha untuk memperkuat eksistensinya dan tidak
jarang pula berupaya untuk mendominasi kelompok masyarakat lain
Sementara itu masyarakat yang kurang berkembang tentu tidak tinggal
diam. Mereka juga berusaha untuk mensejajarkan diri dengan kelompok
masyarakat maju agar tetap eksis. Berbagai cara bisa mereka lakukan
 EKMA4565/MODUL 1 1.13

termasuk berusaha melakukan inovasi. Namun tidak jarang pula perbedaan


kualitas kedua kelompok masyarakat tersebut berakibat pada tingkat
persaingan yang semakin tinggi, bahkan kadang-kadang menjurus pada
persaingan tidak sehat. Tingkat persaingan yang paling sederhana, masing-
masing kelompok masyarakat berusaha untuk memperbesar populasi anggota
kelompok agar kelompoknya menjadi semakin kuat. Namun dalam
persaingan yang sangat kompleks, perang dalam berbagai bentuk – fisik,
dagang, budaya, dan informasi sering kali tidak bisa dihindarkan. Dalam
perang ini masing-masing pihak berusaha untuk memperebutkan pengaruh,
wilayah teritori dan sumber daya-sumber daya baru agar mereka tetap eksis
dan sekaligus memperkuat posisi masing-masing.
Kombinasi kedua faktor yang disebutkan di atas – inovasi yang berujung
pada kompetisi/ perang menjadi sebab terjadinya seleksi alam – ada sebagian
kelompok masyarakat yang tidak mampu mempertahankan eksistesinya dan
ada kelompok masyarakat yang terus eksis. Hal ini bisa diartikan bahwa tidak
semua kelompok masyarakat secara alami bisa bertahan hidup dan
mempertahankan eksistensinya karena kalah bersaing dengan kelompok
masyarakat lain. Lenski & Lenski (1987) mengatakan bahwa mereka yang
bisa mempertahankan eksistensinya adalah kelompok masyarakat yang
memiliki bekal informasi teknologi yang lebih banyak sehingga bisa
melakukan perubahan dan inovasi yang diperlukan untuk bertahan hidup dan
melangsungkan kehidupannya. Mereka pula yang pada akhirnya bisa
mempengaruhi masyarakat lain yang lebih luas. Banyak contoh yang bisa
diambil dari kejadian masa lalu seperti Suku Indian Amerika yang
populasinya semakin kecil karena didominasi kulit putih. Meski pada
awalnya masyarakat kulit putih (Amerika) relatif sedikit dalam hal populasi
tetapi karena inovatif merekalah yang dewasa ini menguasai Amerika dan
bahkan dunia.
Amerika bisa dikatakan menjadi “trend setter” sistem masyarakat dunia.
Proses terbentuknya trend ini, seperti tampak pada Gambar 1.2, dimulai dari
inovasi sekelompok kecil masyarakat yang dibarengi dengan
persaingan/perang antar kelompok dan berlanjut dengan seleksi alam.
Gambar 1.2 juga memberi gambaran tentang beberapa karakteristik sistem
masyarakat dunia. Di antaranya adalah: populasi yang terus meningkat;
berekspansi ke lingkungan baru; penemuan dan penggunaan sistem simbol
baru; kepemilikan bekal teknologi informasi; bekal informasi budaya
masyarakat lain; menghasilkan produk-produk budaya baru; organisasi
1.14 Manajemen Perubahan 

kemasyarakatan semakin kompleks; ketidaksetaraan di dalam maupun antar


kelompok masyarakat semakin meningkat; dan terjadi akselerasi perubahan
masyarakat dan budaya.
Sebuah contoh kecil tentang cara makan. Bisa dikatakan setiap
kelompok masyarakat memiliki kebiasaan tersendiri dalam hal cara makan.
Masyarakat Indonesia secara tradisional menggunakan tangan secara
langsung ketika makan. Kalaulah sekarang ini banyak ditemui orang yang
makan dengan menggunakan sendok dan garpu tidak lain karena mengikuti
trend dunia utamanya karena pengaruh masyarakat Barat. Namun ketika
Jepang secara ekonomi mulai sejajar dengan Bangsa Barat dan banyak
mempengaruhi kehidupan masyarakat dunia termasuk masyarakat Barat
sendiri, trend dunia dalam hal cara makan juga ikut bergeser. Dewasa ini
misalnya menjadi hal yang lumrah bila seseorang, dimanapun mereka,
menggunakan sumpit ketika makan khususnya ketika yang dimakan adalah
makanan berbasis mie yang notabenenya merupakan makanan pokok
masyarakat Jepang. Seseorang dianggap tidak mengikuti trend dunia jika
makan mie katakanlah dengan menggunakan sendok atau garpu, apalagi
seperti kebiasaan orang Indonesia dengan menggunakan tangan secara
langsung. Perubahan seperti ini sekali lagi terjadi setelah Jepang dominan
secara ekonomi.

Sumber: Lenski & Lenski, 1987, hal. 74

Gambar 1.2.
Model Evolusi Sistem Masyarakat Dunia
 EKMA4565/MODUL 1 1.15

1. Era Pertanian (Agrarian Era)


Era pertanian tentu bukan era awal dari kehidupan manusia di dunia.
Sebelum era pertanian sudah dikenal adanya era holtikultura dan bahkan jauh
sebelum itu sudah ada era berburu (hunting and gathering era). Mengikuti
penjelasan Alvin Toffler, pada modul ini uraian tentang perubahan peradaban
manusia hanya dibatasi mulai dari era pertanian. Berbagai literatur
mengatakan bahwa era pertanian dimulai sejak sekitar tahun 8000 SM dan
berakhir sekitar tahun 1650 – 1750 M. Pergeseran dari era hortikultura ke era
pertanian (lihat Gambar 1.3) misalnya, ditandai oleh meningkatnya produksi
pertanian karena penggunaan teknologi yang belum pernah digunakan
sebelumnya. Teknologi tersebut adalah alat pertanian yang disebut “bajak”.
Pergeseran menggunakan teknologi dari cangkul dan batang kayu ke bajak
sebagai alat bercocok tanam menyebabkan kenaikan tingkat produktivitas
dan berakibat pada surplus di bidang perekonomian. Selanjutnya, pergeseran
dan kemajuan di bidang ekonomi ini secara berturut-turut menyebabkan
perubahan-perubahan lain dalam tatanan hidup bermasyarakat baik dalam
kehidupan sosial, budaya, keagamaan dan kekuasaan. Misalnya,
meningkatnya surplus bidang perekonomian berdampak pada semakin
meningkatnya kekuasaan kelas penguasa yang secara langsung berdampak
pada meningkatnya ketidaksetaraan dalam masyarakat, dan mulai muncul
sistem pembagian kerja: ada kelas pedagang, pasukan perang, kelas
agamawan. Dari sini kemudian muncul ideologi baru, mulai digunakannya
uang sebagai alat tukar dan penggunaan tulis menulis sebagai media
komunikasi. Perubahan-perubahan inilah yang mendorong terciptanya
inovasi-inovasi teknologi baru yang menjadi awal dari pergeseran ke era
berikutnya.
1.16 Manajemen Perubahan 

Perang untuk
menaklukan
semakin meningkat

Bergeser menjadi
pasukan perang Ketidaksetaraan Tingkat inovasi
profesional meningkat melambat
Surplus
ekonomi
bertumbuh

Negara dan
Pergeseran dari kekuasaan Ideologi baru
Produktivitas
hortikultura ke kelas penguasa
meningkat Pembagian kerja
agraria bertumbuh
meningkat

Populasi dan
tenaga
Kerja Perdagangan
Meningkat dan Penemuan tulis
bertumbuh, menulis dan uang
Populasi urban Munculnya kelas
tanah semakin
bertumbuh pedagang
menyempit

Muncul agama
yang universal

Sumber: Lenski & Lenski, 1987, hal. 207

Gambar 1.3.
Proses Pergeseran dari Era Hortilutura ke Era Pertanian

Secara umum era pertanian memiliki beberapa karakteristik sebagai


berikut:
a. Tanah adalah basis bagi kegiatan ekonomi, kehidupan, budaya, struktur
keluarga dan politik. Desa menjadi pusat kehidupan dan kegiatan
ekonomi. Sementara itu pembagian kerja didasarkan pada kasta dan
kelas sosial, dan kekuasaan cenderung dijalankan secara otoriter. Karena
masih adanya kelas sosial, dari mana seseorang lahir akan menentukan
kehidupannya di masa datang. Mereka yang lahir dari kasta ningrat akan
terus menjadi golongan elit dan sebaliknya yang lahir dari rakyat biasa
akan tetap menjadi rakyat biasa.
b. Konflik antar petani biasanya terjadi seputar kepemilikan dan
penggunaan tanah garapan termasuk di dalamnya dalam hal distribusi
air.
c. Pada era pertanian, sumber energi pada umumnya berasal dari makhluk
hidup – manusia itu sendiri atau hewan bertenaga seperti kerbau dan
sapi, atau dari tenaga matahari, angin dan air. Sementara hasil hutan
 EKMA4565/MODUL 1 1.17

hanya diperuntukkan untuk kegiatan memasak dan menghangatkan


tubuh.
d. Penemuan-penemuan baru lebih banyak terkait dengan hal-hal yang bisa
mengurangi penggunaan otot manusia atau penggunaan hewan seperti
misalnya: derek dan baji, katapel, alat penghancur buah anggur, tuas, dan
kerekan
e. Dalam hal kegiatan perdagangan, walaupun diyakini bahwa pada era
pertanian sudah terjadi kegiatan pasar namun skop kegiatannya masih
terbatas karena pada era ini hasil-hasil produksi lebih diorientasikan
untuk konsumsi sendiri dan keluarganya. Transaksi jual beli hanya
dilakukan jika adalah kelebihan cadangan
f. Sistem komunikasi pada era ini cenderung komunikasi langsung – face-
to-face atau person-to-person. Model komunikasi tidak langsung misal
yang dilakukan oleh bangsa Persia kuno adalah dengan membuat tower
yang tinggi untuk menyampaikan pesan dari penguasa kepada rakyatnya.
g. Menjelang akhir era pertanian beberapa inovasi yang mengarah pada
pergeseran ke era industrialisasi adalah (1) penggunaan jam. Biasanya
setiap kota memasang jam di tempat yang mudah dilihat orang banyak
sebagai alat untuk mengkoordinasi kegiatan; (2) alat cetak mencetak
yang bisa digunakan untuk menggandakan barang-barang cetakan dalam
jumlah banyak; dan (3) kebutuhan akan alat-alat pertanian mendorong
inovasi di bidang peralatan berbasis besi baja.

2. Era Industri (Industrial Era)


Uraian tentang munculnya era industrialisasi dapat dilihat pada
Gambar 1.4. Secara umum Gambar 1.4 menjelaskan bahwa era industrialisasi
bermula dari akumulasi informasi, khususnya yang berkaitan dengan
teknologi, yang diperoleh sejak akhir era pertanian seperti sistem navigasi,
cara pembuatan kapal yang lebih besar dan penemuan alat cetak mencetak.
Informasi-informasi tersebut menjadi bekal bagi masyarakat Eropa untuk
melakukan inisiatif dan inovasi lebih jauh. Berbekal kapal yang lebih besar
dan dilengkapi sistem navigasi yang lebih canggih, beberapa pelaut Eropa
berani berlayar lebih jauh dari tanah asal. Mereka melakukannya bukan
sakedar menaklukkan lautan luas yang belum pernah dilayari tetapi untuk
menemukan dunia baru. Dari situlah mereka menemukan sumber daya baru
dan mengangkutnya ke negara asal. Dengan armada yang lebih besar pada
pelayaran berikutnya, mereka mulai menguasai sumber daya tersebut untuk
1.18 Manajemen Perubahan 

selanjutnya menjadi barang komoditi yang diperdagangkan. Konsekuensi


logisnya adalah mulai muncul jiwa entrepreneurship dan ekonomi uang, dan
sekaligus menurunnya aktivitas pertanian. Bersamaan dengan itu reformasi di
bidang keagamaan – terutama agama Kristen Protestan berdampak pada
berbagai revolusi lanjutan: ekonomi, sosial dan ideologi. Akibatnya revolusi
di bidang pertanian secara bertahap beralih ke industrialisasi.

Penemuan dan Munculnya Revolusi bidang


penaklukan ekonomi uang pertanian
dunia baru
Emas dan perak
diangkut ke
Akumulasi
Eropa
informasi tentang Perubahan
Meningkatnya
teknologi yang perdagangan organisasi –
diperoleh pada Munculnya negara- Munculnya
akhir era pertanian negara Garis Depan entreprenur
termasuk kemajuan
dalam sistem Revolusi industri:
navigasi, cara meningkatnya
pembuatan kapal, inovasi teknologi
Perubahan ideologi: sikap
dan penemuan
positif terhadap aktivitas,
alat cetak Reformasi
perencanaan, dan inovasi
agama - Protestan enterprenur

Sumber: Lenski & Lenski, 1987, hal. 232

Gambar 1.4.
Proses Pergeseran dari Era Pertanian ke Era Industri

Beberapa buku dan artikel menyebutkan bahwa revolusi industri seperti


disebutkan di atas dimulai di Inggris pada tahun 1760 sampai dengan tahun
1830. Periode ini sering disebut sebagai Revolusi Industri di Inggris.
Penyebutan ini didasarkan pada argumentasi bahwa pada periode ini mulai
terjadi inovasi-inovasi besar yang membawa Inggris memasuki peradaban
baru yakni era industri. Jika tanah garapan menjadi basis era pertanian, era
industri ditandai oleh kegiatan yang bersifat masif seperti produksi secara
masal. Sementara itu Lenski & Lenski (1987) membagi revolusi industri
menjadi empat fase. Fase pertama dimulai pada pertengahan abad 18 dan
berakhir sekitar 100 tahun kemudian. Fase kedua dari pertengahan abad 19
sampai awal abad 20. Fase ketiga dari awal abad 20 sampai berakhirnya
perang dunia kedua. Era industrialisasi itu sendiri diyakini baru berakhir
sekitar tahun 1980-an.
 EKMA4565/MODUL 1 1.19

Seperti halnya revolusi yang terjadi pada era sebelumnya, penemuan


teknologi baru tampaknya menjadi unsur utama pada revolusi industri. Pada
fase pertama revolusi industri, inovasi dimulai dari industri tekstil dengan
penggunaan mesin tekstil yang bisa meningkatkan efisiensi sumber daya
manusia dan memanfaatkan sumber energi baru. Dampak dari temuan dan
inovasi ini adalah semakin berkembangnya industri tekstil. Misalnya antara
tahun 1770 – 1845 kontribusi industri tekstil terhadap pendapatan nasional
Inggris meningkat lebih dari lima kali lipat. Dengan teknologi baru ini pula,
produksi tekstil yang semula di lakukan di rumah-rumah para pekerja
sekarang terkonsentrasi pada pabrik-pabrik yang sengaja dibangun untuk
kegiatan produksi.
Industri tekstil tentunya bukan satu-satunya inovasi yang terjadi pada
fase pertama era industri. Pada fase ini kemajuan-kemajuan penting lainnya
adalah peningkatan industri besi baja dan tambang batu bara. Meski tidak
setinggi industri besi baja, pada tahun 1760 Inggris memproduksi batu bara
sebanyak 5 juta ton dan meningkat 9 kali lipat pada tahun 1845. Temuan
yang paling fenomenal seperti banyak disebut berbagai buku adalah
diciptakannya mesin uap oleh James Watt pada tahun 1765. Menurut
beberapa sumber (lihat misalnya: Wren, 1994, hal. 37), James Watt
sesungguhnya bukan orang pertama yang menciptakan mesin uap karena
mesin tersebut sudah diciptakan sejak tahun 200 masehi, namun apa yang
dilakukan James Watt betul-betul bisa dimanfaatkan untuk kegiatan produksi
dan mengubah pola produksi di Inggris pada saat itu. Istilah “tenaga kuda”
yang kita kenal sekarang ini bermula dari mesin uap ciptaan James Watt yang
bisa menggantikan beberapa kuda sebagai alat produksi. Pada fase ini juga
diciptakan mesin yang spare part-nya bisa diganti-ganti manakala sebagian
spare part tersebut rusak.
Fase kedua era industrialisasi dimulai pada pertengahan abad 19. Pada
fase ini ekspansi besar-besaran terjadi pada industri tekstil, besi baja dan batu
bara sehingga revolusi industri mulai menyebar sampai ke daratan Eropa
lainnya dan bahkan ke Amerika Serikat. Perkembangan yang cukup penting
pada fase ini adalah pemanfaatan mesin uap untuk kegiatan transportasi
sehingga pada tahun 1850-an wilayah Inggris bisa dihubungkan dengan
kereta uap. Dampaknya, biaya angkut barang lebih murah, komoditas bisa
diangkut dalam jumlah lebih banyak, semakin tinggi permintaan dan lebih
penting lagi bisa memupus monopoli atau oligopoli yang sebelumnya
1.20 Manajemen Perubahan 

dilakukan pengusaha lokal, atau dengan kata lain persaingan menjadi


semakin meningkat dan harga barang dagangan semakin murah.
Hal lain yang tidak kalah penting pada fase kedua era industrialisasi
adalah tingkat kebergantungan yang tinggi terhadap bidang ilmu pengetahuan
dan teknologi. Jika sebelumnya temuan-temuan baru cenderung dilakukan
secara alami oleh individu per individu, pada fase ini temuan lebih banyak
dilakukan oleh orang-orang yang memiliki keahlian dan pendidikan formal di
bidang ilmu pengetahuan atau teknologi tertentu. Hal ini sangat tampak pada
industri kimia walaupun tidak menutup kemungkinan terjadi pada industri-
industri lainnya. Oleh karenanya sangat wajar jika proses inovasi kemudian
secara formal dan institusional dilakukan dalam laboratorium-laboratorium
yang sengaja didirikan untuk melatih individu-individu agar bisa saling
bekerja sama dalam menyelesaikan persoalan-persoalan teknis. Sebagai
contoh, laboratorium yang didirikan Thomas Edison menjadi trend yang
diadopsi orang lain dan negara lain seperti Jerman dan Amerika Serikat. Dari
sinilah peranan universitas menjadi sangat penting untuk mendidik para
insinyur teknik dan orang-orang untuk bisa bekerja sama.
Fase ketiga era industrialisasi dimulai pada awal abad 20 dan berakhir
pada perang dunia kedua. Fase ini ditandai oleh kemajuan di bidang
teknologi energi. Pada awal abad 20 mulai ditemukan mesin yang bisa
menciptakan energi pembakaran dari dalam (internal combustion engine) dan
mesin-mesin yang bisa mentransmisi listrik yang bisa diproduksi dalam
jumlah besar dan dengan harga yang murah sehingga secara komersial
menguntungkan. Bersamaan dengan inovasi tersebut, berturut-turut industri
otomobil meningkat. Demikian juga terjadi peningkatan pada industri listrik
yang sangat dibutuhkan oleh kegiatan industri lain dan kebutuhan rumah
tangga. Selanjutnya peningkatan juga pada industri telepon.
Fase keempat atau fase terakhir dari era industri terjadi pada seputar
perang dunia kedua (PD II). Bisa dikatakan bahwa PD II adalah satu-satunya
perang yang sangat bergantung pada kegiatan industri, dalam hal ini industri
penerbangan. Dalam waktu yang relatif singkat dari tahun 1938-1944 industri
penerbangan Amerika Serikat meningkat dari 3600 unit menjadi 96000 unit
pesawat. Konsekuensi logis dari kenaikan industri penerbangan adalah
meningkatnya industri alumunium sebagai bahan dasar pesawat terbang.
Selain itu, inovasi-inovasi yang sangat menonjol pada fase keempat ini
adalah industri plastik, tenaga nuklir, elektronik dan yang paling dramatik
pada fase ini adalah revolusi di bidang komputer. Komputer digital yang
 EKMA4565/MODUL 1 1.21

pertama kali dikembangkan pada tahun 1946 beratnya mencapai 30 ton dan
besarnya satu ruangan penuh dengan kebutuhan tenaga listrik mencapai
140.000 watt namun hanya memiliki daya memori sebesar 20 ten-digit
numbers. Sekarang fiturnya sangat bertolak belakang seperti langit dan bumi.
Komputer begitu simpel dengan chip kecil yang berdaya memori beribu kali
lipat dari komputer awal. Dampak dari temuan komputer ini mengakibatkan
perubahan luar biasa dalam segala aspek kehidupan manusia sehingga tidak
berlebihan jika dikatakan bahwa komputer merupakan pijakan dan menjadi
quantum leap memasuki era berikutnya.

3. Era Informasi (Information Era)


Gelombang ketiga dari peradaban manusia sering disebut sebagai era
informasi. Banyak pihak mengatakan bahwa era ini mulai terjadi pada tahun
1980an meski embrionya sudah mulai tampak sejak berakhirnya PD (Perang
Dunia) II. Seperti halnya pada era-era sebelumnya, kembali pergeseran
peradaban ini dipicu oleh temuan-temuan baru di bidang teknologi. Kali ini
teknologi yang menjadi pemicunya adalah komputer yang kemudian
berkembang menjadi teknologi informasi dan komunikasi (Information and
Communication Technology – ICT) berbasis serat optik. ICT yang menjadi
kekuatan dasar pada era informasi merupakan teknologi yang memungkinkan
manusia menyimpan ilmu pengetahuan yang didapat pada waktu-waktu
sebelumnya ke dalam CD-ROMs sehingga ilmu pengetahuan tersebut tidak
segera hilang manakala pemilik sudah tidak lagi bisa bertahan hidup. Bagi
orang lain yang memanfaatkan pengetahuan tersebut memperlakukan
pengetahuan sebagai informasi dan menjadi rujukan untuk menciptakan
pengetahuan baru, demikian seterusnya. ICT dengan demikian merupakan
perangkat penting terciptanya informasi, menjadi media komunikasi dan
produksi pengetahuan. Itulah sebabnya era ini sering juga disebut sebagai era
ilmu pengetahuan (knowledge era). Penyebutan ini didasarkan pada anggapan
bahwa kekuatan pada era ini bukan pada kekuatan otot seperti pada era
sebelumnya melainkan pada kekuatan pikiran seseorang yang menuntut
adanya kebebasan seseorang untuk mengekspresikan kemampuan berpikir
dan ke-diri-annya.
Secara sederhana bisa dikatakan bahwa tata kehidupan manusia pada era
informasi pada akhirnya bertumpu pada tiga produk ICT yaitu: informasi,
ilmu pengetahuan dan komunikasi. Dengan ICT orang bisa memilih
informasi sesuai dengan kebutuhan untuk menghindari informasi berlebihan
1.22 Manajemen Perubahan 

(overloaded information). Demikian juga dengan ICT orang bisa mengakses


ilmu pengetahuan yang dibutuhkan dan dengan ICT pula komunikasi bisa
lebih murah tanpa gangguan yang tidak perlu.
Secara umum beberapa karakteristik penting dari era informasi adalah
sebagai berikut:
a. Teknologi-teknologi baru. Teknologi baru pada era informasi
menciptakan industri baru yang bersifat dinamis yang berbasis pada
quantum electronics, teori informasi, biologi molekuler, ekologi
kelautan, dan pengetahuan ruang angkasa. Sementara itu tingkat
produktivitas industri bisa ditingkatkan melalui komputer, data
processing, aerospace, petrokimia, semiconductors, komunikasi canggih,
fisika, rekayasa sistem, artificial intelligence, fuzzy logic kimia polimer,
dan diversifikasi sumber daya energi terbarukan.
b. Industri ruang angkasa. Meski baru beberapa negara yang bisa
melakukannya, pada era ini industri ruang angkasa diperkirakan akan
menjadi embrio bagi revolusi pada tahap berikutnya.
c. Industri kelautan. Wilayah lautan yang begitu luas melebihi luas daratan
namun belum tergarap dengan baik bisa menjadi sumber kemanusiaan di
masa yang akan datang. Laut menyediakan sumber protein yang cukup
banyak sehingga bisa dimanfaatkan untuk mengurangi masalah
kelaparan.
d. Industri genetik. Ilmu pengetahuan di bidang biologi molekuler bisa
dimanfaatkan untuk meningkatkan produksi pangan. Bukan hanya itu,
ilmu pengetahuan ini juga bisa digunakan untuk meningkatkan bidang
kesehatan
e. De-masifikasi media. Ketika informasi semakin membludak tidak
terkendali, orang pada akhirnya hanya memilih informasi sesuai dengan
kebutuhan. Kalaulah kita masih berlangganan surat kabar, tidak lagi bisa
dan mau membaca seluruh isi surat kabar tersebut. Hanya berita-berita
tertentu yang dibaca. Itulah sebabnya sekarang ini sudah banyak surat
kabar yang menawarkan surat kabar on-line dengan tujuan agar para
pembaca bisa memilih berita sesuai selera dan kebutuhan. Dengan kata
lain, media tidak lagi masif melainkan terspesialisasi.
f. Sistem memori masyarakat yang baru. Pada era agrikultur, komunitas
menyimpan ingatan bersama hanya pada seseorang yang dianggap bijak
atau pada orang yang lebih tua. Pada era industri, ingatan bersama justru
disebarluaskan secara masal. Sekarang pada era informasi, ingatan-
 EKMA4565/MODUL 1 1.23

ingatan tersebut disimpan secara sistematis pada soft file - soft file yang
sewaktu-waktu bisa diakses kembali melalui bantuan personal komputer
yang bisa dibawa ke mana-mana.
g. Sistem keluarga. Bisa dikatakan sistem “keluarga inti” yang berkembang
pada era industri sudah semakin pudar pada era informasi. Keluarga
menjadi beragam terpencar ke mana-mana. Pada era informasi orang
mengatakan bahwa ketemu fisik antar anggota keluarga sudah kurang
berarti jika tidak dibarengi dengan kualitas pertemuan. Dengan kata lain,
anggota keluarga boleh terpencar dan tidak perlu sering-sering ketemu
fisik asal kualitas pertemuan secara maya semakin meningkat.
h. Standarisasi yang berkembang pada era industri dianggap tidak cocok
pada era informasi. One-size-fits-all sudah tergantikan dengan yang
serba cocok pada keadaan.

Tabel 1.1
Perbedaan Karakteristik pada Masing-masing Era

Era Agrikultur Industri Informasi


Komoditas kunci Tanah Modal Data
Sumber energi Manusia dan Fossil Bioteknologi
hewan
Teknologi Widgets Elekro mekanikal Digital/Genetik
Produksi Kerajinan/ untuk Massa/ pertukaran Prosumptive
digunakan sendiri
Distribusi Terbatas Massa Spesialisasi
Pemasaran Barter Poduct centric Consumer centric
Informasi Interpersonal Massa Interaktif
Hubungan Spiritual Kontraktual Mutual
kemasyarakatan
Bisnis Individual/ Korporasi/birokrasi Konglomerat/Ad hoc
partnership
Keluarga Perpanjangan Keluarga inti Keluarga diperluas
keluarga
Pendidikan Elitist Masa/standarisasi Spesialisasi/life-long
Otoritas Melekat Dipilih Setengah langsung
kekuasaan

Sumber: Baloch & Kareem, 2007, p.141

Setelah menelaah perjalanan peradaban manusia mulai dari era


pertanian, era industri dan era informasi, dan memahami lompatan-lompatan
perubahan yang terjadi pada satu era dengan era berikutnya, Tabel 1.1 seperti
1.24 Manajemen Perubahan 

dikemukakan Baloch & Kareem (2007) merangkum karakteristik kunci


masing-masing era.

C. PERUBAHAN DALAM SKALA MIKRO: PERUBAHAN


ORGANISASI

Pertanyaan yang terkait dengan perubahan-perubahan yang terjadi pada


skala makro adalah siapa sesungguhnya pelaku perubahan tersebut.
Jawabannya sudah tentu anggota masyarakat. Yang barangkali harus
dicermati adalah siapa yang dimaksud dengan anggota masyarakat?
Pertanyaan ini muncul karena anggota masyarakat pada dasarnya bisa
dibedakan menjadi dua yaitu: anggota masyarakat sebagai individu dan
anggota masyarakat sebagai bagian dari kelompok atau organisasi. Berkaitan
dengan hal ini bisa dikatakan bahwa pada mulanya perubahan masyarakat
khususnya yang terjadi pada era pertanian banyak dilakukan oleh individu-
individu yang bertindak atas nama sendiri dan memiliki kemampuan
berinovasi. Atau dengan kata lain pada era pertanian individu memainkan
peran penting karena mereka merupakan pelaku utama dalam perubahan
masyarakat. Situasi semacam ini didukung oleh pola hubungan
kemasyarakatan lebih bersifat spiritual di mana individu berinteraksi secara
langsung dengan masyarakat. Pola hubungan seperti ini memberi kesempatan
individu berkontribusi langsung terhadap perubahan masyarakat.
Peran individu mulai bergeser pada era industri. Pada era ini perubahan
masyarakat masih dilakukan oleh individu, Meski demikian peran individu
dalam perubahan masyarakat sedikit berbeda dibandingkan peran mereka
pada era sebelumnya. Hubungan ke masyarakat yang bersifat kontraktual
seperti digambarkan pada Tabel 1.1 membawa implikasi antara lain individu
cenderung berafiliasi secara langsung dengan kelompok-kelompok kecil yang
memberi manfaat langsung kepada masing-masing individu. Kelompok-
kelompok kecil ini yang secara sengaja didirikan untuk kepentingan tersebut
belakangan disebut organisasi. Di dalam organisasi individu berinteraksi
dengan individu lainnya dan mereka menjadikan organisasi sebagai bagian
dari kehidupan sehari-hari dan tempat mereka menyalurkan kreativitas dan
inovasinya. Dengan berdirinya pabrik-pabrik sebagai ajang bagi seseorang
melakukan kegiatan sehari-hari merupakan contoh bahwa individu
merupakan bagian dari sebuah kelompok/organisasi. Oleh karenanya wajar
jika dikatakan bahwa organisasi merupakan entitas yang menjembatani
 EKMA4565/MODUL 1 1.25

hubungan timbal balik antara individu dengan masyarakat (lihat Gambar 1.5)
dan sekaligus menjadi pelaku perubahan. Penjelasan ini sekaligus
menegaskan bahwa pada era industri perubahan-perubahan masyarakat,
pemicunya adalah inovasi-inovasi individu dalam sebuah organisasi. Dengan
kata lain organisasi memiliki peran penting dalam perubahan masyarakat.
Pola perubahan seperti ini berlanjut pada era sesudahnya – era informasi.

Masyarakat

Organisasi

Individu

Gambar 1.5.
Hubungan resiprokal antara Masyarakat, Organisasi dan Individu

Uraian di atas menegaskan bahwa organisasi memiliki peran penting


dalam perubahan masyarakat. Dalam hal ini yang dimaksudkan dengan
organisasi tentunya tidak terbatas pada organisasi ekonomi yang biasa
disebut perusahaan tetapi juga organisasi lain seperti organisasi keagamaan,
pendidikan, kesehatan, politik dan berbagai organisasi pada sektor lain.
Dengan cara pandang seperti ini secara tidak langsung bisa dikatakan bahwa
perubahan masyarakat merupakan hubungan saling peran (interplay) antar
organisasi dengan masyarakat. Atau dengan kata lain, karena organisasi dan
masyarakat terjadi hubungan resiprokal maka perubahan yang terjadi di
dalam masyarakat pada akhirnya juga menuntut organisasi untuk melakukan
perubahan. Demikian sebaliknya. Oleh karena itu tidak berlebihan jika
dikatakan bahwa perubahan organisasi merupakan sebuah keniscayaan.
Untuk memahami mengapa dan bagaimana organisasi berubah, kita
perlu terlebih dahulu memahami apa itu organisasi. Sayangnya sejauh ini
tidak ada konsensus di antara para teoritis mengenai apa itu organisasi.
1.26 Manajemen Perubahan 

Organisasi yang berasal dari kata “organon“ dan berarti alat bantu (Morgan,
1996) cenderung didefinisikan secara beragam mulai dari definisi yang
paling sederhana sampai pada definisi yang komprehensif. Buku-buku
organisasi yang bersifat elementer atau populer biasanya mendefinisikan
organisasi dengan definisi sederhana. Definisi ini mengatakan bahwa
organisasi adalah sekelompok orang (group of people) yang bekerja sama
dalam rangka mencapai tujuan bersama (common goals) (Schermerhorn, Jr.
2010). Tiga kata kunci dari definisi ini adalah “sekelompok orang”, “bekerja
sama” dan “tujuan bersama”. Tiga kata kunci ini menegaskan bahwa ketika
dua orang atau lebih melakukan kerja sama dengan tujuan agar tujuan mereka
bisa tercapai maka kerja sama tersebut bisa disebut sebagai organisasi.
Mungkin karena definisi ini cukup sederhana dan mudah dipahami, definisi
ini cukup populer di kalangan pembelajar pemula organisasi, yang barangkali
harus disadari adalah masih ada beberapa unsur penting yang seharusnya
menjadi bagian dari esensi dasar organisasi tetapi belum terungkap dalam
definisi di atas. Misalnya apakah kerja sama tersebut bersifat temporer atau
permanen tidak menjadi perhatian definisi di atas. Definisi yang lebih
komprehensif misalnya diberikan oleh Richard Hall (lihat Jaffe, 2001, hal. 5)
sebagai berikut:

Organization is a collectivity with a identifiable boundary, a normative


order (rules), ranks of authority (hierarchy), communication sistem, and
membership coordinating sistem (procedures); this collectivity exists,
on a relatively continuous basis in an environment, and engage in
activities that are usually related to a set of goals; the activities have
outcomes for organizational members, the organization itself and for
the society

Organisasi adalah sebuah kolektivitas yang berada pada batasan-batasan


tertentu (boundary) yang bisa diidentifikasi, sebuah keteraturan
normatif (aturan), otoritas berjenjang (hirarkhi), sistem komunikasi,
dan sistem koordinasi keanggotaan organisasi (prosedur); semuanya ini
terjadi secara berkelanjutan dan aktivitas tersebut dilakukan dalam
kaitannya dengan satu set tujuan yang ingin dicapai; aktivitas-aktivitas
ini juga memberi manfaat bagi anggota-anggota organisasi, bagi
organisasi itu sendiri dan bagi masyarakat luas.

Definisi yang relatif sangat panjang tersebut tentu agak sulit dipahami
kalau tidak dielaborasi lebih lanjut. Eleborasi berikut diharapkan bisa
memberi gambaran tentang organisasi sebagaimana dimaksudkan oleh
 EKMA4565/MODUL 1 1.27

Richard Hall. Pertama, kata kolektivitas menunjukkan adanya sekumpulan


orang yang memiliki ikatan kepentingan. Artinya sejumlah orang bukan
hanya berkumpul tetapi mereka berkumpul untuk mencapai sesuatu atau
sederhananya untuk mencapai tujuan. Boleh jadi tujuan mereka sama tetapi
lebih banyak bedanya. Dalam konteks organisasi persoalannya adalah tujuan
mana yang harus didahulukan apakah tujuan masing-masing individu atau
tujuan organisasi yang lebih luas. Kedua, setiap organisasi baik organisasi
formal maupun informal pasti memiliki norma sebagai aturan dasar untuk
menjalankan kegiatan organisasi. Pada organisasi informal norma biasanya
tidak tertulis dan melekat pada orang-orang kunci organisasi. Sedangkan
pada organisasi formal, norma cenderung tertulis sehingga siapapun yang
terlibat di dalam organisasi harus tunduk pada norma aturan tersebut.
Ketiga, setiap organisasi pasti memiliki jenjang yang menunjukkan
adanya otoritas berbeda pada setiap jenjang berbeda. Penjenjangan seperti ini
dalam organisasi disebut sebagai hierarki organisasi. Dengan demikian
hierarki organisasi merupakan atribut organisasi yang tidak bisa dihindarkan.
Sesederhana apapun sebuah organisasi pasti memiliki hierarki. Keempat, agar
kegiatan organisasi berjalan baik dan sumber daya organisasi tidak terbuang
percuma, organisasi biasanya membuat urut-urutan kegiatan yang bersifat
baku yang disebut prosedur. Sebagian organisasi menerapkan urutan standar
yang disebut Standard Operating Procedure (SOP) dan sebagiannya
urutannya tidak standar. Terlepas dari terstandar atau tidak, fungsi dari
prosedur organisasi adalah untuk mempermudah komunikasi antar individu
dan antar bagian dalam organisasi, dan sebagai alat koordinasi bagi masing-
masing bagian.
Di samping keempat atribut organisasi seperti disebutkan di atas,
organisasi biasanya didirikan dalam waktu yang tidak terbatas. Artinya para
pendiri sangat berharap agar sekali sebuah organisasi didirikan, organisasi
tersebut tidak pernah mati. Harapan ini pada umumnya didasarkan pada
keinginan para pendiri untuk mencapai tujuan yang pencapaiannya memang
membutuhkan waktu yang sangat panjang. Meski demikian ada juga
organisasi yang sengaja didirikan untuk batas waktu tertentu, misalnya
organisasi kepanitiaan. Hal lain yang terkait dengan keberadaan organisasi
adalah keterkaitan organisasi dengan lingkungan di luar organisasi. Seperti
terlihat pada Gambar 1.5, organisasi merupakan bagian integral dari
masyarakat. Masyarakat di sini adalah semua bentuk kehidupan yang
membentuk masyarakat seperti sosial, budaya, politik, ekonomi hukum, dan
1.28 Manajemen Perubahan 

bahkan teknologi. Hubungan resiprokal antara masyarakat dengan organisasi


seperti dijelaskan sebelumnya menunjukkan bahwa organisasi tidak bisa
lepas dan merupakan bagian integral dari kehidupan masyarakat. Dengan
demikian, jika katakanlah masyarakat berubah maka organisasi pun harus
ikut berubah, atau paling tidak harus menyesuaikan diri dengan perubahan
masyarakat agar bisa terus bertahan hidup dan syukur bisa berkembang
sesuai keinginan.
Terakhir, organisasi didirikan bukan tanpa tujuan. Gareth Jones (2001,
hal. 5) misalnya mengatakan bahwa tujuan didirikannya organisasi adalah
untuk menghasilkan produk atau jasa yang memiliki nilai lebih tinggi
ketimbang jika produk dan jasa tersebut dihasilkan oleh individu per
individu. Karena produk dan jasa tersebut pada akhirnya akan digunakan oleh
masyarakat yang membutuhkannya maka bisa dikatakan bahwa pihak-pihak
yang memperoleh manfaat dari kehadiran organisasi di antaranya adalah
masyarakat secara umum. Di samping itu organisasi itu sendiri dan para
anggota organisasi yang terlibat di dalamnya juga akan mendapat manfaat
dari kehadiran organisasi. Namun karena organisasi sering disebut sebagai
artificial being – bukan makhluk hidup yang sesungguhnya maka yang
dimaksud dengan manfaat bagi organisasi itu sendiri adalah manfaat bagi
para pemilik atau orang-orang yang mengendalikan organisasi.
Berdasarkan penjelasan tentang esensi organisasi dan penjelasan
sebelumnya tentang hubungan timbal balik antara organisasi dengan
masyarakat di mana organisasi merupakan bagian integral dari masyarakat,
bisa disimpulkan bahwa organisasi seperti halnya masyarakat akan selalu
mengalami perubahan, yang dimaksud dengan perubahan organisasi adalah
proses yang menggerakkan organisasi dari kondisi saat ini menuju ke kondisi
yang diharapkan dalam rangka meningkatkan efektivitas organisasi (Jones,
2001, hal. 389). Definisi ini memberi kita pemahaman bahwa perubahan
adalah sebuah proses yang terus bergulir, belum akan berhenti sebelum
sesuatu yang diharapkan bisa tercapai. Dengan melakukan perubahan paling
tidak organisasi berharap bisa bertahan hidup di tengah-tengah persaingan
antar organisasi yang semakin tajam; syukur bisa berkembang sehingga
tujuan-tujuan yang dikehendaki bisa tercapai, bahkan pencapaiannya dalam
waktu yang tidak terlalu lama.
Proses perubahannya itu sendiri bisa membutuhkan waktu yang sangat
panjang atau sebaliknya hanya membutuhkan waktu pendek. Bisa melibatkan
sebagian besar komponen organisasi (perubahan bersifat mayor) bisa juga
 EKMA4565/MODUL 1 1.29

hanya melibatkan sebagian kecil komponen organisasi (perubahan minor).


Bisa berupa perubahan strategi tetapi kadang-kadang hanya perubahan
operasional. Tidak jarang perubahan bersifat incremental namun sering pula
tidak terhindarkan perubahan harus bersifat radikal dan transformatif.
Kadang-kadang perbahanan terus berjalan (continuous) tetapi sering juga
hanya sekedar terpenggal-penggal (punctuated) sesuai kebutuhan. Dalam
pelaksanaannya, perubahan bisa terencana bisa juga tidak. Sementara itu
dilihat dari sumber penyebabnya, perubahan bisa dipicu oleh faktor di luar
organisasi (perubahan yang terjadi masyarakat) atau sebaliknya dipicu oleh
faktor internal organisasi. Walhasil proses perubahan organisasi sangat
kompleks dan melibatkan banyak aspek yang harus diintegrasikan agar
tujuan perubahan bisa dicapai.
Kompleksitas perubahan organisasi menandakan bahwa perubahan
organisasi bukan merupakan pekerjaan mudah yang bisa ditangani cukup satu
dua orang manajer. Sebaliknya, perubahan organisasi adalah pekerjaan sulit,
melibatkan banyak pihak, bisa menimbulkan keos dan oleh karenanya harus
mempertimbangkan berbagai faktor yang mempengaruhi perubahan.
Kecermatan dalam mengidentifikasikan faktor-faktor yang terkait dengan
perubahan dan kesiapan organisasi secara keseluruhan dalam menyongsong
perubahan bersifat mutlak. Hal ini berarti keselarasan antara context, content,
process dan people (Burris, 2008) harus secara bersama-sama dipersiapkan
dan diintegrasikan agar tingkat kegagalan atau risiko perubahan bisa di
minimalisasi mengingat banyak fakta menunjukkan tingginya tingkat
kegagalan perubahan (lihat misalnya: Reger et al., 1995) yang mencapai
angka 70% (Miller, 2002). Tingkat keberhasilan atau kegagalan perubahan
sangat bergantung pada bagaimana perubahan tersebut dikelola. Dalam hal
ini (dengan demikian) peran manajemen perubahan sangat mutlak meski
masih ada sebagian pihak (Palmer & Dunford, 2002) yang menyangsikan
apakah betul perubahan bisa dikelola. Keraguan Palmer & Dunford terhadap
manajemen perubahan sesungguhnya merupakan sebuah peringatan bagi
pelaku perubahan agar berhati-hati dalam proses perubahan karena pada
intinya perubahan tidak bersifat generik. Istilah populernya “there is no best
way to manage change – tidak ada satu cara terbaik untuk mengelola
perubahan”.
1.30 Manajemen Perubahan 

LAT IH A N

Untuk memperdalam pemahaman Anda mengenai materi di atas,


kerjakanlah latihan berikut!

1) Jelaskan apa yang Anda ketahui tentang perubahan


2) Bagaimana respon masyarakat terhadap perubahan?
3) Jelaskan perbedaan karakteristik perubahan antara era industri dan era
informasi.

Petunjuk Jawaban Latihan

1) Simak dan pahami materi pada halaman 5 sampai dengan halaman 8.


Pada dasarnya perubahan merupakan fenomena hidup dan kehidupan
manusia yang tidak bisa dihindari, siapapun akan terlibat dalam
perubahan, suka atau tidak; dikehendaki atau tidak. Perubahan
dimaksudkan agar kita menjalani hidup lebih baik dan mengalami
progres meski hal itu kadang tidak mudah dilakukan karena hasil
perubahan sering kali juga tidak menentu. Tidak semua orang atau
sekelompok orang dapat menerima perubahan. Karena bagi mereka
perubahan adalah malapetaka yang akan menghilangkan hak privilege
yang selama ini mereka nikmati.
2) Respon masyarakat terhadap perubahan dapat Anda pelajari pada
halaman 8 dan 9. Respon ini muncul karena adanya ketidakpastian dalam
perubahan. Secara umum respon masyarakat terhadap perubahan bisa
dibagi menjadi dua – setuju dan tidak setuju. Mereka yang merasa
optimis terhadap perubahan cenderung mendukung perubahan. Mereka
yang setuju, ditandai dengan pernyataan exhilarating, empowering,
fulfilling dan challenging, tentu akan mengawal perubahan dengan
antusias agar cita-cita yang terkandung dalam perubahan bisa tercapai.
Sementara itu bagi mereka yang tidak setuju, pesimis akan perubahan,
masih merasa tidak pasti dan tidak tahu akan masa depan akibat
perubahan menganggap perubahan sebagai: scary, painful, disorienting,
frustating, dan confusing.
3) Perbedaan karakteristik perubahan antara era industri dan era informasi
dapat Anda simak pada halaman 23 Tabel 1.1. Dari Tabel tersebut Anda
dapat melihat perbedaan perubahan antara era industri dan era informasi.
 EKMA4565/MODUL 1 1.31

Sebagai contoh, pada era informasi pemasaran berkonsentrasi pada


produk yang dihasilkan, tetapi pada era informasi pemasaran
berkonsentrasi pada konsumen.

R A NG KU M AN

Perubahan merupakan suatu pergantian kondisi dari kondisi lama ke


kondisi baru, modifikasi sebuah kondisi atau penambahan terhadap
sebuah kondisi. Perubahan bisa juga diartikan pula sebagai pengurangan
terhadap sebuah kondisi, dengan kata lain selama sesuatu itu tidak sama
dengan keadaan sekarang maka itulah yang dimaksudkan dengan
perubahan. Perubahan tidak pernah terjadi jika keadaan sekarang sama
dengan keadaan pada masa lalu atau sama dengan keadaan yang akan
datang. Implisit dari definisi tentang perubahan, perubahan itu sendiri
selalu diikuti oleh perbedaan, perubahan selalu dikaitkan dengan
ketidakpastian (uncertainty), perubahan juga selalu menimbulkan
respon, selain itu perubahan juga harus berdampak pada kemajuan/
progres, tidak ada artinya jika perubahan tidak diikuti oleh progres atau
kemajuan.
Proses berlangsungnya perubahan dapat dibagi dalam dua jenis,
yaitu perubahan dengan skala mikro (perubahan organisasi) maupun
perubahan pada skala makro (perubahan masyarakat). Kedua jenis
perubahan ini diyakini mempunyai keterkaitan yang tidak bisa
dipisahkan. Perubahan yang terjadi pada skala makro pasti akan
berimbas pada perubahan pada skala mikro mengingat organisasi
merupakan bagian integral dari masyarakat.

TES F OR M AT IF 1

Pilihlah satu jawaban yang paling tepat!

1) Pernyataan di bawah ini yang bukan mencerminkan kondisi dari suatu


perubahan adalah ....
A. Pengurangan terhadap kondisi sebelumnya
B. Pergantian dari kondisi lama ke kondisi baru
C. Sama dengan kondisi sebelumnya
D. Pengurangan terhadap kondisi sebelumnya
1.32 Manajemen Perubahan 

2) Karakteristik yang terkandung dari pengertian perubahan adalah bahwa


perubahan ....
A. selalu berkaitan dengan ketidakpastian
B. tidak memiliki respon
C. meniadakan perbedaan
D. tidak memerlukan suatu progres

3) Toffler membagi tahap perkembangan manusia ke dalam tiga gelombang


era perubahan yaitu era informasi, era pertanian dan era ....
A. industri
B. teknologi
C. komunikasi
D. mekanisasi

4) Ada beberapa strategi yang dapat digunakan untuk memberikan solusi


dalam perubahan di antaranya adalah strategi ....
A. Positive
B. Pragmatist
C. Corecctive
D. Naturalisasi

5) Perubahan dengan skala mikro adalah perubahan yang terjadi pada ....
A. masyarakat
B. negara
C. individu
D. organisasi

Cocokkanlah jawaban Anda dengan Kunci Jawaban Tes Formatif 1 yang


terdapat di bagian akhir modul ini. Hitunglah jawaban yang benar.
Kemudian, gunakan rumus berikut untuk mengetahui tingkat penguasaan
Anda terhadap materi Kegiatan Belajar 1.

Jumlah Jawaban yang Benar


Tingkat penguasaan =  100%
Jumlah Soal

Arti tingkat penguasaan: 90 - 100% = baik sekali


80 - 89% = baik
70 - 79% = cukup
< 70% = kurang
 EKMA4565/MODUL 1 1.33

Apabila mencapai tingkat penguasaan 80% atau lebih, Anda dapat


meneruskan dengan Kegiatan Belajar 2. Bagus! Jika masih di bawah 80%,
Anda harus mengulangi materi Kegiatan Belajar 1, terutama bagian yang
belum dikuasai.
1.34 Manajemen Perubahan 

Kegiatan Belajar 2

Keberhasilan dan
Kegagalan dalam Perubahan

O rganisasi memiliki jenis yang sangat beragam seperti: organisasi bisnis,


pendidikan, kesehatan, politik, keagamaan atau organisasi sektor publik
dan jenis-jenis organisasi lainnya. Terlepas dari keragaman tersebut ada satu
hal yang tidak berbeda yakni kegiatan operasional organisasi sekarang ini
selalu dihadapkan pada lingkungan yang selalu berubah dan perubahannya
begitu cepat. Oleh karena itu kalau perubahan lingkungan ini tidak direspons
dengan mengubah dirinya (perubahan organisasi), bukan tidak mungkin
organisasi yang tidak meresponsnya akan tersingkir dalam persaingan.
Sebagai gambaran, dulu orang harus berbondong-bondong pergi ke alun-alun
dan rela berdesakan di sana sakedar untuk bisa nonton pertandingan tinju
Muhammad Ali yang disiarkan langsung melalui satu-satunya stasiun televisi
waktu itu – TVRI. Sekarang orang yang mengaku miskin sekalipun tidak
harus pergi ke mana-mana kalau sakedar untuk nonton berbagai acara yang
ditawarkan beberapa stasiun televisi. Situasi yang kontras ini tentunya berkat
kemajuan teknologi informasi. Teknologi informasi yang mencuat pada tahun
1980an inilah yang sering dianggap sebagai biang dari perubahan lingkungan
yang begitu cepat dan dalam hal ini mempengaruhi kehidupan organisasi
TVRI.
Dulu TVRI boleh mendominasi dan memonopoli siaran TV sampai-
sampai penduduk yang memiliki pesawat TV diminta untuk membayar iuran
televisi. Sekarang TVRI masih tetap eksis menyiarkan program-programnya
karena diproteksi pemerintah. Kalau tidak, boleh jadi TVRI tinggal kenangan
karena keberadaannya kalah populer dibanding siaran TV swasta yang lebih
menghibur dan lebih menarik ditonton. Perbandingan antara TVRI dan TV
swasta yang sekarang jumlahnya lebih banyak ini sekali lagi menggambarkan
antara organisasi yang responsnya lambat kalau tidak dikatakan tidak
merespon dengan organisasi yang responsnya cepat. Stasiun TV swasta yang
merespon dengan cepat perubahan lingkungan terbukti bukan sakedar survive
tetapi lebih dari itu sekarang mendominasi kehidupan masyarakat.
Sebaliknya Stasiun TVRI yang lambat merespon keinginan masyarakat bisa
dikatakan mati enggan hidup tak mau.
 EKMA4565/MODUL 1 1.35

Kegiatan Belajar 2 secara umum akan menguraikan dua sisi perubahan


organisasi yakni perubahan organisasi yang berhasil dan perubahan
organisasi yang gagal. Uraian ini diharapkan dapat memberi mahasiswa
gambaran awal tentang faktor-faktor yang menyebabkan keberhasilan dan
kegagalan perubahan. Di samping itu mahasiswa juga bisa mengetahui apa
yang dimaksud dengan perubahan yang berhasil dan perubahan yang gagal.
Untuk itu uraian pada Kegiatan Belajar 2 akan diawali dengan memberi
contoh pengalaman beberapa perusahaan yang pernah melakukan perubahan.

A. PERUBAHAN ORGANISASI: PENGALAMAN PERUSAHAAN


BESAR

Untuk memperoleh gambaran tentang perubahan organisasi dalam


praktik, berikut disajikan pengalaman beberapa organisasi besar yang pernah
melakukan perubahan organisasi. Paparan ini diharapkan bisa membantu kita
memahami esensi perubahan organisasi: faktor pemicu, proses pelaksanaan,
reaksi terhadap perubahan dan hasilnya. Contoh-contoh perubahan organisasi
yang dipaparkan di sini disarikan dari dua sumber: Pertama, untuk kasus
McDonald dan IBM dari buku “Managing Organizational Change – A
multiple perspective approaches” (2006), yang ditulis oleh Ian Palmer,
Richard Dunford & Gib Akin. Kedua, kasus British Airways disarikan dari
buku Managing change – cases and concepts (2003) yang ditulis Todd Jick &
Maury Peiperl.

1. McDonald: Respon terhadap Tekanan Eksternal


Sudah bertahun-tahun restoran cepat saji McDonald dikenal sebagai
restoran yang mengutamakan kualitas menu makanan dan layanan cepat.
Tidak urung kritik terhadap McDonald tetap tidak bisa dielakkan. Bagi
McDonald, kritik yang paling mengganggu adalah anggapan masyarakat
bahwa menu-menu makanan restoran cepat saji termasuk yang ditawarkan
McDonald bisa menyebabkan obesitas. Meski pihak manajemen McDonald
membantahnya tetap saja kritik tersebut tidak pernah berhenti. Berkaitan
dengan hal ini Morgan Spurlock – seorang pembuat film independen
melakukan perjalanan lintas Amerika selama sebulan penuh untuk
mewawancarai berbagai kelompok masyarakat tentang implikasi menu
makanan cepat saji dan menggunakan dirinya sebagai kelinci percobaan.
Sebagai kelinci percobaan, Spurlock memutuskan: tidak makan dan minum
1.36 Manajemen Perubahan 

selain makanan dan minuman yang ada pada daftar menu McDonald; jika
diberi pilihan Ia akan memilih menu yang super besar; dan setiap jenis
makanan yang ada pada daftar menu harus pernah dicobanya meski hanya
sekali. Setelah sebulan berakhir, hasil uji coba pada dirinya ternyata
menunjukkan berat badan Spurlock bertambah 25 pound atau kurang lebih
11.3 kg dan kolesterol meningkat dari 168 menjadi 230.
Pengalaman Spurlock tersebut kemudian diabadikan dalam film
dokumenter yang diberi judul “Super Size Me” dan diikutkan pada festival
film Sundane tahun 2004. Tujuan Spurlock melakukan semua eksplorasi
tentang kebiasaan orang Amerika makan fast food tidak lain untuk
mengetahui hubungan antara jenis makanan seperti yang ditawarkan
McDonald dengan obesitas. Secara kebetulan, bersamaan dengan dirilisnya
film Super Size Me yang kemudian menjadi satu dari lima film dokumenter
terbesar dalam sejarah Amerika, McDonald menawarkan menu baru untuk
orang dewasa Happy Meal yang terdiri dari salad, air mineral dan
“stepometer”. Penawaran menu baru ini memberi kesan bahwa makanan
yang ditawarkan McDonald memang kurang sehat sehingga McDonald buru-
buru memberi alternatif pilihan.
Isu tentang kesehatan yang terkait dengan fast food merupakan isu
masyarakat luas di seluruh dunia. Isu ini tentu semakin memberi tekanan
terhadap McDonald setelah sebelumnya masyarakat sangat khawatir terhadap
penyakit sapi gila, penyakit mulut dan kuku, epidemik SARS di wilayah Asia
Pasifik, krisis ekonomi dan biaya komoditas yang semakin tinggi. Bagi
Mcdonald, persoalan-persoalan tersebut tentu menjadi ancaman tersendiri
mengingat McDonald sedang menerapkan strategi ekspansi ke seluruh dunia.
Strategi ini diharapkan bisa meningkatkan pertumbuhan di masa mendatang.
Persoalan tersebut bukan sekedar berkontribusi terhadap menurunnya
penjualan tetapi sejak tahun 1996 McDonald mulai kalah bersaing dengan
Wendy dan Burger King. Beberapa upaya telah dilakukan seperti program
“Made for You” tetapi program ini malah membawa bencana karena justru
memperlambat layanan konsumen. Demikian juga para pemegang lisensi
semakin frustrasi karena marginnya terus menurun.
Persoalan-persoalan di atas mendorong McDonald pada tahun 2003
meminta James Cantalupo aktif kembali dan menunjuknya sebagai CEO
setelah sebelumnya sempat pensiun. Dengan tema “back to basic”, Cantalupo
mulai menata kembali McDonald dengan melakukan perubahan-perubahan
organisasi yang difokuskan pada nilai-nilai inti perusahaan – kualitas dan
 EKMA4565/MODUL 1 1.37

layanan. Langkah pertama adalah mengurangi jumlah pembukaan outlet baru.


Tahun 2004 misalnya perusahaan hanya membuka 300 restoran baru
dibandingkan tahun 1995 di mana perusahaan membuka 1100 restoran baru.
Langkah kedua menata bidang pemasaran terutama berkaitan dengan
advertensi. Slogan baru “I’m lovin’ it” mulai diperkenalkan dan meluncurkan
iklan komersial yang menampilkan James Timberlake. Semua ini merupakan
upaya Cantalupo untuk membangun image baru McDonald dan menarik para
generasi muda menjadi pelanggan McDonald.
Revitalisasi lain yang dilakukan Cantalupo adalah memperkenalkan
menu baru salad segar. Para pengamat berpandangan dengan diluncurkannya
produk baru tersebut secara tidak langsung merupakan sinyal bahwa
McDonald mengakui reputasinya menurun gara-gara makanan tidak sehat
yang ditawarkan sebelumnya. Peluncuran produk baru ini sekaligus dalam
rangka menarik konsumen perempuan yang sebelumnya enggan datang ke
restoran McDonald dan sekaligus sebagai upaya untuk meningkatkan jumlah
pelanggan khususnya mereka yang diharapkan datang pada sore hari.
Apa yang dilakukan McDonald – meluncurkan produk makanan baru
yang lebih sehat dan lebih mengundang selera, merupakan bentuk reaksi
perusahaan untuk melakukan perubahan-perubahan terutama setelah
mendapat tekanan dari masyarakat. Di samping itu, McDonald juga
melakukan program pelatihan secara on-line untuk semua karyawan di
Amerika dalam rangka mengatasi persoalan layanan kepada konsumen.
Semua ini bertujuan agar McDonald segera bisa kembali ke nilai inti semula
kualitas dan layanan cepat.

2. IBM: Perubahan Transformasional dari Atas dan Bawah


International Business Machines, Inc. (IBM), popular dengan sebutan
“Big Blue”, bisa disebut sebagai raja komputer di dunia khususnya pada era
1980-an dan sebelumnya. Pada pertengahan tahun 1980an misalnya selama
4 tahun berturut-turut IBM menempati top ranking pada majalah Fortune.
Perusahaan manapun atau siapapun yang berurusan dengan komputer hampir
pasti akan terlebih dahulu merujuk IBM sebelum merujuk perusahaan lain.
Dalam hal komputer bisa dikatakan IBM tidak tertandingi. Istilah
“compatible dengan IBM” yang biasa disuarakan para konsumen
menandakan dominasi IBM dalam industri komputer. Yang mengagetkan
adalah pada awal tahun 1990an situasinya berbalik, IBM hampir kolaps dan
betul-betul membutuhkan tindakan penyelamatan. Kerugian yang diderita
1.38 Manajemen Perubahan 

IBM selama 3 tahun berturut-turut (1992-1994) mencapai US$ 15 milyard


dan kapitalisasi pasar menurun dari US$ 105 milyard ke US$ 32 milyard
(Hamel, 2000). Melihat situasi tersebut para konsultan secara aklamasi
sepakat bahwa IBM harus dibubarkan.
Di mata konsumen, hampir bangkrutnya IBM disebabkan karena
arogansi dan nama besar IBM. Sebagai perusahaan besar, IBM sepertinya
enggan atau paling tidak terlambat mengantisipasi perubahan lingkungan.
Keengganan ini didukung oleh situasi internal di mana karyawan cenderung
berpusa diri (complacency) terhadap kondisi berjalan dan budaya perusahaan
yang cenderung sangat konservatif (McCune, 1991). Upaya untuk mengatasi
situasi yang terus memburuk ini terus dilakukan tetapi belum tampak
hasilnya sampai akhirnya pada tahun 1994 IBM harus mengganti CEO. John
Akers yang notabenenya orang dalam IBM diganti Lou Gerstner yang berasal
dari luar IBM. Inilah untuk pertama kalinya IBM mengubah tradisi,
memasukkan orang luar sebagai CEO – suatu kejadian yang belum pernah
dilakukan IBM sebelumnya. Secara bertahap masuknya Lou Gerstner
memberi dampak positif. Di antara yang dilakukan Lou Gerstner adalah
melakukan definisi ulang terhadap bisnis IBM. Di bawah kendali Lou
Gerstner, IBM dimaknai bukan sakedar perusahaan pembuat perangkat keras
komputer tetapi lebih dari itu, IBM diperlakukan sebagai perusahaan jasa
informasi yang memberi solusi bisnis. Enam tahun kemudian, hasilnya mulai
tampak di mana IBM kembali pada posisi bersaing dengan perusahaan
kompetitor. Pada tahun 1998 misalnya IBM bisa menyelesaikan 18000
konsultasi e-business dan seperempat dari pendapatan US$ 82 milyard
diperoleh dari jasa konsultasi tersebut di seluruh dunia. Keberhasilan ini terus
berlanjut sampai sekarang.
Keberhasilan demi keberhasilan yang dicapai IBM bersumber dari
upaya perubahan yang dilakukan melalui dua arah berlawanan – dari bawah
dan dari atas. Perubahan dari bawah bisa dikaitkan dengan seorang
programmer level menengah – seorang IBMer yang ditempatkan di Cornell
University’s Theory Center bernama David Grossman. Grossman adalah
orang yang sangat concern pada peran penting internet di masa mendatang.
Sebelum menggunakan internet menjadi hal yang lumrah layaknya orang
nonton TV, Grossman sudah lebih dahulu memulainya. Ia adalah satu dari
orang-orang pertama yang mengunduh Mosaic browser dan memiliki
pengalaman dunia grafis melalui web. Hanya karena kemauan kerasnya yang
 EKMA4565/MODUL 1 1.39

akhirnya membawa revolusi di IBM dan mengubah arah perjalanan IBM di


masa datang.
Perubahan ini bermula dari Game Olympiade musim dingin yang
diselenggarakan di Lillehammer Norwegia tahun 1994 di mana IBM menjadi
salah satu sponsor bidang teknologi. IBM bertanggung jawab terhadap
pengumpulan dan display hasil-hasil olimpiade. Ketika menonton acara
tersebut melalui layar TV di rumah, Grossman merasa bangga karena logo
IBM terpampang sebagai sponsor. Namun ketika beralih ke workstation
UNIX dan berselancar di web, Ia mendapatkan keadaan yang sangat beda. Ia
menemukan web site yang dijalankan oleh Sun Microsistems menggunakan
data IBM tetapi disajikan dengan banner Sun Microsistems. Grossman lantas
melaporkan kejadian tersebut kepada Abby Kohnstamm – orang yang
bertanggung jawab terhadap semua kegiatan pemasaran IBM. Singkatnya,
web site milik Sun Microsistems akhirnya bisa ditutup. Dari sini Grossman
merasa bahwa IBM hampir kebobolan. Ia menganggap IBM dalam hal ini
melupakan satu hal yang sangat besar – web. Itulah sebabnya ia memutuskan
untuk pergi ke Kantor Pusat untuk mendemonstrasikan peran web dalam
industri komputasi.
Di kantor Pusat IBM, dihadapan para senior – Kohnstamm, Wladawsky-
Berger dan Patrick, Grossman mendemonstrasikan web dengan
menggunakan UNIX yang dibawanya. Patrick sangat antusias terhadap demo
yang ditunjukkan Grossman dan akhirnya mereka berdua menjadi team
pengembang internet. Patrick berperan untuk menterjemahkan sisi bisnis bagi
Grossman dan sebaliknya Grossman menterjemahkan sisi teknologi bagi
Patrick. Meski pada awalnya atasan Patrick – Jim Canavino agak keberatan
dengan proyek tersebut tetapi akhirnya Ia membuat dekrit tidak seorangpun
di IBM yang boleh mengembangkan web site kecuali atas persetujuan
Patrick. Kesempatan pertama untuk melakukan konversi secara masal datang
pada bulan Mei 1994 di mana mereka berdua berdemo dihadapan 300 Top
Officer IBM. Tidak lama kemudian mereka berdua bisa show-up pada
olimpiade internet yang baru pertama kali diadakan. Karena tidak memiliki
cukup uang untuk ikut olimpiade yang membutuhkan biaya cukup besar,
mereka meminta teman-teman komunitas pencinta internet untuk memberi
sumbangan sukarela. Walhasil, seperti dikatakan Hamel “like dissidents using
purloined duplicators in the old sovient union, Patrick and Grossman used
the web to build a community of web fans that would untimately transform
IBM – layaknya orang yang tidak sepakat yang menggunakan duplicator
1.40 Manajemen Perubahan 

curian semasa Uni Soviet dulu, Patrick dan Grossman menggunakan web
untuk membangun komunitas pencinta web dan pada akhirnya bisa
mentransformasi IBM”. Sekarang baik di dalam maupun di luar IBM, Patrick
dan Grossman diakui sebagai kontributor penting yang mengubah IBM
menjalankan e-business.
Sekeras apapun upaya Grossman dan Patrick mentransformasi IBM
belum tentu berhasil jika tidak ada dukungan dari atas. Meski pada awalnya
dukungan terhadap pengembangan web agak seret namun berkat kegigihan
mereka berdua akhirnya para petinggi IBM memberi perhatian juga. Lou
Gerstner sendiri ikut mengipasi dari atas. Ia yang sejak semula meyakini
pentingnya network bagi industri komputasi merasa cocok dengan logika
internet. Oleh karenanya Lou Gerstener meminta agar laporan kwartalan dan
laporan tahunan perusahaan di tayangkan di web. Bahkan Ia menandatangani
kesepakatan untuk memberi kata sambutan di dalam web tersebut.
Setelah Lou Gerstener pension dari IBM dan digantikan IBMer Samuel
Palmisano, perhatian Palmisano mulai difokuskan pada teamwork dan
kolaborasi. Salah satu langkah yang dilakukannya sebagai ujud gaya
kepemimpinan yang baru adalah menyesuaikan kompensasi yang diberikan
kepada para eksekutif. Gap antara bonus yang diterima para eksekutif dengan
anggota team mulai dipersempit. Upaya-upaya lain yang dilakukan
Palmisano dalam perubahan adalah mengurangi hiearkhi dan birokrasi
organisasi – dua hal yang dianggap membuat IBM menjadi konservatif.
Selanjutnya Komite Manajemen diganti dengan Manajemen Tim untuk
bidang-bidang yang berhubungan dengan strategi, teknologi dan operasi. Tim
tersebut ditempati oleh orang-orang yang memiliki kompetensi berbeda yang
berasal dari seluruh bagian perusahaan bukan orang-orang yang berada
sekitar pucuk pimpinan. Semua ini bertujuan agar IBM menjadi semakin flat
dan kreatif. Di samping itu Palmisano menyadari bahwa skill untuk memberi
layanan global juga cukup rendah sehingga pada tahun 2002 Ia memutuskan
untuk mengakuisisi perusahaan konsultan PwC Consulting sebagai upaya
untuk membawa IBM agar bisa memberikan layanan maksimal kepada
konsumen.

3. British Airways: Perubahan Budaya Perusahaan


British Airways (selanjutnya disingkat BA) adalah perusahaan
penerbangan “pembawa bendera – carrier flag” dan sekaligus miliki
pemerintah Inggris. BA merupakan hasil penggabungan dua perusahaan
 EKMA4565/MODUL 1 1.41

negara – British European Airways (BEA) dan British Overseas Airways


Corporation (BOAC). Penggabungan kedua perusahaan pada awalnya belum
menjadikan kedua perusahaan betul-betul satu. Upaya untuk menyatukan
kedua perusahaan dalam arti yang sebenarnya dimulai pada tahun 1974 –
empat tahun setelah keduanya bergabung, ditandai dengan disusunnya
laporan keuangan konsolidasi. Upaya penyatuan kedua perusahaan berlanjut
pada tahun 1976 saat Sir Frank McFadzean merubah struktur organisasi BA
dari divisional ke struktur organisasi fungsional dengan satu harapan hanya
ada satu perusahaan di tubuh BA yaitu BA itu sendiri. Sayangnya upaya-
upaya tersebut belum sepenuhnya berhasil karena kesan bahwa di tubuh BA
masih terdapat dua perusahaan masih terjadi sampai dengan pertengahan
tahun 1980an.
Tidak mudah memang menyatukan dua perusahaan yang berbeda latar
belakang sejarah dan budaya. BEA adalah pionir penerbangan sipil Eropa
yang didirikan setelah Perang Dunia Kedua berakhir. Bisa dikatakan BEA,
sendirian, membuka jalur-jalur angkutan udara Eropa, membangun
infrastruktur penerbangan – membangun yang sebelumnya belum ada
menjadi ada, dan menghubungkan satu kota dengan kota lainnya. Sebagai
pionir, dengan demikian, perhatian utama BEA bukan menghasilkan laba.
Selama 15 tahun, sampai dengan tahun 1960, fokus perhatian BEA adalah
pada hal-hal di atas. Akibatnya tidak bisa dihindari jika tidak memberi
perhatian terhadap efisiensi biaya menjadi kultur BEA. Tidak jauh berbeda
dengan BEA, BOAC merupakan perusahaan penerbangan yang juga menjadi
pionir untuk penerbangan komersial yang menggunakan pesawat jenis jet.
Pada tanggal 2 Mei 1952, untuk pertama kali penerbangan komersial dari
London ke Johannesburg menggunakan pesawat jet milik BOAC. Bisa
dikatakan dengan demikian BOAC melakukan inovasi baru di dunia
penerbangan komersial meski hal ini berakibat pada beban biaya tinggi yang
harus ditanggung perusahaan. Bahkan akibat dari inovasi tersebut perusahaan
mengalami persoalan finansial selama hampir dua dekade.
Siapapun yang mengetahui perkembangan kedua perusahaan pada tahun
50an dan 60an bisa menyimpulkan bahwa menghasilkan pendapatan
bukanlah tujuan utama perusahaan. Bagi kedua perusahaan yang penting
adalah bisa menerbangkan pesawat komersial berbendera Inggris berapapun
biayanya, terbang tepat waktu dan mendarat tepat waktu. Sadar laba dengan
demikian tidak pernah menjadi mind set perusahaan saat itu. Apalagi
banyaknya veteran perang yang dipekerjakan di kedua perusahaan
1.42 Manajemen Perubahan 

menyebabkan mentalitas militer sepertinya identik dengan kultur kedua


perusahaan. Demikian juga peranan kedua perusahaan sebagai agen
pemerintah semakin memperkuat mind set di atas. Perolehan laba baru
dicanangkan untuk periode tahun 70an.
Dengan warisan budaya seperti ini tidak terelakkan jika di tubuh BA
juga memiliki kultur yang kurang lebih sama. Meski selama periode 1972
hingga 1980 BA setiap tahunnya selalu memperoleh laba kecuali untuk satu
tahun anggaran tetap saja efisiensi cenderung diabaikan. Itulah sebabnya
perhatian terhadap efisiensi terus digalakkan, di antaranya pada tahun 1976
dilakukan reorganisasi menuju terbentuknya secara riil satu perusahaan –
British Airways. Reorganisasi ini dilakukan karena selama tiga tahun
berturut-turut (1974 – 1976) tingkat produktivitas karyawan sangat rendah,
tidak lebih dari 59%. Demikian juga customer service sangat buruk.
Sayangnya reorganisasi ini tidak segera mendatangkan hasil karena loyalitas
karyawan terhadap perusahaan lama masih cukup tinggi. Persoalan menjadi
semakin buruk ketika Inggris menghadapi resesi ekonomi di mana jumlah
penumpang pesawat terus menurun dan harga bahan bakar meningkat tajam.
Sementara jumlah karyawan BA mencapai titik tertinggi 58.000 orang
karyawan.
Menghadapi kinerja perusahaan yang terus menurun dan perubahan
lingkungan yang tidak menentu, pada bulan Februari 1981 PM Margaret
Thatcher menunjuk Sir John King sebagai chairman baru BA. Meski tidak
mempunyai pengalaman di bisnis penerbangan, King yang belakang
memperoleh gelar Lord mampu mengangkat kembali moral BA. Dampaknya
adalah hubungan perusahaan dengan pemerintah dan masyarakat semakin
baik. Hal ini tidak lepas dari peran King yang memiliki hubungan luas
dengan berbagai kalangan – dengan kalangan businessman, kerajaan dan
bahkan dengan Presiden Amerika Serikat Ronald Reagan dan Jimmy Carter.
Saat untuk pertama kali menyampaikan laporan tahunan, King
memprediksi jika tahun-tahun mendatang merupakan masa-masa sulit bagi
perusahaan penerbangan. Oleh karena itu, untuk mengantisipasi persoalan
tersebut dan untuk menghindari perusahaan jatuh bangkrut, King pada bulan
September 1981 mengusulkan program penyelamatan perusahaan yang
sangat keras, sulit diterima dan menggunakan ukuran-ukuran jangka pendek
yang segera diketahui hasilnya. Program ini disebut “survival plan” yang
intinya adalah efisiensi besar-besaran. Di antara yang paling radikal adalah
pengurangan jumlah karyawan sebesar 20% dari 52.000 menjadi 42.000 yang
 EKMA4565/MODUL 1 1.43

akan dicapai selama 9 bulan; membekukan kenaikan gaji, menutup 16 rute


tidak produktif; menutup 8 stasiun on-line; dan menutup 2 unit perawatan
mesin. King juga membekukan penggunaan pesawat khusus kargo, menjual
beberapa pesawat dan memotong besar-besaran layanan kantor yang tidak
relevan. Pada bulan Juni 1982 pengurangan jumlah karyawan bahkan terus
berlanjut dengan menambah jumlah karyawan dirumahkan sebanyak 7000
orang sehingga karyawan tersisa tinggal 35.000 orang. Untuk kepentingan
tersebut BA mengeluarkan pesangon tidak kurang dari 150 juta pound.
Survival plan tidak berhenti sampai di situ. Upaya menghentikan pendarahan
terus berlanjut. Untuk itu Lord King merekrut Gordon Dunlop seorang
akuntan asal Skotlandia yang dikenal sangat dinamis, kreatif dan pekerja
keras. Di bawah kendali Dunlop sebagai CFO penghematan-penghematan
lain terus berlangsung. Walhasil tahun 1982 merupakan titik balik menuju
recovery meski pada tahun itu BA harus merugi sampai 545 juta pound.
Setelah penataan keuangan dianggap menuju arah yang benar, King
mulai melakukan upaya lain yakni membangun image baru perusahaan.
Langkah pertama yang ditempuh King adalah mengganti Foote, Cone and
Belding – perusahaan periklanan yang telah melayani BA selama 36 tahun
dengan Saatchi & Saatchi. Dari sinilah King kemudian membuat sebuah
penegasan bahwa orientasi BA telah berubah. King berharap BA menjadi
“The World’s Favourite Airline”. Untuk itu Saatchi & Saatchi sebagai mitra
baru BA mendapat pekerjaan pertama untuk menandai arah perubahan BA
yaitu membuat program kampanye dalam skala yang sangat besar yang
disebut “Manhattan Landing”. Manhattan Landing – sebuah advertensi
komersial berdurasi 6 menit menggambarkan secara dramatis pulau
Manhattan yang diangkat dari Amerika kemudian berputar-putar di atas
Atlantik sebelum akhirnya mendarat di Inggris. Setelah pemutaran pertama,
program yang sama dalam durasi yang lebih pendek – 90 detik dikirim ke
berbagai negara menjadi iklan komersial yang menggambarkan bahwa BA
sekarang benar-benar menjadi perusahaan penerbangan internasional.
Bersamaan dengan semakin membaiknya keuangan perusahaan, BA pada
tahun 1983-1984 mengalokasikan biaya iklan sebesar 31 juta pound
dibandingkan dengan hanya 19 juta pound tahun sebelumnya. Semua ini
sekali lagi merupakan bentuk komitmen perusahaan untuk membangun
image yang baru.
Di tengah-tengah upaya membangun image baru perusahaan, pada bulan
Februari 1983 Lord King sekali lagi merekrut orang baru. Kali ini yang
1.44 Manajemen Perubahan 

direkrut adalah Colin Marshall untuk menempati jabatan Chief Executive


Officer. Pria kelahiran Inggris ini memulai kariernya sebagai management
trainee di perusahaan persewaan mobil Hertz di Amerika Serikat. Setelah
beberapa tahun di Hertz, Marshall bekerja di perusahaan rival utama Hertz –
Avis Eropa sampai diangkat menjadi CEO pada tahun 1976. Setelah pensiun
dari Avis Marshall kembali ke Inggris menjadi deputy chief executive Sears
Holding sampai akhirnya direkrut Lord King tahun 1983. Meski tidak
memiliki latar belakang pengalaman di perusahaan penerbangan, Marshall
memahami dengan baik bagaimana melayani konsumen. Pengalamannya di
perusahaan persewaan mobil juga sangat membantu karena karakteristik
perilaku konsumen perusahaan persewaan mobil mirip dengan perilaku
konsumen perusahaan penerbangan. Itulah sebabnya tidak lama setelah Ia
menduduki kursi CEO hal pertama yang dilakukannya adalah membenahi
customer services – salah satu key success faktor dalam dunia penerbangan.
Marshall sangat beruntung karena kedatangannya di BA disambut baik para
karyawan dan bahkan dijadikan role model bagaimana melayani konsumen.
Dalam upayanya untuk terus memperbaiki layanan konsumen,
perusahaan menindak-lanjuti dengan membuat program baru yang disebut
“Putting People First – PPF”. Pada awalnya program ini yang dilaksanakan
mulai bulan Desember 1983 – Juni 1984 hanya ditujukan kepada staff front-
liner. Program ini dilaksanakan oleh perusahaan konsultan Denmark – Time
Manager International dalam bentuk workshop selama 2 hari melibatkan
150 partisipan. Karena staff front-liner merasa memperoleh banyak manfaat
dari program ini, yang bukan front-liner juga ingin diikutkan dalam program
tersebut. Oleh sebab itu akhirnya dibuat PPF II berdurasi satu hari yang
melibatkan sebanyak 40.000 karyawan BA. Program yang berakhir
Desember 1985 ini ada dasarnya hanya meminta para partisipan
mengevaluasi kembali cara mereka berinteraksi dengan orang lain yang tidak
terkait dengan urusan pekerjaan baik dalam lingkungan keluarga, dengan
teman sejawat, dengan komunitas di luar pekerjaan dan dengan para
konsumen. Sederhananya, program ini menekankan pentingnya hubungan
positif khususnya hubungan di luar pekerjaan. Yang membuat karyawan
merasa terhormat adalah setiap berakhirnya sebuah program, karyawan dan
manajer bisa berbaur tanpa memperdulikan posisi dan jabatan mereka,
sesuatu yang tidak pernah terjadi pada periode sebelumnya. Dalam
kesempatan itu pula tanya jawab antara senior manajer dengan para karyawan
bisa berlangsung terbuka. Tidak jarang Colin Marshall sendiri yang turun
 EKMA4565/MODUL 1 1.45

lapangan untuk menutup workshop. Oleh karena itu bisa dikatakan bahwa
karyawan secara aklamasi menyambut program ini dengan baik karena
pesan-pesan yang disampaikan dalam program ini dirasa sangat tulus dan
tidak manipulatif mengingat desain dari program tersebut dibuat murni oleh
pihak konsultan tanpa campur tangan BA. Melalui program ini, setelah
semua karyawan bisa melakukan interaksi di luar pekerjaan dengan baik,
karyawan pada akhirnya juga diharapkan bisa berinteraksi lebih baik dalam
melayani konsumen.
Menjelang berakhirnya program ini pada bulan Desember 1985, BA
membuat program sejenis tetapi khusus untuk para manajer yang disebut
Managing People First (MPF). Seperti halnya PPF, MPF adalah sebuah
workshop. Bedanya workshop ini diselenggarakan di luar kantor sehingga
partisipan yang banyaknya 25 orang manajer harus tinggal di tempat
workshop selama 5 hari selama workshop tersebut berlangsung. Jika program
PPF menekankan pentingnya hubungan interpersonal, MPF menekankan di
antaranya arti penting kepemimpinan, trust, visi dan umpan balik – isu-isu
yang berhubungan dengan aspek manusia dan budaya di dalam organisasi
yang selama ini cenderung diabaikan di BA. Keberhasilan kedua program ini
dilanjutkan dengan program-program lain “A Day in the Life”, “To Be the
Best”, “Awards for Excellence” dan “Brainwaves”.
Di samping itu BA juga melancarkan program lain yang lebih kasatmata.
Jika program-program di atas sentuhannya di titik beratkan pada mindset baru
perusahaan utamanya bagaimana melayani konsumen lebih baik maka
program ini sentuhannya pada identitas visual. Untuk itu Colin Marshall
mendesain ulang penampilan pesawat BA dan seragam baru crew pesawat
hasil rancangan Roland Klein. Untuk mempromosikan tampilan baru pesawat
BA, Marshall mengubah hanggar pesawat BA di Bandar Udara Heathrow
menjadi sebuah teater. Tamu-tamu kehormatan diundang untuk menyaksikan
tampilan baru tersebut yang dibuat secara dramatis. Selain itu, bukan hanya
tamu kehormatan, para staf secara bergiliran selama 8 minggu berturut-turut
juga diberi kesempatan untuk melihat tampilan baru tersebut.
Penyehatan perusahaan yang diinisiasi oleh Lord King pada tahun 1982
dan dilanjutkan dengan perubahan budaya yang dimulai pada tahun 1983
pada akhirnya mengangkat kembali moral karyawan dan mengubah citra
perusahaan. Sebelum perubahan BA sering diplesetkan menjadi “bloody
awful” mengindikasikan buruknya citra perusahaan sehingga para karyawan
BA, kalau bisa, juga menyembunyikan identitasnya sebagai karyawan BA
1.46 Manajemen Perubahan 

karena malu. Setelah perubahan BA memperoleh penghargaan demi


penghargaan yang menyebabkan karyawan pun merasa bangga menjadi
bagian dari BA. Semua ini berujung pada perbaikan kinerja perusahaan. Jika
pada tahun 1982 BA mengalami kerugian sebelum pajak sebesar 114 juta
pound dan 545 juta pound jika dihitung setelah pajak maka sejak tahun 1983
sampai dengan tahun 1998 secara berturut-turut BA terus menghasilkan laba.
Prestasi yang sangat fantastis ini tentu tidak lepas dari tangan dingin Colin
Marshall yang ahli dalam layanan konsumen. Marshall pulalah yang
dianggap orang paling penting dalam perubahan BA. Melalui berbagai
macam program yang dicetuskan Marshall baik program yang menyentuh
mindset karyawan maupun program yang lebih kasatmata (bersifat visual)
yang menyentuh emosi konsumen, BA menjadi perusahaan favorit bagi
pengguna jasa penerbangan.

B. PELAJARAN DARI PERUBAHAN ORGANISASI

Pelajaran yang bisa dipetik dari ketiga contoh di atas di antaranya


adalah:

1. Kasus McDonald
a. Perubahan organisasi terjadi dalam lingkungan bisnis yang sangat
kompetitif bahkan dalam skala lingkungan internasional.
b. Hal ini bisa diartikan bahwa perubahan tidak harus perusahaan sampai
kalah dalam berkompetisi. Pada saat perusahaan masih berjalan dengan
baik sekalipun perubahan tetap harus dilakukan paling tidak sebagai
persiapan masa depan perusahaan yang lebih baik.
c. Sebagai sebuah sistem, organisasi yang selalu berinteraksi dengan
lingkungan eksternal akan selalu mendapat tekanan eksternal untuk
melakukan perubahan, misalnya untuk menghasilkan produk dan jasa
yang sesuai dengan selera konsumen yang selalu berubah.
d. Sejak awal harus disadari bahwa dalam melakukan perubahan ada
kemungkinan hasilnya tidak seperti yang diharapkan.
e. Secara natural, perubahan tidak selamanya baik bagi perusahaan. Oleh
karenanya kehati-hatian dalam menilai relevansi dan kemungkinan
keberhasilan dalam perubahan menjadi sangat penting dilakukan
sebelum proses perubahannya diimplementasikan.
 EKMA4565/MODUL 1 1.47

2. Kasus IBM
a. Perubahan inovatif tidak harus datang dari pimpinan puncak perusahaan.
Inovasi bisa saja datang dari level bawah organisasi.
b. Untuk membuat perubahan bisa berjalan dengan baik membutuhkan
persistensi dari sisi waktu dan tindakan yang melibatkan berbagai pihak.
c. Perubahan sering kali membutuhkan seorang champion – orang yang
berdiri di depan dalam perubahan yang tidak kenal lelah agar pada
akhirnya bisa mendapatkan dukungan seluruh komponen organisasi.
d. Dalam perubahan, jaringan informal organisasi memiliki peran penting
untuk memobilisasi dan mengkomunikasikan perubahan organisasi.
e. Perubahan selalu membutuhkan sumber daya untuk mengawalnya.
f. Perubahan bisa dilakukan secara inremental – bertahap-tahap tetapi bisa
juga bersifat transformational.
g. Tindakan perubahan yang dilakukan secara kecil-kecilan sering kali
membawa pesan simbolis yang bisa mendorong para pemimpin untuk
melakukan perubahan yang lebih besar.

3. Kasus Bitish Airways


a. Hampir selalu penggabungan dua organisasi atau lebih berimplikasi pada
perlunya dilakukan perubahan.
b. Walaupun tidak selalu, perubahan membutuhkan pimpinan baru yang
tidak terkontaminasi dengan masa lalu perusahaan yang diubah.
c. Paling tidak dengan perubahan organisasi akan tercipta image baru yang
menunjukkan bahwa organisasi baru berbeda dengan organisasi
sebelumnya.
d. Keteguhan dan persistensi pimpinan perusahaan sangat penting artinya
bagi perubahan organisasi.
e. Kunci sukses perubahan terletak kemauan para karyawan untuk merubah
cara berpikir lama menuju cara berpikir baru.
f. Keberhasilan perubahan akan tercapai jika karyawan langsung atau tidak
langsung merasakan manfaat dari perubahan tersebut.
g. Budaya baru yang tersistem dalam kehidupan organisasi merupakan
faktor penting untuk mempertahankan hasil perubahan.
1.48 Manajemen Perubahan 

C. KEBERHASILAN DALAM PERUBAHAN ORGANISASI.

Ketiga contoh perubahan yang disebut di muka paling tidak


menunjukkan bahwa McDonald bisa merespon tekanan eksternal dengan
menawarkan menu baru yang lebih sehat. IBM menemukan momentum
setelah menghadapi badai perubahan teknologi dan British Airways bisa
membangun budaya baru sebagai dasar membangun masa depannya.
Pertanyaannya adalah apakah ketiganya tergolong perusahaan yang berhasil
dalam perubahan? Sebelum menjawab pertanyaan ini ada baiknya disimak
dulu buku In search of excellence yang ditulis oleh Peters & Waterman, Jr.
(1982). Pada buku ini kedua penulis memaparkan 43 perusahaan yang
tercantum dalam top 500 Fortune sebagai perusahaan yang secara konsisten
bisa mengalahkan para pesaing masing-masing dalam waktu yang cukup
lama – 20 tahun. Oleh karenanya tidak berlebihan jika kedua penulis ini
menyebut perusahaan-perusahaan tersebut sebagai perusahaan yang
excellence dengan karakter masing-masing yang khas. Namun 5 tahun setelah
buku ini terbit dua pertiga dari perusahaan yang sebelumnya disebut
excellence ternyata harus berjuang untuk tetap bertahan hidup. Menanggapi
kenyataan ini Peters & Waterman Jr. menyimpulkan bahwa pada lingkungan
yang berubah begitu cepat, sulit bagi sebuah perusahaan untuk bisa bertahan
pada situasi yang sama dalam waktu lama (Holbeche, 2006:7).
Penjelasan Peters & Waterman Jr. tentang perusahaan yang excellence
tetapi tidak bisa bertahan lama memberi sinyal bahwa perusahaan yang
berhasil dalam kurun waktu yang cukup lama bisa saja sewaktu-waktu
tergelincir terutama karena perubahan lingkungan yang begitu cepat.
Penjelasan ini sekaligus memunculkan pertanyaan baru yakni apa kriterianya
agar sebuah perusahaan disebut sebagai perusahaan unggul? Jawabannya
tentu bukan sakedar peningkatan kinerja keuangan apalagi kinerja tersebut
diukur dalam jangka pendek. Dalam konteks perubahan jawaban ini
berimplikasi bahwa kinerja keuangan jangka pendek tidak bisa dijadikan
dasar untuk mengukur keberhasilan perubahan organisasi. Dulu memang ada
kecenderungan demikian. Para manajer dan investor pada umumnya
mengartikan keberhasilan perubahan sebagai:
1. Kinerja bisnis meningkat sesuai dengan target pasar yang dipilih.
2. Kinerja keuangan positif dan tumbuh berkelanjutan.
3. Pelayanan kepada konsumen meningkat.
 EKMA4565/MODUL 1 1.49

4. Konsumen bukan sakedar puas dengan layanan yang diberikan


perusahaan tetapi kepuasan tersebut mengarah pada loyalitas konsumen.
5. Perusahaan mendapat keuntungan dari inovasi berkelanjutan dan
peningkatan pada modal pengetahuan.
6. Perusahaan memperoleh citra baik di mata konsumen dan memperoleh
posisi pasar yang baik.

Meski ukuran-ukuran yang bersifat rasional seperti tersebut di atas tidak


keliru namun sekali lagi dalam lingkungan yang cepat berubah ukuran
tersebut dianggap tidak cukup untuk mengukur keberhasilan perubahan.
Sekarang kriterianya berbeda. Keberhasilan perubahan organisasi sangat
tergantung pada kemampuan manajemen atau agen perubahan mendorong
karyawan mau merubah perilakunya untuk mengadopsi ide dan strategi baru
untuk menghadapi lingkungan yang terus berubah. Untuk itu komunikasi
yang efektif memungkinkan karyawan bukan sakedar memahami mengapa
organisasi harus berubah, lebih dari itu karyawan juga mau terlibat dan
berkontribusi dalam perubahan. Secara umum keberhasilan perubahan akan
menjadi kenyataan jika hal-hal berikut bisa tercapai:
1. Karyawan mau memodifikasi keterampilan, perilaku dan kinerja sesuai
dengan tuntutan perubahan.
2. Keterampilan dan pengalaman karyawan meningkat sebagai akibat dari
perubahan.
3. Karyawan bisa belajar menjadi orang yang fleksibel dan beradaptasi
pada usaha perubahan yang sedang berjalan.
4. Karyawan tetap berkomitmen terhadap organisasi.

Dari keempat kriteria keberhasilan perubahan organisasi seperti tersebut


di atas akhirnya bisa disimpulkan bahwa kunci keberhasilan perubahan
organisasi terletak pada unsur manusianya (Blumenthal & Haspeslagh, 1994),
baik manusia tersebut sebagai karyawan, manajer atau sebagai pimpinan dan
agen perubahan. Sederhananya, manusia sebagai aktor utama dalam
kehidupan organisasi menjadi penentu apakah perubahan tersebut berhasil
atau gagal.
1.50 Manajemen Perubahan 

D. KEGAGALAN DALAM PERUBAHAN ORGANISASI.

Jika uraian sebelumnya memberikan contoh-contoh perusahaan yang


berhasil dalam melakukan perubahan organisasi, pada bagian ini akan
diberikan contoh perusahaan yang bisa dikatakan gagal atau paling tidak
sejauh ini belum menunjukkan hasil dalam perubahan. Salah satunya adalah
perusahaan penerbangan Merpati Nusantara Airline (MNA). Berbagai upaya
telah dilakukan MNA untuk memperbaiki kinerja perusahaan seperti:
perubahan strategi, restrukturissi perusahaan dan penggantian pimpinan tetapi
hasilnya belum tampak. Ironisnya perusahaan penerbangan tersebut sampai
saat ini masih tetap beroperasi meski secara ekonomi perusahaan ini belum
bisa dinyatakan sehat karena kinerjanya cenderung terus menurun. Kalaulah
perusahaan ini masih eksis boleh jadi karena statusnya sebagai BUMN yang
mudah mendapat talangan keuangan sekedar untuk survive.
MNA hanyalah satu dari sekian banyak perusahaan yang gagal
melakukan perubahan. Contoh-contoh lain jumlahnya masih banyak. Fakta
menunjukkan lebih banyak organisasi yang gagal dalam melakukan
perubahan ketimbang yang berhasil. Secara umum tingkat kegagalan
perubahan organisasi angkanya cukup tinggi bisa mencapai 70% (lihat
misalnya: Reger et al., 1995; Miller, 2002). Penulis sendiri yang juga
memiliki pengalaman sebagai konsultan dalam 10 tahun terakhir terlibat
dalam proses perubahan organisasi pada organisasi/lembaga berbeda baik
yang dilakukan perusahaan BUMN, organisasi pendidikan maupun
perusahaan swasta. Hasilnya beragam, sebagian berhasil, sebagian setengah
berhasil dan sebagian lagi bisa dikatakan gagal.
Untuk sakedar memberi contoh, tiga kasus dipaparkan di sini. Kasus
pertama, tahun 2001 seorang Direktur Perencanaan dan Pengembangan
(Renbang) sebuah BUMN datang meminta bantuan terkait rencana
perusahaan untuk mengimplementasikan program penyehatan perusahaan
(turnaround strategy). Pendek kata, setelah proses perubahan berjalan kurang
lebih dua tahun program akhirnya dihentikan karena dianggap gagal.
Kegagalan dalam program penyehatan ini lebih disebabkan karena pimpinan
puncak perusahaan tidak memberikan dukungan secara penuh. Memang
Direktur Utama perusahaan bersedia membiayai program ini mungkin agar
terkesan pro perubahan tetapi sesungguhnya tidak demikian. Ketika program
demi program diajukan untuk dijalankan mereka enggan
mengimplementasikannya. Walhasil program penyehatan perusahaan
 EKMA4565/MODUL 1 1.51

terkesan sakedar memanfaatkan anggaran yang sudah ditetapkan sebelumnya


dan hasilnya berupa dokumen di atas kertas (dokumen penyehatan
perusahaan) tetapi tidak pernah terealisasikan dalam praktik. Perusahaan
kemudian kembali beroperasi seperti semula seolah-olah tidak pernah
melakukan perubahan.
Kasus kedua perubahan pada organisasi pendidikan tinggi. Perubahan ini
menghasilkan situasi yang berbeda dibandingkan dengan kasus pertama.
Pada tahun 2002, pimpinan sebuah Perguruan Tinggi Swasta (PTS) besar di
Yogyakarta mulai merasakan membengkaknya biaya operasional di satu sisi
dan di sisi lain penerimaan mahasiswa baru terus menurun dalam tiga tahun
terakhir. Oleh karenanya jika tidak dilakukan perubahan dikhawatirkan gerak
lembaga ini di masa mendatang akan semakin terganggu. Rektor beserta
jajarannya akhirnya berkesimpulan bahwa struktur organisasi dan sistem
penghargaan lembaga yang dikelolanya harus ditata ulang sebagai langkah
awal dari penataan organisasi secara keseluruhan. Rektor menamakan
program ini sebagai restrukturisasi organisasi (organization restructuring)
dan sistem penghargaan (reward sistem). Asumsi yang melatarbelakanginya
adalah untuk menghasilkan organisasi yang efisien, PTS harus
merampingkan struktur organisasi yang terlalu gemuk dan menggabungkan
beberapa unit aktivitas yang masih bisa digabungkan. Sementara itu,
efektivitas organisasi bisa dicapai jika sistem penghargaan kepada dosen dan
karyawan juga ditata ulang agar PTS ini tidak menyerupai organisasi
pemerintah.
Karena program perubahan mendapat dukungan penuh dari pimpinan
puncak PTS, pada awalnya proses perubahan tidak mendapat hambatan yang
berarti. Namun demikian bukan berarti semua program bisa diselesaikan
dengan sempurna. Penyebabnya, seperti pada umumnya perguruan tinggi di
mana proses pengambilan keputusan cenderung bersifat kolegial, keputusan
akhir bisa diterima atau tidaknya program perubahan yang diusulkan bukan
semata-mata di tangan Rektor dan jajarannya tetapi juga harus melibatkan
banyak pihak seperti Senat Universitas dan Dekan serta civitas academica
seperti dosen dan mahasiswa. Faktor inilah yang menghambat program
perubahan organisasi. Banyaknya pihak yang terlibat dalam program
perubahan bisa diartikan bahwa nuansa politik atau kepentingan masing-
masing pihak yang terlibat begitu kental. Akibatnya sebagian program bisa
diterima dan sebagian lainnya tidak. Reward sistem yang mestinya menjadi
bagian tidak terpisahkan dari penataan struktur organisasi sampai kini tidak
1.52 Manajemen Perubahan 

pernah dilaksanakan. Struktur baru hasil dari program perubahanpun juga


hanya dilaksanakan sebagian. Bisa dikatakan yang dilaksanakan hanya sisi
permukaannya saja. Atau sederhananya, perubahan ini bisa dikatakan gagal.
Kasus ketiga, perubahan pada perusahaan swasta yang bergerak di
bidang pengeboran minyak bumi dan gas. Berbeda dengan dua kasus
sebelumnya, perubahan ini tergolong program perubahan yang berhasil.
Program perubahannya itu sendiri dinamakan program rightsizing – penataan
organisasi secara menyeluruh dengan menempatkan manusia (karyawan)
sebagai titik sentralnya. Sebut saja perusahaan pengeboran ini dengan nama
POP dengan jumlah karyawan tetap dan karyawan kontrak sebanyak
600 orang. Sebagian karyawan telah bekerja di perusahaan ini lebih dari
20 tahun dan berasal dari penduduk setempat. Pendidikan mereka (sekitar
70% dari jumlah karyawan) adalah SMA ke bawah. POP sendiri tergolong
perusahaan pengeboran yang sudah tua – sudah beroperasi kurang lebih
30 tahun, pernah dikelola oleh 4 perusahaan berbeda dan hanya berproduksi
sebanyak 6000 barel per hari atau 5% dari produksi puncak sebanyak
80000 barel yang dicapai pada tahun 1977.
Meski program ini berhasil menaikkan produksi harian namun
perjalanan perubahan organisasi tidak begitu mulus. Hambatan pertama
datang dari para karyawan yang merasa takut jika program rightsizing
tersebut menyebabkan PHK besar-besaran. Salah persepsi ini menyebabkan
kedatangan tim rightsizing ke lokasi perusahaan tidak ditanggapi dengan baik
dan lebih dari itu, direspons secara negatif. Respon karyawan mulai berubah
setelah tim berhasil meyakinkan mereka bahwa isu PHK sama sekali tidak
benar. Karyawan mulai bisa diajak bekerja sama untuk membenahi bagian-
bagian organisasi yang tidak efisien. Program rightsizing menemukan
momentumnya setelah beberapa orang terpilih dijadikan agen perubahan dan
ditunjukkan bagaimana perusahaan-perusahaan lain yang jauh lebih maju
mengupayakan kemajuannya dan mempertahankan nilai-nilai yang dianutnya
serta bagaimana karyawan perusahaan membela kepentingan perusahaan
yang pada akhirnya membela kepentingan karyawan dan keluarganya.
Sederhananya, perubahan pada akhirnya menjadi bagian dari kehidupan
karyawan setelah mindset mereka berubah dan budaya baru terinternalisasi ke
dalam diri mereka dan tersistem ke dalam kehidupan perusahaan.
Ketiga contoh ini sekali lagi menunjukkan bahwa perubahan organisasi
bukan proses yang mudah untuk dilaksanakan. Demikian juga hasilnya sering
kali tidak menentu. Palmer, et al., (2006, p. 24) menyatakan ada tiga
 EKMA4565/MODUL 1 1.53

kemungkinan hasil dalam perubahan organisasi, bisa berhasil – semua atau


paling tidak sebagian besar tujuan perubahan bisa dicapai; bisa setengah
berhasil – hanya sebagian tujuan perubahan bisa dicapai; dan bisa gagal –
tujuan perubahan tidak pernah tercapai. Dengan adanya tiga kemungkinan ini
bisa dikatakan bahwa tingkat keberhasilan perubahan hanya sebesar 30%.
Selebihnya tergolong setengah berhasil atau gagal. Di samping itu, dari sisi
waktu perubahan biasanya memerlukan waktu yang relatif lama. Pengalaman
penulis menunjukkan bahwa proses perubahan membutuhkan waktu kurang
lebih 2 tahun. Bahkan kadang-kadang bisa lebih lama terutama jika
perubahannya terkait dengan perubahan budaya perusahaan. Meski demikian
perubahan organisasi bisa saja membutuhkan waktu yang lebih pendek
selama perubahannya bersifat minor. Berikut ini akan diuraikan beberapa
faktor yang menjadi penyebab kegagalan dalam perubahan organisasi

1. Perubahan berlebihan – Excessive change


Tingginya tingkat kegagalan dalam perubahan organisasi disebabkan
oleh berbagai faktor. Satu di antaranya karena perubahan dilakukan secara
berlebihan – excessive change (Stensaker, et al., 2001). Stensaker et al.
(2001) mendefinisikan perubahan berlebihan sebagai berikut:
a. Perubahan berlebihan (excessive change) terjadi manakala sebuah
organisasi melakukan berbagai macam perubahan namun perubahan-
perubahan tersebut tidak terkait satu sama lain. Justru sebaliknya
perubahan yang beraneka ragam tersebut terkadang saling bertolak
belakang.
b. Perubahan berlebihan terjadi ketika sebuah organisasi menginisiasi dan
melakukan usulan perubahan baru padahal perubahan yang sedang
berjalan belum selesai dan belum dievaluasi secara baik. Sederhananya
terjadi tumpang tindih perubahan yang berakibat pada hilangnya
kesempatan bagi organisasi dan orang-orang yang bekerja di dalamnya
untuk hidup secara normal dan menuai hasil.

Sementara itu Zajac, Kraatz & Bresser (2000) menyimpulkan bahwa


situasi yang bisa menimbulkan excessive change adalah (1) manajer
melakukan perubahan organisasi ketika lingkungan atau organisasi itu sendiri
sesungguhnya tidak membutuhkan perubahan, (2) manajer melakukan
perubahan bukan untuk mencapai tujuan yang diharapkan tetapi hanya untuk
kepentingan perubahan itu sendiri dan (3) perubahan dilakukan terhadap satu
1.54 Manajemen Perubahan 

elemen organisasi tetapi tidak dibarengi perubahan terhadap elemen lainnya


secara proporsional.
Di muka telah disebutkan bahwa kunci keberhasilan atau kegagalan
perubahan sangat tergantung pada respon manusia/karyawan dalam
menyikapi perubahan. Sebagai manusia yang selalu mengalami perubahan
mulai dari kecil, menjadi dewasa sampai akhirnya menjadi tua dan suatu saat
meninggal dunia, karyawan sesungguhnya merupakan sosok yang tidak anti
perubahan. Bagi mereka perubahan merupakan sebuah keniscayaan yang
tidak bisa dihindari. Meski demikian yang paradoks dari manusia adalah
meski sadar bahwa dirinya katakanlah sudah tua tetapi seseorang lebih suka
kalau dikatakan awet muda ketimbang awet tua. Hal ini menandakan bahwa
dalam realita perubahan kadang-kadang tidak bisa diterima khususnya dalam
perspektif psikologi manusia. Penjelasan ini sekaligus mensinyalkan bahwa
perubahan organisasi apalagi perubahan berlebihan akan selalu direspons
bukan dengan akal sehat tetapi dengan suasana emosional seolah-olah
perubahan organisasi akan mengakhiri hidupnya. Katakanlah jika perubahan
tersebut menyebabkan sekelompok karyawan harus tersingkir dari
perusahaan, bukan hanya mereka yang tersingkir yang akan mengalami sakit
psikologis tetapi juga mereka yang bertahan dan masih bekerja di perusahaan
akan mengalami perasaan yang sama. Dampak psikologis akibat perubahan
organisasi misalnya:
a. Sakit psikologis selama proses perubahan sering kali tidak tertangani
dengan baik karena para manajer yang berinisiatif melakukan perubahan
tidak mau terlibat lebih jauh dengan masalah-masalah psikologis
tersebut. Mereka cenderung menyerahkan persoalan ini kepada level
manajerial di bawahnya yang sayangnya tidak memiliki bekal cukup
untuk menangani situasi seperti ini
b. Selama masa transisi menuju organisasi baru dampak psikologis
terutama akan dialami oleh karyawan yang masih bertahan. Mereka
kehilangan kepercayaan kepada pihak manajemen, menjadi takut, curiga,
sinis dan kehilangan semangat bekerja. Loyalitas karyawan yang semula
tinggi juga mulai menurun. Semua ini lebih disebabkan karena ada
anggapan pihak manajemen melanggar kontrak psikologis yang
sebelumnya telah mereka sepakati bersama menyangkut keamanan
dalam bekerja.
c. Persoalan psikologis akan berlanjut pasca masa transisi. Pada masa ini
yang pasti beban kerja karyawan yang bertahan semakin meningkat
 EKMA4565/MODUL 1 1.55

karena beban kerja karyawan yang di PHK sekarang menjadi beban


mereka. Sayangnya pada saat beban kerja meninggi pihak manajemen
sering kali tidak memberi arahan yang jelas sehingga karyawan seolah-
olah harus berjuang sendirian untuk tetap hidup dengan segala risiko
yang harus mereka tanggung. Akibatnya terjadilah apa yang disebut
“kekeringan organisasi – organizational drift di mana nuansa politik
meningkat dan karyawan cenderung menarik diri dari organisasi serta
muncul us vs. them mentality.

Selain perubahan berlebihan, persoalan lain yang menyebabkan


perubahan organisasi mengalami kegagalan adalah: ketidaktahuan para
manajer tentang prinsip-prinsip perubahan organisasi; manajer cenderung
mencari solusi cepat dalam perubahan organisasi; pentingnya aspek
kepemimpinan dan budaya cenderung diabaikan; dan manajer abai terhadap
aspek manusia dalam mengelola perubahan.

2. Manajer tidak tahu prinsip-prinsip perubahan organisasi


Kegagalan beberapa program perubahan organisasi disebabkan karena
manajer penanggung jawab implementasi perubahan tidak atau kurang
menyadari prinsip-prinsip fundamental dan pendekatan 'best practice' yang
terkait dengan perubahan dan pengembangan organisasi. Karena
ketidaktahuan tersebut, mereka secara membabibuta meluncurkan program
perubahan yang jelas-jelas akan berujung pada kegagalan. Dalam kasus
Rekayasa Ulang Bisnis (Business Process Reengineering - BPR),
kebanyakan kasus kegagalan dapat dikaitkan dengan beberapa penyebab
dasar. Hammer, yang dianggap sebagai bapak rekayasa ulang di AS, bersama
Stanton; menunjukkan bahwa penyebab kegagalan adalah; semua orang yang
terlibat dalam upaya rekayasa ulang tidak tahu apa yang mereka lakukan;
mereka salah paham atau salah mengerti sifat dasar rekayasa ulang; teknik
mereka adalah hasil improvisasi atau acak yang tidak berdasar pengalaman
praktis' (Hammer dan Stanton, 1995). Dalam kasus Inggris, kepuasan diri dan
ketidaktahuan tetap menjadi penghambat terbesar perubahan dan perbaikan
kinerja'. Sementara penghambat terbesar dalam mengimplementasikan
perubahan adalah para manajer sendiri'.
Isu-isu keperilakuan dalam manajemen perubahan tak cukup mendapat
perhatian, padahal diperlukan pengembangan 'soft skills' bagi para manajer
agar dapat mengelola perubahan secara lebih efektif. Apapun alasan
1.56 Manajemen Perubahan 

dibalik kekurangtahuan ini, semua manajer yang efektif perlu mendidik


diri sendiri dalam masalah proses manajemen perubahan ini.
Banyak perusahaan yang memperlakukan perubahan seperti sebuah
peristiwa kebetulan atau hal rutin yang akan dapat diselesaikan dengan baik
secara otomatis, tanpa sebuah perencanaan bagus. Padahal menurut pakar
perilaku Stephen Robbins (2000), perubahan seharusnya merupakan sebuah
aktivitas terencana, disengaja dan berorientasi pada tujuan. Tujuan perubahan
menurutnya ada dua, yaitu: (1) Untuk meningkatkan kemampuan perusahaan
dalam beradaptasi terhadap perubahan yang terjadi di dalam lingkungannya,
(2) Untuk mengubah perilaku karyawan. Akibat tidak direncanakannya
perubahan dengan baik, maka tidak jarang perubahan bergulir tanpa kendali
atau berjalan tidak sesuai dengan rencana, karena mendapat perlawanan para
karyawan.

3. Mencari solusi cepat dalam perubahan


Walau manajer telah cukup mengetahui teori dan praktek pengembangan
dan perubahan organisasi, mereka kerap tergoda pada `solusi mudah' dan
perbaikan cepat'. Godaan itu mungkin terdorong oleh mendesaknya
perubahan, atau mungkin manajernya menganut prinsip atau pendekatan
manajemen yang biasa disebut KISS principle. KISS pada umumnya
diterjemahkan menjadi keep it simple, stupid atau keep it short and simple
yang berarti menekankan pentingnya hal-hal yang bersifat sederhana dan
yang penting mencapai tujuan. Jadi pada dasarnya KISS principle adalah
perilaku dan cara berpikir yang berorientasi jangka pendek – short-termism'.
Menurut Kotter (1996), pengamatan atas program perubahan organisasi
di 100 perusahaan besar, termasuk Ford, General Motors, British Airways,
Eastern Airlines dan Bristol Myers Squibb, menunjukkan bahwa 'proses
perubahan mesti melewati beberapa tahapan dan biasanya makan waktu
cukup lama; bahwa langkah jalan pintas dan melompati tahapan tertentu
hanya menciptakan ilusi kecepatan dan tidak pernah menghasilkan hasil
memuaskan', dan `kesalahan (atau penghilangan) penting pada satu tahapan
tertentu dapat berdampak telak, yaitu memperlambat momentum dan
mementahkan capaian yang sudah susah payah dicapai'.

4. Aspek kepemimpinan dan budaya dalam perubahan


Banyak manajer tak cukup memberi perhatian pada aspek
`kepemimpinan' dan `budaya' dalam perubahan. Dari penelitian atas program
 EKMA4565/MODUL 1 1.57

rekayasa-ulang organisasi, Hammer dan Stanton (1995) mengamati


“……berjalan tanpa kepemimpinan eksekutif yang kuat” dan
“…….penerapan gaya yang salah dalam implementasi' sebagai dua dari
sepuluh kesalahan utama manajer penanggung jawab dalam memfasilitasi
perubahan. Kesalahan kedua banyak terkait dengan gaya kepemimpinan,
yang merupakan salah satu aspek budaya manajemen.
Warrick (1995) menyatakan bahwa `ketika pemimpin organisasi gagal
memimpin, upaya perbaikan organisasi tidak akan tercapai atau, sebagaimana
kerap terjadi, justru akan memperburuk situasi dan menambah kekacauan
pada situasi yang memang sudah kacau'. Dia meneruskan pendapatnya bahwa
alasan mengapa kepemimpinan sangat penting dalam persaingan yang makin
sengit dan lingkungan perusahaan yang cepat berubah adalah karena
pemimpin adalah satu-satunya faktor tunggal terpenting dalam menentukan
sukses dan efektifnya organisasi. Merekalah pembentuk utama budaya
organisasi dan mereka juga dapat memajukan atau menghancurkan
perusahaan melalui cara mereka mengelola organisasi.
Manajer berpotensi menciptakan atau justru menghancurkan
kepercayaan (trust) yang menjadi syarat utama bagi terjadinya perubahan dan
mempercepat proses perubahan. Bila mereka pemimpin yang bagus, mereka
mestinya mampu menciptakan fokus, arah dan kontinyuitas yang diperlukan
agar tetap terkendali selama masa pertumbuhan dan perubahan cepat, dan di
sisi lain juga mampu menumbuhkan momentum dan harapan dalam masa-
masa sulit.
Menurut Boonstra dan Vink (1996), gaya otokratis dan kualitas
kepemimpinan merupakan hambatan utama bagi perubahan. Dampaknya
adalah rendahnya keterlibatan karyawan dan komitmen manajemen senior
agar mau menyumbangkan pengalaman mereka pada proses perubahan, serta
rendahnya keterbukaan manajemen tentang sasaran dan metodologi yang
akan dipakai. Selanjutnya, hambatan-hambatan lain yang amat potensial
menghambat kemampuan orang berubah adalah norma dan nilai-nilai,
konfigurasi kekuatan yang ada, dan kerja sama antar fungsi yang lemah.
Dalam upayanya menjawab pertanyaan mengapa dan bagaimana upaya
transformasi gagal, Kotter (1996) memaparkan delapan kesalahan manajer
dalam memimpin perubahan, sebagai berikut:
a. Tidak mampu menandaskan a sense of urgency.
b. Tidak mampu menciptakan koalisi pemandu yang kuat (powerful
guiding coalition) yang terdiri dari orang-orang kunci yang mampu
1.58 Manajemen Perubahan 

bekerja sama dalam tim (sebagai agen perubahan) dan memimpin upaya
perubahan.
c. Tidak memiliki visi untuk mengarahkan upaya perubahan dan gagal
mengembangkan strategi yang diperlukan dalam mencapainya.
d. Kurang berhasil mengkomunikasikan visi baru dan tak mampu memberi
teladan dalam menunjukkan perilaku baru yang dibutuhkan bagi
perubahan.
e. Tidak mampu mengatasi hambatan bagi terwujudnya visi baru (terutama
disebabkan oleh yang disebut penulis lain sebagai cultural lag).
f. Kurang sistematis merencanakan dan menciptakan beberapa
kemenangan jangka pendek sebagai tanda tercapainya perbaikan kinerja,
atau kurang memberi pengakuan dan penghargaan bagi karyawan yang
terlibat. Mengumumkan kemenangan terlalu cepat, yang bisa berdampak
matinya momentum, berhentinya proses perubahan dan kembalinya
tradisi lama.
g. Tidak mampu menancapkan perubahan pada budaya perusahaan.

Menurut dia, salah satu langkah awal pemimpin adalah membentuk


koalisi yang cukup kuat di antara orang-orang yang mempunyai wewenang
dan kemampuan untuk mendorong perubahan. Upaya perubahan yang
dilakukan tanpa dukungan koalisi yang cukup mungkin akan mengalami
kemajuan untuk sementara waktu. Namun cepat atau lambat, akan muncul
perlawanan-perlawanan yang dapat merusak inisiatif perubahan yang sudah
dilakukan.
Jelas kesemua kesalahan di atas kalau kita cermati lebih menyangkut
aspek-aspek `kepemimpinan' dan"budaya' pada proses manajemen
perubahan. Kesimpulannya, menurut Worral dan Cooper (1998): 'tercapainya
perubahan secara nyata membutuhkan komitmen berkelanjutan dari
manajemen puncak yang harus konsisten dan ditampakkan secara jelas
sepanjang proses perubahan'. Agar supaya program pengembangan dan
perubahan organisasi tercapai, jelasla h bahwa isu-isu `budaya' dan
`kualitas kepemimpinan' mesti mendapat perhatian secara memadai.

5. Aspek manusia dalam perubahan


Dalam bukunya The Human Side of Change (1996), Timothy J.
Galpin menyatakan bahwa selama proses penggabungan perusahaan,
penyusutan ukuran perusahaan, maupun restrukturisasi yang dilakukan
 EKMA4565/MODUL 1 1.59

perusahaan, kebanyakan para pemimpin lebih memusatkan perhatiannya


pada aspek-aspek teknis, finansial dan operasional, ketimbang aspek manusia.
Akibatnya upaya perubahan yang dicanangkan mengalami kegagalan. Hal ini
tampak dalam bentuk terjadinya masalah perburuhan, keluarnya tokoh-tokoh
kunci dan orang-orang berbakat dari perusahaan, dan sangat sedikit
manfaat atau justru tidak diperoleh manfaat apa-apa dari perubahan
yang dilakukan.
Kerap terjadi, manajemen puncak yang punya inisiatif melakukan
program perubahan maupun koalisi manajer, instruktur dan konsultan hanya
memberikan perhatian kecil pada hal-hal yang bersifat `manusiawi' (people
issues). Hammer dan Stanton menyatakan bahwa kurangnya perhatian
pada kepentingan orang-orang yang terlibat perubahan adalah salah satu
dari 10 kesalahan terbesar da1am rekayasa-ulang'
Mempelajari hasil riset beberapa peneliti sebelumnya, Hussey (1996)
mengidentifikasi sejumlah permasalahan yang terkait dengan manajemen
perubahan, yang dia sebut sebagai `perlakuan tak semestinya terhadap unsur-
unsur S.D.M. dalam manajemen strategis, yang umumnya berujung pada
kegagalan implementasi strategi'.
Menurut Skilling (1996), aspek manusia adalah dimensi yang paling
sering disalahpahami dan diabaikan dalam upaya perubahan. Mengelola
aspek manusia secara efektif berarti memberi perhatian pada proses
psikologis yang dijalani orang-orang yang terlibat perubahan, baik itu
terencana ataupun tidak. Menurutnya, `bukan perubahan itu sendiri yang
menciptakan masalah namun justru proses transisilah yang menimbulkan
kebingungan dan membuat hidup mereka terganggu. Perubahan terjadi ketika
sesuatu (yang baru) dimulai atau sesuatu (yang lama) berhenti dan hal itu
terjadi pada titik waktu tertentu. Transisi merupakan proses psikologis
bertahap di mana orang-orang berupaya mengorientasikan diri sehingga
mereka mampu berfungsi dan bertindak sesuai yang diharapkan dalam situasi
perubahan'.
Dia mengingatkan bahwa transisi merupakan proses psikologis
tiga-tahap. Pertama, orang-orang harus dipersiapkan agar melepas cara-cara
lama dan ingatan terhadapnya di masa lalu (ending) sambil tetap
mempertahankan beberapa aspek yang memang dirasa perlu, kedua
melakukan investasi ulang pada cara kerja baru (in-between time), dan ketiga
menjadi komit sepenuhnya pada arah dan organisasi 'baru' (new beginning).
Karena itu, sangat penting dipahami perbedaan antara perubahan dengan
1.60 Manajemen Perubahan 

transisi serta kita perlu menaruh perhatian yang memadai pada sisi
manusiawi dalam proses perubahan.

LAT IH A N

Untuk memperdalam pemahaman Anda mengenai materi di atas,


kerjakanlah latihan berikut!

1) Sebut dan jelaskan faktor-faktor pemicu terjadi perubahan dalam


organisasi?
2) Apa penyebab terjadinya kegagalan dalam proses perubahan?
3) Faktor apa yang membuat suatu perusahaan berhasil dalam melakukan
perubahan?

Petunjuk Jawaban Latihan

1) Faktor-faktor pemicu terjadinya perubahan dalam organisasi, dapat


Anda simak dan pahami pada halaman 35 sampai dengan halaman 45.
Pada intinya ada beberapa faktor pemicu terjadi perubahan organisasi, di
antara disebabkan oleh tekanan baik yang datangnya dari dalam
lingkungan organisasi maupun dari luar lingkungan organisasi.
2) Banyak faktor yang menjadi kendala dalam proses perubahan organisasi,
di antaranya adalah perubahan berlebihan (Excessive change), Manajer
tidak tahu prinsip-prinsip perubahan organisasi.
3) Untuk mendapatkan jawaban ini, Anda dapat menyimak dan
mempelajarinya pada materi yang memaparkan tentang pengalaman-
pengalaman organisasi besar dunia dalam melakukan proses perubahan.

R A NG KU M AN

Perubahan organisasi memiliki dua sisi, yaitu perubahan organisasi


yang berhasil dan perubahan organisasi yang gagal. Contoh kasus
perubahan organisasi yang berhasil diwakili oleh perusahaan McDonald,
IBM dan British Airways. Uraian tersebut menggambarkan tentang
faktor-faktor yang menyebabkan keberhasilan perusahaan tersebut dalam
melakukan perubahan pada organisasinya. Sedangkan organisasi yang
gagal dalam melakukan perubahan dicontohkan oleh perusahaan
 EKMA4565/MODUL 1 1.61

penerbangan Merpati Nusantara Airline (MNA), Perguruan Tinggi


Swasta di Yogya dan Perusahaan pengeboran. Beberapa faktor yang
menjadi penyebab kegagalan dalam perubahan organisasi seperti:
Perubahan berlebihan – Excessive change, Manajer yang tidak tahu
prinsip-prinsip perubahan organisasi, mencari solusi cepat dalam
melakukan perubahan, aspek kepemimpinan dan budaya dalam
perubahan serta aspek manusia dalam perubahan.

TES F OR M AT IF 2

Pilihlah satu jawaban yang paling tepat!

1) Respon tekanan yang berasal dari lingkungan eksternal sebagai


pendekatan dalam perubahan digunakan oleh perusahaan ....
A. Merpati Nusantara Airways
B. British Airways
C. IBM
D. McDonald

2) Pendekatan yang digunakan oleh British Airways untuk melakukan


perubahan pada organisasi adalah dengan menekankan pada perubahan
pada segi ....
A. budaya perusahaan
B. respon terhadap tekanan dari eksternal
C. respon yang datang dari desakan internal
D. transformasional yang berasal dari atas
E. komunikasi perusahaan

3) Perubahan inovatif tidak harus datang dari pimpinan puncak perusahaan,


inovasi bisa saja datang dari level bawah organisasi. Hal inilah yang
dijadikan pendekatan perubahan oleh perusahaan ....
A. Merpati Nusantara Airways
B. British Airways
C. IBM
D. McDonald

4) Situasi yang dapat menimbulkan excessive change di mana ....


A. manajer yang sangat tahu tentang prinsip-prinsip perubahan
B. perubahan dilakukan terhadap semua elemen organisasi
1.62 Manajemen Perubahan 

C. perubahan bukan untuk mencapai tujuan yang diharapkan tetapi


hanya untuk kepentingan perubahan itu sendiri
D. perubahan yang saling berkaitan satu dengan lainnya

5) Tingginya tingkat kegagalan dalam perubahan organisasi disebabkan


oleh berbagai faktor, salah satunya disebabkan oleh ....
A. Perubahan yang berkelanjutan
B. manajer yang tidak tahu prinsip-prinsip perubahan organisasi
C. perubahan yang dilakukan secara perlahan-lahan
D. kepemimpinan yang masih bersifat tradisional

Cocokkanlah jawaban Anda dengan Kunci Jawaban Tes Formatif 2 yang


terdapat di bagian akhir modul ini. Hitunglah jawaban yang benar.
Kemudian, gunakan rumus berikut untuk mengetahui tingkat penguasaan
Anda terhadap materi Kegiatan Belajar 2.

Jumlah Jawaban yang Benar


Tingkat penguasaan =  100%
Jumlah Soal

Arti tingkat penguasaan: 90 - 100% = baik sekali


80 - 89% = baik
70 - 79% = cukup
< 70% = kurang

Apabila mencapai tingkat penguasaan 80% atau lebih, Anda dapat


meneruskan dengan modul selanjutnya. Bagus! Jika masih di bawah 80%,
Anda harus mengulangi materi Kegiatan Belajar 2, terutama bagian yang
belum dikuasai.
 EKMA4565/MODUL 1 1.63

Kunci Jawaban Tes Formatif

Tes Formatif 1 Tes Formatif 2


1) C. 1) D.
2) A. 2) A.
3) A. 3) C.
4) B. 4) C.
5) D. 5) B.
1.64 Manajemen Perubahan 

Daftar Pustaka

Baloch, Q.B. & Kareem, N. (2007). The Third Wave (Book Review). Journal
of Managerial Sciences. vol. 1, number 2, pp. 115 – 143

Boonstra, J.J. & Vink, M.J. (1996). Technological and Organizational


Innovation: A Dilemma of Fundamental Change and participation,
European Journal of Work & Organizational Psychology, Vol. 5, issue
3, pp. 351-375

Blumenthal, B. & Hapeslagh, P. (1994). Towards a Definition of Corporate


Transformation, Sloan Management Review, 35, 3, pp. 101 – 106

Burris, A.B. (2008). A Qualitative and Quantitative Assessment of Readiness


for Organizational Change Literature, Unpublished Master Thesis,
Airforce Institute of Technology, Air University.

Farouk. (2005). Ngelmu Kahanan dan Fatalisme Jawa: Soal Kepribadian


Jawa, Perubahan dan Strategi Pendidikan.

Galpin, T.J. (1996). The Human Side of Change. San Francisco, CA: Jossey-
Bass.

Gerstner, L.V. (2002). Who Says Elephants Can’t Dance? New York, NY:
Harper Business.

Hamel, G. (2000). Waking up IBM: How a Gang of Unlikely Rebels


Transformed Big Blue, Harvard Business Review, July/August, pp.
137 – 146

Holbeche, L. (2006). Understanding Change. Burlington, MA: Butterworth-


Heinemann.

Hussey, D.E. (1996). How to Manage Organisational Change. Kogan Page


India Private Limited.
 EKMA4565/MODUL 1 1.65

Huy, Q.N & Mintzberg, H. (2003). The Rythm of Change, MIT Sloan
Management Review, pp. 79 – 84.

Jaffe, D. (2001). Organization theory: Tension and change. McGraw-Hill


International Edition.

Jick, T.D. & Peiperl, M.A. (2003). Managing Change: Cases and Concept,
2nd edition, McGraw Hill-Irwin.

Jones, G.R. (2001). Organization theory: Text and cases, third edition,
Prentice Hall International Inc.

Kotter, J.P. (1996). Leading Change, Boston, MA: Harvard Business School
Press.

Lenski, G. & Lenski, J. (1987). Human Society: An Introduction to


Macrosociology, 5th edition, New York, NY: McGraw-Hill Book
Company.

Hammer, M., and Stanton, S. (1995). “The Reengineering Revolution”, New


York: NY, Harper Collins.

Mcune, J.C. (1991). Who are Those People in Blue Suits? Managament
Review, September, pp. 16 – 19.

McLane, J. (2004/2005). Responding to change ensures survival, British


Journal of Administrative Management, p. 16.

Miller, D. (2002). Successful Change Leaders: What Makes Them? What Do


They Do That is Different? Journal of Change Management Vol. 2, 4,
359–368.

Minton, E. (1999), Profile: Jong-Yong Yun – a philosophy of change,


Industrial Management, 41/4, pp. 10-17.

Morgan, G. (1997) Images of Organization, Thousand Oaks, Cal.: Sage


Publications, Inc.
1.66 Manajemen Perubahan 

Müller-Merbach, H. (2006), Heraclitus: Philosophy of Change, a Challenge


for Knowledge Management? Knowledge Management Research &
Practices, 4, pp. 171-172.

Palmer, I. & Dunford, R. (2002). Who Say Change Can be Managed?


Position, Perspective and Problematics, Strategic Change, 11, 3, pp. 243
-251.

Palmer, I., Dunford, R. & Gib. A., (2006), Managing organization change,
Boston, McGraw Hill International Edition.

Peters, T. & Waterman, Jr., R. (1982), In Search of Execellence, New York:


Harper Raw.

Reger, R.K., Mullane, J.V., Gustafson, L.T. and DeMarie, S.M. (1995)
Creating Earthquakes to Change Organizational Mindsets. Academy of
Management Executive, 8, 4, pp. 31 -43.

Robbins, S.P. (2000). Essential of Organizational Behavior, Prentice Hall.

Schermerhorn, Jr. J. R. (2010), Management, 5th edition, New York: John


Wiley and Sons, Inc.

Skilling, D. (1996). "Beyond the Quick Fix: How to Manage More


Effectively in the Heart of Change.” Industrial and Commercial
Training, Volume: 28 Number: 4 Page: 3 – 7.

Stensaker, I., Meyer, C., Flakenberg, J. & Haueng, A. (2001) Excessive


Change: Unintended Consequences of Strategic Change, Academy of
Management Proceedings, G1-G6.

Stuhler, E.A. (1994), Philosophy of change and progress, Sistems Research,


vol.11, no 1, pp. 33-34.

Sturdy, A. & Grey, C. (2003), Beneath and Beyond Organizational Change


Management: Exploring Alternative, Organization, vol. 10 (4), pp. 651 –
662.
 EKMA4565/MODUL 1 1.67

Toffler, A. (1970). Future Shock, New York, NY: Random House.

Toffler, A. (1980). The Third Wave, London, Pan Book Ltd.

Toffler, A. (1991). The Power Shift, Bantam Books.

Wang, Y. (2000). Philospohy of Change and the Deconstruction of Self in the


Zhuangzi, Journal of Chinese Philosophy, 27:3, pp. 345 – 360.

Warrick, D.D. (1995). Best Practices Occur When Leaders Lead, Champion
Change, and Adopt Sound Change Process, Organization Development
Journal, 13 (4), 98.

Worrall L. & Cooper, C. L. (1998). The Quality of Working Life: 1998


Survey of Managers' Changing Experiences, Institute of Management
Research Report, London.

Wren, D.A. (1994). The Evolution of Management Thought, 4th edition, New
York, NY: John Wiley & Sons, Inc.

Zajac, E.J., Kraatz, M.S. & Bresser, R.K.F. (2000). Modeling the Dynamic of
Strategic Fit: A Normative Approach to Strategic Change, Strategic
Management Journal, 21 (4), pp. 429-454.
Modul 2

Faktor Pendorong dan Tipologi


Perubahan Organisasi
Drs. Achmad Sobirin, MBA., Ph.D.
PEN D A HU L UA N

D ewasa ini tantangan paling berat yang dihadapi manajer sebuah


perusahaan adalah perubahan lingkungan bisnis yang begitu cepat.
Tidak seperti tahun 1960-an dan 1970-an di mana lingkungan bisnis
cenderung sangat stabil tanpa gejolak yang berarti, persaingan antar bisnis
relatif rendah, dan perusahaan bisa dengan mudah membuat prediksi masa
depannya, dewasa ini lingkungan bisnis sangat bertolakbelakang dengan
kondisi saat itu. Lingkungan bisnis saat ini terus mengalami perubahan dan
perubahannya serba tidak menentu dan turbulen. Bukan hanya itu, sifat
perubahannya sering kali tidak bisa diprediksi lebih awal, sulit dilacak
kemana arah perubahan tersebut akan bermuara, dan bahkan perubahannya
cenderung keostik. Perubahan lingkungan yang begitu dramatik tersebut
salah satunya dipicu oleh kemajuan teknologi informasi yang mendominasi
dunia saat ini. Teknologi informasi sering disebut sebagai biang yang
memutarbalikkan lingkungan bisnis saat ini.
Di tengah-tengah perubahan lingkungan yang tidak menentu tersebut, di
satu sisi, tidak henti-hentinya para manajer dihimbau untuk terus melakukan
perubahan jika menginginkan organisasi yang dikelolanya bisa bertahan
hidup dan terus berkembang. Jika himbauan ini diabaikan, boleh jadi
ancamannya adalah organisasi tersebut tidak berumur panjang. Slogan
change or die seolah-olah menjadi dogma yang harus benar-benar ditaati para
manajer dan oleh karenanya organisasi harus terus berubah berpacu dengan
kecepatan perubahan lingkungan. Markus et al. (1997) misalnya
menyebutkan lebih dari 84% perusahaan Amerika terlibat dalam perubahan
organisasi. Tentunya bukan hanya perusahaan-perusahaan Amerika yang
terlibat dalam perubahan organisasi seperti disebutkan Markus, praktik yang
sama juga diyakini terjadi di seluruh dunia. Boleh jadi keterlibatan ini karena
para manajer menganggap bahwa perubahan organisasi menjadi sebuah
keharusan (Beer & Nohria, 2000).
2.2 Manajemen Perubahan 

Di sisi lain, ketika antusiasme para manajer dalam melakukan perubahan


begitu tinggi, mereka juga selalu diingatkan agar berhati-hati terhadap risiko
terburuk yang mungkin harus ditanggung ketika melakukan perubahan.
Lingkungan yang keostik menyebabkan kita sulit memprediksi hasil
perubahan organisasi. Perubahan yang semula dianggap berhasil bisa saja
tiba-tiba berbalik arah. Sebagai contoh, pada tahun 1980-an masyarakat
masih berebut untuk mendapatkan sambungan telepon rumah (fixed line)
karena PT. Telkom sebagai penyedia jasa telepon memiliki jumlah jaringan
yang masih sangat terbatas dibandingkan permintaan masyarakat.
PT. Telkom berhasil mengatasi persoalan tersebut dengan cara bekerja sama
dengan masyarakat/pelaku bisnis yakni dengan mendirikan Wartel.
Kebijakan ini memungkinkan masyarakat yang belum memiliki fixed line
bisa memanfaatkan Wartel tersebut untuk berkomunikasi dan sekaligus bisa
mengatasi keterbatasan jaringan telepon yang dimiliki PT. Telkom. Namun
sejak tahun 1990-an bersamaan dengan mulai maraknya penggunaan telepon
seluler, Wartel pun mulai sepi pengunjung. Masyarakat pengguna jasa
telepon mulai beralih ke telepon genggam yang lebih fleksibel. Demikian
juga pelanggan telepon rumah yang semula sering mendapat teguran dari
PT. Telkom karena dianggap tidak memanfaatkan telepon rumah secara
optimal (biasa disebut sebagai telepon tidur) sekarang tidak lagi demikian.
Sekarang telepon rumah seolah-olah hanya sebagai telepon alternatif, dari
telepon genggam, yang akan digunakan kalau terpaksa.
Gambaran di atas menunjukkan bahwa perubahan-perubahan yang
dilakukan PT. Telkom memiliki risiko yang tidak kecil. Investasi PT. Telkom
yang begitu besar untuk memfasilitasi masyarakat memiliki telepon rumah
seolah-olah menjadi sia-sia karena masyarakat pada akhirnya lebih memilih
berkomunikasi lewat SMS. Meski PT. Telkom masih bisa mengatasi risiko
ini dengan terus melakukan perubahan yakni mengubah fungsi telepon rumah
sebagai media internet banyak perusahaan lain yang tidak seberhasil
PT. Telkom. Risiko terburuk, tentunya bukan hanya organisasi gagal
memperbaiki kinerja tetapi sangat mungkin manajernya juga ikut terkena
dampak perubahan. Banyak kasus menunjukkan bahwa para manajer harus
meninggalkan organisasi yang dipimpinnya karena dianggap gagal dalam
perubahan. Contoh ini tentunya bukan peringatan yang mengada-ada dan
juga bukan sekedar untuk menakut-nakuti para manajer karena seperti
dikatakan Ghosal & Barlett (2000) setiap satu perusahaan yang berhasil
melakukan transformasi, paling tidak ada satu perusahaan lain yang gagal
 EKMA4565/MODUL 2 2.3

melakukannya. Apa yang diduga Ghosal & Barlett bukan sesuatu yang
berlebihan, bahkan bisa dikatakan Ghosal & Barlett terlalu optimistik karena
data lain menunjukkan tingkat kegagalan perubahan jauh lebih tinggi dari
perkiraan tersebut (lihat misalnya Reger, et al., 1994).
Yang menjadi paradoks adalah ketika fakta menunjukkan bahwa tingkat
kegagalan perubahan begitu tinggi para manajer tidak serta merta lantas
menghentikan upayanya untuk melakukan perubahan organisasi. Sebaliknya
upaya para manajer melakukan perubahan seolah-olah tidak terganggu oleh
fakta di atas. Perubahan demi perubahan terus dilakukan para manajer tanpa
memperdulikan risiko yang bakal ditimbulkannya. Ketika satu perubahan
dianggap gagal, para manajer akan mencoba perubahan lainnya sampai betul-
betul berhasil atau sebaliknya gagal total.
Bagi para manajer, boleh jadi perubahan organisasi bukan sekedar
bertujuan untuk memperbaiki kinerja organisasi tetapi lebih merupakan
sebuah tantangan tersendiri untuk menunjukkan kemampuan dirinya sebagai
seorang manajer. Lou Gertsner misalnya, seorang CEO yang sama sekali
tidak memiliki latar belakang teknologi informasi berani mengambil risiko
ketika ditawari untuk memimpin IBM – perusahaan yang basisnya adalah
teknologi yang ketika itu sedang kolaps dan membutuhkan perubahan
mendasar. Bagi Lou Gertsner memimpin IBM boleh jadi merupakan
tantangan yang harus dihadapinya sebagai seorang CEO. Contoh yang sama
juga dialami oleh Tanri Abeng yang berhasil mengangkat PT Bir Bintang
menjadi perusahaan sukses kemudian ditawari Abu Rizal Bakrie untuk
mengelola Bakrie Group yang juga memerlukan perubahan mendasar. Bagi
Tanri Abeng, gaji tentu bukan alasan mengapa dia menerima tawaran Abu
Rizal. Aktualisasi diri sebagai seorang CEO Indonesia tersukses sangat
mungkin sebagai alasan utamanya bahwa dirinya bukan hanya sukses di Bir
Bintang tetapi juga bisa menangani bisnis perusahaan keluarga yang sedang
bermasalah.
Dari uraian-uraian di atas, pertanyaannya adalah ketika perubahan
organisasi membawa konsekuensi kegagalan yang tidak kecil mengapa para
manajer terus melakukannya? Faktor-faktor apa saja yang mendorong para
manajer terus melakukan perubahan organisasi? Jawaban dari pertanyaan ini
bisa ditemui pada Modul 2 khususnya pada Kegiatan Belajar 1 yang akan
menguraikan secara detail alasan mengapa organisasi melakukan perubahan
dan faktor-faktor pendorongnya.
2.4 Manajemen Perubahan 

Sementara itu Kegiatan Belajar 2 akan menguraikan tipologi atau jenis-


jenis perubahan yang biasa dilakukan para manajer. Setelah kita mengetahui
alasan dan faktor pendorong yang menyebabkan organisasi berubah,
selanjutnya perlu diketahui pula tipologi atau jenis-jenis perubahan
organisasi. Pengetahuan ini menjadi penting karena para manajer yang
menyadari akan risiko yang dihadapinya tentu tidak ingin gagal dalam
melakukan perubahan. Oleh karena itu dengan memahami tipologi perubahan
para manajer bisa menerapkan pola perubahan yang berbeda untuk
permasalahan berbeda yang dihadapi organisasi.
 EKMA4565/MODUL 2 2.5

Kegiatan Belajar 1

Faktor Pendorong Perubahan Organisasi


A. TARIK ULUR ANTARA STABILITAS DAN PERUBAHAN
ORGANISASI

Seperti telah dijelaskan pada modul satu, organisasi pada dasarnya


adalah alat untuk mencapai tujuan khususnya tujuan para pendiri (pemilik
organisasi) dan secara umum tujuan semua orang yang terlibat di dalam
organisasi. Untuk mencapai tujuan tersebut tidak jarang para manajer
diharuskan melakukan berbagai macam tindakan dan membuat keputusan
yang dilematis. Dua kondisi paradoksal yang dihadapi para manajer adalah
menjaga agar organisasi dalam keadaan stabil atau melakukan perubahan
terus menerus karena tuntutan lingkungan (Leana & Barry, 2000). Di satu
sisi, pandangan klasik mengatakan bahwa stabilitas organisasi menjadi
penting karena organisasi bisa berkinerja dengan baik jika dan hanya jika
didukung oleh keadaan organisasi yang stabil. Stabilitas organisasi
memungkinkan karyawan yang bekerja di dalamnya merasa nyaman dalam
bekerja, tidak ambigu dan yang lebih penting lagi tidak mengalami stres
karena harus memikirkan cara-cara baru dalam bekerja (lihat misalnya
Becker, et al., 2005; Feldman, 2000, 2003; Feldman & Pentland, 2003). Bagi
para manajer sendiri stabilitas organisasi memungkinkan dirinya bisa
melakukan koordinasi dengan mudah, memberi arahan yang jelas kepada
karyawan dan tanpa kesulitan melakukan pengawasan terhadap karyawan.
Ujung-ujungnya semua kegiatan berjalan lancar dan sumber daya bisa
dimanfaatkan secara efisien.
Di sisi lain, dalam bahasa sistem, organisasi adalah sebuah subsistem
dari sistem yang lebih besar. Sistem ini disebut lingkungan organisasi. Yang
dimaksud dengan lingkungan organisasi adalah segala sesuatu yang berada di
luar organisasi dan dalam batas-batas tertentu tidak bisa dikendalikan oleh
manajer organisasi namun bisa mempengaruhi eksistensi organisasi.
Termasuk dalam lingkungan organisasi misalnya budaya masyarakat, kondisi
ekonomi, politik,dan hukum, serta perkembangan teknologi. Sebagai sebuah
subsistem, tentunya organisasi tidak bisa melepaskan diri dari dinamika
sistem lingkungan. Artinya organisasi selalu berinteraksi dengan lingkungan.
Oleh karenanya manakala lingkungan berubah sudah barang tentu organisasi
2.6 Manajemen Perubahan 

juga harus menyesuaikan diri dengan melakukan perubahan. Sebagai bagian


dari sistem, perubahan organisasi bukan merupakan tujuan organisasi
melainkan merupakan upaya para manajer agar organisasi yang dikelolanya
bisa beradaptasi dengan lingkungan sehingga bisa bertahan hidup dan terus
berkembang. Bagi organisasi, lingkungan merupakan faktor penting
mengingat sumber daya yang dibutuhkan organisasi hanya lingkungan yang
menyediakannya. Demikian juga untuk menjual barang dan jasa yang
dihasilkannya hanya lingkungan yang bisa menampung. Jadi, seperti halnya
menjaga stabilitas organisasi, perubahan organisasi juga penting. Keduanya
dimaksudkan agar kinerja organisasi terus meningkat. Seperti dikatakan
Leana & Barry (2000) menjaga stabilitas organisasi dan sekaligus membuat
organisasi lebih fleksibel dalam menghadapi perubahan merupakan dua hal
yang secara simultan akan dialami oleh sebuah organisasi.
Dilema yang dihadapi para manajer seperti disebutkan di atas, tidak
jarang berujung pada tuntutan agar para manajer membuat keputusan dan
melakukan berbagai macam tindakan yang kadang-kadang terkesan bersifat
paradoks karena mereka harus melakukan dua hal berlawanan pada saat yang
hampir bersamaan. Palmer et al. (2006 : 50) misalnya mengatakan bahwa
manajer diharuskan untuk:
1. Menstabilkan kondisi organisasi yang tidak stabil dan pada saat
bersamaan membuat organisasi lebih dinamis ketika semuanya serba
kaku (rigid). Seperti telah disebutkan sebelumnya, stabilitas dan
dinamika organisasi adalah dua hal yang saling berlawanan. Di satu sisi
organisasi dituntut selalu dalam keadaan stabil agar orang-orang yang
bekerja di dalamnya merasa nyaman dan tidak mengalami gangguan
berarti dalam bekerja. Yang barangkali harus diperhatikan adalah
stabilitas yang berlebihan akan mengarah pada rigiditas organisasi.
Situasi seperti ini menyebabkan organisasi tidak lagi fleksibel dalam
menghadapi perubahan lingkungan bahkan cenderung menolaknya.
Kalau situasi seperti ini tidak segera diatasi sangat boleh jadi organisasi
menjadi statis dan ujung-ujungnya tidak lagi bisa beradaptasi dengan
lingkungan. Oleh karenanya perubahan organisasi menjadi sebuah
keharusan agar organisasi menjadi semakin dinamis dan fleksibel ketika
menghadapi lingkungan yang serba berubah.
2. Beradaptasi terhadap lingkungan sedang berjalan dan tidak lupa
mengantisipasi perkembangan masa akan datang. Organisasi sering
dimetaforakan sebagai makhluk hidup yang memiliki kemampuan untuk
 EKMA4565/MODUL 2 2.7

beradaptasi dengan lingkungan. Metafora ini sejalan dengan Teori


Kontingensi yang menegaskan bahwa organisasi bisa bertahan hidup dan
terus berkembang jika selaras dengan kondisi lingkungan yang
melingkupinya. Beradaptasi dengan lingkungan berarti organisasi
mampu menyesuaikan dirinya dengan perkembangan lingkungan yang
ada. Manakala lingkungan organisasi berubah maka organisasi juga
harus melakukan perubahan. Proses seperti ini akan berjalan terus. Meski
proses penyesuaian diri ini merupakan suatu keharusan namun dalam
praktik biasanya bukan pekerjaan mudah. Kadang-kadang harus
menguras energi yang cukup banyak dan sayangnya hasilnya sering kali
bersifat jangka pendek. Oleh karena itu para manajer harus memikirkan
proses perubahan yang bisa bertahan dalam jangka panjang. Caranya
adalah dengan melakukan perubahan yang bertujuan untuk
mengantisipasi masa depan.
3. Memperbaiki kondisi berjalan dan menemukan hal-hal baru yang
seharusnya dimiliki organisasi. Perbaikan terhadap komponen-
komponen organisasi adalah merupakan salah satu upaya para manajer
agar arsitektur organisasi cocok dengan kebutuhan organisasi secara
keseluruhan. Namun kadang-kadang sekedar memperbaiki kondisi
organisasi yang tidak pas dirasa tidak cukup. Para manajer juga harus
menemukan hal-hal baru yang memang seharusnya dimiliki organisasi
dan belum dimiliki para pesaing. Bahasa sederhananya, organisasi harus
selalu berinovasi untuk menciptakan keunggulan bersaing. Inovasi
memungkinkan sebuah organisasi selangkah lebih maju dibandingkan
para pesaingnya. Dengan inovasi ini pula organisasi terus melakukan
pembelajaran yang hasilnya bukan sekedar memperbaiki kondisi berjalan
tetapi juga menemukan hal-hal baru yang tidak dimiliki para pesaing.
4. Menjadi pemimpin dalam pembaharuan tanpa harus merusak tradisi atau
kebiasaan yang ada. Organisasi dituntut untuk selalu menjadi pembaharu
sebab dengan pembaharuan organisasi tersebut bisa menjadi trend setter.
Artinya, sebagai pembaharu organisasi akan selalu tampil di depan dan
menjadi panutan bagi organisasi-organisasi lainnya. Sayangnya
pembaharuan organisasi sering kali diikuti oleh rusaknya tradisi,
kebiasaan atau budaya yang ada yang telah dibangun bertahun-tahun
dengan susah payah. Barangkali tantangan yang dihadapi para manajer
adalah bagaimana melakukan pembaharuan tanpa harus dibarengi oleh
rusaknya budaya organisasi. Meski tindakan ini sepertinya mustahil
2.8 Manajemen Perubahan 

untuk dilakukan kenyataannya banyak perusahaan bisa melakukan hal


ini. Perusahaan-perusahaan Jepang misalnya merupakan contoh nyata
yang bisa menyatukan budaya dengan pembaharuan sehingga pola
manajemen Jepang menjadi acuan bagi perusahaan-perusahaan lain
seperti perusahaan Amerika yang sejak tahun 1980-an mulai
mengintegrasikan budaya ke dalam pola manajemennya.

1. Metafora Organisasi
Tentunya agar para manajer bisa membuat keputusan dan melakukan
tindakan-tindakan yang paradoksal, dan upaya-upaya tersebut berjalan
efektif, yang pertama-tama harus dilakukan seorang manajer adalah
memahami sifat-sifat organisasi lebih baik. Salah satunya dan sering kali
dianggap sebagai cara termudah memahami sifat organisasi adalah dengan
membuat perumpamaan (metafora) tentang organisasi. Yang dimaksud
dengan metafora organisasi adalah menganalogikan organisasi dengan
benda/obyek lain seolah-olah organisasi tersebut mempunyai karakter, sifat
dan perilaku seperti benda/obyek dimaksud (Morgan, 1997). Sebagai contoh,
Keidel (1984) mengatakan bahwa jenis-jenis olahraga tertentu (dalam hal ini
Baseball, Football, and Basketball) bisa menjadi metafora untuk menjalankan
aktivitas organisasi. Keidel lebih lanjut mengatakan:

“three major professional team sports in the United States – baseball,


football and basketball – exhibit profoundly different dynamics and
exemplify three organizational patterns common in business (and other
sectors). Each represents a model – a coherent set of relationships that
captures the essence of an organizational form. By studying these
models, managers can gain new insight into their own cognitive
orientations”.

“tiga jenis olahraga yang melibatkan tim sangat populer di Amerika –


baseball, football dan basketball – menunjukkan dinamika yang berbeda
dan menggambarkan tiga pola umum organisasi bisnis (dan sektor
lainnya). Masing-masing jenis olahraga tersebut merepresentasikan
sebuah model yakni satu set hubungan yang koheren yang
menggambarkan esensi dari satu bentuk organisasi. Dengan
mempelajari model-model ini, para manajer diyakini bisa memperoleh
pemahaman untuk dirinya bagaimana menjalankan kegiatan organisasi”.

Penjelasan di atas menegaskan bahwa kegiatan olah raga seperti


Baseball, Football dan Basketball bukan sekedar olahraga tetapi bisa menjadi
 EKMA4565/MODUL 2 2.9

model atau metafora untuk menjalankan aktivitas bisnis dan kegiatan


organisasi lainnya. Alasannya karena masing-masing dari ketiga jenis olah
raga di atas mempunyai karakteristik tersendiri yang khas. Sebagai contoh,
organisasi yang tersebar di beberapa tempat di mana masing-masing unit
bersifat semi otonom (seperti pada umumnya holding company dan
organisasi yang beroperasi berdasarkan franchise), memiliki kesamaan
dengan karakteristik sebuah team baseball. Organisasi semacam ini
cenderung menerapkan pola manajemen yang longgar kepada masing-masing
unit aktivitas. Layaknya dosen perguruan tinggi, masing-masing unit
memperoleh keleluasaan untuk mencapai tujuannya dalam rangka mencapai
tujuan menyeluruh organisasi. Organisasi seperti ini biasanya memiliki satu
prinsip – the whole is roughly sum of its parts (units) – satu kesatuan
merupakan penjumlahan dari masing-masing bagian (unit) yang mandiri.
Dengan kata lain
Dalam kaitannya dengan perumpamaan organisasi tersebut, Gareth
Morgan (1997) dalam, organisasi dengan pola baseball team tentunya lebih
menekankan pentingnya peran dan kompetensi individu ketimbang kerja
sama tim sebagai kekuatan organisasi. Penjelasan yang kurang lebih sama
berlaku bagi organisasi berpola football team dan basketball team masing-
masing dengan karakteristiknya.
Dengan perumpamaan ini, sekali lagi, kita berupaya memahami sifat-
sifat organisasi meski pemahaman tersebut terbatas hanya pada sifat-sifat
tertentu (sesuai dengan sifat benda/obyek yang menjadi perumpamaannya)
dan cenderung mengabaikan sifat-sifat yang lain. Cara pandang ini
memungkinkan kita bisa lebih fokus dalam memahami, merekayasa, merubah
dan mengembangkan organisasi, dan sekaligus menyadari kelebihan-
kelebihan dan keterbatasan-keterbatasan cara pandang ini.
Bukunya yang sangat populer Images of Organization mengumpamakan
organisasi dengan 8 metafora yaitu:
a. Organisasi dipandang sebagai mesin.
b. Organisasi dipandang sebagai organisme hidup.
c. Organisasi dipandang sebagai pusat berpikir (otak).
d. Organisasi dipandang sebagai budaya.
e. Organisasi dipandang sebagai arena politik.
f. Organisasi dipandang sebagai alat pengendali psikis.
g. Organisasi dipandang sebagai tempat perubahan dan alat transformasi.
h. Organisasi dipandang sebagai alat dominasi.
2.10 Manajemen Perubahan 

2. Organisasi sebagai Mesin


Memandang organisasi sebagai mesin (sering disebut sebagai organisasi
mesin atau machine organization) berarti kita menganggap seolah-olah
organisasi mempunyai sifat atau ciri dan prilaku seperti mesin. Sebagaimana
kita ketahui, mesin adalah alat yang diciptakan untuk menghasilkan sesuatu
dan cara kerjanya mempunyai ciri-ciri sebagai berikut: (1) kegiatannya
bersifat mekanis, teratur dan ajeg; (2) masing-masing bagian bekerja secara
terpisah (fragmented) dan hanya mengerjakan satu kegiatan tertentu (single
activity) secara terus menerus; (3) karena masing-masing bagian bekerja
secara terpisah maka untuk bisa menghasilkan output perlu adanya
koordinasi dan kerja sama antar bagian (networking); dan terakhir
(4) kegiatannya bersifat hierarkis – berawal dari satu ujung dan berakhir pada
ujung yang lain.
Jika organisasi dianggap sebagai mesin maka ciri-ciri sebuah mesin
seperti tersebut di atas, juga menjadi ciri-ciri bagi sebuah organisasi.
Implikasi dari cara pandang seperti ini adalah kita menganggap semua
elemen organisasi termasuk sumber daya manusia merupakan instrumen
organisasi yang sengaja didisain untuk mencapai tujuan organisasi. Di
samping itu, semua yang terlibat di dalam organisasi baik para pekerja
maupun para manajernya, juga mempunyai pola kerja, sifat, prilaku, tindakan
dan pola pikir yang sama seperti mesin. Paling tidak mereka harus
menyesuaikan diri dengan pola kerja mesin. Pandangan bahwa manusia yang
bekerja di dalam organisasi harus mengikuti pola kerja mesin dan
mempunyai prilaku seperti mesin inilah yang disebut sebagai organisasi
mesin (mechanistic organization).

3. Organisasi sebagai Organisme


Cara pandang kedua adalah menganggap organisasi seolah-olah
layaknya makhluk hidup (organisme). Seperti layaknya makhluk hidup maka
organisasi memiliki sifat-sifat sebagai berikut: (1) organisasi bukan benda
mati tetapi benda hidup yang mengalami daur kehidupan mulai dari lahir,
tumbuh, dewasa, menua dan akhirnya mati, (2) agar bisa bertahan hidup lebih
lama, tumbuh dan terus berkembang maka organisasi harus memiliki sumber
daya yang cukup, (3) organisasi juga harus bisa beradaptasi dengan
lingkungan. Dengan cara pandang seperti ini bisa diartikan bahwa
keberlangsungan hidup sebuah organisasi sangat bergantung pada
kemampuan organisasi untuk memperoleh dan memperebutkan sumber daya
 EKMA4565/MODUL 2 2.11

yang tersedia di luar organisasi yang jumlahnya sangat terbatas. Titik tekan
organisasi dengan demikian adalah bagaimana organisasi mampu memanja,
beradaptasi dan mengatasi masalah lingkungan.

4. Organisasi sebagai Tempat Berpikir (Brain)


Cara pandang ketiga menganggap organisasi sebagai tempat berpikir
atau memiliki kemampuan untuk berpikir. Cara pandang ini menempatkan
organisasi seolah-olah layaknya sebuah otak manusia yang mampu mengolah
informasi, mampu melakukan proses pembelajaran dan mampu membuat
keputusan. Dengan demikian fokus perhatian utama pada metafora ini adalah
bagaimana sebuah organisasi mampu mengakses, menggunakan dan
memproses informasi agar organisasi tersebut mampu melakukan
pembelajaran, memberi penilaian dan mengambil keputusan. Semua
kemampuan ini menjadi penting karena diasumsikan bahwa keberhasilan
organisasi sangat bergantung pada kemampuan organisasi dalam
meningkatkan atau memperbaiki proses dalam menjalankan kegiatan
organisasi. Oleh karena itu tuntutannya adalah bagaimana organisasi
membuat struktur pengambilan keputusan yang tepat, memiliki alat
pengumpul data yang cocok, memiliki alat analisis yang cocok dan memiliki
kemampuan kolektif dalam menterjemahkan informasi.

5. Organisasi sebagai Sistem Budaya


Cara pandang keempat menganggap organisasi sebagai sistem budaya.
i
Dalam hal ini Smircich and Stubart misalnya mengatakan bahwa organisasi
adalah sekumpulan orang yang memiliki kesamaan keyakinan, tata nilai dan
asumsi di mana keyakinan, tata nilai dan asumsi tersebut akan menjadi
landasan bagi semua orang di dalam organisasi untuk menginterpretasikan
setiap tindakan baik yang mereka lakukan maupun tindakan yang dilakukan
orang lain. Berdasar definisi ini organisasi dipandang bukan sebagai struktur
yang objektif yang didesain untuk mencapai tujuan yang terukur melainkan
sebagai sekumpulan orang yang meng-construct realitas dengan saling
berbagi makna dan asumsi. Dengan metafora ini dengan demikian sebelum
sekumpulan orang melakukan tindakan mereka terlebih dahulu harus
memiliki definisi atau konstruksi realitas yang jelas yang didasarkan pada
keyakinan, tata nilai dan asumsi bersama. Demikian juga agar sebuah
organisasi bisa berfungsi dan beroperasi dengan baik para anggota organisasi
harus bisa mendefinisikan persoalan organisasi dengan jelas dan mereka juga
2.12 Manajemen Perubahan 

harus sepakat dalam upayanya untuk menyelesaikan persoalan-persoalan


tersebut.

6. Organisasi sebagai Arena Politik


Cara pandang kelima menganggap organisasi sebagai arena politik.
Dalam cara pandang ini, sebagaimana ditegaskan oleh Lee and Lawrence
(1991: 42-43), kekuasaan (power) menjadi variabel penting di dalam
organisasi. Karena dalam metafora ini politik identik dengan kekuasaan maka
memahami sifat-sifat kekuasaan dan konsekuensi yang ditimbulkannya
sangat dianjurkan ketika hendak mengatasi persoalan-persoalan organisasi.
Sebagai contoh, berkompetisi dan bekerja sama antar individu di dalam
organisasi atau berkoalisi dengan berbagai pihak dalam memperebutkan
sumber daya yang sangat terbatas menjadi hal yang biasa terjadi.
Konsekuensinya adalah kemungkinan timbulnya konflik yang disebabkan
antara lain karena masing-masing kelompok memiliki tata nilai, kepentingan
dan skala prioritas yang berbeda.

7. Organisasi sebagai Alat Pengendali Psikis


Cara pandang keenam menganggap organisasi sebagai alat pengendali
psikis. Metafora ini – alat pengendali psikis (psychic prison) menganggap
bahwa setiap orang yang terlibat dalam kehidupan organisasi layaknya orang
masuk penjara yang dibatasi kebebasannya, bukan hanya kebebasan secara
fisik tetapi juga kebebasan dalam mengemukakan pendapat dan kebebasan
jiwa masing-masing. Dibatasinya kebebasan ini karena dalam melaksanakan
tugas-tugas organisasi baik tugas yang menuntut kemampuan fisik maupun
kemampuan emosi, seseorang dituntut untuk menyesuaikan diri dengan
peraturan-peraturan dan cara-cara yang telah ditetapkan organisasi.
Akibatnya, cara pandang ini sering menghambat organisasi untuk melakukan
proses pembelajaran dan meningkatkan kinerjanya karena para anggota
organisasi cenderung berprilaku kompulsif dan sekedar menjaga disiplin dan
kepatuhan terhadap organisasi.

8. Organisasi sebagai Tempat Perubahan dan Alat Transformasi


Cara pandang ketujuh menganggap organisasi sebagai tempat untuk
melakukan perubahan dan alat transformasi. Asumsi yang melatarbelakangi
cara pandang ini adalah organisasi secara terus menerus akan selalu
mengalami perubahan. Jaffee (2001: 9) misalnya mengemukakan bahwa
 EKMA4565/MODUL 2 2.13

salah satu alasan terjadinya perubahan organisasi karena di dalam organisasi


terjadi kontradiksi atau tarik ulur antar berbagai pihak. Di samping itu,
perubahan organisasi juga terjadi karena adanya kondisi-kondisi yang serba
paradoksal katakanlah antara keharusan untuk berkonsentrasi pada
diferensiasi organisasi atau integrasi organisasi.

9. Organisasi sebagai Alat Dominasi


Cara pandang kedelapan menganggap organisasi sebagai alat untuk
mendominasi orang lain. Cara pandang ini merupakan kombinasi antara
metafora organisasi sebagai mesin dan metafora organisasi sebagai arena
politik. Dalam cara pandang ini organisasi tidak berfungsi sebagai alat untuk
mencapai tujuan orang banyak melainkan berfungsi sebagai alat untuk
mencapai tujuan individu dan kelompoknya dengan cara mengorbankan
kepentingan kelompok lain. Dalam hal ini, mereka yang bisa memiliki dan
mengendalikan organisasi mereka pula yang bisa mendominasi dan
menguasai orang lain. Oleh sebab itu, sangat tidak mengherankan jika para
buruh berupaya untuk membentuk serikat pekerja sebagai upaya untuk
menyeimbangkan kekuatan antara pihak perusahaan dengan mereka sehingga
para buruh tidak terus menerus menjadi pihak yang didominasi.

B. MENGAPA ORGANISASI BERUBAH?

Dari delapan perumpamaan yang disampaikan Morgan (1997), satu di


antaranya yakni organisasi sebagai tempat perubahan dan alat transformasi
tegas-tegas memberi penjelasan bahwa organisasi akan selalu mengalami
perubahan. Salah satu sebabnya karena di dalam kehidupan organisasi
terdapat banyak pihak yang memiliki kepentingan berbeda sehingga tarik
ulur antar pihak-pihak tersebut menyebabkan perubahan menjadi sesuatu
yang tidak terhindarkan. Selain karena tarik ulur antara pihak-pihak yang
berkepentingan, dua alasan lain juga menyertai perubahan organisasi.
Pertama alasan ekonomi – biasa disebut sebagai “theory E” (Beer & Nohria,
2000; Andriuŝčenka, 2007). Asumsi yang melatarbelakangi alasan ekonomi
adalah keberlangsungan hidup sebuah organisasi/perusahaan sangat
bergantung pada kepuasan para pemegang saham (pemilik organisasi)
terhadap kinerja organisasi. Jika merasa tidak puas, langkah terburuk yang
dilakukan para pemilik adalah memindahkan modalnya ke perusahaan lain
yang lebih menguntungkan. Apalagi dengan bantuan teknologi informasi
2.14 Manajemen Perubahan 

yang ada para investor bisa dengan mudah memindahkan dananya dari satu
pasar modal ke pasar modal yang lain yang lebih memberikan keuntungan
finansial bagi dirinya. Namun jika para pemilik tidak menghendaki langkah
tersebut tetapi menginginkan agar perusahaannya tetap eksis dan terus
berkembang, mereka bisa menggunakan pengaruhnya untuk mengganti para
manajer yang berkinerja buruk. Hal ini bisa diartikan bahwa perubahan, bagi
para manajer, merupakan alat untuk menghindari pemecatan dirinya dan
sekaligus menjadi motivasi untuk meningkatkan kinerja perusahaan agar
sejalan dengan kepentingan para pemilik.
Berdasarkan alasan ekonomi bisa dikatakan bahwa para pemilik
organisasi merupakan tokoh sentral dan motor penggerak utama perubahan
karena sesuai dengan kedudukan dan kepentingannya, mereka bisa
mempengaruhi dan mempunyai legitimasi untuk memerintahkan para
manajer khususnya manajer puncak untuk melakukan perubahan. Di sisi lain
manajer puncak sesuai dengan mandat yang diberikan para pemilik
kepadanya bertanggung jawab untuk merencanakan dan melaksanakan
perubahan. Seperti halnya para pemilik, manajer puncak juga memiliki
kewenangan dalam hal memerintahkan manajer di bawahnya untuk
melakukan hal yang sama – perubahan. Proses ini secara berturut-turut terus
bergulir mulai dari manajemen level atas sampai pada manajemen level
paling bawah. Pihak yang disebut terakhir beserta semua orang yang berada
di dalamnya tinggal melaksanakan apa yang dikatakan dan dimaui manajer di
atasnya. Demikian juga para manajer bisa mengalokasikan sumber-sumber
daya untuk kepentingan tersebut.
Perubahan organisasi yang inisiatifnya datang dari para pemilik dan
prosesnya dimulai dari manajemen level atas sampai level bawah yang baru
saja dikemukakan merupakan proses perubahan yang bersifat top-down yang
mengikuti pola manajemen seperti dikemukakan Henri Fayol. Seperti kita
ketahui bersama, Fayol termasuk tokoh manajemen klasik yang menekankan
pentingnya fungsi-fungsi manajemen seperti perencanaan, pengorganisasian,
pengarahan dan pengendalian. Fungsi-fungsi ini didesain sedemikian rupa
agar organisasi beraktivitas secara teratur dan para manajer bisa mengelola
manusia/karyawan dan berbagai aktivitas organisasi lebih mudah. Kedudukan
organisasi dengan demikian layaknya sebuah mesin yang nasib dan hidup
matinya sangat tergantung pada para aktor yang menjalankannya.
Alasan kedua mengapa organisasi berubah bisa dilihat dari perspektif
pembelajaran organisasi (Lam, 2000) atau populer disebut sebagai “theory
 EKMA4565/MODUL 2 2.15

O” (Beer & Nohria, 2000; Andriuŝčenka, 2007). Memang betul bahwa tujuan
akhir dari eksistensi organisasi adalah untuk memuaskan kepentingan para
pemilik. Namun tidak boleh dilupakan juga bahwa kepentingan para pemilik
hanya bisa terwujud jika proses internal berjalan dengan baik. Artinya
perubahan organisasi tidak secara langsung ditujukan untuk memuaskan
kepentingan para pemilik tetapi lebih ditujukan untuk memperbaiki kinerja
proses organisasi. Agar proses internal bisa berjalan dengan baik, dua syarat
berikut harus dipenuhi: (1) organisasi memiliki kapasitas dan kapabilitas
untuk mencapai tujuan organisasi dan (2) orang-orang yang bekerja di dalam
organisasi mau mengupayakan dan terus belajar dalam rangka memperbaiki
proses aktivitas sehingga organisasi bisa bekerja secara efisien.
Syarat pertama mutlak harus dimiliki organisasi sebab tanpa kapasitas
dan kapabilitas yang cukup mustahil organisasi bisa beroperasi dengan
lancar. Secara operasional kapasitas dan kapabilitas organisasi oleh Bruch &
Ghoshal (2003) dinamakan energi organisasi yaitu kekuatan yang
memungkinkan sebuah organisasi bisa berfungsi dengan baik. Bruch &
Ghoshal (2003) selanjutnya membedakan energi organisasi menggunakan
dua dimensi berbeda: dimensi kualitas dan intensitas energi. Dari sisi
kualitas, organisasi dianggap memiliki energi positif atau sebaliknya energi
negatif. Sedangkan dari sisi intensitasnya, energi organisasi bisa dibedakan
menjadi energi dengan intensitas tinggi dan rendah. Jika kedua dimensi
tersebut dipertemukan maka sebuah organisasi bisa dikelompokkan ke dalam
salah satu dari empat zona seperti tampak pada Gambar 2.1 yaitu: comfort
zone, resignation zone, aggression zone dan passion zone.
2.16 Manajemen Perubahan 

Gambar 2.1.
Zona energi organisasi

Sebuah perusahaan atau organisasi dikatakan masuk pada zona


kenyamanan (comfort zone) jika memiliki energi positif tetapi intensitasnya
rendah. Organisasi yang masuk zona ini bisa dikatakan memiliki kekuatan
untuk menggerakkan organisasi yang ditandai oleh emosi positif, suasana
kerja yang tenang dan karyawan sangat bangga dengan apa yang telah
dicapai. Secara umum para manajer dan karyawan memiliki tingkat kepuasan
yang tinggi. Tetapi sayangnya semua ini dibarengi dengan daya juang rendah,
tidak sensitif terhadap sinyal-sinyal tanda bahaya. Akibatnya jika terjadi
perubahan lingkungan, organisasi enggan atau tidak siap untuk memberikan
respon dengan baik. Organisasi dan orang-orangnya cenderung berhalusinasi
dengan keberhasilan masa lalu. Perubahan lingkungan hanya dianggap
bersifat sementara dan tidak member ancaman terhadap organisasi. Walhasil
organisasi yang masuk pada comfort zone cenderung terjebak pada
keberhasilan masa lalu.
Sementara itu, organisasi dikategorikan ke dalam resignation zone jika
memiliki energi negatif dan intensitasnya juga rendah. Bisa dikatakan
organisasi yang masuk pada zona ini, orang-orangnya cenderung frustrasi,
kecewa dan murung. Mereka tidak memiliki vitalitas dan daya gerak. Emosi
mereka juga cenderung negatif. Sederhananya, mereka tidak memiliki
harapan masa depan bukan karena enggan merespon perubahan lingkungan
 EKMA4565/MODUL 2 2.17

melainkan karena memang tidak memiliki energi yang cukup untuk itu. Di
sisi lain, organisasi dikatakan masuk pada aggression zone jika terjadi
perselisihan internal antar karyawan. Akibatnya timbul emosi negatif karena
energi dihabiskan untuk bertengkar. Untungnya perselisihan ini menjadi
pendorong organisasi untuk berkompetisi. Manifestasinya muncul dalam
bentuk tingginya aktivitas organisasi dan perhatiannya terhadap sinyal-sinyal
tanda bahaya. Bisa dikatakan semua energi difokuskan untuk mencapai
tujuan organisasi. Terakhir, passion zone menggambarkan organisasi yang
berkembang dengan energi yang sangat kuat dan positif. Situasi ini biasanya
ditandai dengan suasana kerja yang menyenangkan dan membanggakan.
Tidak seperti yang terjadi pada comfort zone, pada passion zone semua
karyawan dengan antusiame yang tinggi mau berbagi dan berpartisipasi
untuk mencapai tujuan organisasi.
Dari penjelasan di atas bisa dikatakan bahwa tidak semua organisasi
memiliki energi yang cukup untuk menggerakkan organisasi dan bisa
mendukung pencapaian tujuan organisasi. Dua energi yang disebut pertama –
comfort zone dan resignation zone merupakan tipikal organisasi yang
energinya tidak cocok dengan kebutuhan organisasi. Sedangkan organisasi
yang masuk pada aggression zone dan passion zone bisa diandalkan untuk
mencapai tujuan organisasi. Oleh karena itu jika menghendaki organisasi bias
terus bertahan hidup dan berkembang, perubahan organisasi perlu dilakukan
bagi organisasi yang masuk kategori comfort zone dan resignation zone.
Organisasi yang masuk pada kategori ini harus diubah menuju pada
organisasi yang masuk pada kategori aggression atau passion zone (lihat
Gambar 2.2). Jelasnya organisasi harus melakukan perubahan yakni energi
yang menghambat aktivitas organisasi harus diubah menjadi energi yang
mampu memperkuat kapasitas dan kapabilitas organisasi sehingga pada
akhirnya tujuan organisasi bisa tercapai. Jika dinyatakan secara sederhana,
energi organisasi bisa menciptakan kombinasi kapabilitas yang bersifat
kognitif, emosional dan berorientasi tindakan yang bisa digunakan untuk
mencapai tujuan organisasi. Jika terjadi sebaliknya maka saatnya organisasi
harus merubah dirinya.
2.18 Manajemen Perubahan 

Gambar 2.2.
Pemindahan energi menuju energi produktif

Prasyarat kedua dilandasi oleh pemahaman bahwa lingkungan organisasi


secara terus menerus mengalami perubahan. Oleh karenanya kapasitas dan
kapabilitas organisasi yang sekarang ada belum tentu cocok dengan tuntutan
lingkungan sehingga upaya pembaharuan harus terus dilakukan. Hal ini bisa
diartikan bahwa setiap individu yang berada di dalam organisasi harus terus
belajar untuk menciptakan pembelajaran organisasi agar ujung-ujungnya
proses aktivitas berjalan secara efisien. Sebagai contoh, seorang karyawan
yang dahulu dianggap ekspert karena menguasai teknologi analog boleh jadi
sekarang sudah tidak ada artinya sama sekali ketika teknologi telah berubah
dari analog ke digital. Penjelasan ini sejalan dengan pendapat Morgan (1997)
yang menyatakan bahwa organisasi sering dimetaforakan sebagai tempat
berpikir (organization as a brain) di mana organisasi seolah-olah layaknya
sebuah otak manusia yang mampu mengolah informasi, mampu melakukan
proses pembelajaran dan mampu membuat keputusan. Dengan demikian
fokus perhatian utama pada metafora ini adalah bagaimana sebuah organisasi
mampu mengakses, menggunakan dan memproses informasi agar organisasi
tersebut mampu melakukan pembelajaran, memberi penilaian dan mengambil
keputusan.
 EKMA4565/MODUL 2 2.19

Proses pembelajaran organisasi seperti diuraikan di muka menjadi


penting karena adanya suatu asumsi bahwa keberhasilan organisasi sangat
bergantung pada kemampuan organisasi dalam meningkatkan atau
memperbaiki proses dalam menjalankan kegiatan organisasi. Sebagai contoh,
organisasi yang belum lama berdiri, seperti halnya bayi yang baru lahir,
biasanya memiliki tingkat mortalitas yang lebih tinggi dibandingkan dengan
organisasi yang sudah berdiri lebih lama. Tingginya tingkat mortalitas
tersebut terutama disebabkan karena organisasi baru belum mempunyai
kapabilitas dan pengalaman yang cukup sekedar untuk berdiri sendiri dan
oleh karenanya sangat rentan terhadap tekanan-tekanan yang datang dari
lingkungan eksternal. Situasi seperti ini biasa disebut sebagai liability of
newness (lihat Sobirin & Himam, 2009). Untuk itu bagi organisasi baru harus
mau belajar dan terus belajar agar dirinya bisa lebih mandiri dan mampu
beradaptasi terhadap lingkungan. Penjelasan ini sekaligus menegaskan bahwa
dalam perspektif pembelajaran, faktor kunci sebelum organisasi bisa
memberi kepuasan kepada para pemilik adalah pembelajaran organisasi.
Artinya, dalam hal perubahan organisasi, titik beratnya adalah perbaikan
kinerja proses dan kinerja individu para karyawan agar pada saatnya nanti
organisasi bisa memberi kepuasan kepada pemilik.
Terlepas dari apapun alasannya – apakah alasan ekonomi atau
pembelajaran, yang pasti adalah tekanan demi tekanan terus berdatangan
yang berujung pada tuntutan agar organisasi terus melakukan perubahan.
Pada umumnya tekanan datang dari lingkungan eksternal tetapi bukan tidak
mungkin tekanan juga datang dari dalam organisasi itu sendiri misalnya
karena adanya kesadaran bahwa masih banyak hal dan cita-cita yang belum
tercapai, karyawan melakukan banyak penyimpangan terhadap standar kerja
dan masih banyak tekanan internal lainnya. Dari berbagai macam tekanan
tersebut yang kemudian dirasa menjadi paradoks adalah kadang-kadang
perubahan demi perubahan yang dilakukan para manajer berujung pada
stabilitas organisasi. Artinya demi stabilitas organisasi para manajer lantas
melakukan perubahan. Karena alasan itu pula tidak jarang manajer justru
enggan melakukan perubahan. Mereka beralasan, kalau perubahan organisasi
pada akhirnya bertujuan agar kondisi organisasi kembali stabil, lantas
mengapa kita harus melakukan perubahan?
Berdasarkan pada penjelasan di atas, uraian berikut akan membahas tiga
hal pokok. Pertama, uraian akan difokuskan pada tekanan lingkungan
eksternal yang mendorong perubahan organisasi. Kedua, seperti telah
2.20 Manajemen Perubahan 

diuraikan sebelumnya, meski tekanan lingkungan eksternal kadang begitu


kuat, tidak jarang para manajer enggan melakukan perubahan. Oleh karena
itu di sini akan diuraikan alasan-alasan para manajer mengapa mereka enggan
melakukan perubahan. Ketiga, Fokus perhatian akan ditujukan kepada
tekanan dari dalam organisasi yang menyebabkan organisasi harus berubah.

B. TEKANAN DARI LINGKUNGAN EKSTERNAL

Dalam perspektif pemikiran sistem, organisasi adalah subsistem dari


sistem yang lebih besar. Dengan kata lain, organisasi merupakan bagian
integral dari lingkungan eksternal. Seperti telah disebutkan sebelumnya,
lingkungan eksternal selalu memberi tekanan kepada organisasi sehingga
para manajer mau tidak mau harus meresponsnya. Dalam hal ini tidak
berlebihan jika dikatakan bahwa hidup matinya sebuah organisasi sangat
bergantung pada kekuatan yang berada di luar organisasi yang selalu
memberi tekanan kepada organisasi tersebut. Pandangan ini direpresentasikan
oleh resource dependence theory (Pfeffer & Salancik, 1978) yang
menyatakan bahwa sumber daya yang dibutuhkan organisasi tidak
dikendalikan oleh seorang manajer tetapi oleh lingkungan eksternal sehingga
apa yang bisa dilakukan para manajer sangat bergantung pada
lingkungannya. Ketika sumber daya yang berada di lingkungan membludak
(Staw & Szwajkowski, 1975), organisasi tidak kesulitan untuk menjalankan
kegiatannya. Sebaliknya jika situasi berbalik, organisasi akan mengalami
kesulitan dan kinerjanya cenderung terus menurun.
Cameron & Zammuto (1983) menggambarkan perubahan lingkungan
eksternal dengan menggunakan dua faktor/dimensi berbeda untuk
membedakan perubahan lingkungan yang menyebabkan menurunnya kondisi
organisasi. Dimensi pertama adalah type of change in niche configuration –
tipe perubahan karena perubahan konfigurasi lingkungan. Dimensi ini
menjelaskan apakah perubahan lingkungan menyebabkan besaran sumber
daya berubah (change in niche size) atau terjadi pergeseran terhadap
preferensi sumber daya (change in niche shape). Dimensi kedua adalah
continuity of environmental change – tingkat kontinuitas perubahan
lingkungan. Dimensi ini menjelaskan apakah perubahan lingkungan
menyebabkan perubahan sumber daya terjadi secara terus menerus
(continuous) atau tidak terus menerus (discontinuous). Berdasarkan kedua
 EKMA4565/MODUL 2 2.21

dimensi ini ada empat kemungkinan penyebab terjadinya penurunan


perusahaan seperti tampak pada Gambar 2.3 berikut ini.

ketersediaan pergeseran
sumber daya preferensi

Kontinyu Erosi Dissolusi

Diskontinyu Kontraksi Kolaps

Gambar 2.3.
Tipologi perubahan lingkungan

Gambar 2.3 menjelaskan 4 situasi pada perubahan lingkungan eksternal


yang menjadi sebab menurunnya kondisi organisasi. Situasi pertama – erosi
terjadi ketika ketersediaan sumber daya di lingkungan eksternal terus
menurun dan penurunan ini bisa diprediksi sebelumnya (bersifat kontinyu).
Akibatnya organisasi secara perlahan mengalami kesulitan untuk
mendapatkan sumber daya yang dibutuhkan. Perusahaan pengeboran minyak
adalah contoh yang pas yang menggambarkan perusahaan yang menghadapi
situasi ini mengingat cadangan minyak adalah aset yang tidak bisa
diperbaharui dan terus mengalami depresi. Kontraksi terjadi manakala
sumber daya yang dibutuhkan perusahaan tiba-tiba hilang dari pasar sehingga
perusahaan seketika tidak bisa berproduksi. Hal ini sering menyebabkan
kelangsungan hidup perusahaan terganggu. Para petani misalnya tidak bisa
menggarap sawahnya dengan baik karena pupuk yang mereka butuhkan tiba-
tiba hilang dari peredaran. Situasi ketiga – disolusi terjadi manakala terjadi
pergeseran permintaan. Akibatnya produk yang dihasilkan perusahaan tidak
lagi terserap pasar. Industri karet alam Indonesia pernah mengalami hal ini
ketika secara gradual karet alam diganti oleh karet sitetis. Terakhir – kolaps
adalah penurunan yang sangat cepat dan dramatik yang tidak bisa diprediksi
sebelumnya. IBM adalah contoh perusahaan yang menghadapi situasi ini
ketika pengguna komputer tiba-tiba bergeser dari mainframe ke PC.
2.22 Manajemen Perubahan 

Sementara itu dilihat dari sisi jenis tekanan lingkungan yang


menyebabkan organisasi harus berubah, bisa dikatakan bahwa para manajer
bersedia melakukan perubahan organisasi lebih disebabkan karena beberapa
faktor berikut ini:
1. Mengikuti trend perubahan yang terjadi pada industri.
2. Keharusan melakukan perubahan
3. Perubahan geopolitik
4. Penurunan pasar
5. Terjadi persaingan yang sangat tinggi – hypercompetition
6. Menjaga reputasi dan kredibilitas organisasi

1. Sekedar Mengikuti Trend Perubahan


Tidak jarang perubahan organisasi disebabkan karena organisasi/
perusahaan hanya sekedar mengikuti trend perubahan yang terjadi pada
industri. Perubahan seperti ini sering disebut dengan “me too strategy”,
artinya ketika ada perusahaan lain berubah kita juga harus ikut berubah meski
kadang-kadang tidak tahu apa tujuan perubahannya. Kondisi ini misalnya
terjadi pada organisasi perguruan tinggi. Pada tahun 1996. Fakultas Ekonomi
Universitas Islam Indonesia membuka kelas Internasional yang
menggunakan bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar dan program dual
degree dengan universitas luar negeri. Ketika itu keberadaan kelas
internasional belum direstui oleh Dirjen Dikti karena UU Pendidikan
menetapkan bahwa bahasa pengantar pada pendidikan di Indonesia adalah
bahasa Indonesia. Meski pada awalnya masih illegal, lama kelamaan banyak
perguruan tinggi lain termasuk perguruan tinggi negeri mengikuti trend yang
diinisiasi oleh Universitas Islam Indonesia. Trend tersebut belakangan bukan
hanya terjadi di perguruan tinggi tetapi pada level pendidikan di bawahnya
yakni pada SMA dan SMP yang berlabel “SBI – Sekolah Berstandar
Internasional” yang bahkan mendapat dukungan pemerintah.
Selain karena trend industri, perubahan organisasi juga kadang-kadang
hanya mengikuti perubahan trend manajemen yang biasa disebut sebagai
management fashion (lihat misalnya Abrahamson, 1996). Tujuan organisasi
melakukan perubahan bukan karena keharusan berubah tetapi sekedar agar
kelihatan profesional dan inovatif. Sebagai contoh, dewasa ini banyak SMK
yang mengadopsi sistem mutu ISO 9001. Pertanyaannya adalah apakah
SMK-SMK tersebut benar-benar membutuhkan sistem mutu ISO atau hanya
sekedar ikut-ikutan? Pertanyaan ini muncul karena ternyata tidak sedikit
 EKMA4565/MODUL 2 2.23

SMK yang telah mengadopsi sistem mutu ISO kinerjanya tidak beranjak
lebih baik. Seperti tampak pada Tabel 2.1, Carson et al. (2000) misalnya
menggambarkan trend management fashion yang terjadi sejak tahun 1950-an
sapai dengan tahun 1990-an.

Tabel 2.1.
Perkembangan management Fashion

1950-an 1960-an 1970-an 1980-an 1990-an


- Management by - Sensitivity - Quality of - Corporate - Employee
Objective (MBO) Training Work Life Culture Empowerment
and T- Program
- Program Evaluation - TQM - Vision
and Review Group - Quality Circle
- ISO 9000 - Reengineering
Technique (PERT)
- Benchmarking - Core
- Employee Competencies
Assisstance
Program (EAP) - Horizontal
Organization

Trend management fashion seperti tampak pada Tabel 2.1 menunjukkan


bahwa secara periodik terjadi pola perubahan manajemen. Sebagai contoh
sejak tahun 1980-an setelah terbit buku In Search of Excellence (Peters &
Waterman, Jr., 1982) bisa dikatakan budaya perusahaan menjadi
pembicaraan setiap manajer yang menginginkan agar budaya di
perusahaannya sangat kuat seperti digambarkan pada buku tersebut seolah-
olah budaya yang kuat menjadi penentu keberhasilan perusahaan. Demikian
juga ketika Collin and Porras merilis buku Built to Last para manajer pun
beramai-ramai merubah visinya. Memang betul bahwa perubahan organisasi
yang mengikuti trend seperti ini ada sebagian yang berhasil namun tidak
sedikit juga yang kemudian gagal. Sebagai contoh, banyak perusahaan yang
mencoba menerapkan konsep Balance Scorecard – trend manajemen yang
mulai berkembang pada tahun 1980-an, namun kemudian membatalkannya
karena dalam praktik konsep yang kelihatannya sangat bagus tetapi ternyata
sulit diterapkan karena membutuhkan prasyarat yang tidak ringan.

2. Keharusan Melakukan Perubahan


Tidak jarang sebuah organisasi melakukan perubahan karena harus.
Artinya, kalau boleh memilih pada umumnya organisasi tidak akan
melakukan perubahan karena tidak jarang perubahan organisasi selalu
2.24 Manajemen Perubahan 

menguras energi dan hasilnya belum tentu seperti yang diharapkan. Namun
demikian tidak jarang pula karena ada keharusan, misalnya karena peraturan
atau Undang-undang mengharuskannya maka organisasi tidak bisa
menghindar untuk tidak melakukan perubahan. Sebagai contoh, bagi
perusahaan di Indonesia yang bergerak di bidang industri berbahan baku
kayu olahan seperti perusahaan furnitur, hampir tidak mungkin mengekspor
produknya ke Pasar Eropa jika tidak memiliki prasyarat tertentu. Di
antaranya produk-produk tersebut harus dilengkapi dengan sertifikat “eco
label”. Hal ini bisa diartikan bahwa perubahan organisasi, suka atau tidak,
harus dilakukan jika menginginkan produknya bisa dijual di pasar Eropa.
Secara umum tekanan lingkungan yang mengharuskan organisasi
melakukan perubahan bisa dibedakan menjadi dua yaitu: tekanan yang
bersifat formal dan tekanan yang bersifat informal. Tekanan yang bersifat
formal (formal coercion pressures) termasuk di dalamnya peraturan-
peraturan pemerintah yang harus dipatuhi oleh sebuah organisasi/perusahaan.
Persyaratan eco label seperti disebut di atas adalah salah satu contoh
perubahan karena tekanan formal. Contoh lain misalnya perusahaan
diharuskan mengolah limbah, sesuai dengan undang-undang lingkungan, agar
tidak mencemari lingkungan sebelum limbah tersebut dibuang.
Sementara itu, tekanan yang bersifat informal (informal coercive
oressures) tidak disebabkan kekuatan dari luar organisasi melainkan karena
kesadaran organisasi untuk melakukan hal yang lebih baik. Sebagai contoh,
pada dasarnya semua arah tujuan dan keputusan-keputusan organisasi adalah
hak perogratif manajer. Manajerlah yang seharusnya memutuskan semua itu
karena dialah penerima mandate dari pemilik. Namun agar semua elemen
organisasi memiliki sense of belonging tidak jarang dalam proses
pengambilan keputusan para manajer melibatkan unsur karyawan atau serikat
pekerja. Tujuannya agar kinerja organisasi meningkat dan semua pihak
merasa puas.

3. Perubahan Geopolitik
Sejak berakhirnya Perang Dunia Kedua sampai dengan tahun 1970-an
bisa dikatakan bahwa perekonomian dunia dikuasai oleh perusahaan-
perusahaan Amerika. Selama periode tersebut Amerika adalah satu-satunya
negara yang survive secara ekonomi ketika negara-negara pesaing
bertumbangan gara-gara perang. Perusahaan-perusahaan Amerika yang
secara tradisional sudah tergolong kuat dan efisien semakin menunjukkan
 EKMA4565/MODUL 2 2.25

dominasinya ketika pesaing mereka Jepang dan Jerman kalah dalam perang.
Ketika itu slogan yang berkembang adalah “big is beautiful” – besar itu
indah. Slogan ini dipahami bahwa hanya perusahaan-perusahaan yang
dikelola secara besar-besaran yang bisa bersaing karena perusahaan besar
cenderung bisa efisien dalam pengelolaan sumber daya. Namun ketika awal
tahun 1970-an terjadi krisis minyak dunia, justru perusahaan-perusahaan
Amerika yang pertama kali berguguran karena perusahaan yang dikelola
dalam skala besar ternyata tidak bisa menanggung biaya tetap yang besar
pula. Sementara perusahaan-perusahaan Jepang yang sebelumnya tidak
dianggap sebagai pesaing mengalami kondisi sebaliknya. Perusahaan-
perusahaan ini tetap bisa bertahan hidup, kompetitif dan bahkan masih
menghasilkan laba meski mereka tidak bisa menghindar dari krisis minyak
dunia.
Dari pengalaman di atas, perusahaan-perusahaan Amerika sejak akhir
tahun 1970-an mulai melakukan perubahan demi perubahan yang bertujuan
agar lebih fleksibel dalam menghadapi perubahan lingkungan yang semakin
dinamis. Berkaitan dengan hal tersebut perusahaan-perusahaan Amerika yang
semula dikelola secara besar-besaran pada akhirnya dipecah-pecah menjadi
perusahaan-perusahaan yang skalanya lebih kecil dan berfokus pada bisnis
tertentu. Semua ini terjadi sekali lagi karena ada perubahan geopolitik yang
dihadapi perusahaan-perusahaan Amerika.
Perubahan organisasi yang disebabkan karena perubahan geopolitik juga
dialami perusahaan-perusahaan penerbangan Amerika paksa serangan World
Trade Center yang dikenal dengan kasus 9/11. Hal yang sama, Exxon Mobile
Indonesia – pengelola gas Arun terpaksa harus hengkang dari bumi Aceh
ketika terjadi kerusakan Aceh beberapa waktu lalu.

4. Penurunan Pasar
Sejauh ini PT. Telkom adalah satu-satunya perusahaan yang
menyediakan jaringan telepon kabel (fixed line) di Indonesia. Kalau ada
pesaing hanyalah Esia yang belakangan juga menawarkan fixed line kepada
masyarakat. Oleh karena itu sangat wajar jika PT. Telkom menguasai pasar
fixed line. Meski penguasaan pasar hampir tidak berubah, pendapatan
PT. Telkom dari fixed line tampak mulai menurun. Penyebabnya karena
masyarakat dalam hal berkomunikasi mulai beralih ke sarana komunikasi
berbasis nir kabel yang lebih fleksibel dan lebih murah. Akibat dari
penurunan pendapatan dari fixed line, PT. Telkom mulai melakukan
2.26 Manajemen Perubahan 

perubahan dengan mengalihkan fungsi fixed line yang semula semata-mata


sebagai sarana komunikasi jarak jauh sekarang lebih diorientasikan untuk
media internet dengan menawarkan produk Speedy. Perubahan ini pada
akhirnya bias memperbaiki kinerja PT. Telkom.
Situasi yang hampir sama seperti yang dihadapi PT. Telkom pernah
dihadapi perusahaan raksasa bidang komputer IBM. Bahkan IBM pernah
hampir bangkrut ketika produk andalannya – mainframe tidak lagi laku di
pasar. Turunnya permintaan terhadap mainframe menyebabkan produk IBM
tidak laku jual. Penurunan permintaan tersebut disebabkan karena pergeseran
teknologi komputer dari analog ke digital sehingga pada akhirnya mainframe
bergeser ke personal komputer. IBM bias bangkit kembali dilakukan
perubahan mendasar terhadap penggunaan mainframe. Teknologi mainframe
yang menjadi kekuatan IBM dialihfungsikan menjadi server yang fungsi
utamanya adalah menghubungkan (menjadi hubungan) Personal Komputer
ke jaringan internet.

5. Persaingan yang Sangat Tinggi – Hypercompetition


Globalisasi dan teknologi informasi adalah dua terminologi yang sejak
tahun 1990an menjadi bahan pembicaraan sehari-hari para pelaku bisnis dan
akademisi. Dua terminologi yang sangat fenomenal tersebut boleh jadi
menjadi angin surga bagi pelaku bisnis yang bias memanfaatkannya tetapi
bias pula menjadi monster bagi para pelaku bisnis yang tidak siap
meresponsnya. Globalisasi misalnya di satu sisi dianggap membuka peluang
bisnis bagi pelaku bisnis yang sebelumnya hanya bermain pada pasar lokal.
Banyak pengrajin tradisional yang sekarang bias menjual produknya di pasar
global setelah mampu berinteraksi dengan mitra bisnis di luar negeri. Mereka
dengan bangga mengatakan bahwa pasar luar negeri masih terbuka lebar.
Namun di sisi lain globalisasi juga menjadi ancaman bagi pelaku bisnis yang
memiliki energi terbatas. Pedagang retail dan pasar tradisional dewasa ini
mulai tersisih misalnya gara-gara Carrefour yang notabenenya adalah
perusahaan global merangsek sampai kemana-mana. Demikian juga dengan
alasan uang tidak memiliki kewarganegaraan yang bias dengan mudah
bergerak dari satu Negara ke Negara lain, tak pelak industri perbankan juga
larut dalam globalisasi. Bias dikatakan bahwa hampir tidak ada bank swasta
di Indonesia yang tidak dimiliki perusahaan asing. Sebut saja Bank Niaga,
Bank Buana, Bank NISP dan Bank Bumiputra yang semula adalah
 EKMA4565/MODUL 2 2.27

perusahaan milik orang Indonesia sekarang sebagian besar saham milik asing
sehingga nama-nama bank tersebut mendapat embel-embel nama asing.
Pengaruh teknologi informasi terhadap kegiatan bisnis di Indonesia
kurang lebih juga sama seperti pengaruh globalisasi seperti disebutkan di
atas. Brick-and-mortar-business untuk sebutan bisnis tradisional sekarang
sudah mulai beralih ke click-and-mortar-business untuk menyebut bisnis
melalui internet. Sekarang perusahaan penerbitan misalnya mulai mendapat
pesaing baru – e-book. Semua ini dimungkinkan sekali lagi karena kemajuan
teknologi. Akibatnya, masyarakat lebih suka membaca berita melalui internet
ketimbang harus berlangganan media cetak
Walhasil globalisasi dan kemajuan teknologi informasi menjadikan peta
bisnis berubah dan perubahannya mengarah pada tingkat persaingan yang
begitu tajam. Oleh karena itu perusahaan yang tidak siap dengan perubahan
tersebut pasti akan tersisih. Sebaliknya, jika perusahaan tersebut mau
merubah dirinya bukan tidak mungkin globalisasi dan kemajuan teknologi
justru member peluang bisnis bagi dirinya.

6. Menjaga Reputasi dan Kredibilitas Organisasi


Di Indonesia ada dua organisasi perusahaan yang namanya sangat
populer dan hampir seluruh masyarakat Indonesia mengenalnya. Kedua
organisasi perusahaan tersebut adalah PT. Lapindo Brantas dan Bank
Century. Keduanya sangat dikenal masyarakat bukan karena kinerja dan
sumbangannya kepada masyarakat melainkan sebaliknya karena dianggap
menyengsarakan masyarakat. Walhasil kedua perusahaan tersebut
menyandang citra yang negatif. Sayangnya PT. Lapindo Brantas sepertinya
tidak bias memulihkan nama baiknya sementara Bank Century, meski belum
terbukti berhasil, melakukan berbagai upaya untuk menjaga reputasi dan
kredibilitas perusahaan. Langkah pertama yang dilakukan Bank Century
adalah mengganti nama bank tersebut menjadi Bank Mutiara. Langkah ini
diambil boleh jadi bertujuan untuk memutus mata rantai hubungan dengan
masa lalu yang sama sekali tidak menguntungkan perusahaan dan
membangun masa depan mulai dari titik nol. Bagi perusahaan perbankan
seperti Bank Mutiara reputasi dan kredibilitas menjadi teramat penting
karena filosofi dasar perusahaan perbankan adalah kepercayaan (trust).
Masyarakat mau bertransaksi dengan perusahaan perbankan jika mereka
merasa yakin bahwa bank tersebut bisa dipercaya dan oleh karenanya
reputasi dan kredibilitas menjadi utama.
2.28 Manajemen Perubahan 

Perubahan nama dari Bank Century ke bank Mutiara hanya lah


perubahan awal yang dilakukan perusahaan. Perubahan ini tentunya belum
akan berdampak pada kinerja perubahan jika tidak dibarengi dengan
perubahan-perubahan lain yang lebih esensial. PT. Garuda Indonesia Airways
pernah mengalami hal ini. Sebelum logo dan warna perusahaan penerbangan
Garuda seperti sekarang ini, GIA dikenal orang dengan warna kuning oranye.
Menyadari bahwa kinerja Garuda tidak baik pimpinan perusahaan
memutuskan untuk merubah logo, interior dan warna pesawat menjadi hijau
kebiru-biruan yang lebih sejuk jika dipandang. Namun ketika itu kinerja
Garuda tetap saja tidak membaik karena perubahan hanya dilakukan
dipermukaan saja.

C. KEENGGANAN ORGANISASI BERUBAH

Meski uraian di atas menunjukkan bahwa perubahan lingkungan


eksternal menyebabkan banyak perusahaan melakukan perubahan, namun
tidak semua organisasi meresponsnya dengan cara yang sama. Ada sebagian
organisasi merespon perubahan dengan sedikit hati-hati; ada yang agak
lambat; ada yang tidak mau meresponsnya karena beranggapan bahwa
perubahan lingkungan eksternal hanya bersifat sementara; bahkan ada juga
yang tidak menyadari jika terjadi perubahan lingkungan sehingga perusahaan
ini sama sekali tidak memberi respon.
Pada bagian ini akan diuraikan tiga isu penting yang berkaitan dengan
keengganan organisasi merespon perubahan lingkungan. Pertama, perdebatan
antara proses pembelajaran vs. ancaman lingkungan yang menyebabkan
rigiditas organisasi. Kedua, pemahaman tentang apakah lingkungan
merupakan konstruk yang bersifat obyektif atau konstruktif. Ketiga, pilihan
antara memahami tekanan lingkungan sebagai faktor yang menyebabkan
perubahan atau stabilitas.

1. Pembelajaran Organisasi vs. Ancaman yang Menyebabkan Rigiditas


Pertanyaan mendasar berkaitan dengan perubahan lingkungan adalah
apakah perubahan lingkungan memfasilitasi terjadinya perubahan-perubahan
inovatif atau justru sebaliknya, perubahan lingkungan menghambat
organisasi melakukan perubahan inovatif. Teori pembelajaran organisasi, di
satu sisi, menegaskan bahwa tekanan lingkungan seperti persaingan yang
sangat tajam dan menurunnya pasar, akan mendorong perusahaan untuk
 EKMA4565/MODUL 2 2.29

melakukan perubahan dan inovasi-inovasi baru dalam rangka untuk


mengatasi masalah tersebut dan menutup gap antara kinerja organisasi dan
harapan masyarakat. Sementara itu threat-rigidity theory menyatakan
sebaliknya. Organisasi yang menghadapi ancaman eksternal justru
menyebabkan para manajernya tidak mampu membuat terobosan-terobosan
inovatif karena terkendala oleh tekanan lingkungan tersebut. Teori kedua ini
menegaskan bahwa organisasi yang sedang menghadapi tekanan lingkungan
eksternal justru tidak mampu melakukan perubahan organisasi – mengalami
situasi yang disebut “learning disable”. Beberapa contoh seperti dialami oleh
Nestle atau Nike yang begitu lamban dalam merespon tekanan lingkungan
eksternal memperkuat keberadaan threat-rigidity theory. Threat rigity theory
inilah yang dianggap menjadi penyebab mengapa organisasi tidak bisa
melakukan perubahan manakala lingkungan eksternal sesungguhnya
menuntut organisasi untuk melakukan perubahan.

2. Lingkungan Bersifat Obyektif vs. Konstruktif


Sejauh ini telah diuraikan bahwa lingkungan eksternal merupakan
sebuah entitas yang secara obyektif memberi tekanan kepada organisasi.
Pandangan seperti ini masih dipertanyakan oleh sebagian ekspert. Smircich &
Stubbart (1985) misalnya tidak sepenuhnya sependapat dengan pandangan di
atas. Smircich & Stubbart berargumentasi bahwa objektivitas lingkungan
eksternal sangat bergantung pada tingkat akurasi manajer dalam mempersepi
lingkungan tersebut. Manajer pada organisasi berbeda atau bahkan para
manajer pada satu organisasi yang sama tidak jarang melihat apa yang sedang
terjadi di lingkungan eksternal dengan cara berbeda. Oleh karena itu
interpretasi terhadap lingkungan tersebut juga berbeda sehingga apakah
lingkungan tersebut perlu direspons dengan perubahan atau tidak sangat
bergantung pada persepsi sang manajer. Pandangan seperti ini disebut
sebagai constructivist view. Menurut pandangan ini, seperti dikatakan Boyd
et, al. (1993), manajer sangat mungkin melakukan kesalahan persepsi. Dua
kesalahan yang biasa terjadi adalah:
a. Kesalahan Tipe I yaitu ketika lingkungan organisasi secara obyektif
sesungguhnya stabil, para manajer menganggapnya lingkungan tersebut
turbulen sehingga mereka melakukan beberapa tindakan sejalan dengan
anggapan tersebut, padahal mestinya tidak perlu.
b. Kesalahan Tipe II yaitu keadaan di mana lingkungan eksternal secara
obyektif sesungguhnya turbulen tetapi para manajer menganggap
2.30 Manajemen Perubahan 

sebaliknya sehingga tidak melakukan tindakan apa-apa dan akibatnya


mengancam keberlangsungan hidup organisasi.

3. Perubahan Organisasi vs. Stabilitas Organisasi


Mone et al. (1998) mengatakan bahwa sejauh mana tekanan lingkungan
eksternal akan mendorong terjadinya perubahan inovatif sangat tergantung
pada tiga faktor, yaitu:
a. Institusionalisasi misi organisasi. Jika misi organisasi
terinstitusionalisasikan secara mendalam kepada pemangku kepentingan
(stakeholders) dan lingkungan eksternal semakin kecil kemungkinannya
tekanan lingkungan akan direspons dengan perubahan. Demikian
sebaliknya, jika misi organisasi tidak dipegang secara kukuh sangat
mungkin perubahan eksternal akan direspons dengan perubahan internal
organisasi.
b. Difusi kekuasaan dan sumber daya organisasi. Semakin kekuasaan
terkonsentrasi di tangan pimpinan organisasi semakin besar kemampuan
organisasi untuk membuat keputusan dan mengalokasikan sumber daya
dalam rangka melakukan perubahan organisasi. Argumentasinya adalah
setiap perubahan organisasi selalu membutuhkan kekuatan dan energi
yang besar. Jika kedua prasyarat ini tidak dimiliki organisasi kecil
kemungkinannya organisasi mampu melakukan perubahan.
c. Alasan rasional yang dikemukakan manajer dalam menjelaskan mengapa
organisasi mengalami penurunan. Jika sebab-sebab terjadinya penurunan
organisasi bersifat stabil dan bisa dikendalikan serta adanya anggapan
bahwa penyebab penurunan organisasi bersifat permanen maka semakin
mudah bagi manajer untuk melakukan perubahan inovatif. Sebaliknya,
jika para manajer tidak mengemukakan alasan rasional mengapa
organisasi perlu berubah maka perubahan hampir pasti tidak mendapat
dukungan internal.

Ketiga faktor seperti dikemukakan Mone dkk. Di atas merupakan sebuah


peringatan bagi para manajer untuk selalu mempertimbangkan tekanan-
tekanan yang mendorong terjadinya stabilitas organisasi dan tekanan-tekanan
yang mendorong perubahan organisasi serta kemungkinan interaksi di antara
keduanya. Sebagai contoh, argumentasi yang mengatakan bahwa persaingan
yang sangat tajam (hypercompetition) selalu menjadi sebab langsung
perlunya perubahan organisasi sesungguhnya merupakan pengingkaran
 EKMA4565/MODUL 2 2.31

bahwa organisasi juga membutuhkan stabilitas. Hal ini bisa diartikan bahwa
tekanan untuk berubah dan tekanan untuk stabil sesungguhnya terjadi secara
simultan dan keduanya harus mendapat perhatian demi kinerja organisasi
jangka panjang. Secara umum faktor-faktor yang mendorong perubahan
organisasi dan stabilitas organisasi dapat dilihat pada Tabel 2.2 berikut ini.

Tabel 2.2.
Tekanan untuk berubah vs. tekanan untuk stabil

Tekanan untuk berubah Tekanan untuk stabil


 Kemampuan organisasi untuk  Institusionalisasi, khususnya agar praktik
beradaptasi terhadap perubahan berjalan tidak menyimpang dari praktik
lingkungan masa lalu dan struktur kekuasaan
 Pertimbangan biaya, khususnya  Biaya transaksi, misanya stabilitas tenaga
dalam memperlakukan SDM sebagai kerja memungkinkan organisasi dapat
biaya variabel ketimbang biaya tetap merencanakan pengembangan karyawan
dengan mudah.
 Keinginan untuk segera kembali  Keuntungan berkelanjutan, agar organisasi
modal tidak mudah di imitasi organisasi lain
 Aspek pengawasan, agar target  Modal sosial, dalam rangka menjaga
kinerja segera dicapai kepercayaan karyawan
 Keuntungan kompetitif, agar mampu  Mengurangi ketidakpastian.
merespon segera perubahan pasar.

D. TEKANAN DARI DALAM ORGANISASI

Bukan hanya faktor eksternal yang menyebabkan organisasi harus


berubah. Dalam batas-batas tertentu faktor internal organisasi juga sering
memberi tekanan agar organisasi melakukan perubahan; di antaranya:
pertumbuhan organisasi, kebutuhan organisasi untuk mengintegrasikan dan
berkolaborasi, kebutuhan akan identitas baru, diangkatnya pimpinan baru,
faktor politik dan kekuasaan.

1. Perubahan karena Pertumbuhan Organisasi


Siapapun yang mendirikan organisasi atau perusahaan pasti berharap
agar organisasi yang dikelolanya terus tumbuh dan berkembang. Teori siklus
hidup organisasi (Organizational Life Cycle Theory) (lihat Adizes, 1999)
misalnya mengatakan bahwa organisasi selalu mengalami siklus hidup seperti
bentuk lonceng – mulai dari kecil, mulai tumbuh, tumbuh besar dan pada satu
titik tertentu pertumbuhan akan mengalami kemandekan dan bahkan akan
2.32 Manajemen Perubahan 

terus menurun dan mati jika pihak manajemen tidak melakukan tindakan-
tindakan perubahan. Teori ini secara tidak langsung memberi sinyal bahwa
perubahan organisasi perlu dilakukan demi menjaga agar organisasi bisa
tumbuh secara berkelanjutan dan tidak mengalami kemandekan apalagi terus
menurun. Pada situasi berbeda sangat mungkin sebuah organisasi tidak
tumbuh secara alami seperti pada teori siklus hidup organisasi tetapi tumbuh
berlebihan (excessive growth). Situasi seperti ini biasanya terjadi manakala
pasar merespon kehadiran organisasi secara positif tetapi organisasi itu
sendiri justru tidak siap menghadapi respon pasar yang mendadak. Akibatnya
sering kali berdampak pada layanan kepada konsumen yang tidak optimal.
Perusahaan yang pernah mengalami excessive growth salah satunya adalah
Lion Air. Tidak lama setelah Lion Air berdiri dan melayani rute penerbangan
yang memang dibutuhkan masyarakat apalagi harga tiketnya relatif murah,
mendadak Lion Air tumbuh sangat pesat. Dampaknya sering terjadi
keterlambatan penerbangan karena jumlah pesawat dan rute yang dilayani
tidak seimbang. Lion Air kemudian meresponsnya dengan membeli pesawat
baru dalam jumlah yang cukup banyak demi melayani penumpang secara
optimal.

2. Integrasi dan Kolaborasi


Pada umumnya ketika sebuah perusahaan melakukan merger atau
mengambil alih perusahaan lain, perubahan organisasi biasanya tidak bias
dihindarkan. Dalam hal ini perubahan organisasi dimaksudkan untuk
mengintegrasikan kegiatan organisasi atau untuk membuat kegiatan
organisasi semakin kolaboratif. Sebagai contoh, tidak lama setelah GE
Lighting Indonesia (GELI) mengambil alih PT Sibalec, GELI melakukan
konsolidasi dengan melakukan beberapa perubahan terhadap praktik
organisasi yang sebelumnya dijalankan PT Sibalec. Perubahan-perubahan ini
dilakukan mengingat sebelumnya praktik organisasi yang dijalankan PT
Sibalec cenderung berorientasi kekeluargaan, sementara GELI sebagai anak
perusahaan dari perusahaan multinasional cenderung menerapkan pola big
business mentality. Oleh karenanya GELI merubah sistem manajemen agar
semua kegiatan terintegrasi.

3. Membangun Identitas Baru


Industri perbankan Indonesia pada tahun 1970-an didominasi oleh
perusahaan perbankan milik pemerintah yang berjumlah 7 perusahaan – BRI,
 EKMA4565/MODUL 2 2.33

BNI, BTN, BAPINDO, BANK EXIM, BDN dan BBD. Sesuai dengan
namanya, masing-masing perusahaan diorientasikan dan berkonsentrasi pada
kegiatan bisnis tertentu. Oleh karenanya skop kegiatan masing-masing
perusahaan relatif terbatas. BTN misalnya lebih difokuskan pada pelayanan
tabungan masyarakat dan pembiayaan perumahan; Bank exim melayani
kegiatan ekspor - import dan Bapindo melayani kegiatan pembangunan atau
investasi jangka panjang. Namun dengan adanya deregulasi perbankan, bank-
bank swasta mulai bermunculan sehingga persaingan antar bank pada
akhirnya tidak bisa dihindari. Akibatnya, pemerintah membubarkan empat
perusahaan perbankan yang disebut terakhir – BAPINDO, EXIM, BDN dan
BBD karena dianggap tidak efisien dan mendirikan bank baru yaitu Bank
Mandiri. Di samping itu pemerintah juga melonggarkan skop kegiatan
perusahaan perbankan lainnya. BRI misalnya tidak lagi hanya melayani
kegiatan usaha rakyat kecil. Demikian juga BTN tidak hanya melayani
pinjaman untuk perumahan rakyat.
Untuk menginformasikan kepada masyarakat bahwa skop kegiatannya
telah berubah, bank-bank pemerintah mulai berbenah diri dengan mengubah
jati dirinya. BNI yang semula merupakan singkatan dari Bank Nasional
Indonesia sekarang BNI menjadi nama bank tersebut sehingga sekarang
namanya Bank BNI. Bank BNI juga merubah logo, visi, misi, dan nilai-nilai
perusahaan. Semua perubahan tersebut dimaksudkan agar masyarakat
mengenal Bank BNI sebagai perusahaan perbankan yang tidak sama dengan
BNI masa lalu. Hal yang sama juga dilakukan oleh BRI dan BTN. Demikian
juga pendirian Bank Mandiri memiliki tujuan yang sama.

4. Kehadiran Pimpinan Baru


Pergantian pimpinan organisasi/perusahaan biasanya memberi sinyal
bahwa cara-cara lama akan segera diganti dengan pola baru dan tatanan baru
perusahaan. Sebagai contoh, ketika Kuntoro Mangunsubroto beberapa tahun
lalu ditunjuk menjadi Direktur Utama PT. Tambang Timah sesungguhnya
tugas utamanya adalah untuk melakukan perubahan karena sebelumnya
perusahaan terus merugi. Namun ketika itu kalangan dalam perusahaan
secara umum tidak tahu jika misi utama Pak Kuntoro adalah melakukan
perubahan organisasi. Seperti dikatakan Rosabeth Moss Kanter (2003), dalam
beberapa hal kehadiran pimpinan baru memiliki beberapa keuntungan
dibandingkan dengan pimpinan lama. Di antaranya:
2.34 Manajemen Perubahan 

a. Pimpinan baru biasanya memiliki energi untuk melakukan perubahan di


dalam organisasi
b. Pimpinan baru tidak harus tunduk pada praktik organisasi masa lalu
c. Pimpinan baru bias fokus pada masalah yang sesungguhnya sudah lama
diketahui tetapi tidak diselesaikan oleh pemimpinan lama karena
masalah tersebut tidak boleh diperbincangkan
d. Pimpinan baru biasanya dianggap memiliki kredibilitas sehingga mampu
mengatasi masalah yang berhubungan dengan kastemer. Anggapan ini
muncul karena pimpinan baru tidak terkait dengan masalah masa lalu
yang menjadikan perusahaan bermasalah dengan kastemer.

LAT IH A N

Untuk memperdalam pemahaman Anda mengenai materi di atas,


kerjakanlah latihan berikut!
1) Perubahan organisasi dapat membawa konsekuensi risiko gagal tidak
kecil, oleh karena itu apa alasannya para manajer terus melakukan
perubahan dan Faktor-faktor apa saja yang mendorong para manajer
terus melakukan perubahan? “sesungguhnya tugas utamanya para
manajer” adalah; untuk melakukan perubahan karena sebelumnya
perusahaan terus merugi. Dapat pula terjadi kalangan dalam
perusahaan pada umumnya tidak mengetahui jika misi utama adalah
melakukan perubahan organisasi manfaat perubahan juga besar dan
berdampak positif.
2) Organisasi melakukan perubahan dan terdapat faktor pendorong tipologi
atau dari sejumlah jenis perubahan yang biasa dilakukan para manajer.
Bagaimana perubahan itu dapat dilakukan? Kisah nyata seorang; CEO
Lou Gertsner yang sama sekali tidak memiliki latar belakang ICT/
teknologi informasi bagi para manajer, bahwa perubahan organisasi
hanya bertujuan untuk memperbaiki kinerja organisasi saja tetapi justru
merupakan tantangan yang memperlihatkan kemampuan diri seorang
manajer, berani ambil risiko memimpin IBM sedangkan basis
perusahaan adalah teknologi pada saat itu sedang terpuruk sanggat
membutuhkan perubahan mendasar.
 EKMA4565/MODUL 2 2.35

3) Apa yang menjadi penyebab organisasi melakukan perubahan Setelah


kita mengetahui alasan dan faktor pendorong yang menyebabkan
organisasi berubah?
Alasan yang mendorong Perubahan karena Pertumbuhan Organisasi dan
organisasi atau perusahaan diharapkan agar apa yang dikelola dapat terus
tumbuh dan berkembang. mengalami siklus hidup seperti mulai dari
awal mulanya kecil, mulai tumbuh, tumbuh besar dan pada kondisi
tertentu pertumbuhan akan berhenti tumbuhnya mungkin pula terus
menurun dan mati. apabila manajemen tidak mengambil tindakan-
tindakan perubahan dapat dipastikan organisasi akan mengalami
gangguan dalam pelayanan dan sering kali dampak pada layanan
konsumen yang tidak optimal. Perusahaan yang pernah mengalami
excessive growth di antaranya terjadi pada perusahaan angkutan
penumpang ……
4) Tipologi atau jenis-jenis perubahan organisasi. Pengetahuan ini menjadi
penting karena para manajer yang menyadari akan risikonya tentu tidak
ingin gagal dalam melakukan perubahan? contoh pada sebuah
perusahaan di mana situasinya berbeda dan sangat mungkin sebuah
organisasi tidak tumbuh secara alami seperti pada teori siklus hidup
organisasi tetapi tumbuh berlebihan (excessive growth). Situasi seperti
ini biasanya terjadi manakala pasar merespon kehadiran organisasi
secara positif tetapi organisasi itu sendiri justru tidak siap menghadapi
respon pasar yang mendadak. Akibatnya sering kali berdampak pada
layanan kepada konsumen yang tidak optimal. Perusahaan yang pernah
mengalami excessive growth salah satunya adalah Lion Air.
5) Pemahaman tipologi perubahan diharapkan para manajer dapat
menerapkan pola perubahan yang berbeda, permasalahanpun berbeda
seperti apa yang dihadapi oleh suatu organisasi. Berikan contoh;
Organizational Life Cycle Theory, lihat Adizes, 1999 bahwa; organisasi
secara tidak langsung memberikan sinyal tentang perubahan organisasi,
hal ini perlu dilakukan untuk menjaga agar organisasi bisa tumbuh
berkelanjutan dan tidak berhenti bahkan terus menurun.
2.36 Manajemen Perubahan 

R A NG KU M AN

Di lingkungan organisasi; faktor budaya masyarakat, kondisi


ekonomi, politik, dan hukum, serta teknologi adalah sebuah subsistem
organisasi yang terdiri dari dinamika sistem lingkungan, organisasi
selalu berinteraksi dengan lingkungan. Oleh karenanya ketika
lingkungan itu berubah sudah barang tentu organisasi juga harus
menyesuaikan diri untuk melakukan perubahan. Salah satu penyebabnya
ada di dalam kehidupan organisasi tersebut dan terdapat banyak pihak
yang memiliki kepentingan. perubahan menjadi sesuatu yang tidak
terhindarkan, dan organisasi dapat menunjukkan sebagai arena dan
transformasi. Suatu organisasi dianggap mampu beradaptasi terhadap
perubahan lingkungan, dapat menerapkan pola perubahan untuk
permasalahan yang berbeda, dapat menghadapi pilihan, antara
memahami tekanan lingkungan sebagai faktor yang menyebabkan
perubahan atau menjaga stabilitas; ada tekanan untuk berubah dan stabil,
bahwa sejauh mana tekanan lingkungan eksternal telah mendorong ke
arah perubahan yang inovatif tergantung faktor yang mempengaruhi;
(1) Institusionalisasi misi organisasi. (2) Difusi kekuasaan dan sumber
daya organisasi. (3) Alasan rasional yang dikemukakan manajer dalam
menjelaskan mengapa organisasi mengalami perubahan yang menurun.
Organisasi perlu mempertimbangkan faktor pembiayaan, khususnya
SDM yang difungsikan sebagai biaya yang variabel lebih utamakan. Ada
upaya keinginan untuk segera kembalinya modal usaha dengan segera,
dilihat dari aspek pengawasan pencapaian target kinerja, segera dicapai
tingkat keuntungan yang kompetitif, organisasi diharapkan mampu
merespon perubahan pasar. Di samping itu dari stabilisasi
Institusionalisasi, khususnya agar praktik berjalan tidak menyimpang
dari praktik dan struktur kekuasaan. Untuk biaya transaksi dan stabilitas
tenaga kerja dimungkinkan organisasi dapat merencanakan
pengembangan karyawan dengan mudah. selanjutnya supaya organisasi
tidak mudah di imitasi oleh organisasi lain, diperlukan Modal sosial
dalam rangka menjaga kepercayaan karyawan dan ketidakpastian dan
diminimalkan.
Jika sebab-sebab terjadinya penurunan organisasi bersifat stabil dan
bisa dikendalikan serta adanya anggapan bahwa penyebab penurunan
organisasi bersifat permanen maka semakin mudah bagi manajer untuk
melakukan perubahan inovatif.
 EKMA4565/MODUL 2 2.37

TES F OR M AT IF 1

Pilihlah satu jawaban yang paling tepat!

1) Lingkungan bisnis saat ini terus mengalami perubahan dan


perubahannya serba tak menentu, cepat dan sulit diprediksi lebih awal,
sulit dilacak arah perubahannya cenderung keostik. ancaman organisasi
bersifat ....
A. Cepat merubah lingkungan
B. turbulensi
C. saingan antar pembisnis
D. change or die

2) Gareth Morgan (1997) dalam, organisasi dengan pola tim lebih


menekankan pentingnya peran dan kompetensi individu daripada kerja
sama tim sebagai kekuatan organisasi, “popular Images of
Organization”, bahwa organisasi dengan 8 metafora para pekerja
manajer mempunyai ciri dan sifat yang sesuai dengan pola kerja ....
A. team football
B. sifat organisasi
C. cara pandang
D. mesin

3) Rekayasa dan pengembangan organisasi baik sifat dan pemahaman


yang terbatas dan hanya memiliki sifat-sifat tertentu, sifat benda/obyek
yang menjadi perumpamaan dan cenderung mengabaikan sifat lain yang
dimungkinkan ....
A. fokus memahami dan mengembangkan organisasi
B. kurang sadar atas kelebihan
C. terbatas cara pandang,
D. mudah merekayasa merubah?

4) Mengapa Organisasi Berubah? dan Morgan (1997) mengemukakan


bahwa terdapat delapan perumpamaan yang disampaikan secara tegas,
memberi penjelasan bahwa organisasi akan selalu mengalami
perubahan!
A. tempat perubahan dan alat transformasi
B. bantuan teknologi
C. arena politik
D. dominan
2.38 Manajemen Perubahan 

5) Perubahan organisasi karena alasan ekonomi oleh Beer & Nohria, 2000;
Andriuŝčenka, 2007). diasumsikan keberlangsungan hidup sebuah
organisasi/perusahaan sangat bergantung memiliki latar belakang pada
kepuasan pemegang saham atau pemilik organisasi dan kinerja
organisasi hal yang dimaksud adalah:
A. theory E”
B. Images of Organization
C. hypercompetition theory
D. constructivism

6) Trend perubahan yang terjadi pada industri ketika menghadapi situasi


tekanan lingkungan dan menyebabkan organisasi harus berubah, di
mana para manajer bersedia untuk melakukan perubahan organisasi
karena faktor;
A. Menjaga reputasi dan kredibilitas organisasi?
B. enggan melakukan perubahan
C. Perubahan semi politik
D. Tanpa persaingan versus hypercompetition

7) Perubahan organisasi disebabkan karena organisasi/perusahaan hanya


sekedar mengikuti trend perubahan yang terjadi pada industri. Perubahan
seperti ini sering disebut dengan artinya ketika ada perusahaan lain
berubah kita juga harus ikut berubah meski kadang-kadang tidak tahu
apa yang menjadi tujuan perubahannya.
A. Trendy
B. “me too strategy”
C. Fashion strategy
D. transition

8) Selain karena trend industri, perubahan organisasi juga kadang-kadang


hanya mengikuti perubahan trend manajemen yang biasa disebut sebagai
management fashion (lihat misalnya Abrahamson, 1996). Tujuan
organisasi melakukan perubahan bukan karena keharusan berubah tetapi
sekedar agar kelihatan profesional dan inovatif. Trend ini digambarkan
dari tahun (1950-1990-an)
A. Quality Circle
B. Trend management fashion
C. Sensitivity Training and T-Group
D. Core Competencies & system mutu ISO
 EKMA4565/MODUL 2 2.39

9) Dalam buku In Search of Excellence (Peters & Waterman, Jr., 1982)


dikatakan Kesuksesan atau keberhasilan perusahaan menjadi
pembicaraan setiap manajer yang menginginkan agar penentu
keberhasilan perusahaan menjadi kuat, banyak ditentukan pada ....
A. Faktor budaya
B. Komunikasi
C. teknologi
D. Ideologi

10) Collin and Porras; “Built to Last”. dan para manajer banyak yang
tercengang. Apa yang terjadi Memang betul, bahwa perubahan
organisasi ada yang mengikuti trend pada organisasi seperti ini sebagian
ada yang berhasil Upaya yang dilakukan oleh manajer untuk
menyelamatkan perusahaan adalah mencoba untuk menerapkan ....
A. Visi baru
B. praktik konsep
C. strategi baru
D. values… excessive growth

11) Contoh konsep Balance Scorecard, sebatas konsep yang sempat


menjadi – trend manajemen awal tahun 1980an dalam praktiknya konsep
ini sulit diterapkan karena ....
A. membutuhkan prasyarat
B. perlu ujian khusus
C. sertifikat
D. pelatihan

12) Keharusan Melakukan Perubahan organisasi atau Undang-undang yang


mengharuskan organisasi tidak bisa menghindar untuk tidak melakukan
perubahan. Contoh Persyaratan eco label ini ....
A. perubahan karena peraturan
B. perubahan menguras energi
C. memiliki prasyarat
D. organisasi diancam bubar

13) Di antaranya produk-produk yang harus dilengkapi dengan sertifikat


“eco label”. Hal ini bisa diartikan bahwa perubahan organisasi, suka atau
tidak, harus dilakukan jika menginginkan produknya bisa dijual di pasar
Eropa.
A. UNI Europe
B. Fiskal
2.40 Manajemen Perubahan 

C. Produk ekspor
D. Import konten

14) Peristiwa World Trade Center 11 September 2006 yang dikenal dengan
kasus 9/11 telah menyebabkan Perubahan organisasi karena perubahan
global yang dialami industri penerbangan Amerika pasca World Trade
Center dan perusahaan Exxon Mobile Indonesia di Aceh saat kerusuhan
beberapa waktu lalu adalah ....
A. Geopolitik
B. Neoliberalism
C. Liberaslimas
D. WTO

15) Instrumen organisasi yang didisain untuk mencapai tujuan organisasi


baik para pekerja maupun para manajernya dengan pola kerja, sifat,
prilaku, tindakan dan pola pikir yang sama seperti mesin. Ciri dari
organisasi nonmekanistik?
A. menyesuaikan diri secara psikis
B. Pandangan pola kerja seperti mesin
C. berprilaku robotik
D. organisasi mekanik.

16) Threat rigity theory bersifat lamban merespon tekanan lingkungan


eksternal sehingga memperkuat keberadaan threat-rigidity theory.
dianggap penyebab bahwa organisasi tidak dapat melakukan perubahan
manakala lingkungan eksternal menuntut organisasi untuk melakukan
perubahan seperti contoh perusahaan di bawah ini:
A. Nestle
B. Bakrie
C. Nickes
D. shell

Cocokkanlah jawaban Anda dengan Kunci Jawaban Tes Formatif 1 yang


terdapat di bagian akhir modul ini. Hitunglah jawaban yang benar.
Kemudian, gunakan rumus berikut untuk mengetahui tingkat penguasaan
Anda terhadap materi Kegiatan Belajar 1.

Jumlah Jawaban yang Benar


Tingkat penguasaan =  100%
Jumlah Soal
 EKMA4565/MODUL 2 2.41

Arti tingkat penguasaan: 90 - 100% = baik sekali


80 - 89% = baik
70 - 79% = cukup
< 70% = kurang

Apabila mencapai tingkat penguasaan 80% atau lebih, Anda dapat


meneruskan dengan Kegiatan Belajar 2. Bagus! Jika masih di bawah 80%,
Anda harus mengulangi materi Kegiatan Belajar 1, terutama bagian yang
belum dikuasai.
2.42 Manajemen Perubahan 

Kegiatan Belajar 2

Tipologi Perubahan Organisasi

S etelah memperoleh gambaran dan pengetahuan tentang faktor-faktor yang


mendorong terjadinya perubahan organisasi – baik faktor eksternal
maupun internal, tentunya para manajer yang bertanggung jawab terhadap
kelangsungan hidup organisasi bisa menyikapi dan mengambil keputusan
penting sejauh mana organisasi yang dikelolanya perlu tidaknya berubah.
KB 1 telah menjelaskan pula bahwa tidak semua tekanan eksternal selalu
direspons para manajer dengan melakukan perubahan. Namun seandainya
keputusan para manajer adalah organisasi harus berubah, maka sebelum
bertindak lebih jauh para manajer perlu terlebih dahulu mengetahui tipologi
atau jenis-jenis perubahan organisasi. Pengetahuan tentang tipologi
perubahan menjadi penting agar para manajer memahami karakteristik setiap
perubahan organisasi sehingga tidak terjebak pada belantara perubahan.
Harus diakui bahwa para manajer dan praktisi perubahan organisasi
kadang-kadang tidak sejalan dengan para teoritis perubahan dalam hal
memahami efektivitas hasil perubahan. Bagi para manajer, tidak peduli
bagaimana caranya atau teori apa yang digunakan, yang penting perubahan
harus segera mendatangkan hasil. Kecenderungan pragmatisme para manajer
seperti ini sering kali justru menyebabkan hasil positif dari perubahan tidak
pernah tercapai (lihat kembali penjelasan alasan kegagalan perubahan pada
Modul 1). Sementara bagi para teoritis perubahan, hasil perubahan boleh jadi
penting namun lebih penting lagi adalah menjelaskan bagaimana
keberhasilan tersebut dicapai. Sayangnya di antara para teoritis sendiri
kadang-kadang menggunakan logika berbeda dalam melihat perubahan
organisasi dan hasilnya. Akibat perbedaan tersebut mereka cenderung
menjelaskan pemahaman perubahan organisasi dengan cara berbeda sesuai
dengan disiplin, sudut pandang dan pendekatan masing-masing. DiBella
(2007) misalnya mengatakan bahwa berbagai cara dapat digunakan untuk
memahami perubahan organisasi, di antaranya perubahan organisasi bisa
dilihat dari (1) skop atau skala perubahan, (2) sebab terjadinya perubahan,
(3) perspektif waktu, dan (4) perspektif peran konsultan (penjelasan detail
lihat DiBella, 2007).
Perbedaan sudut padang inilah yang ujung-ujungnya menghasilkan pula
berbagai macam tipologi perubahan organisasi. Bartunek & Moch (1987) dan
 EKMA4565/MODUL 2 2.43

Levy (1986) membedakan perubahan organisasi dengan mengkontraskan


antara first-order change vs, second-order change. Sedangkan perubahan
organisasi yang bersifat incremental vs. transformative dikemukakan oleh
Nadler (1988) dan Mohrman (1989). Di sisi lain, Ackerman (1984) dan
Burke (1994) mengklasifikasikan perubahan organisasi dengan menyebut
perubahan yang bersifat transformasional, transtitional dan transactional.
Selanjutnya, menurut Weick & Quinn (1999) perubahan organisasi bisa
dikontraskan antara perubahan episodic vs. continuous.
Klasifikasi perubahan organisasi seperti tersebut di atas kemudian
ditelaah dan diperbaharui oleh teoritisi lain sehingga menghasilkan tipe
perubahan yang lebih detail. Gundy (1993) misalnya mengelompokkan
tipologi perubahan ke dalam tiga tipe yaitu (1) smooth incremental change,
(2) bumpy incremental change dan (3) discontinuous change. Sementara itu
Falmholz & Randle (1998) membedakan perubahan transformational menjadi
tiga tipe yaitu: (1) Perubahan Transformational Type 1, (2) Perubahan
Transformational Type 2 dan (3) Perubahan Transformational Type 3. Reger
(1994) menggunakan label mid-range untuk merepresentasikan perubahan
yang lebih besar dari incremental tetapi belum sampai pada tahap perubahan
transformasional.
Dari ragam tipologi perubahan ini, nantinya akan ditunjukkan bahwa di
samping ditemukan adanya kesamaan tipologi, terdapat pula adanya
perbedaan dalam cara mengungkapkan jenis perubahan organisasi. Terlepas
dari itu semua, pada intinya keragaman tipologi perubahan bersifat saling
melengkapi. Untuk aplikasinya, kita dapat memilih salah satu pendapat
yang sesuai dengan kondisi lingkungan yang kita hadapi, namun tidak
tertutup kemungkinan juga untuk mengombinasikan berbagai pendapat
tersebut sesuai kebutuhan.

A. PLANNED CHANGE VS. EMERGENT CHANGE

Konsep perubahan organisasi muncul pada tahun 1960-an dan 1970-an


setelah subyek Pengembangan Organisasi (Organizational Development –
OD) menjadi bidang kajian yang mandiri. Perhatian utama bidang kajian ini
berkaitan dengan kata-kata kunci yang sekarang kita kenal: “planned –
terencana”, “organization wide – pada dataran organisasi”, managed from the
top – dikelola dari atas”, yang tujuannya adalah meningkatkan efektivitas dan
kesehatan organisasi melalui mekanisme intervensi dengan memanfaatkan
2.44 Manajemen Perubahan 

ilmu prilaku terapan sebagai landasannya. Namun dengan semakin


kompleksnya lingkungan bisnis, masyarakat mulai menganggap bahwa OD
sudah tidak relevan. Istilah OD lambat laun berganti menjadi perubahan
organisasi meski konsep-konsep OD masih tetap digunakan pada konsep
yang baru – perubahan organisasi (lihat Marshak, 2005) (uraian tentang
pengembangan organisasi atau OD secara detail akan dibahas pada bagian
tersendiri pada Modul 4). Oleh karena itu istilah planned, organization wide
dan managed from the top yang semula menjadi bagian tidak terpisahkan dari
OD pada akhirnya juga diaplikasikan pada konsep perubahan organisasi. Dari
sini maka muncullah istilah planned change atau managed change. Dalam
perkembangannya, di samping istilah-istilah tersebut, kemudian muncul
istilah baru sebagai lawan dari planned change yakni unplanned change
(perubahan tidak terencana) atau emergent change (perubahan mendadak)
Konsep perubahan terencana (planned change) seperti dikemukan
Bennis (1961) sering juga disebut perubahan terorganisasi – managed change
(Tichy, 1983). Keduanya mendefinisikannya sebagai change that are
deliberately shaped by organization members (manager, consultants, groups,
etc) – perubahan yang sengaja diwujudkan oleh anggota-anggota organisasi
(manajer, konsultan, anggota kelompok dsb.). Meski kedua konsep tersebut
sering dianggap sama, tidak pelak terdapat pula perbedaan di antara
keduanya terutama yang berkaitan dengan istilah anggota-anggota organisasi.
Pada planned change yang dimaksud dengan anggota organisasi bisa jadi
adalah para ekspertis baik yang berasal dari dalam maupun dari luar
organisasi. Mereka diharapkan dapat membantu organisasi mengatasi
masalah yang dihadapinya dan merencanakan serta mengimplementasikan
perubahan. Sementara itu pada managed change, yang dimaksud dengan
anggota organisasi adalah para manajer yang dapat membantu membuat
rencana dan mengimplementasikan perubahan.
Model perubahan terencana yang konsep awalnya dikembangkan Kurt
Lewin dan dikenal sebagai model tiga tahap – unfreeze-change-refreeze,
belakangan juga dikembangkan oleh teoritis lainnya. Berdasarkan hasil telaah
terhadap 30an model perubahan terencana, Bullock & Baten (1985)
mengembangkan model perubahan terencana yang terintegrasi yang terdiri
dari 4 fase yaitu:
1. Fase Eksplorasi. Pada fase ini organisasi dituntut untuk melakukan
eksplorasi dan memutuskan apakah organisasi tersebut menghendaki
perubahan secara spesifik pada kegiatan operasinya. Tujuannya agar
 EKMA4565/MODUL 2 2.45

organisasi memiliki komitmen untuk menyediakan sumber daya yang


dibutuhkan untuk perubahan. Sementara itu proses perubahan pada fase
ini meliputi: kesadaran akan pentingnya perubahan, mencari bantuan
pihak luar (konsultan atau fasilitator) untuk membantu perencanaan dan
implementasi perubahan, menetapkan kontrak dengan konsultan untuk
mendefinisikan tanggung jawab masing-masing pihak.
2. Fase Perencanaan. Setelah terjadi kesepakatan antara konsultan dan
pihak manajemen organisasi, tahapan berikutnya adalah memahami
masalah yang dihadapi organisasi. Langkah-langkahnya meliputi
pengumpulan informasi agar bias dilakukan diagnosis dengan benar,
menetapkan tujuan perubahan sehingga bias dibuat desain untuk
melakukan tindakan yang tepat dalam rangka mencapai tujuan tersebut,
dan menghimbau pengambil keputusan untuk menyetujui dan
mendukung usulan perubahan.
3. Fase Tindakan. Pada fase ini dilakukan implementasi perubahan yang
didasarkan pada rencana perubahan sebelumnya. Prosesnya meliputi
desain untuk menggerakkan kondisi berjalan menuju kondisi yang
diharapkan termasuk menetapkan aransemen yang cocok untuk
mengelola proses perubahan dan dukungan terhadap tindakan yang
dilakukan, dan melakukan evaluasi terhadap implementasi perubahan
dan memberikan umpan balik terhadap hasil yang telah dicapai sehingga
bias dilakukan tindakan koreksi yang dianggap perlu.
4. Fase Integrasi. Tahap ini dimulai setelah perubahan berhasil
diimplementasikan. pada tahap ini perhatian ditujukan pada upaya untuk
melakukan konsolidasi dan stabilisasi hasil perubahan sehingga
perubahan menjadi bagian hidup sehari-hari dan tidak diperlukan lagi
adanya kondisi khusus hanya sekedar untuk mempertahankan hasil
perubahan. Prosesnya meliputi beberapa hal antara lain: memperkuat
prilaku baru melalui mekanisme umpan balik dan sistem penghargaan
sehingga kebergantungan pada konsultan sedikit demi sedikit mulai
berkurang, menyebarkan hasil perubahan ke seluruh elemen organisasi,
dan melakukan pelatihan kepada para manajer dan karyawan untuk
memonitor hasil perubahan dan kemungkinan peningkatan yang
diperlukan.
2.46 Manajemen Perubahan 

Kebalikan dari planned change adalah emergent change – perubahan


mendadak yang tidak direncanakan sebelumnya. Mereka yang tidak setuju
dengan konsep perubahan terencana berpendapat bahwa perubahan itu terjadi
secara terus menerus, bersifat dinamis, dan merupakan proses yang muncul
setiap saat tanpa bisa diketahui sebelumnya dan tanpa bisa direncanakan.
Karl Weick (2000: 237) misalnya mengatakan:

Emergent change consists of ongoing accommodations, adaptations, and


alternation that produce fundamental change without a priori intention
to do so. Emergent change occurs when people reaccomplish routines
and when they deal with contingencies, breakdowns, and opportunities
in everyday work. Much of this change goes unnoticed, because small
alternations are lumped together as noise in otherwise uneventful
inertia…

Emergent change terdiri dari proses akomodasi, adaptasi dan pilihan-


pilihan yang terus berjalan yang menghasilkan perubahan fundamental
tanpa didahului oleh keinginan untuk melakukan hal tersebut. Emergent
change terjadi ketika karyawan sudah kembali pada kegiatan yang
bersifat rutin dan ketika mereka harus menghadapi hal-hal yang bersifat
kontingen, kebuntuan, dan kesempatan dalam kegiatan kerja sehari-
hari. Hampir semua dari perubahan ini tidak terdeteksi karena selang
seling kegiatan sekecil apapun bisa menggumpal menjadi sebuah
gangguan yang, jika tidak segera diatasi, menjadi insersia yang tidak
tampak.

Perubahan mendadak dengan demikian merupakan proses perubahan


yang terus berkembang dan secara alami tidak bisa diprediksi. Konsep ini
menganggap bahwa perubahan merupakan proses terbuka yang melibatkan
saling peran antara berbagai macam variabel dalam organisasi termasuk di
dalamnya konteks perubahan, proses politik dan konsultasi dengan pihak-
pihak yang terkait dengan perubahan. Jadi perubahan mendadak merupakan
tipikal perubahan yang sangat kompleks yang tidak bisa dilakukan secara
linear misalnya menggunakan taksonomi perubahan atau pendekatan-
pendekatan top-down dan melalui tahapan-tahapan tertentu seperti dalam
perubahan TQM dan Business Process Reengineering (BPR). Dalam hal ini
kekuasaan dan politik memainkan peran penting dalam menginisiasi dan
mengelola perubahan mendadak (Pettigrew, 1997).
Meski proponen perubahan mendadak tidak setuju dengan adanya aturan
yang menuntun perubahan organisasi tetapi mereka sepakat untuk
 EKMA4565/MODUL 2 2.47

menggunakan pedoman dalam menjalankan proses perubahan. Faktor-faktor


yang perlu dipertimbangkan di antaranya adalah: struktur organisasi, budaya
organisasi, pembelajaran organisasional, prilaku manajerial dan kekuasaan
dan politik di dalam organisasi (lihat misalnya Burnes, 2004: 298-305).

B. FIRST ORDER VS. SECOND ORDER CHANGE

Istilah first-order change (bisa diterjemahkan menjadi perubahan tahap


pertama) biasa disebut juga sebagai alpha change (Golembiewski et al.,
1976) atau single loop (Argyris & Schon, 1978), sedangkan second-order
change (perubahan tahap kedua) disebut juga gamma change atau double
loop change (penjelasan lebih detail, lihat Bartunek & Moch, 1987). Secara
umum bisa dikatakan bahwa first-order change merupakan perubahan yang
dimaksudkan agar kondisi organisasi berjalan dapat beroperasi lebih lancar.
Oleh karenanya dalam perubahan ini dilakukan beberapa penyesuaian pada
sisi sistem, proses atau struktur organisasi tetapi tidak merubah landasan-
landasan fundamental organisasi seperti strategi, nilai-nilai inti organisasi
atau identitas diri organisasi. Jadi first-order change pada intinya sekedar
mempertahankan dan mengembangkan organisasi dalam rangka
mempertahankan kontinyuitas dan tatanan organisasi. Dilihat dari skala
perubahannya, first-order change merupakan perubahan berskala kecil,
bersifat inkremental, dan adaptif. Sementara itu second-order change
merupakan perubahan mendasar yang bersifat transformasional, radikal dan
fundamental sehingga mengubah tatanan inti organisasi. Sederhananya,
second-order change bukan sekedar merubah organisasi tetapi
mentransformasi organisasi. Oleh karena itu, second-order change biasanya
merupakan perubahan berskala besar dan diskontinyu. Karakteristik first-
order dan second-order change, secara lebih detail dikemukakan oleh Levy
(1986) seperti tampak pada Tabel 2.3 berikut ini.
2.48 Manajemen Perubahan 

Tabel 2.3.
Karakteristik First-Order dan Second-Order Change

First order change Second order change


 Perubahan pada satu atau beberapa  Perubahan bersifat multidimensi, multi-
dimensi, komponen atau aspek komponen atau multiaspek
 Perubahan hanya terjadi pada satu atau  Perubahan terjadi pada beberapa level
beberapa level (level individual atau organisasi secara bersamaan (individu,
kelompok) kelompok dan keseluruhan organisasi)
 Perubahan terhadap satu atau dua  Perubahan terhadap semua aspek
aspek prilaku (misal: sikap atau nilai) prilaku (sikap, norma, nilai-nilai,
 Perubahan bersifat kuantitatif persepsi, keyakinan cara pandang dan
 Perubahan merupakan sebuah prilaku)
kelanjutan, peningkatan atau  Perubahan bersifat kualitatif
pengembangan dari kondisi berjalan  Perubahan bersifat diskontinyu,
 Perubahan bersifat incremental mengambil orientasi baru
 Perubahan bisa berulang (reversible)  Perubahan bersifat revolusioner
 Perubahan bersifat logis dan rasional  Perubahan tidak berulang (irreservable)
 Perubahan tidak merubah cara pandang  Perubahan bersifat tidak rasional
atau paradigma organisasi menggunakan logika berbeda
 Perubahan masih dalam lingkup  Perubahan menyebabkan terciptanya
kehidupan lama cara pandang atau paradigma baru
 Perubahan menghasilkan cara berpikir
dan cara bertindak baru.

Berdasarkan klasifikasi perubahan seperti tersebut di atas, Nadler &


Tushman (1995) dengan menggunakan dimensi lain mengembangkan
tipologi baru. Dimensi yang digunakan adalah apakah perubahan bersifat
reaktif atau antisipatif. Menurut Nadler & Tushman, perubahan reaktif
merupakan perubahan yang disebabkan karena dorongan faktor eksternal
disebut sebagai perubahan reaktif. Tujuan perubahannya agar organisasi bisa
merespon atau beradaptasi dengan tuntutan perubahan eksternal. Sedangkan
perubahan yang disebabkan karena faktor internal disebut antisipatif
bertujuan untuk mengembangkan organisasi. Kombinasi dari dua dimensi
perubahan yang disebut terakhir dengan tipologi perubahan yang
dikemukakan Bartunek & Moch menghasilkan empat tipe perubahan seperti
tampak pada Tabel 2.4 berikut.
 EKMA4565/MODUL 2 2.49

Tabel 2.4.
Tipe Perubahan menurut Nadler & Tushman

Incremental Discontinuous
Antisipatif Fine-tuning Reorientasi
 First-oder change  Merubah arah, tidak termasuk
 Perbaikan merubah identitas diri dan nilai-
 Peningkatan nilai organisasi
 pengembangan
Reaktif Adaptasi Re-kreasi
 Perubahan bersumber dari  Second order change
dalam organisasi  Merubah secara cepat terhadap
elemen-elemen dasar
organisasi

Fine-tuning. Tipe perubahan ini bersifat incremental dalam rangka


mengantisipasi perubahan yang terjadi pada lingkungan eksternal. Dengan
kata lain perubahan dilakukan sebelum terjadinya perubahan eksternal. Oleh
karena itu perubahannya tidak menyeluruh melainkan hanya dilakukan pada
bagian-bagian tertentu – disesuaikan dan dimodifikasi agar pada masa yang
akan datang organisasi bias menyesuaikan dengan perkembangan lingkungan
eksternal. Sebagai contoh, perubahan struktur organisasi menjadi semakin
flat dan dibarengi dengan penerapan teknologi tepat guna (komputerisasi)
untuk mengantisipasi kemajuan teknologi informasi yang menuntut
pengambilan keputusan secara cepat.
Adaptif. Perubahan adaptif merupakan perubahan yang bersifat
incremental tetapi perubahan tersebut merupakan reaksi dari perubahan-
perubahan yang dilakukan oleh para pesaing. Dalam bahasa strategi,
perubahan seperti ini biasa disebut sebagai “me-to-strategy”. Sebagai contoh,
setelah BCA menerapkan e-banking maka beberapa bank swasta maupun
bank pemerintah juga menerapkan pola yang sama sebagai upaya untuk
mempermudah para nasabah berhubungan dengan bank tanpa harus datang
ke counter bank.
Reorientasi. Perubahan organisasi disebut perubahan reorientasi jika
perubahan tersebut bersifat antisipatif tetapi diskontinyu, transformasional
dan berskala besar. Perubahan semacam ini melibatkan apa yang disebut
“frame bending” yaitu melakukan modifikasi besar-besaran tetapi perubahan
tersebut masih didasarkan pada kekuatan dan sejarah organisasi masa lalu.
Sebagai contoh, PT. Telkom yang notabene sejarah keberadaannya dan
2.50 Manajemen Perubahan 

kekuatannya bertumpu pada fixed line mencoba melakukan modifikasi fungsi


fixed line setelah disadari bahwa pendapatan dari fixed line mengalami
penurunan. Fixed line yang semula fungsi utamanya sebagai alat komunikasi
langsung antar penduduk sekarang dimodifikasi menjadi media internet
dengan menawarkan produk baru speedy dan masih bertumpu pada fixed
line. Jadi dalam hal ini fixed line masih tetap eksis dan bisa digunakan untuk
berkomunikasi secara langsung tetapi juga bisa digunakan untuk media
internet. Dari modifikasi ini terbukti pendapatan PT. Telkom terus
meningkat.
Re-kreasi. Perubahan re-kreasi merupakan second-order change dan
bersifat reaktif. Pada intinya perubahan re-kreasi merupakan perubahan
besar-besaran yang bersifat “frame breaking” yaitu organisasi berusaha
memutus hubungan dengan praktik dan arah organisasi masa lalu, seolah-
olah berangkat dari titik nol untuk menyongsong masa depan. Contoh yang
bisa digunakan untuk menggambarkan perubahan re-kreatif adalah
PT. Tambang Timah di bawah kendali Kuntoro Mangunsubroto yang
melakukan perubahan besar-besaran dengan memindahkan Kantor Pusat
Perusahaan dari Jakarta ke tempat lokasi penambangan Bangka. Demikian
juga bisnis-bisnis yang bukan inti dijual agar pihak manajemen bisa fokus
pada bisnis utama – tambang timah. Hasilnya, laba PT. Tambang Timah terus
naik setelah sebelumnya perusahaan mengalami kerugian terus menerus.

C. TIPOLOGI PERUBAHAN DARI PERSPEKTIF KONSULTAN:


SECOND-ORDER PLANNED CHANGE

Amir Levy dalam artikelnya yang dimuat Organizational Dynamics


(1986) mencoba memahami tipologi perubahan dari perspektif Konsultan.
Sebagaimana kita ketahui, tugas utama seorang Konsultan adalah memberi
advis kepada manajer bagaimana perubahan seharusnya dilakukan. Untuk
tujuan tersebut, Levy menggabungkan dua tipologi perubahan yaitu second
order change dan planned change sehingga dihasilkan tipologi baru – second
order planned change. Menurut Levy meski perubahan organisasi bersifat
transformatif atau mendasar, dari kaca mata konsultan perubahan tersebut
tetap saja merupakan perubahan terencana yang ada awal dan akhirnya.
Berdasarkan pandangan ini, Levy mencoba memahami konsep second order
change melalui tiga perspektif berbeda yaitu:
 EKMA4565/MODUL 2 2.51

1. Mengapa organisasi berubah. Dorongan-dorongan yang menyebabkan


terjadinya second order change. Berdasarkan hasil survei yang dilakukan
oleh Levy, dorongan-dorongan yang menyebabkan terjadinya second
order change adalah:
a. Kondisi internal yang mengizinkan terjadinya perubahan seperti:
(1) tersedianya sumber daya, (2) kesediaan dan kemauan manajer
dan anggota organisasi untuk melakukan perubahan, dan
(3) kepemimpinan transformasional.
b. Kondisi eksternal yang memungkinkan terjadinya perubahan
transformasional. Di antaranya adalah: (1) tingkat ancaman terhadap
keberlangsungan hidup organisasi, (2) tingkat toleransi yang
memungkinkan terjadinya transformasi perubahan dan (3) tingkat
perubahan radikal yang kemungkinan bakal terjadi.
c. Kondisi yang belum terpikirkan sebelumnya (precipitating
conditions) seperti (1) tendensi organisasi terus tumbuh, (2) tendensi
organisasi mengalami penurunan, (3) adanya perasaan tidak puas
terhadap hasil yang dicapai (4) adanya tekanan dari pemangku
kepentingan, (5) organisasi mengalami krisis baik dalam arti
sesungguhnya maupun hanya persepsi dan (6) terjadinya
peningkatan atau penurunan kinerja yang tidak diharapkan.
d. Kejadian pemicu yang bersifat luar biasa (extra ordinary) seperti
(1) bencana lingkungan termasuk bencana alam, resesi ekonomi, dan
inovasi besar-besaran dari kompetitor, (2) peluang yang muncul
tiba-tiba, misal karena inovasi teknologi, (3) konflik atau krisis
manajemen, (4) pergantian tim manajemen dengan visi dan misi
baru, (5) kudeta atau gerakan masal di dalam organisasi,
(6) perubahan politik dan (7) terjadinya merger, akuisisi atau
pengambilalihan organisasi.
2. Bagaimana organisasi berubah. Tahapan-tahapan dan proses dalam
second order change. Seperti telah dijelaskan pada karakteristik second-
order change, pada umumnya perubahan jenis ini terjadi karena
penurunan organisasi atau krisis, gagal mengembalikan kondisi
organisasi melalui mekanisme first order change, keinginan organisasi
melakukan lompatan-lompatan atau hal-hal lain yang menyebabkan
organisasi harus melakukan perubahan mendasar. Di samping itu, second
order change juga dimungkinkan ketika (1) di dalam organisasi belum
terbentuk tatanan baru, (2) perubahan transformatif bisa dikelola secara
2.52 Manajemen Perubahan 

baik dan (3) pengembangan strategi baru dan teknologi baru sangat
mungkin untuk dilakukan. Berdasarkan argumentasi-argumentasi ini
maka proses perubahan pada second order change atau second order
planned change bisa digambarkan seperti tampak pada Gambar 2.4 yang
dimulai dari: kondisi organisasi yang menurun karena organisasi tidak
mampu memenuhi harapan internal maupun eksternal, dilanjutkan
dengan kesediaan anggota organisasi untuk melakukan perubahan
mendasar (transformative), upaya-upaya untuk melakukan perubahan
terencana dalam rangka menerjemahkan visi dan ide baru ke dalam
program, struktur dan prosedur, dan terakhir masa stabilitas dan
pengembangan organisasi di mana pada tahap ini program perubahan
telah dilaksanakan dan mulai terlembagakan, dipertahankan dan
dikembangkan.

Gambar 2.4.
Siklus Perubahan Second Order Change

3. Apa yang diubah yakni konten dari second order change. Setelah
melakukan telaah terhadap faktor penyebab perubahan second order
change dan bagaimana proses perubahan tersebut berlangsung, kini
giliran kita pahami apa saja yang perlu diubah dalam second order
 EKMA4565/MODUL 2 2.53

planned change. Menurut Levy (1986) ada empat hal perlu diperhatikan
berkait dengan konten perubahan yaitu (1) perspektif perubahan, (2)
elemen perubahan, (3) dimensi perubahan dan (4) tingkat visibilitas
perubahan. Secara ringkas keempat hal tersebut dapat dilihat pada
Gambar 2.5 berikut ini.

Perspektif Elemen Perubahan Dimensi Perubahan Visibilitas perubahan


Sistem Input, output dan Proses inti Tinggi
proses organisasi
Manajemen Tujuan jangka Misi dan tujuan Sedang
panjang dan jangka
pendek, strategi dan
kebijakan
Perubahan Norma, nilai-nilai dan Budaya Rendah
terencana keyakinan
Evolusi Konteks, template, Paradigma Tidak terdeteksi
aturan umum dan
cara pandang

Gambar 2.5.
Konten Perubahan Second Order Change

Seperti tampak pada Gambar 2.5, khususnya pada kolom dimensi


perubahan, second order change melibatkan empat dimensi berbeda mulai
dari dimensi yang tidak kasatmata – tidak mudah dideteksi dan abstrak
sampai pada dimensi yang kasatmata (visible) dan konkret. Keempat dimensi
tersebut adalah (lihat Gambar 2.6).
a. Paradigma organisasi. Paradigma organisasi sering juga disebut
sebagai world view atau cara pandang, atau asumsi dasar adalah
landasan filosofis atau “metarules” yang melatarbelakangi mengapa
sebuah organisasi eksis. Sering kali tidak semua anggota organisasi
memahami landasan ini filosofis ini sehingga paradigma organisasi
bersifat unnoticed – tidak terdeteksi dan abstrak. Meski demikian
dimensi ini bias mempengaruhi persepsi dan prilaku serta semua aspek
kehidupan organisasi.
b. Misi dan tujuan organisasi. Misi dan tujuan organisasi merupakan
sebuah pernyataan yang lebih eksplisit, bias diketahui anggota organisasi
meski tidak semua memahaminya yang menegaskan kemana organisasi
mau diarahkan. Pernyataan seperti “what business are we in – bisnis apa
2.54 Manajemen Perubahan 

yang sedang kita jalani”, strategi apa yang kita gunakan untuk mencapai
misi dan tujuan organisasi, dan apa kebijakan yang kita terapkan
termasuk dalam dimensi ini.
c. Budaya organisasi. Termasuk di dalam dimensi ini adalah keyakinan,
nilai-nilai dan norma organisasi. Di samping itu dimensi ini juga
meliputi tindakan-tindakan yang bersifat simbolik, dan elemen-elemen
lain seperti mitos, ritual, upacara, aransemen fisik dan gaya manajemen.
Semua elemen ini meski bersifat kasatmata namun agak abstrak sehingga
tidak mudah dipahami oleh sebagian besar anggota organisasi.
d. Proses inti organisasi. Dimensi ini meliputi semua aspek kegiatan
organisasi yang bersifat kasatmata dan konkret sehingga mudah
dideteksi, diobservasi dan dipahami oleh anggota organisasi. Bahkan
orang luar organisasi sekalipun bisa dengan mudah mengetahui dimensi
ini. Termasuk di dalam dimensi proses inti organisasi adalah struktur
organisasi, praktik manajemen, proses pengambilan keputusan, sistem
penghargaan dan hukuman dan pola komunikasi organisasi.

Tidak Terdeteksi Abstrak


Paradigma
p
paradigma
Misi

Budaya
Budaya

Proses
inti

Bisa Terdeteksi Kongkret


Gambar 2.6.
Empat Dimensi dalam Second Order Change

Gambar 2.6 menjelaskan bahwa dimensi paradigma organisasi memiliki


cakupan yang sangat luas termasuk di dalamnya budaya, misi dan proses inti
organisasi. Di samping itu, dilihat dari karakteristiknya dimensi paradigma
 EKMA4565/MODUL 2 2.55

organisasi bersifat tidak terdeteksi (tidak kasatmata) dan abstrak. Penjelasan


ini memberi gambaran bahwa perubahan yang terjadi pada paradigma
organisasi secara otomatis akan menuntut perubahan pada dimensi lain,
termasuk perubahan pada budaya, misi dan tujuan organisasi, dan proses inti
organisasi. Sebaliknya, jika terjadi perubahan pada misi dan tujuan jangka
panjang organisasi sangat mungkin dimensi lain ikut berubah namun tidak
menuntut perubahan paradigma organisasi. Sesuai dengan pemahaman
tentang second order change atau perubahan transformatif maka second order
change identik dengan perubahan paradigma organisasi. Dengan kata lain
second order change merupakan perubahan yang sangat mendasar yang
melibatkan segala aspek kehidupan organisasi.
Berdasarkan uraian di atas, yakni tiga pertanyaan pokok terkait dengan
pemahaman second order change – mengapa (why), bagaimana (how) dan
apa (what) perubahan second order change maka model perubahan pada
second order planned change dapat dilukiskan seperti tampak pada Gambar
2.7.
Forces Process Content
(why) (how) (what)

Decline

Transformation
Transition
Development
Permitting Paradigm:
enabling
precipitating Culture,
Lead to in which are changed
and mission and
triggering core process
event Planned &
managed
change
strategies,
interventions
and
technologies

Input Throughput Output

Gambar 2.7.
Model Perubahan Second Order Planned Change
2.56 Manajemen Perubahan 

D. TIPOLOGI PERUBAHAN ORGANISASI MENURUT GUNDY

Selain tipologi perubahan organisasi seperti disebutkan sebelumnya,


masih ada tipologi lain di antaranya adalah tipologi perubahan
sebagaimana dikemukakan oleh Grundy (1993). Menurut Grundy,
perubahan organisasi bisa dikelompokkan menjadi tiga jenis yaitu: (1)
smooth incremental change, (2) bumpy incremental change dan (3)
discontinuous change. Ketiga jenis perubahan ini dapat dilihat pada Gambar
2.8, 2.9, dan 2.10.

R ange of s tability
S mooth incremental change

T ime of change

Gambar 2.8.
Smooth incremental change

R ang e of
s tability

B umpy incremental change

T ime of change
Gambar 2.9.
Bumpy incremental change
 EKMA4565/MODUL 2 2.57

R ange of s tability

D is continuous change

T ime of change

Gambar 2.10.
Discontinuous change

Smooth incremental change. Seperti tampak pada Gambar 2.4,


smooth incremental change merupakan jenis perubahan yang mencakup
serangkaian perubahan yang berlangsung pada kecepatan konstan
(ditunjukkan pada garis datar) dan lingkungan eksternal yang relatif
stabil. Di mana perubahan terjadi secara lambat, sistematis dan dapat
diprediksikan. Perlu dicatat bahwa, pada Gambar 2.4, sumbu vertikal
mewakili kecepatan perubahan, bukan jumlah perubahan sedangkan sumbu
horizontal mewakili waktu perubahan. Pada perubahan jenis ini mereka yang
mengarahkan proses perubahan biasanya melibatkan orang-orang yang terkena
dampak perubahan. Orang-orang yang nantinya terkena dampak perubahan
tidak saja memperoleh dukungan tetapi juga dibimbing dan dilatih sehingga
mereka dapat berkontribusi dalam proses perubahan dan merasa nyaman
dengan hasil perubahan.
Karena perubahannya bersifat minor, pada umumnya orang-orang yang
terkena dampak perubahan mampu mengatasi persoalan perubahan. Mereka
bias dikatakan masih dalam situasi yang disebut “range of stability” yaitu
mereka yang terlibat dalam perubahan masih merasa nyaman dalam pengertian
mereka mampu mengatasi persoalan psikologis, emosional dan fisik akibat
tuntutan perubahan. Semua ini disebabkan karena tempo perubahan pada
smooth incremental change pada umumnya relatif sama, tidak bergejolak.
Organisasi melakukan perubahan hanya pada satu aspek saja dengan secara
jelas menetapkan tujuan perubahan dan kemudian ditindaklanjuti dengan
proses implementasi sampai tujuan tersebut benar-benar tercapai. Setelah satu
perubahan tercapai baru menargetkan untuk perubahan pada aspek kehidupan
2.58 Manajemen Perubahan 

organisasi yang lain. Demikian seterusnya perubahan dilakukan secara


bertahap.
Bumpy incremental change. Jenis perubahan kedua menurut Grundy
adalah bumpy incremental change. Seperti halnya smooth incremental
change, perubahan jenis ini ditandai oleh lingkungan eksternal relatif tenang
dan dalam batas-batas tertentu kalaulah ada perubahan, tingkat perubahannya
masih bias diprediksi. Artinya lingkungan yang relative tenang sekali-kali
disela percepatan gerak perubahan baik dalam hal frekuensi, durasi maupun
besarannya. Oleh karenanya secara periodik organisasi juga dituntut untuk
melakukan perubahan untuk menghindari terjadinya staus quo. Pemicu
perubahan jenis ini selain mencakup perubahan lingkungan di mana
perusahaan beroperasi, juga bisa saja bersumber :dari perubahan internal
seperti tuntutan efisiensi dan perbaikan metode kerja. Contohnya,
reorganisasi yang secara periodik dilakukan perusahaan. Satu cara
membedakan dua jenis perubahan inkremental ini adalah dengan
memandangnya sebagai perubahan yang lebih, dikaitkan sebagai sarana
perusahaan dalam mencapai tujuannya, dan bukan pada perubahan sebagai
tujuan itu sendiri. Berbeda dengan smooth incremental change, pada jenis
perubahan ini orang-orang yang terkena dampak perubahan dalam batas-
batas tertentu biasanya tidak merasa nyaman. Mereka keluar dari range of
stability. Penyebabnya, karena untuk mencapai tujuan perubahan cara-cara
lama dalam bekerja biasanya dipertanyakan dan untuk itu mereka tidak
memiliki cukup waktu untuk mempersiapkannya.
Discontinuous change. Jenis perubahan ketiga menurut Grundy adalah
discontinuous change yang didefinisikan sebagai perubahan yang ditandai
oleh pergeseran-pergeseran cepat atas strategi, struktur atau budaya, atau
ketiganya sekaligus. Contohnya di negara kita adalah privatisasi sektor
strategis yang dulunya dikuasai negara, misalnya privatisasi sektor
telekomunikasi. Contoh lainnya adalah apa yang disebut Strebel (1996b)
sebagai 'divergent breakpoint', yaitu perubahan yang digerakkan penemuan
peluang bisnis baru dan ia memberikan contoh lahirnya PC Apple pertama,
munculnya Macintosh dan, yang termutakhir, teknologi seluler dan Internet.
Peluang yang muncul berkat kemajuan dan dapat diaksesnya Internet, tidak
saja lewat komputer, namun juga melalui perangkat televisi dan telepon
seluler, kemungkinan besar akan mendorong bentuk-bentuk discontinuous
change di banyak perusahaan. Perubahan yang mencakup strategi, struktur
(dan hampir selalu dibarengi dengan perubahan budaya dan dominasi relatif
 EKMA4565/MODUL 2 2.59

kelompok tertentu) ketika PT. Telkom mengadopsi teknologi seluler


pertengahan 1990an adalah contoh discontinuous schange. Namun, bukan
berarti discontinuous change selalu digerakkan inovasi teknologi.

E. PERUBAHAN ALAMI: SIKLUS HIDUP ORGANISASI

Secara alami sesungguhnya setiap organisasi selalu mengalami


perubahan, disadari atau tidak. Proses perubahannya bisa dilacak sejak
pertama kali organisasi tersebut didirikan. Sebagaimana kita ketahui, pada
umumnya terbentuknya sebuah organisasi dimulai dari tahap penuangan ide
(courtship stage) sampai pada tahap lahirnya sebuah organisasi (birth stage)
yang berlanjut sampai dengan organisasi tersebut eksis (early birth stage) dan
bisa melakukan kegiatannya (infancy stage). Tentunya siapapun yang
mendirikan organisasi tidak hanya berharap organisasi tersebut sekedar bisa
hidup dan menjalankan kegiatannya namun juga berharap agar organisasi
yang didirikannya terus tumbuh berkelanjutan (sustainable growth). Dengan
kata lain setiap organisasi hampir pasti selalu mengalami siklus hidup dan
pada setiap tahap dalam siklus hidup tersebut pasti mengalami perubahan.
Dengan demikian tidak berlebihan jika dikatakan bahwa tidak ada satupun
organisasi yang tidak berubah, bahkan organisasi pemerintah sekalipun selalu
mengalami perubahan. Perubahan seperti ini sering disebut sebagai
perubahan alami.
Tentunya siklus hidup organisasi tidak berhenti sampai organisasi
tersebut lahir dan bisa berjalan namun, sangat diharapkan, bisa hidup tanpa
batas waktu meski pada saat yang sama kita tidak pernah tahu kapan sebuah
organisasi bisa terus bertumbuh dan kapan terpaksa tidak bisa meneruskan
kegiatannya. Beberapa perusahaan telah membuktikan dirinya bisa eksis
lebih dari 50 tahun seperti misalnya PT. Kedaulatan Rakyat – perusahaan
penerbit surat kabar lokal Yogya dan Matsushita Electric Industrial (MEI) –
perusahaan elektronik terkenal dari Jepang yang didirikan pada tahun 1930an
(Kotter, 1997). Demikian juga Johnson and Johnson atau Unilever yang
sudah berumur lebih dari 100 tahun.
Meski demikian, sekali lagi, kita tidak tahu apakah perusahaan-
perusahaan yang telah berumur 50 tahun dan 100 tahun tersebut tiba-tiba
tidak bisa meneruskan kegiatannya dan terpaksa harus diambil alih oleh
perusahaan lain seperti yang terjadi pada PT. HM Sempurna? Kita tidak tahu.
Yang justru sering terjadi adalah sebuah perusahaan yang belum lama berdiri
2.60 Manajemen Perubahan 

tidak bisa lagi meneruskan kegiatannya karena kalah bersaing dengan


perusahaan lain. Hal ini misalnya dialami perusahaan penerbangan Star Air.
Setelah harga bahan bakar pesawat (avtur) membumbung tinggi dari yang
semula diperkirakan hanya Rp2000 – Rp3000 tiba-tiba mencapai Rp5000 dan
terus bergerak naik karena harga minyak mentah dunia naik secara akseleratif
dari US$ 30 mencapai US$50 dan terus berlanjut sampai mencapai US$75.
Di saat yang sama perang tarif begitu tajam karena tingginya tingkat
persaingan penerbangan domestik. Karena dua alasan itulah Star Air yang
belum sempat menikmati kejayaannya terkena seleksi alam dan harus
menyatakan dirinya bangkrut pada usia dini. Kondisi yang kurang lebih sama
juga dialami oleh Awair yang belakangan diambil alih oleh Air Asia.
Berbeda dengan Star Air dan Awair, meski menghadapi situasi yang sama,
Lion Air sepertinya tidak pernah mengalami masa remaja. Perusahaan ini
tiba-tiba tumbuh menjadi perusahaan yang cukup dewasa kalau tidak
dikatakan tumbuh berlebihan (excessive growth). Namun ke depannya
apakah Lion Air masih tetap bisa tumbuh berkelanjutan? Sekali lagi kita
belum tahu.
Pertanyaannya adalah bagaimana pola perkembangan organisasi yang
bisa bertahan hidup dalam beberapa periode waktu dan mengalami
pertumbuhan?, Apakah bergerak secara akseleratif mengikuti garis lurus?
Kenyataannya tidak demikian. Dalam banyak kasus pola pertumbuhan
organisasi bersifat siklikal mengikuti pola pertumbuhan berbentuk kurva
yang menyerupai huruf “S” yang disebut “S curve” seperti tampak pada
Gambar 2.11. Dalam bidang studi organisasi, pola pertumbuhan organisasi
seperti ini disebut sebagai siklus hidup organisasi (organizational life cycle)
yang untuk selanjutnya disingkat “SHO”.

Gambar 2.11.
SHO berbentuk kurva S
 EKMA4565/MODUL 2 2.61

Sederhananya, seperti tampak pada gambar di atas, SHO bermula saat


sebuah organisasi didirikan (birth stage). Setelah melewati masa-masa kritis,
bisa survive dan eksis, siklus organisasi berlanjut ke tingkat berikutnya yaitu
tumbuh dan menjadi besar (growth stage). Pertumbuhan organisasi ini pada
satu titik tertentu akan berhenti (stagnant) yang disebabkan karena
mengalami kejenuhan (maturity stage). Jika situasi kejenuhan ini bisa diatasi
maka organisasi bangkit kembali (revival stage), namun sebaliknya jika
situasi ini terus berlanjut bukan tidak mungkin siklus akan berlanjut ke tahap
penurunan (declining stage) dan boleh jadi sampai pada tahap kematian
(death) (Miller & Freisen, 1984). Untuk jelasnya lihat Gambar 2.12).
Penjelasan ini secara tidak langsung menunjukkan bahwa organisasi dalam
perjalanan hidupnya harus melalui beberapa tahap berbeda yang bersifat
sequential (berurut-urutan). Setiap tahapan memiliki karakteristik berbeda
yang memerlukan cara pengelolaan yang berbeda pula.

Gambar 2.12.
Siklus Hidup Organisasi

Meski secara umum siklus hidup organisasi mengikuti pola seperti


dikemukakan oleh Miller and Freisen seperti disebutkan di atas, apa yang
disampaikan Miller and Freisen hanyalah salah satu dari beberapa pola dalam
menyusun tahapan-tahapan SHO. Bisa dikatakan bahwa sampai saat ini
belum ada kesepakatan di antara para teoritis organisasi mengenai jumlah
tahapan dalam setiap siklus organisasi. Masing-masing dengan argumentasi
berbeda mengemukakan pendapat yang berbeda pula. Hasil rangkuman
Quinn and Cameron (1983) misalnya menunjukkan adanya 9 model
pentahapan dalam siklus organisasi. Namun Quinn and Cameron akhirnya
2.62 Manajemen Perubahan 

mengemukakan pendapatnya sendiri bahwa SHO bisa dibedakan menjadi 4


tahap.
Secara umum model yang paling sederhana, seperti dikemukakan oleh
Adizes (1999), SHO terdiri dari dua tahap yaitu tahap pertumbuhan
(growing) dan tahap penurunan (aging). Dari dua tahapan ini Adizes
mengelaborasi lebih lanjut masing-masing menjadi 5 tahap sehingga secara
keseluruhan modelnya Adizes terdiri dari 10 tahap. Pendapat lain, sebagian
mengatakan SHO terdiri dari tiga tahap; sebagiannya lagi mengatakan SHO
terdiri dari empat tahap; yang lain menyebutkan lima tahap dan bahkan ada
yang menyebutkan 8 tahap. Rangkuman dari berbagai sumber mengenai
tahap-tahap dalam SHO dan nama masing-masing tahapan disajikan pada
Tabel 2.5 berikut ini.
Tabel 2.5.
Jumlah dan nama tahapan dalam SHO

Jumlah tahapan
Sumber Nama masing-masing tahapan
dalam SHO
Dua tahap di- Growing: Courtship, infancy, go-go,
Ichak Adizes (1999) kembangkan adolescence, dan erly prime
menjadi 10 tahap Aging: Late prime, aristocracy, Salem city,
bureaucracy dan death
(1) Strugles for autonomy, (2) Rapid growth,
Down (1967) Tiga tahap
(3) Deceleration
Lippit and Scmidt
Tiga tahap (1) Birth, (2) Youth, (3) Maturity
(1967)
Scott (1971) Tiga tahap (1) Stage 1, (2) Stage 2, (3) Stage 3
Katz and Kahn (1) Primitive system, (2) Stable organization,
Tiga tahap
(1978) (3) Elaborative supporting structure
Lynden (1975) Empat tahap (1) First, (2) Second, (3) Third, (4) Fourth stage
Kimberly (1979) Empat tahap (1) First, (2) Second, (3) Third, (4) Fourth stage
(1) Entrepreneurial, (2) Collectivity, (3)
Quinn and
Empat tahap Formalization and control, (4) Elaboration of
Cameron (1983)
structure
(1) Conception and development, (2)
Kazanjian (1988) Empat tahap
commercialization, (3) Growth, (4) Stability
(1) Creativity, (2) Direction, (3) Delegation,
Greiner (1972) Lima tahap
(4) Coordination, (5) Collaboration
Miller and Freisen (1) Birth, (2) Growth, (3) Maturity, (4) Revival,
Lima tahap
(1984) (5) Decline
(1) Fantasies, (2) Investment, (3) Determination,
(4) Experiments, (5) Predetermined Productivity,
Torbet (1974) Delapan tahap
(6) Openly chosen structure, (7) Foundational
community, (8) Liberating disciplines.
 EKMA4565/MODUL 2 2.63

Tabel 2.5 menunjukkan adanya variasi jumlah dan nama tahapan dalam
SHO. Variasi tersebut disebabkan karena masing-masing teoritis
menggunakan pendekatan yang berbeda dalam mendeskripsikan makna dan
tujuan membahas SHO. Sebagai contoh, landasan yang digunakan oleh
Anthony Down untuk menghasilkan 3 tahapan SHO adalah motivasi untuk
tumbuh. Sementara itu Katz and Kahn, meski sama-sama menghasilkan
3 tahapan, dasar yang digunakan berbeda. Modelnya Katz and Khan
didasarkan pada elaborasi struktur organisasi sehingga mereka menyebut
tahap pertama sebagai primitive system stage yang menggambarkan
organisasi dengan struktur yang lebih menekankan pentingnya koordinasi
antar anggota organisasi. Tahap kedua disebut stable organization –
menyiratkan struktur organisasi yang lebih berorientasi pada mekanisme
pengendalian dan tahap ketiga adalah elaboration of structure merupakan
desain struktur yang adaptif terhadap lingkungan (1983).

1. Tujuan Memahami SHO


Belum adanya kesepakatan mengenai nama dan jumlah tahapan dalam
SHO sesungguhnya tidak perlu dipersoalkan karena seperti telah disebutkan
di muka, masing-masing menggunakan pendekatan yang berbeda untuk
menghasilkan jumlah tahapan yang berbeda. Hal yang lebih penting untuk
dipahami lebih jauh adalah mengapa kita perlu memahami konsep SHO.
Paling tidak ada dua alasan mengapa konsep SHO perlu dipahami lebih baik.
Pertama, SHO adalah sebuah pola perkembangan organisasi yang terdiri dari
beberapa tahapan dan setiap tahapan memiliki karakteristik berbeda. Sebagai
contoh, Adizes mengemukakan perbedaan karakteristik antara organisasi
yang sedang tumbuh dan organisasi yang sudah menua seperti tampak pada
Tabel 2.6 berikut ini.

Tabel 2.6.
Karakteristik perusahaan sedang tumbuh dan
Perusahaan sudah menua

Perusahaan sedang tumbuh Perusahaan sudah menua


1. Keberhasilan disebabkan karena berani 1. Keberhasilan disebabkan karena mau
mengambil risiko menghindari risiko
2. Harapan biasanya lebih besar dari hasil 2. Hasil biasanya lebih besar dari harapan
3. Kondisi keuangan perusahaan biasanya 3. Kondisi keuangan perusahaan biasanya
tidak menggembirakan sangat baik
4. Organisasi lebih menekankan pentingnya 4. Bentuk organisasi dianggap lebih
2.64 Manajemen Perubahan 

Perusahaan sedang tumbuh Perusahaan sudah menua


fungsi organisasi ketimbang bentuknya penting ketimbang fungsinya
5. Fokus perhatian pada “mengapa” dan 5. Fokus perhatian ditekankan pada
“apa” yang harus dikerjakan “bagaimana” dan “siapa” yang akan
6. Tanpa memperdulikan kepribadian melakukan pekerjaan
masing-masing, para pekerja dituntut 6. Kepribadian seseorang jauh lebih
untuk berkontribusi terhadap perusahaan penting ketimbang kontribusinya
7. Semuanya bisa dilakukan kecuali yang terhadap perusahaan
nyata-nyata dilarang 7. Semuanya dilarang kecuali yang nyata-
8. Masalah perusahaan lebih dilihat nyata diizinkan
sebagai sebuah kesempatan 8. Kesempatan yang terbuka justru dilihat
9. Bagian pemasaran dan penjualan sebagai masalah yang dihadapi
mempunyai kekuasaan politik yang lebih perusahaan
besar 9. Bagian-bagian yang mempunyai
10. Orang-orang lini juga bertindak untuk kekuasaan politik lebih adalah
mengatasi persoalan akuntansi, keuangan dan hukum
11. Tanggung jawab biasanya tidak 10. Staf perusahaan bertindak sebagai
sebanding dengan otoritas yang penyelesai masalah
diberikan 11. Otoritas seseorang biasanya tidak
12. Manajemen berfungsi untuk mendorong sebanding dengan tanggung jawab
berjalannya organisasi seseorang
13. Manajemen berfungsi untuk mendorong 12. Kondisi organisasi akan mendorong
terjadinya momentum kebutuhan manajemen
14. Perubahan kepemimpinan bisa 13. Manajemen justru mendorong terjadi
mendorong perubahan prilaku organisasi keengganan berubah
15. Organisasi sangat membutuhkan 14. Untuk merubah prilaku organisasi
konsultan dibutuhkan perubahan sistem
16. Organisasi sangat berorientasi pasar 15. Organisasi membutuhkan “insultant” -
17. Keberadaan organisasi semata-mata orang-orang yang bertindak lebih
untuk menciptakan nilai tambah offensive
16. Obsesi organisasi adalah memperoleh
laba yang besar
17. Pengambilan keputusan biasanya
didasarkan pada kekuatan politik si
pengambil keputusan
Sumber: Adizes, 1999, halaman 117

Dengan memahami perbedaan karakteristik pada setiap tahapan seperti


tersebut di atas, para manajer tentunya akan lebih mudah menetapkan skala
prioritas yang berbeda pada setiap tahapan yang berbeda. Sebagai contoh,
dengan menggunakan 3 tahap siklus organisasi – inception, high-growth dan
maturity, Smith, Mitchell and Summer (1985) kembali menegaskan bahwa
seorang manajer cenderung memberikan skala prioritas berbeda pada setiap
tahapan yang berbeda. Pada saat organisasi berada pada tahap maturity
 EKMA4565/MODUL 2 2.65

misalnya, perhatian para manajer terhadap arti penting koordinasi semakin


menurun. Temuan ini sama dengan temuan Quinn and Cameron yang kurang
lebih mengatakan hal yang sama. Temuan mereka juga menunjukkan bahwa
dukungan politik juga akan mengalami pergeseran sejalan dengan perubahan
siklus organisasi. Para manajer cenderung membutuhkan dukungan politik
yang lebih besar sejalan dengan semakin meningkatnya perkembangan
organisasi.
Tujuan kedua memahami konsep SHO, seperti ditegaskan Lester, Parnell
and Carraher (2003) adalah agar mereka yang terlibat dalam kehidupan
organisasi, khususnya para manajer, lebih mudah menetapkan kapan dan
bagaimana perubahan atau intervensi perlu dilakukan agar organisasi bisa
bertahan hidup dan terus berkembang. Perubahan organisasi menjadi semakin
penting karena sejalan dengan teori kontingensi, setiap organisasi harus
selalu beradaptasi dengan lingkungannya jika menghendaki organisasi
tersebut bisa survive dan terus berkembang. Berkaitan dengan hal yang
terakhir – perubahan organisasi, uraian tentang konsep SHO pada bagian ini
akan dikaitkan dengan perubahan budaya organisasi. Meski demikian
berbagai literatur menunjukkan bahwa SHO tidak semata-mata dikaitkan
dengan perubahan budaya tetapi juga dikaitkan dengan konfigurasi organisasi
lainnya. Sebagai contoh, SHO secara umum bisa dikaitkan dengan efektivitas
organisasi; dengan nuansa kewirausahaan; dengan penyusunan dan arahan
strategi; dengan kekuasaan; dan terakhir dengan masalah politik di dalam
organisasi. Sementara keterkaitan antara SHO dengan konfigurasi organisasi
seperti dikemukakan oleh Gupta and Chin (1994) disajikan dalam Tabel 2.7
berikut ini.

Tabel 2.7.
Keterkaitan antara SHO dengan konfigurasi organisasi

Pertumbuhan
Lahir dan
tahap akhir dan Decline/menurun
pertumbuhan awal
penuaan
Struktur organisasi Informal dan formal
Formal dan
didukung struktur Sangat kompleks
kompleks
organisasi sederhana
Gap budaya Rendah Relatif tinggi Tinggi
Tipe
Craftman / pengrajin Lebih oportunis Lebih oportunis
kewirausahaan
Masa kerja CEO Relatif pendek Relatif panjang Relatif lebih panjang
Orientasi strategi Strategi pertumbuhan Strategi Tidak ada spesifikasi
2.66 Manajemen Perubahan 

Pertumbuhan
Lahir dan
tahap akhir dan Decline/menurun
pertumbuhan awal
penuaan
pertumbuhan strategi
Ketidakpastian
Tinggi Biasanya tinggi Biasanya tinggi
lingkungan
Persepsi terhadap
Dianggap
ketidakpastian Dianggap tinggi Dianggap tinggi
rendah
lingkungan
Organizational Cenderung
Medium ke tinggi Rendah
slack menurun

2. SHO dan Perubahan Budaya Organisasi


Di muka telah dijelaskan bahwa budaya organisasi bukanlah variabel
statis yang tidak tanpa perubahan. Perubahan budaya organisasi sangat
dimungkinkan mengingat budaya organisasi merupakan variabel yang
dinamis (Hatch, 1993) dan manageable, dan disisi lain organisasi sebagai
living organism selalu mengalami perubahan dan perkembangan. Kecocokan
antara budaya organisasi dengan lingkungan eksternal dimasa yang akan
datang Kotter & Heskett, 1992) juga merupakan salah satu pertimbangan
perlu tidaknya perubahan budaya.
Pertanyaannya sekarang, kapan seharusnya perubahan budaya itu
dilakukan dan bagaimana caranya? Sebelum pertanyaan ini terjawab, perlu
disadari bahwa merubah budaya bukan pekerjaan mudah karena sekali
budaya tersebut terkristalisasi ke dalam masing-masing anggota organisasi
dan tersistem ke dalam kehidupan organisasi, para anggota organisasi
cenderung mempertahankannya tanpa memperhatikan apakah budaya
tersebut functional atau dysfunctional terhadap kehidupan organisasi. Artinya
perubahan budaya hampir selalu berhadapan dengan resistensi para karyawan
yang merasa sudah terlanjur mengadopsi budaya yang telah diajarkannya
kepada mereka. Oleh karenanya perubahan budaya sering kali berjalan secara
gradual (Hofstede, 1980) dan bahkan bisa membutuhkan waktu lama. Kotter
and Heskett (1992) misalnya menyebutkan bahwa perubahan budaya bisa
memakan waktu sampai 10 tahun.
Perubahan budaya umumnya diawali dengan adanya krisis organisasi
(vicious circle) yakni ketika sebuah organisasi mencoba mengatasi berbagai
masalah kritis baik yang berasal dari lingkungan dalam maupun dari
lingkungan luar organisasi. Paling tidak definisi budaya yang diberikan oleh
Schein menunjukkan hal ini. Apple Computer misalnya, pada tahun 1985
 EKMA4565/MODUL 2 2.67

mengadakan perubahan budaya karena krisis. Meski demikian krisis


bukanlah persyaratan mutlak perlunya perubahan budaya. Walaupun prestasi
perusahaan cukup berhasil, kalau tidak dikatakan sangat sukses, James Burke
sebagai CEO baru Johnson and Johnson menganggap perlu untuk merubah
budaya perusahaan (Kerin, 1990). Burke berkesimpulan bahwa kultur
Johnson and Johnson yang ada tidak cocok lagi dengan kegiatan bisnis dan
lingkungannya dimasa datang. Salah satu alasan ketidakcocokan tersebut
adalah bisnis Johnson and Johnson sudah mencapai titik jenuh (maturity)
sehingga mau tidak mau budayanya harus diganti (1990).
Jadi, dalam konteks perubahan budaya organisasi, SHO (Jones, 1995;
Pheysey, 1993; Adizes, 1999) biasanya menjadi dasar untuk melakukan
perubahan budaya. Schein (1985: 272) misalnya membagi tahap
pertumbuhan organisasi menjadi tiga bagian: (1) berdiri dan tahap awal
pertumbuhan, (2) berkembang dan (3) penurunan. Sejalan dengan siklus
tersebut, Schein menawarkan mekanisme perubahan budaya yang berbeda
untuk setiap tahap pertumbuhan yang berbeda seperti tampak pada Tabel 2.8
berikut ini.

Tabel 2.8.
Tahap pertumbuhan organisasi, fungsi budaya dan mekanisme perubahannya

TAHAP FUNGSI MEKANISME


PERTUMBUHAN BUDAYA PERUBAHAN
1. budaya sebagai identitas diri 1. evolusi secara
2. budaya sebagai perekat di antara natural
Lahir dan mulai
para anggota organisasi 2. terapi organisasi
tumbuh
3. budaya sebagai integrasi internal 3. hybrid
(peran para pendiri
4. budaya sebagai bentuk komitmen 4. memasukkan orang
dan keluarganya
anggota luar
sangat dominan)
1. budaya menjadi ajang
pertentangan antara yang pro dan
kontra
2. para pengganti (suksesor) akan
Tahap suksesi
dinilai apakah dia mempertahankan
atau mau mengganti budaya lama
1. mulai muncul subbudaya baru 1. perubahan
2. mulai terjadi krisis identitas terencana
3. muncul kesempatan untuk 2. memasukan
Tahap kemapanan
merubah budaya teknologi baru
organisasi
3. perubahan dengan
mengubah mitos
4. incrementalism
2.68 Manajemen Perubahan 

TAHAP FUNGSI MEKANISME


PERTUMBUHAN BUDAYA PERUBAHAN
Opsi transformasi: 1. persuasi disertai
1. perubahan budaya tidak bisa sedikit paksaan
dihindarkan meski tidak semua 2. penyehatan budaya
elemen harus di rubah 3. reorganisasi,
2. beberapa elemen pokok tetap pelenyapan budaya
Tahap kejenuhan
dipertahankan lama dan
organisasi
3. mengelola perubahan budaya memunculkan
Opsi destruksi budaya baru
1. perubahan paradigma
2. perubahan budaya melalui
penggantian orang-orang kunci
Sumber: Schein, 1985, pp. 271-2

Pada bagian pertama, yakni saat organisasi lahir dan memasuki tahap
awal pertumbuhan, organisasi yang kegiatannya belum begitu kompleks
biasanya dikelola langsung oleh para pendiri dan atau keluarganya. Bukan
hanya itu, merekalah yang menentukan semua sepak terjang organisasi
termasuk menentukan arah tujuan organisasi. Karena peran para pendiri dan
keluarganya begitu dominan maka budaya yang berkembang pada organisasi
tersebut seperti dikatakan oleh Choueke and Amstrong lebih merupakan
cerminan dari pandangan atau nilai-nilai para pendiri dan atau keluarganya
terhadap kondisi internal dan eksternal organisasi (2000). Sementara para
pekerja yang datang belakangan hanya sekedar mengikuti, mempelajari dan
menyesuaikan diri dengan apa yang dianggap benar oleh para pendiri dan
keluarganya. Mereka (para pekerja) seolah-olah tidak memiliki peran dalam
membangun budaya organisasi. Bagi para pendiri dan keluarganya, budaya
lebih berfungsi sebagai alat untuk mengintegrasikan para pekerja dengan
organisasi, alat perekat di antara anggota organisasi, dan alat untuk
membangun komitmen dalam rangka untuk menunjukkan identitas diri
organisasi. Pada tahap ini jika budaya terpaksa harus diubah, perubahannya
lebih disebabkan karena tuntutan internal dan ditujukan agar terjadi
kovesivitas/integrasi internal yang semakin kokoh bukan karena tekanan
lingkungan eksternal yang sangat kuat. Empat macam mekanisme perubahan
yang bisa digunakan yaitu:
a. Perubahan evolutif yang bersifat natural. Perusahaan kecil yang sedang
beranjak tumbuh biasanya ditandai dengan semakin meningkatnya
aktivitas perusahaan misalnya karena jumlah atau variasi produk yang
dihasilkan bertambah. Oleh karena itu tanpa disadari organisasi juga
 EKMA4565/MODUL 2 2.69

sesungguhnya mengalami perubahan. Namun karena para pendiri dan


atau keluarganya masih terlibat secara aktif di dalam kehidupan
perusahaan dan bahkan keterlibatan tersebut bukan hanya untuk saat ini
tetapi juga untuk waktu-waktu yang akan datang maka perubahan
budayanya hampir tidak tampak. Kalaulah ada perubahan budaya maka
perubahannya lebih bersifat natural tanpa rekayasa atau perencanaan
sebelumnya dan perubahan tersebut lebih berorientasi internal dalam
kerangka untuk memperkokoh nilai-nilai yang telah ada. Sebagai contoh,
perubahan budaya pada perusahaan yang memproduksi barang-barang
konsumen pada umumnya dilakukan dengan merekrut karyawan baru
yang memiliki keterampilan di bidang pemasaran. Sedangkan pada
perusahaan yang bergerak di bidang teknologi, rekruitmen karyawan
baru ditekankan kepada mereka yang memiliki kemampuan di bidang
penelitian dan pengembangan. Contoh-contoh ini menunjukkan bahwa
yang dilakukan oleh perusahaan kecil terkadang sekedar mengasimilasi
praktik-praktik yang terbaik di masa datang yang secara kasatmata
sepertinya tidak bermaksud merubah budayanya. Meski demikian secara
natural apa yang dilakukan oleh perusahaan pada akhirnya juga akan
merubah budayanya walaupun perubahan tersebut sangat lambat dan
sekedar untuk memperkokoh nilai-nilai yang berkembang selama ini.
Perubahan evolutif yang bersifat natural
b. Perubahan evolutif yang dipandu dari dalam organisasi (self-guided)
dengan menggunakan terapi organisasi. Dalam batas-batas tertentu,
bukan hanya para pendiri dan keluarganya tetapi juga para karyawan lain
sesungguhnya menyadari bahwa kondisi internal organisasi perlu terus
menerus dipantau, dilakukan penilaian (assessment) dan dievaluasi agar
mereka memahami kondisi organisasi yang sebenarnya. Upaya
memahami kondisi internal organisasi (self-insight) inilah yang
memungkinkan mereka pada akhirnya menyadari perlunya melakukan
kaji ulang terhadap kondisi organisasi berjalan untuk mengetahui
kelebihan dan kekurangannya sehingga mereka juga bisa mendefinisikan
kembali orientasi organisasi. Kelebihannya perlu terus dipertahankan
dan kekurangannya ditutup dengan melakukan pembenahan organisasi
termasuk di dalamnya perubahan budaya meski perubahannya tidak bisa
dilakukan secara radikal. Untuk itu, diperlukan adanya terapi organisasi
yang kadang-kadang harus melibatkan orang luar. Tujuan melibatkan
orang luar di antaranya adalah: (a) untuk membantu pihak manajemen
2.70 Manajemen Perubahan 

mengurai kondisi organisasi yang sebenarnya (unfreeze the


organization), (b) memberikan jaminan secara psikologis kepada orang-
orang dalam organisasi bahwa perubahan bukan sesuatu yang harus
ditakutkan (c) membantu menganalisis kondisi budaya berjalan,
(d) memberi masukan kepada orang-orang kunci berkaitan dengan
pengaruh budaya berjalan terhadap kinerja organisasi dan (e) membantu
proses pendefinisian ulang terhadap kondisi organisasi.
c. Perubahan evolutif dengan hybrids. Yang dimaksudkan dengan hybrids
di sini adalah perubahan budaya dengan membiarkan budaya lama tetap
eksis namun pada saat bersamaan mulai diperkenalkan budaya baru
sampai pada saatnya nanti budaya baru bisa benar-benar menggantikan
budaya lama. Untuk ini, diperlukan bantuan orang dalam yang sudah
lama bergabung dengan perusahaan. Orang tersebut juga harus bisa
diterima oleh banyak pihak dan memahami perkembangan budaya
berjalan tetapi mempunyai pandangan yang sedikit berbeda dengan
kebanyakan orang. Dengan karakteristik orang dalam seperti itu,
diharapkan orang tersebut bisa mengetahui apa yang dianggap kurang
sehingga secara bertahap bisa merubah budaya yang ada.
d. Perubahan secara revolutif terkendali dengan bantuan pihak luar
organisasi. Berbeda dengan ketiga pola perubahan budaya di muka, pola
perubahan budaya ini bisa dikatakan revolusioner, karena perubahannya
melibatkan orang luar. Meski demikian perubahannya masih dalam batas
kendali organisasi (para pendiri dan keluarganya). Dalam batas-batas
tertentu, pada organisasi yang baru berdiri tetapi sedang tumbuh, para
pendirinya kadang-kadang menganggap perlu untuk memasukkan orang
luar yang sengaja direkrut untuk menempati posisi kunci organisasi.
Bagi perusahaan keluarga cara ini biasanya dianggap tidak lazim karena
anggota keluarga selalu didahulukan untuk menempati posisi kunci.
Namun manakala perusahaan keluarga hendak melakukan suksesi dan
tidak ada anggota keluarga yang dianggap mampu untuk menempati
posisi kunci tersebut pilihan biasanya jatuh kepada orang luar yang
dianggap profesional. Memilih manajer profesional, bukan anggota
keluarga, bisa juga dilakukan jika para pendiri menghendaki
perusahaannya melakukan percepatan yang eksponensial. Tujuan
memasukkan orang luar di antaranya agar perusahaan bisa lebih
profesional karena orang luar tersebut biasanya memiliki pengetahuan
dan bisa memperkenalkan teknik-teknik manajemen baru yang tidak
 EKMA4565/MODUL 2 2.71

dimiliki dan diketahui oleh para pendiri perusahaan atau keluarganya.


Oleh sebab itu cara perubahan budaya seperti ini bisa dianggap sebagai
perubahan yang revolusioner karena perusahaan keluarga biasanya
enggan diintervensi oleh orang luar.
Secara umum, keempat mekanisme perubahan budaya tersebut
merupakan mekanisme perubahan yang bersifat gradual, kecuali cara
perubahan yang keempat yang bersifat revolutif terkendali. Tujuan
perubahan budayanya tidak lain dalam rangka untuk memperbaiki
identitas diri organisasi, mempererat hubungan antar anggota organisasi,
mengintegrasikan kepentingan internal organisasi dan membangun
komitmen anggota organisasi. Meski pada tahap ini para pendiri
perusahaan sering kali masih terlibat secara langsung pada kehidupan
perusahaan, bukan tidak mungkin suksesi pimpinan dari generasi
pertama ke begergasi berikutnya melibatkan orang luar walaupun
sebagian besar penggantian pimpinan tersebut masih pada seputar
keluarga pendiri. Pada proses penggantian ini, budaya akan menjadi
ajang perdebatan antara yang pro dan kontra terhadap budaya lama
mengingat suksesi kepemimpinan biasanya dibarengi dengan perubahan
budaya. Calon pengganti, baik yang berasal dari anggota keluarga
maupun orang luar, juga akan dinilai berdasarkan pro dan kontra
tersebut.
Pada tahap kedua yakni ketika organisasi sudah mapan dan bahkan
sudah berkembang secara geografis, variasi produk yang ditawarkan
bertambah, melakukan integrasi vertikal atau melakukan merger dengan
organisasi lain, para pendiri dan atau keluarganya biasanya tidak lagi
terlibat secara langsung dalam kehidupan sehari-hari organisasi.
Organisasi pada umumnya dipimpin oleh para profesional. Di samping
itu, organisasi juga sudah memiliki perangkat organisasi yang lengkap,
termasuk di dalamnya budaya organisasi. Oleh karena itu jika para
pimpinan organisasi menganggap bahwa budaya berjalan sudah tidak
lagi cocok dengan lingkungan yang baru maka saatnya budaya harus di
rubah. Untuk itu, berbeda dengan kondisi organisasi pada tahap pertama
yang perubahannya lebih bersifat evolutif dan berorientasi internal, pada
tahap ini perubahan budaya biasanya dilakukan secara sistematis dan
terencana yang tujuan perubahannya dalam rangka untuk melakukan
adaptasi eksternal. Mekanisme perubahannya antara lain:
2.72 Manajemen Perubahan 

1) Perubahan terencana dan pengembangan organisasi (planned change


and organizational development). Pada perusahaan yang sudah
mapan, pihak manajemen perusahaan biasanya menyadari arti
penting budaya bagi perusahaan sehingga ketika budaya dirasa tidak
lagi cocok dengan kondisi perusahaan maka saatnya budaya harus di
rubah. Ketidakcocokan tersebut boleh jadi karena perkembangan
budaya tidak lagi menjadi ciri atau identitas diri perusahaan atau
karena munculnya sub-sub budaya baru yang menyimpang dari
tujuan awal pembentukan budaya atau budaya lama dianggap
dysfuncional. Ketika budaya telah berkembang ke arah seperti yang
disebutkan di muka – tidak menjadi identitas diri, munculnya sub-
usb budaya baru dan dysfuncional maka saatnya budaya untuk di
rubah. Karena perusahaan telah mapan dan memiliki perangkat
manajemen yang memadai maka perubahan budaya biasanya
dilakukan dengan perubahan terencana. Dengan pola perubahan
seperti ini pihak manajemen berharap bahwa perubahan budaya
tidak mengganggu aktivitas perusahaan. Untuk itu perubahan
budaya biasanya dilakukan secara terstruktur misalnya dengan
mengembangkan organisasi yakni menyelaraskan budaya dengan
perkembangan organisasi di masa yang akan datang. Cara ini
diharapkan dapat mengurangi resistensi pihak-pihak terkait,
terutama para karyawan yang cenderung resisten terhadap
perubahan.
2) Perubahan budaya dengan memperkenalkan teknologi baru
(technological seduction). Meski penggantian teknologi – dari
teknologi lama ke teknologi baru biasanya hanya dilihat sebagai
upaya untuk memperbaiki hasil produksi, penggantian teknologi
sesungguhnya juga merupakan peristiwa kultural. Dalam batas-batas
tertentu, penggantian teknologi biasanya dibarengi dengan
perubahan cara-cara untuk mengoperasikan teknologi baru tersebut.
Karena cara mengoperasikannya berubah maka prilaku para
operatornya juga dituntut untuk berubah. Secara gradual perubahan
prilaku akan mendorong mereka untuk mengadopsi nilai-nilai baru,
keyakinan dan asumsi baru dalam menjalankan aktivitas perusahaan.
Dengan kata lain, perubahan prilaku yang disebabkan karena
perubahan teknologi pada akhirnya akan merubah pula budayanya.
Oleh karena itu, penggantian atau inovasi teknologi bertujuan bukan
 EKMA4565/MODUL 2 2.73

hanya untuk mengganti teknologi lama yang sudah usang yang tidak
lagi cocok dengan kondisi sekarang tetapi juga sebagai bagian dari
upaya untuk merubah budaya.
3) Perubahan budaya dengan memaparkan sisi negatif dari mitos yang
selama ini berkembang di dalam organisasi. Ketika perusahaan
sudah mulai mapan dan cenderung mencapai tahap kejenuhan,
perusahaan sesungguhnya telah memiliki ideologi dan mitos yang
menjadi pedoman dalam menjalankan kegiatan perusahaan. Ideologi
dan mitos seperti ini oleh Argyris and Schon (1994) disebut sebagai
espoused theories. Ketika ideologi dan mitos tersebut begitu kuat,
telah mendarah daging dan tersistem ke dalam kehidupan organisasi,
para anggota organisasi tidak lagi memperhatikan sisi negatif
ideologi dan mitos tersebut. Dalam batas-batas tertentu, mitos
tersebut terkadang sudah tidak layak lagi untuk menjadi pedoman
dalam menjalankan kegiatan organisasi. Oleh karena perlu adanya
perubahan mitos untuk menghilangkan atau meminimalisir sisi
negatif dari mitos yang berkembang di dalam organisasi. Perubahan
tersebut bisa dilakukan dengan mengembangkan asumsi atau mitos
lain yang lebih relevan dalam menjalankan kegiatan organisasi
yakni theories in use – praktik yang berjalan yang sengaja didesain
untuk mengganti espoused theories. Meski kadang-kadang berjalan
lambat, perubahan mitos ini diharapkan akan bisa merubah budaya
organisasi berjalan.
4) Perubahan sedikit demi sedikit tetapi konsisten (incrementalism).
Perubahan budaya, dalam batas-batas tertentu, akan memberikan
hasil yang terbaik jika dilakukan sedikit demi sedikit tetapi
konsisten. Cara perubahan seperti ini biasanya dilakukan dengan
memanfaatkan semua kesempatan yang ada dalam upayanya untuk
mempengaruhi semua pihak yang terlibat di dalam perusahaan
sehingga pada akhirnya tujuan perusahaan bisa tercapai. Cara ini
biasanya cukup efektif meski memerlukan waktu lama terutama
untuk menghindari gejolak dibandingkan jika perubahannya
dilakukan sekaligus (radikal).

Dibandingkan dengan mekanisme perubahan pada tahap pertama yang


lebih berorientasi ke dalam (dalam rangka melakukan integrasi internal),
perubahan pada tahap kedua seperti tampak pada poin 5 sampai 8 lebih
2.74 Manajemen Perubahan 

berorientasi eksternal (dalam rangka melakukan adaptasi eksternal)


karena tekanan pihak eksternal memang relatif sudah cukup tinggi.
Untuk itu, karena organisasi biasanya telah memiliki perangkat
organisasi yang memadai, maka perubahan budaya cenderung dilakukan
secara sistematis dan tersturktur terutama agar gejolak di dalam
organisasi tidak terlalu tinggi mengingat perubahan budaya biasanya
diikuti oleh resistensi karyawan.
Pada tahap ketiga organisasi mengalami penurunan kinerja yang sangat
signifikan (declining stage). Pada tahap ini seperti dikatakan oleh Adizes
(1999) penurunan organisasi, walaupun tidak harus selalu, biasanya
diawali dengan krisis organisasi yang disebabkan karena perubahan
internal atau eksternal organisasi. Pada situasi seperti ini, perubahan
budaya organisasi biasanya dilakukan dengan cara berbeda yaitu
perubahan secara struktural atau radikal. Pada situasi ini ada dua opsi
yang mungkin berkembang, yaitu opsi transformasi dan destruksi.
Dengan opsi transformasi berarti tidak semua komponen budaya di
rubah, ada beberapa komponen dasar seperti asumsi dasar dan filosofi
organisasi tetap dipertahankan. Sementara itu dengan opsi kedua,
perubahan budaya dilakukan secara struktural, termasuk merubah
filosofi dan orang-orang kunci organisasi. Perubahannya bisa dilakukan
dengan coercive persuation (persuasi yang menggunakan ancaman),
turnaround (penyehatan organisasi) dan melakukan reorganisasi atau
destruksi budaya yang ada. Oleh Reger et al. (1994) perubahan semacam
ini disebut dengan perubahan tektonik. Secara umum, mekanisme
perubahan budaya pada tahap ketiga adalah sebagai berikut:
1) Perubahan yang bersifat persuasi dengan sedikit ancaman (coercive
persuasion). Jika seseorang tidak lagi mempunyai pilihan untuk
keluar dari situasi yang membelenggu dirinya maka orang tersebut
akan dipaksa untuk membuka pikirannya agar bisa memotivasi diri
untuk mencari informasi baru sehingga ia bisa mendefinisikan ulang
kedudukan dirinya dan menentukan apa yang dilakukannya.
Simpulan ini diperoleh dari hasil studi tentang cuci otak (brainwash)
terhadap tawanan perang Korea yang dilakukan oleh Schein. Schein
menjelaskan bahwa jika seseorang terus menerus dihadapkan pada
situasi yang menyulitkan dirinya maka orang terus tidak akan bisa
bertahan hidup. Namun jika pada saat yang sama setiap upaya yang
bisa menghasilkan alternatif tindakan diberi penghargaan mereka
 EKMA4565/MODUL 2 2.75

secara psikologis akan merasa aman dan mau melakukan perubahan.


Hasil penelitian ini dengan demikian menunjukkan bahwa menekan
seseorang untuk berubah biasanya justru akan semakin
meningkatkan resistensi jika pada saat yang bersamaan tidak
diyakinkan bila situasi yang baru akan lebih baik.
2) Perubahan budaya melalui strategi penyehatan organisasi
(turnaround). Untuk menyehatkan organisasi biasanya harus
melibatkan semua anggota organisasi agar elemen-elemen budaya
lama yang dysfunctional menjadi tampak jelas bagi setiap orang.
Setelah semua jelas maka dimulailah proses definisi ulang
organisasi dalam rangka untuk pengembangan asumsi dan budaya
baru. Proses ini biasanya dimulai dengan memperkenalkan budaya
baru dengan cara mengedukasi dan coahing para anggota organisasi,
merubah struktur dan proses organisasi jika dianggap perlu,
memberi perhatian dan penghargaan bagi mereka yang mau belajar
terhadap budaya baru, menciptakan slogan, cerita-cerita, mitos dan
ritual baru, di samping sedikit memberi tekanan dan ancaman
kepada mereka yang tidak mau berubah. Semua mekanisme ini
sangat penting dalam menyehatkan budaya organisasi.
3) Perubahan budaya melalui reorganisasi dan melahirkan kembali
organisasi baru (reorganization and rebirth). Pada dasarnya cara
perubahan budaya seperti ini dimulai dari pembubaran sebuah
organisasi untuk kemudian membentuk organisasi baru.
Pembubaran organisasi bisa dilakukan baik secara simbolik maupun
secara riil. Menata ulang tujuan jangka panjang organisasi (goals)
yang diikuti oleh penataan ulang visi dan misinya dan penggantian
kepemimpinan merupakan bentuk pembubaran organisasi secara
simbolik. Sedangkan pembubaran organisasi secara riil bisa
berbentuk pengambilalihan organisasi (akuisisi), penggabungan
dengan organisasi lain (merger) atau bahkan sekedar joint venture
atau aliansi strategis. Pembubaran organisasi secara simbolik
maupun riil pada akhirnya akan menyebabkan terbentuknya budaya
baru. Bagi sebagian besar karyawan, cara ini dianggap sangat
traumatik dan oleh karenanya harus digunakan secara hati-hati.
2.76 Manajemen Perubahan 

LAT IH A N

Untuk memperdalam pemahaman Anda mengenai materi di atas,


kerjakanlah latihan berikut!

Jadi, dalam konteks perubahan budaya organisasi, SHO (Jones, 1995;


Pheysey, 1993; Adizes, 1999) biasanya menjadi dasar untuk melakukan
perubahan budaya. Schein (1985: 272) misalnya membagi tahap
pertumbuhan organisasi menjadi tiga bagian: (1) berdiri dan tahap awal
pertumbuhan, (2) berkembang dan (3) penurunan. Sejalan dengan siklus
tersebut, Schein menawarkan mekanisme perubahan budaya yang berbeda
untuk setiap tahap pertumbuhan yang berbeda: lihat tabel berikut ini seperti
tampak pada Tabel 2.8 berikut ini.

Tabel 2.8.
Tahap pertumbuhan organisasi, fungsi budaya dan mekanisme perubahannya

TAHAP FUNGSI MEKANISME


PERTUMBUHAN BUDAYA PERUBAHAN
Lahir dan mulai budaya sebagai identitas diri 5. evolusi secara
tumbuh 5. budaya sebagai perekat di antara natural
para anggota organisasi 6. terapi organisasi
(peran para pendiri 6. budaya sebagai integrasi internal 7. hybrid
dan keluarganya 7. budaya sebagai bentuk komitmen 8. memasukkan orang
sangat dominan) anggota luar
3. budaya menjadi ajang pertentangan
antara yang pro dan kontra
4. para pengganti (suksesor) akan
Tahap suksesi dinilai apakah dia mempertahankan
atau mau mengganti budaya lama
4. mulai muncul subbudaya baru 5. perubahan terencana
5. mulai terjadi krisis identitas 6. memasukan
Tahap kemapanan 6. muncul kesempatan untuk merubah teknologi baru
organisasi budaya 7. perubahan dengan
mengubah mitos
8. incrementalism
Opsi transformasi: 4. persuasi disertai
sedikit paksaan
Tahap kejenuhan 4. perubahan budaya tidak bisa 5. penyehatan budaya
organisasi dihindarkan meski tidak semua 6. reorganisasi,
elemen harus di rubah pelenyapan budaya
5. beberapa elemen pokok tetap lama dan
dipertahankan
 EKMA4565/MODUL 2 2.77

TAHAP FUNGSI MEKANISME


PERTUMBUHAN BUDAYA PERUBAHAN
6. mengelola perubahan budaya memunculkan
budaya baru
Opsi destruksi
3. perubahan paradigma
4. perubahan budaya melalui
penggantian orang-orang kunci
8. budaya sebagai identitas diri 9. evolusi secara
9. budaya sebagai perekat di antara natural
Lahir dan mulai para anggota organisasi 10. terapi organisasi
tumbuh 10. budaya sebagai integrasi internal 11. hybrid
11. budaya sebagai bentuk komitmen 12. memasukkan orang
(peran para pendiri anggota luar
dan keluarganya 5. budaya menjadi ajang
sangat dominan) pertentangan antara yang pro dan
Tahap suksesi kontra
6. para pengganti (suksesor) akan
dinilai apakah dia mempertahankan
atau mau mengganti budaya lama
7. mulai muncul subbudaya baru 9. perubahan
8. mulai terjadi krisis identitas terencana
Tahap kemapanan 9. muncul kesempatan untuk 10. memasukan
organisasi merubah budaya teknologi baru
11. perubahan dengan
mengubah mitos
12. incrementalism
Opsi transformasi: 7. persuasi disertai
sedikit paksaan
7. perubahan budaya tidak bisa 8. penyehatan budaya
dihindarkan meski tidak semua 9. reorganisasi,
elemen harus di rubah pelenyapan budaya
8. beberapa elemen pokok tetap lama dan
Tahap kejenuhan
dipertahankan memunculkan
organisasi
9. mengelola perubahan budaya budaya baru
Opsi destruksi
5. perubahan paradigma
6. perubahan budaya melalui
penggantian orang-orang kunci

1) Jelaskan model menurut Kurt Lewin tentang tiga model!


2) bagaimana konsep awalnya tenang ke ketiga model (Three-Stage
Model) tersebut!
2.78 Manajemen Perubahan 

3) Bagaimana yang terencana jelaskan Pendekatan Perubahan Menurut


Bullock & Baten!
4) Kedua faktor tersebut adalah faktor pendorong perubahan dan faktor
penghambat perubahan. Agar terjadi perubahan maka perlu dilakukan
upaya untuk memperkuat faktor pendorong perubahan atau
memperlemah resistensi perubahan.

Namun demikian Lewin membuat satu catatan penting berkaitan dengan


prinsip perubahan tersebut “memperkuat faktor pendorong perubahan
tanpa diikuti oleh memperlemah resistensi terhadap perubahan hanya
menghasilkan sebuah ketegangan tanpa menghasilkan efek perubahan”.
Berdasarkan prinsip yang sederhana ini Lewin membuat model tiga-
tahap perubahan yaitu unfreezing – movement/change – refreezing (lihat
Gambar 3.6).
Restraining Forces

Desire
State REFREEZING

MOVEMENT

Status
Quo UNFREEZING
Driving Forces

Time

Gambar 2.13.
Model Perubahan Tiga Tahap

Tahap pertama proses perubahan adalah unfreezing. Pada tahap ini pola
perilaku pada kondisi yang sekarang berlangsung (status quo)
 EKMA4565/MODUL 2 2.79

diguncang, sehingga orang merasa kurang nyaman sebagai upaya awal


untuk mengelola resistensi terhadap perubahan.
Bergantung pada level perubahan yang diinginkan, unfreezing pada level
individu misalnya dilakukan dengan mempromosikan atau sebaliknya
memecat beberapa orang secara selektif; pada level struktural mendesain
ulang struktur organisasi, misalnya dari functional menuju process based
structure dan mengembangkan model pelatihan sebagai tindak lanjutnya;
atau pada level organisasi menyediakan database sebagai umpan balik
tentang iklim kerja atau iklim organisasi dan pandangan karyawan
terhadap praktik manajemen.
Pada level manapun proses unfreeze dilakukan, tujuan dari intervensi ini
adalah untuk menyadarkan para anggota organisasi akan adanya
kebutuhan untuk berubah, meningkatkan perhatian mereka terhadap pola
perilaku yang selama ini menjadi pedoman bertindak dan membuat
mereka lebih terbuka terhadap perubahan organisasi.
Sederhananya, pada tahap ini proses perubahan lebih ditujukan untuk
mengatasi terjadinya resistensi terhadap perubahan yang secara
keseluruhan dilakukan dengan membuka kelemahan dari sistem yang
sedang digunakan.
Kadang-kadang upaya ini harus ditempuh dengan jalan konfrontasi
langsung atau tidak langsung dengan karyawan dan dilanjutkan dengan
mengadakan pelatihan ulang untuk merubah perilaku lama menuju
perilaku yang diharapkan.
Konsep perubahan organisasi muncul pada tahun 1960-an dan 1970-an
setelah subyek Pengembangan Organisasi (Organizational Development
– OD) menjadi bidang kajian yang mandiri. Perhatian utama bidang
kajian ini berkaitan dengan kata-kata kunci yang sekarang kita kenal:
“planned – terencana”, “organization wide – pada dataran organisasi”,
managed from the top – dikelola dari atas”, yang tujuannya adalah
meningkatkan efektivitas dan kesehatan organisasi melalui mekanisme
intervensi dengan memanfaatkan ilmu prilaku terapan sebagai
landasannya.
Namun dengan semakin kompleksnya lingkungan bisnis, masyarakat
mulai menganggap bahwa OD sudah tidak relevan. Istilah OD lambat
laun berganti menjadi perubahan organisasi meski konsep-konsep OD
masih tetap digunakan pada konsep yang baru – perubahan organisasi
2.80 Manajemen Perubahan 

(lihat Marshak, 2005) (uraian tentang pengembangan organisasi atau OD


secara detail akan dibahas pada bagian tersendiri pada Modul 4).
Oleh karena itu istilah planned, organization wide dan managed from the
top yang semula menjadi bagian tidak terpisahkan dari OD pada
akhirnya juga diaplikasikan pada konsep perubahan organisasi. Dari sini
maka muncullah istilah planned change atau managed change.
Dalam perkembangannya, di samping istilah-istilah tersebut, kemudian
muncul istilah baru sebagai lawan dari planned change yakni unplanned
change (perubahan tidak terencana) atau emergent change (perubahan
mendadak).

Petunjuk Jawaban Latihan

1) Menurut Burke (2002), ada lima cara agar model organisasi bisa
digunakan yaitu:
a) Membuat situasi yang sangat kompleks, di mana ratusan atau ribuan
kejadian berbeda, lebih manageable dengan cara mengurangi situasi
yang kompleks tersebut menjadi sejumlah kategori yang lebih
mudah dipahami.
b) Membantu mengidentifikasikan kegiatan-kegiatan organisasi atau
property organisasi yang betul-betul membutuhkan perhatian.
c) Menyoroti kesalingterkaitan berbagai macam property organisasi
seperti antara strategi dan struktur organisasi.
d) Menggunakan bahasa yang sama ketika mendiskusikan karakteristik
organisasi.
e) Menyediakan pedoman tentang urutan tindakan yang harus diambil
dalam situasi perubahan.
2) Lewin membuat model tiga-tahap perubahan yaitu unfreezing –
movement/change – refreezing.
a) Pada tahap unfreezing pola perilaku pada kondisi yang sekarang
berlangsung (status quo) diguncang, sehingga orang merasa kurang
nyaman sebagai upaya awal untuk mengelola resistensi terhadap
perubahan. Proses perubahan lebih ditujukan untuk mengatasi
terjadinya resistensi terhadap perubahan yang secara keseluruhan
dilakukan dengan membuka kelemahan dari sistem yang sedang
digunakan.
b) Pada tahap movement atau change, meliputi proses perubahan
sesungguhnya di mana organisasi.
 EKMA4565/MODUL 2 2.81

c) akan bergerak dari kondisi sekarang ke kondisi yang diharapkan.


d) Pada tahap refreezing dilakukan stabilisasi dan institusionalisasi
perubahan dengan cara membangun sistem yang memungkinkan
pola perilaku yang baru relatif aman atau tidak mudah goyah
terhadap perubahan-perubahan lebih lanjut jika perubahan tersebut
memang dianggap perlu. Beberapa kegiatan atau intervensi yang
termasuk pada tahap ini misalnya desain ulang sistem rekrutmen
karyawan.
(Untuk lebih jelasnya pelajari Bagian A).
3) Pendekatan Perubahan Menurut John Kotter meliputi delapan langkah
yaitu:
a) Membangun suasana “perlu segera dilakukan perubahan”.
b) Memastikan ada agen-agen perubahan yang disegani untuk
mengawal perubahan.
c) Mengembangkan visi.
d) Mengkomunikasikan visi.
e) Memperdayakan staf.
f) Memastikan bahwa perubahan segera mendatangkan hasil jangka
pendek.
g) Mengkosolidasikan keuntungan.
h) Membumikan perubahan ke dalam budaya organisasi.
Proses perubahan dimulai dari langkah pertama menciptakan sense of
urgency yakni menciptakan suasana bahwa perubahan betul-betul
mendesak untuk segera dilakukan jika menghendaki organisasi bisa
bertahan hidup dan terus berkembang, dan diakhiri dengan
melembagakan hasil perubahan ke dalam bagian kehidupan sehari-hari
organisasi sehingga tercipta budaya baru.
(Untuk lebih jelasnya pelajari Bagian B).

R A NG KU M AN

1. Tidak ada satupun model perubahan yang paling benar, yang ada
adalah setiap model memiliki kelebihan dan kelemahan tersendiri
karena model hanyalah sebuah penyederhanaan dari kompleksitas
organisasi. Dengan demikian aplikasinya dalam praktik harus
dilakukan secara hati-hati dengan mempertimbangkan kecocokan
2.82 Manajemen Perubahan 

model tersebut dengan situasi yang dihadapi organisasi dan aspek-


aspek organisasi yang perlu diulang.
2. Model perubahan yang ditawarkan Lewin, prinsipnya sederhana
yaitu perubahan dapat dilakukan dengan memperhatikan dua
kekuatan yang saling berlawanan namun keduanya memberi tekanan
kepada organisasi. Kedua faktor tersebut adalah faktor pendorong
perubahan dan faktor penghambat perubahan.
3. Model manajemen perubahan dimaksudkan untuk menyederhanakan
kompleksitas sebuah organisasi menjadi kategorisasi organisasi
yang lebih mudah dipahami sehingga memungkinkan untuk dibuat
desain perubahan, sedangkan pendekatan manajemen perubahan
dimaksudkan untuk menggambarkan bagaimana proses perubahan
organisasi dilakukan.
4. Pendekatan Perubahan Menurut John Kotter meliputi delapan
langkah yaitu:
a. Membangun suasana “perlu segera dilakukan perubahan”.
b. Memastikan ada agen-agen perubahan yang disegani untuk
mengawal perubahan.
c. Mengembangkan visi.
d. Mengkomunikasikan visi.
e. Memperdayakan staf.
f. Memastikan bahwa perubahan segera mendatangkan hasil
jangka pendek.
g. Mengkosolidasikan keuntungan.
h. Membumikan perubahan ke dalam budaya organisasi.

TES F OR M AT I F 2

Pilihlah satu jawaban yang paling tepat!

1) Untuk mengetahui tipologi atau jenis-jenis perubahan organisasi terlebih


dahulu bahwa tidak setiap tekanan eksternal direspons para manajer dan
dilakukan perubahan., jika manajer bertindak lebih jauh bagaimana
untuk dapat memahami karakteristik dari setiap perubahan organisasi
sehingga tidak terbawa arus perubahan yang menyulitkan
dikendalikan ....
A. para manajer Kurang pengetahuan
B. Harus berubah
C. Manajer terjebak perbuahan
D. Tipologi bentuk
 EKMA4565/MODUL 2 2.83

2) Terdapat banyak macam mekanisme perubahan yang digunakan dalam


mengubah organisasi yaitu:
A. Perubahan evolutif yang bersifat natural
B. Perubahan evolutif yang dipandu dari dalam organisasi
C. Perubahan evolutif dengan hybrids
D. Perubahan secara revolutif terkendali dengan bantuan pihak luar
organisasi

3) Tujuan memasukkan orang luar di antaranya agar perusahaan bisa lebih


profesional karena orang luar tersebut biasanya memiliki pengetahuan
dan bisa memperkenalkan teknik-teknik manajemen baru yang tidak
dimiliki dan diketahui oleh para pendiri perusahaan atau keluarganya.
dianggap sebagai perubahan ....
A. revolusioner
B. budaya
C. karena perusahaan keluarga
D. intervensi oleh orang luar

4) Model perubahan yang ditawarkan Lewin, prinsipnya sederhana yaitu


perubahan dapat dilakukan dengan memperhatikan dua kekuatan yang
saling berlawanan namun keduanya memberi tekanan kepada organisasi.
perubahan bersumber dari perubahan kekuatan organisasi, termasuk di
dalamnya ....
A. struktur dan sistem, serta individu.
B. Penjelasan tidak langsung
C. Menegaskan tiga level yang
D. Dua level

5) Konsep model perubahan yang dikembangkan Kurt Lewin kemudian


dikenal dengan model tiga (3) tahap yaitu: – unfreeze-change-dan
refreeze, belakangan juga dikembangkan oleh teoritis lainnya.
Berdasarkan hasil telaah terhadap 30-an model perubahan terencana,
Bullock & Baten (1985) mengembangkan model perubahan terencana
yang terintegrasi terdiri dari ....
A. 3 fase
B. 4 fase
C. 5 fase
D. Multi fase
2.84 Manajemen Perubahan 

6) Ragam tipologi perubahan ini,ditunjukkan bahwa ada kesamaan


tipologi, dan perbedaan dari cara mengungkapkan jenis perubahan
organisasi. Terlepas dari itu semua, pada intinya keragaman tipologi
merupakan perubahan yang bersifat saling melengkapi ....
A. Untuk aplikasinya, kita dapat
B. memilih pendapat yang sesuai
C. Utamakan kondisi lingkungan
D. Kombinasi banyaknya pendapat yang berbeda

7) Dalam banyak kasus pola pertumbuhan mengikuti pola pertumbuhan


berbentuk kurva yang menyerupai huruf “S” yang disebut “S curve”
seperti tampak. Dalam bidang studi organisasi, pola pertumbuhan
organisasi seperti ini disebut sebagai siklus hidup organisasi
(organizational life cycle) yang untuk selanjutnya disingkat “SHO”.
Memiliki ciri/organisasi bersifat ....
A. siklikal
B. siklus organisasi
C. formal
D. kurva siklus

8) Tipologi Perubahan Organisasi terdapat tiga jenis perubahan organisasi


seperti disebutkan sebelumnya, dapat dikelompokkan menjadi smooth
incremental change, bumpy incremental change dan discontinuous
change. et al. (1994).
A. Grundy (1993).
B. Hicks oleh Adizes
C. Bullock & Baten Baten
D. Buuthock Reger

9) Pembubaran organisasi bisa dilakukan baik secara simbolik maupun


secara riil. Menata ulang tujuan jangka panjang organisasi oleh penataan
ulang visi dan misinya ....
A. goals yang diikuti
B. berbagai pendapat
C. berbeda

10) Penggantian kepemimpinan merupakan bentuk pembubaran organisasi


secara simbolik, bisa berbentuk pengambilalihan organisasi
penggabungan dengan organisasi lain atau bahkan sekedar joint venture
atau aliansi strategis ....
A. pembubaran organisasi
B. secara riil
 EKMA4565/MODUL 2 2.85

C. akuisitor
D. merger

Cocokkanlah jawaban Anda dengan Kunci Jawaban Tes Formatif 2 yang


terdapat di bagian akhir modul ini. Hitunglah jawaban yang benar.
Kemudian, gunakan rumus berikut untuk mengetahui tingkat penguasaan
Anda terhadap materi Kegiatan Belajar 2.

Jumlah Jawaban yang Benar


Tingkat penguasaan =  100%
Jumlah Soal

Arti tingkat penguasaan: 90 - 100% = baik sekali


80 - 89% = baik
70 - 79% = cukup
< 70% = kurang

Apabila mencapai tingkat penguasaan 80% atau lebih, Anda dapat


meneruskan dengan modul selanjutnya. Bagus! Jika masih di bawah 80%,
Anda harus mengulangi materi Kegiatan Belajar 2, terutama bagian yang
belum dikuasai.
2.86 Manajemen Perubahan 

Kunci Jawaban Tes Formatif

Tes Formatif 1 Tes Formatif 2


1) C. 1) A.
2) A. 2) C.
3) A. 3) D.
4) B. 4) A.
5) D. 5) D.
6) C.
7) D.
8) D.
9) D.
10) A.
 EKMA4565/MODUL 2 2.87

Daftar Pustaka

Adizes, I. (1999). Managing corporate lifecycles. Paramus, NJ: Prentice Hall.

Andriuŝčenka, J. (2007). Theories E and O of Organizational Changes:


Assessment of Synergy, Management Horizons: Visions & Challenges,
September, pp. 7-21.

Becker, M.C., Lazaric, N., Nelson R. R. & Winter, S. G. (2005). Applying


Organizational Routines in Understanding Organizational Change,
Industrial and Corporate Change, Volume 14, Number 5, pp. 775–791.

Beer, M. & Nohria, N. (2000). Cracking the Code of Change, Harvard


Business Review, May-June, pp. 133-141.

Beer, M, & Nohria, N. (ed.) Breaking the Code of Change, Boston: Harvard
Business School Press.

Bruch, H. & Ghoshal, S. (2003). Unleashing Organizational Energy, Sloan


Management Review, Fall, pp. 45-51.

Burnes, B. (2004). Managing Change, 4th edition, Essex, England: Peason


Education Limited.

Choueke, R. & Amstrong, R. (2000). Culture: a missing perspective on small


and medium sized enterprise development?, International Journal of
Enterpreneurial Behavior and Research, 6/4, pp. 227 – 238.

Feldman, M. S. (2000). „Organisational routines as a source of continuous


change,‟ Organization Science, 11, 611–629.

Feldman, M. S. (2003), „A performative perspective on stability and change


in organizational routines,‟ Industrial and Corporate Change, 12, 727–
752.
2.88 Manajemen Perubahan 

Feldman, M. S. and B. T. Pentland (2003), „Reconceptualizing organizational


routines as a source of flexibility and change,‟ Administrative Science
Quarterly, 48, 94–118.

Ghosal, S. & Barlett, C.A. (2000). Rebuilding Behavioral Context: A


Blueprint for Corporate Renewal. In Beer, M, & Nohria, N. (ed.)
Breaking the Code of Change, pp. 195-222, Boston: Harvard Business
School Press.

Gupta, Y. & Chin, D. (1994). Organizational life cycle: A review and


proposed direction for research, The Mid-Atlantic journal of business,
halaman 269 – 294.

Hofstede, G. (1980). Cultural consequences: International difference in work


related values, Beverly Hill, CA: Sage Publication.

Jaffee, D. (2001). Organization Theory, Yew York: McGraw-Hill


International Edition.

Keidel, R.W. (1984). Baseball, Football and Basketball: Models for business,
Organizational dynamics, pp. 5-17.

Kerin, R.A., Mahajan, V. & Varadarajan, P.R. (1990). Contemporary


Perspective on Strategic Market Planning, Nedham Height, MA: Allyn
and Beacon.

Kotter, J. P. (1997). Matsushita Leadership: Lessons from the 20 th Century’s


Most Remarkable Entreprenuer, New York: The Free Press.

Lam, A. (200). Tacit Knowledge, Organizational Learning and Societal


Institutions: An Intregrated Framework, Organization Studies, 21/3, pp
487- 513.

Leana, C.R. & Barry, B. (2000). Stability and Change as Simultaneous


Experiences in Organization Life, Academy of Management Review, 25,
4, pp. 752-759.
 EKMA4565/MODUL 2 2.89

Lee, R. & Laurence, P. (1991). Politics at work, London: Stanley Torne.

Lester, D., Parnell, J. & Carraher, S. (2003). Organizational life cycle: A


five-stage empirical scale, International journal of organizational
analysis, halaman 339 – 354.

Markus, M.L. & Benjamin, R.I. (1997). The Magic Bullet Theory in IT-
Enabled Transformation, Sloan Management Review, 38 (2), pp. 55-68.

Danny Miller, D. & Freisen, P. (1984). A longitudinal study of the corporate


life cycle, Management science, 30/10, halaman 1161 – 1183.

Morgan, G. (1997). Images of Organization, London, SAGE Publication.

Palmer, I., Dunford, R., & Akin, A. (2006). Managing Organizational


Change: A Multiple Perspective Approach, McGraw-Hill International
Edition.

Pettigrew, A.M. (1987). Context and Action in the Transformation of the


Firm, Journal of Management Studies, 24 (6), pp. 649-670.

Pettigrew, A.M. (1997). What is a Processual Analysis? Scandinavian


Journal of Management, 13 (10), pp. 337-348.

Quinn, R. & Cameron, K. (1983). Organizational life cycles and shifting


criteria for effectiveness: Some preliminary evidence, Management
science, 29/1, halaman 33 – 51.

Reger, R.K; J.V. Mullane; L.T. Gustafson and S.M. DeMarie. (1994).
Creating earthquake to change organizational mindsets: Executive
summary, The academy of management executive, pp.31-45.

Reichers and Schneider. (1990). Climate and culture: An evolution of


construct, in B. Schneider (ed) Organizational Climate and Culture,
Jossey Bass Publishers.
2.90 Manajemen Perubahan 

Schein, E.H. (1985). Organizational Culture and Leadership, San Francisco:


Jossey-Bass Publisher.

Smircich, L. & Stubbart, C. (1985). Strategic Management in an Enacted


World, Academy of Management Review, pp. 724 – 736.

Smith, K., Mitchell, T. & Summer, C. (1985). Top management priorities in


different stages of the organizational life cycles, Academy of
Management Journal, 28, halaman 799 – 820.

Sobirin, A. & Himam, F. (2010). Rightsizing untuk Keberlangsungan Hidup


Organisasi, Paper disampiakan pada seminar nasionalIlmu Manajemen,
Program Studi Manajemen, Fakultas Ekonomi Universitas Islam
Indonesia, Yogyakarta, 4-5 Februari 2010.
Modul 3

Manajemen Perubahan:
Konsep dan Implementasi
Drs. Achmad Sobirin, MBA., Ph.D.

PEN D A HU L UA N

S audara mahasiswa, pada modul ini kita akan melihat gambaran


mengenai proses manajemen perubahan pada perusahaan otomotif
Nissan.

Tahun 2007 Nissan Grand Livina dinobatkan sebagai Car of The Year.
Keberhasilan ini seolah mengulang kesuksesan Nissan X-Trail yang pada
tahun 2005 juga dinyatakan sebagai No. 1 SUV in Indonesia. Kedua
produk ini, dan sejumlah varian Nissan lainnya lantas melambungkan
kembali nama Nissan dalam pasar otomotif di Indonesia dan dunia meski
10 tahun sebelumnya Nissan hampir saja bangkrut. Keberhasilan ini tidak
lepas dari manajemen perubahan – tepatnya strategi penyehatan
perusahaan (turn around strategy) yang dijalankan Nissan.
Pada tahun 1999 Nissan, salah satu raksasa perusahaan mobil Jepang
berada pada titik nadir setelah sebelumnya perusahaan terus mengalami
kerugian yang puncaknya terjadi pada tahun 1998 saat hutang yang
ditanggung Nissan mencapai Rp200 trilyun. Beruntung, saat Nissan
menghadapi situasi krisis muncul sang dewa penyelamat dari
Perancis ...Renault. Perusahaan mobil Renault setuju untuk membeli
37% saham Nissan dan menggelontorkan dana segar untuk
menyelamatkan Nissan dengan satu kesepakatan kendali perusahaan
berada di tangan Renault. Berdasarkan kesepakatan tersebut Renault
lalu mengutus salah satu eksekutif terbaiknya bernama Carlos Ghosn
untuk menjadi CEO Nissan (sebuah fenomena yang juga amat langka di
Jepang, orang non-Jepang bisa menjadi CEO perusahaan besar Jepang).
Pesan Renault untuk pria keturunan Lebanon ini tegas: segera angkat
koper ke Jepang, selamatkan Nissan dan jangan pernah kembali ke Paris
sebelum engkau berhasil. Begitulah, pada pertengahan tahun 1999, Carlos
3.2 Manajemen Perubahan 

Ghosn resmi menjadi CEO Nissan untuk memulai sebuah mission almost
impossible.
Sejak saat itu, Ghosn melakukan serangkaian langkah kunci untuk
merevitalisasi kebesaran Nissan. Yang pertama ia lakukan adalah building
sense of urgency untuk berubah. Pilihan bagi Nissan saat ini memang
cuma dua: berubah atau mati. Dan fakta serta data yang ada memang
mampu membuat segenap pekerja Nissan percaya bahwa kondisi Nissan
sudah berada pada titik nadir, and they have to change to survive.
Langkah berikutnya adalah meluncurkan apa yang ia sebut sebagai
Nissan Recovery Plan. Dalam rencana inilah dipetakan secara detail dan
jelas tindakan kunci apa saja yang perlu dilakukan untuk mentransformasi
Nissan. Dalam recovery plan ini terdapat dua strategi kunci. Yang pertama
adalah segera melakukan revitalisasi produk-produk baru Nissan. Proses
pengembangan produk baru harus dipercepat dan segera ditingkatkan
kapabilitasnya. Di sini Nissan merekrut salah satu desainer mobil top
Jepang, Shiro Nakamura untuk menjadi Chief Design Nissan, dan
keputusan ini ternyata kelak terbukti amat vital untuk merevitalisasi lini
produk Nissan. Strategi yang kedua adalah melakukan efisiensi biaya
secara besar-besaran. Termasuk di dalamnya adalah menutup pabrik-pabrik
yang tidak produktif, mensentralkan proses purchasing secara global agar
lebih efisien, sena juga mengeliminasi pekerjaan-pekerjaan yang non
value-added.
Langkah terakhir yang dilakukan Carlos Ghosn adalah membentuk Tim
Inti yang langsung dikomandani dirinya. Tugas tim ini jelas dan tegas
memastikan bahwa semua yang tercantum dalam recovery plan dapat di-
EKSEKUSI dengan tuntas. Eksekusi atau implementasi menjadi kata
kunci di sini. Dan beruntung, Ghosn ternyata bukan tipikal pemimpin
yang hanya bicara visi tanpa tindakan apa, Ghosn adalah tipikal
eksekutor sejati. Ia selalu fokus pada hasil (result oriented) dan
berorientasi pada bagaimana menuntaskan proses eksekusi. Sikap
semacam ini tak pelak merupakan elemen penting untuk memastikan agar
semua recovery plan itu tak hanya tinggal rencana — namun benar-benar
diimplementasikan sesuai sasaran.
Serangkaian langkah kunci di atas ternyata benar-benar membawa
keajaiban. Pada tahun 2001 Nissan telah kembali meraih keuntungan, dan
terus mengalami pertumbuhan yang mengesankan hingga hari ini.
Melalui tindakan eksekusi yang terukur dan brilian, Ghosn akhirnya bisa
 EKMA4565/MODUL 3 3.3

menuntaskan misi yang diembannya. "From Zero to Hero", begitu mungkin


judul yang pas untuk menarasikan drama penyelamatan Nissan.
Nissan Grand Livina dan Nissan X-Trail sampai kini masih terus
melenggang di jalanan; dan semua itu tidak lepas dari kisah sukses
revolusi manajemen di Nissan: itulah sederet kisah tentang heroisme,
tentang spirit perubahan, dan tentang semangat pantang menyerah. Bravo
Nissan. Bravo Carlos Ghosn.

Cuplikan di atas merupakan gambaran singkat tentang proses


manajemen perubahan yang dilakukan Carlos Ghosn saat menyehatkan
perusahaan otomotif Nissan. Sebagaimana kita ketahui penyehatan
perusahaan adalah sebuah strategi yang diterapkan perusahaan untuk
mengembalikan perusahaan yang kinerjanya memburuk ke situasi yang
menguntungkan. Strategi ini biasa dikenal sebagai strategi penyehatan
perusahaan atau turn around strategy (lihat Suwarsono, 2007). Dalam bahasa
perubahan organisasi, penyehatan perusahaan seperti yang dilakukan Carlos
Ghosn tidak lain adalah sebuah proses perubahan yang dilakukan pihak
manajemen. Hanya saja dalam kasus Nissan proses perubahannya bersifat
revolusioner atau transformatif dan dilakukan setelah perusahaan mengalami
krisis.
Tentunya tidak semua perubahan dilakukan setelah organisasi atau
perusahaan mengalami krisis, meski dalam banyak kasus kondisi krisis
merupakan pemicu utama mengapa pihak manajemen menganggap perlu
untuk melakukan perubahan. Greiner (1972, 1988) mengatakan bahwa
manajemen harus melakukan perubahan tanpa harus menunggu krisis jika
menghendaki perusahaan yang dikelolanya terus tumbuh dari satu tahap ke
tahap berikutnya. Perubahan seperti ini sangat diperlukan karena setiap
pertumbuhan perusahaan akan menghadapi lingkungan berbeda. Atau dengan
kata lain pola manajemen lama boleh jadi sudah tidak cocok lagi dengan
lingkungan yang baru. Oleh karenanya perusahaan suka atau tidak harus
berubah agar bisa beradaptasi dengan tuntutan lingkungan yang baru.
Tanpa melihat apakah perubahan didahului oleh krisis atau tidak yang
pasti setiap perubahan harus dikelola dengan baik agar tujuan perubahan bisa
tercapai. Pasalnya seperti telah diuraikan pada Modul 1 banyak perubahan
organisasi yang gagal mencapai tujuan. Sangat mungkin kegagalan tersebut
karena pihak manajer salah melakukan diagnosis terhadap kebutuhan
perubahan, melakukan pendekatan yang salah atau karyawan tidak siap
3.4 Manajemen Perubahan 

melakukan perubahan sehingga mereka cenderung resisten terhadap


perubahan.
Untuk menghindari atau paling tidak meminimalisir tingkat kegagalan
dalam perubahan maka pada Modul 3 akan dibahas berbagai aspek dalam
manajemen perubahan. Bahasan akan di bagi menjadi dua yakni Kegiatan
Belajar 1 yang membahas konsep manajemen perubahan dan Kegiatan
Belajar 2 yang membahas model dan implementasi perubahan organisasi.
Secara umum setelah mempelajari modul ini, Anda diharapkan dapat
menjelaskan mengenai berbagai konsep manajemen perubahan serta model
dan implementasi perubahan organisasi. Secara khusus setelah mempelajari
modul ini Anda diharapkan mampu menjelaskan:
1. definisi operasional manajemen perubahan;
2. fase pertumbuhan organisasi;
3. teori proses perubahan;
4. kapasitas perubahan organisasi;
5. perbedaan antara pengembangan organisasi dan manajemen perubahan;
6. theory E dan theory O;
7. persepsi karyawan terhadap proses perubahan;
8. resistensi terhadap perubahan;
9. model manajemen perubahan;
10. pendekatan manajemen perubahan.
 EKMA4565/MODUL 3 3.5

Kegiatan Belajar 1

Konsep Manajemen Perubahan

A. PENGERTIAN MANAJEMEN PERUBAHAN

Saudara mahasiswa, dari penelusuran terhadap berbagai literatur dan


sumber-sumber lainnya yang terkait dengan konteks perubahan organisasi
diperoleh fakta bahwa manajemen perubahan merupakan istilah yang
komprehensif yang digunakan untuk menjelaskan berbagai macam perubahan
baik yang terjadi pada dataran individu, organisasi dan lingkungan
masyarakat. Sebagai contoh, istilah manajemen perubahan digunakan untuk
menjelaskan:
1. tugas yang berhubungan dengan pengelolaan perubahan;
2. area praktik yang bersifat profesional dalam konteks perubahan;
3. pengetahuan tentang perubahan yang terdiri atas: model, metode, teknik
dan peralatan lainnya yang dibutuhkan;
4. mekanisme kontrol yang terdiri atas prasyarat, standar, proses dan
prosedur dalam melakukan perubahan.

Walhasil akibat dari keberagaman dalam penggunaan istilah perubahan


itulah maka sangat tidak mengherankan jika istilah manajemen perubahan
juga didefinisikan secara beragam. Pihak-pihak yang berkepentingan
terhadap perubahan cenderung mendefinisikan manajemen perubahan sesuai
sudut pandang dan kepentingan masing-masing. Untuk menunjukkan
keberagaman tersebut, berikut disajikan sebagian dari beberapa definisi
manajemen perubahan yang ditemukan pada berbagai sumber.

The sistematic approach and application of knowledge, tools and


resources to deal with change. Change management means defining and
adopting corporate strategies, structures, procedures and technologies
to deal with changes in external conditions and the business
environment.

(Pendekatan sistematik dan penerapan pengetahuan, alat-alat bantu, dan


sumber daya yang digunakan untuk melakukan perubahan. Manajemen
perubahan bisa diartikan sebagai pendefinisian dan penerapan strategi
perusahaan, struktur, prosedur dan teknologi yang digunakan untuk
3.6 Manajemen Perubahan 

melakukan perubahan baik yang terjadi di lingkungan eksternal maupun di


lingkungan bisnis) (SHRM Glossary of Human Resources Terms,
www.shrm.org).

Change management is the process, tools and techniques to manage the


people-side of business change to achieve the required business
outcomes, and to realize that business change effectively within the
sosial infrastructure of the workplace.

(Manajemen perubahan adalah sebuah proses, alat-alat bantu dan teknik


untuk mengelola sisi manusia dari perubahan bisnis dalam rangka untuk
mencapai hasil yang diharapkan dan untuk merealisasikan efektivitas
perubahan bisnis dalam lingkup infrastruktur sosial lingkungan kerja)
(Change Management Learning Center).

Change Management: activities involved in (1) defining and instilling


new values, attitudes, norms, and behaviors within an organization that
support new ways of doing work and overcome resistance to change; (2)
building konsensus among customers and stakeholders on specific
changes designed to better meet their needs; and (3) planning, testing,
and implementing all aspects of the transition from one organizational
structure or business process to another.

(Manajemen perubahan: aktivitas-aktivitas yang berkaitan dengan


(1) pendefinisian dan penanaman nilai-nilai, sikap, norma, dan perilaku baru
di dalam kehidupan organisasi yang mendukung cara baru dalam melakukan
pekerjaan dan mengatasi resistensi perubahan; (2) membangun konsensus
antara konsumen dan pemangku kepentingan untuk perubahan spesifik yang
sengaja di desain untuk memenuhi kebutuhan kedua belah pihak lebih baik;
dan (3) perencanaan, pengujian dan implementasi semua aspek yang terkait
dengan transisi organisasi dari satu struktur organisasi atau proses bisnis ke
struktur atau proses bisnis lainnya.
(http://www.gao.gov/special.pubs/bprag/bprgloss.htm).

...a sistematic approach to dealing with change, both from the


perspective of an organization and on the individual level...proactively
addressing adapting to change, controlling change, and effecting
change.
 EKMA4565/MODUL 3 3.7

(…. Sebuah pendekatan sistematik yang berkaitan dengan perubahan,


baik dilihat dari perspektif organisasi atau individu….yang secara proaktif
berupaya untuk beradaptasi dengan perubahan, mengendalikan perubahan
dan menghasilkan efek perubahan) (Case Western Reserve University).

Change management is a sistematic approach to dealing with change,


both from the perspective of an organization and on the individual
level.

(Manajemen perubahan adalah sebuah pendekatan sistematik yang


berkaitan dengan perubahan, baik dilihat dari perspektif organisasi maupun
individu) (searchsmb.com).

Change management within an organization is the process of aligning


the organization's people and culture with changes in its strategy,
structure and sistems (Cook, 1995).

Manajemen perubahan dalam sebuah organisasi adalah memadukan


manusia dan budaya organisasi dengan perubahan yang terjadi pada strategi,
struktur dan sistem organisasi (Cook, 1995).

Change management is the process of continually renewing an


organization’s direction, structure and capabilities to serve the ever-
changing needs of external and internal customers (Moran & Brightman,
2001).

Manajemen perubahan adalah sebuah proses pembaharuan berkelanjutan


terhadap arah, struktur dan kapabilitas organisasi dalam memenuhi
kebutuhan pelanggan yang terus berubah baik pelanggan eksternal maupun
internal (Moran & Brightman, 2001).
Keberagaman definisi manajemen perubahan seperti tersebut di atas,
sekali lagi menunjukkan luasnya cakupan konteks perubahan. Perubahan bisa
terjadi pada level individu, tim, kelompok, organisasi maupun lingkungan
masyarakat. Demikian juga perubahan bisa terjadi pada level proses aktivitas.
Oleh karena itu agar tidak terjebak dalam belantara perubahan maka perlu
ada definisi yang spesifik yang sesuai dengan kebutuhan meski definisi ini
boleh jadi tidak cocok untuk diterapkan pada konteks perubahan yang lain.
Dalam hal ini manajemen perubahan didefinisikan sebagai berikut.
3.8 Manajemen Perubahan 

Manajemen perubahan (Change Management) pada dasarnya merupakan


sebuah proses formal dalam perubahan organisasi yang dilakukan melalui
pendekatan yang sistematis dalam sebuah aplikasi pada pengetahuan,
peralatan, dan sumber daya lainnya. Selain itu, manajemen perubahan juga
berarti mendefinisikan dan mengadopsi strategi-strategi organisasi, struktur,
prosedur dan teknologi untuk menghadapi perubahan yang terjadi, baik yang
terjadi di dalam organisasi maupun di luar organisasi.
Definisi di atas menyiratkan beberapa hal yang perlu dielaborasi lebih
lanjut yakni (1) manajemen perubahan merupakan proses yang bersifat
formal, (2) manajemen perubahan menggunakan pendekatan sistematis,
(3) manajemen perubahan berbasis pada pengetahuan ilmiah, dan
(4) manajemen perubahan mensyaratkan adanya kemampuan untuk berubah.

B. MANAJEMEN PERUBAHAN MERUPAKAN PROSES FORMAL

Perubahan organisasi sesungguhnya bisa dilakukan oleh siapa saja baik


oleh karyawan maupun manajemen dan pihak luar (konsultan). Dalam
pengertian ini perubahan dikatakan formal jika perubahan tersebut sengaja
diinisiasi, didorong dan dilakukan oleh otoritas pengelola organisasi karena
adanya keharusan untuk melakukan perubahan dan berharap memperoleh
hasil perubahan sesuai dengan rencana awal (intended outcome) meski tidak
jarang hasil perubahan bersifat parsial (partially intended) atau bahkan tidak
seperti yang diharapkan (unintended) (Palmer, Dunford & Akin, 2006).
Karena bersifat formal maka perubahan menjadi bagian integral dari
kebijakan manajemen. Boleh jadi otoritas pengelola organisasi memandang
perlu untuk melakukan perubahan bukan semata-mata karena kinerja
organisasi memburuk, meski dalam banyak kasus situasi seperti ini yang
paling banyak dijumpai, tetapi karena organisasi sedang mengalami
pertumbuhan. Greiner (1972, 1998) mengatakan bahwa pertumbuhan sebuah
organisasi dapat di bagi menjadi lima fase yakni tumbuh karena kreativitas
(fase 1), tumbuh karena arahan (fase 2), tumbuh karena delegasi (fase 3),
tumbuh karena koordinasi (fase 4) dan tumbuh karena kolaborasi (fase 5)
selengkapnya dapat di lihat pada Gambar 3.1. Satu catatan yang diberikan
Greiner berkaitan dengan kelima fase pertumbuhan ini adalah setiap fase
memiliki karakteristik tersendiri yang berbeda dengan karakteristik fase
lainnya (lihat Gambar 3.2). Penjelasan ini secara tidak langsung mengatakan
 EKMA4565/MODUL 3 3.9

bahwa agar sebuah organisasi/perusahaan bisa terus tumbuh dari satu fase ke
fase berikutnya tidak bisa dihindarkan perusahaan harus berubah.

Gambar 3.1.
Fase Pertumbuhan Organisasi
3.10 Manajemen Perubahan 

Gambar 3.2.
Karakteristik Masing-masing Fase dalam Pertumbuhan

C. PENDEKATAN SISTEMATIS DALAM MANAJEMEN


PERUBAHAN

Pihak manajemen yang berkepentingan terhadap perubahan organisasi


tentu saja tidak melakukan perubahan dengan cara asal-asalan melainkan
melalui sebuah proses yang sistematik (lihat Gambar 3.3).
 EKMA4565/MODUL 3 3.11

Gambar 3.3.
Perubahan Sistemik

Okland & Tanner (2007) mengembangkan kerangka perubahan


organisasi sistemik, seperti tampak pada Gambar 3.3 yang terdiri atas dua
konstruk utama yakni dua siklus perubahan yang saling berinteraksi –
kesiapan berubah (readiness for change) dan implementasi perubahan.
Secara keseluruhan kedua konstruk ini terdiri dari delapan komponen
perubahan yaitu (1) dorongan untuk berubah, (2) kebutuhan untuk berubah,
(3) kepemimpinan dan arahan, (4) perencanaan detail perubahan, (5) proses
perubahan, (6) organisasi dan sumber daya untuk berubah, (7) sistem dan
kontrol, dan (8) perubahan perilaku.
Pada Gambar 3.3, perubahan dimulai dari situasi yang mendorong
terjadinya perubahan yakni driver of change baik yang berasal dari
lingkungan eksternal maupun internal. Dorongan perubahan inilah yang
memunculkan adanya kebutuhan untuk berubah. Tanpa adanya kebutuhan
untuk berubah (sense of urgency) sulit rasanya untuk menciptakan
antusiasme, energi dan iklim perubahan (climate for change) sehingga kalau
pihak manajemen mengajukan visi baru, program baru dan memberikan
arahan baru, semuanya akan hilang percuma tanpa bekas karena memang
organisasi dan karyawan yang bekerja di dalamnya tidak siap untuk berubah
3.12 Manajemen Perubahan 

atau tidak merasa perlu untuk berubah. Sebaliknya perencanaan dan


implementasi perubahan baru bisa berjalan jika semua persyaratan tersebut
terpenuhi.
Siklus kedua adalah implementasi perubahan. Tahap ini merupakan
proses perubahan sesungguhnya. Seperti kita ketahui bersama kemungkinan
tingkat kegagalan dalam implementasi perubahan sangat tinggi jika proses
tersebut tidak dicermati secara hati-hati dan tidak direncanakan dengan baik.
Oleh karenanya implementasi perubahan menjadi titik krusial dalam
perubahan yang sistemik. Pada intinya proses perubahan akan berakhir dan
perubahan organisasi dianggap berhasil jika karyawan dan semua anggota
organisasi sudah melakukan perubahan perilaku. Perubahan perilaku inilah
yang menentukan apakah perubahan organisasi berhasil dilakukan atau tidak.
Dengan pendekatan yang sedikit berbeda tetapi esensinya kurang lebih
sama, Jeff Dooley (1998) mengembangkan perubahan sistematik seperti
tampak pada Gambar 3.4. Menurut Dooley perubahan organisasi dimulai dari
persoalan-persoalan yang dihadapi organisasi yang menjadi pemicu perlunya
perubahan organisasi. Persoalan ini, setelah didiskusikan bersama menjadi
penentu perlu tidaknya menelaah ulang visi dan misi organisasi. Selanjutnya
dilakukan asesmen secara integratif terhadap 3 aspek dasar organisasi yakni
(1) budaya organisasi berjalan, (2) struktur dan aransemen organisasi secara
keseluruhan dan (3) aspek manusia khususnya yang berkaitan dengan skill
baik secara individu maupun kelompok untuk melakukan perubahan. Hasil
dari asesmen adalah pihak manajemen bisa mengambil keputusan apa yang
harus dilakukan, mengambil tindakan dan mengevaluasi hasil tindakan yang
terkait dengan perubahan organisasi.
 EKMA4565/MODUL 3 3.13

Gambar 3.4.
Perubahan Sistemik menurut Dooley
3.14 Manajemen Perubahan 

Kedua uraian di atas hanyalah contoh yang merepresentasikan berbagai


pola perubahan sistem yang secara lengkap akan diuraikan lebih detail pada
bagian-bagian yang lain pada modul ini.

D. PROSES PERUBAHAN BERBASIS PENGETAHUAN

Praktek-praktek perubahan organisasi baik yang dijalankan oleh pihak


manajemen maupun yang pelaksanaannya dibantu para konsultan pada
akhirnya dikodifikasi dan disintesakan oleh para akademisi dan teoritisi
perubahan untuk dibuat generalisasi dan teori tentang perubahan. Selanjutnya
teori-teori tersebut digunakan kembali oleh para praktisi sebagai pedoman
untuk melakukan perubahan organisasi. Penjelasan ini secara tidak langsung
menegaskan bahwa manajemen perubahan merupakan sebuah praktik
berbasis ilmu pengetahuan bukan sekedar berdasarkan pengalaman praktis
masa lalu. Manajemen perubahan bahkan merupakan disiplin terpisah (body
of knowledge) yang berbeda dari disiplin lain, termasuk berbeda dari disiplin
pengembangan organisasi (diuraikan tersendiri), yang memiliki teori, model,
metode, teknik dan cara-cara ilmiah lainnya. Sebagai contoh, Van de Ven &
Poole (1995) menemukan tidak kurang dari 20 teori proses perubahan yang
berbeda baik dalam hal substansi maupun terminologi yang digunakan. Van
de Ven & Poole kemudian mengelompokkan teori-teori tersebut ke dalam
4 kelompok Teori Proses Perubahan seperti tampak pada Gambar 3.5.

1. Life Cycle Theory


Proses perubahan menurut teori ini terjadi secara berurutan sesuai
dengan peristiwa yang terjadi di organisasi mulai dari tahap pertama saat
organisasi lahir (start-up), tahap kedua saat organisasi bertumbuh (grow),
tahap ketiga saat organisasi memanen hasil (harvest) dan tahap keempat saat
organisasi berhenti beroperasi (terminate). Pada tahap keempat ini sangat
mungkin siklus berlanjut yakni memulai tahapan baru.

2. Teleological theory
Runtutan perubahan menurut teori ini adalah berawal dari penentuan visi
yang menggambarkan masa depan organisasi yang ingin dituju dan
penetapan tujuan. Proses berlanjut dengan implementasi untuk mencapai
tujuan, munculnya ketidakpuasan mungkin karena tujuan tidak tercapai dan
mencari solusi dan kembali ke proses awal yakni penetapan tujuan baru.
 EKMA4565/MODUL 3 3.15

3. Dialectical theory
Sesuai dengan namanya, teori ini bersifat dialektik yang bersifat
konfrontatif antara tesis dan antitesis sehingga menimbulkan konflik.
Menurut teori ini konflik menjadi bagian penting dalam proses perubahan
karena dari konflik inilah akan menghasilkan sintesis sebagai dasar untuk
penyelesaian masalah.

4. Evolutionary theory
Perubahan menurut teori ini bersifat evolutif yang melibatkan beberapa
entitas dalam organisasi dimulai dari adanya variasi kejadian di dalam
organisasi sehingga memunculkan berbagai macam pilihan (seleksi). Proses
berikutnya adalah menentukan dan mempertahankan pilihan sebagai dasar
untuk mengatasi masalah. Proses perubahan kemudian kembali pada tahap
awal yang memunculkan berbagai macam variasi pilihan.

Gambar 3.5.
Teori Proses Perubahan
3.16 Manajemen Perubahan 

Keempat teori proses perubahan di atas dikelompokkan berdasarkan dua


dimensi sebagai kriteria pembeda yaitu (1) unit yang diubah – apakah proses
perubahan difokuskan pada entitas tunggal (life cycle dan teleology) atau
interaksi antara dua atau lebih entitas (dialectic dan evolutionary), dan (2)
modus perubahan yang menggambarkan apakah perubahan tersebut bersifat
preskriptif sesuai aturan yang ada dan menghasilkan first order change (life
cycle dan evolutionary) atau perubahannya bersifat emergent (mendadak),
dikonstruksi dan menghasilkan second order change (dialectic dan
teleology).
Keempat kelompok teori perubahan yang dikemukakan Van de Ven &
Poole hanyalah sebagian kecil dari teori-teori perubahan yang ada. Sekaligus
teori-teori ini juga menunjukkan bahwa manajemen perubahan bukan sebuah
praktik yang hanya didasarkan pada pengalaman praktis para manajer.
Sebaliknya, berbagai macam teori bisa ditemukan pada literatur manajemen
perubahan yang bisa dijadikan pedoman bagi para manajer dalam
menjalankan praktik perubahan.

E. KAPASITAS UNTUK MELAKUKAN PERUBAHAN

Komponen keempat dari definisi manajemen perubahan menunjukkan


bahwa perubahan organisasi bisa dilakukan jika organisasi memiliki energi
dan kapasitas untuk itu. Buono & Kerber (2008) mendefinisikan kapasitas
perubahan sebagai kemampuan sebuah organisasi untuk melakukan
perubahan dalam merespon dan mengantisipsi pergeseran lingkungan
eksternal. Kemampuan yang dimaksud dalam definisi ini bukan sekedar
kemampuan sesaat (hanya sekali saja mampu melakukan perubahan) tetapi
merupakan kemampuan yang berulang dalam melakukan perubahan
organisasi. Kapan saja organisasi menganggap perlu untuk berubah,
organisasi mampu untuk melakukannya. Artinya perubahan dianggap sebagai
kejadian yang bersifat normal bagi organisasi.
Kapasitas perubahan memiliki beberapa dimensi yang saling terkait baik
pada level makro, meso dan mikro. Tabel 3.1 memberi gambaran tentang
dimensi kapasitas perubahan pada masing-masing level.
 EKMA4565/MODUL 3 3.17

Tabel 3.1.
Kapasitas Perubahan Organisasi

Level Makro Level Meso Level Mikro


Budaya yang memfasilitasi Infrastruktur yang Akseptansi terhadap
perubahan mendukung perubahan perbedaan pendekatan
perubahan

1. Memberi tekanan pada 1. Mengadakan pertemuan 1. Terapkan kerangka


pembelajaran dan berbagi secara berulang yang umum dan menyeluruh
informasi difokuskan pada terhadap pemikiran dan
2. Mendorong untuk identifikasi dan komunikasi tentang
bertanya dan berbicara asesmen terhadap perubahan
apa adanya kesempatan baru pada 2. Kembangkan secara
3. Menekankan dan semua fungsi organisasi luas pengetahuan
menghargai 2. Melakukan eksperimen tentang perbedaan
pandangan/pendapat berbiaya murah dengan pendekatan perubahan
alternatif ide-ide baru dan kapan masing-
4. Memberi dukungan 3. Memberi pengakuan masing pendekatan
kepada mereka yang dan penghargaan perlu diterapkan secara
berani ambil risiko dan kepada mereka yang benar
menemukan ide-ide mendukung, memimpin 3. Kembangkan
inovatif dan berbagi pemahaman mendalam
5. Toleran terhadap pengalaman tentang tentang perubahan di
kesalahan dalam proses perubahan dalam organisasi
pembelajaran 4. Ciptakan struktur yang 4. Berikan pelatihan
fleksibel yang perubahan dan layanan
memungkinkan konsultasi
dibentuknya kelompok- 5. Bentuk jejaring agen
kelompok baru perubahan agar bisa
5. Menciptakan sistem berbagi tentang praktik
agar bisa berbagi terbaik, peralatan dan
pengetahuan, informasi riset yang berhubungan
dan pengalaman lintas dengan perubahan
bidang. 6. Lakukan debrief tentang
6. Berikan pelatihan dan inisiatif perubahan
pendidikan yang bersifat dengan fokus pada
responsif dan proaktif belajar dari pengalaman.
Strategi Kecukupan sumber daya Kemauan dan
kemampuan berubah

1. Ciptakan tujuan bersama 1. Tunjuk pemilik tujuan 1. Lakukan seleksi, rekrut,


2. Berpikirlah secara untuk mengembangkan evaluasi dan beri
dinamis dan sistematik kapasitas perubahan penghargaan kepada
sehingga strategi dapat 2. Sediakan sumber daya karyawan berdasarkan
berubah cepat agar bisa terus kemampuan dalam
3.18 Manajemen Perubahan 

Level Makro Level Meso Level Mikro


3. Lakukan kajian terhadap melakukan amatan menyuburkan
masa depan pasar, terhadap lingkungan perubahan
pesaing dan kesempatan dalam rangka 2. Bentuk beberapa tim
4. Substitusikan skenario menemukan ide-ide baru berbeda untuk
masa depan pada 3. Beri dorongan untuk mendorong inovasi dan
pengambilan keputusan melakukan kontak ke kreativitas
sekarang pihak luar khususnya 3. Kembangkan, beri
5. Buatlah satu ikatan bagi kepada pelanggan penghargaan dan
serangkaian keuntungan 4. Tunjuk pendukung promosikan supervisor
yang bersifat sesaat perubahan yang dan manajer yang
6. Ciptakan dan memiliki komitmen untuk memberi kesempatan
komunikasikan identitas melakukan inisiatif yang untuk melakukan
perubahan yang spesifik perubahan
bersahabat baik dalam 5. Tetapkan inisiatif 4. Tingkatkan kredibilitas
lingkup internal maupun perubahan kunci dengan personal para pemimpin
eksternal sumber daya yang 5. Dengarkan, dorong dan
cukup agar bisa berhasil hargailah para
mendapat dukungan pemberontak dan para
publik perintis
6. Lindungi terobosan- 6. Ciptakan iklim
terobosan perubahan kepercayaan, kejujuran
dengan sejumlah dan transparansi
anggaran dan SDM

F. PERDEBATAN ANTARA MANAJEMEN PERUBAHAN VS


PENGEMBANGAN ORGANISASI

Perubahan organisasi biasanya dikonotasikan dengan kondisi organisasi


yang kurang menguntungkan, dalam pengertian organisasi dituntut untuk
melakukan perubahan jika organisasi menghadapi masalah atau kinerja
organisasi mengalami penurunan. Weick & Quinn (1999) menyatakan bahwa
perubahan organisasi sesungguhnya tidak perlu terjadi jika para manajer dan
karyawan sejak semula telah mengerjakan pekerjaan mereka dengan benar.
Istilah populernya ―jika tidak ada yang rusak mengapa harus diubah‖.
Pandangan seperti ini boleh jadi benar. Sayangnya organisasi bukan entitas
yang statis. Secara natural misalnya telah dikatakan bahwa organisasi selalu
mengalami perubahan. Demikian juga secara sistem organisasi selalu
berinteraksi dengan lingkungan yang lebih besar. Oleh karenanya jika pada
lingkungan internal organisasi tidak ada yang salah namun karena lingkungan
eksternal mengalami perubahan tentu saja organisasi sebagai sebuah sistem
 EKMA4565/MODUL 3 3.19

harus berubah. Atau dengan kata lain, pandangan di atas hanya cocok untuk
lingkungan bisnis yang stabil seperti yang terjadi pada tahun 1960-an dan
1970-an.
Meski pada tahun 1951 Kurt Lewin sudah memperkenalkan konsep
perubahan yang populer dengan ―tiga tahap perubahan – unfreeze, change,
and refreeze‖, bisa dikatakan bahwa pada periode 1960-an dan 1970-an
istilah manajemen perubahan tidak banyak dijumpai (Marshak, 2005) bukan
karena saat itu tidak ada perubahan organisasi tetapi karena rendahnya
tingkat persaingan dan stabilnya lingkungan bisnis sehingga pola pikir
―supply creates it own demand – apa yang dihasilkan pasti laku dijual‖
menjadi pola pikir para manajer (Adler 2002). Akibatnya para manajer
cenderung lebih memikirkan bagaimana mengembangkan bisnisnya
ketimbang harus memikirkan perubahan organisasi. Oleh karena itu kalaulah
pada waktu itu ada upaya pembenahan terhadap organisasi, pembenahannya
– yang banyak dibantu psikolog di bidang industri dan organisasi sebagai
konsultan, cenderung bersifat minor dan terencana. Di samping itu
perubahannya lebih ditujukan untuk membenahi sumber daya manusia agar
di satu sisi karyawan bisa bekerja lebih efisien dan produktif sejalan dengan
pertumbuhan organisasi dan di sisi lain karyawan mendapatkan kepuasan
dalam bekerja. Ujung-ujungnya organisasi bisa berfungsi secara efektif
karena bisa memenuhi kepentingan dua belah pihak yang kadang-kadang
memiliki kepentingan berbeda. Proses pembenahan organisasi seperti ini
disebut sebagai pengembangan organisasi (organizational development).
Memasuki tahun 1980-an lingkungan bisnis tidak sestabil periode
sebelumnya. Saat itu bahkan banyak industri Amerika mulai berguguran
karena terlambat mengantisipasi terjadinya perubahan lingkungan bisnis.
Akibatnya para manajer yang merasa shock lantas berupaya untuk mengatasi
persoalan yang dihadapinya dengan cara-cara yang tidak konvensional.
Tujuannya hanya satu yakni memulihkan kondisi ekonomi bagi perusahaan
yang dipimpinnya yang sedang terpuruk, bukan sekedar membenahi proses
aktivitas dan sumber daya manusia. Kondisi inilah yang kemudian ditangkap
para konsultan manajemen dengan menawarkan pembenahan organisasi yang
tidak lagi bersifat minor tetapi lebih revolusioner dengan mengedepankan
nilai-nilai ekonomi sebagai hasil akhir pembenahan organisasi ketimbang
sekedar perbaikan proses seperti yang terjadi pada periode-periode
sebelumnya. Pembenahan organisasi seperti ini belakangan dikenal sebagai
manajemen perubahan. Marshak (2005) mengakui bahwa dengan semakin
3.20 Manajemen Perubahan 

populernya istilah manajemen perubahan, peran dari pengembangan


organisasi mulai terpinggirkan. Marshak juga mengakui meskipun
manajemen perubahan sesungguhnya merupakan pengembangan dari
pengembangan organisasi dan keduanya pada dasarnya tidak jauh berbeda,
secara filosofis proses dan tujuan keduanya berbeda. Tabel 3.2 menunjukkan
perbedaan antara pengembangan organisasi dan manajemen perubahan
seperti disebutkan Marshak.

Tabel 3.2.
Perbedaan antara Pengembangan Organisasi dengan Manajemen Perubahan

Manajemen
Tekanan Nilai-nilai
Pendekatan Metode Perubahan
pada… dominan
merupakan…
Manajemen Hasil/outcome Proses Ekonomi Rekayasa atau
Perubahan dilakukan oleh arahan
elite organisasi
Perkembangan Proses Proses secara Humanisme Pemberian
Organisasi partisipatif fasilitas atau
coaching

Selain perbedaan seperti disebutkan di atas, beberapa dimensi lain yang


bisa digunakan untuk membedakan antara pengembangan organisasi dan
manajemen perubahan, meski keduanya sama-sama berupaya untuk
menciptakan dan mengelola perubahan organisasi, dan dalam banyak kasus
keduanya menggunakan proses dan prinsip-prinsip yang sama, titik tekan
keduanya tetap saja berbeda (lihat Tabel 3.3). Sebagai contoh, bahasa dan
nilai-nilai dasar pengembangan organisasi dan secara tidak langsung orientasi
dari pengembangan organisasi berbasis pada bahasa dan nilai-nilai
humanisme dan psikologi sosial. Sementara itu, bahasa dan nilai-nilai dasar
manajemen perubahan bertumpu pada bahasa dan nilai-nilai ekonomi dan
bisnis.
 EKMA4565/MODUL 3 3.21

Tabel 3.3.
Bahasa dan Nilai-nilai Humanisme dan Psikologi Sosial vs Ekonomi dan Bisnis

Humanisme dan
Dimensi Ekonomi dan Bisnis
Psikologi Sosial
Nilai paling tinggi Pengembangan manusia Pengembalian modal
Alat-alat yang Kesadaran Uang dan sumber daya
digunakan
Image Aktualisasi diri Bottom line
Tempat nilai Inner self Pasar
Icon Pencerahan dan Entrepreneur dan eksekutif
pemberdayaan diri
Tema Individu: Bisnis dan pasar
 Kebebasan  Strategi bersaing
 Martabat  Laba rugi
 Pemberdayaan  Produktivitas
 Emosi  ROI
 Spirit  Penggunaan sumber daya
 Integrasi menyeluruh yang efisien
 Kesejahteraan ekonomi

Perbedaan karakteristik antara pengembangan organisasi dan manajemen


perubahan menyebabkan para pendukung manajemen perubahan mengklaim
bahwa manajemen perubahan merupakan bidang studi yang mandiri terpisah
dari bidang studi pengembangan organisasi, bukan sekedar kepanjangan
tangan dari pengembangan organisasi. Hal ini kemudian diperkuat
munculnya teori yang semakin memisahkan pengembangan organisasi dan
manajemen perubahan. Teori yang dimaksud adalah Theory E dan Theory O
(Beer & Nohria, 2000). Teori E mengorientasikan perubahan berbasis pada
nilai-nilai ekonomi dan hal ini dikonotasikan dengan manajemen perubahan,
sedangkan Teori O adalah perubahan yang didasarkan pada kapabilitas
organisasi atau lebih mementingkan pembenahan proses yang berkonotasi
sebagai pengembangan organisasi. Berdasarkan teori ini maka perbedaan
antara manajemen perubahan dan pengembangan organisasi semakin tampak
dalam hal-hal berikut:
a. Pertama, secara teoritik manajemen perubahan memiliki cakupan yang
lebih luas ketimbang pengembangan organisasi jika kita melihat bahwa
kinerja dan pengembangan sumber daya manusia hanyalah salah satu
aspek dari manajemen perubahan yang akan dikaitkan dengan teknologi,
operasionalisasi organisasi dan strategi organisasi.
3.22 Manajemen Perubahan 

b. Kedua, peran dari praktisi pengembangan organisasi adalah pihak ketiga


yang sekedar menjadi fasilitator dan coach. Sedangkan konsultan
manajemen perubahan dengan bekal pengetahuan yang lebih luas
biasanya berkedudukan sebagai bagian dari tim yang cakupannya sangat
luas berkisar pada strategi dan organisasi secara keseluruhan.
c. Ketiga, pengembangan organisasi melakukan aktivitasnya dengan
sasaran utama merubah sikap dan nilai-nilai individu karyawan sebagai
sarana untuk merubah struktur organisasi. Sementara itu manajemen
perubahan lebih menitikberatkan pada perubahan struktural untuk
memunculkan perilaku baru.

Perdebatan ini sepertinya belum akan berakhir meski upaya-upaya untuk


menjembatani perdebatan ini terus dilakukan. Heracleous (2000)
menyuarakan hal ini yakni menyarankan agar kedua belah pihak rujuk agar
potensi dari kedua belah pihak bisa dioptimalkan. Dari pendukung
pengembangan organisasi juga mulai tampak adanya kesadaran bahwa
pengembangan organisasi masih memiliki berbagai macam kekurangan.
Kesadaran ini berujung pada terbitnya kumpulan tulisan yang diedit oleh
Bradford & Burke dengan judul ―reinventing organization development‖
yang terbit tahun 2005.

G. KESIAPAN BERUBAH

Manusia pada dasarnya tidak anti perubahan karena secara natural


manusia mempunyai pengalaman perubahan. Tidak bisa dipungkiri jika
manusia terus menerus mengalami perubahan. Paling tidak dari sisi fisik
manusia terus bertumbuh mulai dari kecil yang beratnya hanya 2 – 3 kg
bergerak perlahan menjadi 5, 10, 15 kg dan seterusnya sampai suatu saat
tidak bisa naik lagi dan bahkan justru mengalami penurunan. Perubahan fisik
ini tidak pelak juga diikuti oleh perubahan aspek kejiwaan dan psikologis.
Walhasil, perubahan sesungguhnya bukan sesuatu yang baru bagi diri
seseorang. Meski demikian jika anda bertanya kepada karyawan, apa
pendapat mereka tentang perubahan organisasi, boleh jadi responsnya
mendua. Bagi yang sudah jenuh dengan lingkungan kerja saat ini, sangat
boleh jadi mereka akan mendukung perubahan. Tanda-tanda atau alasan
mengapa karyawan mendukung perubahan seperti dikatakan Kirkpatrick
(2001) adalah sebagai berikut:
 EKMA4565/MODUL 3 3.23

1. Keamanan
Perubahan bisa jadi akan meningkatkan permintaan terhadap
produk/jasa. Hal ini bisa diartikan bahwa karyawan merasa lebih aman
karena keterampilan individu mereka tidak dipersoalkan dan atau
organisasi bisa bertahan hidup.
2. Uang
Perubahan boleh jadi akan meningkatkan gaji karyawan.
3. Otoritas
Perubahan bisa menjadi sumber promosi bagi karyawan dan atau
memungkinkan karyawan memiliki kesempatan berkiprah lebih luas
misalnya bisa terlibat dalam pengambilan keputusan.
4. Prestise
Perubahan biasanya diikuti oleh perubahan titel jabatan, tugas baru, atau
hal-hal baru lainnya yang membuat karyawan merasa lebih bangga
terhadap dirinya dan organisasi.
5. Tanggung jawab
Tugas dan tanggung jawab karyawan mungkin akan berubah dan
karyawan merasa mendapat tantangan baru untuk menunjukkan
kemampuannya.
6. Kondisi kerja lebih baik
Lingkungan fisik diharapkan lebih baik dan atau disediakan fasilitas-
fasilitas lain yang lebih baru.
7. Kepuasan diri
Individu karyawan akan merasakan adanya sense of achivement yang
lebih tinggi dan tantangan baru yang lebih segar.
8. Kontak antar individu lebih baik
Perubahan akan memberi kesempatan karyawan bisa berinteraksi dengan
orang-orang penting di dalam organisasi.
9. Membutuhkan waktu dan usaha lebih sedikit
Perubahan bisa meningkatkan efisiensi misalnya dengan
diperkenalkannya teknologi baru.

Sebaliknya, bagi mereka yang tidak suka dengan perubahan, respon


pertama yang muncul adalah sikap negatif terhadap perubahan. Sikap seperti
ini muncul, meski perubahan tersebut baru wacana dan belum
diimplementasikan karena karyawan takut akan kehilangan pekerjaan sebagai
akibat dari perubahan tersebut, takut kehilangan status sosial sebagai pekerja
3.24 Manajemen Perubahan 

atau merasa keamanan sosialnya terganggu atau takut jangan-jangan kalau


tidak dipecatpun pekerjaan mereka menjadi overload dan tanggung jawab
mereka semakin besar karena harus mengerjakan pekerjaan yang sebelumnya
dikerjakan oleh teman kerja.
Jika merujuk pada penjelasan di atas, secara umum bisa dikatakan bahwa
perubahan mengakibatkan dampak negatif baik terhadap karyawan, pimpinan
dan kinerja organisasi. Dampak ini termasuk di dalamnya takut, stres,
frustrasi, dan mengingkari perubahan (lihat Daniel & Hollifiled, 2002;
Morgan & Zeffane, 2003). Sederhananya, perubahan akan menyebabkan
karyawan merasa kehilangan sesuatu yang selama ini telah mereka miliki
termasuk kehilangan jati dirinya. Semua dampak negatif tersebut
sesungguhnya belum tentu riil, baru sebatas dugaan atau persepsi. Jika
nantinya perubahan benar-benar dilaksanakan belum tentu gambaran negatif
tersebut betul-betul muncul. Meski demikian semakin persepsi negatif ini
menguat, semakin karyawan tidak siap untuk melakukan perubahan. Atau
dengan kata lain, daripada melihat perubahan sebagai peluang untuk
memperbaiki kinerja, karyawan cenderung resisten terhadap perubahan.
Padahal seperti dikatakan Okland & Tanner (2007), kesiapan untuk berubah
mutlak diperlukan sebelum sebuah organisasi bisa mengimplementasikan
perubahan.
Oleh karena itu dalam batas-batas tertentu karyawan perlu dibuat siap
untuk melakukan perubahan dengan cara mengurangi resistensi terhadap
perubahan (Walinga, 2008). Kotter and Schlesinger (1979), menawarkan
beberapa strategi untuk mengurangi resistensi terhadap perubahan di
antaranya adalah: pendidikan dan komunikasi, mengajak karyawan ikut
berpartisipasi dan terlibat dalam proses, memfasilitasi kepentingan karyawan
dan memberikan dukungan, dan melakukan negosiasi dan kesepakatan-
kesepakatan. Melalui upaya-upaya tersebut diharapkan pandangan negatif
karyawan terhadap perubahan bisa berubah. Meski demikian, proses
perubahannya, seperti dikatakan Recklies (2001) kadang-kadang
membutuhkan waktu dan harus melalui beberapa tahapan seperti tampak
pada Gambar 3.6.
 EKMA4565/MODUL 3 3.25

Gambar 3.6.
Persepsi Karyawan terhadap Proses Perubahan

Seperti tampak pada Gambar 3.6, persepsi karyawan terhadap proses


perubahan berlangsung melalui tujuh fase perubahan secara berurutan.
Ketujuh fase dimaksud dapat dijelaskan sebagai berikut:

Fase Penjelasan
Shock dan Karyawan dihadapkan pada situasi yang tidak
Kejutan diharapkan. Situasi ini bisa terjadi secara kebetulan misal
ketika terjadi kerugian besar pada satu unit bisnis tertentu
atau terjadi karena adanya peristiwa yang terencana
seperti pada saat workshop pengembangan diri dan
peningkatan kinerja karyawan. Situasi ini membuat
karyawan sadar bahwa pola kerja mereka sudah tidak
cocok lagi dengan kondisi saat ini sehingga mereka
menganggap bahwa kemampuan diri mereka mulai
berkurang.
Mengingkari dan Karyawan mencoba mengaktifkan nilai-nilai berjalan
Menolak sebagai dukungan untuk menegaskan bahwa perubahan
betul-betul tidak diperlukan. Dari sini mereka yakin
bahwa perubahan memang tidak perlu. Oleh karena itu
mereka merasa bahwa kemampuannya meningkat lagi.
Pemahaman Karyawan mulai menyadari bahwa perubahan itu perlu.
secara Rasional Kesadaran ini mengakibatkan anggapan baru yakni
kemampuan mereka kembali menurun. Karyawan lantas
3.26 Manajemen Perubahan 

Fase Penjelasan
mencoba dan memfokuskan diri untuk mencari solusi
jangka pendek sehingga mereka sesungguhnya tidak
menyelesaikan masalah melainkan hanya mengatasi
gejalanya saja. Artinya, mereka tetap belum mau
merubah pola perilakunya.
Menerima secara Pada fase ini yang juga disebut sebagai krisis merupakan
Mendalam fase paling penting. Jika manajemen berhasil
(Emotional menciptakan kemauan karyawan untuk berubah
Acceptance) khususnya terkait dengan perubahan nilai-nilai,
keyakinan dan perilaku, organisasi diyakini mampu
memanfaatkan dan mengoptimalkan potensi karyawan
sesungguhnya. Sebaliknya, kegagalan manajemen bisa
berakibat berhentinya proses perubahan atau paling tidak
derajat intensitas perubahannya mulai menurun.
Mempraktikan Kesediaan karyawan menerima perubahan bisa
dan Pembelajaran menciptakan kemauan karyawan untuk belajar.
Karyawan mulai mencoba perilaku dan proses baru.
Dalam fase ini mereka punya pengalaman gagal dan
berhasil. Pada saat inilah tugas manajer perubahan untuk
menciptakan apa yang disebut small win – sukses kecil
misalnya dengan menawarkan proyek-proyek yang
mudah dikerjakan. Keberhasilan, meski kecil, bisa
meningkatkan tingkat kepercayaan diri karyawan bahwa
mereka betul-betul memiliki kompetensi yang
diperlukan.
Realisasi Karyawan mengumpulkan lebih banyak informasi
dengan cara belajar dan mencoba. Pengetahuan baru
yang mereka peroleh tentunya bisa memberi efek balik
bagi karyawan sehingga mereka tahu perilaku mana yang
efektif untuk situasi apa. Pada akhirnya hal ini akan
membuka pikiran karyawan terhadap pengalaman baru.
Situasi ini juga menjadikan organisasi lebih fleksibel dan
karyawan merasa bahwa tingkat kompetensi mereka
mencapai titik tertinggi dibandingkan dengan periode-
periode sebelumnya.
 EKMA4565/MODUL 3 3.27

Fase Penjelasan
Integrasi Karyawan secara totalitas mengintegrasikan pola pikir
dan tindakan baru dan pada akhirnya perilaku baru
menjadi kehidupan rutin sehari-hari.

Kesiapan berubah (readiness for change) pada dasarnya bukan hanya


keharusan bagi karyawan tetapi juga bagi organisasi secara keseluruhan.
Armenakis, Harris, & Mossholder, (1993) mengemukakan bahwa kesiapan
berubah merupakan (1) refleksi dari keyakinan, perasaan dan intensi yang
berkaitan dengan pertanyaan sejauh mana perubahan diperlukan dan
(2) persepsi mengenai kemampuan individu dan organisasi bisa berhasil
mengimplementasikan perubahan. Untuk mengetahui sejauh mana individu
dan organisasi siap berubah, berbagai upaya telah dilakukan. Beberapa ahli
yang memberi perhatian terhadap konsep manajemen perubahan dan
kesiapan berubah misalnya telah menyusun instrumen untuk mengetahui
kesiapan berubah baik kesiapan individu maupun kesiapan organisasi.
Bouckenooghe, Devos & Van de Broeck (2009) menyebut beberapa
instrumen yang disusun ahli lain seperti: Organizational Climate Measure
(OCM; Patterson et al., 2005), Readiness for Organizational Change
Measure (ROCM; Holt, Armenakis, Feild & Harris, 2007). Bouckenooghe,
Devos & Van de Broeck sendiri kemudian menyusun instrumen lain yakni
Organizational Change Questionnaire – Climate of Change, Process and
Readiness (OCQ – C, P, R). Pertimbangan yang digunakan Bouckenooghe,
Devos & Van de Broeck dalam menyusun instrumen ini adalah keyakinan
mereka bahwa perencanaan dan implementasi perubahan sangat dipengaruhi
oleh tiga faktor penting yakni: (1) situasi internal tempat terjadinya
perubahan – iklim perubahan, (2) bagaimana perubahan dijalankan – proses
perubahan dan (3) tingkat kesiapan berubah dalam memahami proses
perubahan sehingga implementasi perubahan bisa berhasil.
Sementara itu, untuk kepentingan praktis Timothy Stewart seperti dimuat
di majalah Fortune (1994) menyusun instrumen untuk mengukur kesiapan
berubah bagi sebuah organisasi seperti tampak daftar pertanyaan berikut ini:
3.28 Manajemen Perubahan 

Kuesioner untuk Menilai Kesiapan Berubah

Penjelasan: Pada kolom pertama terdapat 17 pertanyaan untuk menilai


kesiapan berubah. Berilah penilaian terhadap organisasi Anda
untuk masing-masing pertanyaan. Beri nilai 3 untuk kategori
organisasi sangat siap, nilai 2 untuk organisasi yang setengah
siap dan nilai 1 untuk organisasi yang menurut anda tidak siap
berubah.

Pertanyaan Nilai
Sponsorship. Sponsor perubahan tidak harus datang dari pimpinan
yang secara formal bekerja sehari-hari di perusahaan. Namun
sponsor perubahan bisa saja datang dari orang yang visioner,
cheerleader dan pembayar tagihan – orang-orang yang memiliki
kekuatan untuk membantu tim perubahan manakala tim
menghadapi resistensi perubahan. Berikan nilai tertinggi –
perubahan akan lebih mudah – jika sponsorship berasal dari level
eksekutif senior seperti CEO, Kepala unit bisnis yang otonom.
Berikan nilai terendah jika sponsor berasal level bawah
organisasi seperti staff.
Leadership. Hal ini dimaksudkan sebagai pemimpin sehari-hari –
yakni orang yang memiliki wewenang untuk mengundang rapat,
menetapkan tujuan, dan bekerja sampai larut malam. Perubahan
akan berhasil jika kepemimpinan adalah orang pada level
tertinggi, mempunyai ―kepemilikan‖ (bertanggung jawab
langsung terhadap apa yang harus diubah), dan dalam pikirannya
jelas apa yang harus dihasilkan. Kepemimpinan dengan level
rendah, atau kepemimpinan yang tidak memiliki hubungan baik
lintas departemen, atau berasal dari staff kemungkinan berhasil
sangat rendah. Oleh karenanya berilah nilai yang rendah.
Motivasi. Berilah nilai tinggi jika pimpinan senior memiliki sense
of urgency (rasa bahwa organisasi harus segera berubah) dan
menyampaikannya ke seluruh elemen organisasi, dan budaya
yang berkembang di organisasi adalah budaya yang menekankan
perbaikan terus menerus. Sebaliknya berilah skor rendah jika
manajer dan para pekerjanya dibelenggu tradisi lama di mana
mereka telah bekerja katakanlah lebih dari 15 tahun, dan budaya
 EKMA4565/MODUL 3 3.29

Pertanyaan Nilai
yang ada adalah budaya konservatif yang tidak mendorong
keberanian mengambil risiko.
Arahan. Apakah senior manajer memiliki keyakinan kuat bahwa
masa depan harus berbeda dengan masa kini? Seberapa jelas
manajemen menggambarkan masa depannya? Apakah manajemen
bisa memobilisasi pihak-pihak terkait – karyawan, komisaris,
konsumen dsb – untuk melakukan tindakan perubahan? berilah
skor tinggi jika jawaban pertanyaan tersebut positif. Namun jika
manajer senior hanya berpikiran perubahan minor sangat mungkin
justru tidak terjadi perubahan sama sekali. Oleh karenanya berilah
skor yang rendah.
Pengukuran. Berilah skor 3 jika pengukuran kinerja yang
didukung oleh manajemen kualitas telah digunakan dan
pengukuran kinerja ini mengekspresikan aspek ekonomi dari
kegiatan bisnis. Berilah skor 2 jika ada pengukuran kinerja tetapi
kompensasi dan sistem imbalan tidak memperkuat sistem
pengukuran kinerja tersebut. Beri skor 1 jika sama sekali tidak
ada pengukuran kinerja.
Konteks organisasi. Bagaimana upaya perubahan dikaitkan
dengan segala sesuatu yang terjadi di organisasi? (misal, apakah
upaya tersebut dikaitkan dengan proses manajemen kualitas?
Apakah upaya tersebut cocok dengan strategi berjalan?) Jika
jawabannya positif beri skor tinggi. Sebaliknya upaya perubahan
akan menjadi di masa datang jika upaya tersebut tidak terkait
secara strategis. Beri skor rendah untuk kondisi ini.
Proses/Fungsi. Perubahan besar hampir pasti membutuhkan
desain ulang proses bisnis yang memotong lintas fungsi seperti
fungsi pembelian atau pemasaran. Jika manajer fungsional sangat
kaku enggan berkorban, perubahan akan sulit dilakukan. Beri skor
lebih tinggi jika kemauan berkorban manajer fungsional semakin
tinggi demi kepentingan organisasi secara keseluruhan.
Benchmark. Apakah perusahaan anda pemimpin dalam industri
atau sebaliknya, beri skor tinggi jika perusahaan anda
menjalankan program berkelanjutan yang secara obyektif
membandingkan kinerja perusahaan dengan kinerja kompetitor
dan secara sistematis menilai perubahan terhadap pasar sasaran.
3.30 Manajemen Perubahan 

Pertanyaan Nilai
Sebaliknya beri skor rendah jika pengetahuan anda tentang
kemampuan kompetitor sangat rendah.
Fokus pada Konsumen. Semakin banyak orang terinspirasi oleh
pengetahuan mereka terhadap konsumen semakin tinggi
kemungkinannya organisasi setuju berubah demi melayani
konsumen lebih baik. Beri skor 3 jika setiap orang tahu siapa
konsumen mereka, tahu kebutuhan konsumen dan pernah
melakukan kontak dengan konsumen. Beri skor rendah jika
pengetahuan tentang konsumen hanya dimiliki oleh bagian
pemasaran.
Penghargaan. Perubahan menjadi semakin mudah jika para
manajer dan karyawan diberi penghargaan untuk tindakan yang
berani ambil risiko, mau berinovasi dan mau mencari solusi baru.
Penghargaan berbasis tim akan lebih baik dibandingkan dengan
penghargaan untuk hasil yang dicapai individu. Beri skor rendah
jika perusahaan anda akan memberi penghargaan bagi mereka
yang lebih memilih stabilitas ketimbang perubahan, jika manajer
justru menjadi pahlawan untuk penyusunan anggaran yang tidak
berisiko, dan jika kesalahan akan mendapat hukuman.
Struktur Organisasi. Situasi terbaik terjadi jika organisasi didesain
secara fleksibel. Beri skor rendah jika struktur organisasi sangat
kaku dan tidak mengalami perubahan dalam lima tahun terakhir
atau telah melakukan beberapa reorganisasi tetap selalu gagal;
semua ini menandakan adanya budaya sinisme di dalam
organisasi dan mencoba melawan perubahan.
Komunikasi. Perusahaan lebih siap mengadaptasi perubahan jika
memiliki komunikasi dua arah yang bisa menjangkau semua level
organisasi dan memungkinkan karyawan bisa menggunakannya
dan memahaminya. Sebaliknya jika media komunikasi sangat
sedikit, komunikasi satu arah dan top down, sepertinya perubahan
semakin sulit dilakukan. Beri skor rendah pada situasi kedua.
Hierarki Organisasi. Semakin sedikit hierarki organisasi dan
semakin sedikit golongan/level karyawan semakin tinggi
kemungkinan tingkat keberhasilan perubahan. Sebaliknya jika
manajer dan staff level menengah semakin banyak bukan hanya
akan memperlambat pengambilan keputusan tetapi semakin
 EKMA4565/MODUL 3 3.31

Pertanyaan Nilai
banyak orang yang memiliki kekuatan untuk memblok perubahan.
Pengalaman sebelumnya dengan perubahan. Beri skor 3 jika
perusahaan pernah mengimplementasikan perubahan besar dan
berhasil. Beri skor 1 jika perusahaan belum pernah punya
pengalaman tentang perubahan atau gagal melakukan perubahan,
atau perubahan yang dilakukan sebelumnya menimbulkan
kemarahan. Beri skor 2 jika perubahan pada masa lalu hasilnya
meragukan.
Moral. Perubahan akan lebih mudah dilakukan jika karyawan
menikmati kerja dan tanggung jawab individu sangat tinggi.
Sebaliknya tanda ketidaksiapan perubahan terjadi jika spirit team
sangat rendah, tidak ada orang yang mau melakukan upaya ekstra
dan terjadi mistrust. Dua jenis mistrust adalah saling tidak percaya
antara manajemen dan karyawan dan antar karyawan.
Inovasi. Situasi terbaik adalah perusahaan selalu berusaha
melakukan eksperimen, ide-ide baru diimplementasikan dengan
mudah, karyawan bisa bekerja lintas fungsi tanpa hambatan.
Sementara itu, tanda-tanda buruk ditunjukkan oleh banyaknya
aturan yang membelenggu, banyaknya tanda tangan yang harus
diminta sebelum ide-ide baru dicobakan, karyawan hanya boleh
bekerja sesuai dengan alur kerjanya dan tidak didorong untuk
bekerja lintas bidang.
Pengambilan Keputusan. Beri skor tinggi jika keputusan diambil
secara cepat setelah mempertimbangkan banyak masukan, dan
keputusannya apa sangat jelas. Sebaliknya beri skor rendah jika
pengambilan keputusan sangat lambat dan dasar keputusannya
sangat misterius; banyak konflik dalam proses pengambilan
keputusan, dan kebingungan dan saling menyalahkan jika ada
ketidaktepatan dalam keputusan.

Scoring
41 – 51 : Implementasi perubahan diyakini akan berhasil
28 - 40 : Perubahan mungkin bisa dilaksanakan tetapi tampaknya akan
mengalami kesulitan, terutama jika tujuh pertanyaan pertama
nilainya rendah
17 – 27 : Implementasi perubahan sepertinya hampir tidak mungkin
dilaksanakan jika bencana tidak segera diendapkan
3.32 Manajemen Perubahan 

H. RESISTENSI TERHADAP PERUBAHAN

Di muka secara tidak langsung telah diuraikan beberapa bentuk resistensi


karyawan terhadap perubahan. Hultman (1995) mengelompokkan resistensi
tersebut, termasuk gejala-gejala yang terkait dengannya, menjadi dua
(1) resistensi aktif dan (2) resistensi pasif. Gejala-gejala yang dimunculkan
karyawan dengan resistensi aktif di antaranya adalah:
1. Sangat kritis atau aktif mengkritik.
2. Mencari-cari kesalahan.
3. Suka mencela.
4. Suka menakut-nakuti.
5. Menggunakan fakta secara selektif.
6. Menyalahkan orang lain.
7. Sabotase.
8. Mengintimidasi atau mengancam.
9. Memanipulasi keadaan.
10. Mendistorsi fakta.
11. Memblokir atau menghalang-halangi.
12. Membuat rumor negatif.
13. Suka berargumentasi.

Sementara itu, gejala-gejala yang berkaitan dengan resistensi pasif


adalah:
1. Secara verbal setuju dengan perubahan tetapi pada kenyataannya tidak
mengikuti proses perubahan.
2. Gagal mengimplementasikan perubahan.
3. Menunda-nunda proses perubahan.
4. Berpura-pura bodoh.
5. Menahan informasi, saran, bantuan atau dukungan.
6. Membiarkan perubahan mengalami kegagalan.

Daftar gejala-gejala di atas tentunya tidak berhenti sampai di situ. Boleh


jadi daftarnya masih panjang lagi. Demikian juga daftar tersebut masih bisa
diperdebatkan mana yang sesungguhnya menjadi bagian dari gejala aktif atau
pasif atau apakah gejala tersebut bersifat mutually exclusive. Lebih penting
dari itu, daftar tersebut paling tidak memberi peringatan bagi para manajer
yang akan melaksanakan perubahan bahwa perubahan organisasi tidak
 EKMA4565/MODUL 3 3.33

selamanya berjalan mulus. Hambatan di sana sini pasti akan dihadapi. Oleh
karena itu pelaku perubahan paling tidak harus memahami dua hal yaitu:
a. Mengapa karyawan resisten terhadap perubahan.
b. Bagaimana mengelola resistensi tersebut.

2. Mengapa Karyawan Resisten terhadap Perubahan


Ada beberapa alasan mengapa karyawan resisten terhadap perubahan, di
antaranya adalah:
Tidak suka perubahan. Keluhan yang sering kita dengar dari seorang
manajer ketika mengintrodusir perubahan adalah ketidaksukaan karyawan
terhadap perubahan organisasi. Bisa dikatakan bahwa ketidaksukaan
karyawan terhadap perubahan merupakan hambatan utama dalam perubahan.
Akibatnya karyawan cenderung resisten terhadap perubahan. Pertanyaan
yang agak sulit dijawab adalah kalau memang karyawan tidak suka
perubahan mengapa ada karyawan lain yang menerimanya dengan senang
hati dan mendukung perubahan? Apakah ketidaksukaan tersebut bersifat
mendasar atau hanya bersifat peripheral. Secara logika, karena ada karyawan
lain yang mau menerima perubahan, barangkali tidak pantas bagi kita
mengatakan bahwa ketidaksukaan karyawan bersifat mendasar. Hampir pasti
ketidaksukaan tersebut ada penyebabnya. Atau dengan kata lain
ketidaksukaan karyawan terhadap perubahan pasti terkait dengan konteks
tertentu.
Tidak nyaman dengan ketidakpastian. Hofstede (1997) mengatakan
bahwa masyarakat bisa dikelompokkan menjadi dua dalam kaitannya dengan
ketidakpastian. Kelompok pertama disebut sebagai masyarakat dengan ―high
uncertainty avoidance‖ dan kelompok kedua ―low uncertainty avoidance‖.
Yang dimaksud dengan uncertainty avoidance adalah upaya untuk
mengindari ketidakpastian. Dengan demikian masyarakat dengan high
uncertainty avoidance adalah masyarakat yang sangat berupaya keras untuk
menghindari ketidakpastian. Jika seorang karyawan masuk pada kelompok
ini maka hampir pasti karyawan tersebut tidak nyaman dengan perubahan
karena perubahan seperti telah kita ketahui bersama selalu menghadirkan
ketidakpastian. Alasan inilah yang menyebabkan karyawan resisten terhadap
perubahan. Namun demikian jika ketidakpastian ini berkurang misal karena
pihak manajemen memberi kejelasan tentang arah tujuan perubahan resistensi
ini akan berbalik sedikit demi sedikit menjadi dukungan terhadap perubahan.
3.34 Manajemen Perubahan 

Singkatnya, kejelasan dalam perubahan sangat penting untuk menghindari


resistensi.
Persepsi terhadap dampak negatif perubahan bagi kepentingan
karyawan. Kesiapan karyawan melakukan perubahan akan dipengaruhi oleh
persepsi mereka terhadap perubahan khususnya sejauh mana perubahan
tersebut mempengaruhi ―kepentingan‖ mereka. Istilah kepentingan di sini
bisa sangat luas. Karyawan misalnya memiliki berbagai macam kepentingan
seperti: otoritas, status, gaji, kesempatan mengaplikasikan kemampuan,
menjadi anggota dalam sebuah komunitas, memiliki otonomi, dan keamanan
kerja dan keluarga. Karyawan akan lebih suportif terhadap perubahan jika
mereka tidak melihat kepentingan-kepentingan tersebut terancam oleh
perubahan. Sebaliknya, resistensi akan mengemuka jika terjadi hal
sebaliknya.
Keterikatan dengan budaya berjalan. Seperti telah dijelaskan pada
modul 2, organisasi bisa dimetaforakan sebagai sistem budaya yang terdiri
atas keyakinan, nilai-nilai dan artifak. Budaya yang berkembang di dalam
organisasi tentu saja akan mempengaruhi perilaku seorang karyawan.
Semakin budaya terinternalisasi ke dalam diri seorang karyawan semakin
karyawan tersebut terikat dengan budaya berjalan. Padahal budaya
merupakan elemen organisasi yang tidak mudah berubah. Oleh karenanya
semakin tinggi keterikatan seorang karyawan terhadap budaya semakin sulit
mereka melakukan perubahan manakala organisasi harus berubah. Dalam
batas-batas tertentu dengan demikian budaya menjadi faktor penghambat
dalam perubahan dan sekaligus menjadikan seorang karyawan resisten
terhadap perubahan.
Persepsi tentang pelanggaran kontrak psikologis. Pada saat karyawan
direkrut untuk pertama kalinya menjadi bagian dari sebuah organisasi pada
saat itu sesungguhnya terjadi kontrak tidak tertulis antara karyawan dengan
pemberi kerja atau organisasi. Kontrak tersebut berisi harapan dari masing-
masing pihak, misalnya pemberi kerja berharap karyawan bekerja sungguh-
sungguh dan karyawan berharap pemberi kerja memberi imbalan yang layak.
Kedua belah pihak juga berharap kontrak tersebut tidak dilanggar meski tidak
tertulis. Kontrak seperti ini biasa disebut sebagai kontrak psikologis atau
psychological contract (Robinson & Rousseau, 1994). Kontrak psikologis
dianggap berakhir atau paling akan bermasalah jika salah satu pihak,
khususnya jika karyawan menganggap dan berkeyakinan bahwa pemberi
kerja melanggar kesepakatan. Bagi karyawan, jika usulan perubahan
 EKMA4565/MODUL 3 3.35

organisasi dianggap melanggar kontrak dampaknya adalah resistensi


karyawan terhadap perubahan. Pendapat yang kurang lebih sama tentang
jalinan kerja antara karyawan dengan pemberi kerja juga disampaikan oleh
Strebel (1996). Menurut Strebel, karyawan dan organisasi terlibat dalam
jalinan kerja yang disebut ―personal compact – perpaduan personal‖ yang
terdiri atas 3 dimensi: formal, psikologikal dan sosial. Seperti halnya
Robinson & Rousseau, Strebel menganggap bahwa perubahan organisasi
rentan terhadap penyimpangan personal compact yang bisa berakibat
timbulnya resistensi terhadap perubahan.
Tidak yakin bahwa perubahan memang dibutuhkan. Karyawan
cenderung bereaksi negatif jika mereka merasa yakin bahwa perubahan tidak
perlu dilakukan. Munculnya keyakinan seperti ini biasanya terjadi pada saat
kinerja organisasi sedang membaik sehingga karyawan merasa puas diri
(complacency). Mereka juga merasa bahwa apa yang mereka lakukan selama
ini tidak ada yang salah. Perubahan yang diusulkan pada situasi seperti ini
cenderung direspons secara negatif karena perubahan dianggap tidak perlu.
Tidak jelas apa yang diharapkan dari perubahan. Usulan perubahan
khususnya perubahan strategik kadang-kadang tidak ditindaklanjuti dengan
dukungan informasi yang jelas tentang apa dan bagaimana perubahan
tersebut harus dijalankan oleh karyawan. Jika masalahnya seperti ini
kemungkinan karyawan mengkonversi inisiatif perubahan dan memberi
dukungan pada level organisasi akan semakin kecil. Hal ini bisa diartikan
bahwa tidak adanya dukungan karyawan terhadap usulan perubahan
sesungguhnya bukan karena karyawan enggan terlibat pada perubahan tetapi
lebih karena tidak adanya kejelasan apa yang diharapkan dari perubahan
tersebut.
Ada keyakinan bahwa perubahan yang diusulkan tidak tepat.
Mereka yang terkena imbas perubahan biasanya memiliki pandangan berbeda
tentang usulan perubahan. Perubahan oleh sebagian karyawan dianggap
sebagai ide yang baik tetapi sebagian yang lain menganggap usulan tersebut
sebagai ide buruk. Tentunya pandangan ini mempengaruhi kesiapan
karyawan untuk berubah. Mereka yang mendukung perubahan sering
dianggap sebagai orang yang berpikiran tajam dan mereka yang tidak
mendukung dianggap rabun (myopic). Yang rabun biasanya mendapat
predikat sebagai orang yang menolak perubahan - ―resistant to change‖.
Dalam hal ini orang yang resisten sesungguhnya belum tentu keliru karena
usulan perubahan tersebut belum tentu sebuah ide besar seperti dibayangkan
3.36 Manajemen Perubahan 

pengusul perubahan. Atau dengan kata lain penolakan terhadap perubahan


lebih disebabkan karena usulan perubahan dianggap tidak tepat misalnya
dianggap tidak sejalan dengan visi masa depan organisasi.
Keyakinan bahwa waktu perubahan tidak tepat. Karyawan mungkin
menolak usulan perubahan bukan mereka berpikiran bahwa usulan tersebut
keliru. Boleh jadi mereka sepakat dengan usulan tersebut hanya saja mereka
menganggap usulan tersebut bukan pada waktu yang tepat. Penyebabnya
mungkin karena mereka lelah karena proses perubahan yang mendahului
usulan perubahan kali ini belum selesai dikerjakan dan memerlukan tindak
lanjut, atau karena mereka beranggapan bahwa jika usulan tersebut
dilaksanakan sekarang sangat boleh jadi akan menimbulkan efek yang tidak
diharapkan baik terhadap konsumen, karyawan dan atau mitra kerja –
dampak yang seharusnya tidak perlu terjadi jika perubahan dilakukan pada
waktu yang tepat.
Perubahan dianggap berlebihan. Untuk penjelasan yang berkaitan
dengan perubahan berlebihan dapat dilihat pada Modul 1, Kegiatan Belajar 2.
Dampak menyeluruh perubahan terhadap kehidupan pribadi.
Bekerja bagi seorang karyawan sesungguhnya merupakan bagian kehidupan
mereka sehingga karyawan sangat berharap tidak terjadi konflik antara
kehidupan pribadi dengan kehidupan kerja. Usulan perubahan kadang-kadang
ditanggapi secara negatif oleh karyawan karena dari sisi kehidupan kerja
mungkin tidak ada masalah misalnya karena tidak ada tuntutan skill yang
baru, tetapi dari sisi kehidupan pribadi dan keluarga perubahan tersebut
mungkin menimbulkan masalah besar katakanlah karena mereka harus
pindah tempat kerja dan dengan demikian harus meninggalkan keluarga
dalam waktu yang cukup lama.
Dianggap berbenturan dengan etika. Resistensi terhadap perubahan
boleh jadi bukan karena karyawan tidak ingin ada progress atau tidak ada
kemajuan organisasi tetapi sangat mungkin disebabkan karena karyawan
patuh dan teguh dalam memegang prinsip-prinsip etika yang berlaku. Hal ini
bisa diartikan bahwa jika usulan perubahan dianggap melanggar etika sangat
mungkin karyawan akan resisten terhadap perubahan.
Pengalaman perubahan sebelumnya. Karyawan yang pernah terlibat
dengan perubahan pada periode-periode sebelumnya akan berpengaruh
terhadap kesiapan mereka melakukan perubahan. Jika karyawan memiliki
pengalaman buruk dengan perubahan sebelumnya hampir pasti mereka sinis
terhadap usulan perubahan yang baru meski pihak pengusul berupaya untuk
 EKMA4565/MODUL 3 3.37

meyakinkan bahwa perubahan yang sekarang berbeda dengan perubahan


pada masa lalu.
Tidak sepakat dengan cara mengelola perubahan. Usulan perubahan
yang bagus dan sangat menjanjikan masa depan organisasi justru kadang-
kadang tidak bisa diimplementasikan hanya karena karyawan tidak setuju
dengan cara yang akan ditempuh dalam mengimplementasikan perubahan
tersebut. Kasus seperti ini banyak ditemukan dalam perubahan
transformasional seperti downsizing atau merger dan akuisisi.

2. Mengelola Resistensi terhadap Perubahan


Uraian di atas yang secara panjang lebar menjelaskan alasan mengapa
karyawan resisten terhadap perubahan seharusnya bukan sekedar fakta yang
harus diketahui para manajer mengapa karyawan resisten. Hal yang lebih
penting dari itu adalah bagaimana cara mengatasi resistensi tersebut. Namun
sebelum para manajer mampu mengatasi resistensi karyawan, satu prasyarat
yang harus dipenuhi adalah manajer tersebut harus merubah perilakunya
seperti kata pepatah ―change your self before changing others‖. Sayangnya
mereka yang resisten terhadap perubahan bukan hanya karyawan tetapi
kadang-kadang para manajer sendiri menjadi resistor perubahan. Kalau
persoalannya seperti ini tentunya hasil positif dari perubahan semakin jauh
dari kenyataan. Oleh karena itu cara merubahpun harus diubah.
Salah satu alasan mengapa kita perlu mempertimbangkan bahwa resistor
perubahan bukan hanya karyawan tetapi juga para manajer adalah
sekelompok orang bukan hanya masing-masing individu manajer memiliki
sudut pandang, keyakinan dan kepentingan berbeda, secara formal mereka
juga diatur dalam sebuah hierarki yang membedakan wewenang dan
tanggung jawab masing-masing. Akibatnya di antara para manajerpun belum
tentu satu paham tentang perubahan, bahkan karena aspek politik kadang-
kadang begitu menonjol maka tidak jarang perbedaan di antara mereka
semakin lebar. Ambillah contoh, usulan perubahan yang diajukan oleh
manajer pemasaran yang menganggap bahwa desain produk harus diubah
jika menginginkan perusahaan bisa terus bersaing belum tentu usulan ini
disepakati manajer produksi dengan alasan merubah desain memerlukan
biaya dan waktu lama. Bahkan tidak jarang manajer produksi menganggap
usulan manajer pemasaran hanya sekedar pengalihan perhatian agar mereka
tidak tampak tidak mampu menjual.
3.38 Manajemen Perubahan 

Sekarang anggaplah para manajer adalah sekelompok orang sebagai satu


satuan yang mempunyai pandangan sama akan perlunya perubahan. Tetap
saja kesamaan pandangan ini masih memungkinkan terjadinya resistensi
terhadap perubahan. Resistensi ini muncul dalam bentuk berbeda dalam hal
manajer level bawah cenderung resisten dalam implementasi perubahan
sedang manajer senior cenderung resisten dalam konseptualisasi perubahan
atau pilihan-pilihan strategi perubahan yang harus ditempuh. Persoalan
paling krusial dalam hal resistensi perubahan dikalangan para manajer adalah
manakala mereka berhasil mencapai tujuan organisasi. Pencapaian ini seolah-
olah membuktikan bahwa mereka telah melakukan segala sesuatunya dengan
benar sehingga mereka berada pada situasi ‗comfort zone – zona
kenyamanan‖ dan beranggapan bahwa perubahan tidak perlu dilakukan
apalagi perubahan yang bersifat radikal.
Padahal sering dikatakan bahwa keberhasilan merupakan bibit terjadinya
kehancuran karena dalam keberhasilan tersebut mereka tidak menyadari jika
di lingkungan eksternal secara gradual terjadi perubahan. Situasi seperti ini
sering dimetaforakan sebagai ―boiled frog phenomenon‖. Katak sangat suka
berada pada air yang hangat-hangat kuku dan merasa nyaman pada situasi
tersebut. Jika temperatur air tersebut dinaikkan sedikit demi sedikit katak
tidak akan merasakan jika temperatur air sesungguhnya sudah mulai
mendidih. Katak baru sadar ketika air sudah mendidih dan katakpun sudah
tidak kuasa untuk keluar dari air tersebut. Hal ini berbeda dengan katak yang
dicemplungkan pada air mendidih pasti katak tersebut segera bereaksi dengan
melompat karena merasakan panasnya air. Metafora ini merupakan
penggambaran bagi organisasi yang berhasil yang tidak sadar jika lingkungan
eksternal telah berubah dan menuntut perubahan internal organisasi.
Dengan asumsi bahwa para manajer telah merubah diri sebelum
berupaya merubah resistensi karyawan, berikut ditawarkan beberapa cara
untuk mengelola resistensi perubahan. Di muka Recklies menawarkan tujuh
tahap perubahan terkait dengan resistensi karyawan. Sementara itu Jick &
Peiperl (2003) menawarkan empat tahap perubahan mulai dari shock, anger –
marah, mourning – suasana berkabung dan acceptance – menerima
perubahan. Keempat tahapan perubahan yang ditawarkan Jick & peiperl ini
merupakan proses perubahan yang berkaitan dengan perubahan psikologis
seseorang. Ketika seseorang mendengar akan adanya perubahan reaksi
pertama adalah shock yang dimanifestasikan dalam bentuk ketiadaan reaksi.
Karyawan tidak melakukan apa-apa dan tentunya enggan berubah. Setelah
 EKMA4565/MODUL 3 3.39

menyadari bahwa perubahan tersebut bisa berdampak negatif mulailah


karyawan bereaksi dengan menunjukkan kemarahannya. Namun ketika
mereka tidak bisa berbuat banyak untuk menolak perubahan mereka
menunjukkan kesedihan dan membayangkan hal-hal yang bersifat negatif dan
positif bercampur aduk. Lambat laun karyawan mulai bisa beradaptasi
dengan perubahan dan mau menerimanya. Proses seperti ini sering disebut
―resistant cycle – siklus resistensi‖.
Model perubahan untuk mengatasi resistensi karyawan yang tergolong
klasik ditawarkan oleh Kotter & Schlesinger (1979). Dalam artikelnya yang
dimuat Harvard Business Review, Kotter & Schlesinger menawarkan enam
metode untuk mengatasi resistensi karyawan, yaitu:
1. Pendidikan dan komunikasi.
2. Partisipasi dan pelibatan.
3. Fasilitasi dan dukungan.
4. Negosiasi dan kesepakatan.
5. Manipulasi dan kooptasi.
6. Ancaman – eksplisit maupun implisit.

Keenam metode di atas bersifat situasional dalam pengertian pemilihan


salah satu atau beberapa metode sangat bergantung pada konteks yang
dihadapi para manajer (lihat Tabel 3.4). Sebagai contoh, jika resistensi
karyawan disebabkan karena terjadi mis-informasi maka metode edukasi bisa
digunakan. Hanya saja ketika menerapkan metode ini harus
mempertimbangkan pula masalah waktu karena metode edukasi
membutuhkan waktu lama. Oleh karena itu jika waktu menjadi kendala bisa
diterapkan metode lain yang lebih tepat.

Tabel 3.4.
Metode Mengelola Resistensi Menurut Kotter & Schlesinger

Kemungkinan
Metode Karakteristik Konteks
Kesulitan
Edukasi dan Menginformasikan Jika resisten karena Mungkin butuh
komunikasi kepada publik alasan ketiadaan informasi waktu lama yang
utama perubahan; atau mis-informasi dalam beberapa
menyediakan informasi kasus bisa menjadi
yang dibutuhkan masalah besar
Partisipasi Melibatkan karyawan Jika resisten karena Bisa memperlambat
dan pelibatan dalam proses adanya rasa proses dan
3.40 Manajemen Perubahan 

Kemungkinan
Metode Karakteristik Konteks
Kesulitan
perubahan sebagai terbuang dari proses memunculkan
partisipan aktif perubahan kompromi dalam
pengambilan
keputusan yang
dapat menurunkan
optimalisasi proses
Kemudahan Menyediakan sumber Jika resisten karena Membutuhkan
dan daya baik teknis khawatir dan ketidak- dukungan uang,
dukungan maupun nonteknis pastian waktu dan hubungan
interpersonal di
mana manajer
merasa tidak siap
untuk
menyediakannya
Negosiasi Menawarkan insentif Jika resistor memiliki Bisa merubah dan
dan kepada resistor posisi kuat untuk penurunan kualitas
kesepakatan potensial maupun yang menggerogoti elemen kunci
sesungguhnya perubahan jika perubahan
kepentingan mereka
tidak terakomodasi
Manipulasi Memanfaatkan informasi Jika partisipasi, Pendekatan ini
dan kooptasi secara selektif; mencari fasilitasi dan berisiko terjadinya
dukungan karyawan negosiasi serangan balik jika
kunci dengan memberi membutuhkan waktu cara-cara yang
peran kunci dalam lama dan biaya besar digunakan dianggap
proses perubahan terlalu kasar, tidak
etis atau manajer
dianggap menyuap
agar karyawan patuh
Memberi Mengancam karyawan Jika penerima Hasil yang
ancaman, dengan konsekuensi perubahan tidak diharapkan mungkin
eksplisit yang tidak diharapkan cukup kuat untuk tercapai tetapi
maupun jika mereka tetap resisten, ketika dukungan terhadap
implisit resisten keberlangsungan perubahan bersifat
organisasi dalam semu sehingga
bahaya jika tidak proses perubahan
segera berubah bisa memerlukan
waktu lebih lama
 EKMA4565/MODUL 3 3.41

LAT IH A N

Untuk memperdalam pemahaman Anda mengenai materi di atas,


kerjakanlah latihan berikut!
1) Berdasarkan definisi yang diberikan para ahli, jelaskan pengertian
manajemen perubahan menurut konsep modul ini!
2) Jelaskan teori proses perubahan!
3) Jelaskan Theory E dan Theory O!
4) Jelaskan resistensi terhadap perubahan menurut Hultman (1995)!
5) Jelaskan metode untuk mengatasi resistensi karyawan!

Petunjuk Jawaban Latihan

1) Manajemen perubahan (change management) pada dasarnya merupakan


sebuah proses formal dalam perubahan organisasi yang dilakukan melalui
pendekatan yang sistematis dalam sebuah aplikasi pada pengetahuan,
peralatan, dan sumber daya lainnya. Manajemen perubahan juga
berarti mendefinisikan dan mengadopsi strategi -strategi organisasi,
struktur, prosedur dan teknologi untuk menghadapi perubahan yang
terjadi, baik yang terjadi di dalam organisasi maupun di luar organisasi.
(Untuk lebih jelasnya pelajari Bagian A).
2) Teori proses perubahan menurut Van de Ven & Poole (1995) terdiri atas:
a) Life cycle theory
b) Teleological theory
c) Dialectical theory
d) Evolutionary theory
(Untuk lebih jelasnya pelajari Bagian B).
3) Teori E mengorientasikan perubahan berbasis pada nilai-nilai ekonomi
dan hal ini dikonotasikan dengan manajemen perubahan, sedangkan
Teori O adalah perubahan yang didasarkan pada kapabilitas organisasi
atau lebih mementingkan pembenahan proses yang berkonotasi sebagai
pengembangan organisasi.
4) Hultman (1995) mengelompokkan resistensi menjadi: resistensi aktif dan
resistensi pasif.
Gejala-gejala pada resistensi aktif:
a) Sangat kritis atau aktif mengkritik.
b) Mencari-cari kesalahan.
c) Suka mencela.
d) Suka menakut-nakuti.
3.42 Manajemen Perubahan 

e) Menggunakan fakta secara selektif.


f) Menyalahkan orang lain.
g) Sabotase.
h) Mengintimidasi atau mengancam.
i) Memanipulasi keadaan.
j) Mendistorsi fakta.
k) Memblokir atau menghalang-halangi.
l) Membuat rumor negatif.
m) Suka berargumentasi.
Gejala-gejala pada resistensi pasif:
a) Secara verbal setuju dengan perubahan tetapi pada kenyataannya
tidak mengikuti proses perubahan.
b) Gagal mengimplementasikan perubahan.
c) Menunda-nunda proses perubahan.
d) Berpura-pura bodoh.
e) Menahan informasi, saran, bantuan atau dukungan.
f) Membiarkan perubahan mengalami kegagalan.
5) Menurut Kotter & Schlesinger (1979), metode untuk mengatasi resistensi
karyawan meliputi:
a) Pendidikan dan komunikasi.
b) Partisipasi dan pelibatan.
c) Fasilitasi dan dukungan.
d) Negosiasi dan kesepakatan.
e) Manipulasi dan kooptasi.
f) Ancaman – eksplisit maupun implisit.
(Untuk lebih jelasnya pelajari Bagian H).

R A NG KU M AN

Manajemen perubahan didefinisikan secara beragam oleh para ahli,


maka perlu ada definisi yang spesifik yang sesuai dengan kebutuhan
meski suatu definisi boleh jadi tidak cocok untuk diterapkan pada
konteks perubahan yang lain.
Menurut Greiner (1972, 1998), pertumbuhan sebuah organisasi
dibagi menjadi lima fase:
1. tumbuh karena kreativitas (fase 1)
2. tumbuh karena arahan (fase 2)
3. tumbuh karena delegasi (fase 3)
4. tumbuh karena koordinasi (fase 4)
5. tumbuh karena kolaborasi (fase 5).
 EKMA4565/MODUL 3 3.43

Okland & Tanner (2007) mengembangkan kerangka perubahan


organisasi sistemik, yakni dua siklus perubahan yang saling berinteraksi
– kesiapan berubah (readiness for change) dan implementasi perubahan.
Teori proses perubahan menurut Van de Ven & Poole (1995) terdiri
atas:
1. Life cycle theory
2. Teleological theory
3. Dialectical theory
4. Evolutionary theory

Perbedaan antara Pengembangan organisasi dengan manajemen


perubahan:

Manajemen
Nilai-nilai
Pendekatan Tekanan pada Metode Perubahan
dominan
merupakan
Manajemen Hasil/outcome Proses dilakukan Ekonomi Rekayasa atau
Perubahan oleh elite organisasi arahan
Perkembangan Prosess Proses secara Humanisme Pemberian
Organisasi partisipatif fasilitas atau
coaching

Beberapa alasan mengapa karyawan resisten terhadap perubahan:


1. Tidak suka perubahan.
2. Tidak nyaman dengan ketidakpastian.
3. Persepsi terhadap dampak negatif perubahan bagi kepentingan
karyawan.
4. Keterikatan dengan budaya berjalan.
5. Persepsi tentang pelanggaran kontrak psikologis.
6. Tidak yakin bahwa perubahan memang dibutuhkan.
7. Tidak jelas apa yang diharapkan dari perubahan.
8. Ada keyakinan bahwa perubahan yang diusulkan tidak tepat.
9. Keyakinan bahwa waktu perubahan tidak tepat.
10. Perubahan dianggap berlebihan.
11. Dampak menyeluruh perubahan terhadap kehidupan pribadi.
12. Dianggap berbenturan dengan etika.
13. Pengalaman perubahan sebelumnya.
14. Tidak sepakat dengan cara mengelola perubahan.

Menurut Kotter & Schlesinger (1979), metode untuk mengatasi


resistensi karyawan yaitu:
1. Pendidikan dan komunikasi.
2. Partisipasi dan pelibatan.
3.44 Manajemen Perubahan 

3. Fasilitasi dan dukungan.


4. Negosiasi dan kesepakatan.
5. Manipulasi dan kooptasi.
6. Ancaman – eksplisit maupun implisit.

TES F OR M AT IF 1

Pilihlah satu jawaban yang paling tepat!


1) Pengertian manajemen perubahan menurut Moran & Brightman (2001)
adalah ....
A. manajemen perubahan bisa diartikan sebagai pendefinisian dan
penerapan strategi perusahaan, struktur, prosedur dan teknologi yang
digunakan untuk melakukan perubahan baik yang terjadi di
lingkungan eksternal maupun di lingkungan bisnis
B. manajemen perubahan adalah sebuah proses, alat-alat bantu dan
teknik untuk mengelola sisi manusia dari perubahan bisnis dalam
rangka untuk mencapai hasil yang diharapkan dan untuk
merealisasikan efektivitas perubahan bisnis dalam lingkup
infrastruktur sosial lingkungan kerja
C. manajemen perubahan adalah sebuah pendekatan sistematik yang
berkaitan dengan perubahan, baik dilihat dari perspektif organisasi
maupun individu
D. manajemen perubahan adalah sebuah proses pembaharuan
berkelanjutan terhadap arah, struktur dan kapabilitas organisasi
dalam memenuhi kebutuhan pelanggan yang terus berubah baik
pelanggan eksternal maupun internal

2) Fase pertumbuhan di mana suatu organisasi tumbuh karena arahan


merupakan fase ....
A. 1
B. 2
C. 3
D. 4

3) Pada tahap implementasi perubahan, yang menentukan apakah


perubahan organisasi berhasil dilakukan atau tidak adalah ....
A. perubahan perilaku
B. kesiapan berubah
C. dorongan untuk berubah
D. sistem dan kontrol
 EKMA4565/MODUL 3 3.45

4) Proses perubahan yang dimulai dari penentuan visi yang


menggambarkan masa depan organisasi yang ingin di tuju dan penetapan
tujuan merupakan esensi dari teori ....
A. life cycle theory
B. teleological theory
C. dialectical theory
D. evolutionary theory

5) Nilai-nilai dominan pada manajemen perubahan yang membedakannya


dengan pengembangan organisasi adalah nilai ....
A. ekonomi
B. sosial
C. humanisme
D. bisnis

6) Fase perubahan di mana karyawan mulai menyadari bahwa perubahan


itu perlu tetapi belum mau merubah pola perilakunya merupakan esensi
dari fase ....
A. shock dan kejutan
B. mengingkari dan menolak
C. pemahaman secara rasional
D. mempraktikan dan pembelajaran

7) Menggunakan fakta secara selektif merupakan salah satu gejala


resistensi terhadap perubahan yaitu resistensi ....
A. negatif
B. positif
C. pasif
D. aktif

8) Salah satu gejala yang muncul pada resistensi pasif di antaranya


adalah ....
A. mendistorsi fakta
B. berpura-pura bodoh
C. Sabotase
D. memanipulasi keadaan

9) Kelompok masyarakat yang sangat berupaya keras untuk menghindari


ketidakpastian disebut ....
A. uncertainty avoidance
B. low uncertainty avoidance
3.46 Manajemen Perubahan 

C. middle uncertainty avoidance


D. high uncertainty avoidance

10) Menurut Jick & Peiperl (2003), terdapat empat tahap untuk mengelola
resistensi perubahan meliputi:
A. shock, anger, mourning, dan acceptance
B. anger, shock, mourning, dan acceptance
C. mourning, anger, shock, dan acceptance
D. anger, mourning, shock, dan acceptance

Cocokkanlah jawaban Anda dengan Kunci Jawaban Tes Formatif 1 yang


terdapat di bagian akhir modul ini. Hitunglah jawaban yang benar.
Kemudian, gunakan rumus berikut untuk mengetahui tingkat penguasaan
Anda terhadap materi Kegiatan Belajar 1.

Jumlah Jawaban yang Benar


Tingkat penguasaan =  100%
Jumlah Soal

Arti tingkat penguasaan: 90 - 100% = baik sekali


80 - 89% = baik
70 - 79% = cukup
< 70% = kurang

Apabila mencapai tingkat penguasaan 80% atau lebih, Anda dapat


meneruskan dengan Kegiatan Belajar 2. Bagus! Jika masih di bawah 80%,
Anda harus mengulangi materi Kegiatan Belajar 1, terutama bagian yang
belum dikuasai.
 EKMA4565/MODUL 3 3.47

Kegiatan Belajar 2

Model dan Implementasi Perubahan


Organisasi
A. MODEL MANAJEMEN PERUBAHAN

Setelah kita mengetahui tentang pengertian manajemen perubahan, teori


proses perubahan, perbedaan antara pengembangan organisasi dengan
manajemen perubahan, resistensi terhadap perubahan dan bagaimana
mengelola resistensi terhadap perubahan, pada Kegiatan Belajar 2 kita akan
membahas mengenai model manajemen perubahan dan pendekatan
manajemen perubahan.
Saudara mahasiswa, para teoritisi organisasi dan manajemen perubahan
menawarkan beragam kerangka atau model perubahan organisasi dengan
harapan model-model tersebut bisa digunakan para manajer sebagai pedoman
untuk melakukan perubahan organisasi. Sebagai contoh, Elrod II & Tippet
(2002) membuat rangkuman model perubahan yang digagas beberapa
teoritisi perubahan sejak tahun 1952 sampai dengan 1994. Keberagaman
model tersebut, sebagian akan dijelaskan lebih detail pada modul ini (lihat
Tabel 3.5), sekaligus menunjukkan perbedaan sudut pandang dan preferensi
para teorisi perubahan dalam memahami kompleksitas organisasi di satu sisi
dan faktor-faktor yang mempengaruhi perubahan disisi lain. Oleh karena itu,
yang harus dipahami oleh para praktisi dan manajer yang hendak melakukan
perubahan serta mereka yang ingin tahu lebih banyak tentang manajemen
perubahan adalah tidak ada satupun model perubahan yang paling benar.
Yang ada adalah setiap model memiliki kelebihan dan kelemahan tersendiri
karena model hanyalah sebuah penyederhanaan dari kompleksitas organisasi.
Dengan demikian aplikasinya dalam praktik harus dilakukan secara hati-hati
dengan mempertimbangkan kecocokan model tersebut dengan situasi yang
dihadapi organisasi dan aspek-aspek organisasi yang perlu diulang. Burke
(2002) menyatakan, ada lima cara agar model organisasi bisa digunakan
sebagaimana mestinya:
1. Membuat situasi yang sangat kompleks, di mana ratusan atau ribuan
kejadian berbeda, lebih manageable dengan cara mengurangi situasi
yang kompleks tersebut menjadi sejumlah kategori yang lebih mudah
dipahami.
2. Membantu mengidentifikasikan kegiatan-kegiatan organisasi atau
property organisasi yang betul-betul membutuhkan perhatian.
3.48 Manajemen Perubahan 

3. Menyoroti kesalingterkaitan berbagai macam property organisasi seperti


antara strategi dan struktur organisasi.
4. Menggunakan bahasa yang sama ketika mendiskusikan karakteristik
organisasi.
5. Menyediakan pedoman tentang urutan tindakan yang harus diambil
dalam situasi perubahan.

Tabel 3.5.
Model Perubahan Organisasi
 EKMA4565/MODUL 3 3.49

1. Lewin’s Three-Stage Model


Sebelum manajemen perubahan banyak dikenal orang dan menjadi
pembicaraan sehari-hari para praktisi bisnis dan manajer, Kurt Lewin –
seorang pioneer di bidang psikologi sosial mengajukan dua konsep teori yang
terkait dengan perubahan dan transisi. Teori pertama, Quasi-stationary
equilibria, menjelaskan bagaimana keseimbangan atau ketidakseimbangan
‗force-field‘ menentukan sejauh mana sistem sosial masyarakat bisa
mempertahankan titik keseimbangan atau harus berubah menuju titik
keseimbangan baru. Teori kedua adalah model perubahan organisasi
sederhana yang dikenal dengan Three-Stage Model. Meski terkesan sebagai
model yang statis, model ini bisa ditemukan di berbagai literatur manajemen
perubahan dan sampai hari ini masih menjadi rujukan bagi para praktisi yang
hendak melakukan perubahan organisasi. Menurut Lewin perubahan
bersumber dari perubahan kekuatan yang menimpa organisasi, termasuk di
dalamnya struktur dan sistem, serta individu. Penjelasan ini secara tidak
langsung menegaskan bahwa perubahan organisasi bisa terjadi pada tiga level
yang berbeda yaitu:
a. Perubahan pada level individu karyawan yang bekerja di organisasi
yakni skill, nilai-nilai, sikap dan perilaku. Dalam hal ini harus
diperhatikan bahwa perubahan perilaku individu harus dipandang
sebagai instrumen menuju perubahan organisasi.
b. Perubahan pada struktur dan sistem organisasi termasuk di dalamnya
sistem imbalan, sistem pelaporan, desain kerja dan sebagainya.
c. Perubahan yang secara langsung merubah iklim organisasi dan gaya
kepemimpinan yakni sejauh mana hubungan interpersonal bersifat
terbuka, bagaimana konflik dikelola, dan bagaimana keputusan dibuat.

Model perubahan yang ditawarkan Lewin, prinsipnya sesungguhnya


sederhana yaitu perubahan dapat dilakukan dengan memperhatikan dua
kekuatan yang saling berlawanan namun keduanya memberi tekanan kepada
organisasi. Kedua faktor tersebut adalah faktor pendorong perubahan dan
faktor penghambat perubahan. Agar terjadi perubahan maka perlu dilakukan
upaya untuk memperkuat faktor pendorong perubahan atau memperlemah
resistensi perubahan. Namun demikian Lewin membuat satu catatan penting
berkaitan dengan prinsip perubahan tersebut ―memperkuat faktor pendorong
perubahan tanpa diikuti oleh memperlemah resistensi terhadap perubahan
hanya menghasilkan sebuah ketegangan tanpa menghasilkan efek
3.50 Manajemen Perubahan 

perubahan‖. Berdasarkan prinsip yang sederhana ini Lewin membuat model


tiga-tahap perubahan yaitu unfreezing – movement/change – refreezing (lihat
Gambar 3.7).
Restraining Forces

Desire
State REFREEZING

MOVEMENT

Status
Quo UNFREEZING
Driving Forces

Time

Gambar 3.7.
Model Perubahan Tiga Tahap

Tahap pertama proses perubahan adalah unfreezing. Pada tahap ini pola
perilaku pada kondisi yang sekarang berlangsung (status quo) diguncang,
sehingga orang merasa kurang nyaman sebagai upaya awal untuk mengelola
resistensi terhadap perubahan. Bergantung pada level perubahan yang
diinginkan, unfreezing pada level individu misalnya dilakukan dengan
mempromosikan atau sebaliknya memecat beberapa orang secara selektif;
pada level struktural mendesain ulang struktur organisasi, misalnya dari
functional menuju process based structure dan mengembangkan model
pelatihan sebagai tindak lanjutnya; atau pada level organisasi menyediakan
database sebagai umpan balik tentang iklim kerja atau iklim organisasi dan
pandangan karyawan terhadap praktik manajemen. Pada level manapun
proses unfreeze dilakukan, tujuan dari intervensi ini adalah untuk
menyadarkan para anggota organisasi akan adanya kebutuhan untuk berubah,
 EKMA4565/MODUL 3 3.51

meningkatkan perhatian mereka terhadap pola perilaku yang selama ini


menjadi pedoman bertindak dan membuat mereka lebih terbuka terhadap
perubahan organisasi. Sederhananya, pada tahap ini proses perubahan lebih
ditujukan untuk mengatasi terjadinya resistensi terhadap perubahan yang
secara keseluruhan dilakukan dengan membuka kelemahan dari sistem yang
sedang digunakan. Kadang-kadang upaya ini harus ditempuh dengan jalan
konfrontasi langsung atau tidak langsung dengan karyawan dan dilanjutkan
dengan mengadakan pelatihan ulang untuk merubah perilaku lama menuju
perilaku yang diharapkan.
Pada tahap kedua – movement atau change, meliputi proses perubahan
sesungguhnya di mana organisasi akan bergerak dari kondisi sekarang ke
kondisi yang diharapkan. Pada level individu misalnya kita berharap para
anggota organisasi sudah memiliki perilaku yang berbeda katakanlah
memiliki keterampilan baru atau cara baru dalam mensupervisi karyawan.
Pada level struktur diharapkan ada perubahan pada struktur organisasi, sistem
pelaporan dan sistem imbalan yang pada akhirnya mempengaruhi cara kerja
dan perilaku karyawan. Terakhir pada level organisasi sangat diharapkan
tercipta iklim organisasi baru dan pola perilaku baru yang bisa menciptakan
terjadinya saling percaya dalam hubungan kerja, keterbukaan dan
meminimalisir interaksi yang disfungsi.
Terakhir, adalah refreezing. Pada tahap ini dilakukan stabilisasi dan
institusionalisasi perubahan dengan cara membangun sistem yang
memungkinkan pola perilaku yang baru relatif aman atau tidak mudah goyah
terhadap perubahan-perubahan lebih lanjut jika perubahan tersebut memang
dianggap perlu. Beberapa kegiatan atau intervensi yang termasuk pada tahap
ini misalnya desain ulang sistem rekrutmen karyawan. Dengan desain sistem
yang baru diharapkan diperoleh calon pegawai yang sejalan dengan gaya
manajemen dan nilai-nilai organisasi yang baru. Di samping itu, diharapkan
pula pola perilaku karyawan yang baru menjadi norma kerja yang permanen
yang didukung oleh sistem imbalan yang sesuai dan memungkinkan
karyawan bisa lebih berpartisipasi aktif dalam kegiatan organisasi dan dalam
proses pengambilan keputusan.
Contoh aplikasi modelnya Lewin dalam praktik, dapat dilihat pada
tulisan Goldstein & Burke (1991). Kedua penulis ini menggunakan British
Airways (BA) sebagai contoh kasus bagaimana model perubahan tiga
tahapnya Lewin diimplementasikan ke dalam praktik. Ringkasan dari aplikasi
tersebut dapat dilihat pada Tabel 3.6 sebagai berikut.
3.52 Manajemen Perubahan 

Tabel 3.6.
Aplikasi Model Lewin dalam Perubahan Organisasi British Airways

Level
Unfreezing Movement Refreezing
Perubahan
Individu  Mengurangi jumlah  Menyepakati konsep  Meneruskan komitmen
karyawan dari 59000 “emotional labor” Top management
menjadi 37000.  Menetapkan staf  Mempromosikan staf
 Membentuk top sebagai konsultan dengan nilai-nilai baru
management team baru internal BA
 Menyusun program:  Membentuk kelompok  Mendirikan “Top Flight
“Putting People First” yang didukung rekan Academy”
kerja (peer)  Menyusun program
pembelajaran secara
terbuka
Struktur  Menggunakan satuan  Menerapkan sistem  Menyusun sistem
dan sistem tugas yang bersifat insentif profit sharing penilaian kinerja
diagonal untuk (3 minggu gaji pada berbasis perilaku dan
merencanakan tahun 1987) hasil kerja
perubahan  Membuka terminal 4  Sistem kompensasi
 Mengurangi jenjang  Membeli perusahaan berbasis kinerja
hierarki organisasi Chartridge sebagai  Meneruskan untuk
 Memodifikasi proses pusat pelatihan menggunakan satuan
penyusunan anggaran  Membangun SIM baru tugas
yang user-friendly
Organisasi  Mendefinisikan ulang  Menekankan  Membuat seragam baru
bisnis BA, bukan pentingnya sistem  Membuat jas/jaket baru
transportasi tapi jasa. komunikasi terbuka  Mengembangkan dan
 Komitmen dan  Menyediakan data menggunakan tim
keterlibatan Top umpan balik tentang awak cabin
Management iklim kerja  Meneruskan
 Menyelenggarakan penggunaan data
rapat di luar kantor feedback untuk
dalam rangka mengetahui iklim kerja
membentuk team dan praktik manajemen
building

Model perubahan tiga tahap kemudian diperbaharui oleh Lippit, Watson


& Westley (lihat Frech, Bell & Zawacki, 2000) menjadi tujuh tahap yaitu:
Tahap 1 : Mengembangkan kebutuhan akan perubahan. Tahap ini identik
dengan tahap unfreezing.
Tahap 2 : Membangun hubungan perubahan. Tahap ini dianggap sebagai
tahapan krusial karena klien yang membutuhkan bantuan dan agen
perubahan yang berasal dari luar sistem organisasi membangun
kerja.
Tahap 3 : Mengklarifikasi atau mendiagnosis masalah yang dihadapi klien.
 EKMA4565/MODUL 3 3.53

Tahap 4 : Menguji cara dan tujuan alternatif; menetapkan tujuan dan intensi
untuk bertindak.
Tahap 5 : Mentrasformasi intens untuk berubah menjadi upaya perubahan
yang sesungguhnya.
Tahap 3, 4 dan 5 identik dengan tahap movement/change
Tahap 6 : Generalisasi dan stabilisasi perubahan. Tahap ini identik dengan
refreezing
Tahap 7 : Mencapai titik akhir hubungan.

2. Model Bechard & Harris


Beckhard & Harris (1987) dalam bukunya Organizational Transitions:
Managing Complex Change, menyajikan sebuah model perubahan yang
menekankan pentingnya motivasi perubahan. Modelnya disajikan dalam
bentuk persamaan sederhana sebagai berikut:
Perubahan = ABC > D
di mana: A = ketidakpuasan terhadap keadaan status quo
B = masa depan yang diharapkan
C = langkah-langkah praktis yang dijalankan dalam perubahan
D = biaya untuk melakukan perubahan

Menurut Beckhard & Harris, perubahan akan terjadi bilamana manajer


dan para karyawannya merasa tidak puas dengan keadaan sekarang yang
sedang berlangsung atau kondisi status quo, manajer dan para karyawan
menghendaki ada masa depan yang diharapkan dan ada jalan untuk
melakukan perubahan. Jika ketiga elemen ini memperoleh hasil lebih besar
dari biaya untuk menjalankan perubahan maka perubahan bisa tercapai.
Beckhard & Harris mengatakan bahwa model ini merupakan pendekatan
manajemen perubahan yang memotivasi pihak-pihak yang terkait dengan
perubahan untuk melaksanakannya. Model ini sangat berpengaruh dan
memberikan kontribusi besar bagaimana perubahan terencana seharusnya
dijalankan yakni: kita perlu meminimalisasi biaya untuk melakukan
perubahan, perlu meyakinkan pihak-pihak yang terkait dengan perubahan
bahwa kondisi sekarang sedang bermasalah dan perlu mempersuasi mereka
bahwa kita perlu visi masa depan dan tersedia sarana untuk mencapainya.
Menurut Beckhard & Harris, fokus kepada masa depan jauh lebih
menguntungkan ketimbang mempersoalkan kondisi sekarang karena
beberapa alasan berikut:
3.54 Manajemen Perubahan 

a. Masa depan bisa digunakan untuk merubah pesimisme menjadi


optimisme.
b. Masa depan digunakan untuk memvisualisasikan peran mereka yang
perlu dilakukan dan bisa juga meningkatkan kepatuhan terhadap
organisasi.
c. Masa depan yang jelas bisa digunakan untuk mengurangi ketidakpastian
dan perasaan tidak aman.
d. Masa depan yang jelas bisa digunakan untuk memberi fokus perhatian
bagaimana membuat organisasi lebih efektif ketimbang sekedar
meributkan masalah organisasi dan gejala-gejalanya saat ini.

Dalam menanggapi model perubahan yang dikemukakan Beckhard &


Harris, Williams, Woodward & Dobson (2003) mengatakan bahwa titik
lemah, kalau bisa dikatakan demikian dari model perubahannya Beckhard &
Harris adalah model ini tidak menekankan pentingnya kekuatan atau
kekuasaan untuk mengimplementasikan perubahan seolah-olah hanya dengan
diberitahu dan dipersuasi bahwa kita memiliki masa depan yang perlu dicapai
dan diberi tahu jalan yang harus ditempuh semua orang mau melakukan
perubahan. Padahal perubahan kadang-kadang harus dipaksakan, tidak cukup
dengan doktrin ―truth and love‖ saja.

3. Critical Path Model


Beer, Eisenstat & Spector (1991) menawarkan model perubahan
organisasi yang disebut critical path model – model jalur kritis. Fokus
perhatian atau sasaran perubahan dari model ini adalah unit aktivitas dan atau
level organisasi bukan pada level individu. Secara umum yang dimaksud
dengan jalur kritis adalah proses perubahan yang dipimpin oleh seorang
manajer. Proses ini dilakukan untuk mendapatkan kecocokan berbagai
macam tugas pada tingkat unit aktivitas dengan cara melakukan beberapa
tindakan berikut ini.
a. Memobilisasi energi semua pemangku kepentingan dengan cara
melibatkan mereka semua dalam melakukan diagnosis terhadap beberapa
masalah yang menghambat daya kompetitif organisasi.
b. Mengembangkan visi organisasi agar tugas-tugas organisasi bisa
diorganisir dan dikelola sehingga memiliki daya kompetitif.
c. Membangun konsensus bahwa visi baru merupakan visi yang tepat,
mampu dijalankan, dan cukup kohesif untuk menggerakkan perubahan.
 EKMA4565/MODUL 3 3.55

d. Merevitalisasi semua departemen untuk menghindari persepsi bahwa


program perubahan dipaksakan dari pucuk pimpinan dan pada saat yang
sama memastikan tingkat konsistensi antara program perubahan dengan
pelaksanaan perubahan.
e. Melakukan konsolidasi perubahan melalui kebijakan, sistem dan struktur
formal organisasi dalam rangka institusionalisasi perubahan.
f. Secara terus menerus melakukan monitoring dan upaya-upaya strategi
baru untuk merespon masalah yang diperkirakan akan muncul dalam
proses revitalisasi.

Keenam tindakan yang disarankan Beer et al. dalam


mengimplementasikan perubahan tampak jelas bahwa melibatkan banyak
orang dalam implementasi perubahan jauh lebih menguntungkan dan
kemungkinan hasilnya lebih nyata ketimbang perubahan tersebut dilakukan
oleh segelintir orang. Dengan melibatkan banyak orang paling tidak akan
diperoleh konsensus dikalangan anggota organisasi dan revitalisasi semakin
menyebar. Pandangan seperti ini sesungguhnya bukan hanya milik Beer et al.
tetapi juga dikemukakan penulis lain dengan bahasa berbeda seperti ―buy-in‖,
―to get everybody in the room‖, ―ownership‖ atau ―bring people on board‖.
Pandangan ini merupakan penegasan bahwa perubahan bukan hanya
kepentingan segelintir orang yang ada di pucuk pimpinan tetapi juga
kepentingan banyak orang. Oleh karena keterlibatan mereka dalam proses
perubahan menjadi teramat penting.

4. Model Sistem
Manajer perubahan tidak hanya butuh sebuah model yang menjelaskan
mengapa terjadi perubahan dan bagaimana perubahan diimplementasikan.
Manajer perubahan juga membutuhkan model yang bisa menjelaskan apa
yang akan diubah. Secara keseluruhan bisa dikatakan bahwa manajer
perubahan membutuhkan model yang dapat menjelaskan perubahan secara
komprehensif termasuk perubahan yang berkaitan dengan pertanyaan
mengapa, bagaimana dan apa yang diubah. Model perubahan seperti ini
disebut sebagai Model Sistem (lihat Gambar 3.7).
3.56 Manajemen Perubahan 

Strategi

Structure Resources

Staff

Formal Policy Technology &


and procedure work processes

The way we think about things


around here

Strategi

Structure Resources

Staff

Formal Policy Technology &


and procedure work processes

The way we do things The way we feel about


around here things around here

Gambar 3.8.
Perubahan Model Sistem
 EKMA4565/MODUL 3 3.57

Pada Gambar 3.8 model sistem dari sebuah organisasi menekankan


pentingnya saling keterkaitan antara berbagai elemen organisasi. Sebagai
contoh, rekayasa ulang proses bisnis (business process reengineering),
mengembangkan customer service, atau memperkenalkan TQM hampir pasti
akan berdampak dan membutuhkan perubahan pada aspek organisasi lainnya
seperti kompetensi karyawan, anggaran, prosedur penilaian kinerja, kebijakan
sistem remunerasi dan sebagainya. Sederhananya, menurut model sistem
perubahan yang terjadi pada satu komponen organisasi harus diikuti oleh
perubahan pada komponen lainnya jika menginginkan perubahan tersebut
efektif. Model ini sesungguhnya cocok untuk perubahan organisasi secara
menyeluruh, tapi bukan berarti tidak bisa digunakan untuk perubahan yang
terjadi pada kelompok kerja, departemen maupun unit bisnis terpisah.
Model sistem yang digambarkan menekankan pentingnya
memperhatikan aspek organisasi yang bersifat informal di samping aspek
utama organisasi formal. Kedua aspek organisasi ini selalu bersinggungan
setiap saat. Aspek informal organisasi meliputi semua aspek organisasi yang
biasa disebut sebagai ―the human side of enterprise – sisi manusia dari
sebuah organisasi‖ termasuk di dalamnya hubungan interpersonal antar
karyawan dan budaya organisasi. Tidak bisa diingkari bahwa setiap orang,
setiap individu baik di dalam maupun di luar organisasi adalah bagian
integral dari sebuah komunitas yang memiliki norma, nilai-nilai dan
keyakinan tersendiri yang berbeda dengan norma, nilai-nilai dan keyakinan
komunitas lainnya. Akibatnya masing-masing komunitas memiliki cara
berpikir, cara pandang, cara bertindak dan cara berperilaku yang khas yang
tidak dimiliki oleh komunitas lain.
Gambar 3.8 khususnya gambar sebelah kanan secara jelas menunjukkan
bahwa sebuah organisasi di samping memiliki mekanisme sistem yang
bersifat formal juga dibalut dengan sistem informal, seperti ―the way we do
things around here – bagaimana kebiasaan kita melakukan segala sesuatunya
disini‖. Gambaran ini sekaligus menegaskan bahwa menyusun strategi
maupun mendesain struktur organisasi yang notabennya adalah aspek formal
organisasi pada dasarnya tidak pernah lepas dari pengaruh aspek informal
organisasi. Dengan kata lain, dalam perubahan berbasis sistem bukan hanya
aspek formal saja yang harus diubah tetapi juga perlu merubah aspek
informalnya. Perubahan terhadap aspek informal juga menjadi bagian dari
cara mengatasi resistensi terhadap perubahan. Banyak kasus menunjukkan
3.58 Manajemen Perubahan 

kegagalan perubahan misalnya pada business process reengineering lebih


disebabkan karena tidak disentuhnya aspek informal organisasi.
Di samping itu, model perubahan berbasis sistem ini juga mengingatkan
agar perubahan bisa berhasil mencapai tujuannya, saat melakukan
implementasi perubahan mulai dari pengumpulan data, melakukan diagnosis,
mempertimbangkan solusi penyelesaian, merencanakan implementasi dan
monitoring perubahan, fokus perhatian harus ditujukan pada kedua aspek
tersebut – formal dan informal. Peringatan ini diperlukan karena dalam
banyak kasus aspek manusia cenderung diabaikan. Dalam bahasa Beer &
Nohria (2000) perubahan jangan hanya menggunakan teori E –
memperhatikan aspek ekonomi semata tetapi juga harus memperhatikan teori
O – aspek proses dan sumber daya manusia.

B. PENDEKATAN MANAJEMEN PERUBAHAN

Jika uraian tentang model manajemen perubahan dimaksudkan untuk


menyederhanakan kompleksitas sebuah organisasi menjadi kategorisasi
organisasi yang lebih mudah dipahami sehingga memungkinkan untuk dibuat
desain perubahan, pendekatan manajemen perubahan bermaksud
menggambarkan bagaimana proses perubahan organisasi dilakukan. Dengan
merujuk berbagai sumber (lihat Tabel 3.7), Palmer, et al. (2006) mengatakan
bahwa proses perubahan organisasi bisa dilakukan melalui pendekatan
berbeda, bervariasi mulai dari lima tahap sampai 12 tahap. Perbedaan ini
bukan sekedar berbeda pada jumlah tahapan yang harus dilalui tetapi berbeda
dalam hal apakah semua tahapan tersebut harus dilalui, apakah tahapan-
tahapan tersebut harus dilalui secara berurutan, atau apakah tahapan-tahapan
tersebut hanya berlaku pada satu kondisi tertentu.
Sebagai contoh, Ten Keys Approach – sepuluh kunci perubahan yang
digagas Pendlebury et al. (1998) seperti tampak pada Tabel 3.7 kolom 1,
sesungguhnya bisa diadaptasikan pada situasi tertentu dengan satu syarat
semua kunci perubahan harus diaplikasikan sebab menurut mereka jika
menghilangkan salah satu atau beberapa kunci perubahan dikhawatirkan akan
menuai kegagalan dalam mentransformasi organisasi. Menurut penggagasnya
sebagian besar kunci perubahan perlu diimplementasikan secara berbarengan
dan terus menerus selama proses perubahan berlangsung. Meski demikian
sebagian dari kunci perubahan memainkan peran yang lebih besar pada fase
 EKMA4565/MODUL 3 3.59

perubahan tertentu dibandingkan dengan kunci perubahan lainnya, sebagai


contoh:
1. Pada perubahan diskontinyu biasanya perubahan terjadi pada lingkungan
yang statis dan oleh karenanya semua kunci perubahan perlu diterapkan
secara cermat.
2. Sementara itu, pada lingkungan dinamis, di mana perubahan bersifat
kontinu, kunci No. 2 (mobilisasi karyawan), kunci No. 3 (katalisasi
terhadap karyawan), kunci No. 7 (menangani emosi karyawan) dan kunci
No. 8 (menangani kekuasaan/kekuatan karyawan) dianggap tidak begitu
vital meski harus tetap diaplikasikan karena karyawan pada situasi
perubahan seperti ini dianggap sudah terbiasa dengan perubahan.

Tabel 3.7.
Beberapa Contoh Pendekatan Manajemen Perubahan

Ten Transformation
Ten Keys 12 Action Steps
Commandments Trajectory
1. Definisikan visi 1. Dapatkan dukungan 1. Lakukan analisis 1. Kesadaran
2. Mobilisasi dari kelompok yang akan kebutuhan 2. Pahami masa
3. Katalis disegani perubahan depan
4. Kendali 2. Dapatkan pemimpin 2. Ciptakan visi 3. Bangun agenda
5. Sampaikan untuk menjadi model bersama perubahan
6. Dapatkan dalam perubahan 3. Pisahkan diri dari 4. Sampaikan
partisipasi 3. Gunakan simbol dan masa lalu perubahan
7. Tahan emosi bahasa 4. Ciptakan besar
8. Tahan 4. Definisikan area suasana 5. Kuasai
kekuasaan stabilitas keterdesakan perubahan
9. Latih dan bina 5. Munculkan akan perubahan
10. Komunikasi ketidakpuasan 5. Dukung peran
aktif dengan kondisi saat pemimpin yang
ini kuat
6. Promosikan 6. Buatlah daftar
partisipasi dalam dukungan politik
perubahan 7. Susun rencana
7. Beri penghargaan implementasi
terhadap perilaku 8. Kembangkan
yang mendukung struktur yang
perubahan fleksibel
8. Lepaskan diri dari 9. Komunikasi dan
masa lalu libatkan banyak
9. Kembangkan dan orang
komunikasikan secara 10. Perkuat dan
jelas gambaran masa institusionalis
3.60 Manajemen Perubahan 

depan akan perubahan


10. Gunakan berbagai
titik pengaruh
11. Kembangkan
manajemen transisi
12. Ciptakan umpan
balik

Terkait dengan Tabel 3.7 kolom 2, pendekatan perubahan yang disebut


sebagai ―perubahan 12 langkah (12 action steps)‖ yang digagas Nadler
(1998) merupakan pendekatan manajemen perubahan yang bisa
diadaptasikan dan diaplikasikan sebagai alat bantu bagi para eksekutif dan
manajer untuk menginisiasi, memimpin dan mengelola perubahan pada setiap
bagian organisasi. Menurut Nadler perubahan diskontinyu merupakan
perubahan yang bersifat siklikal bukan linear sehingga ke-12 tahap
perubahan tersebut akan terus diaplikasikan secara berulang sampai
mendapatkan titik keseimbangan yang diharapkan. Sementara itu tiga elemen
inti yang perlu diatur secara baik selama proses transformasi adalah:
1. Kekuatan organisasi untuk melakukan perubahan seperti ditunjukkan
pada tahap 1 sampai tahap 4.
2. Motivasi karyawan untuk berpartisipasi dalam perubahan, khususnya
dalam rangka mengatasi kekhawatiran karyawan selama proses
perubahan berlangsung. Hal ini bisa ditemui pada langkah 5 sampai 8.
3. Pengelolaan transisi perubahan yang terjadi mulai tahap 9 sampai 12.

Selanjutnya Nadler mengakui, meski ke-12 tahap perubahan merupakan


tahapan yang semuanya penting, beberapa tahapan perlu mendapat tekanan
lebih dibandingkan dengan tahapan lainnya. Demikian juga urutan tahapan
tersebut akan berbeda pada setiap proses perubahan yang berbeda bergantung
pada konteks yang melingkupinya.
Pandangan Nadler tentang proses perubahan yang bersifat siklikal
didukung oleh Taffinder (1998) yang mengatakan hal yang kurang lebih
sama. Pendekatan manajemen perubahan yang digagas Taffinder disebut
―transformation trajectories – perjalanan transformasi‖ terdiri dari lima tahap
(lihat Tabel 3.7, kolom 4). Menurut Taffinder kelima tahap ini tidak bersifat
linear tetapi multidimensi yang dimulai dari sebuah kejutan untuk membuat
kesadaran bahwa perubahan itu perlu dilakukan. Selanjutnya beberapa
tindakan berikutnya sangat bergantung pada respon karyawan bagaimana
 EKMA4565/MODUL 3 3.61

menanggapi kejutan tersebut. Walhasil, kelima tahapan ini tidak dilakukan


secara berurutan melainkan bersifat kontekstual.
Pada Tabel 3.7 kolom 3 merupakan pendekatan manajemen perubahan
yang oleh penggagasnya Rose Kanter et al. (1992) disebut sebagai ―Ten
Commandments‖ sebuah terminologi yang diambil dari kitab Taurat – The
Ten Commandments – Sepuluh Perintah Tuhan. Dalam hal ini yang dimaksud
dengan Sepuluh Perintah adalah tahapan-tahapan yang harus dilalui dalam
proses perubahan. Berikut adalah beberapa penjelasan penting terkait dengan
pendekatan tersebut.
1. Tahapan-tahapan perubahan akan dipraktikkan dan diinterpretasikan
secara beragam sangat bergantung pada pihak-pihak yang
mengimplementasikannya (para strategis, pengimplementasi perubahan
dan penerima perubahan). Sebagai contoh, ketika para strategis
menganggap bahwa perubahan itu begitu penting dan mendesak untuk
dilakukan, para penerima perubahan mungkin berpandangan lain
khususnya jika perubahan tersebut justru akan menjadikan mereka
nantinya dipecat dari pekerjaan.
2. Berbagai macam perubahan boleh jadi berjalan berbarengan sehingga
kadang-kadang kita sulit menentukan apa yang dimaksud dengan masa
lalu.
3. Pendekatan perubahan ini perlu dikaitkan dengan masing-masing
organisasi yang membutuhkan perubahan. Bahkan tidak mustahil
pendekatan inipun menjadi sumber perdebatan di dalam organisasi
dalam hal bagaimana proses perubahan tersebut harus dilakukan.
4. Perhatian terhadap komunikasi perubahan perlu lebih ditekankan. Dalam
hal ini komunikasi bukan sekedar menyampaikan informasi kepada
pihak lain yang terkait dengan perubahan tetapi perlu juga
mendengarkan suara mereka, di samping diperlukan pula dialog dengan
mereka yang nantinya terkena imbas perubahan.
5. Kesepuluh tahapan dalam pendekatan ini adalah tindakan yang
dijalankan dalam proses perubahan. Hanya saja perlu disadari bahwa
tindakan-tindakan tersebut sering tidak dibarengi dengan pengawasan
ketika skala perubahan besar diimplementasikan. Oleh karenanya
mereka yang akan melakukan perubahan harus pandai bereaksi sepandai
saat mereka melakukan tindakan.
6. Kesepuluh tahap perubahan ini merupakan tahapan yang paradoksal
dalam pengertian tahapan ini membantu para strategis dan mereka yang
3.62 Manajemen Perubahan 

mengimplementasikan perubahan dengan berbagai macam alat bantu


yang tepat untuk mengendalikan perubahan di mana tepat pada saat
bersamaan justru proses perubahan menuntut hal yang sebaliknya.
Sebagai contoh, sementara tahapan-tahapan tersebut bisa digunakan
untuk meminimalkan kegagalan dalam perubahan, memaksimalkan
pengawasan dan menghindari ketidakmenentuan, dan mendefinisikan
hasil akhir dari perubahan, proses perubahan transformatif sesungguhnya
menuntut agar tindakan eksperimen dan berani mengambil risiko,
memberi toleransi terhadap dampak yang belum diketahui, dan
membiarkan agar perubahan bergerak mengalir menuju hasil akhir,
bukan menargetkan hasil akhir.
7. Meski pendekatan ini mensyaratkan agar perubahan dipimpin oleh
seorang pemimpinan yang disegani dalam kenyataannya salah seorang
dari beberapa pimpinan boleh jadi justru memperdebatkan bagaimana
proses perubahan harus dikelola dan siapa yang patut mengelolanya.

Sementara penjelasan di atas menunjukkan bahwa pendekatan perubahan


ini cenderung ambigu, Kanter et al. menegaskan bahwa meski perubahan
bukan pekerjaan mudah tetapi jika dilakukan dengan pendekatan yang tepat
dan dengan sikap yang baik, perubahan bisa menjadi petualangan yang
menyenangkan.

1. Pendekatan Manajemen Perubahan Menurut Kotter


Salah satu pendekatan perubahan manajemen yang sangat populer dan
menjadi rujukan para manajer dan praktisi perubahan serta diajarkan di
sekolah-sekolah bisnis terkenal adalah pendekatan yang digagas oleh John
Kotter. Kotter menuangkan gagasannya ke dalam tiga tulisan. Yang pertama
di Harvard Business Review (1995). Tulisan ini mendapat respon luar biasa
dan menjadi tulisan HBR yang paling banyak diminta pembaca. Kedua dalam
bentuk buku dengan judul Leading Change diterbitkan tahun 1996.
Selanjutnya bersama Dan Cohen (2002) Kotter melanjutkan tulisannya dalam
bentuk buku diberi judul ―The Heart of Change‖. Tulisan terakhir mencoba
mengurai satu persatu esensi dari 8 langkah perubahan yang digagas
sebelumnya. Ringkasan pendekatan perubahan yang diajukan Kotter dapat
dilihat pada Tabel 3.8 berikut ini.
 EKMA4565/MODUL 3 3.63

Tabel 3.8.
Pendekatan Perubahan Menurut John Kotter

Tahapan Tindakan
1. Membangun suasana “perlu  Melakukan analisis pasar
segera dilakukan perubahan”  Mengidentifikasi masalah yang dihadapi
organisasi dan kesempatan yang terbuka bagi
organisasi
 Menggunakan teknik-teknik tertentu sehingga
semua orang memberi perhatian akan
pentingnya perubahan dengan tujuan agar
organisasi mampu menghadapi tantangan
2. Memastikan ada agen-agen  Membentuk tim sebagai agen perubahan untuk
perubahan yang disegani untuk membantu mendorong terlaksananya
mengawal perubahan perubahan
 Memastikan tim (agen perubahan) memiliki
cukup kekuasaan untuk mencapai perubahan
yang diharapkan
3. Mengembangkan visi  Mengembangkan visi yang memungkinkan
orang-orang fokus pada perubahan
4. Mengkomunikasikan visi  Bangun perilaku yang didasarkan pada visi
sebagai role model
 Gunakan berbagai jalur untuk
mengkomunikasikan visi
5. Memperdayakan staf  Hilangkan kebijakan dan struktur organisasi
yang menghambat pencapaian visi
 Dorong agar orang-orang mau mengambil
risiko
6. Memastikan bahwa perubahan  Keberhasilan segera bisa menumbuhkan
segera mendatangkan hasil kebutuhan akan perubahan
jangka pendek  Memberi penghargaan atas keberhasilan bisa
membantu orang untuk berinovasi
7. Mengonsolidasikan keuntungan  Meneruskan menghilangkan kebijakan dan
proses organisasi yang menghambat
perubahan
 Berilah penghargaan bagi orang yang
melakukan tindakan positif berkait dengan
perubahan
 Ciptakan proyek-proyek baru yang masih
berkaitan dengan proyek perubahan
sebelumnya
8. Membumikan perubahan ke  Hubungkan perubahan dengan kinerja
dalam budaya organisasi organisasi dan kepemimpinan di dalam
organisasi sehingga tercipta budaya baru
3.64 Manajemen Perubahan 

Pada Tabel 3.8 ada delapan langkah yang harus dilalui dalam
menjalankan proses perubahan organisasi. Proses perubahan dimulai dari
langkah pertama menciptakan sense of urgency yakni menciptakan suasana
bahwa perubahan betul-betul mendesak untuk segera dilakukan jika
menghendaki organisasi bisa bertahan hidup dan terus berkembang, dan
diakhiri dengan melembagakan hasil perubahan ke dalam bagian kehidupan
sehari-hari organisasi sehingga tercipta budaya baru. Kedelapan langkah
tersebut kemudian dikemas dalam sebuah pola yang disebut ―see-feel-change
– lihat-rasakan-berubah‖. Artinya, setiap langkah yang harus ditempuh dalam
proses perubahan akan ditempuh dengan pola tersebut sebagai domainnya.
Dengan kemasan seperti ini tanpa harus mengesampingkan alternatif
pola yang lain ―analyze-think-change – analisis-berpikir-berubah‖, Kotter
sesungguhnya mengajak siapa saja yang terlibat dalam perubahan untuk
melihat perubahan dari hati bukan semata-mata dari pikiran dan
memperlakukan perubahan sebagai bagian dari perilaku hidup sehari-hari
mereka bukan sesuatu yang berjarak dari diri mereka. Dengan pola ini Kotter
berharap setiap orang akan termotivasi untuk melakukan perubahan.
Pola seperti tersebut di atas ditawarkan karena Kotter sadar bahwa upaya
untuk melakukan perubahan kadang-kadang penuh dengan kejutan dan
situasinya amburadul (messy) sehingga perlu meminang hati orang yang akan
diajak untuk melakukan perubahan. Demikian juga manajer pelaku
perubahan disarankan untuk tidak tergesa-gesa ingin menyelesaikan
perubahan dengan cepat karena cara tersebut hanya akan menciptakan ilusi
keberhasilan bukan keberhasilan sesungguhnya yang memuaskan. Oleh
karenanya Kotter menyarankan agar kedelapan langkah yang digariskannya
dijalankan secara seksama.

2. Pendekatan Kontingensi
Para teoritisi perubahan yang berbasis pada Theory O – teori organisasi
menganggap bahwa pendekatan manajemen perubahan seperti yang
diuraikan sebelumnya lebih bersifat pragmatis dan ―one best way‖ meski
diakui adanya variasi dan fleksibilitas dalam pelaksanaannya. Yang
dimaksud one best way di sini adalah pendekatan tersebut layaknya menu
masakan atau resep dokter yang harus diikuti apa adanya dan seolah-olah
merupakan cara menjalankan perubahan organisasi yang paling benar.
Asumsi ini ditentang para penganut paham teori kontingensi yang
menganggap tidak ada satu pun pendekatan yang paling benar karena
 EKMA4565/MODUL 3 3.65

semuanya tergantung pada konteks yang melingkupinya. Dalam hal gaya


manajemen, perubahan misalnya tidak bisa selamanya top-down tetapi sangat
bergantung pada skala perubahan yang dihadapi dan kemampuan anggota
organisasi menerima dan menjalankan perubahan. Gaya manajemen top
down masih bisa digunakan tetapi barangkali hanya cocok untuk organisasi
level bawah.
Salah satu pendekatan kontingensi yang cukup populer adalah sebuah
konsep yang dibangun oleh Dexter Dunphy & Doug Stace (lihat Dunphy &
Stace, 1988, 1993; Stace & Dunphy, 1991). Keduanya mengatakan bahwa
proses perubahan organisasi dapat didekati melalui dua perspektif – gaya
manajemen dan skala perubahan. Gaya manajemen perubahan bisa dibedakan
menjadi empat macam yakni: kolaboratif, konsultatif, direktif dan paksaan.
Sementara itu skala perubahan dibedakan menjadi empat yaitu: fine-tuning
atau bertahan pada situasi sekarang, incremental yang disesuaikan,
transformasi modular dan transformasi korporat. Baik gaya manajemen
maupun skala perubahan harus disesuaikan dengan kebutuhan perubahan.
Selengkapnya dapat dilihat pada Gambar 3.8.
3.66 Manajemen Perubahan 

Skala Perubahan

Fine- Penyesuaian Transformasi Transformasi


tuning inkremental modular korporat

Kolaboratif

transisi Transformasi
Berkinerja pengembangan karismatik
Gaya Konsultatif rendah (perubahan (perubahan
manajemen (menghindari konstan) inspiarsional}
Perubahan perubahan}

transisi yang Penyehatan


fokus pada tugas (perubahan
Direktif
(perubahan kerangka pikir}
konstan)

Paksaan

Gambar 3.9.
Pendekatan Perubahan Kontingensi Menurut Dunphy/Stace

Berdasarkan kombinasi antara gaya manajemen dan skala perubahan


seperti tampak pada Gambar 3.9, Dunphy & Stace menggagas 5 pendekatan
manajemen perubahan.
a. Developmental transition – transisi yang bersifat pengembangan.
Pendekatan ini merujuk pada situasi di mana terjadi perubahan yang
konstan sebagai akibat dari adaptasi organisasi terhadap perubahan
lingkungan eksternal. Dalam melakukan perubahan, pemimpin bertindak
dalam kapasitas sebagai seorang coach (pembina) dengan harapan
anggota organisasi secara sukarela mau terlibat dan melakukan
perubahan, dan memiliki komitmen demi perbaikan kinerja
berkelanjutan. Gaya kepemimpinan seperti ini disebut sebagai
consultative change leadership – kepemimpinan perubahan konsultatif.
b. Task-fokused transition – transisi yang fokus pada tugas. Gaya
manajemen pada pendekatan ini adalah direktif di mana seorang
 EKMA4565/MODUL 3 3.67

pemimpin bertindak sebagai seorang kapten yang menuntut kepatuhan


para anggota organisasi untuk mendefinisikan ulang bagaimana
seharusnya organisasi menjalankan kegiatannya. Meski gaya
kepemimpinan direktif bisa diartikan sebagai gaya kepemimpinan yang
menjalankan perubahan dari atas (top down), bagi pemimpin level bawah
yang mengimplementasikan perubahan gaya kepemimpinannya bisa
lebih bersifat konsultatif ketimbang direktif.
c. Charismatic transformation – transformasi karismatik. Pada pendekatan
ini anggota organisasi mau menerima kenyataan bahwa organisasi sudah
tidak lagi sejalan dengan perkembangan lingkungan eksternal dan
karenanya membutuhkan perubahan radikal dan revolusioner. Berkenaan
dengan hal itu, dalam upayanya untuk menciptakan identitas baru
berkaitan dengan perubahan paradigma dalam pengelolaan organisasi,
pimpinan karismatik berperan sebagai simbol untuk mendapatkan
komitmen emosional dari para anggota organisasi agar arah baru
organisasi bisa digapai.
d. Turn around – penyehatan organisasi. Pada intinya penyehatan
organisasi adalah frame-breaking change – perubahan mendasar yang
mengubah kerangka dasar organisasi. Jika pimpinan karismatik
bertindak sebagai pemberi inspirasi pada perubahan, pada pendekatan ini
pimpinan bertindak sebagai komandan yang memanfaatkan kedudukan
dan kekuasaannya untuk melakukan perubahan yang dibebankan
kepadanya. Gaya kepemimpinan yang direktif atau paksaan seperti ini
dalam batas-batas tertentu sangat dibutuhkan terutama jika dukungan
anggota organisasi sangat minimal dan waktu yang tersedia untuk
melakukan perubahan sangat terbatas.
e. Taylorism – model perubahan Frederick Taylor. Sebagaimana kita
ketahui Frederick Taylor dikenal sebagai Bapak Scientific management
yang mencoba melakukan perubahan berbasis ilmu pengetahuan dengan
mengabaikan aspek manusia. Oleh karena itu pendekatan ini cenderung
paternalistic dalam melakukan perubahan dan biasanya dikaitkan dengan
istilah fine-tuning yakni berkutat pada situasi berjalan.

3. Pendekatan Proses
Pada dasarnya pendekatan proses memiliki anggapan yang sama dengan
pendekatan kontingensi yaitu perubahan organisasi akan berkembang sesuai
dengan konteks yang melingkupi perubahan tersebut, demikian juga
3.68 Manajemen Perubahan 

perubahan akan berbeda untuk waktu yang berbeda. Meski demikian


pendekatan proses beranggapan bahwa perubahan seharusnya dan tidak bisa
disederhanakan atau dipahami sebagai proses yang bersifat linear. Sebaliknya
perubahan merupakan proses berjalan yang tidak ada awal dan tidak ada
akhir.
Seperti diakui oleh Palmer et al. (2006) pendekatan prosesual sangat
didominasi oleh tulisan Andrew Pettigrew. Pendekatan ini bermula dari
penelitian Pettigrew yang melakukan studi tentang perubahan dan stabilitas
organisasi di perusahaan kimia di Inggris – ICI dari tahun 1960-an sampai
tahun 1980-an. Hasilnya kemudian dituangkan dalam sebuah buku: ―The
Awakening Giant: Continuity and Change in Imperial Chemical Industries‖
(1985). Menurut Pettigrew kunci untuk memahami perubahan organisasi
adalah dengan (1) mengidentifikasikan berbagai macam dan komposisi
penyebab perubahan; (2) menguji kesejajaran antara rasionalitas dengan
politik; (3) menguji efisiensi dikontraskan dengan kekuasaan; (4) memahami
peran seseorang yang eksepsional (sangat beda) dikontraskan dengan situasi
yang ekstrim; (5) memahami ketidakteraturan perubahan; dan
(6) mengeksplorasi beberapa kondisi yang menyebabkan komposisi ini
terbentuk. Sederhananya, perubahan bisa dipahami sebagai saling peran yang
sangat kompleks antara konten, proses dan konteks. Artinya kita harus
mengakui bahwa di dalam perubahan terdapat banyak pihak yang memiliki
kepentingan berbeda, memiliki rasionalitas berbeda, waktu, bahasa dan
perilaku berbeda yang kesemuanya akan berpengaruh terhadap terjadinya
perubahan organisasi. Penjelasan ini sekaligus menegaskan bahwa perubahan
organisasi khususnya perubahan strategis merupakan pekerjaan yang tidak
mudah, sangat menantang, memakan waktu lama dan berliku-liku.
Di muka telah dijelaskan bahwa perubahan bisa terjadi karena
keterlibatan tiga hal yakni konten, proses dan konteks. Konten adalah apa
yang diubah; proses adalah bagaimana perubahan dilakukan dan konteks
adalah lingkup perubahannya. Hal ini bisa diartikan bahwa untuk melakukan
proses perubahan seorang manajer harus memahami konteks, di samping
konten, agar bisa mengetahui keberlanjutan organisasi di satu sisi dan
performance gaps disisi lain. Dalam hal ini konteks bukan saja lingkungan
eksternal tetapi juga lingkungan internal. Konteks juga menyebabkan seorang
manajer mendapat kemudahan dan bisa juga hambatan dalam melakukan
perubahan.
 EKMA4565/MODUL 3 3.69

Berdasarkan penjelasan di atas pertanyaannya adalah apakah mungkin


menjelaskan dan mengkodifikasi tugas dan keahlian yang tepat dalam
mengelola perubahan strategis yang melibatkan berbagai macam aktivitas
yang sangat sensitif secara kontekstual tanpa harus mereduksi kompleksitas
tersebut ke dalam kategorisasi yang bersifat umum? Untuk menjawab
pertanyaan ini Pettigrew menyoroti beberapa tahapan dalam mengelola
perubahan organisasi.
a. Pertama adalah tahapan problem solving. Tahap ini sangat penting pada
lingkungan politik yang sangat tinggi. Pada lingkungan seperti ini untuk
memperoleh legitimasi bahwa masalah yang dihadapi organisasi adalah
bukan sekadar gejala tetapi betul-betul masalah, diperlukan sinyal yang
menandakan adanya masalah dan menyebarluaskannya ke seluruh
elemen organisasi, mendiskusikannya dan mengambil keputusan.
b. Kedua adalah membangun perhatian terhadap masalah yakni sebuah
proses yang melibatkan berbagai level di dalam organisasi untuk
mendapatkan pengakuan akan adanya masalah. Tahap ini merupakan
proses edukasi yang memerlukan adanya rapat, penyediaan data yang
terintegrasi, menyediakan ruang dan kesempatan kepada pihak-pihak
yang terlibat dalam perubahan untuk menguji sejauh mana kebenaran
dan rasionalitas yang dihadapi.
c. Tahap ketiga adalah pengakuan dan pemahaman terhadap masalah yang
krusial. Pada periode ini menuntut adanya peran yang bersistem yang
terus memperjuangkan pengakuan terhadap masalah. Tahap ini juga
penting karena bisa membuka cara berpikir baru sejalan dengan terus
dilakukannya diagnosis terhadap masalah yang ada dan solusinya.
d. Tahap keempat adalah tahap perencanaan dan tindakan. Pada tahap ini
dilakukan klarifikasi terhadap arah masa depan dan tujuan-tujuan yang
hendak dicapai serta menempatkan seorang manajer yakni manajer pada
masa transisi agar masa transisi tersebut bisa berjalan. Proses ini
melibatkan manajer senior yang mengkontraskan antara situasi berjalan
dengan apa yang dibutuhkan pada masa datang. Sementara itu manajer
menengah memanfaatkan situasi ini sebagai momentum perubahan untuk
menetapkan target-target yang hendak dicapai.
e. Terakhir adalah menstabilkan perubahan. Pada tahap ini manajer
memastikan bahwa apa yang telah dicapai tetap konsisten. Untuk itu
kadang-kadang perlu dilakukan perubahan sistem organisasi untuk
memperkuat dan mendukung perubahan.

Tahapan-tahapan dalam pendekatan prosesual seperti yang diuraikan di


atas menunjukkan bahwa pendekatan prosesual sangat detail dalam analisis
3.70 Manajemen Perubahan 

dan memberikan pemahaman perubahan secara retrospektif bagi para


manajer yang mengelola perubahan. Sayangnya hal ini tidak diikuti oleh
penjelasan yang detail bagaimana proses selanjutnya harus dilakukan.
Barangkali inilah tantangan terbesar bagi pendekatan prosesual. Di satu sisi
pendekatan ini memiliki kelebihan dalam hal analisis dan pemahaman
akademik tentang keruwetan politik, budaya dan konteks perubahan lainnya
yang semua ini tentunya memberi pencerahan bagi manajer perubahan tetapi
di sisi lain manajer tidak diberi pedoman bagaimana menterjemahkan semua
ini ke dalam praktik perubahan.

LAT IH A N

Untuk memperdalam pemahaman Anda mengenai materi di atas,


kerjakanlah latihan berikut!
1) Jelaskan bagaimana caranya agar model organisasi bisa digunakan!
2) Jelaskan Lewin‘s Three-Stage Model!
3) Jelaskan Pendekatan Perubahan Menurut John Kotter!

Petunjuk Jawaban Latihan

1) Menurut Burke (2002), ada lima cara agar model organisasi bisa
digunakan yaitu:
a) Membuat situasi yang sangat kompleks, di mana ratusan atau ribuan
kejadian berbeda, lebih manageable dengan cara mengurangi situasi
yang kompleks tersebut menjadi sejumlah kategori yang lebih
mudah dipahami.
b) Membantu mengidentifikasikan kegiatan-kegiatan organisasi atau
property organisasi yang betul-betul membutuhkan perhatian.
c) Menyoroti kesalingterkaitan berbagai macam property organisasi
seperti antara strategi dan struktur organisasi.
d) Menggunakan bahasa yang sama ketika mendiskusikan karakteristik
organisasi.
e) Menyediakan pedoman tentang urutan tindakan yang harus diambil
dalam situasi perubahan.
2) Lewin membuat model tiga-tahap perubahan yaitu unfreezing –
movement/change – refreezing.
 EKMA4565/MODUL 3 3.71

a) Pada tahap unfreezing pola perilaku pada kondisi yang sekarang


berlangsung (status quo) diguncang, sehingga orang merasa kurang
nyaman sebagai upaya awal untuk mengelola resistensi terhadap
perubahan. Proses perubahan lebih ditujukan untuk mengatasi
terjadinya resistensi terhadap perubahan yang secara keseluruhan
dilakukan dengan membuka kelemahan dari sistem yang sedang
digunakan.
b) Pada tahap movement atau change, meliputi proses perubahan
sesungguhnya di mana organisasi akan bergerak dari kondisi
sekarang ke kondisi yang diharapkan.
c) Pada tahap refreezing dilakukan stabilisasi dan institusionalisasi
perubahan dengan cara membangun sistem yang memungkinkan
pola perilaku yang baru relatif aman atau tidak mudah goyah
terhadap perubahan-perubahan lebih lanjut jika perubahan tersebut
memang dianggap perlu. Beberapa kegiatan atau intervensi yang
termasuk pada tahap ini misalnya desain ulang sistem rekrutmen
karyawan.
(Untuk lebih jelasnya pelajari Bagian A).
3) Pendekatan Perubahan Menurut John Kotter meliputi delapan langkah
yaitu:
1) Membangun suasana ―perlu segera dilakukan perubahan‖.
2) Memastikan ada agen-agen perubahan yang disegani untuk
mengawal perubahan.
3) Mengembangkan visi.
4) Mengkomunikasikan visi.
5) Memperdayakan staf.
6) Memastikan bahwa perubahan segera mendatangkan hasil jangka
pendek.
7) Mengkosolidasikan keuntungan.
8) Membumikan perubahan ke dalam budaya organisasi.
Proses perubahan dimulai dari langkah pertama menciptakan sense of
urgency yakni menciptakan suasana bahwa perubahan betul-betul
mendesak untuk segera dilakukan jika menghendaki organisasi bisa
bertahan hidup dan terus berkembang, dan diakhiri dengan
melembagakan hasil perubahan ke dalam bagian kehidupan sehari-hari
organisasi sehingga tercipta budaya baru.
(Untuk lebih jelasnya pelajari Bagian B).
3.72 Manajemen Perubahan 

R A NG KU M AN

1. Tidak ada satu pun model perubahan yang paling benar, yang ada
adalah setiap model memiliki kelebihan dan kelemahan tersendiri
karena model hanyalah sebuah penyederhanaan dari kompleksitas
organisasi. Dengan demikian aplikasinya dalam praktik harus
dilakukan secara hati-hati dengan mempertimbangkan kecocokan
model tersebut dengan situasi yang dihadapi organisasi dan aspek-
aspek organisasi yang perlu diulang.
2. Model perubahan yang ditawarkan Lewin, prinsipnya sederhana
yaitu perubahan dapat dilakukan dengan memperhatikan dua
kekuatan yang saling berlawanan namun keduanya memberi tekanan
kepada organisasi. Kedua faktor tersebut adalah faktor pendorong
perubahan dan faktor penghambat perubahan.
3. Model manajemen perubahan dimaksudkan untuk menyederhanakan
kompleksitas sebuah organisasi menjadi kategorisasi organisasi
yang lebih mudah dipahami sehingga memungkinkan untuk dibuat
desain perubahan, sedangkan pendekatan manajemen perubahan
dimaksudkan untuk menggambarkan bagaimana proses perubahan
organisasi dilakukan.
4. Pendekatan Perubahan Menurut John Kotter meliputi delapan
langkah yaitu:
a. Membangun suasana ―perlu segera dilakukan perubahan‖.
b. Memastikan ada agen-agen perubahan yang disegani untuk
mengawal perubahan.
c. Mengembangkan visi.
d. Mengkomunikasikan visi.
e. Memperdayakan staf.
f. Memastikan bahwa perubahan segera mendatangkan hasil
jangka pendek.
g. Mengkosolidasikan keuntungan.
h. Membumikan perubahan ke dalam budaya organisasi.
 EKMA4565/MODUL 3 3.73

TES F OR M AT IF 2

Pilihlah satu jawaban yang paling tepat!

1) Perubahan pada sistem imbalan, sistem pelaporan, dan desain kerja


merupakan salah satu perubahan organisasi menurut Lewin yaitu ....
A. perubahan pada level individu karyawan yang bekerja di organisasi
B. perubahan pada struktur dan sistem organisasi
C. perubahan yang secara langsung merubah iklim organisasi
D. perubahan yang secara langsung merubah gaya kepemimpinan

2) Perubahan dapat dilakukan dengan memperhatikan dua kekuatan yang


saling berlawanan namun keduanya memberi tekanan kepada organisasi,
merupakan prinsip model perubahan menurut….
A. Kurt Lewin
B. Burke
C. Lippit, Watson & Westley
D. Beckhard & Harris

3) Fokus perhatian atau sasaran perubahan dari model adalah unit aktivitas
dan atau level organisasi bukan pada level individu, merupakan sasaran
model perubahan…
A. Lewin‘s three-stage model
B. Model Bechard & Harris
C. Critical Path Model
D. Model Sistem

4) Pendekatan manajemen perubahan dimaksudkan untuk ….


A. menggambarkan bagaimana proses perubahan organisasi dilakukan
B. menyederhanakan kompleksitas sebuah organisasi menjadi
kategorisasi organisasi yang lebih mudah dipahami sehingga
memungkinkan untuk dibuat desain perubahan
C. menggambarkan model perubahan organisasi
D. melakukan perubahan organisasi

5) Pendekatan perubahan di mana perubahan bisa diadaptasikan dan


diaplikasikan sebagai alat bantu bagi para eksekutif dan manajer untuk
menginisiasi, memimpin dan mengelola perubahan pada setiap bagian
organisasi, merupakan esensi pendekatan…
A. ten keys approach
B. transformation trajectories
3.74 Manajemen Perubahan 

C. ten commandments
D. 12 action steps

6) Salah satu tahapan dalam pendekatan perubahan menurut Kotter adalah


memastikan ada agen-agen perubahan yang disegani untuk mengawal
perubahan, hal ini merupakan tahapan….
A. 1
B. 2
C. 3
D. 4

7) Proses perubahan organisasi dapat dilihat melalui dua perspektif – gaya


manajemen dan skala perubahan, merupakan konsep pendekatan….
A. model manajemen perubahan
B. manajemen perubahan menurut Kotter
C. kontingensi
D. proses

8) Yang dimaksud charismatic transformation pada pendekatan manajemen


perubahan menurut Dunphy & Stace yaitu….
A. pendekatan yang merujuk pada situasi di mana terjadi perubahan
yang konstan sebagai akibat dari adaptasi organisasi terhadap
perubahan lingkungan eksternal
B. gaya manajemen pada pendekatan ini adalah direktif di mana
seorang pemimpin bertindak sebagai seorang kapten yang menuntut
kepatuhan para anggota organisasi untuk mendefinisikan ulang
bagaimana seharusnya organisasi menjalankan kegiatannya
C. pendekatan di mana anggota organisasi mau menerima kenyataan
bahwa organisasi sudah tidak lagi sejalan dengan perkembangan
lingkungan eksternal dan karenanya membutuhkan perubahan
radikal dan revolusioner
D. pendekatan di mana pimpinan bertindak sebagai komandan yang
memanfaatkan kedudukan dan kekuasaannya untuk melakukan
perubahan yang dibebankan kepadanya

9) Gaya-gaya manajemen perubahan menurut Dunphy & Stace meliputi....


A. kolaboratif
B. kolaboratif dan konsultatif
C. kolaboratif, konsultatif dan direktif
D. kolaboratif, konsultatif, direktif dan paksaan
 EKMA4565/MODUL 3 3.75

10) Pendekatan yang memiliki kelebihan dalam hal analisis dan pemahaman
akademik tentang keruwetan politik, budaya dan konteks perubahan
lainnya tetapi manajer tidak diberi pedoman bagaimana
menterjemahkannya ke dalam praktik perubahan merupakan kelemahan
dari pendekatan….
A. kontingensi
B. proses
C. ten keys approach
D. transformation trajectories

Cocokkanlah jawaban Anda dengan Kunci Jawaban Tes Formatif 2 yang


terdapat di bagian akhir modul ini. Hitunglah jawaban yang benar.
Kemudian, gunakan rumus berikut untuk mengetahui tingkat penguasaan
Anda terhadap materi Kegiatan Belajar 2.

Jumlah Jawaban yang Benar


Tingkat penguasaan =  100%
Jumlah Soal

Arti tingkat penguasaan: 90 - 100% = baik sekali


80 - 89% = baik
70 - 79% = cukup
< 70% = kurang

Apabila mencapai tingkat penguasaan 80% atau lebih, Anda dapat


meneruskan dengan modul selanjutnya. Bagus! Jika masih di bawah 80%,
Anda harus mengulangi materi Kegiatan Belajar 2, terutama bagian yang
belum dikuasai.
3.76 Manajemen Perubahan 

Kunci Jawaban Tes Formatif

Tes Formatif 1 Tes Formatif 2


1) D. 1) B.
2) B. 2) A.
3) A. 3) C.
4) B. 4) A.
5) A. 5) D.
6) C. 6) B.
7) D. 7) C.
8) B. 8) C.
9) D. 9) D.
10) A. 10) B.
 EKMA4565/MODUL 3 3.77

Daftar Pustaka

Adler, N.J. (2002). International Dimention of Organizational Behavior, 4th


edition, Cincinnati, Ohio: South-Western.

Armenakis, A. A., Harris, S. G., & Mossholder, K. (1993). Creating


readiness for organizational change. Human Relations, 46, 681–703.

Beer, M., Eisenstat, R.A. & Spector, B. (1990). The Critical Path to
Corporate Renewal, Boston, MA: Harvard Business School Press.

Beer, M, & Nohria, N. (2000). Breaking the Code of Change, Harvard


Business Review, May-June, pp. 133-141.

Bouckenooghe, D., Devos, G. & Van de Broeck, H. (2009). Organizational


Change Questionnaire – Climate of Change, Process and Readiness:
Development of a New instrument, Journal of Psychology, 143 (6), pp.
559-599.

Buono, A.F. & Kerber, K.W. (2008). The Challenge of Organizational


Change: Enhancing Organizational Change Capacity, Revue Sciences
de Gestion, pp. 99-118.

Bradford, D.L & Burke, W.W. (eds.) (2005). Reinventing Organization


Development, San Francisco, CA: Feiffer.

Burke, W.W. (2002). Organization Change: Theory and Practice, Thousands


Oaks, CA: Sage Publication.

Cook, P. (1995). Maximizing the opportunities and minimizing the adverse


effects of a changing environment, Employee Counseling Today. vol.7,
Issue. 7; pp. 4-6.

Daniel, G.L. & Hollifiled, C.A. (2002). Time of Turmoil: Short – and Long-
term Effects of Organizational Change on Newsroom Employees,
Journalism & Mass Communication Quarterly, 79 (3), pp. 661-680.
3.78 Manajemen Perubahan 

Dooley, J. (1998). A whole-Person/Sistemic Organization Change


Management, available at www.well.com/user/dooley/change.pdf,
diakses 12 juli 2010.

Dunphy, D.C. & Stace, D.A. (1988). Transformational and Coercive


Strategies for Planned Organizational Change: Beyond O.D. Model,
Organization Studies, 9 (3), pp. 317-334.

Dunphy, D.C. & Stace, D.A. (1993). The Strategic Management of


Corporate Change, Human Relations, 46 (8), pp. 905 – 1110.

Elrod II, P.D. & Tippet, D.D. (2002). The Death Valley of Change, Journal
of Organizational Change Management, 15, 3, pp. 273-291.

Goldstein, L.D & Burke, W.W. (1991). Creating Successful Organization


change, Organizational Dynamics, Spring, pp. 14-17.

Greiner, L.E. (1972). Evolution and Revolution as Organizations Grow,


Harvard Business Review, July-August, pp. 37-46.

Greiner, L.E. (1998). Evolution and Revolution as Organizations Grow,


Harvard Business Review, July-August, pp. 55-68.

Hofstede, G. (1997). Cultures and Organizations: Software of the Mind, New


York: McGraw-Hill.

Hultman, K.E. (1995). Scalling the Wall of Resistance, Training and


Development, October, pp. 15-18.

Jick, T.D. & Peiperl, M.A., (2003). Managing Change: Cases and Concept,
2nd edition, New York: McGraw-Hill/Irwin.

Kanter, R.M., Stein, B.A. & Jick.T.D. (1992). The Challenge of


Organizational Change: HowCompanies Experience It and Leaders
Guide It, New York: Free Press.
 EKMA4565/MODUL 3 3.79

Kirkpatick, D.L. (2001). Managing Change Effectively, Boston: Butterworth-


Heinemann.

Kotter, J.P. (1995). Leading change: Why Transformation Effors Fail,


Harvard Business Review, March/April, pp. 59-67.

Kotter, J.P. (1996). Leading Change. Boston: Harvard Business School Press.

Kotter, J.P. & Cohen, D.S. (2002). The Heart of Change, Boston: Harvard
Business School Press.

Kotter, J.P. & Schlesinger, L.A. (1979). Choosing strategies for Change,
Harvard Business Review, March-April, pp. 104-114.

Marshak, R.J. (2005). Contemporary Challenges to the Philosophy and


Practice of Organization Development, in Bradford, D.L & Burke, W.W.
(eds.) Reinventing Organization Development, San Francisco, CA.:
Feiffer, pp. 3-42.

Moran, J.W. & Brightman, B.K. (2001), Leading organizational change,


Career Development International. Vol. 6, Issue. 2/3; pp. 111-118.

Morgan, D.E & Zeffane, R. (2003). Employee Involvement, Organizational


change and Trust in Managment, International Journal of Human
Resource Management, 14 (1), pp. 55-75.

Nadler, D.A. (1988). Champions of Change: How CEOs and Their


Companies are Mastering the Skills of Radical Change, San Francisco:
Josse-Bass.

Palmer, I., Dunford, R. & Akin, G. (2006). Managing Organizational


Change, Boston, Mass.: McGraw Hill.

Recklies, O. (2001). Managing Change – Definition and Phases in Change


Process, www.themanager.org. diakses tanggal 14/7/2010.
3.80 Manajemen Perubahan 

Robinson, S.L. & Rousseau, D.M. (1994). Violating the Psychological


Contract: Not the Exception but the Norm, Journal of Organizational
Behavior, 15, pp. 245-249.

Suwarsono Muhammad, (2006). Strategi Penyehatan Perusahaan,


Yogyakarta: UPP STIM YKPN.

Stace, D. A.(1996). Dominant Ideologies, Strategic Change, and Sustained


Performance, Human Relations.49 (5), pp. 553- 570.

Stace, D.A. & Dunphy, D.C. (1991). Beyond traditional paternalistic and
developmental approaches to organizational change and human
resource strategies, International Journal of Human Resource
management, 2 (3), pp. 263-283.

Stewart, T.A. (1994), Rate Your Readiness to Change, Fortune, 2/7/94, Vol.
129, Issue 3, pp. 106-110.

Strebel, P. (1996). Why do Employees Resist Change? Harvard Business


Review, May-June, pp. 86-92.

Taffinder, P. (1988). Big Change: A Roadmap for Corporate Transformation,


Chichester: John Wiley & Son Ltd.

Van de Ven, A.H. & Poole, M.S. (1995). Explaining Development and
Change in Organizations, Academy of Managemen Review, 20 (3), pp.
510-540.

Walinga, J. (2008). Toward a Theory of Change Readiness: The Role of


Appraisal, Focus and Perceived Control, The Journal of Applied
Behavior Science, 20 (10), pp. 1-33.

Weick, K.E. & Quinn, R.E. (1999). Organizational Change and


Development, Annual Review of Psychology, 50, pp. 361-386.

Williams, A., Woodward, S. & Dobson, P. (2003). Managing Change


Successfully, Singapore: Thomson Learning.
Modul 4

Implementasi Perubahan:
Faktor Manusia dan Kepemimpinan
Drs. Achmad Sobirin, MBA., Ph.D.

PEN D A HU L UA N

S etelah memperoleh pemahaman tentang konsep dan model serta berbagai


macam pendekatan yang biasa digunakan untuk menganalisis manajemen
perubahan, kini giliran mahasiswa diajak untuk memahami elemen-elemen
penting yang menentukan keberhasilan implementasi perubahan organisasi
seperti konteks, konten dan proses. Tanpa mengurangi arti penting elemen-
elemen tersebut, fokus bahasan pada modul ini akan dititikberatkan pada
faktor manusia dengan pertimbangan manusia sering dianggap sebagai
penentu utama keberhasilan perubahan organisasi. Tentunya fokus perhatian
pada faktor manusia sekali lagi tidak dimaksudkan untuk menafikan peran
penting elemen-elemen selain manusia dalam perubahan organisasi, tetapi
lebih dimaksudkan untuk menegaskan bahwa manusia adalah aktor utama di
dalam kehidupan organisasi sehingga berubah tidaknya sebuah organisasi
sangat bergantung pada manusianya. Hal ini misalnya ditegaskan oleh
Morrison (1994) “for organizations to change, people must change – agar
organisasi bisa berubah maka orang-orangnya harus berubah”. Morrison
selanjutnya mengatakan pula “for leaders to help people change they don‟t
need to understand change, they need to understand people – agar para
pimpinan bisa membantu orang-orangnya berubah mereka tidak perlu
memahami perubahan, yang mereka perlukan adalah memahami orang-
orangnya”. Dalam bahasa yang lebih sederhana, organisasi sesungguhnya
tidak berubah, yang berubah adalah manusianya. Pandangan yang kurang
lebih sama juga dikemukakan Schneider et al. (1996) dan Tom Karp (2006).
Scheider et al. misalnya menyatakan “if people don‟t change there is no
organizational change – jika manusia tidak berubah maka tidak ada
perubahan organisasi”. Perubahan pada hierarki organisasi, teknologi
maupun network dan beberapa perubahan elemen organisasi lainnya akan
bisa berjalan secara efektif jika dan hanya jika perubahan-perubahan ini
4.2 Manajemen Perubahan 

dikaitkan dengan perubahan pada diri manusianya (Beer & Nohria, 2000).
Sementara itu Tom Karp (2006) menyatakan bahwa inti dari perubahan
organisasi adalah manusia dan kepemimpinan yang tidak lain adalah manusia
juga.
Ungkapan-ungkapan di atas membawa kita pada satu kesimpulan bahwa
manusia memiliki peran sentral dalam perubahan organisasi. Meski demikian
kajian tentang manajemen perubahan cenderung lebih menekankan
pentingnya teknik-teknik perubahan ketimbang faktor manusianya (Clegg &
Walsh, 2004). Para pendukung pandangan ini berargumentasi bahwa manusia
dianggap selalu berpikiran rasional sehingga manakala para manajer dengan
alasan yang rasional memutuskan organisasi harus berubah maka orang-
orang yang bekerja di dalamnya pasti akan mendukung perubahan tersebut.
Boleh jadi salah persepsi terhadap manusia inilah yang menyebabkan
tingginya tingkat kegagalan perubahan organisasi karena manusia tidak selalu
berpikiran rasional. Manusia tidak serta merta mau melakukan perubahan
meski mereka tahu bahwa perubahan itu perlu. Oleh karena itu belakangan
faktor manusia dalam perubahan organisasi mulai mendapat perhatian dan
intensitasnya semakin meningkat. Atribut-atribut yang melekat pada diri
seseorang seperti kepribadian, sikap, persepsi, nilai-nilai individu, emosi,
perasaan dan atribut-atribut lain mulai dikaji untuk mengetahui kaitan dan
pengaruhnya terhadap efektivitas perubahan organisasi. Kajian-kajian yang
melibatkan faktor manusia seperti ini sering disebut sebagai manajemen
perubahan dengan perspektif mikro (Bouckenooghe, 2009).
Pada umumnya ketika kita membicarakan manusia di dalam organisasi
manusia biasanya dikonotasikan sebagai karyawan yakni mereka yang
menjadi objek manajemen dan perubahan. Pada modul ini yang dimaksudkan
dengan manusia bukan hanya mereka yang menjadi objek perubahan tetapi
juga mereka yang menjadi subjek perubahan yakni manajer atau pimpinan
organisasi. Jadi, modul ini akan membahas dua hal – manusia dan
kepemimpinan sehingga fokus bahasannya juga akan dibagi menjadi dua.
Kegiatan Belajar 1 membahas faktor manusia (baca karyawan) dalam
perubahan dan Kegiatan Belajar 2 membahas aspek kepemimpinan dalam
perubahan organisasi. Pemilihan kedua topik ini dilandasi oleh penjelasan
Tom Karp (2006) yang mengatakan bahwa berhasil atau tidaknya perubahan
organisasi sangat bergantung pada kedua faktor tersebut. Argumentasi yang
dikemukakan Karp adalah kegagalan demi kegagalan dalam perubahan
organisasi tidak disebabkan karena lemahnya visi perubahan atau tidak
adanya intensi untuk melakukan perubahan tetapi lebih disebabkan karena
 EKMA4565/MODUL 4 4.3

orang-orang yang berada di dalam organisasi tidak mau mengakui bahwa


lingkungan memaksa mereka harus berubah. Karena merasa tidak ada yang
perlu diubah maka mereka enggan melakukan perubahan meski pada
dasarnya manusia tidak anti perubahan. Ungkapan berikut ini mungkin patut
diperhatikan: “Setiap orang pasti mendukung perubahan organisasi karena
perubahan memberi peluang demi kemajuan organisasi dan orang-orang yang
terlibat di dalamnya. Hanya saja ketika perubahan tersebut menimpa diri kita
biasanya dukungan terhadap perubahan akan berubah arah”.
Ungkapan di atas tentunya memberi peringatan kepada para manajer
yang bertanggung jawab dalam memimpin perubahan. Intinya adalah
perubahan bukan merupakan pekerjaan mudah terutama ketika menyangkut
faktor manusia. Di satu sisi manusia (baca: karyawan) secara rasional akan
mendukung perubahan tetapi di sisi yang lain secara emosional karyawan
belum tentu memberi dukungan terhadap perubahan. Penyebabnya, meski
dampak buruk belum terealisir dan belum tentu terjadi, bayang-bayang
terhadap dampak negatif tersebut sangat menakutkan. Oleh karena itu agar
para manajer berhasil memimpin perubahan mereka harus menggunakan
alasan-alasan yang bersifat emosional di samping alasan yang bersifat
rasional. Rasionalitas perubahan organisasi memang perlu dan barangkali
penting dikedepankan tetapi sepertinya tidak cukup kuat untuk mengajak
karyawan berpartisipasi dalam perubahan. Manusia, dalam situasi genting
seperti dalam kasus perubahan organisasi, sering kali justru lebih
mengandalkan aspek emosional, perasaan atau nilai-nilai individu yang
menjadi keyakinan mereka dalam menyikapi dan menilai perlu tidaknya
perubahan organisasi. Artinya tanpa memahami aspek-aspek ini diyakini
bahwa para manajer akan menghadapi jalan buntu dalam menggerakkan
perubahan organisasi.
Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan di atas, dengan selesainya
modul ini dengan demikian mahasiswa diharapkan:
1. Memahami keberhasilan implementasi perubahan organisasi.
2. Menjelaskan dampak perubahan terhadap karyawan.
3. Menjelaskan dimensi tersembunyi dalam perubahan.
4. Menjelaskan faktor emosi dalam perubahan organisasi.
5. Menjelaskan dampak perubahan terhadap kontrak psikologis.
6. Mengelola Manusia pada Saat Implementasi Perubahan.
7. Memahami arti pemimpin dan kepemimpinan.
8. Menjelaskan perbedaan antara kepemimpinan dan manajemen.
9. Menjelaskan pola kepemimpinan.
10. Menjelaskan kepemimpinan berorientasi perubahan.
11. Menjelaskan kepemimpinan transaksional – transformasional.
4.4 Manajemen Perubahan 

Kegiatan Belajar 1

Faktor Manusia dalam


Perubahan Organisasi

A. DAMPAK PERUBAHAN TERHADAP KARYAWAN

Tidak peduli pada bagian mana atau bagaimana sebuah organisasi akan
diubah – apakah perubahan minor atau perubahan berskala besar; apakah
hanya prosedur kerja atau sistem organisasi yang diubah; apakah perubahan
hanya sebatas pada iklim atau budaya organisasi; apakah perubahannya
terencana atau tidak; apakah perubahannya incremental atau radikal,
semuanya berpangkal dan berujung pada satu titik – manusia. Setiap
perubahan organisasi pasti melibatkan manusia dalam prosesnya, bahkan
manusia bisa disebut sebagai pelaku utama dan faktor kunci keberhasilan
atau kegagalan perubahan. Penyebabnya tidak lain karena manusia itu sendiri
memiliki peran sentral dalam kehidupan organisasi. Berhasil atau tidaknya
perubahan organisasi sangat bergantung pada kemauan manusia untuk
mendukung perubahan. Hal ini bukan berarti jika manusia (baca: karyawan)
tidak mau berubah maka perubahan organisasi tidak perlu terjadi. Jika para
manajer yakin bahwa perubahan organisasi merupakan suatu keharusan,
karena jika tidak berubah justru semua pihak termasuk karyawan akan
mengalami kerugian baik moral maupun material, maka perubahan tetap
harus dilakukan. Hanya saja dalam implementasinya para manajer harus
mempertimbangkan secara serius dampak perubahan tersebut terhadap aspek
kehidupan manusia khususnya karyawan, dan juga keluarganya, yang
biasanya akan merasakan dampak langsung dari perubahan tersebut.
Bagi karyawan, perubahan sesungguhnya seperti dua sisi dari satu mata
uang. Di satu sisi perubahan mampu membebaskan karyawan dari situasi
yang membosankan, memberi peluang karyawan untuk berkembang dan
memperoleh pengalaman baru, memberi kesempatan karyawan memikul
tanggung jawab baru dan bersinar masa depannya. Di sisi lain perubahan juga
bisa memberi ancaman kepada individu karyawan, baik riil maupun sebatas
dugaan. Paling tidak perubahan organisasi menyebabkan karyawan merasa
khawatir akan kehilangan masa depannya, takut akan kehilangan kebanggaan
yang selama ini telah mereka raih dan takut kehidupan sosialnya terganggu.
 EKMA4565/MODUL 4 4.5

Oleh karena itu, dalam mengimplementasikan proses perubahan, sejak awal


sejak sebelum melontarkan ide-idenya tentang perubahan kepada karyawan
seorang manajer sebaiknya mulai memikirkan cara-cara yang tepat untuk
mengatasi kemungkinan terjadinya hal buruk (unintended consequences) dari
perubahan ketimbang menganggap bahwa semuanya akan baik-baik saja.
Memikirkan unintended consequences bukan berarti manajer memiliki
prasangka buruk terhadap karyawan tetapi fakta menunjukkan bahwa proses
perubahan selalu diawali dengan respon negatif karyawan – schock misalnya
(lihat kembali Modul 3 Gambar 3.6) sebelum akhirnya karyawan menyadari
perlunya perubahan dan mau terlibat dalam perubahan. Dengan demikian,
agar perubahan berhasil dilaksanakan, seorang manajer terlebih dahulu harus
lulus ujian pertama yakni mampu mengatasi respon negatif dan resistensi
karyawan terhadap perubahan. Paling tidak,karyawan mampu menyesuaikan
diri dengan ide-ide perubahan sehingga pada akhirnya karyawan mau
bergerak lebih jauh dan berkontribusi terhadap perubahan.
Berdasarkan penjelasan di atas dan untuk memperoleh gambaran lebih
detail tentang dampak perubahan organisasi terhadap karyawan, uraian
berikut akan difokuskan pada beberapa topik yang terkait dengan dampak
perubahan yang bersifat psikologis. Topik dimaksud di antaranya adalah:
1. Dimensi tersembunyi dalam perubahan.
2. Aspek emosi dalam perubahan.
3. Proses transisi individu.
4. Kontrak psikologis.

B. DIMENSI TERSEMBUNYI DALAM PERUBAHAN

Dengan menggunakan metafora gunung es, Sobirin (2010) membagi


organisasi menjadi dua bagian yaitu bagian yang bersifat formal rasional dan
bagian yang bersifat informal behavioral. Kedua bagian tersebut memiliki
sifat berbeda. Bagian pertama mudah diakses pihak luar organisasi sedang
bagian kedua cenderung tersembunyi. Meski demikian keduanya selalu hadir
berdampingan dan memiliki peran yang seimbang dalam memajukan
kehidupan organisasi. Mengingat perubahan organisasi merupakan bagian
integral dari pengelolaan organisasi menuju organisasi yang lebih efisien dan
efektif, sudah seharusnya kedua bagian tersebut dikelola secara seimbang
pula. Sayangnya dalam praktik perhatian terhadap aspek formal rasional
biasanya lebih menonjol dibandingkan dengan perhatian terhadap aspek
4.6 Manajemen Perubahan 

informal behavioral seperti emosi (Marshak, 2009). Berdasarkan


pengalamannya berhubungan dengan berbagai eksekutif lintas dunia,
Marshak lebih lanjut mengatakan:
1. Sebagian besar Agen perubahan lebih mengutamakan pendekatan
rasional dalam mendorong perubahan organisasi.
2. Sebagian besar inisiatif perubahan sesungguhnya melibatkan dinamika
nonrasional dan dinamika proses secara signifikan.
3. Sebagian besar Agen perubahan tetap menuntut agar dalam menjalankan
perubahan organisasi menganggap bahwa perubahan organisasi murni
bersifat rasional.

Akibat terlalu fokus pada aspek formal rasional, pada umumnya manajer
tidak dapat melihat sisi lain yang bersifat nonrasional. Padahal dampak yang
ditimbulkan aspek nonrasional terhadap keberhasilan perubahan organisasi
sering kali justru jauh lebih besar. Kecenderungan seperti inilah yang
ditengarai menjadi penyebab utama kegagalan perubahan organisasi. Aspek
rasional, seperti dikatakan Marshak, sesungguhnya hanya salah satu dari
enam dimensi perubahan organisasi. Kelima dimensi lainnya adalah politik,
inspirasi, emosi, mindset dan psikodinamik. Marshak mengatakan pula, dari
keenam dimensi tersebut hanya rasional atau reason yang bersifat overt
(terbuka) sedangkan selebihnya bersifat hidden (tersembunyi). Keenam
dimensi tersebut dapat dilihat pada Tabel 4.1 sebagai berikut:

Tabel 4.1.
Enam Dimensi Perubahan Organisasi

Reason/Akal Politik Inspirasi Emosi Mindset Psikodinamik


Rasional, Kepentingan Aspirasi Perasaan Berpedoman Pertahanan
analitik dan individu dan berbasis afektif dan pada diri berbasis
logis kelompok nilai dan reaktif keyakinan pada
visi dan asumsi kekhawatiran
dasar dan alam
bawah sadar

Seperti pada umumnya terjadi pada organisasi-organisasi besar yang


dikelola dengan menggunakan pendekatan manajemen modern, manajer
cenderung berpikiran rasional dan pikiran tersebut mendominasi
kehidupannya. Penyebabnya boleh jadi karena manajer semata-mata
 EKMA4565/MODUL 4 4.7

menganggap organisasi sebagai mesin (Morgan, 1996) yang berfungsi


sebagai alat bantu untuk mencapai tujuan. Akibatnya mereka terbebani oleh
tanggung jawab besar untuk membawa organisasi yang dipimpinnya menjadi
organisasi yang efisien dan efektif demi menyejahterakan pemilik atau
investor. Karena terkungkung dengan pikiran rasional, konsekuensinya ketika
memaparkan ide-idenya untuk perubahan organisasi para manajer juga
menggunakan alasan-alasan yang rasional. Dimensi yang tersembunyi (covert
dimensions) menjadi terabaikan dan tidak pernah dibicarakan secara terbuka.
Barangkali manajer lupa bahwa yang memiliki kepentingan bukan hanya
para pemilik atau investor. Dalam kehidupan organisasi setiap individu
termasuk karyawan pada umumnya dan diri para manajer juga, masing-
masing mempunyai kepentingan. Karena kepentingan masing-masing
berbeda maka berpolitik di dalam organisasi sesungguhnya merupakan hal
yang lumrah terjadi mengingat politik identik dengan kepentingan.
Para manajer juga lupa menyampaikan kepada karyawan jika perubahan
yang diusulkannya masih dalam ranah nilai dan visi organisasi yang
sebelumnya telah disepakati bersama. Akibatnya usulan perubahan tersebut
gagal memberi inspirasi dan memotivasi karyawan untuk merubah
prilakunya karena karyawan merasa bahwa para manajer mengingkari
kesepakatan yang telah mereka buat. Demikian juga apakah para manajer
mempertimbangkan aspek emosi karyawan? Belum tentu atau bahkan tentu
tidak. Setiap individu karyawan secara emosional pasti akan terpengaruh
ketika mendengar samar-samar akan terjadi perubahan organisasi. Akibatnya
meski perubahan itu sendiri belum terwujud mereka mengekspresikan
perasaannya dalam berbagai bentuk: ada yang sekedar mengabaikan isu
tersebut sambil bersiap-siap mencari cara untuk balas dendam jika perubahan
tersebut betul-betul dilaksanakan; ada yang seketika menyuarakan
ketidaksetujuannya; dan ada juga yang bersiap-siap pindah kerja karena
merasa organisasi yang sekarang bukan lagi menjadi tempat yang layak untuk
meniti karir.
Demikian juga, karena mengajukan ide-ide perubahan murni berbasiskan
rasionalitas, sering kali para manajer justru lupa menyampaikan hal yang
paling esensial dalam kehidupan organisasi yakni mindset atau budaya
organisasi yang terlanjur dijadikan landasan berpikir dan bertindak karyawan.
Padahal terbentuknya mindset tersebut sesungguhnya para manajer pula yang
menjadi pemandunya. Akibatnya tidak jarang karyawan menuduh manajer
mereka bertindak tidak konsisten kalau tidak dikatakan narsis – mereka yang
4.8 Manajemen Perubahan 

mendorong dan mereka pula yang merubah mindset. Terakhir, dimensi


tersembunyi yang kerap menyebabkan kegalauan dan menjadi sumber
penurunan kinerja karyawan tetapi tidak dipikirkan para manajer dalam
perubahan organisasi adalah psikodinamika yang bersemayam di bawah
alam sadar karyawan. Alasan paling rasional yang digunakan manajer untuk
mengajukan usulan perubahan adalah menurunnya kondisi organisasi. Dalam
batas-batas tertentu karyawan pun sadar akan kondisi tersebut. Namun ketika
kondisi tersebut diungkap secara terbuka oleh manajer justru kesadaran
karyawan menyebabkan gangguan dinamika psikologis mereka. Karyawan
mulai sinis akan kemampuan para manajer, cemas, takut dan ujung-ujungnya
stres. Dampak langsungnya adalah semangat kerja dan kemampuan kerja
karyawan mulai menurun.
Saling peran antara kelima dimensi perubahan yang tersembunyi tersebut
secara keseluruhan menjadi faktor penting dalam proses perubahan
organisasi. Tidak tertanganinya kelima faktor tersebut bisa menjadi titik awal
gagalnya perubahan organisasi. Oleh karena itu selain mengandalkan
rasionalitas dalam memimpin perubahan, seorang manajer juga dituntut
memiliki tingkat sensitivitas yang tinggi terhadap dinamika psikologi
karyawan dalam menyikapi perubahan organisasi. Karyawan adalah sosok
yang memiliki kepentingan dan emosi, serta membutuhkan inspirasi dan
motivasi untuk berubah karena sebelumnya sudah tertanam lama sebuah
mindset sebagai penuntun hidupnya. Kegagalan seorang manajer dalam
menangani persoalan-persoalan ini identik dengan gagal dalam memimpin
perubahan. Sebagai langkah awal, manajer perubahan perlu memahami
bagaimana terjadinya proses perubahan individu saat mereka menghadapi
perubahan organisasi. Untuk itu, model perubahan individu yang dibangun
oleh George & Jones (2001) yang pembangunannya didasarkan pada teori
schema akan dijadikan rujukan dan akan dijelaskan lebih rinci.
Karena George & Jones (2001) dalam membangun modelnya berbasis
pada teori schema maka perlu dipahami terlebih dahulu apa yang dimaksud
dengan schema. Per definisi schema adalah struktur kognitif yang bersifat
abstrak yang berisi pengetahuan tentang stimulus atau konsep, fitur atau
atribut-atribut dari konsep tersebut, dan saling keterkaitan di antara atribut
dimaksud (lihat von Hoppel, et al., 1993). Setiap individu akan
mengembangkan schema ketika menghadapi stimulus yang datang secara
berulang-ulang kepadanya. Sekali sebuah schema terbentuk dan cocok
dengan konsep yang dikembangkannya maka schema tersebut akan
 EKMA4565/MODUL 4 4.9

digunakan untuk menginterpretasikan informasi yang diperoleh seseorang.


Schema memiliki beberapa fungsi (Conover & Feldman, 1984), di antaranya
(1) schema memungkinkan seseorang memiliki pengalaman dalam organisasi
dalam hal orang tersebut mampu mengurutkan elemen-elemen lingkungan
yang merefleksikan struktur schema yang relevan dengan pengetahuannya,
(2) schema mempengaruhi jenis-jenis informasi yang akan diingat kembali
dari ingatan-ingatan yang sebelumnya telah tersimpan dalam memori,
(3) struktur dari schema merupakan dasar untuk mengisi informasi yang
hilang sehingga seseorang tidak sekedar menerima informasi yang ada,
(4) schema menjadi alat untuk memecahkan sebuah masalah dengan cara
jalan pintas (short cut) sebagai upaya untuk menyederhanakan proses
penyelesaian masalah, dan (5) dengan membandingkan realitas dengan
harapan, schema dapat digunakan sebagai dasar untuk mengevaluasi
pengalaman seseorang.
Berdasarkan teori schema seperti tersebut di atas, George & Jones
mengatakan bahwa proses perubahan individu saat menghadapi perubahan
terdiri dari 7 tahapan (lihat gambar 4.1) yaitu: Tahap 1 terjadi discrepancy
atau inkonsistensi antara schema yang telah dibangun karyawan dengan
kondisi riil karena perubahan. Tahap 2 karyawan mulai menunjukkan reaksi
emosional terhadap adanya inkonsistensi. Tahap 3 karyawan mencoba
menelusuri sebab-sebab terjadinya inkonsistensi. Dari sini karyawan
mencoba mengarahkan perhatiannya pada hal-hal atau masalah yang
membebani mereka dan melihat peluang untuk keluar dari persoalan tersebut.
Tahap 4 karyawan mulai mengumpulkan informasi-informasi baru agar bisa
memahami apa yang sesungguhnya sedang terjadi. Tahap 5 karyawan mulai
mempertanyakan apakah schema yang telah dibangun sebelumnya masih
relevan dengan kondisi berjalan. Tahap 6 karyawan mulai mencari tambahan
informasi baru untuk membangun schema baru karena menganggap schema
lama sudah tidak cocok lagi dengan kondisi berjalan. Terakhir tahap 7 terjadi
perubahan schema dalam pengertian karyawan memahami bahwa schema
yang telah dibangun sebelumnya dianggap tidak cocok lagi dengan kondisi
saat ini saat terjadi perubahan organisasi.
4.10 Manajemen Perubahan 

Sumber: George & Jones (2001)

Gambar 4.1.
Proses Perubahan Individu

Schema baru yang terbentuk pada tahap 7 kemudian disimpan di dalam


memori karyawan. Informasi ini akan menjadi prioritas utama yang sewaktu-
waktu diaktifkan kembali manakala terjadi perubahan organisasi di masa
datang. Artinya ketika seorang karyawan pernah berhadapan dengan
perubahan maka perubahan berikutnya boleh jadi akan lebih mudah karena
mereka telah memiliki schema yang tersimpan dalam memorinya terutama
jika pengalaman perubahan yang pernah terjadi sebelumnya tidak terlalu
membebani dirinya. Sebaliknya jika pengalaman perubahan sebelumnya
berdampak negatif maka resistensi perubahan yang akan mengemuka. Satu
hal yang perlu dicatat di sini adalah proses perubahan schema bukan sebuah
proses yang berjalan linear karena setiap tahap akan selalu dibarengi dengan
resistensi karyawan. Demikian juga setiap tahapan selalu melibatkan emosi
karyawan. Oleh karena itu tidak berlebihan jika dikatakan bahwa emosi
merupakan faktor penting dalam setiap tahap perubahan individu. Emosi
bukan sekedar produk samping yang diakibatkan oleh proses perubahan.
Emosi juga menjadi pemicu terjadinya perubahan.
 EKMA4565/MODUL 4 4.11

C. FAKTOR EMOSI DALAM PERUBAHAN ORGANISASI

Sebelum memperoleh penjelasan lebih jauh tentang keterkaitan antara


emosi dengan perubahan organisasi ada baiknya dipahami terlebih dahulu
apa yang dimaksud dengan emosi. Keltner & Gross (1999) mendefinisikan
emosi sebagai:

….episodic, relatively short-term, biologically based patterns of


perception, experience, physiology, action, and communication that
occur in response to specific physical and social challenges and
opportunities.

Pola persepsi, pengalaman, fisiologis, tindakan dan komunikasi yang


bersifat episodic dan relatif jangka pendek dan bersumber pada kondisi
biologis seseorang. Pola tersebut terbentuk sebagai respon terhadap
tantangan dan kesempatan yang datang dari faktor fisik maupun sosial.

Definisi di atas menjelaskan bahwa emosi pada dasarnya merupakan


bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan manusia. Emosi bersumber
pada unsur biologis seseorang yang akan muncul ketika orang tersebut
menghadapi tantangan atau kesempatan baik secara fisik maupun sosial.
Munculnya emosi tersebut merupakan pertanda bahwa keberlangsungan
hidup organisme tidak ditentukan oleh intelektualitas seseorang melainkan
oleh peran emosi. Dalam hal ini emosi akan memberi sinyal kepada
organisme tentang adanya bahaya yang mengancam atau kesempatan yang
menantang sehingga ada dorongan agar organisme segera mengambil
tindakan.
Jika dikaitkan dengan kehidupan organisasi, perubahan yang akan dan
sedang terjadi, lebih-lebih perubahan radikal seperti telah diuraikan secara
detail pada bagian-bagian sebelumnya, merupakan bentuk tantangan yang
akan dihadapi seorang karyawan meningkat perubahan organisasi selalu
dibarengi dengan ketidakpastian. Setiap karyawan tentu akan merespon dan
menginterpretasikan secara berbeda setiap ketidakpastian yang ditimbulkan
oleh perubahan. Respon dan interpretasi itulah yang mendorong munculnya
emosi seseorang. Salah satu indikator munculnya emosi adalah karyawan
mengalami schock ketika mendengar bahwa organisasi akan melakukan
perubahan. Reaksi emosional akan muncul dengan intensitas semakin kuat
manakala karyawan mempersepsi bahwa perubahan organisasi diyakini akan
berdampak negatif terhadap diri mereka. Karyawan merasa akan kehilangan
4.12 Manajemen Perubahan 

banyak hal ketika organisasi mengalami perubahan. Beberapa bentuk


kehilangan yang akan dialami karyawan, antara lain:
1. Loss of Attachment: Perubahan organisasi dapat saja merubah pola
hubungan yang sudah terbentuk selama ini, sehingga pola hubungan
informal yang membentuk keterikatan menjadi berubah.
2. Loss of Structure: Perubahan pada pola pekerjaan, struktur organisasi,
kebijakan organisasi, jadwal kerja mengakibatkan orang merasa
kehilangan atas struktur dan keteraturan kerja yang selama ini
diakrabinya.
3. Loss of Control: Dalam proses perubahan menuju ke arah yang
diinginkan, kerap anggota organisasi merasa kehilangan kontrol atas
pekerjaan yang selama ini dimilikinya, lebih pada umumnya perubahan
organisasi bersifat top-down.
4. Loss of Meaning: Perubahan akan mengubah makna yang selama ini
menjadi pegangan anggota organisasi, sementara makna yang baru
belum diterima dan masih terbentuk. Usaha pencarian makanya ini
menyebabkan gossip menjadi meningkat dalam organisasi.
5. Loss of Future: Perubahan yang dilakukan akan menyebabkan
kekacauan mengenai masa depan yang sudah dimiliki anggota organisasi
dalam bentuk harapan, sementara masa depan perubahan itu sendiri
belum jelas bagi dirinya.

Di sisi lain boleh jadi sebagian karyawan yang lain menganggap bahwa
perubahan merupakan bentuk kesempatan yang tidak boleh disia-siakan.
Respon seperti ini akan mendorong seseorang secara emosional untuk terlibat
dalam perubahan. Atau dengan kata lain, karyawan merespon perubahan
dengan emosi positif. Dengan demikian, emosi apakah positif atau negatif
merupakan bagian integral dari perubahan organisasi yang perlu dikelola,
terutama agar tidak menimbulkan efek negatif terhadap perubahan. Untuk
memahami bahwa emosi sebagai bagian integral dalam perubahan organisasi,
maka beberapa hal mengenai peran emosi dalam organisasi perlu diperjelas:
1. Emosi merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari proses pemaknaan
dalam proses keorganisasian, termasuk perubahan organisasi. Ketika
terjadi perubahan dalam organisasi maka akan terjadi hal-hal di luar
kebiasaan sehingga para anggota merasa terkejut surprise, shock, bahkan
merasa terancam. Emosi merupakan reaksi yang wajar secara psikologis
terhadap kejadian-kejadian tersebut, dan individu akan berusaha
 EKMA4565/MODUL 4 4.13

memberikan makna terhadap kejadian-kejadian tersebut, yang di luar


kebiasaan. Pemaknaan ini tidak meliputi proses kognitif saja, tapi juga
melibatkan emosi individu, dan kedua proses ini saling berperan.
2. Emosi merupakan bagian integral dari proses adaptasi dan motivasi.
Dalam kajian psikologi, emosi terutama dilihat sebagai fungsi adaptif
ketika terjadi sesuatu yang mengancam individu, yang membantu
penyesuaian individu terhadap situasi tertentu (flight or fight reaction).
Sebagian ahli mengatakan emosi merupakan komponen penting dari
motivasi individu, karena emosi akan mendorong individu untuk
berperilaku tertentu (Fridja, 1993; Fineman, 2001).

Penjelasan di atas menunjukkan bahwa emosi merupakan salah satu


faktor penting dalam perubahan organisasi. Meski demikian, baru akhir-akhir
ini peran penting tersebut mendapat perhatian para peneliti perubahan
organisasi khususnya mereka yang berorientasi pada pendekatan mikro atau
individual. Sebelumnya emosi cenderung terpinggirkan. Dari tiga kecakapan
dasar manusia (human faculties): affect/emotion, cognition (bagaimana
seseorang berpikir, mengetahui dan beralasan) and will (konasi dan
motivasi), hanya kognisi yang mendapat perhatian lebih (Eide, 2005). Hal ini
bisa diartikan bahwa perubahan organisasi pada mulanya cenderung didekati
secara kognitif dengan kacamata rasionalitasnya Max Weber. Kalaulah emosi
kemudian muncul dalam kehidupan organisasi maka emosi tersebut harus
dikebiri, dikendalikan dan sedapat mungkin difungsikan untuk mengamankan
rasionalitas tersebut. Oleh karena itu wajar jika emosi saat itu dianggap
sebagai “ugly duckling – anak itik yang bodoh” karena dianggap sebagai
faktor pengganggu (Eide, 2005) yang keberadaannya perlu diminimalisir.
Sekarang emosi mulai mendapatkan tempat dalam kehidupan organisasi
dan bahkan dianggap sebagai invisible asset – aset yang tidak tampak (Eide,
2005) yang dapat membantu proses kehidupan organisasi. Dalam konteks
perubahan organisasi dengan demikian emosi khususnya emosi positif
diharapkan bisa memperlancar proses perubahan jika dikelola dengan baik.
Dua paradigma dalam memperlakukan emosi di dalam kehidupan organisasi
dapat dilihat pada Tabel 4.2 berikut ini:
4.14 Manajemen Perubahan 

Tabel 4.2.
Perbandingan Paradigma Emosi

Paradigma Baru Paradigma Lama


Asumsi Tentang Emosi: Asumsi Tentang Emosi:

Emosi memegang peranan penting dalam Emosi adalah irasional.


interpretasi dan konstruksi makna dalam
perubahan organisasi.

Emosi berkaitan dengan interpretasi kejadian- Emosi dan kognisi merupakan dua hal yang
kejadian yang relevan selama proses bertentangan.
perubahan.

Emosi mengarahkan tindakan & motivasi serta Emosi negatif akan berdampak negatif
membantu proses penyesuaian terhadap terhadap organisasi.
dampak perubahan.
Asumsi Mengenai Emosi dan Perubahan: Asumsi Mengenai Emosi dan Perubahan:

Emosi merupakan bagian penting dari Fear and Stress mendominasi proses
pengalaman perubahan itu sendiri. perubahan.

Memberikan insight terhadap pengalaman Emosi identik dengan penolakan/ resistance.


perubahan itu sendiri dari perspektif individu
dalam suatu konteks tertentu. Emosi muncul secara bertahap.
Asumsi Peran Emosi Dalam Proses Asumsi Peran Emosi Dalam Proses
Perubahan: Perubahan:

Emosi mendorong perilaku individu. Emosi bersifat dysfunctional dalam


organisasi dan perubahannya.

Emosi constitute invidual and social change Emosi akan menghambat perubahan
story (meaning of change). organisasi.
Implikasi Penanganan Emosi Dalam Implikasi Penanganan Emosi Dalam
Organisasi Dan Perubahan: Organisasi Dan Perubahan:

Mengakui emosi dan menanganinya secara Manage emotion away


serius sesuai dengan perspektif individu dan
konteks organisasi. Usahakan agar fase emosional sependek
mungkin.
Analisa emotional landscape untuk
mendiferensiasikan tindakan manajerial. Hindarkan munculnya emosi negatif.
 EKMA4565/MODUL 4 4.15

Perubahan paradigma tentang emosi seperti tampak pada Tabel 5.1


menunjukkan bahwa dewasa ini kehadiran emosi dalam kehidupan organisasi
bisa lebih diterima dibandingkan pada periode sebelumnya. Perubahan
paradigma ini boleh jadi karena terjadinya perubahan lingkungan eksternal
yang menuntut manajer untuk berubah dalam menyikapi faktor manusia di
dalam organisasi. Sebagaimana kita sadari bersama organisasi pada era
sekarang ini lebih menekankan pada jaringan (network) sehingga pendekatan
command and control kurang sesuai pada masa di mana organisasi berada
pada lingkungan yang cepat berubah. Koordinasi horizontal dan vertikal
menghendaki sikap aktif anggota organisasi, yang lebih menekankan pada
terbentuknya pola hubungan antarindividu maupun antar unit organisasi. Hal
ini bisa diartikan pula bahwa anggota organisasi akan lebih mudah
mengalami konflik antar sesama dan konflik selalu melibatkan faktor emosi.
Kondisi seperti ini memudahkan timbulnya rasa cemburu, marah, ditolak,
kekecewaan, kebencian, yang akan mewarnai kehidupan dalam organisasi.
Pola hubungan yang akhirnya tercipta mengandung beberapa implikasi,
antara lain:
1. Tidak mudah untuk memberikan prescriptive solutions, yang
menyatakan apa boleh dilakukan dan tidak boleh dilakukan ketika faktor
emosi ikut bermain.
2. Pola pengelolaan emosi mengandalkan hubungan dengan pola saling
ketergantungan. Keterampilan sosial yang kerap dilatihkan dalam
program pelatihan seyogianya memperhitungkan emosi-emosi yang
muncul dalam pola-pola interaksi dalam organisasi, yang kerap bersifat
specific, contextual.
3. Cara pengelolaan emosi bukanlah sesuatu yang fixed, namun harus
bersifat fleksibel dan kontekstual. Ini dikarenakan karakteristik emosi
seseorang yang tidak dapat diprekdisikan secara pasti dari satu situasi ke
situasi lainnya, dari waktu ke waktu.
4. Emosi tidak jarang merupakan pendorong perilaku individu dalam
organisasi. Pengakuan akan emosi dalam organisasi menjadikan
organisasi lebih terbuka terhadap masalah-masalah emosional
anggotanya sehingga memungkinkan dilakukan pengelolaan bersama
secara sadar.
5. Pengelolaan emosi akan menjadikan organisasi lebih fleksibel, adaptif,
dan memudahkan pengelolaan saling ketergantungan antar unit
organisasi maupun antar individu.
4.16 Manajemen Perubahan 

Sementara itu dalam upayanya untuk menjelaskan peran emosi dalam


perubahan, Huy (2005) memperkenalkan dua konsep organisasi berbasis
emosi yaitu keseimbangan emosional (emotional balancing) dan kapabilitas
emosional (emotional capability). Keseimbangan emosional melibatkan
manajemen emosi dua kelompok di dalam organisasi: agen perubahan dan
penerima perubahan. Tujuan diterapkannya keseimbangan emosional adalah
agar emosi mampu mendorong terjadinya perubahan dan di saat yang sama
kegiatan organisasi bisa terus berjalan seperti biasanya – business as usual.
Menurut Huy keseimbangan ini perlu diperhatikan karena perubahan
berlebihan hanya akan menciptakan keos sementara tidak adanya perubahan
bisa menimbulkan inersia. Huy juga berharap agen perubahan memiliki
komitmen untuk memimpin dan mensukseskan proyek perubahan sementara
penerima perubahan bisa terus melanjutkan aktivitas organisasi. Meski
demikian harus disadari pula bahwa bisa saja anggota organisasi memainkan
peran berbeda dalam perubahan. Sebagian anggota organisasi boleh jadi lebih
memilih sebagai agen perubahan yang mendorong terjadinya perubahan
radikal dan sebagiannya lagi memilih sebagai penerima perubahan yang
meneruskan kegiatan organisasi.
Berdasarkan pilihan emosi seperti tersebut di atas, motivasi anggota
organisasi dalam menyikapi perubahan sesungguhnya bisa dikelompokkan
menjadi dua. Pertama ketika fokus perhatian seseorang ditujukan pada
perubahan atau pertumbuhan, muncul kebutuhan untuk tumbuh. Mereka juga
berupaya untuk membentuk prilaku dan konsep dirinya sejalan dengan
bagaimana mereka ingin dipersepsi. Di samping itu perilakunya didominasi
oleh hasrat untuk mendapat keuntungan. Kedua, ketika fokus mereka adalah
keamanan atau kontinuitas kehidupan kerja, mereka akan mengaitkan
aktualisasi dirinya dengan tugas-tugas dan tanggung jawab yang selama ini
mereka emban. Berdasarkan dua situasi motivasi tersebut Huy selanjutnya
membuat model emosi untuk mengeksplorasi kategori emosi seseorang saat
terjadi perubahan strategik (lihat Gambar 4.2).
 EKMA4565/MODUL 4 4.17

Aktivasi Tinggi

Terstimulasi Riang
Agitasi Kejutan

Tidak
Menyenagkan Menyenagkan
Aktivasi Tinggi Aktivasi Tinggi

Tidak Menyenagkan Menyenagkan

Tidak Menyenagkan
Menyenagkan Aktivasi Rendah
Aktivasi Rendah

Kesal Diam
Diam
Tenang

Aktivasi Rendah

Sumber: Huy (2005) p. 299

Gambar 4.2.
Circumplex model of emotion

Menurut Gambar 4.2 emosi dapat dikategorikan dengan menggunakan


dua dimensi yaitu dimensi hedonistik (menyenangkan vs. tidak
menyenangkan) dan dimensi kesiapan bertindak (aktivasi tinggi vs. aktivasi
rendah). Empat kategori emosi yang dihasilkan oleh dua dimensi tersebut
adalah: (1) emosi menyenangkan aktivasi tinggi. Termasuk dalam kategori
ini adalah antusiasme dan kegembiraan (excitement), (2) emosi
menyenangkan aktivasi rendah. Pada kategori ini seseorang cenderung kalem
dan merasa nyaman, (3) emosi tidak menyenangkan aktivasi tinggi
ditunjukkan oleh kemarahan, ke khawatirkan dan rasa takut, dan (4) emosi
tidak menyenangkan aktivasi rendah meliputi kondisi emosi dalam bentuk
kekecewaan, ras malu dan kesal.
Selanjutnya jika aksis pada Gambar 4.2 digeser 45 derajat, emosi orang
yang berorientasi pada perubahan akan bergerak sepanjang aksis riang –
kesal. Sedangkan emosi orang yang fokus pada kontinuitas bergerak
sepanjang aksis agitasi – diam. Empat kategori emosi yang dihasilkan oleh
pertemuan dua aksis ini merefleksikan bagaimana dua sistem motivasi secara
4.18 Manajemen Perubahan 

evolutif akan beroperasi. Sistem pertama memotivasi seseorang untuk


berubah dan sistem kedua memotivasi orang untuk mencari aman dan
bertindak sebagai penerima perubahan.
Selain keseimbangan emosional, konsep kedua adalah kapabilitas
emosional. Pada level organisasional yang dimaksud dengan kapabilitas
emosional adalah kemampuan organisasi untuk mengetahui, mengakui,
memonitor, memilah dan memberi perhatian terhadap emosi baik yang terjadi
pada dataran individu maupun organisasi. Kemampuan ini harus dibangun
agar pengetahuan dan keterampilan organisasi dalam mengelola emosi
selama terjadi perubahan menjadi sebuah rutinitas. Proses pembangunannya
dapat dilihat pada Gambar 4.3. Pada gambar tampak bahwa agar usulan
perubahan bisa diterima dibutuhkan empati dan simpati. Dengan dukungan
dua situasi emosi ini bisa dilakukan mobilisasi yang disertai harapan
sehingga hasilnya adalah perubahan yang diharapkan. Hasil perubahan ini
akan menjadi sumber pembelajaran bagi anggota organisasi untuk masa-masa
mendatang dalam kaitannya dengan perubahan organisasi. Proses
pembelajaran ini harus dilakukan dengan cara yang menyenangkan,
karyawan diajak untuk mencitai organisasi dan ada unsur liberasi yang
otentik.
 EKMA4565/MODUL 4 4.19

Usulan
perubahan

Empati + Mencintai Otentik


Kesediaan + +
menerima
Simpati + perubahan

Pembelajaran

Harapan + +

Mobilisasi
Menyenangkan

Hasil
perubahan

Gambar 4.3.
Membangun Kapabilitas Emosi

Kontrak Psikologis
Sobirin (2009) menyatakan bahwa manusia yang berada di dalam
lingkungan internal organisasi dapat dibedakan menjadi tiga kelompok yakni
pemilik organisasi, manajer dan karyawan. Hierarki ketiga kelompok tersebut
dapat dilihat pada Gambar 4.4 sebagai berikut:
4.20 Manajemen Perubahan 

Stockholder/pemilik modal

Para manajer

Karyawan

Gambar 4.4.
Komposisi stakeholder yang berada di dalam organisasi

Pemilik atau kadang-kadang disebut juga investor adalah seseorang atau


sekelompok orang yang dengan sukarela mengucurkan dana untuk berdirinya
sebuah organisasi/perusahaan. Melalui organisasi tersebut mereka berharap
keinginan-keinginannya bisa terpenuhi. Pemilik dengan demikian merupakan
pihak yang memiliki kepentingan utama dan oleh karenanya mereka
memiliki otoritas tertinggi dalam kehidupan organisasi. Konsekuensinya
adalah mereka pula yang menentukan arah tujuan organisasi. Oleh karena itu
jika terjadi perubahan kepemilikan sangat boleh jadi arah tujuan organisasi
juga berubah.
Meski memiliki otoritas tertinggi, pemilik pada umumnya tidak terlibat
langsung dalam kehidupan sehari-hari organisasi. Keberadaan mereka
diwakili oleh sekelompok orang yang disebut “Dewan Komisaris”.
Sederhananya, Dewan Komisaris adalah sekelompok orang yang bertugas
menjaga agar organisasi tetap eksis sesuai nilai-nilai yang dianut para pemilik
dan terus berkembang seperti yang dicita-citakan pemilik. Namun sekali lagi
keberadaan Dewan Komisaris di dalam kehidupan organisasi tidak untuk
mengeksekusi kegiatan sehari-hari organisasi. Untuk itu Dewan Komisaris
merekrut atau menunjuk para eksekutor yang populer disebut “Eksekutif”.
Mereka biasanya adalah manajer profesional yang diberi tugas untuk
menyusun rencana, mengelola, memanau dan mengawasi organisasi beserta
aset yang ditanamkan para pemilik.
Sebagai pihak yang ditunjuk dan dipercaya pemilik untuk mengelola
organisasi, tidak berlebihan jika dikatakan bahwa manajer merupakan
seorang mandataris yang memperoleh prevalensi dari pemilik. Konsekuensi
logisnya dengan demikian seorang manajer harus mempertanggungjawabkan
mandat yang diterimanya kepada pemberi mandat yakni pemilik organisasi.
 EKMA4565/MODUL 4 4.21

Seorang manajer dengan demikian harus mampu memenuhi keinginan-


keinginan pemilik. Meski belakangan para manajer juga dituntut secara
transparan dan akuntabel untuk bertanggung jawab kepada pemangku
kepentingan (stakeholders) lain tetap saja pemilik adalah stakeholder utama
sebuah organisasi. Sebagai mandaris manajer juga diberi keleluasaan untuk
mengangkat para manajer dengan posisi yang lebih rendah dan merekrut
sejumlah karyawan dengan keahlian dan talenta berbeda untuk ditempatkan
pada posisi dan pekerjaan berbeda. Semua ini bertujuan agar kegiatan
organisasi berjalan lancar dan ujung-ujungnya organisasi mampu memenuhi
keinginan para pemilik (efektif) dengan menggunakan sumber daya
organisasi secara wajar (efisien) sehingga memberi nilai tambah yang
optimal.
Hubungan antara pemilik dengan manajer seperti disebut di atas sering
disebut sebagai hubungan keagenan di mana pemilik disebut sebagai
principal dan manajer disebut sebagai agen. Sementara itu hubungan antara
manajer dengan karyawan disebut sebagai hubungan kerja. Dalam menjalin
hubungan keagenan maupun hubungan kerja pihak-pihak yang terlibat di
dalamnya biasanya mengawali hubungan tersebut dengan membuat
kesepakatan-kesepakatan baik yang tertulis maupun tidak tertulis, formal
maupun informal. Kesepakatan tersebut dibuat pada saat satu pihak direkrut
oleh pihak lain yakni saat manajer direkrut pemilik maupun saat karyawan
direkrut manajer. Meski secara umum isi dari kesepakatan tersebut sama
yakni mengenai hak dan kewajiban masing-masing pihak dalam kaitannya
dengan hubungan keagenan maupun hubungan kerja, setiap organisasi
memiliki preferensi berbeda tentang isi kesepakatan. Perbedaan ini
disebabkan karena asumsi yang melatarbelakangi penyusunan kesepakatan
tersebut berbeda terutama karena lingkungan masing-masing organisasi
berbeda. Kecenderungan umum juga menunjukkan terjadinya pergeseran
pola kesepakan dari satu periode ke periode berikutnya. Kissler (1994)
misalnya membedakan pola kesepakatan kerja antara karyawan dengan
perusahaan untuk periode sebelum tahun 1990-an dengan periode setelah
tahun 1990-an seperti tampak pada Tabel 4.3 berikut ini.
4.22 Manajemen Perubahan 

Tabel 4.3.
Kesepakatan lama vs Kesepakatan baru

Model Kesepakatan Lama Model Kesempatan Baru


 Organisasi adalah “orang tua” bagi  Organisasi dan karyawan
karyawan di mana karyawan diperlakukan menyepakati kontrak layaknya “dua
seolah-olah sebagai seorang “anak”. orang dewasa” yang membuat
 Jati diri dan harga diri karyawan kesepakatan. Fokus dari kontrak
ditentukan oleh organisasi. tersebut adalah keuntungan bersama
 Mereka yang mau bertahan di organisasi dalam jalinan pekerjaan.
adalah karyawan yang baik dan loyal,  Jati diri dan harga diri karyawan
sebaliknya adalah karyawan yang jelek ditentukan sendiri oleh karyawan
dan tidak loyal. bersangkutan.
 Karyawan yang mengerjakan sesuai  Keluar masuknya seorang karyawan
dengan apa yang diperintahkan ke dalam sebuah organisasi
kepadanya adalah tipikal karyawan bisa merupakan sesuatu yang biasa dan
bekerja sampai pensiun. dianggap sehat sehingga perlu
 Cara paling utama seorang karyawan diapresiasi.
bisa berkembang adalah melalui jalan  Sulit berharap seorang karyawan
promosi. bekerja pada satu organisasi dalam
jangka panjang; oleh karenanya
organisasi dan karyawan harus siap
untuk menjalin hubungan dengan
berbagai pihak yang berbeda.
 Cara paling utama seorang karyawan
bisa berkembang sangat tergantung
pada kemampuan diri untuk berprestasi

Dari Tabel 4.3 tampak bahwa isi kesepakatan kerja mengalami


pergeseran yang sangat signifikan di mana pendulum lebih berpihak pada
karyawan. Hal ini bisa diartikan bahwa sejak tahun 1990-an karyawan lebih
memiliki posisi tawar dibandingkan pihak perusahaan. Meski demikian, lepas
dari siapa yang memiliki posisi tawar lebih kuat, dengan kesepakatan-
kesepakatan tersebut, umum disebut kontrak kerja, diharapkan masing-
masing pihak menghormati dan menjunjung isi kontrak agar hubungan kerja
di antara mereka berjalan mulus layaknya sebuah perkawinan dalam
kehidupan rumah tangga dan kedua belah pihak memperoleh manfaat dari
hubungan kerja tersebut. Sayangnya dengan berjalannya waktu dan
perubahan lingkungan, tidak jarang salah satu pihak melanggar isi kontrak
yang terkadang berakibat pada situasi organisasi yang tidak menguntungkan
 EKMA4565/MODUL 4 4.23

dan bahkan kedua belah pihak tidak jarang pula harus menanggung dampak
buruk dari pelanggaran kesepakatan tersebut.
Banyak kasus di Indonesia yang menggambarkan situasi seperti
digambarkan di atas, misalnya demonstrasi besar-besaran yang berlangsung
cukup lama, dilakukan oleh karyawan PTDI di Bandung, yang disebabkan
karena perusahaan menciutkan kegiatan usaha sehingga berakibat
dirumahkannya sejumlah karyawan. Penciutan kegiatan usaha atau secara
umum perubahan yang terjadi di organisasi PTDI inilah yang menjadi pemicu
persoalan-persoalan lebih lanjut yang dihadapi PTDI. Yang pasti kedua belah
pihak – karyawan dan PTDI menderita kerugian yang tidak sedikit. Dari
contoh ini bisa ditarik kesimpulan bahwa perubahan organisasi merupakan
faktor penting yang menyebabkan runtuhnya kesepakatan kerja antara
karyawan dengan perusahaan yang berdampak pada kerugian moral dan
material dari kedua belah pihak.
Kesepakatan kerja seperti telah disebutkan di muka bisa dikelompokkan
menjadi dua yaitu: kesepakatan kerja yang bersifat formal dan tertulis dan
kesepakatan kerja yang bersifat informal dan tidak tertulis. Isi dari
kesepakatan kerja yang formal dan tertulis secara umum menyebutkan hak-
hak yang akan mereka terima dan kewajiban yang harus mereka jalankan
yang semuanya terkait dengan hukum ketenagakerjaan. Kesepakatan seperti
ini biasa disebut sebagai legal contract atau labor contract. Sementara itu
kesepakatan kerja yang bersifat informal dan tidak tertulis pada umumnya
merupakan kesepakatan yang menyangkut aspek keprilakuan. Misalnya,
secara informal karyawan diharapkan mau bekerja keras, memiliki komitmen
dan loyal kepada perusahaan, sedangkan perusahaan diharapkan memberi
keamanan kerja bagi karyawan, dan menciptakan suasana kerja yang
kondusif. Kesepakatan kerja yang bersifat keprilakuan seperti ini disebut
sebagai “kontrak psikologis – psychological contract”. Meski kesempatan ini
bersifat informal dan tidak tertulis, kontrak psikologis memiliki dampak yang
cukup besar dalam kehidupan organisasi sehingga mendapat perhatian cukup
serius dari ahli-ahli organisasi.
Secara definitif, Kotter (1973) mengatakan bahwa kontrak psikologis
adalah sebuah kontrak yang bersifat implisit dibuat dua belah pihak – antara
seseorang (seorang karyawan) dengan organisasi tempat kerja, yang
menjelaskan ekspektasi masing-masing pihak tentang apa yang bisa mereka
berikan dan apa akan diterima dalam kaitannya dengan hubungan kerja.
Sementara itu Morrison menyebutkan 5 karakteristik kontrak psikologis.
4.24 Manajemen Perubahan 

Pertama, kontrak psikologis bersifat implisit dalam pengertian kontrak


tersebut tidak tertulis secara eksplisit seperti halnya kontrak kerja (legal
contract) yang serba jelas dan dipahami masing-masing pihak yang terlibat
dalam hubungan kerja. Dalam kontrak kerja atau legal contract masing-
masing pihak sadar akan konsekuensi-konsekuensi yang ditimbulkannya
karena kedua belah pihak menyetujui dan menandatangani kontrak tersebut.
Namun tidak demikian dengan kontrak psikologis, karena tidak diungkapkan
secara eksplisit bukan tidak mungkin kontrak psikologis bersifat sepihak.
Artinya, mungkin saja kedua belah memahami bahwa mereka telah membuat
kontrak tetapi boleh jadi pemahaman masing-masing berbeda.
Kedua, kontrak psikologis berisi harapan-harapan dari salah satu pihak
kepada pihak lainnya. Tentunya kedua belah pihak sangat diharapkan bisa
memenuhi harapan-harapan tersebut. Hanya saja dalam praktik tidak jarang
harapan kedua belah pihak tidak sama walaupun bukan berarti harapan kedua
belah pihak selalu berbeda. Sebagai contoh, seorang lulusan S2 sebut saja
bernama Hartono yang baru pertama kali bergabung dengan perusahaan
nasional yang terkenal. Hartono ditempatkan sebagai manajer menengah.
Dengan posisi yang cukup tinggi tersebut Hartono boleh jadi berharap
memperoleh mobil dinas karena dengan mobil dinas ini Ia bisa menunjukkan
kepada keluarga dan kerabatnya bahwa Ia bekerja pada perusahaan yang
bonafid dan menempati posisi yang baik pula. Harapan Hartono dikatakan
“cocok” jika kebetulan kebijakan perusahaan memang memberikan fasilitas
mobil dinas bagi manajer menengah. Namun jika kebijakan perusahaan tidak
menyediakan mobil dinas maka terjadilah “ketidakcocokan” harapan.
Ketidakcocokan ini bisa dikatakan relatif kecil jika perusahaan menyediakan
fasilitas antar jemput yang bagi Hartono sendiri tetap bisa menunjukkan
gengsinya bahwa dia bukan sekedar karyawan biasa. Ketidakcocokan
harapan dikatakan besar jika perusahaan sama sekali tidak menyediakan
fasilitas angkutan bagi siapa pun karyawannya. Kecocokan dan
ketidakcocokan harapan inilah yang menurut Kotter merupakan esensi dari
kontrak psikologis. Contoh tentang harapan karyawan terhadap perusahaan
dan harapan perusahaan terhadap karyawan adalah sebagai berikut (lihat
Kotter, 1973):
Harapan karyawan terhadap Perusahaan:
1. Pekerjaan akan memberi makna atau tujuan bagi diri karyawan.
2. Karyawan memiliki kesempatan untuk mengembangkan diri.
3. Perusahaan memberikan pekerjaan yang sangat menarik.
 EKMA4565/MODUL 4 4.25

4. Perusahaan memberikan pekerjaan yang menantang.


5. Karyawan memiliki daya dan tanggung jawab terhadap pekerjaan.
6. Perusahaan memberi pengakuan dan persetujuan terhadap hasil
pekerjaan yang baik.
7. Karyawan menginginkan pekerjaan yang memberikan gengsi dan status
bagi dirinya.
8. Lingkungan kerja dan orang-orangnya bersahabat.
9. Lingkungan kerja yang kondusif.
10. Memperoleh gaji yang memadai.
11. Perusahaan memberikan keamanan kerja.
12. Kesempatan berkembang.
13. Karyawan memperoleh umpan baik dari perusahaan dan penilaian kerja
yang fair.

Harapan Perusahaan terhadap Karyawan:


1. Kemampuan untuk mengerjakan tugas-tugas di luar pekerjaan pokok.
2. Kemampuan untuk memahami berbagai aspek pekerjaan lain selama ia
bekerja.
3. Kemampuan untuk menemukan cara-cara baru dalam menyelesaikan
pekerjaan.
4. Kemampuan untuk menyajikan cara pandang secara efektif dan
meyakinkan.
5. Kemampuan menyampaikan gagasan baik secara lisan maupun tulisan.
6. Kemampuan untuk mensupervisi dan mengarahkan pekerja lain.
7. Kemampuan untuk membuat keputusan yang bertanggung jawab tanpa
bantuan orang lain.
8. Kemampuan untuk membuat perencanaan kerja baik untuk dirinya
maupun orang lain.
9. Kemampuan untuk bekerja sama dengan orang lain secara produktif.
10. Kemampuan untuk menggunakan waktu dan tenaga untuk kepentingan
perusahaan.
11. Kemampuan untuk bias menerima tuntutan perusahaan yang mungkin
berlawan dengan kepentingan pribadi.
12. Membangun hubungan sosial dengan karyawan lain di luar pekerjaan.
13. Patuh kepada kebiasaan-kebiasaan organisasi atau kelompok kerja untuk
hal-hal yang tidak secara langsung berkaitan dengan kinerja.
14. Melakukan studi lanjut di luar waktu kerja perusahaan.
4.26 Manajemen Perubahan 

15. Mempertahankan citra perusahaan yang baik di hadapan masyarakat


umum.
16. Menginternalisasi nilai-nilai dan tujuan perusahaan ke dalam diri
karyawan.
17. Kemampuan untuk memahami apa yang seharusnya dilakukan dan
memiliki inisiatif untuk melakukan kegiatan-kegiatan yang tepat.

Ketiga, kontrak psikologis bersifat saling bergantung (interdependent).


Dikatakan demikian karena kontrak psikologis melibatkan dua pihak yang
saling berinteraksi dalam hubungan kerja dan keduanya saling membutuhkan
satu sama lain. Hal ini bisa diartikan bahwa dalam kontrak psikologis setiap
orang perlu mengetahui apa dan kepada siapa mereka harus bergantung.
Saling kebergantungan ini membawa akibat salah satu pihak sangat
mengandalkan dan mempunyai kepercayaan penuh kepada pihak lain sebagai
tempat bergantung. Atau dengan kata lain, kontrak psikologis mempengaruhi
loyalitas kedua belah pihak.
Keempat, kontrak psikologis mengandung unsur jarak psikologis. Di satu
sisi kedua belah pihak dituntut memiliki hubungan yang sangat dekat agar
bisa saling berbagi informasi sehingga hubungan kerja berjalan lancar.
Kedekatan hubungan secara psikologis juga bisa mengurangi tingkat stres di
antara keduanya. Di sisi lain, kedua belah pihak juga dituntut untuk menjaga
jarak agar tidak merasa ada tekanan-tekanan yang mengganggu hubungan
kerja. Dengan demikian, sejauh mana kedua belah perlu mendekat satu sama
lain sangat bergantung pada konteks yang mempengaruhi hubungan tersebut.
Faktor-faktor yang perlu dipertimbangkan adalah tuntutan kerja, bagaimana
masyarakat mendefinisikan legitimasi dan prasyarat personal masing-masing
dalam hubungan kerja.
Kelima, kontrak psikologis tidak hanya terjadi pada saat kedua belah
pihak pertama kali menjalin hubungan kerja. Kontrak psikologis juga tidak
bersifat statis. Sebaliknya kontrak psikologis akan terjadi sepanjang kedua
belah pihak masih menjalin hubungan kerja dan selama itu pula kontrak
psikologis akan diperbaharui baik secara langsung maupun tidak. Oleh
karenanya kontrak psikologis bersifat dinamik. Artinya, pada saat pertama
kali kontrak disepakati, masing-masing pihak memiliki harapan tertentu
kepada pihak lain. Namun sejalan dengan perubahan waktu sangat mungkin
harapan tersebut mengalami perubahan. Perubahan harapan yang
menyebabkan perubahan pada kewajiban masing-masing inilah yang
 EKMA4565/MODUL 4 4.27

menyebabkan perubahan kontrak psikologis. Dengan kata lain kontrak


psikologis dapat berubah setiap saat dan perubahannya biasanya dilakukan
tanpa adanya pemberitahuan ke pihak lain secara formal. Robinson, Kraatz &
Rousseau (1994) misalnya mengatakan selama dua tahun pertama seorang
karyawan bekerja, mereka merasa kurang memiliki kewajiban kepada
perusahaan; sebaliknya perusahaan merasa memiliki kewajiban lebih besar
kepada karyawan. Yang juga perlu menjadi catatan di sini adalah perubahan
kontrak psikologis bukan hanya terjadi karena harapan masing-masing
berubah, tetapi perubahan kontrak psikologis bisa disebabkan karena
perubahan organisasi. Uraian detail tentang dampak perubahan organisasi
terhadap kontrak psikologis akan dibahas tersendiri.
Sejalan dengan semakin populer dan maraknya kajian tentang kontrak
psikologis, konsep tentang kontrak psikologis juga mengalami
perkembangan. Akibatnya definisi kontrak psikologis juga mengalami
penyempurnaan. Salah satu definisi yang banyak dikutip oleh penulis lain
adalah definisi kontrak psikologis yang dikemukakan oleh Denise Rousseau
dan koleganya. Rousseau (1989, 1990) dan Robinson & Rousseau (1994)
misalnya menyatakan bahwa kontrak psikologis merupakan keyakinan
individual tentang kewajiban timbal balik antara satu pihak dengan pihak lain
yakni antara karyawan dengan organisasi mengenai ketentuan dan kondisi
tertentu. Definisi ini menegaskan bahwa kontrak psikologis pada dasarnya
adalah sebuah keyakinan atau persepsi masing-masing pihak bahwa kedua
belah pihak telah membuat kontrak meski sekali lagi kontrak tersebut bersifat
informal dan tidak tertulis. Jadi, kontrak psikologis muncul ketika salah satu
pihak (misalnya karyawan) percaya/yakin bahwa perusahaan telah berjanji
(meski bersifat implisit) tidak akan memPHK dirinya di waktu akan datang
dan oleh karenanya ia berkontribusi kepada perusahaan dengan bekerja keras
maka saat itu itulah timbul kewajiban dari pihak perusahaan untuk menepati
janji tersebut di waktu mendatang. Pada saat yang sama pihak perusahaan
juga memiliki keyakinan sebaliknya terhadap karyawan bahwa karyawan
akan memberikan yang terbaik bagi perusahaan sebagai imbalan atas
fasilitas-fasilitas yang diberikan kepadanya sehingga timbul kewajiban
karyawan untuk memenuhi janjinya.
Uraian di atas menunjukkan bahwa kontrak psikologis bersifat subyektif.
Sering dikatakan bahwa kontrak psikologis “reside in the eyes of the
beholder – bergantung bagaimana si pemegang kontrak menyepakatinya.
Artinya, meski keyakinan terhadap kewajiban bersama merupakan unsur dari
4.28 Manajemen Perubahan 

terbentuknya kontrak psikologis, belum tentu kedua belah pihak sepakat


bahwa masing-masing pihak percaya jika kontrak tersebut benar-benar ada.
Sebagai contoh, dalam kontrak psikologis karyawan belum tentu yakin
bahwa majikan akan memberikan imbalan sepadan meski ia sendiri telah
berjanji untuk memberikan yang terbaik bagi perusahaan. Demikian
sebaliknya, majikan belum tentu yakin bahwa karyawan akan memberikan
yang terbaik manakala ia memberikan imbalan yang pantas. Oleh sebab itu
tidak berlebihan jika dikatakan kedua belah pihak sepertinya memiliki
keyakinan berbeda tentang kewajiban masing-masing terhadap pihak lain.
Disinilah uniknya kontrak psikologis yang bersifat implisit dan tidak
tertulis, kedua belah pihak belum tentu mempunyai pemahaman yang sama
terhadap semua isi kontrak. Masing-masing pihak hanya yakin bahwa kedua
belah pihak memiliki interpretasi yang sama terhadap isi kontrak. Akibatnya
kontrak psikologis rentan terhadap pelanggaran (violation) meski di antara
mereka tidak merasa telah melakukan pelanggaran terhadap isi kontrak
sehingga tidak jarang pula terjadi pemutusan kontrak (contract breach).
Ketika sebuah perusahaan memutuskan untuk melakukan perubahan
organisasi misalnya, pihak perusahaan merasa tidak ada yang keliru dengan
keputusan tersebut. Perubahan organisasi dianggap sebagai konsekuensi logis
dari perubahan lingkungan yang menuntut perusahaan juga harus berubah
demi kelangsungan hidup perusahaan tersebut. Namun tidak demikian
dengan karyawan. Bagi sekelompok karyawan perubahan organisasi
merupakan sinyal bahwa pihak perusahaan telah melakukan pelanggaran
kontrak. Bagi karyawan perubahan organisasi dianggap mengganggu
kehidupan kerja dan hubungan kerja dengan perusahaan, minimal
mengganggu rutinitas kehidupan kerja mereka. Dampak lanjutannya adalah
karyawan merasa saatnya untuk melakukan pemutusan kontrak psikologis.
Uraian detail tentang dampak perubahan organisasi terhadap kontrak
psikologis dan implikasinya terhadap kinerja dan kepuasan kerja karyawan
akan dibahas pada bagian berikutnya.

D. DAMPAK PERUBAHAN ORGANISASI TERHADAP KONTRAK


PSIKOLOGIS

Dampak perubahan organisasi terhadap pelanggaran kontrak psikologis


misalnya dikemukakan oleh Turnley & Feldman (1998). Kedua peneliti ini
mengelompokkan 4 macam respon karyawan terhadap restrukturisasi
 EKMA4565/MODUL 4 4.29

perusahaan. Kelompok pertama menganggap bahwa perusahaan tempat


mereka bekerja masih memiliki komitmen untuk memenuhi kontrak yang
telah mereka buat. Jadi mereka menganggap tidak ada kontrak yang
dilanggar. Kelompok kedua merasa tidak ada kontrak yang dilanggar karena
sejak semula mereka merasa tidak pernah membuat kontrak psikologis.
Kelompok ketiga menganggap bahwa perubahan organisasi merupakan
sesuatu yang normal dalam kehidupan bisnis sehingga kalaulah terjadi
perubahan dalam kehidupan kerja, hal ini merupakan kejadian yang juga
normal. Kelompok ini justru menganggap saat membuat kontrak karyawan
salah mengerti tentang situasi bisnis yang selalu mengalami perubahan
seolah-olah organisasi tidak pernah berubah dan kontrak psikologis tidak
pernah berubah pula. Kelompok keempat merasa bahwa perusahaan telah
membuat pelanggaran serius terhadap kontrak psikologis saat perusahaan
melakukan restrukturisasi perusahaan. Kelompok terakhir ini menganggap
bahwa perusahaan telah melanggar beberapa poin penting dari isi kontrak
sehingga mengganggu kepuasan kerja mereka.
Tanggapan karyawan yang berbeda terhadap restrukturisasi perusahaan
dan implikasikanya terhadap kontrak psikologis menunjukkan bahwa
masing-masing individu memiliki pemahaman yang berbeda tentang faktor-
faktor yang membentuk kontrak psikologis. Sebagian karyawan
menginterpretasikan restrukturisasi perusahaan yang berakibat pada
berkurangnya penerimaan seperti yang dijanjikan sebelumnya sebagai bentuk
pelanggaran. Sebagian yang lain tidak menganggap demikian jika
penerimaannya masih sama. Sebagian karyawan lain mencoba menelaah
situasi berjalan untuk bisa memahami mengapa perusahaan tidak memegang
janjinya. Sementara itu sebagian karyawan yang lain lagi menganggap bahwa
perusahaan tidak bisa memegang janjinya lebih disebabkan karena situasi
berjalan merupakan faktor di luar kendali mereka karena adanya tekanan-
tekanan yang bersifat eksternal. Meski kecewa, karyawan tersebut tidak
menganggap perusahaan melanggar kontrak. Di sisi lain, jika karyawan
menganggap bahwa perusahaan betul-betul mengingkari komitmen dan
komitmen tersebut sangat penting bagi masa depan karyawan maka karyawan
merasa bahwa perusahaan telah melanggar kontrak.
Turnley & Feldman (1998) selanjutnya menyatakan, ketika karyawan
merasa terjadi pelanggaran terhadap kontrak psikologis sebagai akibat
restrukturisasi perusahaan maka komponen kontrak yang umumnya dilanggar
– menurut persepsi karyawan adalah: keamanan kerja, keputusan perusahaan
4.30 Manajemen Perubahan 

yang dilakukan sepihak tanpa melibatkan karyawan, kesempatan karyawan


untuk mengembangkan diri, tunjangan kesehatan, dan kekuasaan dan
tanggung jawab karyawan. Bagi karyawan yang bermaksud menjalin
hubungan kerja jangka panjang atau sepanjang hidup (long life employment)
gangguan terhadap keamanan kerja dianggap sebagai ancaman serius dalam
hidup mereka. Demikian juga pengambilan keputusan tentang restrukturisasi
yang tidak melibatkan karyawan dianggap sebagai bentuk arogansi
perusahaan. Restrukturisasi juga dianggap akan menghambat karir seseorang.
Tidak kalah pentingnya adalah jaminan kesehatan yang tidak lagi akan
diperoleh karyawan jika sampai restrukturisasi mengakibatkan mereka
dipecat. Selanjutnya karyawan juga merasa tidak lagi memiliki kekuasaan
dalam menjalankan tugas dan kehilangan tanggung jawabnya manakala
restrukturisasi menyebabkan dirinya diberhentikan dari pekerjaan. Walhasil
secara umum restrukturisasi perusahaan menyebabkan kehidupan karyawan
terusik khususnya bagi mereka yang merasa kontrak psikologisnya dilanggar.

E. PROSES TRANSISI INDIVIDU

Dampak perubahan organisasi terhadap individu karyawan seperti telah


dijelaskan pada uraian sebelumnya menghasilkan dua situasi yang
berlawanan. Di satu sisi sebagian karyawan merasa tidak ada masalah dengan
perubahan dan bahkan mereka sangat antusias untuk terlibat di dalamnya.
Hanya saja tidak semua karyawan merespon perubahan secara positif.
Sebaliknya, sebagian besar karyawan justru punya kecenderungan merespon
perubahan secara negatif. Penyebabnya tidak lain karena bayangan suram
tentang masa depannya yang serba tidak pasti jika perubahan betul-betul
terealisir. Akibatnya mereka merasa skeptis terhadap para pimpinan mereka,
sinis, frustrasi, marah dan hilang kepercayaan dirinya. Ujung-ujungnya
kinerja dan kepuasan kerja mereka menurun drastis.
Terlepas apakah karyawan menanggapi perubahan secara positif atau
negatif, manajer perubahan memiliki perspektif berbeda. Bagi manajer,
perubahan harus tetap berjalan. Artinya, karyawan sesungguhnya tidak bisa
menghindar dari perubahan. Dengan demikian bagi mereka yang mengalami
masalah dengan perubahan pada dasarnya memiliki dua opsi: Opsi pertama
adalah pindah kerja. Opsi ini sepertinya akan menyelesaikan persoalan
karyawan karena mereka akan terbebas dari hiruk-pikuk perubahan. Namun
yang menjadi masalah adalah bagi karyawan yang prestasinya sedang-sedang
 EKMA4565/MODUL 4 4.31

saja (mediocre) tentu tidak mudah pindah kerja apalagi jika mereka sudah
cukup umur. Kelompok ini tergolong berada pada posisi sulit dan cenderung
memiliki tingkat resistensi paling tinggi terhadap perubahan. oleh karena itu
opsi kedua harus ditempuh yakni tetap bersama dengan organisasi lama
dengan segala konsekuensi yang akan dihadapi. Salah satunya adalah, suka
atau tidak, karyawan harus terus bergerak menyesuaikan diri dengan tuntutan
perubahan jika menginginkan dirinya masih tetap bersama organisasi.
Dengan kata lain, karyawan harus melakukan perubahan individual agar bisa
menerima proses perubahan organisasi. Namun proses perubahan individu
juga bukan hal yang mudah dilakukan. Perubahan individu membutuhkan
masa transisi yang kadang-kadang membutuhkan waktu panjang. Dengan
menggunakan model yang dibangun Elizabeth Kubler-Ross yang dikenal
dengan proses transisi 5 tahap (five stages model), Freeman (1996) misalnya
mengatakan adanya lima tahapan yang akan dialami seseorang ketika mereka
menghadapi perubahan:
1. Mengingkari (denial): Seseorang mengingkari atau tidak mau mengakui
jika kehilangan sesuatu betul-betul tidak bisa dihindarkan.
2. Marah atau gampang marah: seseorang mulai mempertanyakan mengapa
semua ini harus terjadi sehingga perasaan marah tidak terhindarkan.
3. Tawar menawar (bargaining): Orang tersebut mencoba menunda apa
yang sesungguhnya tidak bisa dihindari dengan memohon kepada
otoritas yang lebih tinggi. Permohonan tersebut berupa berjanji untuk
berprilaku tertentu atau mau melakukan pengorbanan jika
permohonannya dikabulkan.
4. Depresi dan mulai bisa menerima keadaan: Periode ketidakberdayaan
yang dialami selama ini pada akhirnya menghasilkan sebuah pengakuan
bahwa kehilangan betul-betul tidak bisa dihindarkan.
5. Bisa menerima keadaan (acceptance): Menunjukkan sikap yang lebih
positif terhadap kehilangan dan Ia mulai mau berajak dari situasi saat ini.

Proses seperti tersebut di atas disebut sebagai proses transisi emosi


(emotional transition process) yang dialami seseorang. Situasi seperti ini
akan dialami seseorang sepanjang berlangsungnya perubahan organisasi.
Artinya sangat boleh jadi transisi emosi seseorang tidak hanya terjadi sekali
tetapi bisa berkali-kali sampai berakhirnya perubahan organisasi. Hal ini
ditegaskan Devine et al. sebagaimana dikutip Holbeche, (2006). Dalam
konteks merger dan akuisisi, Devine et al. mengatakan bahwa proses transisi
4.32 Manajemen Perubahan 

emosi yang dialami karyawan sudah mulai terjadi saat pengumuman merger
dan akuisisi kemudian berulang ketika proses merger dan akuisisi terus
berlanjut. Selengkapnya dilihat pada Gambar 4. 5 sebagai berikut.

Pengumuman

Level Kehilangan
pekrjaan Relokasi
kekhawatiran Kerja dengan
Gaji dan tim baru
prasyarat
Struktur baru

Penunjukkan

Waktu

Gambar 4.5.
Proses transisi selama merger dan akuisisi

Tampak pada Gambar 4.5 bahwa transisi individual tidak terjadi secara
linear melainkan terjadi secara bergelombang. Pada awalnya saat terjadi
pengumuman merger dan akuisisi tingkat kekhawatiran karyawan meninggi
namun setelah itu menurun. Sebelum kekhawatirannya betul-betul menurun
pada titik terendah karyawan dihadapkan pada kekhawatiran baru. Tingkat
kekhawatiran karyawan kembali meninggi ketika merasa bahwa dia akan
menjadi korban merger yakni mereka akan kehilangan pekerjaan. Jika
kenyataan ini tidak terbukti kekhawatiran kembali menurun. Untuk
sementara karyawan akan merasa aman karena masih bisa terus bekerja.
Meski demikian, kekhawatiran karyawan boleh jadi muncul kembali ketika
perusahaan memutuskan untuk merombak struktur organisasi. Perubahan
struktur organisasi akan diinterpretasikan karyawan sebagai perubahan posisi
kerja atau beban kerja yang semakin meningkat tanpa diikuti oleh imbalan
yang lebih besar. Faktor inilah yang menyebabkan karyawan merasa
khawatir. Kekhawatiran akan mereda manakala perusahaan selesai menata
organisasi baru dan ternyata karyawan tidak terkena dampaknya. Proses
seperti ini akan terus berlangsung sesuai dengan berjalannya waktu sampai
karyawan betul-betul merasa aman yakni ketika jalannya organisasi sudah
kembali normal.
 EKMA4565/MODUL 4 4.33

Naik turunnya kekhawatiran karyawan seperti disebutkan pada contoh di


atas sering disebut sebagai emotional roller coaster. Disebut demikian karena
karyawan mengalami emosi yang tidak stabil selama mereka menghadapi
perubahan organisasi. Kapan berakhirnya emotional roller coaster tersebut
tidak bisa ditentukan secara pasti. Masing-masing karyawan memiliki tingkat
emosional berbeda sehingga masa adaptasinya pun berbeda; bisa cepat dan
bisa juga lambat bergantung pada kapabilitas emosional karyawan dalam
menghadapi perubahan. Agar kekhawatiran atau emosi karyawan tidak
terombang-ambing oleh perubahan organisasi, di satu sisi karyawan itu
sendiri harus mampu mengatasinya. Namun jika karyawan tersebut
menganggap bahwa dirinya tidak bisa mengontrol situasi yang mengancam
dan lingkungan kerja cenderung tidak stabil maka cara mengatasi persoalan
ini tidak bisa diserahkan semata-mata kepada karyawan. Disinilah dukungan
organisasi menjadi penting. Misalnya, saat karyawan mengingkari bahwa ada
sesuatu yang akan hilang, pihak manajer harus sabar, mau mendiskusikan
masalah yang dihadapi karyawan dan memberi perhatian terhadap sinyal-
sinyal kecil yang ditunjukkan karyawan. Pihak manajer juga harus mau
mendengar dan menawarkan dukungan ketika kondisi emosional karyawan
berada pada titik yang paling rendah. Saat itu tidak bisa dipungkiri jika
karyawan menyalahkan pihak perusahaan, apatis, dan menunjukkan bentuk-
bentuk gejolak emosi lainnya. Itulah sebabnya mengelola faktor manusia
dalam konteks perubahan organisasi menjadi isu penting yang harus
mendapat perhatian para manajer.

F. MENGELOLA MANUSIA PADA SAAT IMPLEMENTASI


PERUBAHAN

Setelah memahami berbagai masalah yang dihadapi karyawan saat


mereka berhadapan dengan perubahan, kini perhatian kita arahkan kepada
cara mengelola faktor manusia agar semua dampak negatif yang ditimbulkan
perubahan bisa diminimalisir sekecil mungkin sehingga tujuan perubahan
bisa tercapai. Perhatian terhadap pengelolaan manusia sekali lagi menjadi isu
penting mengingat manusia memegang peran krusial dalam perubahan
organisasi. Memang dalam situasi perubahan tidak semua karyawan
meresponsnya secara negatif. Tetapi harus disadari bahwa sebagai besar
karyawan cenderung merespon perubahan dengan sinis dan kelesuan. Bahkan
karyawan yang memiliki motivasi diri yang sangat tinggi sekalipun bias jadi
4.34 Manajemen Perubahan 

merespon perubahan dengan resistensi jika mereka tidak melihat keuntungan


yang bakal mereka peroleh. Selain itu mengelola manusia dalam situasi
perubahan juga bukan pekerjaan mudah lebih-lebih jika pihak manajemen
khususnya manajer lini yang bertanggung jawab langsung terhadap
pengelolaan manusia tersebut juga merasa tidak aman akan posisi yang
sekarang ditempatinya, tidak yakin apakah perubahan merupakan tindakan
yang bijak dan tidak memiliki informasi lengkap tentang perubahan yang
akan dilaksanakan.
Dari penjelasan di atas, uraian akan difokuskan pada peran manajer lini
dalam memandu pengelolaan manusia dalam implementasi perubahan
organisasi. Holbeche (2006) misalnya mengatakan bahwa peran yang harus
dimainkan seorang manajer lini saat implementasi berubahan adalah:
1. Menciptakan iklim yang mendukung perubahan organisasi. Cara yang
bias dilakukan adalah mengaitkan budaya organisasi, sistem imbalan,
kebijakan perusahaan, prosedur kerja, sistem organisasi dan norma
prilaku yang kesemuanya itu pada akhirnya bias mendukung perubahan
yang diharapkan. Untuk itu, lini manajer tidak diposisikan sebagai
seorang komando yang hanya melakukan command and control tetapi
harus bergaya sebagai seorang manajer yang partisipatif dan fasilitatif.
Di sisi lain, karyawan diajak untuk ikut bertanggung jawab dalam
perubahan dan terus melakukan continuous improvement.
2. Mengolah resistensi karyawan terhadap perubahan.
3. Membangun kembali energi karyawan yang mengalami dimotivasi
karena perubahan.
4. Membekali karyawan keterampilan yang dibutuhkan agar bias
berpartisipasi dalam perencanaan dan implementasi perubahan.
5. Mengelola kinerja.
6. Mendorong karyawan agar mau mencoba cara kerja baru dalam
menjalankan kegiatan organisasi.
7. Menerapkan perbaikan berkelanjutan (continuous improvement).
8. Memastikan bahwa load pekerjaan dikelola secara efektif sehingga
karyawan tidak tenggelam dalam kegiatan kerja.
 EKMA4565/MODUL 4 4.35

LAT IH A N

Untuk memperdalam pemahaman Anda mengenai materi di atas,


kerjakanlah latihan berikut!

1) Proses perubahan individu saat menghadapi perubahan terdiri dari


7 tahapan. Jelaskan tahapan tersebut!
2) Karyawan akan mengalami schock ketika mendengar bahwa organisasi
akan melakukan perubahan. Sehingga karyawan akan merasa kehilangan
banyak hal ketika organisasi mengalami perubahan. Jelaskan bentuk
kehilangan yang akan dialami karyawan tersebut!
3) Jelaskan mengenai sifat dari kontrak psikologis yang merupakan salah
satu dampak dari perubahan yang bersifat psikologis!

Petunjuk Jawaban Latihan

1) Tahapan dalam proses perubahan individu yaitu:


Tahap 1: terjadinya discrepancy atau inkonsistensi antara schema yang
telah dibangun karyawan dengan kondisi riil karena
perubahan.
Tahap 2: karyawan menunjukkan reaksi emosional terhadap adanya
inkonsistensi.
Tahap 3: karyawan menelusuri sebab-sebab terjadinya inkonsistensi.
Karyawan mencoba mengarahkan perhatiannya pada hal-hal
atau masalah yang membebani mereka dan melihat peluang
untuk keluar dari persoalan tersebut.
Tahap 4: karyawan mengumpulkan informasi-informasi baru agar bisa
memahami apa yang sesungguhnya sedang terjadi.
Tahap 5: karyawan mempertanyakan apakah schema yang telah
dibangun sebelumnya masih relevan dengan kondisi berjalan.
Tahap 6: karyawan mencari tambahan informasi baru untuk
membangun schema baru karena menganggap schema lama
sudah tidak cocok lagi dengan kondisi berjalan.
Tahap 7: karyawan memahami bahwa schema yang telah dibangun
sebelumnya dianggap tidak cocok lagi dengan kondisi saat ini
saat terjadi perubahan organisasi.
4.36 Manajemen Perubahan 

2) Bentuk kehilangan yang dialami karyawan jika karyawan mengalami


schock ketika mendengar bahwa organisasi akan melakukan perubahan
antara lain:
a) Loss of Attachment yaitu perubahan organisasi dapat merubah pola
hubungan yang sudah terbentuk selama ini, sehingga pola-pola
hubungan informal yang membentuk keterikatan menjadi berubah.
b) Loss of Structure yaitu perubahan pada pola pekerjaan, struktur
organisasi, kebijakan organisasi, jadwal kerja mengakibatkan orang
merasa kehilangan atas struktur dan keteraturan kerja yang selama
ini diakrabinya.
c) Loss of Control yaitu proses perubahan menuju ke arah yang
diinginkan, kerap anggota organisasi merasa kehilangan kontrol atas
pekerjaan yang selama ini dimilikinya, lebih-lebih pada umumnya
perubahan organisasi bersifat top-down.
d) Loss of Meaning yaitu perubahan akan mengubah makna yang
selama ini menjadi pegangan anggota organisasi, sementara makna
yang baru belum diterima dan masih terbentuk. Usaha pencarian
makanya ini menyebabkan gossip menjadi meningkat dalam
organisasi.
e) Loss of Future yaitu perubahan yang dilakukan akan menyebabkan
kekacauan mengenai masa depan yang sudah dimiliki anggota
organisasi dalam bentuk harapan, sementara masa depan perubahan
itu sendiri belum jelas bagi dirinya.

3) Sifat dari kontrak psikologis karyawan dalam menghadapi perubahan,


yaitu:
a) Kontrak psikologis yang bersifat “implisit” dibuat dua belah pihak –
antara seseorang (seorang karyawan) dengan organisasi tempat
kerja, yang menjelaskan ekspektasi masing-masing pihak tentang
apa yang bisa mereka berikan dan apa akan diterima dalam
kaitannya dengan hubungan kerja.
b) Kontrak psikologis yang bersifat “harapan”. Harapan tersebut adalah
dari salah satu pihak kepada pihak lainnya. Kedua belah pihak
sangat diharapkan bisa memenuhi harapan-harapan tersebut. Hanya
saja dalam praktik tidak jarang harapan kedua belah pihak tidak
sama walaupun bukan berarti harapan kedua belah pihak selalu
berbeda.
 EKMA4565/MODUL 4 4.37

c) Kontrak psikologis yang bersifat “saling bergantung


(interdependent)”. Kontrak psikologis ini melibatkan dua pihak
yang saling berinteraksi dalam hubungan kerja dan keduanya saling
membutuhkan satu sama lain. Hal ini bisa diartikan bahwa dalam
kontrak psikologis setiap orang perlu mengetahui apa dan kepada
siapa mereka harus bergantung.
d) Kontrak psikologis yang bersifat “unsur jarak psikologis”. Kedua
belah pihak dituntut memiliki hubungan yang sangat dekat agar bisa
saling berbagi informasi sehingga hubungan kerja berjalan lancar.
Kedekatan hubungan secara psikologis juga bisa mengurangi tingkat
stres di antara keduanya. Di sisi lain, kedua belah pihak juga
dituntut untuk menjaga jarak agar tidak merasa ada tekanan-tekanan
yang mengganggu hubungan kerja.
e) Kontrak psikologis bersifat “dinamik”. Kontrak psikologis akan
terjadi sepanjang kedua belah pihak masih menjalin hubungan kerja
dan selama itu pula kontrak psikologis akan diperbaharui baik secara
langsung maupun tidak. Artinya, pada saat pertama kali kontrak
disepakati, masing-masing pihak memiliki harapan tertentu kepada
pihak lain.

R A NG KU M AN

Setiap perubahan organisasi pasti melibatkan manusia dalam


prosesnya, bahkan manusia bisa disebut sebagai pelaku utama dan faktor
kunci keberhasilan atau kegagalan perubahan. Adapun penyebabnya
tidak lain karena manusia itu sendiri memiliki peran sentral dalam
kehidupan organisasi. Berhasil atau tidaknya perubahan organisasi
sangat bergantung pada kemauan manusia untuk mendukung perubahan.
Untuk memperoleh gambaran lebih detail tentang dampak
perubahan organisasi terhadap karyawan, maka akan difokuskan pada
beberapa topik yang terkait dengan dampak perubahan yang bersifat
psikologis, di antaranya adalah sebagai berikut:
1. Dimensi tersembunyi dalam perubahan.
2. Aspek emosi dalam perubahan.
3. Proses transisi individu.
4. Kontrak psikologis.
4.38 Manajemen Perubahan 

Perubahan individu membutuhkan masa transisi yang kadang-


kadang membutuhkan waktu panjang. Model proses transisi terdapat 5
tahap (five stages model), Freeman (1996) yang akan dialami seseorang
ketika mereka menghadapi perubahan, seperti: mengingkari; marah atau
gampang marah; tawar menawar (bargaining); depresi dan mulai bisa
menerima keadaan; dan bisa menerima keadaan (acceptance).
Perhatian terhadap pengelolaan manusia sekali lagi menjadi isu
penting mengingat manusia memegang peran krusial dalam perubahan
organisasi. Memang dalam situasi perubahan tidak semua karyawan
meresponsnya secara negatif. Tetapi harus disadari bahwa sebagian
besar karyawan cenderung merespon perubahan dengan sinis dan
kelesuan. Bahkan karyawan yang memiliki motivasi diri yang sangat
tinggi sekalipun bisa jadi merespon perubahan dengan resistensi jika
mereka tidak melihat keuntungan yang bakal mereka peroleh.

TES F OR M AT IF 1

Pilihlah satu jawaban yang paling tepat!

1) Kepentingan masing-masing individu berbeda maka berpolitik di dalam


organisasi sesungguhnya merupakan hal yang lumrah terjadi mengingat
politik identik dengan ....
A. kemajuan zaman dalam berorganisasi
B. kepentingan dirinya dalam organisasi
C. kepemimpinan untuk mengejar kekuasaan
D. kewenangan dan kekuasaan dalam alam demokrasi

2) Ketika seorang karyawan pernah berhadapan dengan perubahan maka


perubahan berikutnya boleh jadi akan lebih mudah karena mereka telah
memiliki schema yang tersimpan dalam memorinya terutama jika
pengalaman perubahan yang pernah terjadi sebelumnya tidak terlalu
membebani dirinya. Hal ini termasuk dampak psikologis perubahan
organisasi pada sisi ....
A. dimensi tersembunyi dalam perubahan
B. aspek emosi dalam perubahan
C. proses transisi individu
D. kontrak psikologis
 EKMA4565/MODUL 4 4.39

3) Sebagian karyawan menginterpretasikan restrukturisasi perusahaan yang


berakibat pada berkurangnya penerimaan seperti yang dijanjikan
sebelumnya, merupakan
A. tindakan yang didukung oleh semua karyawan
B. pembelaan manajemen dalam rangka efisiensi
C. bentuk pelanggaran manajemen dalam informasi
D. skala perubahan efisiensi organisasi

4) Suka atau tidak, karyawan harus terus bergerak menyesuaikan diri


dengan tuntutan perubahan jika ....
A. dirinya mampu berkinerja lebih berkualitas
B. menginginkan dirinya masih tetap bersama organisasi
C. perubahan mampu memberikan kenyamanan dalam organisasi
D. meningkatkan keefektifan struktur organisasi yang lebih baik.

5) Kekhawatiran karyawan boleh jadi muncul kembali ketika perusahaan


memutuskan untuk ....
A. merombak struktur organisasi
B. menambah beban organisasi
C. merubah organisasi secara radikal
D. membahayakan organisasi yang akan direstrukturisasi

Cocokkanlah jawaban Anda dengan Kunci Jawaban Tes Formatif 1 yang


terdapat di bagian akhir modul ini. Hitunglah jawaban yang benar.
Kemudian, gunakan rumus berikut untuk mengetahui tingkat penguasaan
Anda terhadap materi Kegiatan Belajar 1.

Jumlah Jawaban yang Benar


Tingkat penguasaan =  100%
Jumlah Soal

Arti tingkat penguasaan: 90 - 100% = baik sekali


80 - 89% = baik
70 - 79% = cukup
< 70% = kurang

Apabila mencapai tingkat penguasaan 80% atau lebih, Anda dapat


meneruskan dengan Kegiatan Belajar 2. Bagus! Jika masih di bawah 80%,
Anda harus mengulangi materi Kegiatan Belajar 1, terutama bagian yang
belum dikuasai.
4.40 Manajemen Perubahan 

Kegiatan Belajar 2

Kepemimpinan dalam
Perubahan Organisasi

K epemimpinan merupakan salah satu topik penting dalam perubahan


organisasi. Dalam banyak hal keberhasilan atau kegagalan perubahan
organisasi mencapai tujuan yang diharapkan biasanya tidak bisa dipisahkan
dari kualitas pimpinan dan sangat tergantung pada kemampuan Sang
Pemimpin memainkan perannya. Begitu pentingnya masalah kepemimpinan
dalam perubahan organisasi menjadikan pemimpin selalu menjadi fokus
atribusi terhadap keberhasilan atau kegagalan perubahan organisasi. Jika
sebuah perusahaan gagal mengimplementasikan perubahan organisasi bukan
perubahannya yang dibubarkan atau karyawannya yang dipecat tetapi
pemimpinnya yang biasanya menjadi korban. Schein (1992) dan Kouzes &
Posner (1987) misalnya menyatakan bahwa pemimpin mempunyai pengaruh
yang sangat besar terhadap keberhasilan dan kegagalan organisasi dalam
menghadapi tantangan yang muncul. Hal itu menjadikan pemimpin
memegang peranan kunci dalam memformulasikan dan mengimplementasi-
kan strategi perubahan organisasi sehingga peranannya akan mempengaruhi
keberhasilan perubahan organisasi (untuk penjelasan lebih detail lihat
misalnya, Nahavandi & Malekzadeh, 1993).

A. PENGERTIAN PEMIMPIN DAN KEPEMIMPINAN

Pemimpin dan kepemimpinan adalah dua kata yang saling terkait,


masing-masing dengan kata dasar pimpin. Dengan awalan pe kata pimpin
menjadi pemimpin yang berarti orang yang memimpin dan kepemimpinan
adalah hal-hal yang berhubungan dengan pemimpin. Dalam bahasa Inggris
memimpin berarti ”to lead”. Kata to lead itu sendiri berasal dari kata laedere
yang berarti people on journey – orang dalam perjalanan (Cater, 1997). Dari
asal kata tersebut bisa dikatakan bahwa memimpin berarti membuat orang
lain bergerak. Namun dalam keseharian, istilah kepemimpinan sering
digunakan untuk tujuan berbeda pada situasi berbeda. Istilah kepemimpinan
misalnya digunakan untuk menunjukkan posisi seseorang di dalam
organisasi. ”Semua orang yang mempunyai posisi kepemimpinan diharap
 EKMA4565/MODUL 4 4.41

datang pada seminar yang akan kami selenggarakan besok pagi” adalah satu
contoh yang menunjukkan bahwa posisi seseorang di dalam organisasi
identik dengan pemimpin. Kepemimpinan juga digunakan untuk menjelaskan
karakteristik seseorang ”Supervisor kita yang baru tidak memiliki jiwa
kepemimpinan seperti supervisor kita sebelumnya”. Kata jiwa kepemimpinan
seolah-olah menunjukkan bahwa kepemimpinan merupakan sifat seseorang.
Meski kedua contoh di atas berkaitan dengan kepemimpinan, keduanya
belum memberi pemahaman umum tentang pemimpin dan kepemimpinan.
Tidak bisa dipungkiri bahwa mendefinisikan kepemimpinan bukan
pekerjaan mudah karena masing-masing pakar memberi tekanan berbeda
untuk kata yang sama – kepemimpinan. Bass (1990) misalnya
mengidentifikasi beragam definisi kepemimpinan sebagai berikut:
1. Pemimpin sebagai fokus atau titik sentral dari proses kelompok.
Definisi-definisi awal tentang pemimpin dan kepemimpinan
menunjukkan adanya kecenderungan dalam melihat pemimpin sebagai
seseorang yang berada di tengah-tengah kelompok dan menjadi pusat
perubahan, pergerakan dan aktivitas kelompok.
2. Kepemimpinan sebagai kepribadian yang berdampak pada orang lain.
Para teoritis kepribadian cenderung menganggap bahwa seorang
pemimpin adalah orang yang memiliki kepribadian yang berbeda dengan
kepribadian para pengikutnya sehingga ia bisa menggerakkan orang lain.
J. Steven Ott (1996) misalnya mendefinisikan kepemimpinan sebagai
proses hubungan antar pribadi yang di dalamnya seseorang
mempengaruhi sikap, kepercayaan, dan khususnya perilaku orang lain.
3. Kepemimpinan sebagai tindakan yang menyebabkan orang lain patuh.
Pemimpin adalah seorang yang secara sepihak mampu mengendalikan
orang lain untuk memenuhi keinginan Sang Pemimpin.
4. Kepemimpinan sebagai pelaksanaan mempengaruhi. Kepemimpinan
menurut pandangan ini tidak lain adalah proses mempengaruhi aktivitas
kelompok dalam upayanya untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan.
5. Kepemimpinan sebagai sebuah tindakan atau prilaku. Yang dimaksud
dengan prilaku kepemimpinan seperti dikatakan Fiedler (1967) adalah
sebuah tindakan tertentu yang dilakukan seorang pemimpin dalam
mengarahkan dan mengkoordinasikan kerja kelompok. Termasuk dalam
tindakan ini misalnya membuat struktur hubungan kerja, memuji dan
mengkritik anggota kelompok, dan menunjukkan perhatian terhadap
kesejahteraan dan perasaan anggota kelompok. Sementara itu Katz and
4.42 Manajemen Perubahan 

Khan mengatakan bahwa kepemimpinan adalah sebuah bentuk prilaku


yang menyebabkan seseorang bisa mempengaruhi orang lain (Katz &
Khan, 1978).
6. Kepemimpinan sebagai bentuk persuasi. Kepemimpinan adalah
kemampuan untuk memutuskan apa yang harus dikerjakan dan meminta
orang lain agar mau mengerjakan hal tersebut. Jadi kepemimpinan
adalah seni berhubungan dengan orang lain, yakni seni untuk
mempengaruhi orang lain dengan persuasi atau contoh, bukan paksaan,
agar orang lain mau melakukan sebuah tindakan. Locke et al. (1991)
misalnya mengatakan bahwa kepemimpinan merupakan proses
membujuk orang lain untuk mengambil langkah menuju suatu sasaran
bersama.
7. Kepemimpinan sebagai hubungan kekuasaan. Dalam hal ini
kepemimpinan dikaitkan dengan kekuasaan yang dimiliki seseorang
sehingga dengan kekuasaan tersebut seseorang bisa mengendalikan
tindakan orang lain
8. Kepemimpinan sebagai instrumen untuk mencapai tujuan. Menurut
pandangan ini kepemimpinan hanyalah salah satu insrument yang
kemungkinan tujuan bisa dicapai dan kebutuhan bisa terpenuhi.
9. Kepemimpinan sebagai dampak dari sebuah interaksi. Munculnya
kepemimpinan disebabkan karena terjadinya interaksi di dalam
kelompok. Artinya seseorang belum dianggap sebagai pemimpin
sebelum dirinya berinteraksi dengan orang lain dan diakui oleh orang
lain bahwa dirinya adalah seorang pemimpin.
10. Kepemimpinan sebagai bentuk peran yang berbeda. Dalam sebuah
masyarakat termasuk dalam sebuah organisasi setiap individu menempati
posisi tertentu dan memainkan peran tertentu pula. Jika seseorang bisa
memberi kontribusi yang diperlukan kelompoknya maka orang tersebut
bisa dianggap sebagai pemimpin. Demikian juga jika orang tersebut bisa
diandalkan dalam memberi kontribusi kepada kelompoknya maka dialah
serang pemimpin
11. Kepemimpinan sebagai proses terciptanya struktur. Pandangan ini
mengatakan bahwa kepemimpinan tidak disebabkan karena seseorang
semata-mata menempati sebuah posisi di dalam organisasi atau karena
dia memperoleh peran tertentu tetapi karena dia bisa menginisiasi dan
mempertahankan pola hubungan yang diperankan orang lain.
 EKMA4565/MODUL 4 4.43

Dari beragam pandangan tentang kepemimpinan seperti tersebut di atas,


pada akhirnya dapat diambil inti sari dari kepemimpinan. Pertama,
kepemimpinan merupakan sebuah fenomena kelompok. Seorang pemimpin
tidak akan pernah ada jika tidak ada pengikut. Oleh karena itu kepemimpinan
selalu melibatkan persuasi atau pengaruh. Meski demikian bukan berarti
setiap proses mempengaruhi orang lain adalah sebuah proses kepemimpinan.
Kepemimpinan hanya akan terjadi jika orang yang dipengaruhi mau
melakukan tindakan yang bersifat sukarela, bukan karena diminta, terpaksa
atau karena takut terhadap konsekuensi yang akan dihadapi jika mereka tidak
melakukannya. Kemauan orang lain untuk melakukan tindakan sukarela
inilah yang membedakan kepemimpinan dengan proses mempengaruhi lain
seperti kekuasaan dan otoritas. Dengan kekuasaan atau otoritas misalnya
seseorang bisa mempengaruhi orang lain tetapi orang yang dipengaruhi mau
melakukan tindakan tersebut karena takut atau karena terpaksa harus
melakukannya. Agar orang lain mau melakukan tindakan sukarela, proses
mempengaruhinya kadang-kadang tidak bisa dilakukan seketika melainkan
melalui proses incremental – setahap demi setahap di luar proses keseharian
yang bersifat mekanik dan direktif.
Kedua, pemimpin menggunakan pengaruhnya untuk menuntun orang
lain atau anggota kelompok melakukan tindakan tertentu, termasuk
perubahan organisasi, dalam rangka mencapai tujuan yang telah ditetapkan.
Pemimpin mempengaruhi para pengikutnya melalui berbagai cara, seperti
menggunakan otoritas yang memiliki legitimasi, menjadikan dirinya sebagai
role model (menjadi teladan), menetapkan sasaran, memberi imbalan dan
hukuman, restrukturisasi organisasi, dan mengkomunikasikan sebuah visi.
Seorang pemimpin dapat dipandang efektif apabila dapat membujuk para
pengikutnya untuk meninggalkan kepentingan pribadi mereka demi
keberhasilan organisasi (Bass, 1985; Locke, 1991). Ketiga, sering kali tidak
bisa dihindari jika kehadiran seorang pemimpin karena kedudukan seseorang
di dalam hierarki organisasi. Pemimpin biasanya berada puncak hierarki
organisasi. Meski demikian harus disadari pula bahwa proses kepemimpinan
lebih dari sekedar menduduki suatu jabatan tertentu di dalam organisasi
melainkan harus melakukan sesuatu agar orang lain terpengaruh dan mau
melakukan tindakan secara sukarela. Sekedar menduduki posisi itu saja
dipandang tidak cukup memadai untuk membuat seseorang menjadi
pemimpin. Artinya tidak selamanya seorang yang menduduki posisi tertentu
di dalam organisasi adalah seorang pemimpin. Sebaliknya kalaulah seseorang
4.44 Manajemen Perubahan 

tidak menduduki jabatan tertentu bukan berarti dia bukan pemimpin. Menurut
Burns (1978), untuk menjadi pemimpin seseorang harus dapat
mengembangkan motivasi pengikut secara terus menerus dan mengubah
perilaku mereka menjadi responsif.

B. PERBEDAAN ANTARA KEPEMIMPINAN DAN MANAJEMEN

Uraian di atas secara tidak langsung mengindikasikan bahwa setiap


orang di dalam organisasi sesungguhnya memiliki kesempatan untuk menjadi
pemimpin tanpa harus orang yang bersangkutan menempati posisi formal.
Seorang pemimpin boleh jadi berasal dari orang di luar jabatan resmi
organisasi. Pemimpin ini biasa disebut sebagai pemimpin informal. Dengan
penjelasan ini bisa dikatakan bahwa manajer – seseorang yang menempati
posisi formal di dalam perusahaan tidak selamanya adalah seorang
pemimpin. Itulah sebabnya istilah kepemimpinan sering dibedakan dengan
manajemen. Meski mendikotomikan kedua konsep tersebut sering menuai
kontroversi karena sebagian kalangan beranggapan bahwa manajemen dan
kepemimpinan adalah sama. Sebagian definisi di atas menegaskan kesamaan
antara manajemen dan kepemimpinan. Namun sebagian yang lain
menganggap keduanya memang berbeda. Perdebatan ini sampai sekarang
masih terus berlangsung dan masih dianggap aktual. Di antara mereka yang
membedakan manajemen dengan kepemimpinan adalah:
1. Pandangan Zaleznik
Zaleznik (1977) berpendapat bahwa pemimpin dan manajer sangat
berbeda. Mereka berbeda dalam motivasi, sejarah pribadi, cara berpikir
serta cara bertindak. Zaleznik mengatakan bahwa manajer cenderung
mengambil sikap impersonal, pasif terhadap tujuan, sedangkan
pemimpin mengambil sikap pribadi (personal) dan aktif terhadap tujuan.
Manajer cenderung memandang kerja sebagai suatu proses yang
memungkinkan, mencakup suatu kombinasi dari orang dan gagasan yang
berinteraksi untuk menetapkan strategi dan mengambil keputusan.
Pemimpin bekerja dari posisi berisiko tinggi, sering memang secara
temperamental ingin mencari risiko dan bahaya, teristimewa bila
kesempatan dan ganjaran tampak tinggi. Manajer lebih suka bekerja
dengan orang, mereka menghindari aktivitas sendirian (soliter) karena
aktivitas itu membuat mereka cemas. Mereka berhubungan dengan
orang-orang menurut peran yang mereka mainkan dalam suatu urutan
peristiwa atau dalam proses pengambilan keputusan. Pemimpin,
 EKMA4565/MODUL 4 4.45

memperhatikan gagasan, berhubungan dengan orang-orang dalam cara


yang lebih intuitif dan empatik.
2. Pandangan Kotter
Dengan alasan yang berbeda Kotter (1988) juga berpendapat bahwa
kepemimpinan berbeda dari manajemen. Manajemen menyangkut upaya
mengatasi kerumitan (complexity). Manajemen yang baik menghasilkan
tata tertib dan konsistensi dengan menyusun rencana-rencana formal,
merancang struktur organisasi yang ketat, dan memantau hasil melalui
pembandingan dengan rencana. Kepemimpinan sebaliknya, menyangkut
mengatasi perubahan. Pemimpin menetapkan arah tujuan dengan
mengembangkan suatu visi masa depan, kemudian mereka
mempersekutukan orang dengan mengkomunikasikan visi ini dan
mengilhami mereka untuk mengatasi rintangan-rintangan. Kotter
menganggap baik kepemimpinan yang kuat maupun manajemen yang
kuat sebagai faktor penting bagi efektivitas organisasi yang optimum.
3. Pandangan Bennis
Bennis (1994) memandang perbedaan antara pemimpin dan manajer
sebagai perbedaan antara mereka yang menguasai lingkungan dan
mereka yang menyerah kepadanya.

Ada perbedaan-perbedaan lain yang patut mendapat perhatian.


Perbedaan-perbedaan ini sangat besar dan penting, seperti tercantum pada
Tabel 4.4.
Tabel 4.4.
Perbedaan antara Manajer dan Pemimpin/Leader

Manajer Leader
- Mengelola (administers) - Menemukan (innovates)
- Meniru (a copy) - Orisinal (original)
- Mempertahankan - Mengembangkan
- Berfokus pada sistem dan struktur - Berfokus pada orang
- Bergantung pada pengawasan - Membangkitkan kepercayaan
- Berorientasi jangka pendek - Memiliki perspektif jauh ke depan
- Bertanya bagaimana dan kapan - Bertanya apa dan mengapa
- Berorientasi pada hasil akhir - Berorientasi ke masa depan
- Meniru (imitates) - Memulai (originates)
- Menerima status quo - Meneriman tantangan (challenges it)
- Melakukan hal-hal dengan benar - Melakukan hal-hal yang benar
(The manager does things rights) (The leader does righ tthings)
Sumber: Bennis (1994)
4.46 Manajemen Perubahan 

C. MENGAPA KEPEMIMPINAN DIPERLUKAN?

Berkaitan dengan kehidupan sebuah organisasi, pertanyaan dasarnya


adalah mengapa kepemimpinan masih diperlukan padahal organisasi itu
sendiri telah tertata dengan baik – telah memiliki struktur organisasi yang
menjelaskan siapa harus melakukan apa, memiliki tujuan yang harus dicapai
yang telah dinyatakan secara jelas dan memiliki momentum untuk
menjalankan itu semua. Mengapa orang-orang yang bekerja di dalam
organisasi dengan aturan yang jelas dan dengan wewenang dan tanggung
jawab yang jelas masih harus dipengaruhi di luar arahan rutin yang bersifat
formal dan ketentuan-ketentuan formal lainnya? Untuk menjawab
pertanyaan-pertanyaan ini Katz and khan mengajukan empat alasan mengapa
kepemimpinan masih diperlukan.
Pertama, meski telah memiliki struktur organisasi yang menjelaskan
kedudukan masing-masing individu di dalam organisasi dan pembagian kerja
di antara mereka, namun harus diakui bahwa dalam batas tertentu desain
organisasi sering tidak lengkap. Sederhananya, organisasi tidak bisa didesain
seperti mesin yang bisa dengan mudah dihidupkan lantas semuanya bisa
berjalan secara otomatis, organisasi terdiri dari orang-orang yang
membutuhkan sentuhan, memerlukan inspirasi, dorongan, dan motivasi.
Untuk tujuan inilah seorang pemimpin dibutuhkan kehadirannya. Seorang
pemimpin dengan demikian dituntut untuk menggerakkan semua orang di
dalam organisasi dalam rangka mencapai tujuan organisasi. Termasuk di
dalamnya mengatur tugas, memutuskan siapa mengerjakan apa, dan
mendelegasikan pekerjaan. Kedua, organisasi tidak hidup dalam ruang isolasi
yang terbebas dari pengeruh lingkungan luar. Oleh karena itu jika lingkungan
luar berubah organisasi juga harus beradaptasi terhadap perubahan tersebut.
Kehadiran seorang pemimpin dengan demikian diperlukan untuk
mengidentifikasikan strategi baru dan cara-cara yang mungkin bisa
dijalankan untuk menyikapi perubahan lingkungan tersebut.
Ketiga, sebagai implikasi dari perubahan lingkungan eksternal, sering
kali tidak bisa dihindarkan lingkungan internal pun harus mengalami
perubahan. Demikian juga, tanpa harus menunggu perubahan lingkungan
eksternal, lingkungan internal sering mengalami perubahan misal karena
pertumbuhan atau karena siklus hidup organisasi lainnya yang menyebabkan
organisasi menjadi semakin dinamik. Akibatnya tidak jarang arah organisasi
menjadi melenceng dari tujuan semula karena masing-masing unit organisasi
 EKMA4565/MODUL 4 4.47

menginterpretasi perubahan tersebut dengan bahasa masing-masing sehingga


tidak jarang pula timbul konflik di antara mereka. Pada situasi seperti inilah
peran seorang pemimpin menjadi penting untuk melakukan koordinasi dan
menyelesaikan konflik. Keempat, kehadiran seorang pemimpin sangat
diperlukan terutama untuk memberi motivasi, menginspirasi dan menjaga
agar karyawan mau terus terlibat dalam kehidupan organisasi. Perlu disadari
bahwa karyawan tidak selamanya hidup dengan organisasi. Mereka datang
dan pergi. Mereka juga memiliki kehidupannya sendiri yang kadang-kadang
tidak sejalan dengan keinginan organisasi. Oleh karena itu meski mereka
hadir dan bekerja untuk organisasi keinginan dan perhatiannya bukan tidak
mungkin selalu mengalami perubahan. Padahal bagi organisasi itu sendiri,
kehadiran mereka tidak lain untuk membantu organisasi menyelesaikan
masalah dan mencapai tujuan organisasi. Ketika terjadi diskrepansi antara
karyawan dengan organisasi inilah dibutuhkan seorang pemimpin guna
menginspirasi dan memotivasi serta merubah mereka menjadi orang yang
memiliki komitmen dan berkontribusi terhadap kepentingan organisasi.

D. POLA KEPEMIMPINAN ORGANISASI

Jenis pengaruh yang diharapkan dari seorang pemimpin agar organisasi


berjalan efektif tidak sama untuk semua pemimpin. Masing-masing
pemimpin dituntut untuk memainkan peran dan kemampuan berbeda
tergantung pada level organisasi yang ditempati dan kondisi organisasi yang
sedang dikelola. Sebagai contoh, kemampuan kognitif dan afektif seorang
pemimpin pada level atas berbeda dengan mereka yang berada pada level
bawah. Tiga jenis peran yang biasanya dimainkan seorang pemimpin adalah:
peletak dasar, interpolasi dan administrasi. Sebagai peletak dasar
(origination) seorang pemimpin dituntut untuk membuat keputusan strategik
berkaitan dengan formulasi dan perubahan struktur organisasi. Keputusan ini
sangat penting karena akan menentukan misi dan budaya organisasi.
Sedangkan interpolasi berkaitan dengan upaya untuk menginterpretasikan
keputusan strategi dan mendesain metode untuk mengimplementasikan
keputusan tersebut. Termasuk ke dalam interpolasi adalah melakukan
adaptasi terhadap kebijakan baru organisasi. Selain itu menutup kekurangan
struktur organisasi berjalan juga merupakan bagian dari interpolasi. Terakhir
administrasi adalah mengimplementasikan kebijakan dan prosedur yang telah
dibuat sebelumnya untuk menjaga agar organisasi bisa beroperasi secara
4.48 Manajemen Perubahan 

efisien. Gambar 4.6 memberikan gambaran terkait dengan tiga peran


dimainkan seorang pemimpin di dalam organisasi.

Kemampuan dan keterampilan yang


Proses Level organisasi dibutuhkan
kepemimpinan Kognitif Afektif
Peletak dasar: eselon puncak perspektif sistem Karisma
merubah,
membangun dan
mengeliminasi
struktur
Interpolasi: level menengah: perspektif Mengintegrasikan
menambah atau peran yang sangat subsistem: hubungan primer dan
mengurangi struktur penting orientasi dua arah sekunder
Administrasi: level bawah pengetahuan Memberi perhatian
menggunakan teknis: terhadap
struktur berjalan memahami keseimbangan antara
peraturan yang reward dan
berlaku punishment

Gambar 4.6.
Pola kepemimpinan organisasi

Seperti tampak pada gambar di atas ketiga peran seorang pemimpin


dimainkan pada level organisasi berbeda dan membutuhkan kemampuan dan
keterampilan berbeda. Sebagai contoh, menetapkan program dan kebijakan
baru yang memungkinkan terjadinya perubahan struktur organisasi dan atau
interpretasi ulang terhadap misi organisasi akan terjadi pada level atas. Oleh
karena itu seorang pemimpin yang menempati posisi ini harus memiliki
pemahaman terhadap keseluruhan organisasi dan cara organisasi tersebut
berinteraksi dengan lingkungan eksternal. Bisa dikatakan bahwa pimpinan
puncak merupakan simbol yang merepresentasikan organisasi secara
keseluruhan. Pimpinan pada level menengah melakukan interpolasi yakni
menginterpretasikan kebijakan dan menerapkannya pada organisasi berjalan.
Inisiasi perubahan dengan demikian bukan merupakan peran yang harus
dimainkan oleh pimpinan level menengah. Sebaliknya, pimpinan level
menengah lebih dituntut untuk menjaga keseimbangan antara arahan dari atas
dan mengakomodasi tuntutan dari bawah. Sedangkan pimpinan level bawah
lebih dituntut untuk menjalankan kebijakan dan prosedur organisasi. Oleh
 EKMA4565/MODUL 4 4.49

karena itu manajer level bawah dituntut untuk memiliki kemampuan teknis
sekaligus memahami aturan yang berlaku karena merekalah yang secara
langsung berhubungan dengan karyawan nonmanajer. Itulah sebabnya
pimpinan level bawah harus memberi perhatian pada aspek penghargaan dan
hukuman.
Jim Collin dalam bukunya “Good to Great” (2001) juga mengingatkan
akan pentingnya kepemimpinan pada setiap level organisasi jika
menghendaki organisasi tersebut berhasil mencapai tujuannya. Collin
membedakan kepemimpinan ke dalam 5 level yang berbeda. Pada level 1,
individu yang memiliki kapabilitas yang sangat tinggi mampu memberi
kontribusi yang produktif melalui: talenta, pengetahuan, skill dan kebiasaan
kerja yang baik. Pada level 2, kontribusi anggota-anggota tim mampu
memberikan kontribusi terhadap kapabilitas individu untuk mencapai tujuan
kelompok dan kerja sama yang baik di antara anggota kelompok. Pada level
3, manajer yang kompeten mampu mengorganisir manusia dan sumber daya
menuju efektivitas dan efisiensi pencapaian tujuan yang telah ditetapkan
sebelumnya. Pada level 4, pemimpin menjadi kalisator dalam menciptakan
komitmen menuju tercapainya tujuan organisasi. Pada level 5, para eksekutif
mampu membangun kebesaran organisasi yang bertahan lama melalui
ramuan yang bersifat paradoks yakni bersahaja tapi profesional dan memiliki
komitmen total dalam memajukan kepentingan organisasi. Kepemimpin level
5 inilah yang dianggap sebagai unsur utama dari beberapa unsur lainnya yang
bisa mentransformasi perusahaan dari sekedar perusahaan yang baik menjadi
perusahaan yang luar biasa.

E. KEPEMIMPINAN BEORIENTASI PERUBAHAN

Istilah kepemimpinan berorientasi perubahan ini diambil dari buku ”The


art and science of leadership” yang ditulis oleh Nahavandi (1997). Menurut
Nahavandi teori-teori yang telah berkembang selama ini bisa dikelompokkan
menjadi dua yaitu teori klasik dan teori kontingensi. Dalam perkembangan
selanjutnya meski teori-teori tersebut masih banyak digunakan untuk
menjelaskan fenomena kepemimpinan, muncul teori-teori baru yang
berorientasi perubahan. Dua di antaranya akan dibahas di sini yakni
kepemimpinan kharismatik dan kepemimpinan transformasional. Dua teori
ini dikatakan berorientasi perubahan karena pemimpin dalam proses
4.50 Manajemen Perubahan 

kepemimpinannya mampu mengubah arah perkembangan organisasi. Dengan


kata lain pimpinan adalah seorang agen perubahan.
Sebagai seorang agen perubahan tugas pimpinan tidak bisa dikatakan
ringan. Pimpinan harus mampu bertindak sebagai role model, mengatasi
resistensi terhadap perubahan, menciptakan kesiapan untuk berubah, dan
membangun komitmen karyawan pada setiap level organisasi. Pimpinan juga
dituntut untuk menyiapkan karyawan agar mau terlibat dalam perubahan
yang sedang berjalan demi tercapainya tujuan jangka panjang perusahaan. Di
samping itu agent perubahan juga harus menciptakan proses perubahan yang
konstruktif dan mengajak keterlibatan karyawan dalam proses perubahan
untuk menghindari adanya resistensi terhadap perubahan. Lebih dari itu,
seorang agen perubahan harus secara jelas menyampaikan informasi tentang
tujuan perubahan dan target-target yang ingin dicapai, dan membantu
membangun budaya yang mendukung terjadinya proses pembelajaran dan
kemampuan karyawan untuk bereksperimen melakukan hal-hal baru yang
belum pernah dilakukan sebelumnya. Tugas berat tersebut tentunya
membutuhkan prasyarat dan karakter tertentu agar berhasil dalam memimpin
perubahan. Dalam hal ini Edgar Schein (1985) mengatakan bahwa pemimpin
perubahan seharusnya memiliki karakteristik sebagai berikut:
1. Memiliki kemampuan untuk melihat diri sendiri secara obyektif
2. Memiliki kemauan untuk menantang atau membekukan norma prilaku
dan keterampilan yang sudah ada agar pesan-pesan yang ingin
disampaikannya bisa diterima.
3. Mampu menyerap kekhawatiran-kekhawatiran yang ditimbulkan oleh
perubahan.
4. Mampu mengubah asumsi lama yang sudah tidak cocok lagi dengan
kondisi berjalan menjadi asumsi baru yang sesuai dengan kebutuhan
organisasi di masa yang akan datang.
5. Mampu menciptakan kondisi sehingga orang lain mau terlibat dan
berpartisipasi dalam perubahan.
6. Memiliki kemampuan untuk memahami kedalaman visi.

Berdasarkan penjelasan di atas dengan demikian seorang pimpinan


perubahan dalam batas-batas tertentu harus mampu mengubah dirinya
termasuk sikap dan gaya kepemimpinannya sebelum dia memimpin
perubahan dan mampu mengubah orang lain. Menurut David Weidman
 EKMA4565/MODUL 4 4.51

(2000) pemimpin perubahan adalah mereka yang mampu merubah sikap dan
gaya kepemimpinan secara radikal untuk hal-hal berikut ini, dari:

Sekedar mengoptimalkan business Ke Menciptakan business model


model baru
Keterampilan kepemimpinan pada keterampilan kepemimpinan
manusia perubahan
Memanaj kondisi yang bergejolak menjadikan perubahan sebagai
keunggulan kompetitif
Menghindari perubahan melakukan perubahan
Multinasional multikultural
Delegator utama Menangani langsung
Mengurangi ketidakpastian Mempengaruhi ketidakpastian
Perubahan = keos perubahan = kemajuan
Memimpin evolusi memimpin revolusi

F. METAFORA KEPEMIMPINAN PERUBAHAN

Sebelum menjelaskan secara detail kepemimpinan kharismatik dan


transformasional, ada baiknya disimak terlebih dahulu metafora
kepemimpinan perubahan. Istilah metafora sebelumnya telah digunakan
Morgan (1996) untuk menggambarkan sosok sebuah organisasi dengan
menggunakan obyek lain sebagai padanannya. Misalnya organisasi sebagai
mesin bisa diartikan organisasi memiliki prilaku layaknya prilaku sebuah
mesin. Implementasinya dalam konteks perubahan organisasi, konsep
metafora bisa digunakan untuk membedakan tipe kepemimpinan perubahan
(Palmer, Dunford & Akin, 2006). Meski ketiga penulis ini tidak
menggunakan istilah pemimpin tetapi menggunakan istilah manajer pada
intinya kedua istilah tersebut dianggap sama yakni pihak-pihak yang
bertanggung jawab terhadap keberhasilan perubahan dan memiliki wewenang
untuk melakukan perubahan organisasi dalam rangka mencapai tujuan
organisasi. Berdasarkan konsep tersebut Palmer et al. mengatakan bahwa
pemimpin perubahan bisa dibedakan ke dalam enam tipe pemimpin. Keenam
tipe tersebut dapat dilihat pada Gambar 4.7 sebagai berikut.
4.52 Manajemen Perubahan 

Metafora dalam mengelola perubahan


Mengendalikan….. Membentuk…..

Aktivitas kapabilitas
Seperti yang diharapkan DIRECTOR COACH
Hasil dari Sebagian seperti yang
perubahan diharapkan NAVIGATOR INTERPRETER
Tidak seperti yang
diharapkan CARETAKER NURTURER
Sumber: Palmer, Dunford & Akin (2006), p.24

Gambar 4.7.
Metafora manajemen perubahan

Seperti tampak pada Gambar 4.7 ada dua dimensi yang digunakan untuk
membedakan tipe kepemimpinan yaitu: tujuan perubahan dan hasil yang
diharapkan dari perubahan tersebut. Menurut Palmer et al. perubahan
organisasi dibedakan menjadi dua yaitu perubahan sebagai upaya untuk
mengendalikan aktivitas organisasi (controlling activities) dan perubahan
sebagai upaya untuk membentuk kapabilitas organisasi (shaping
capabilities). Sedangkan hasil yang diharapkan dari perubahan organisasi
dapat dibedakan menjadi tiga yaitu: (1) perubahan menghasilkan outcome
seperti yang diharapkan, (2) perubahan menghasilkan outcome yang
sebagiannya sesuai dengan harap dan sebagiannya lagi tidak sesuai dengan
harapan, dan (3) perubahan tidak menghasilkan outcome seperti yang
diharapkan. Berdasarkan kriteria-kriteria tersebut, tipologi pimpinan yang
cocok untuk mengelola perubahan adalah:
1. Pimpinan sebagai seorang Direktur.
2. Pimpinan sebagai seorang Navigator.
3. Pimpinan sebagai seorang Caretaker.
4. Pimpinan sebagai seorang Coach.
5. Pimpinan sebagai seorang Interpreter.
6. Pimpinan sebagai seorang Nurturer.

1. Pimpinan sebagai Direktur


Ketika seorang pimpinan dianggap sebagai seorang direktur, asumsi
yang melatarbelakanginya adalah tugas seorang pimpinan adalah
mengendalikan semua aktivitas organisasi dan dengan cara ini perubahan
bisa memperoleh hasil seperti yang diharapkan. Hal ini bisa diartikan bahwa
 EKMA4565/MODUL 4 4.53

seorang pimpinan memiliki posisi sentral dalam pengertian berhasil atau


gagalnya perubahan sangat bergantung bagaimana arahan dari pimpinan
tersebut. Demikian juga perubahan dianggap sebagai pilihan strategis yang
dibuat oleh pimpinan sehingga keberlangsungan hidup organisasi dan
kesejahteraan semua pihak yang terlibat dalam organisasi bergantung pada
pimpinannya. Sederhananya, pimpinan merupakan sosok layaknya seorang
komandan militer di mana anak buah harus mengikuti aturan dan
perintahnya. Sebagai contoh, jika pimpinan memutuskan untuk mengubah
sistem informasi teknologi sebagai upaya untuk merespon perubahan
lingkungan atau untuk mempermudah jaringan internasional maka keputusan
pimpinan tersebut mutlak harus diikuti karena diyakini perubahan tersebut
pasti bisa dilaksanakan dan bisa bekerja dengan baik. Demikian juga
keputusan tersebut akan memberi dampak kinerja yang lebih baik.

2. Pimpinan sebagai Navigator


Seperti halnya anggapan pimpinan sebagai seorang direktur, asumsi
pimpinan sebagai navigator juga sama yakni pimpinan memiliki kendali
terhadap kehidupan organisasi. Yang sedikit membedakan pimpinan sebagai
navigator dengan pimpinan sebagai direktur adalah sebagai navigator ada
hal-hal tertentu yang berada di luar kendali pimpinan. Oleh karenanya hasil
perubahan juga tidak sepenuhnya terkendali seperti yang diharapkan meski
sebagiannya bisa dicapai. Sebagai contoh, pimpinan organisasi bermaksud
merestrukturisasi sebuah unit bisnis dengan membentuk tim lintas fungsi
(cross dunctional team). Tugas utama tim adalah membantu pengembangan
produk. Sementara sang pimpinan mampu secara formal membentuk tim
tersebut, efektivitas kerja tim sudah bukan lagi di bawah kendali pimpinan.
Penyebabnya boleh jadi tidak ada rasa saling percaya di antara anggota tim,
masing-masing pihak tidak secara terbuka menyampaikan informasi-
informasi penting dalam pengembangan produk atau ada hal-hal yang
dirahasiakan oleh anggota tim dari departemen fungsional yang berbeda.
Demikian juga sangat boleh jadi orang-orang yang dikirim menjadi anggota
tim adalah orang-orang yang diyakini bisa menjaga kepentingan masing-
masing departemen sehingga jika ada keputusan tim yang sekiranya akan
mengganggu kepentingan salah satu departemen maka wakil dari departemen
tersebut akan memblok keputusan tersebut. Hal ini bias diartikan bahwa
dengan metaora pimpinan sebagai navigator, hasil yang ingin dicapai oleh
perubahan organisasi tidak sepenuhnya bisa diraih.
4.54 Manajemen Perubahan 

3. Pimpinan sebagai Caretaker


Caretaker atau pelaksana tugas merupakan metafora yang digunakan
untuk menggambarkan peran pimpinan yang sesungguhnya masih memiliki
kendali terhadap organisasi tetapi dalam upayanya untuk mengeksekusi
kekuasaannya terkendala berbagai faktor penghambat baik faktor internal
maupun faktor eksternal organisasi. Akibatnya perubahan organisasi seolah-
olah di luar kendali pimpinan. Sebagai contoh, ketika pimpinan mendorong
semua karyawan untuk berprilaku kewirausahaan dan inovatif, dorongan
pimpinan sangat mungkin gagal jika pertumbuhan organisasi justru
menjadikan organisasi semakin birokratis dan menerapkan perencanaan
strategis, aturan-aturan dan regulasi yang serba formal dan pengambilan
keputusan dilakukan pada level organisasi paling atas (pengambilan
keputusan yang sentralistik). Dalam situasi seperti ini pertumbuhan
organisasi dan isu-isu yang terkait dengan berada di luar jangkauan kendali
manajer perubahan. yang bias dilakukan pimpinan hanya sebatas sebagai
penggembala yang baik yakni menjaga agar organisasi tidak melenceng
terlalu jauh dari cita-cita awal.

4. Pimpinan sebagai Pembina (Coach)


Sebagai seorang pembinaan atau pelatih (coach) layaknya seorang
pelatih olah raga, pimpinan secara intensional diyakini mampu membentuk
kapabilitas organisasi dalam melakukan hal-hal tertentu agar dalam situasi
persaingan organisasi bisa memenangkan persaingan tersebut. Tidak seperti
halnya seorang direktur yang lebih suka mendikte bawahannya dalam rangka
mencapai tujuan organisasi, seorang Pembina berorientasi untuk membangun
satu set nilai dan keterampilan yang tepat bagi kebutuhan organisasi dan
semua anggota organisasi sebagai pelaku perubahan dapat menerapkannya
dalam rangka mencapai tujuan perubahan organisasi yang diharapkan.

5. Pimpinan sebagai Penerjemah (Interpreter)


Tugas utama pimpinan sebagai seorang penerjemah (interpreter) adalah
membantu anggota organisasi menginterpretasikan dan memberi makna
terhadap kejadian-kejadian dan tindakan yang dilakukan organisasi.
Pimpinan juga dituntut memastikan bahwa yang dilakukan organisasi
semuanya masuk akal. Dengan demikian berhasil atau tidaknya organisasi
melakukan perubahan sangat tergantung bagaimana pimpinan memaknai
perubahan tersebut. Sayangnya dalam proses pemaknaan tersebut tidak
 EKMA4565/MODUL 4 4.55

semua anggota organisasi memiliki pemahaman yang sama. Boleh jadi


mereka memaknai perubahan menggunakan sudut pandang yang berbeda
dengan sudut pandang pimpinan. Karena adanya perbedaan pemaknaan tidak
berlebihan jika hanya sebagian usulan perubahan yang bisa diterima anggota
organisasi dan sebagiannya lagi tidak. Dengan kata lain, dengan metafora
pimpinan sebagai penerjemah hanya sebagian tujuan perubahan yang bisa
tercapai. Oleh karena itu agar tujuan perubahan bisa secara optimal tercapai,
pimpinan harus mampu mengemukakan argumen dan alasan-alasan yang
sangat kuat mengapa perubahan memang betul-betul diperlukan. Sebagai
contoh, usulan untuk melakukan downsizing – memperkecil ukuran
organisasi dengan memPHK sebagian karyawan, sangat boleh jadi
didasarkan pada argumentasi untuk menciptakan efisiensi dan memperkuat
posisi organisasi agar karyawan yang tidak diPHK justru akan terlindungi.
Bagi anggota organisasi usulan downsizing boleh jadi mengandung cerita
yang berbeda. Bagi mereka downsizing bisa saja dianggap sebagai
ketidakmampuan pimpinan atau adanya intrik politik di kalangan pimpinan
tetapi menggunakan efisiensi sebagai alasannya. Untuk menghindari
perbedaan pemaknaan maka manajer perubahan harus mampu mendominasi
cerita dan pemahaman mengapa perubahan betul-betul diperlukan.

6. Pimpinan sebagai Pengayom (Nurturer)


Asumsi yang melandasi pimpinan sebagai seorang pengayom (nurturer)
adalah sekecil apapun sebuah perubahan dampaknya terhadap organisasi
bukan tidak mungkin sangat besar namun sayangnya seorang manajer tidak
mampu mengendalikan dampak perubahan tersebut. Meski demikian seorang
manajer masih bisa melakukan sesuatu yang bermanfaat seperti mengayomi
organisasi, menjadi fasilitator yang memungkinkan karyawan mampu
mengorganisasi diri secara positif (positive self-organizing). Dalam hal ini
hubungan antara pimpinan atau manajer dengan karyawan layaknya orang
tua dengan anak. Orang tua sejak semula berusaha untuk membentuk masa
depan anak-anaknya dan berusaha untuk mengayomi mereka agar memiliki
masa depan yang baik. Pertanyaannya adalah apakah pada akhirnya masa
depan anak-anaknya betul-betul seperti yang diharapkan? Yang pasti hasil
akhir tersebut sudah bukan lagi kekuasaan orang tuanya karena banyak faktor
yang mempengaruhi hasil akhir tersebut. Sederhananya, dengan metafora ini
hasil akhir yang spesifik dan arah dari sebuah perubahan tidak bisa
4.56 Manajemen Perubahan 

ditentukan secara pasti melainkan akan muncul sesuai dengan berjalannya


waktu namun bias dibentuk melalui kualitas dan kapabilitas organisasi.

7. Kepemimpinan Kharismatik
Istilah karisma sesungguhnya bukan istilah baru. Istilah ini sudah
digunakan oleh Max Weber ketika menjelaskan pentingnya teori birokrasi.
Meski demikian istilah karisma khususnya ketika dikaitkan dengan konsep
kepemimpinan, baru muncul pada tahun 1970-an. Salah satu dasar
pemahaman tentang kepemimpinan kharismatik adalah konsep hubungan
antara pemimpin dengan para pengikutnya, bukan sekedar sifat pemimpin
dan karakteristik pribadi pemimpin. Pemimpin karismatik didefinisikan
sebagai pemimpin yang memberikan efek emosional secara mendalam
kepada para pengikutnya. Pemimpin dipersepsi bukan semata-mata sebagai
bos tetapi lebih sebagai role model dan pahlawan yang memiliki kehidupan
luar biasa ketimbang kehidupan sehari-hari mereka.
Pada umumnya pemimpin karismatik muncul sebagai pemimpin bukan
sengaja ditunjuk secara formal sebagai pemimpin. Kalaulah pemimpin
karismatik ditunjuk secara formal, dia sebelumnya sudah diakui sebagai
pemimpin. Artinya ditunjuk atau tidak ditunjuk secara formal, pemimpin
karismatik dengan sendirinya adalah seorang pemimpin. Penunjukan secara
formal hanyalah tahap akhir untuk mengukuhkan bahwa seorang pemimpin
karismatik diakui secara formal sebagai pemimpin. Pertanyaannya adalah
bagaimana seseorang bisa diakui sebagai pemimpin karismatik? Salah satu
komponen penting pemimpin karismatik adalah para pengikut merasa tidak
cocok dengan kepemimpinan yang sedang berjalan sehingga mereka
berupaya untuk mencari pengganti pemimpin lain sebab kalau tidak mereka
yakin bahwa organisasi akan mengalami krisis berkepanjangan. Selain alasan
krisis kepemimpinan, seorang pemimpin karismatik akan muncul
sepermukaan jika ia menunjukkan kompetensi dan loyalitasnya kepada
kelompok dan tujuan yang mereka hendak capai. Komitmen inilah yang
menjadikan seseorang dianggap memiliki nilai lebih dibandingkan orang lain
dan oleh karenanya dianggap layak sebagai seorang pemimpin.
Karakteristik pemimpin kharismatik. Pemimpin karismatik secara
umum mempunyai beberapa karakteristik seperti tampak pada Tabel 4.5.
Meski beberapa karakteristik ini (misalnya: percaya diri, memiliki energi dan
kemampuan berkomunikasi) juga menjadi karakteristik bentuk
 EKMA4565/MODUL 4 4.57

kepemimpinan lainnya, namun kombinasi dari karakteristik inilah yang


menjadikan seorang pemimpin disebut sebagai pemimpin karismatik.

Tabel 4.5.
Karakteristik pemimpin karismatik

Karakteristik Pemimpin Kharismatik


Percaya diri. Mereka benar-benar percaya akan penilaian dan kemampuan
mereka.
Memiliki misi. Ini merupakan tujuan ideal yang mengajukan suatu masa
depan yang lebih baik daripada status quo. Makin besar kemungkinan
bahwa para pengikut akan menghubungkan visi yang luar biasa itu pada si
pemimpin.
Kemampuan untuk mengungkap visi sejelas mungkin. Mereka mampu
memperjelas dan menyatakan visi dalam kata-kata yang dapat dipahami
orang lain. Artikulasi ini menunjukkan suatu pemahaman akan kebutuhan
para pengikut, dan karenanya, bertindak sebagai suatu kekuatan motivasi.
Keyakinan kuat mengenai visi. Pemimpin kharismatik mempunyai
komitmen kuat dan bersedia menanggung risiko yang tinggi, mengeluarkan
biaya yang tinggi, dan melibatkan diri dalam pengorbanan untuk mencapai
visi tersebut.
Perilaku yang di luar aturan. Mereka dengan karisma ikut serta dalam
perilaku yang dipahami sebagai baru, tidak konvensional, dan berlawanan
dengan norma-norma. Bila berhasil, perilaku ini menimbulkan kejutan dan
kekaguman para pengikut.
Sebagai seorang agen perubahan. Pemimpin kharismatik dipahami sebagai
agen perubahan yang radikal bukannya sebagai pengasuh status quo.
Kepekaan lingkungan. Pemimpin ini mampu membuat penilaian yang
realistis terhadap kendala lingkungan dan sumber daya yang diperlukan
untuk menghasilkan perubahan.
Sumber: (Burn, 1978; Bass, 1985)

Karakteristik para pengikut. Karena pemimpin karismatik selalu


berinteraksi dengan para pengikutnya, para pengikut pemimpin karismatik
juga memiliki karakteristik tertentu. Tanpa karakteristik keduanya –
pemimpin dan pengikut bisa dikatakan tidak akan pernah tercipta pemimpin
karismatik. Beberapa karakteristik para pengikut yang menjadikan seorang
4.58 Manajemen Perubahan 

pemimpin menjadi pemimpin karismatik di antaranya adalah: para pengikut


memiliki rasa hormat yang tinggi dan menganggap pemimpinnya memiliki
harga diri yang tinggi pula; para pengikut memiliki loyalitas dan rasa taat
yang tinggi; para pengikut menyayangi pemimpinnya; para pengikut
memiliki ekspektasi kinerja yang tinggi; dan para pengikut sangat patuh.

G. PROSES MEMPENGARUHI DAN DUKUNGAN SITUASI

Kepemimpinan karismatik merupakan proses mempengaruhi yang


menyebabkan para pengikut menginternalisasi nilai-nilai sang pemimpin dan
setuju untuk mengikuti semua petunjuknya dengan kesetiaan penuh. Oleh
karena itu, di samping karakteristik pemimpin dan karakteristik para
pengikutnya yang telah dibahas di muka, keberhasilan pemimpin
mempengaruhi para pengikutnya juga dipengaruhi oleh situasi saat proses
berlangsung. Beberapa situasi yang mendukung keberhasilan kepemimpinan
karismatik adalah:
1. Adanya situasi yang sedang mengalami krisis. Pada saat terjadi krisis
dan situasi begitu keos biasanya muncul seseorang yang dengan
kepercayaan dirinya yang tinggi berusaha mengatasi kondisi tersebut dan
melakukan perubahan-perubahan menuju visi baru.
2. Adanya anggapan perlunya perubahan. Situasi krisis biasanya diikuti
oleh munculnya seorang pemimpin yang mau mempertaruhkan dirinya
untuk memulai sesuatu yang baru, melakukan perubahan radikal dan
merubah nilai-nilai masa lalu yang tidak dikehendaki. Dalam sejarah,
hampir semua pemimpin karismatik mengalami situasi ini.
3. Adanya kesempatan untuk mengartikulasikan tujuan ideologis. Dua
situasi di muka – krisis dan kebutuhan akan perubahan, pada akhirnya
memberi kesempatan kepada seorang pemimpin untuk mengartikulasi-
kan kembali tujuan ideologis yang sangat diharapkan para pengikutnya.
Lech Wallensa di Polandia adalah salah satu contohnya yang
”memerdekakan” rakyat Polandia.
4. Tersedianya simbol-simbol yang dramatik. Seorang pemimpin
karismatik biasanya muncul dibarengi dengan peran simbolik yang
dimainkannya seolah-olah Sang pemimpin menjadi juru selamat bagi
para pengikutnya.
5. Adanya kesempatan untuk mengartikulasikan peran para pengikut secara
jelas. Munculnya seorang pemimpin karismatik biasanya didahului oleh
 EKMA4565/MODUL 4 4.59

hilangnya peran para pengikut dalam kehidupan riil. Mereka seolah-olah


terkungkung dengan situasi yang membelenggu mereka. Kebutuhan para
pengikut untuk ikut berperan inilah yang menyebabkan munculnya
seorang pemimpin karismatik yang berjanji untuk melibatkan mereka
dalam kehidupan sesungguhnya.

H. SISI POSITIF DAN NEGATIF KEPEMIMPINAN


KHARISMATIK

Seperti halnya dengan teori-teori kepemimpinan lainnya, kita juga harus


melihat sisi positif dan sisi negatif dari konsep kepemimpinan kharismatik
meski harus diakui bahwa membedakan pemimpin karismatik yang positif
dan pemimpin karismatik yang negatif bukan pekerjaan mudah. Salah satu
cara membedakannya adalah dengan melihat manfaat yang diperoleh para
pengikut dari seorang pemimpin karismatik. Hanya saja penilaian pengikut
terhadap efektivitas pimpinan karismatik mereka biasanya sangat subyektif.
Artinya bagi sebagian pengikut, pemimpin mereka dianggap positif tetapi
bagi sebagian yang lain dianggap negatif. Apakah mantan presiden Soeharto
seorang pemimpin karismatik yang baik? Jawabannya tergantung dari mana
anda melihatnya. Cara kedua untuk membedakan pemimpin karismatik
positif dan negatif berkaitan dengan penilaian terhadap nilai-nilai dan
kepribadian Sang Pemimpin. Menurut Musser seperti dikutip Gary Yulk
(1994) semua pemimpin karismatik pada dasarnya memiliki komitmen
terhadap tujuan ideal baik disadari maupun tidak. Hanya saja tidak jarang
pemimpin karismatik menggunakan tujuan ideal tersebut hanya untuk
kepentingan dirinya yakni memperkuat kekuasaannya. Pemimpin seperti ini
bisa digolongkan ke dalam pemimpin karismatik yang negatif dan tidak
jarang pula pemimpin seperti ini juga menjadi pemimpin yang narsistik –
lebih mencintai diri sendiri.
Conger (1990) misalnya melakukan penelitian terhadap kepemimpinan
karismatik dan menemukan beberapa kelemahan dari kepemimpinan
karismatik yang negatif. Di antara kelemahan tersebut adalah
(1) kepemimpinan karismatik biasanya memiliki hubungan interpersonal
yang kurang baik, (2) prilaku pemimpin yang cenderung impulsif dan tidak
konvensional, (3) pemimpin karismatik biasanya hanya menjaga kesan agar
tampak baik (membangun manajemen impresi) walaupun semu,
(4) pemimpin karismatik biasanya tidak memiliki kapabilitas untuk
4.60 Manajemen Perubahan 

melakukan kegiatan administratif, (5) percaya diri berlebihan biasanya


banyak dampak negatif ketimbang dampak positifnya, dan (6) pemimpin
karismatik sering kali gagal untuk mencari pengganti dirinya.

I. KEPEMIMPINAN TRANSAKSIONAL-TRANSFORMASIONAL

Konsep kepemimpinan transformasional pertama kali dikembangkan


oleh Burns pada tahun 1978. Dalam hal ini Burns membedakan dua konsep
kepemimpinan – transaksional dan kepemimpinan transformasional.
Kepemimpinan transaksional adalah tipikal kepemimpinan yang lebih
menekankan pada transaksi interpersonal antara pemimpin dan karyawan
yang melibatkan hubungan pertukaran (exchange). Karyawan memperoleh
imbalan segera (immediate) dan nyata (tangible) apabila memenuhi perintah
pemimpin Locke et al (1991). Menurut Burns (1978), pemimpin
transaksional memotivasi bawahannya melalui pemberian imbalan kontijen
(contingent reward) dan manajemen perkecualian (management by
exception). Sementara itu, kepemimpinan transformasional adalah seseorang
yang memiliki kharisma yang mampu melakukan stimulasi intelektual para
bawahannya sehingga bawahan mampu menggunakan cara baru dalam
menghadapi masalah-masalah organisasi. Karakteristik kepemimpinan
transformasional ditunjukkan melalui tiga faktor perilaku: konsiderasi
individual, stimulasi intelektual serta karisma (Bass, 1990) seperti tampak
pada Gambar 4.8 berikut ini.

Gambar 4.8.
Faktor-faktor kepemimpinan transformasional
 EKMA4565/MODUL 4 4.61

Karisma dan inspirasi. Konsep karisma yang dibahas di muka


merupakan salah satu dari tiga komponen pokok kepemimpinan
transformasional. Sebagaimana kita ketahui, hubungan kepemimpinan
karismatik bisa menciptakan emosi yang mendalam di kalangan para
pengikutnya. Akibatnya, timbulnya loyalitas dan kepercayaan terhadap
pemimpin mereka. Loyalitas dan kepercayaan inilah yang memberi jalan
pada pemimpin karismatik untuk melakukan perubahan-perubahan yang
bersifat revolusioner. Banyak bukti menunjukkan bahwa dukungan
emosional inilah yang menjadi faktor paling kuat dalam kepemimpinan
transformasional.
Stimulasi intelektual. Faktor kedua dalam kepemimpinan
transformasional adalah kemampuan pemimpin memberi tantangan kepada
para pengikutnya. Para pengikut ditantang untuk memecahkan masalah yang
sebelumnya tidak terselesaikan, bukan dengan nilai-nilai lama dan asumsi
yang sudah kedaluwarsa melainkan dengan nilai-nilai baru dan asumsi baru.
Pemimpin bisa meyakinkan para pengikutnya bahwa nilai-nilai lama dan
asumsi-asumsi yang selama ini berlaku bukan pendekatan yang bisa
digunakan untuk menyelesaikan persoalan yang ada. Nilai-nilai lama adalah
masa lalu dan oleh karenanya harus dibuang jauh-jauh. Sebaliknya mereka
didorong untuk menyelesaikan masalah dengan cara-cara baru yang tidak
konvensional. Stimulasi intelektual ini sekali lagi, menegaskan para pengikut
bahwa mereka mempunyai kemampuan untuk melakukan hal-hal yang
dianggap tidak mungkin menjadi hal yang sangat mungkin untuk dilakukan.
Konsiderasi individual. Faktor terakhir sangat erat kaitannya dengan
teori LMX (Leader Member Exchange = teori pertukaran antara pemimpin
dengan anggota). Menurut teori ini, setiap kepemimpinan mempunyai
hubungan personal dengan orang yang dipimpin. Hubungan personal ini
membawa implikasi bahwa setiap orang yang dipimpin harus diperlakukan
secara khusus karena masing-masing orang mempunyai karakteristik
berbeda. Artinya tidak semua orang diperlakukan dengan cara yang sama
meski mereka harus diperlakukan secara adil. Dengan perlakuan seperti ini
mereka merasa sebagai orang spesial, orang teperhatikan, merasa dibesarkan
hatinya dan termotivasi. Di samping itu, pemimpin yang bisa memberi
pertimbangan individu berarti dia bisa memadukan kekhasan kemampuan
dan keterampilan masing-masing karyawan untuk kepentingan organisasi
secara keseluruhan.
4.62 Manajemen Perubahan 

Kombinasi dari ketiga faktor di atas memungkinkan seorang pemimpin


bisa melakukan perubahan-perubahan organisasi yang dianggap perlu.
Karisma yang dimiliki seorang pemimpin bisa digunakan untuk mengatasi
resistensi terhadap perubahan. Stimulasi intelektual memberi dorongan
karyawan untuk solusi dan inovasi baru serta menciptakan pemberdayaan
karyawan. Sementara itu hubungan personal antara pemimpin dan para
pengikutnya menjadi faktor penting yang bisa memotivasi karyawan. Dari
penjelasan ini bisa dikatakan bahwa prilaku kepemimpinan transformasional
memungkinkan seorang pemimpin untuk melakukan adaptasi eksternal.
Sebaliknya, prilaku kepemimpinan transaksional lebih dimaksudkan untuk
menjaga tingkat kesehatan organisasi secara internal karena tipikal
kepemimpinan ini berupaya mendukung organisasi menjaga kegiatan-
kegiatan yang bersifat rutin. Perbedaan kedua konsep tersebut –
kepemimpinan transformasional dan transaksional dapat dijelaskan dalam
Tabel 4.6 berikut ini.

Tabel 4.6.
Karakteristik Pemimpin Transformasional dan Pemimpin Transaksional

Pemimpin Transformasional
Karisma: memberi visi, misi, menanamkan rasa gangga, mendapatkan rasa
hormat dan kepercayaan dari bawahan.
Inspirasi: mengkomunikasikan ekspektasi tinggi, menggunakan simbol-
simbol untuk memfokuskan upaya, mengekspresikan tujuan penting
dengan cara-cara yang sederhana.
Simulasi intelektual: menghargai kecerdasan, rasionalitas, dan pemecahan
masalah secara hati-hati.
Konsiderasi yang bersifat individual: memberikan perhatian secara
personal, memperlakukan karyawan secara individual, melatih, memberi
bimbingan.
Pemimpin Transaksional
Imbalan kontijen: kontrak pertukaran imbalan atas usaha, menjanjikan
imbalan bagi kinerja yang baik dan menghargai prestasi kerja.
Management by exception (aktif): mengawasi dan mencermati
penyimpangan dari berbagai aturan dan standar, melakukan tindakan
perbaikan.
Management by exception (pasif): melakukan intervensi hanya bila standar
 EKMA4565/MODUL 4 4.63

tidak terpenuhi.
Laissez faire: melepaskan tanggung jawab, menghindari pengambilan
keputusan.
Sumber: Bass (1990)

Sementara itu, Judy Oliver sebagaimana dikutip Holbeche (2006)


mengatakan bahwa untuk bisa menjalankan kepemimpinan transformasional
seorang pemimpin harus menggeser fokus perhatiannya dari sekedar:
1. Mengendalikan karyawan ke membiarkan karyawan berbuat
2. Melakukan tindakan ke menjadi sesuatu
3. Membicarakan ke mendengarkan
4. Menyelesaikan masalah ke membangun budaya kreatif
5. Rasional ke intuisi
6. Berorientasi hasil jangka pendek ke berorientasi hasil jangka panjang
7. Hidup pada masa lalu/masa depan ke hidup pada masa kini
8. Bernaung di bawah birokrasi ke membangun jejaring
9. Hard times ke soft times

J. TAHAPAN DALAM KEPEMIMPINAN TRANSFORMASIONAL

Menurut Tichy & Devanna (1990) ada tiga tahapan yang secara
berurutan seharusnya dilakukan oleh seorang pemimpin transformasional
yaitu:
1. Harus ada pengakuan bahwa perubahan itu perlu.
2. Menciptakan visi baru.
3. Melembagakan perubahan.

1. Mengakui Kebutuhan Perubahan


Perubahan merupakan unsur penting bagi kegiatan bisnis maupun
strategi organisasi karena perubahan diyakini mampu membebaskan
organisasi dari kegersangan strategi – strategic drift (Johnson, 1988). Oleh
karena itu perubahan demi perubahan terus dilakukan meski sebagian
kalangan, terutama karyawan sering tidak menganggap bahwa perubahan itu
perlu. Berbeda dengan karyawan yang cenderung resisten terhadap
perubahan, pimpinan perubahan harus memiliki pandangan sebaliknya jika
ingin disebut sebagai pemimpin transformasional. Artinya pemimpin
transformasional harus menjadikan perubahan sebagai sebuah kebutuhan
4.64 Manajemen Perubahan 

bukan hanya bagi dirinya tetapi kebutuhan organisasi secara keseluruhan


termasuk karyawan. Bahwa masih ada sebagian karyawan yang menganggap
perubahan tidak perlu maka tugas pimpinan adalah meyakinkan mereka akan
perlunya perubahan. Berbagai cara bisa ditempuh misalnya membuat kondisi
sekarang menjadi tidak nyaman sehingga mereka sadar bahwa perubahan itu
perlu.
Dalam hal perubahan strategik, dorongan untuk melakukan perubahan
bisa datang dari dua arah: dari dalam perusahaan dan dari luar perusahaan.
Meski demikian tekanan dari lingkungan eksternal pada umumnya menjadi
pemicu utama yang mendorong organisasi melakukan perubahan. Dengan
asumsi seperti ini maka tantangan yang dihadapi oleh pemimpin perubahan
adalah bagaimana menyelaraskan organisasi dengan perubahan lingkungan.
Untuk itu pemimpin perubahan harus memiliki cara pandang baru yakni
paradigma, asumsi dan nilai-nilai baru agar mampu melihat perusahaan yang
dipimpinnya dengan kacamata berbeda sehingga perusahaan bisa keluar dari
rutinitas, bukan sekedar menyelesaikan persoalan yang ada tetapi mampu
melakukan transformasi ke depan. Di sini tampak bawa pemimpin perubahan
merupakan aktor kunci yang menentukan kebutuhan perubahan dan sejauh
mana perubahan perlu dilakukan. Sebagai aktor kunci dengan demikian
pemimpin perubahan harus memberikan gambaran yang jelas kepada pihak-
pihak terkait tentang tindakan-tindakan sulit yang harus dilakukan dalam
mengimplementasikan perubahan. Kalaulah tindakan tersebut tidak
disepakati sebagian kalangan, tugas pimpinan perubahan adalah menjelaskan
mengapa tindakan tersebut perlu dilakukan. Pimpinan perubahan juga
dituntut untuk mengetahui keuntungan dan kerugian yang ditimbulkan akibat
perubahan strategik. Mereka juga harus bertanggung jawab untuk
merencanakan dan membuat rencana tersebut bisa berjalan dengan baik.
Dari penjelasan di atas, secara umum bisa dikatakan bahwa elemen-
elemen kunci pada tahapan ini adalah sebagai berikut:
a. Mengakui bahwa perubahan itu memang sangat diperlukan.
b. Keputusan untuk melakukan tindakan.
c. Menemukan cara yang tepat untuk menganalisis situasi berjalan.
d. Memindai kondisi lingkungan organisasi.
e. Mencari ide-ide baru untuk semua hal yang menjadi titik perhatian.
f. Mengidentifikasikan bagaimana dampak perubahan terhadap pemangku
kepentingan (stakeholder) yang berbeda kepentingan.
g. Membangun informasi untuk memperjelas situasi berjalan dan situasi
yang akan datang.
 EKMA4565/MODUL 4 4.65

2. Menciptakan Visi Baru


Perubahan transformasional akan berhasil dengan baik jika pemimpin
perubahan mampu membuat karyawan tidak puas dengan kondisi berjalan
(status quo) dan mengeluarkan mereka dari zona kenyamanan (comfort zone).
Namun menurut Kouzes & Posner (1988) sekedar membuat karyawan tidak
puas dengan kondisi saat ini tidak cukup bagi pimpinan perubahan untuk
menggerakkan karyawan untuk berubah dan mengeluarkan mereka dari
comfort zone jika pimpinan perubahan tidak bisa menunjukkan kepada
karyawan dan semua pihak terkait apa yang ingin dicapai di masa yang akan
datang. Dalam bahasa yang sederhana, pimpinan perubahan harus mampu
menunjukkan visi baru. Dengan visi baru berarti apa yang ingin dicapai
perusahaan bukan hanya capaian tujuan jangka pendek tetapi capaian jangka
panjang yang kadang-kadang tidak dipungkiri sulit untuk dilaksanakan.
Hanya saja jika visi baru tersebut sangat menarik dan masih memungkinkan
untuk dilaksanakan meski harus bekerja keras, diyakini bahwa karyawan mau
terlibat dalam perubahan.
Prasyarat lainnya adalah pimpinan perubahan harus memiliki keyakinan
diri dan antusiasme yang tinggi terhadap visi baru tersebut. Jika tidak, visi
baru tidak akan menginspirasi karyawan dan tidak bisa dijadikan guidance
untuk melakukan perubahan. Lebih dari itu, visi baru akan lebih bermakna
jika proses penyusunannya juga melibatkan karyawan sehingga mereka
merasa memiliki dan menjadi bagian dari visi tersebut sehingga dengan suka
rela mereka akan mendedikasikan dirinya untuk mencapai tujuan bersama
sesuai dengan visi baru yang mereka sepakati. Secara umum Charles Handy
(1995) mengatakan bahwa efektivitas kepemimpinan visioner ditentukan oleh
beberapa syarat. Pertama, visi harus benar-benar berbeda. Sebuah visi harus
mampu me-reframe sesuatu yang sudah dipahami bersama; mengkonsepsikan
kembali sesuatu yang sudah jelas; menghubungkan sesuatu yang sebelumnya
tidak terhubungkan; memimpikan sebuah mimpi. Kedua, sebuah visi harus
masuk akal di mata orang lain. Visi harus kelihatan menantang tetapi bisa
dicapai. Ketiga, visi harus bisa dipahami dan mampu membawa pikiran orang
tercurah pada visi tersebut. Keempat, pimpinan harus bisa dijadikan contoh,
baik yang berkaitan dengan prilaku maupun komitmen mereka terhadap
sebuah visi. Kelima, pimpinan tidak boleh lupa bahwa jika visi ingin
diimplementasikan maka visi tersebut hanyalah satu-satunya sumber untuk
di-shared.

3. Institusionalisasi Perubahan
Ketika perubahan sudah menjadi kebutuhan setiap individu di dalam
perusahaan dan visi baru telah ditetapkan, tahapan berikutnya adalah
4.66 Manajemen Perubahan 

bagaimana melembagakan atau menjadikan perubahan sebagai bagian


integral dari kehidupan organisasi. Hal ini bisa diartikan bahwa kesadaran
karyawan akan perlunya perubahan harus terinternalisasi ke dalam diri
masing-masing karyawan dan tersistem ke dalam kehidupan organisasi. John
Kotter (1995) misalnya mengatakan bahwa sebuah perubahan
transformasional dikatakan berhasil jika perubahan tersebut menjadi “the new
way we do things around here – cara baru bagaimana kita melakukan sesuatu
hal di organisasi ini”. Atau dengan bahasa lain Kotter mengatakan bahwa
terciptanya budaya baru merupakan indikator keberhasilan perubahan
transformasional. Hal ini sesuai dengan definisi perubahan transformasional
yang dikemukakan oleh Blumenthal & Haspeslagh (1994). Menurut mereka
untuk dikatakan bahwa organisasi melakukan perubahan transformasional
maka sebagian besar orang yang berada di dalam organisasi harus merubah
perilaku mereka. Perubahan perilaku karyawan merupakan tahapan awal dari
sebuah proses panjang terbentuknya budaya baru (penjelasan lebih detail
tentang perubahan budaya lihat misalnya Sobirin, 2009).

LAT IH A N

Untuk memperdalam pemahaman Anda mengenai materi di atas,


kerjakanlah latihan berikut!

1) Bagaimanakah perbedaan antara manajemen dengan kepemimpinan?


2) Mengapa kepemimpinan diperlukan?
3) Bagaimana terjadinya kebutuhan perubahan pada kepemimpinan-
transformasional?

Petunjuk Jawaban Latihan 2

1) Perbedaan antara manajemen dengan kepemimpinan, bahwa mereka


berbeda dalam hal motivasi, sejarah pribadi, cara berfikir serta cara
bertindak. Manajer cenderung mengambil sikap impersonal, pasif
terhadap tujuan, sedangkan pemimpin mengambil sikap pribadi
(personal) dan aktif terhadap tujuan. Manajer cenderung memandang
kerja sebagai suatu proses yang memungkinkan, mencakup suatu
kombinasi dari orang dan gagasan yang berinteraksi untuk menetapkan
strategi dan mengambil keputusan. Pemimpin bekerja dari posisi berisiko
tinggi, sering memang secara temperamental ingin mencari resiko dan
bahaya, teristimewa bila kesempatan dan ganjaran tampak tinggi.
 EKMA4565/MODUL 4 4.67

Manajer lebih suka bekerja dengan orang, mereka menghindari aktivitas


sendirian (soliter) karena aktivitas itu membuat mereka cemas. Mereka
berhubungan dengan orang-orang menurut peran yang mereka mainkan
dalam suatu urutan peristiwa atau dalam proses pengambilan keputusan.
Pemimpin, memperhatikan gagasan, berhubungan dengan orang-orang
dalam cara yang lebih intuitif dan empatik.Manajemen menyangkut
upaya mengatasi kerumitan (complexity). Manajemen yang baik
menghasilkan tata tertib dan konsistensi dengan menyusun rencana-
rencana formal, merancang struktur organisasi yang ketat, dan memantau
hasil melalui pembandingan dengan rencana. Kepemimpinan sebaliknya,
menyangkut mengatasi perubahan. Pemimpin menetapkan arah tujuan
dengan mengembangkan suatu visi masa depan, kemudian mereka
mempersekutukan orang dengan mengkomunikasikan visi ini dan
mengilhami mereka untuk mengatasi rintangan-rintangan. Kotter
menganggap baik kepemimpinan yang kuat maupun manajemen yang
kuat sebagai faktor penting bagi efektivitas organisasi yang optimum.
2) Kepemimpinan diperlukan karena organisasi tidak bisa didesain seperti
mesin yang bisa dengan mudah dihidupkan lantas semuanya bisa
berjalan secara otomatis, organisasi terdiri dari orang-orang yang
membutuhkan sentuhan, memerlukan insprirasi, dorongan, dan motivasi.
Termasuk didalamnya mengatur tugas, memutuskan siapa mengerjakan
apa, dan mendelegasikan pekerjaan. Kehadiran seorang pemimpin
diperlukan untuk mengidentifikasikan strategi baru dan cara-cara yang
mungkin bisa dijalankan untuk menyikapi perubahan lingkungan. Selain
itu peran seorang pemimpin menjadi penting untuk melakukan
koordinasi dan menyelesaikan konflik. Kehadiran seorang pemimpin
sangat diperlukan terutama untuk memberi motivasi, menginspirasi dan
menjaga agar karyawan mau terus terlibat dalam kehidupan organisasi.
3) Dalam kepemimpinan transformasional harus menjadikan perubahan
sebagai sebuah kebutuhan bukan hanya bagi dirinya tetapi kebutuhan
organisasi secara keseluruhan termasuk karyawan. Bahkan perubahan
sebagai kebutuhan yang dilindas dengan faktor zaman sangatlah penting
karena berbagai cara bisa ditempuh misalnya membuat kondisi sekarang
menjadi tidak nyaman sehingga mereka sadar bahwa perubahan itu
diperlukan.
4.68 Manajemen Perubahan 

R A NG KU M AN

Kepemimpinan merupakan salah satu topik penting dalam


perubahan organisasi. Dalam banyak hal keberhasilan atau kegagalan
perubahan organisasi mencapai tujuan yang diharapkan biasanya tidak
bisa dipisahkan dari kualitas pimpinan dan sangat tergantung pada
kemampuan Sang Pemimpin memainkan perannya. Hal itu menjadikan
pemimpin memegang peranan kunci dalam memformulasikan dan
mengimplementasikan strategi perubahan organisasi sehingga
peranannya akan memengaruhi keberhasilan perubahan organisasi.
Pengaruh yang diharapkan dari seorang pemimpin agar organisasi
berjalan efektif tidak sama untuk semua pemimpin. Selayaknya masing-
masing pemimpin dituntut untuk memainkan peran dan kemampuan
berbeda tergantung pada level organisasi yang ditempati dan kondisi
organisasi yang sedang dikelola. Menurut Palmer et al. perubahan
organisasi dibedakan menjadi dua yaitu perubahan sebagai upaya untuk
mengendalikan aktivitas organisasi (controlling activities) dan
perubahan sebagai upaya untuk membentuk kapabilitas organisasi
(shaping capabilities).
Menuju perubahan organisasi dibutuhkan kepemimpinan yang
kharismatik dan kepemimpinan transaksional-transformasional.
Kepemimpin kharismatik secara umum mempunyai beberapa
karakteristik antara lain percaya diri, memiliki energi dan kemampuan
berkomunikasi. Kepemimpinan transaksional adalah tipikal
kepemimpinan yang lebih menekankan pada transaksi interpersonal
antara pemimpin dan karyawan yang melibatkan hubungan pertukaran
(exchange). Sedangkan karakteristik kepemimpinan transformasional
ditunjukkan melalui tiga faktor perilaku: konsiderasi individual,
stimulasi intelektual serta kharisma (Bass, 1990)
Menurut Tichy & Devanna (1990) ada tiga tahapan yang secara
berurutan seharusnya dilakukan oleh seorang pemimpin transformasional
yaitu:
1. Harus ada pengakuan bahwa perubahan itu perlu.
2. Menciptakan visi baru.
3. Melembagakan perubahan.
 EKMA4565/MODUL 4 4.69

TES F OR M AT IF 2

Pilihlah satu jawaban yang paling tepat!


1) Pemimpin dan kepemimpinan menunjukkan adanya kecenderungan
dalam melihat pemimpin sebagai seseorang yang berada ditengah-tengah
kelompok dan menjadi ....
A. Pusat pertukaran, peradaban dalam organisasi
B. Pusat perubahan, pergerakan dan aktivitas kelompok
C. Pergeseran dalam tata perubahan aktivitas kelompok
D. Penentuan aktivitas organisasi dengan munculnya perubahan

2) Untuk menjadi pemimpin seseorang harus dapat mengembangkan


motivasi pengikut secara terus menerus dan mengubah perilaku mereka
menjadi responsif. Pendapat dikemukakan oleh ....
A. Bass (1990)
B. Holbeche (2006)
C. Burns (1978)
D. Tichy & Devanna (1990)

3) Pemimpin karismatik dalam melaksanakan tugasnya cenderung


menenkankan sisi negatifnya, hal ini terjadi dengan ....
A. Menggunakan tujuan idealnya untuk kepentingan dirinya demi
memperkuat kekuasaannya
B. Membentuk kekuatan untuk kemenangan kelompoknya
C. Mementingkan dirinya daripada tujuan organisasinya
D. Menguasai tugas kerja unit lain untuk memperkuat posisinya

4) Karakteristik kepemimpinan transformasional yang dapat menciptakan


ide baru dan melakukan pemberdayaan lebih ditunjukkan pada faktor ....
A. Konsiderasi individual
B. Stimulasi intelektual
C. Karisma dan inspirasi
D. Dinasti intelektual

5) Menuju perubahan organisasi dibutuhkan kepemimpinan yang dapat


membuat visi baru lebih bermakna jika proses penyusunannya juga
melibatkan karyawan sehingga mereka merasa
A. memiliki dan menjadi bagian dari visi tersebut
B. mendedikasikan dirinya untuk mencapai tujuan bersama
C. menyesuaikan dirinya dengan visi baru yang mereka sepakati
D. Jawaban A, B, dan C benar
4.70 Manajemen Perubahan 

Cocokkanlah jawaban Anda dengan Kunci Jawaban Tes Formatif 2 yang


terdapat di bagian akhir modul ini. Hitunglah jawaban yang benar.
Kemudian, gunakan rumus berikut untuk mengetahui tingkat penguasaan
Anda terhadap materi Kegiatan Belajar 2.

Jumlah Jawaban yang Benar


Tingkat penguasaan =  100%
Jumlah Soal

Arti tingkat penguasaan: 90 - 100% = baik sekali


80 - 89% = baik
70 - 79% = cukup
< 70% = kurang

Apabila mencapai tingkat penguasaan 80% atau lebih, Anda dapat


meneruskan dengan modul selanjutnya. Bagus! Jika masih di bawah 80%,
Anda harus mengulangi materi Kegiatan Belajar 2, terutama bagian yang
belum dikuasai.
 EKMA4565/MODUL 4 4.71

Kunci Jawaban Tes Formatif

Tes Formatif 1 Tes Formatif 2


1) B. 1) B.
2) A. 2) C.
3) C. 3) A.
4) B. 4) B.
5) A. 5) D.
4.72 Manajemen Perubahan 

Daftar Pustaka

Bass, B. M. (1985). Leadership and Performance Beyond Expectation. New


York: The Free Press.

Bass, B.M. (1990). Bass and Stogdill‟s handbook of leadership, 3rd edition,
New York: The Free Press.

Beer, M. & Nohria, N. (2000). Breaking the Code of Change, Harvard


Business Review, May-June, pp. 133-141.

Bennis, Waren (1994). On Becoming A Leader (Terjemahan). Jakarta: Elex


Media Komputindo.

Blumenthal & Haspeslagh (1994).

Bouckenooghe, 2009).

Burns, MacGregor J. (1978). Leadership. New York: Harper & Row.

Carter, N. (1997). Solve the dual career challenge, Workforce, halaman


21-22.

Clegg & Walsh, 2004).

Collin, J. (2001).

Conger (1990).

Conover & Feldman, 1984), Eide, 2005).

Fiedler, F.E. (1967). A theory of leadership effectiveness, New York:


McGraw Hill.

Fineman, 2001).
 EKMA4565/MODUL 4 4.73

Freeman (1996).

Fridja, (1993)

George & Jones (2001).

Handy, C. (1995).

Holbeche, (2006).

Huy (2005).

Johnson, 1988).

Karp, T. (2006).

Katz, D. & Khan, R. (1978). The social psychology of organization, 2nd


edition, New York: Willey and Sons.

Keltner & Gross (1999).

Kissler (1994).

Kotter (1973).

Kotter, John, P. (1988). The Leadership Factor. New York: The Free Press.

Kouzes, J. M. & Posner, B.Z. (1987). The Leadership Challenge. San


Fransisco, CA: Jossey-Bass Publishers.; Kouzes.

Kouzes, J. M. & Posner, B.Z. (1993). Credibility. San Fransisco, CA: Jossey-
Bass Publisher.

Locke, Edwin A; Kirkpatrick, Shelley; Wheeler, Jillk., Schneider; Niles,


Kathryn; Goldstein, H arold; Welsh, Kurt; Chah, Dong-Ok (1991). The
Essence of Leadership: The Four Keys to Leading Successfully. New
York: Lexinton Books.
4.74 Manajemen Perubahan 

Marshak, 2009).

Morgan, 1996).

Morrison (1994). Psychological Contract and Change, Human Resource


Management, 33, pp. 353-372.

Morrison, E. and Milliken, F. (2000), “Organizational silence: a barrier to


change and development in a pluralistic world”, Academy of
Management Review, Vol. 25 No. 4, pp. 706-25.

Morrison E. W. and Robinson S. L. (1997) „When Employees Feel Betrayed:


a model of how psychological contract violation develops‟, Academy of
Management Review, 22(1): 226-256.

Nahavandi, A. (1997). The art and science of leadership, Prentice Hall Inc.

Nahavandi, A. & Malekzadeh, A. (1993). Leader style in strategy and


organizational performance: An integrative framework, Journal of
management studies, 30, 3, halaman 405 – 425.

Ott, Steven J. (1996). Classic Readings in Organizational Behavior.


Belmont, CA: Wadworth Publishing Company.

Palmer, Dunford & Akin, 2006).

Robinson & Rousseau (1994).

Robinson, Kraatz & Rousseau (1994).

Rousseau (1989).

Rousseau (1990).

Schein, E.H. (1992) Organizational Culture and Leadership, 2nd edition,


San Fransisco, CA: Jossey-Bass Publishers.
 EKMA4565/MODUL 4 4.75

Schneider et al. (1996).

Sobirin, A. (2009). Budaya Organisasi, Yogayakarta: Penerbit STIM YKPN.

Sobirin, A. (2010). Perilaku Organisasi, Jakarta: Penerbit Universitas


Terbuka.

Tichy & Devanna (1990).

Turnley & Feldman (1998).

von Hoppel, et al., 1993).

Weidman, D. (2000).

Yulk, G. (1994). Leadership in organization, 3rd edition, Prentice Hall


international, Inc.

Zaleznik (1977). ”Manager and Leader, Are They Different?” The Harvard
Business Review. May-June.
Modul 5

Pengembangan Organisasi dan


Organisasi Pembelajar
Drs. Achmad Sobirin, MBA., Ph.D.

PEN D A HU L UA N

P engembangan Organisasi (Organization Development, populer dengan


singkatan OD) merupakan bidang kajian dan disiplin ilmu tersendiri
dengan common body of knowledge yang berbeda dari bidang studi lain.
Bidang studi ini relatif sudah tua, mulai dikenal sejak tahun 1950-an dan
mencapai tingkat popularitasnya pada tahun 1960an dan 1970-an (Grieves
(2000) saat lingkungan organisasi masih relatif stabil. Memasuki tahun 1980-
an manakala lingkungan organisasi berubah menjadi semakin dimanis dan
turbulen mengarah pada situasi yang keostik, populeritas pengembangan
organisasi mulai memudar. Bahkan seperti banyak diakui para pendukung
OD, saat ini OD sedang mengalami pasang surut, kalau tidak dikatakan
sedang mengalami krisis (Burke & Bradford, 2006). Itulah sebabnya para
pendukung OD mendesak agar dilakukan rein(ter)vensi sehingga ke depan
OD kembali bisa menjadi alat bantu yang memadai dalam meningkatkan
efektivitas organisasi.
Dengan memudarnya OD, sekarang orang lebih mengenal istilah
manajemen perubahan ketimbang OD. Hal ini misalnya diakui konsultan dan
praktisi OD – Robert Marshak (2006). Menurutnya sejak tahun 1990-an klien
tidak lagi menanyakan apakah Ia mempraktikan OD. Pertanyaannya
cenderung apakah Ia mempraktikan manajemen perubahan. Terlepas dari
peran pengembangan organisasi yang cenderung terpinggirkan oleh
manajemen perubahan, teknik-teknik yang digunakan manajemen perubahan
sebelumnya merupakan teknik yang biasa diterapkan oleh OD. Ambillah
contoh perubahan terencana (planned change). Teknik ini yang dikembang-
kan Kurt Lewin pada akhir tahun 1940-an dan sekarang banyak digunakan
para konsultan manajemen perubahan justru menjadi salah satu ciri utama
OD. Dalam hal ini dengan demikian OD dan manajemen perubahan
sepertinya tidak ada perbedaan yang berarti. Keduanya terlibat dalam
5.2 Manajemen Perubahan 

perubahan organisasi. Hanya saja seperti telah diungkap pada modul


sebelumnya manajemen perubahan lebih berorientasi pragmatis dan jangka
pendek serta lebih mementingkan hasil sedangkan OD berorientasi jangka
panjang dan menuntut partisipasi pihak yang diubah. Di samping itu OD juga
melakukan transfer pengetahuan kepada pihak-pihak yang dilibatkan dalam
perubahan melalui proses pembelajaran.
Penjelasan di atas secara tidak langsung menegaskan bahwa OD
memiliki kaitan erat dengan pembelajaran organisasi (organizational
learning) yang menjadi titik awal terciptanya organisasi pembelajar (learning
organization). Keterkaitan antara OD dan organisasi pembelajar inilah yang
menjadi fokus bahasan pada modul ini. Dengan demikian setelah
mempelajari modul ini Anda diharapkan mampu:
1. memahami pengertian pengembangan organisasi;
2. memahami pengertian organisasi pembelajar;
3. menjelaskan karakteristik OD;
4. menjelaskan diagnosis organisasi;
5. menjelaskan proses OD;
6. menjelaskan intervensi OD;
7. menjelaskan perbedaan antara pembelajaran organisasional vs organisasi
pembelajaran;
8. menjelaskan model sistem organisasi pembelajar;
9. menjelaskan subsistem pembelajaran;
10. menjelaskan kaitan antara organisasi pembelajaran dan manajemen
pengetahuan;
11. menjelaskan perubahan persepsi atas perusahaan.
 EKMA4565/MODUL 5 5.3

Kegiatan Belajar 1

Pengembangan Organisasi
A. PENGERTIAN PENGEMBANGAN ORGANISASI

Sebagai sebuah disiplin ilmu yang memiliki common body of knowledge


tersendiri, tentu saja OD mempunyai pengertian formal yang menjelaskan
apa itu OD, sejauh mana cakupan bidang garapnya dan apa hasil yang
diharapkan. Sayangnya sejauh ini tidak ada definisi baku tentang OD,
penyebabnya boleh jadi karena OD terus berkembang mencoba
menyesuaikan diri dengan perkembangan dan perubahan lingkungan
eksternal. Ketiadaan definisi baku tentang OD misalnya ditegaskan Egan
(2002). Melalui artikel yang berjudul ‖Organization Development: An
Examination of Definitions and Dependent Variables‖, Egan menelusuri
buku dan artikel OD yang diterbitkan sejak tahun 1969 sampai 2001.
Hasilnya, Egan menemukan tidak kurang dari 27 definisi OD. Hasil temuan
Egan tentang definisi OD secara lengkap disajikan pada Tabel 5.1.
Dalam artikel tersebut, Egan tidak hanya bermaksud menyajikan
perbedaan definisi OD yang dikutip dari beberapa akademisi dan praktisi OD
tetapi juga mengidentifikasi perbedaan tekanan dari definisi tersebut dan
hasil yang diharapkan setelah menjalankan OD. Perbedaan tekanan pada
masing-masing definisi ditunjukkan oleh cetak tebal pada setiap definisi dan
perbedaan hasil yang diinginkan tampak pada kolom 4, Tabel 5.1 yang diberi
sebutan dependent variable. Sebagai contoh, definisi yang dikemukakan
Beckard (1969) menunjukkan bahwa dengan menjalankan kegiatan
pengembangan organisasi sangat diharapkan efektivitas dan kesehatan
organisasi meningkat lebih baik (increase organization effectiveness and
health). Sementara Cummings & Worley (2001) hanya mengharapkan
terciptanya efektivitas organisasi (organization effectiveness).
5.4 Manajemen Perubahan 

Tabel 5.1.
Beberapa Definisi OD
 EKMA4565/MODUL 5 5.5
5.6 Manajemen Perubahan 
 EKMA4565/MODUL 5 5.7
5.8 Manajemen Perubahan 

Meski Egan telah menyajikan 27 definisi berbeda, tidak bisa dipungkiri


jika definisi-definisi lain masih bisa ditemukan. Demikian juga dari sekian
banyak definisi yang ada, hanya ada beberapa definisi yang paling sering
dijadikan rujukan bagi penulis lain untuk menjelaskan OD. Agar tidak
terjebak dalam keanekaragaman definisi OD, penjelasan Worley &
Feyerherm (2003) tentang prasyarat yang harus dipenuhi agar sebuah proses
bisa disebut sebagai OD barangkali perlu diperhatikan. Mereka mengatakan
bahwa sebuah proses disebut OD jika (1) proses tersebut menghasilkan
perubahan pada sistem organisasi, baik sebagian atau keseluruhan sistem,
(2) proses tersebut melibatkan aspek pembelajaran atau transfer pengetahuan
atau skill kepada pihak yang terlibat atau dilibatkan dalam proses OD, (3) ada
bukti atau paling tidak, ada keinginan kuat untuk menciptakan efektivitas
organisasi bagi klien yang menerapkan OD.
Dari penjelasan di atas dan telaah terhadap definisi-definisi yang
disampaikan Egan, tampaknya definisi OD yang dikemukakan Michael Beer
memenuhi ketiga persyaratan di atas dan oleh karenanya akan menjadi
rujukan modul ini. Pilihan ini bukan berarti definisi-definisi lain tidak
memenuhi syarat sebagai OD tetapi pilihan ini lebih bersifat subyektif dan
dianggap lebih cocok untuk menjelaskan kerangka pikir OD yang akan
diuraikan pada modul ini. Definisi OD sebagaimana dikemukakan Michael
Beer (1980) adalah sebagai berikut.

Pengembangan Organisasi adalah aplikasi dan transfer pengetahuan


berbasis pada ilmu prilaku (behavioral science) yang diterapkan secara
sistemik dan terencana dalam rangka untuk mengembangkan,
meningkatkan dan menguatkan kembali strategi, struktur dan proses
organisasi sehingga tercipta efektivitas organisasi.

Definisi di atas, seperti diakui Cummings & Worley (2005: 2-3)


sekaligus bisa digunakan untuk membedakan OD dari disiplin lain khususnya
manajemen perubahan atau perubahan organisasi. Argumentasi yang
dikemukakan Cummings & Worley adalah sebagai berikut.
 Pertama, OD bisa diterapkan untuk perubahan strategi, struktur dan
proses pada keseluruhan sistem organisasi, satu atau beberapa unit
aktivitas tertentu, departemen, kelompok kerja, atau peran atau pekerjaan
orang per orang. Program perubahan yang ditujukan untuk memodifikasi
strategi organisasi misalnya bisa saja difokuskan pada ―bagaimana
strategi dihubungkan dengan lingkungan yang lebih luas‖ atau
 EKMA4565/MODUL 5 5.9

―bagaimana hubungan tersebut bisa ditingkatkan lebih baik‖. Termasuk


di dalamnya perubahan yang diharapkan agar sekelompok orang bisa
mengerjakan tugas lebih baik (perubahan struktur) atau perubahan dalam
cara berkomunikasi dan menyelesaikan masalah (perubahan proses) yang
kesemuanya mendukung perubahan strategi. Hal yang sama, program
OD yang diarahkan untuk membantu pimpinan puncak bisa bekerja lebih
efektif mungkin bisa difokuskan pada proses interaksi dan penyelesaian
masalah kelompok. Fokus seperti ini diharapkan dapat meningkatkan
kemampuan pimpinan puncak dalam menyelesaikan masalah organisasi
yang terkait dengan strategi dan struktur organisasi. Hal ini sangat
berbeda dengan program yang fokusnya hanya pada satu atau beberapa
sistem yang hanya memberi perhatian sangat terbatas sehingga efek
perbaikannya juga sangat terbatas.
 Kedua, OD didasarkan pada pengetahuan dan praktik ilmu prilaku
terapan (applied behavioral science) termasuk di dalamnya konsep-
konsep yang tergolong mikro seperti, kepemimpinan, dinamika
kelompok dan desain kerja, dan konsep-konsep makro seperti strategi,
desain organisasi dan hubungan internasional. Hal ini berbeda dengan
aplikasi yang diterapkan oleh konsultan manajemen atau inovator
teknologi yang lebih menekankan pentingnya aspek ekonomi, finansial,
dan teknis tanpa memperhatikan dampak personal dan sosial dari sistem
tersebut. Demikian juga OD sangat memberi perhatian pada aspek
transfer pengetahuan terhadap orang-orang yang nantinya akan
melaksanakan perubahan berikutnya.
 Ketiga, OD lebih menekankan pentingnya mengelola perubahan
terencana namun bukan dalam pengertian formal/kaku di mana semua
rencana datang semata-mata dari konsultan. Sebaliknya OD menerapkan
proses adaptif dalam perencanaan dan implementasi perubahan, bukan
proses yang kaku, sehingga dalam mendiagnosis dan menyelesaikan
persoalan bisa saja rencana awal berubah jika di tengah-tengah proses
diperoleh informasi baru yang mengharuskan rencana tersebut berubah.
Walhasil, OD menerapkan rencana yang fleksibel sesuai dengan
kebutuhan lingkungan organisasi yang berkembang saat itu.
 Keempat, OD bukan hanya sekedar mengkreasi perubahan tetapi juga
tindakan lanjutan dalam rangka memperkuat hasil perubahan sehingga
program OD bersifat jangka panjang. Sebagai contoh,
mengimplementasikan program untuk menciptakan tim yang mandiri
5.10 Manajemen Perubahan 

(self-managed team) akan berdampak pada program lain yakni memberi


kekuasaan dan keleluasaan tim untuk mengatur cara kerja mereka.
Sementara itu, supervisor juga harus memastikan bahwa tim memiliki
kebebasan dalam bertindak. Bagi supervisor yang memimpin dengan
cara demikian tentunya patut mendapat penghargaan. Oleh karenanya
program OD tidak hanya berhenti pada menciptakan self-managed team
tetapi juga program-program lanjutan termasuk program penghargaan
bagi supervisor yang mendorong terciptanya manajemen partisipatif.
 Kelima, tujuan akhir dari OD adalah meningkatkan efektivitas
organisasi. Ada dua asumsi yang melatarbelakangi hal ini. Pertama, yang
dimaksud dengan organisasi yang efektif adalah organisasi tersebut
mampu menyelesaikan persoalan yang mereka hadapi secara mandiri
dan memfokuskan perhatian dan sumber daya pada upaya untuk
mencapai tujuan organisasi. Dalam hal ini tugas OD adalah membantu
anggota organisasi memiliki skill untuk melakukan semua itu. Kedua,
organisasi yang efektif bukan hanya kinerjanya bagus dalam aspek
ekonomi tetapi juga kualitas hidup para anggota organisasi meningkat.
Sekali lagi, tugas OD adalah membantu agar karyawan bergairah dalam
bekerja dan tertarik untuk meningkatkan kinerjanya. Secara keseluruhan
dengan demikian sasaran OD – sasaran jangka panjang adalah
menciptakan kepuasan kedua belah pihak yang berbeda kepentingan
yakni kepuasan ekonomi pemilik organisasi di satu sisi dan kepuasan
karyawan di sisi lainnya.

B. KARAKTERISTIK OD

Dari uraian tentang definisi OD sesungguhnya secara tidak langsung


telah dijelaskan pula karakteristik OD. Meski demikian untuk mempertegas
penjelasan tersebut, berikut dipaparkan karakteristik OD sebagaimana
dikemukakan oleh Harvey & Brown (1996: 4-5) dan secara ringkas dapat
dilihat pada Tabel 5.2.
 EKMA4565/MODUL 5 5.11

Tabel 5.2.
Karakteristik OD

karakteristik Penjelasan inti


1. Perubahan terencana Perubahan bersifat terencana yang dilakukan seorang
manajer untuk mencapai tujuan organisasi
2. Pendekatan kolaboratif Perubahan dilakukan dengan pendekatan kolaboratif
dan melibatkan banyak pihak terkait
3. Berorientasi kinerja Perubahan menekankan pada cara untuk memperbaiki
dan meningkatkan kinerja
4. Berorientasi humanism Perubahan menekankan pada peningkatan
kesempatan dan penggunaan potensi sumber daya
manusia
5. Pendekatan sistem Perubahan memperhatikan hubungan interrelasi antar
unit dan aktivitas sebagai satu kesatuan sistem
6. Menggunakan metode Perubahan menggunakan pendekatan ilmiah sebagai
ilmiah pendukung pengalaman praktis.

Untuk melengkapi apa yang disampaikan Harvey & Brown, McLean


(2006: 12-13) menambahkan beberapa karakteristik lain sehingga
terkesan lebih detail. Secara keseluruhan menurut McLean karakteristik
inti OD adalah sebagai berikut:
1. OD merupakan bidang kajian yang menggunakan pendekatan
multidisiplin dengan pijakan utama disiplin ilmu prilaku terapan (applied
behavioral science). Disiplin lain yang juga mendukung dan terlibat
dalam proses OD termasuk: prilaku organisasi, manajemen, bisnis,
psikologi, sosiologi, antropologi, ekonomi, pendidikan, konseling dan
administrasi publik.
2. Tujuan utama OD, meski tidak eksklusif, adalah meningkatkan
efektivitas organisasi di samping tujuan lain seperti tingkat kesehatan
organisasi.
3. Target utama perubahan atau cakupan unit aktivitas yang diubah adalah
keseluruhan organisasi, departemen, kelompok kerja, atau individu-
individu dalam sebuah organisasi. Di samping itu sangat dimungkinkan
pula untuk menggunakan OD dalam perubahan komunitas, atau
perubahan lain yang lebih makro seperti bangsa atau negara dan wilayah
teritori.
4. OD mengakui pentingnya komitmen, dukungan dan keterlibatan
manajemen puncak dalam menjalankan proses perubahan. Namun OD
juga tidak menampik untuk menggunakan pendekatan bottom up dalam
5.12 Manajemen Perubahan 

proses pelaksanaannya khususnya manakala budaya organisasi yang ada


memungkinkan cara tersebut bisa diberlakukan dalam upayanya untuk
meningkatkan kinerja organisasi.
5. OD merupakan strategi perubahan yang bersifat terencana dan jangka
panjang. Di samping itu OD juga menyadari bahwa lingkungan sangat
dinamis. Lingkungan seperti ini mengharuskan para konsultan atau
partisi OD memiliki kemampuan untuk merespon dengan cepat
manakala lingkungan tersebut berubah.
6. Fokus perhatian utama OD adalah sistem organisasi secara menyeluruh
termasuk bagian-bagian dari sistem tersebut.
7. OD menggunakan pendekatan kolaborasi dengan berbagai pihak yang
akan terkena dampak perubahan,
8. Program OD menekankan cara-cara baru yang diperlukan guna
meningkatkan kinerja seluruh anggota organisasi
9. OD adalah program berbasis edukasi yang didesain untuk
mengembangkan nilai, sikap, norma dan praktik manajemen yang
diharapkan dapat menghasilkan iklim organisasi yang sehat yang
menghargai prilaku yang sehat. OD dengan demikian merupakan proses
perubahan yang berasaskan nilai-nilai humanisme.
10. Dalam pelaksanaannya OD dibantu oleh agen perubahan, tim perubahan
dan manajer lini yang peran utamanya adalah menjadi fasilitator, guru
dan Pembina, bukan semata-mata seorang ekspert yang memaksakan
kehendak.
11. OD menyadari pentingnya tindakan lanjutan yang terencana sebagai
upaya untuk mempertahankan hasil perubahan.
12. Dalam pelaksananya OD banyak melakukan intervensi terhadap proses
dan struktur organisasi demi memperbaiki proses dan struktur tersebut.
Intervensi tersebut harus terencana dengan baik dan orang yang
melakukannya dituntut memiliki kemampuan bekerja sama dengan
individu, kelompok atau keseluruhan organisasi yang diintervensi.

C. KRITIK TERHADAP OD

Terbitnya buku ―Reinventing Organization Development‖ yang diedit


Bradford & Burke (2006) merupakan bentuk kegelisahan para pendukung
OD terhadap masa depan OD. Mereka tidak memungkiri jika sekarang ini
OD sedang mengalami krisis. OD semakin terpinggirkan dan terdesak oleh
 EKMA4565/MODUL 5 5.13

konsultan manajemen yang menggunakan paradigma berbeda yang dianggap


lebih cocok untuk lingkungan organisasi abad 21. Jauh sebelum kegelisahan
ini muncul, kritik terhadap OD sesungguhnya bukannya tidak ada. Paling
tidak kritik datang dari Greiner (1972), French & Bell (1995) dan Greiner &
Cummings (2006). Seperti judul artikel yang Ia tulis, Greiner menggunakan
istilah red flag (bendera merah) ketika mengkritik OD. Enam kritik Greiner
terhadap OD adalah sebagai berikut.
1. OD lebih mendahulukan individu ketimbang organisasi. Kecenderungan
OD yang lebih memiliki obsesi untuk melakukan perubahan prilaku
individu menyebabkan OD kurang fokus pada aspek formal dari sebuah
organisasi seperti strategi, struktur dan kontrol. Akibatnya, OD kurang
memberi perhatian aspek lingkungan yang sesungguhnya bisa
mendukung dan memperkuat perubahan prilaku.
2. OD lebih mengedepankan aspek informal organisasi dari organisasi
formal. Ada kecenderungan OD memberi tekanan berlebihan pada nilai-
nilai interpersonal seperti keterbukaan, saling percaya dsb. sebagai
sarana untuk merubah budaya organisasi. Kecenderungan ini bahkan
dilakukan dengan mengorbankan desain formal organisasi termasuk
nilai-nilai yang melekat di dalamnya seperti efisiensi, hierarki dan
akuntabilitas. Kembali, persoalan ini menyebabkan OD kehilangan
kesempatan untuk menghasilkan dampak perubahan yang lebih luas.
3. Perubahan prilaku lebih diutamakan daripada diagnosis menyeluruh.
Nilai-nilai inti OD yang lebih menekankan pentingnya perubahan prilaku
membawa akibat sering terlupakannya arti penting diagnosis untuk
mengetahui apakah prilaku berjalan kompatibel dengan arah strategi dan
budaya organisasi. Atau dengan kata lain, model perubahan OD yang
mempromosikan pentingnya keterbukaan dan saling percaya antar
individu dianggap sebagai norma yang diterima apa adanya tanpa
mempertanyakan apakah model tersebut cocok untuk situasi berbeda.
4. Proses dianggap lebih penting ketimbang tugas-tugas organisasi. Dengan
lebih menekankan pentingnya kerja team di mana setiap anggota
memiliki ikatan yang kuat (memiliki hubungan emosional) dengan
anggota lain dalam sebuah kelompok, OD mengingkari kenyataan bahwa
tidak semua pekerjaan bisa diselesaikan dengan kerja tim. Ada beberapa
pekerjaan yang secara inheren merupakan kerja individual yang tidak
membutuhkan tim kerja dan keterbukaan dalam bekerja. Pekerjaan teknis
5.14 Manajemen Perubahan 

yang terprogram misalnya memiliki karakteristik sebagai pekerjaan


individual.
5. Peran konsultan lebih dominan ketimbang manajer. Program-program
OD biasanya didesain dan dijalankan oleh Konsultan dan target
perubahannya adalah para manajer yang bekerja di dalam organisasi.
Sayangnya dalam penyusunan program tersebut baik dalam perencanaan
maupun pelaksanaannya manajer tidak dilibatkan. Mereka seolah-olah
hanya penerima perubahan dan harus setuju dengan apa yang dilakukan
para Konsultan.
6. Dalam pelaksanaannya ―paket program‖ lebih disukai ketimbang situasi
riil yang dihadapi organisasi. Klien sendiri pada umumnya lebih
menyukai program OD dalam bentuk paket yaitu aktivitas formal yang
terstruktur, nyata dan mudah dijelaskan ke karyawan. Bagi Konsultan
OD sendiri situasi ini tentu saja sangat menggembirakan karena mudah
dijual dan administrasinya sederhana. Akibatnya organisasi yang
membutuhkan perubahan harus menyesuaikan program OD bukan
sebaliknya program OD yang harus menyesuaikan kebutuhan spesifik
klien.

Dengan menggunakan istilah yang sebelumnya digunakan Greiner –


bendera merah (red flag), Greiner & Cummings (2006) kembali mengibarkan
bendera merah sebagai tanda bahaya. Mereka menyatakan bahwa kelebihan-
kelebihan OD yang telah dimiliki sebelumnya seperti partisipasi, keterbukaan
dan trust harus disesuaikan kembali dengan organisasi abad 21 jika
menginginkan OD tetap eksis. Greiner & Cummings (2006) misalnya
mengatakan bahwa OD dianggap mengesampingkan (1) keterlibatannya
dalam pengambilan keputusan pimpinan puncak, (2) formulasi strategi,
(3) merger dan akuisisi, (4) globalisasi, (5) aliansi dan organisasi virtual, dan
(6) corporate governance dan personal integrity. Sementara itu French & Bell
(1995: 326-325) yang sesungguhnya masih sangat optimis akan masa depan
OD, tidak luput memberikan kritik meski kritiknya lebih bersifat kritik
membangun. Kritik yang dilayangkan French & Bell lebih terkait dengan OD
sebagai sebuah bidang kajian yang mandiri. Kritik tersebut adalah sebagai
berikut.
1. Definisi dan konsep OD. OD melakukan intervensi baik intervensi
tunggal maupun jamak untuk waktu berbeda dalam jangka yang relatif
lama. Oleh karena itu mengaitkan OD dengan kemampuannya untuk
 EKMA4565/MODUL 5 5.15

meningkatkan efektivitas organisasi relatif sulit dilakukan lebih-lebih


karena tidak ada definisi baku tentang efektivitas organisasi.
2. Problem validitas internal. Hal ini berkaitan dengan pertanyaan apakah
perubahan yang terjadi disebabkan karena intervensi atau karena faktor-
faktor lain.
3. Problem validitas eksternal. Hal ini berkaitan dengan pertanyaan tentang
apakah OD memiliki kemampuan untuk menggeneralisasi hasil
penelitiannya atau apakah teknik-teknik OD hanya bisa digunakan untuk
kondisi tertentu.
4. Lemahnya teori OD. Sejauh ini tidak ada teori perubahan yang
komprehensif yang bisa membantu para peneliti untuk mengetahui apa
yang sesungguhnya mereka cari dalam penelitiannya.
5. Masalah yang berkaitan dengan pengukuran perubahan sikap.
Menggunakan survei yang dilakukan sebelum dan sesudah perubahan
merupakan masalah tersendiri mengingat seseorang bisa saja tidak
konsisten ketika harus mengisi jawaban pertanyaan yang sama untuk
kedua kalinya.
6. Masalah yang berkaitan dengan pendekatan normal science dalam
melaksanakan riset OD. Praktik OD yang berbasis pada proses
menyebabkan penelitian OD lebih cocok menggunakan pendekatan
action research bukan pendekatan posivitifistik yang menggunakan
teknik-teknik pengujian hipotesis, asesmen dan hubungan sebab akibat.

Masih seputar kritik terhadap OD, Burke (1997) mempertanyakan


relevansi dan kemampuan OD dalam menghadapi isu-isu kontemporer seperti
kepemimpinan, perubahan strategik, kekuasaan dan sistem penghargaan. Di
samping itu, pertanyaan terhadap nilai-nilai inti juga muncul. Apakah nilai-
nilai OD masih relevan dengan kondisi saat ini? Apakah nilai-nilai OD
bersifat universal? dan Apakah OD mampu digunakan untuk melakukan
perubahan berskala besar? Jawaban terhadap semua kritik ini tentunya sangat
bergantung pada kemampuan OD untuk menyesuaikan diri dengan
perkembangan lingkungan saat ini dan mendatang.

D. PROSES PENGEMBANGAN ORGANISASI

Setelah memperoleh gambaran umum tentang OD termasuk di dalamnya


definisi, karakteristik umum dan kritik terhadap OD, pertanyaan selanjutnya
5.16 Manajemen Perubahan 

adalah apa sesungguhnya yang dilakukan OD, bagaimana melakukannya dan


siapa saja yang terlibat di dalamnya? Untuk menjawab pertanyaan-
pertanyaan ini tampaknya kita harus menengok kembali definisi OD. Dari
definisi yang telah dipaparkan di muka diketahui bahwa OD merupakan
proses perubahan terencana yang berbasis pada ilmu prilaku terapan.
Sebagaimana kita ketahui, perubahan terencana merupakan istilah yang
pertama kali diperkenalkan oleh Kurt Lewin untuk membedakan perubahan
yang sengaja digerakkan dan direncanakan organisasi, dari jenis perubahan
lain yang lebih bersifat tanpa rencana atau mendadak - emergent, karena
sekedar impuls atau perubahan yang dipaksakan (uraian lengkap lihat model
3). Model perubahan yang dibangun Lewin, meski masih tampak sangat
sederhana untuk menjelaskan proses perubahan, sangat populer di pelatihan-
pelatihan manajemen dan program OD. Sebagai model awal tentu masih
banyak kelemahan. Oleh karena itu sangat tidak mengherankan jika di
kemudian hari model tersebut disempurnakan oleh beberapa akademisi lain.
Edgar Huse pada tahun 1980 misalnya menyempurnakan model tersebut
menjadi proses perubahan 7 tahap (lihat Gambar 5.1). Mari kita lihat satu
persatu tahapan-tahapan tersebut.
1. Scouting. Pada tahap ini untuk pertama kalinya pihak konsultan OD dan
organisasi (klien) bertemu dan duduk bersama untuk
mengidentifikasikan dan mendiskusikan kebutuhan akan perubahan.
Pihak organisasi memaparkan keahlian konsultan yang harus ditawarkan
kepada organisasi. Sedangkan pihak konsultan mulai mengumpulkan
data untuk memperoleh informasi tentang gejala (symptom) dan masalah
yang memerlukan perhatian.
2. Entry. Pihak klien dan konsultan bergerak saling mendekat untuk
mencapai kesepakatan baik yang berhubungan kontrak bisnis maupun
kontrak psikologis. Kontrak psikologis berisi harapan dari masing-
masing pihak tentang apa yang mereka akan berikan dan harapan apa
yang akan mereka terima dari pihak lain.
3. Diagnosis. Konsultan berdasarkan latar belakang pengetahuan dan
keahlian mereka mulai melakukan diagnosis terhadap masalah organisasi
dan membuat rencana strategi intervensi sehingga tujuan spesifik
perubahan bisa diidentifikasi.
4. Planning. Klien menyepakati serangkaian rencana detail yang diajukan
konsultan berkaitan teknik dan tindakan intervensi, dan skedul kerja
 EKMA4565/MODUL 5 5.17

proses perubahan. Konsultan juga mulai mengantisipasi kemungkinan


adanya resistensi dan sumber-sumbernya.
5. Action. Intervensi mulai dilakukan sesuai dengan rencana yang telah
disepakati. Pada tahap ini metode-metode berbeda bisa diterapkan secara
simultan atau jika programnya sangat kompleks, dua atau tiga atau
beberapa proyek bisa dijalankan secara paralel.
6. Stabilization and evaluation. Pada tahap ini hasil perubahan
dilembagakan menjadi bagian rutin dari kehidupan sehari-hari
organisasi. Setelah itu dilakukan evaluasi untuk melihat kemungkinan
perbaikan proses.
7. Termination. Pada tahap ini konsultan selesai mengerjakan tugas dan
bergerak ke klien lain. Bahasa populernya ―getting in, getting on, getting
out – masuk, mengetahui, keluar‖. Atau mengerjakan proyek lain pada
klien yang sama.

Seperti tampak pada Gambar 5.1, dua bentuk umpan balik (feedback
loops) merupakan bagian integral dari model perubahan terencana yang
dibangun Huse. Umpan balik pertama bermula setelah rencana perubahan
mulai dijalankan namun ditengah jalan, setelah dilakukan evaluasi, beberapa
proses perubahan atau secara umum arah perubahan perlu dimodifikasi
karena satu atau beberapa alasan. Sebagai contoh, katakanlah untuk
memperlancar proses OD diputuskan untuk melakukan briefing kepada
semua staf dalam rangka untuk mengkomunikasikan visi para manajer senior.
Namun saat briefing dilaksanakan diketahui bahwa staf yang mengikuti
briefing merasa tidak puas. Pasalnya pada pertemuan tersebut terjadi
komunikasi satu arah di mana pihak manajemen hanya mempresentasikan
pandangan-pandangannya dan apa yang menjadi perhatian mereka tanpa
memberi kesempatan pada staf untuk memberi masukan. Setelah dievaluasi
dan dilakukan diagnosis ulang diputuskan untuk memodifikasi mekanisme
komunikasi dengan memberi kesempatan pada staf untuk menyampaikan isu-
isu yang menjadi perhatian mereka tepati tidak disentuh oleh para manajer
senior. Contoh ini memberi gambaran bahwa arah perubahan tidak berubah
tetapi yang diubah hanyalah gaya komunikasi.
Umpan balik kedua terjadi setelah proses perubahan selesai dijalankan
dan konsultan beralih ke pekerjaan lain pada organisasi berbeda atau
memulai proyek baru pada organisasi yang sama. Di sini siklus OD dimulai
kembali dari awal dengan melakukan scouting untuk memperoleh informasi
5.18 Manajemen Perubahan 

terkait dengan proyek baru, mengadakan kontrak baru dan seterusnya


mengikuti siklus seperti pada Gambar 5.1. Dua langkah penting yang menjadi
kekuatan OD akan dibahas lebih detail sebagai berikut.

Gambar 5.1.
Model Perubahan Terencana Menurut Huse
 EKMA4565/MODUL 5 5.19

E. DIAGNOSIS

Salah satu tahapan dalam proses OD adalah melakukan diagnosis


untuk mengidentifikasikan tujuan spesifik yang perlu ditingkatkan.
Boleh dikatakan tahapan ini merupakan tahapan yang krusial sebab jika
konsultan melakukan kesalahan dalam mendiagnosis masalah sangat
boleh jadi tahapan-tahapan selanjutnya akan menjadi keliru dan tujuan
perubahan tidak pernah tercapai. Beer & Spector (1993) mengatakan
bahwa diagnosis merupakan sebuah metode untuk menganalisis masalah
organisasi dan mempelajari pola prilaku baru. Diagnosis bisa berupa
proses yang bisa membantu organisasi dengan melakukan hal -hal berikut
ini.
1. Meningkatkan kapasitas mereka untuk mengakses dan merubah budaya
organisasi.
2. Memberikan kesempatan anggota organisasi untuk mendapatkan umpan
balik mengenai budaya dan prilaku yang disfungsi sebagai dasar untuk
mengambangkan organisasi yang efektif.
3. Memastikan bahwa organisasi tetap terlibat dalam proses perbaikan
berkelanjutan.

Seperti terlihat pada Gambar 5.1 proses perubahan sesungguhnya baru


dimulai dari diagnosis. Hal ini dapat diartikan bahwa diagnosis merupakan
starting point yang menjelaskan kondisi berjalan dan menjelaskan pula tujuan
dari proses perubahan yaitu kondisi ideal atau kondisi yang diharapkan.
Diagnosis biasanya mengkaji dua hal yang cakupannya cukup luas. Pertama,
diagnosis mengkaji elemen-elemen yang membentuk organisasi seperti
divisi, departemen, produk dan hubungan interaktif antara elemen-elemen
tersebut selain membandingkan level manajerial antara pimpinan puncak,
pimpinan menengah dan pimpinan bawah. Kajian kedua dari diagnosis
adalah proses organisasi. Termasuk di dalamnya diagnosis terhadap jejaring
komunikasi, team problem solving, pengambilan keputusan, gaya
kepemimpinan, metode perencanaan dan penetapan tujuan, dan manajemen
konflik.
Berdasarkan kedua area kegiatan diagnosis di atas, sesungguhnya apa
yang dicari konsultan adalah mendapatkan hubungan sebab akibat yakni apa
dampak perubahan dari satu faktor terhadap faktor lainnya. Berkaitan dengan
hal ini klien biasanya mengetahui masalah yang sedang terjadi atau paling
5.20 Manajemen Perubahan 

tidak merasakan bahwa organisasi yang dikelolanya sedang menghadapi


masalah tetapi tidak tahu penyebabnya. Kalaulah klien mencoba menelusuri
penyebab masalah tersebut ada kemungkinan klien keliru mendeteksi
penyebabnya. Oleh karena itu tugas konsultan di sini adalah menemukan
penyebab masalah tersebut. Untuk itu bahasan tentang diagnosis akan dibagi
menjadi dua yaitu (1) bahasan tentang model diagnosis yang bertujuan untuk
memetakan kondisi organisasi, dan (2) proses diagnosis yakni langkah-
langkah yang ditempuh dalam diagnosis.

Model diagnosis
Ada beberapa model diagnosis yang bisa digunakan untuk memetakan
kondisi organisasi dan sekaligus untuk menemukan masalah organisasi.
Model diagnosis juga menjadi dasar untuk menentukan kinerja organisasi.
Beberapa model diagnosis di antaranya adalah: Six-Box Model, the 7-S
Framework, The Star Model, The Congruence Model, dan Burke-Litwin
Model. Beberapa model akan dijelaskan lebih detail.

1. The Six-Box Organizational Model


Salah satu model diagnosis yang cukup tua yang dibangun oleh
Marvin Weisbord pada tahun 1976 adalah six-box organizational model
(lihat Gambar 5.2). Disebut demikian karena model ini didasarkan pada
enam variabel organisasi yang diyakini berpengaruh terhadap kinerja
organisasi.
a. Tujuan (purpose). Kita ini bergerak dalam bisnis apa?
b. Struktur (structure). Bagaimana kita membagi-bagi pekerjaan?
c. Imbalan (rewards). Apakah semua tugas yang telah dikerjakan sudah
mendapat insentif?
d. Mekanisme kerja (helpful mechanism). Apakah kita memiliki teknologi
untuk koordinasi kerja?
e. Hubungan kerja (relationships). Bagaimana kita mengelola konflik?
Apakah dengan teknologi?
f. Kepemimpinan (leadership). Apakah ada orang yang bisa menjaga
kelima kotak dalam keadaan seimbang?
 EKMA4565/MODUL 5 5.21

PURPOSE
What business
are we in?

RELATIONSHIP
STRUCTURE
How do we manage
LEADERSHIP How do we divide up
conflict among people?
Does someone the work?
With technologies?
keep the boxes
in balance?

HELPFUL MECHANISM REWARD


Have we adequate Do all needed tasks
coordinating technologies? have incentive?

ENVIRONMENT

Figure 4.5 The Six-Box Model (Wiesbord, 1976, 1978, 1987)


Gambar 5.2.
Six-Box Organizational Model

Weisbord mengatakan bahwa modelnya secara visual bisa disamakan


dengan sebuah layar pada radar: ―seperti halnya pengawas lalu lintas udara
yang menggunakan radar untuk memetakan kondisi perjalanan pesawat –
ketinggian, kecepatan, jarak tempuh dan cuaca, dsb, mereka yang
menginginkan kinerja organisasinya meningkat juga harus memberi perhatian
yang sama terhadap hubungan antar variabel bukan hanya fokus pada salah
satu variabel saja‖. Hal ini bisa diartikan bahwa ketika sebuah elemen
organisasi, katakanlah struktur organisasi, memerlukan perhatian lebih dan
perlu dilakukan perubahan maka secara sistemik efek perubahan terhadap
kemungkinan perubahan pada variabel lain tidak boleh dikesampingkan.

2. The 7 S Framework
Model ini dibangun pada tahun 1980 oleh tiga orang konsultan
McKinsey & Company – Robert Waterman, Jr., Tom Peter dan Julien
Phillpips yang menuangkan gagasannya melalui sebuah tulisan ―structure is
not organization‖ dimuat di Business Horizons. Model ini (lihat Gambar 5.3)
didasarkan pada suatu proposisi bahwa: (1) efektivitas organisasi datangnya
5.22 Manajemen Perubahan 

dari interaksi berbagai macam faktor, dan (2) perubahan yang berhasil
membutuhkan perhatian terhadap keterkaitan antara berbagai macam variabel
berbeda. Waterman et al. mengelompokkan variabel organisasi ke dalam
7 macam yakni strategi, struktur, system, style (gaya), staff, skill dan share
value atau superorninate goals. Ketujuh variabel tersebut diawali dengan
huruf S sehingga dinamakan 7 S Framework. Tabel 5.3 menjelaskan apa
yang dimaksudkan dengan masing-masing variabel.

Gambar 5.3.
The 7S Framework
 EKMA4565/MODUL 5 5.23

Tabel 5.3.
Makna masing-masing variabel pada 7S Framework

Satu set tindakan yang bersifat koheren yang bertujuan agar perusahaan
Strategy dapat mempertahankan daya saing berkelanjutan, meningkatkan posisi
persaingan baik terhadap pelanggan, maupun dalam mengalokasikan
sumber daya.
Struktur organisasi yang menunjukkan kepada siapa seseorang harus
Struktur bertanggung jawab dan bagaimana tugas-tugas organisasi dipisahkan dan
sekaligus diintegrasikan.
Suatu proses dan aliran kerja yang menunjukkan bagaimana kegiatan
Sistem sehari-hari dilakukan (sistem informasi, sistem anggaran modal, proses
manufakturing, sistem quality control, dan sistem pengukuran kinerja
adalah beberapa contohnya).
Bukan sekedar apa yang dianggap penting oleh manajemen, lebih dari itu
Styles bagaimana sesungguhnya manajemen berprilaku nyata tentang apa yang
dianggap penting oleh perusahaan.
Yang dimaksud di sini bukan sekedar kepribadian seseorang ataupun
Staff orang-orang yang terlibat di dalam organisasi melainkan tentang
komposisi demographic dari orang-orang yang terlibat di dalam organisasi.
Shared Nilai-nilai organisasi yang bukan sekedar pernyataan tujuan organisasi,
values tetapi adalah nilai-nilai yang dipahami dan dijiwai oleh sebagian besar
anggota organisasi.
Skill Kapabilitas yang dimiliki organisasi secara keseluruhan, bukan hanya
kemampuan individu per individu.

Waterman et al. (1980) membangun model tersebut berdasarkan pada


pengalaman mereka sebagai konsultan terutama setelah menyadari adanya
perbedaan pola manajemen antara manajemen Amerika dan manajemen
Jepang. Perusahaan-perusahaan Amerika yang banyak dipengaruhi oleh
konsep scientific management pada awalnya cenderung lebih menekankan
pada pentingnya peran 3S pertama – strategi, struktur dan sistem (belakangan
disebut sebagai hard system tools) sebagai sarana untuk mengatasi berbagai
persoalan perusahaan. Sebaliknya perusahaan Jepang lebih menekankan pada
pentingnya 4S terakhir – style, staff. Skill dan share values (superordinate
goals) (disebut sebagai soft sysem tools) sebagai sarana untuk meraih
keberhasilan perusahaan. Efektivitas kinerja akan diperoleh jika kekuatan
dari mazhab yang berbeda tersebut digabungkan, demikian pendapat mereka
dan lahirlah The 7S Framework.
5.24 Manajemen Perubahan 

3. The Star Model


Seperti halnya model diagnosis lainnya, The Star Model yang dibangun
oleh Jay Galbraith et al. menekankan pentingnya saling keterkaitan antar
komponen organisasi. Dalam hal ini komponen organisasi yang dimaksud
adalah strategi, struktur, kapabilitas proses dan lateral, sistem penghargaan,
dan people (lihat Gambar 5.4). Strategi memiliki peran penting yang
mendahului peran-peran lainnya. Jika strategi tidak jelas maka tidak ada
ukuran yang bisa digunakan untuk memutuskan apa yang harus dilakukan
mengingat strategi merupakan pedoman kemana organisasi mau dibawa.
Struktur merupakan otoritas formal, biasanya divisualisasikan dalam bentuk
peta organisasi, yang menghubungkan dan mengelompokkan berbagai
macam aktivitas organisasi. Kapabilitas proses dan lateral adalah proses
organisasi baik formal maupun informal yang mengkoordinasikan berbagai
macam aktivitas organisasi. Sistem penghargaan merupakan upaya untuk
menyelaraskan antara tindakan-tindakan yang dilakukan oleh individu
karyawan dengan tujuan organisasi. Praktik sumber daya manusia merupakan
berbagai macam praktik SDM (seleksi, pengembangan SDM dan amandemen
kinerja). Jika tidak terjadi keselarasan dari salah satu atau kelima komponen
di atas diyakini bahwa hasil kinerja organisasi tidak optimal. Gambar 5.5
menginformasikan dampak ketidakselarasan masing-masing komponen.
 EKMA4565/MODUL 5 5.25

The Star Model


Strategy
Vision
Direction
Competitive Advantage

People practices Structure


Staffing & selection Power & authority
Performance feedback Reporting relationship
Learning & development Organizational roles

Reward systems Processes & Lateral


goals, scorecard & metrics Capability: Network, teams,
Values & behavior Processes, integrative roles
Compensation/reward Matrix structure

Gambar 5.4.
The Star Model
5.26 Manajemen Perubahan 

Kapabilitas System
Strategi Struktur proses dan penghargaan Praktik SDM
lateral

Jika strategi tidak Jika struktur tidak Jika mekanisme Jika penghargaan Jika sumberdaya
ada, tidak jelas selaras dengan koordinasi tidak tidak mendukung manusia tidak
atau tidak strategi bisa berjalan baik terciptanya tujuan berpartisipasi dan
disepakati tidak diberdayakan

 Tidak ada arah  Tidak mampu  Tidak terjadi  Hasil yang keliru  Upaya tanpa hasil
yang sama memobilisasi kolaborasi lintas dan boros energi  Kepuasan
 Tidak ada criteria sumberdaya unit  Standard rendah karyawan rendah
untuk mengambil  Pelaksanaan tidak  Pengambilan  Frustasi dan
keputusan efektif, hilang keputusan dan perputaran
kesempatan untuk siklus inovasi karyawan tinggi
bisa bersaing terlalu lama
 Sulit berbagi
informasi dan
praktik yang baik

Gambar 5.5.
Dampak Ketidakcocokan Masing-Masing Elemen

4. The Congruence Model


David Nadler & Michael Tushman mengembangkan model diagnosis
berbasis pada sistem terbuka (open system) sebuah organisasi yang
menegaskan bahwa efektivitas organisasi ditentukan oleh keselarasan antara
berbagai komponen organisasi (lihat Gambar 5.6). Model ini menyatakan
bahwa organisasi terdiri dari empat komponen utama yaitu: Tugas (aktivitas
tertentu yang harus dijalankan), individu karyawan (pengetahuan, skill, dan
kebutuhan), aransemen formal organisasi (struktur, proses, metode) dan
komponen informal (keyakinan, nilai-nilai, dan prilaku).
Seperti tampak pada Gambar 5.6, organisasi diperlakukan sebagai
sebuah proses transformasi yang mengubah input menjadi output. Proses
transformasi dengan demikian diawali dari konteks yang melingkupi
organisasi termasuk di dalamnya lingkungan, sumber daya dan sejarah
organisasi. Lingkungan adalah semua faktor yang berada di luar organisasi
dan berpengaruh terhadap keberadaan organisasi. Sumber daya adalah aset
baik tangible maupun intangible. Sejarah adalah perjalanan organisasi sampai
dengan keberadaannya saat ini. Dalam konteks inilah strategi diformulasikan,
 EKMA4565/MODUL 5 5.27

dan dengan demikian organisasi diperlakukan sebagai alat untuk mencapai


tujuan. Hasil akhir dari proses transformasi ini adalah kinerja organisasi.

Transformation Process

Informal
Inputs Organization Outputs

Environment Formal Organizational


Resources Strategy Task Organizational Group
History Arrangements Individual

Individual

Feedback

Figure 4.6 The Congruence Model (Nadler and Tushman, 1977)


Gambar 5.6.
The Congruence Model

5. The Burke Litwin Model


Model diagnosis yang dikembangkan oleh Warner Burke & George
Litwin (1992) disebut Causal Model of Performance and Change. Model ini
melibatkan 12 faktor organisasi yang dibedakan menjadi faktor yang menjadi
sebab terjadinya perubahan transformasional dan faktor yang menjadi sebab
terjadinya perubahan incremental. Faktor yang masuk dalam kelompok
pertama (faktor transformasional) adalah lingkungan eksternal, misi dan
strategi, kepemimpinan dan budaya organisasi. (lihat Gambar 5.7). Keempat
faktor ini secara sengaja ditempatkan pada bagian atas gambar untuk
menggambarkan bahwa perubahan mengalir dari atas (lingkungan eksternal)
menuju ke bawah (kinerja). Meski demikian seperti tampak pada Gambar
5.7, aliran perubahan tidak terjadi melalui satu melainkan merupakan proses
imbal-balik (ditandai dengan anak panah yang menuju dua arah). Hal ini bias
diartikan bahwa faktor internal organisasi juga bisa mempengaruhi faktor
5.28 Manajemen Perubahan 

lingkungan eksternal bukan hanya sebaliknya hanya faktor lingkungan


eksternal yang bias mempengaruhi faktor-faktor lainnya.

Gambar 5.7.
Burke-Litwin Model

F. PROSES OD

Sejauh ini telah diuraikan beberapa model yang bisa digunakan sebagai
alat bantu untuk melakukan diagnosis dalam pengembangan organisasi.
Keragaman model di atas seharusnya tidak menjadikan para manajer dan
praktisi OD justru kebingungan dalam memilih model. Sebaliknya
keragaman tersebut diharapkan mempermudah mereka menentukan pilihan
 EKMA4565/MODUL 5 5.29

model yang dianggap cocok sesuai dengan situasi yang dihadapi organisasi.
Terlepas dari model yang akan dipilih nantinya, pekerjaan diagnosis tidak
hanya berhenti memilih model tetapi harus dilanjutkan dengan melakukan
proses diagnosis. Diagnosis merupakan sebuah proses siklikal meliputi
pengumpulan data, interpretasi data, identifikasi masalah dan rencana
program yang mungkin bisa dijalankan. Secara umum proses diagnosis dapat
dilihat pada Gambar 5.8 berikut ini.

Diagnosis process
Tentative problem
Areas identified

Collect More data Data


data needed now feedback

More data Problem areas


Need now? identified

Client target
No change
Motivated to
At present Work on problem

Diagnosis. Work on Problem


Causes. Result is Change

Gambar 5.8.
Proses diagnosis

Gambar 5.8 menginformasikan kepada kita bahwa proses diagnosis


dimulai dari telaah dini tentang kemungkinan masalah yang dihadapi
organisasi. Sangat mungkin pada tahap ini belum ditemukan masalah
sesungguhnya. Yang ditemukan boleh jadi hanya gejala-gejalanya saja.
Namun temuan ini sangat penting karena bisa menjadi sumber untuk
menemukan masalah sesungguhnya selama kita tidak terjebak dengan
menganggap gejala sebagai masalah – situasi yang kerap terjadi dalam
praktik. Tahap kedua adalah mengumpulkan data dengan rujukan identifikasi
masalah yang telah dilakukan pada tahap sebelumnya. Data yang terkumpul
5.30 Manajemen Perubahan 

kemudian dibuat kategorisasi, dianalisis dan dipresentasikan kepada klien


pada saat sesi umpan balik (tahap 3 dan tahap 4).
Jika sudah yakin bahwa data yang terkumpul telah cukup (tahap 5),
langkah selanjutnya adalah melakukan diagnosis (dilakukan bersama-sama
antara konsultan dan klien) dan identifikasi area masalah (tahap 6). Pada
tahap ini tingkat motivasi klien untuk bekerja berdasarkan temuan masalah
sudah bias ditentukan (tahap 7). Setelah selesai diagnosis, sistem yang
menjadi target perubahan dan strategi perubahan sudah bisa ditentukan dan
selanjutnya strategi perubahan didesain (tahap 8). Tahap terakhir (tahap 9)
dilakukan monitoring terhadap hasil perubahan untuk menentukan sejauh
mana perubahan yang direncanakan telah tercapai.

G. INTERVENSI OD

Istilah intervensi di sini tidak diartikan sebagaimana pengertian umum


intervensi yaitu campur tangan. Bahwa campur tangan merupakan bagian
dari intervensi OD tentu tidak bisa dihindari namun intervensi OD memiliki
pengertian yang lebih luas dan tujuan intervensi OD adalah untuk memberi
kemanfaatan bagi yang diintervensi. Harvey & Brown (1996) memberi
pengertian intervensi OD sebagai serangkaian tindakan yang didesain untuk
meningkatkan kesehatan organisasi dan atau menjadikan sistem organisasi
bias berfungsi lebih baik.
Jika kita kembali merujuk Gambar 5.1 tentang proses OD, intervensi
merupakan langkah kelima yang sebelumnya didahului oleh penyusunan
rencana atau strategi OD. Untuk menyederhanakan bahasan, perlu
digambarkan kembali proses OD dalam perspektif berbeda (lihat
Gambar 5.9). Pada gambar ini perhatian lebih ditujukan pada strategi OD dan
proses intervensi.
 EKMA4565/MODUL 5 5.31

Consultant process OD Strategies Intervention outcomes

Consultant
Values
Efficiency
Efficiency ---- morale
morale
Structural
Change
Consultant process
Role
Process --- expert Performance Desired
Technical
Gap state
Technique

Data
gathering
Behavioral

Diagnosis

Gambar 5.9.
Proses OD dalam Perspektif Berbeda

Strategi OD adalah rencana detail beberapa tindakan yang dimaksudkan


untuk mengatasi berbagai macam kesulitan dan membangun kekuatan untuk
meningkatkan efektivitas dan efisiensi organisasi. Friedlander & Brown
(1974) mengelompokkan rencana tindakan yang berkaitan strategi OD ke
dalam tiga kelompok yaitu: rencana tindakan untuk memperbaiki struktur,
teknikal dan prilaku. Pertama, struktur merupakan sebuah kerangka yang
menghubungkan elemen-elemen organisasi agar organisasi bisa bekerja
secara efisien. Oleh karena itu strategi OD perlu melakukan analisis
mendalam terhadap aspek ini. Kedua, analisis terhadap proses teknis juga
tidak kalah penting. Bahkan kadang-kadang harus dilakukan perubahan
proses teknik demi menciptakan state of the art terkait dengan teknologi,
metode, otomatisasi dan desain organisasi. Terakhir, analisis terhadap prilaku
merupakan kelompok ketiga rencana strategi OD yang berhubungan dengan
aspek sumber daya manusia. Dalam banyak kasus perubahan kedua
kelompok menjadi tidak ada artinya ketika sumber daya manusia sebagai
aktor organisasi tidak mau berubah. Oleh karena itu dalam strategi OD ketiga
rencana tindakan tersebut harus dilakukan secara integratif atau sistemik. Hal
ini perlu ditegaskan mengingat Konsultan/Praktisi OD secara tradisional
lebih menekankan pentingnya perubahan prilaku/SDM. Gambaran tentang
strategi OD secara integratif dapat dilihat pada Gambar 5.10 di bawah ini.
5.32 Manajemen Perubahan 

Praktisi/Konsultan OD

Strategi Strategi Strategi


behavioral struktural teknikal

Perubahan sikap & Perubahan struktur & Perubahan produksi &


nilai-nilai desain metode

Prilaku baru Pola hubungan baru Proses baru

Kinerja
meningkat

Efektivitas organisasi

Gambar 5.10.
Strategi OD

Gambar 5.10 menjelaskan bahwa tiga jenis strategi OD – behavioral,


struktural dan teknikal yang rancang secara integratif masing-masing
diharapkan bisa merubah prilaku, pola hubungan dan proses menjadi prilaku,
pola hubungan dan proses baru dengan peningkatan kinerja sebagai hasil
akhirnya. Indikator bahwa kinerja organisasi meningkat adalah peningkatan
efektivitas organisasi dan daya saing organisasi. Meski demikian, harapan
tersebut tidak akan pernah terealisir jika rancangan program tersebut tidak
ditindaklanjuti dengan tindakan riil untuk melakukan perubahan. Tindakan
riil dalam proses OD disebut sebagai intervensi OD.
Sejak pertama kali OD diperkenalkan sejak itu berbagai macam teknik
intervensi juga dikembangkan. Hanya saja pada mulanya lebih banyak
dikembangkan teknik intervensi yang diorientasikan untuk merubah prilaku
manusia khususnya prilaku individu. Sensitivity training, managerial grid,
MBO dan goal setting adalah beberapa contoh teknik intervensi untuk
merubah prilaku individu. Dalam perkembangannya dengan semakin
kompleksnya masalah yang dihadapi para konsultan dan tuntutan klien yang
semakin luas dikembangkan pula berbagai macam teknik intervensi bukan
hanya untuk kepentingan perubahan prilaku individu tetapi juga untuk
 EKMA4565/MODUL 5 5.33

perubahan tim, intergroup dan prilaku organisasi secara keseluruhan.


Demikian pula, bukan hanya prilaku sebagai target perubahan tetapi juga
struktur dan proses organisasi. Tabel 5.4 menyajikan beragam teknik
intervensi yang bisa digunakan para konsultan dan atau para manajer.
Karena banyaknya teknik intervensi yang tersedia, tugas seorang
konsultan adalah memilih teknik yang tepat sesuai dengan persoalan
organisasi yang dihadapinya dan tujuan yang hendak dicapai dalam
perubahan tersebut. Di samping itu, faktor budaya organisasi yang diadopsi
klien dan kemungkinan terjadinya resistensi karyawan jika teknik tersebut
diterapkan juga harus menjadi pertimbangan. Secara umum ada tiga hal yang
harus dipertimbangkan konsultan dalam memilih teknik intervensi yaitu:
1. Hasil yang mungkin diperoleh dari teknik intervensi
a. Apakah teknik ini akan menyelesaikan problem yang paling
mendasar.
b. Apakah ada hasil tambahan yang positif.
2. Sejauh mana teknik tersebut bisa diimplementasikan
a. Apakah teknik yang akan digunakan betul-betul dapat dijalankan
dalam praktik.
b. Berapa biaya yang harus ditanggung klien, baik secara rupiah
maupun biaya manusia, dan dampak biaya tersebut terhadap sistem
organisasi klien.
c. Bagaimana analisis cost vs. benefit dari teknik tersebut.
3. Sejauh mana teknik tersebut bias diterima oleh pihak akan terkena
dampak penggunaan teknik terebut
a. Apakah teknik tersebut bisa diterima oleh sistem yang dijalankan
klien.
b. Apakah teknik tersebut telah dikembangkan dengan baik dan teruji.
c. Apakah teknik tersebut telah dijelaskan dan dikomunikasikan
kepada para anggota organisasinya klien.
5.34 Manajemen Perubahan 

Tabel 5.4.
Berbagai Jenis Intervensi

Jenis intervensi
Individu Tim Intergroup organisasi
Laboratory Team building Intergroup Goal setting
learning Process development Grid OD phase
Career consultation Third party 4,5,6
planning Quality control intervention Survey
Grid OD Role Organization feedback
(Phase 1) negotiation mirror Action research
Behavioral Stress Role analysis Process Likert’s system
management Grid OD phase consultation 4
Biofeedback 2 Grid OD phase Quality of work
MBO Goal setting 3 TQM life TQM
Goal setting Third party
Quality of intervention
work life
Job Job enrichment Job enrichment Grid OD phase
enrichment Team building Goal setting 4,5,6
Stress Quality circle TQM Survey
management Role feedback
Quality of negotiation Action research
Structural
work lif MBO Role analysis Likert’s system
Grid OD phase 4
3 Quality of work
Self managed life TQM
work teams Restructuring
Job design Job design Job design Grid OD phase
Quality control Grid OD phase 4,5,6
Grid OD phase 3 TQM Survey
3 feedback
Action research
Technical
Likert’s system
4
Quality of work
life TQM
Reengineering

Untuk memperoleh gambaran tentang karakteristik teknik-teknik


intervensi seperti yang disajikan pada Tabel 5.4 berikut diuraikan beberapa
teknik intervensi yang dipilih secara selektif.
Latihan Kepekaan (Sensitivity Training). Merupakan teknik OD yang
pertama kali diperkenalkan dan yang dahulu paling kerap digunakan. Teknik
 EKMA4565/MODUL 5 5.35

ini sering disebut juga T-group. Dalam kelompok-kelompok T (singkatan


training) yang masing-masing terdiri atas 6 – 10 peserta, pemimpin kelompok
(terlatih) membimbing peserta meningkatkan kepekaan (sensitivity) terhadap
orang lain, serta keterampilan dalam hubungan antarpribadi. Pelatihan
kepekaan merupakan tipe lain konseling (French, Bell, 1990). Pelatihan
kepekaan (sensitivity training) merupakan sebuah teknik pengembangan
organisasi yang terdiri dari serangkaian tindakan konseling, di mana para
anggota kelompok dengan dibantu fasilitator, belajar bagaimana pihak lain
mempersepsi mereka dan mereka diajarkan cara-cara berinteraksi secara
lebih sensitif dengan pihak lain. Melalui aktivitas-aktivitas mempelajari
sumber-sumber perbedaan dalam persepsi, maka anggota kelompok tersebut
mampu memahami cara-cara orang lain atau pihak lain mempersepsi diri
mereka dan mereka belajar bagaimana cara berinteraksi secara lebih baik
dengan pihak lain. Partisipasi dalam aktivitas-aktivitas pelatihan kepekaan
merupakan pengalaman yang bersifat teramat intens, karena pemikiran dan
perasaan yang paling mendalam seseorang dibongkar dan dibedah secara
terbuka di hadapan peserta. Jelas bahwa proses ini menyebabkan banyak
pihak merasa tidak tenang dan "gerah".
Kisi Pengembangan Organisasi (Organization Development Grid).
Pendekatan grid pada pengembangan organisasi didasarkan pada konsep
managerial grid yang diperkenalkan oleh Robert Blake dan Jane Mouton.
Konsep ini mengevaluasi gaya kepemimpinan mereka yang kurang efektif
menjadi gaya kepemimpinan yang ideal yang berorientasi maksimum pada
aspek manusia maupun aspek produksi.
Survai Umpan Balik (Feedback Survey). Tiap peserta diminta
menjawab kuesioner yang dimaksud untuk mengukur persepsi serta sikap
mereka (misalnya persepsi tentang kepuasan kerja dan gaya kepemimpinan
mereka). Hasil survei ini diumpan-balikan kepada setiap peserta, termasuk
pada para penyelia dan manajer yang terlibat. Kegiatan ini kemudian
dilanjutkan dengan kuliah atau lokakarya yang mengevaluasi hasil
keseluruhan dan mengusulkan perbaikan-perbaikan konstruktif. Sebuah
survey feedback terdiri dari serangkaian tindakan:
1. Mengumpulkan informasi (biasanya melalui penyebaran kuesioner-
kuesioner) dari para anggota organisasi atau kelompok kerja tertentu.
2. Menata informasi tersebut agar mencapai bentuk yang lebih dapat
dipahami dan dirasakan manfaatnya.
5.36 Manajemen Perubahan 

3. Memberikan umpan balik kepada para pekerja yang menyediakan


informasi tersebut.

Survey feedback secara tipikal mengikuti proses action research Adapun


sasaran utama dari survey feedback adalah untuk memperbaiki hubungan
antara anggota-anggota suatu kelompok atau tim atau antara departemen -
departemen, melalui pembahasan masalah-masalah bersama. Survey
feedback juga kerap kali dimanfaatkan sebagai sebuah alat diagnostik guna
mengidentifikasikan masalah-masalah tim, departemen dan
organisasi.
Konsultasi Proses (Process consultation). Konsultasi proses melibatkan
pengarahan dan bimbingan konsultan dalam hal membantu para anggota
organisasi dalam mempersepsi, memahami dan bertindak pada kejadian-
kejadian proses yang berlangsung dalam lingkungan kerja (Schein, 1988: 11).
Kejadian-kejadian proses (process events) adalah cara-cara para pekerja
melaksanakan pekerjaan mereka, termasuk dalamnya perilaku mereka pada
rapat-rapat, kejadian-kejadian formal maupun yang informal yang terjadi
antara para pekerja yang sedang melaksanakan tugas-tugas mereka dan pada
umumnya mencakup segala macam perilaku yang terlibat dalam hal
melaksanakan suatu tugas. Konsultasi proses, mencakup pemanfaatan pakar atau
seorang fasilitator yang mungkin merupakan orang luar atau bisa juga
merupakan anggota organisasi tersebut. Dalam Process Consultation, konsultan
OD mengamati komunikasi, pola pengambilan keputusan, gaya
kepemimpinan, metode kerja sama dan pemecahan konflik di setiap unit
organisasi. Konsultan kemudian memberikan umpan balik pada semua pihak
yang terlibat tentang proses yang telah diamatinya, serta menganjurkan
tindakan koreksi.
Apakah seorang manajer bersifat terlampau "direktif, terlalu banyak
menuntut atau terlampau mencurigai para bawahannya? Konsultasi proses
mampu menyajikan jawaban-jawaban atas pertanyaan-pertanyaan ini.
Konsultasi proses, memiliki persamaan dengan konseling dan pelatihan
kepekaan (Schein, 1988). Seorang konsultan proses yang terlatih atau seorang
fasilitator bekerja erat dengan manajer, guna membantu manajer memperbaiki
interaksinya dengan anggota-anggota kelompok lainnya. Sang konsultan
"luar" bertindak sebagai "telinga" yang menyerap pelbagai macam keluhan
dari para pekerja, sehingga dengan demikian si manajer dapat memperoleh
gambaran lebih jelas tentang apa yang sedang berlangsung dalam setting
 EKMA4565/MODUL 5 5.37

kelompok tersebut sehingga terungkaplah dinamika antara perorangan


yang mendeterminasi kualitas relasi kerja dalam kelompok.
Pembangunan Tim (Team Building). Team building adalah pendekatan
yang bertujuan memperdalam efektivitas serta kepuasan tiap individu dalam
kelompok kerjanya atau tim. Teknik team building sangat membantu
meningkatkan kerja sama dalam tim yang menangani proyek dan
organisasinya bersifat matriks. Guna mengelola perubahan dalam sebuah
kelompok, atau antarkelompok, maka para agen perubahan, dapat
menerapkan tiga macam teknik pengembangan organisasi. Pembangunan tim
yang merupakan sebuah metode umum untuk memperbaiki relasi-relasi
dalam kelompok agak serupa dengan konsultasi proses, kecuali bahwa di
sini semua anggota kelompok berpartisipasi bersama guna memperbaiki
interalcsi-interaksi kelompok mereka (George, Jones, 2002:670).
Pembangunan tim ini sangatlah penting ketika aktivitas-aktivitas
reengineering mereorganisasi cara kerja sama orang-orang dari berbagai
macam fungsi yang berbeda. Sewaktu dibentuk kelompok-kelompok baru,
maka pembangunan tim membantu para anggota untuk secara cepat
merumuskan relasi tugas dan peran, sedemikian rupa, sehingga mereka dapat
bekerja secara efektif satu sama lainnya. Agen perubahan mengawali proses
pembangunan tim dengan jalan mempelajari bagaimana para anggota
kelompok berinteraksi dan selanjutnya mengidentifikasi cara-cara kelompok
melaksanakan pekerjaan mereka Kemudian agen perubahan berbicara dengan
para anggota kelompok guna membahas masalah-masalah mereka atau untuk
mengidentifikasi apakah proses kelompok dapat diperbaiki. Melalui diskusi-
diskusi yang digelar, para anggota kelompok diharapkan akan
mengembangkan apresiasi baru tentang kekuatan-kekuatan yang
mempengaruhi perilaku mereka. Kemudian mereka membentuk kelompok-
kelompok tugas kecil guna merumuskan saran-saran tentang bagaimana cara
memperbaiki proses kelompok atau guna membahas cara-cara khusus dalam
menangani masalah-masalah tertentu Adapun tujuannya adalah membentuk
sebuah landasan atau platform yang dapat dipakai para anggota kelompok,
meski tanpa masukan dari agen perubahan, melaksanakan perbaikan-
perbaikan berkelanjutan berkaitan dengan cara kelompok tersebut berfungsi.
Transcational Analysis (TA). TA lebih berkonsentrasi pada gaya
komunikasi antarindividu. TA mengajarkan cara menyampaikan pesan yang
jelas dan bertanggung jawab, serta cara menjawab yang wajar dan
5.38 Manajemen Perubahan 

menyenangkan. TA dimaksudkan untuk mengurangi kebiasaan komunikasi


yang buruk dan menyesatkan.
Intergroup Activities. Fokus dalam teknik intergroup activities adalah
peningkatan hubungan baik antarkelompok. Ketergantungan antar kelompok
yang menentukan kesatuan organisasi menimbulkan banyak masalah dalam
koordinasi. Intergroup activities dirancang untuk meningkatkan kerja
sama atau memecahkan konflik yang mungkin timbul akibat saling
ketergantungan tersebut.
Pelatihan antarkelompok merupakan sebuah teknik pengembangan
organisasi yang memanfaatkan pembangunan tim (team building) guna
memperbaiki interaksi-interaksi kerja berbagai macam fungsi atau divisi-
divisi. Pelatihan antarkelompok menyebabkan pembangunan tim melangkah
lebih lanjut guna memperbaiki cara-cara berbagai macam fungsi atau divisi
bekerja sama. Langkah selanjutnya berupa: kedua kelompok membentuk
kelompok-kelompok tugas (task forces) guna membahas bagaimana cara
menyelesaikan masalah. Adapun tujuannya berupa mengembangkan rencana-
rencana aktivitas-aktivitas (action plans) yang dapat dijadikan pedoman
untuk membina dan mengarahkan hubungan-hubungan antarkelompok,
sehingga dia menjadi suatu landasan untuk melaksanakan tindakan
penyelesaian (follow up).
Third-party Peacemaking. Dalam menerapkan teknik ini, konsultan OD
berperan sebagai pihak ketiga yang memanfaatkan berbagai cara
menengahi sengketa, serta berbagai teknik negosiasi untuk memecahkan
persoalan atau konflik antarindividu dan kelompok.
1. Pertemuan Konfrontasi Organisasi (Organizational Confrontation
Meeting). Teknik pengembangan organisasi ini menyatukan semua manajer
organisasi guna membahas persoalan apakah organisasi mereka
mencapai sasaran-sasarannya secara efektif atau tidak. Pada tahapan
awal pertemuan, dibantu oleh agen perubahan, pihak manajemen puncak
meminta para peserta pertemuan untuk membahas secara terbuka dan
jujur persoalan-persoalan yang menyangkut situasi organisasi mereka.
Kemudian konsultan membagi para manajer dalam tujuh atau delapan
kelompok dan memastikan bahwa kelompok-kelompok yang dibentuk
se-heterogen mungkin sehingga tidak ada atasan atau bawahan menjadi
anggota kelompok yang sama agar terjamin adanya pembahasan dan
pembicaraan bebas tanpa suasana tertekan. Kelompok kecil melaporkan
hasil-hasil mereka kepada kelompok besar dan kemudian problem-
 EKMA4565/MODUL 5 5.39

problem yang dirumuskan dikategorisasi. Manajemen puncak


memanfaatkan pernyataan-pernyataan tentang persoalan-persoalan dan
masalah yang muncul guna menetapkan prioritas-prioritas organisasi dan
merencanakan aktivitas-aktivitas kelompok. Kemudian dibentuk
kelompok-kelompok tugas atau kelompok-kelompok kecil dan
selanjutnya masing-masing kelompok melaporkan kepada manajemen
puncak hasil-hasil yang mereka peroleh. Hasil proses tersebut
diharapkan menimbulkan perubahan pada struktur organisasi dan
prosedur-prosedur operasi. Adapun tujuannya adalah untuk memperbaiki
kinerja organisasi dengan jalan memusatkan perhatian pada fungsi atau
aktivitas-aktivitas bersama sebuah divisi dan output. Mengingat bahwa
koordinasi fungsional silang terutama penting bagi aktivitas-aktivitas
reengineering dan total quality management (TQM), maka pelatihan
antarkelompok merupakan sebuah teknik pengembangan organisasi
penting yang dapat dimanfaatkan oleh organisasi-organisasi guna
mengimplementasi perubahan.
2. Pencerminan Organisasi (Organizational Mirroring). Ada sebuah
bentuk populer pelatihan antarkelompok yang dinamakan pencerminan
organisasi (organizational mirroring) yang merupakan teknik
pengembangan organisasi yang didesain guna memperbaiki efektivitas
kelompok-kelompok interdependen (French, Bell, 1990). Misalkan
adanya dua kelompok yang berkonflik dan mereka merasa perlu lebih
banyak belajar tentang situasi dan kondisi kelompok masing-masing dan
kemudian salah satu kelompok memanggil konsultan guna memperbaiki
kerja sama kelompok. Konsultan mengawali tugasnya dengan jalan
mewawancarai anggota kedua kelompok guna memahami bagaimana
kelompok yang satu memandang kelompok lainnya dan untuk
memahami masalah-masalah apa yang dapat dideteksi di antara dua
kelompok itu. Maka kelompok-kelompok yang ada dipersatukan dalam
sesi pelatihan dan konsultan menerangkan bahwa tujuan sesi tersebut
adalah untuk mengeksplorasi persepsi-persepsi dan hubungan-hubungan
dalam rangka memperbaiki relasi kerja. Di bawah arahan konsultan yang
memimpin diskusi, diperdengarkan problem-problem yang dihadapi
kelompok pertama dengan kelompok kedua. Pada sesi ini kelompok lain
hanya duduk dan mendengar apa yang dilontarkan kelompok tersebut.
Kemudian konsultan membalikkan situasi, kelompok kedua (yang tadi
hanya mendengar saja) mulai melontarkan problem-problem menurut
5.40 Manajemen Perubahan 

persepsi mereka, sedangkan kelompok kedua hanya mendengar (itulah


sebabnya muncul istilah pencerminan organisasi). Hasil dari diskusi-
diskusi yang dilangsungkan adalah masing-masing kelompok mampu
mengapresiasi perspektif-perspektif masing-masing pihak.
3. Kualitas Hidup Kerja (Quality of Work Life - QWL). Program ini
merupakan aktivitas-aktivitas yang dilaksanakan organisasi guna
memperbaiki kondisi-kondisi yang mempengaruhi pengalaman para
pekerja dalam organisasi. Banyak program-program seperti ini
memusatkan perhatian pada: keamanan dan kesehatan pekerja, partisipasi
dalam hal mengambil keputusan, peluang untuk mengembangkan bakat
dan keterampilan, pekerjaan yang lebih bermakna, pengendalian atas
waktu kerja dan tempat kerja, perlindungan terhadap perlakuan yang
semena-mena dan peluang-peluang untuk memenuhi kebutuhan-
kebutuhan sosial. Organisasi-organisasi (terutama di Barat) berupaya
pula memperbaiki kualitas hidup kerja para pekerja melalui penerapan
jadwal-jadwal kerja alternatif. Termasuk di dalamnya mungkin
tercakup apa yang dinamakan flexitime - memberikan kekuasaan kepada
para pekerja untuk menentukan sendiri (pada tingkatan tertentu) jadwal-
jadwal kerja mereka.

H. PERUBAHAN SIFAT PENGEMBANGAN ORGANISASI

Paling tidak di Amerika Serikat, OD telah menjadi profesi dengan badan


regulasinya sendiri yang menjadi wadah bagi para praktisi OD. Anggota dari
profesi ini, apakah mereka bekerja di lembaga akademis, konsultan atau
organisasi publik maupun swasta, memberikan layanan konsultasi.
Seperti profesi lainnya, jika mereka tidak mampu memberikan apa yang
diminta konsumen, mereka akan segera dianggap tidak relevan lagi. Karena
itu, penting bagi kita untuk mengetahui bagaimana OD merespon kebutuhan
konsumen yang berubah-ubah.
Pengembangan Organisasi merupakan sebuah proses yang menerapkan
pengetahuan, praktek-praktek ilmu keperilakuan (behavioural science) untuk
membantu organisasi dalam meraih tingkat efektivitas yang lebih tinggi. Fokus
awal PO adalah pada kelompok kerja dalam organisasi dan bukan pada
organisasi secara keseluruhan. Namun demikian, pada tahun-tahun terakhir,
telah terjadi pergeseran besar pada fokus bidang OD dari kelompok menjadi
 EKMA4565/MODUL 5 5.41

organisasi dan bahkan lebih luas daripada itu. Tiga perkembangan khusus
telah menyebabkan perluasan prespektif tersebut:
1. Dengan munculnya gerakan job design pada tahun 1960an dan terutama
dengan munculnya Teori Sistem Sosio-Teknik (socio-technical system
theory), para praktisi OD makin menyadari bahwa mereka tidak bisa lagi
hanya berkonsentrasi pada kerja kelompok ataupun individu dalam
organisasi namun mereka harus juga menimbang-nimbang sistem lain.
Secara bertahap OD mengadopsi prespektif Sistem Terbuka yang
memungkinkannya untuk memandang organisasi secara totalitas dan
dalam pengaruh lingkungan yang melingkupi mereka.
2. Prespektif berskala-organisasi ini telah mendorong para praktisi OD
memperluas prespektif mereka dalam dua cara yang saling berkaitan.
Pertama, mereka mengembangkan minat pada manajemen budaya
organisasi. Mengingat, ketika bekerja dengan kelompok, para konsultan
OD selalu mengakui pentingnya norma-norma dan nilai kelompok, maka
tak heran kalau kemudian mereka makin menaruh minat pada budaya
organisasi pada umumnya. Kedua, mereka juga makin meminati konsep
pembelajaran organisasi. Para praktisi PO selalu menekankan bahwa
intervensi mereka merupakan suatu proses pembelajaran yang sama
pentingnya dengan perubahan. Alhasil, pergeseran minat dari
pembelajaran kelompok kepada pembelajaran organisasi hanyalah
perluasan alami belaka.
3. Makin meningkatnya penggunaan pendekatan berskala-organisasi
terhadap perubahan (contohnya, program perubahan budaya), dibarengi
dengan intensitas pergolakan dalam lingkungan operasi organisasi, telah
menyadarkan perlunya para praktisi OD untuk ikut serta dalam
mentransformasikan organisasi secara keseluruhan dan tidak sekedar
terfokus pada perubahan pada bagian-bagian pokoknya saja.

Seperti dapat kita lihat, OD kini berupaya menjauh dari akarnya, yaitu
Dinamika Kelompok dan Perubahan Terencana dan lebih memilih prespektif
perubahan sistem dan organisasi. Hal ini menciptakan dilema bagi para
pendukung OD. Banyak praktek-praktek OD (contoh: riset tindakan – action
research, t-groups dan sebagainya) telah luas diterima di banyak organisasi
pada awal tahun 1980an. Bahkan sebagian pendekatan yang lebih baru,
seperti job design dan self managed-team, telah menjadi praktek utama di
berbagai organisasi. Pendekatan-pendekatan ini masih cenderung fokus pada
5.42 Manajemen Perubahan 

tataran kelompok dan bukan tataran organisasi yang lebih luas. Namun,
pendekatan transformasi pada tataran organisasi yang dipandang penting
untuk mempertahankan relevansi OD pada organisasi, arahnya masih
belumlah jelas, belum berkembang dan tidak diterima semua pihak. Semakin
OD terfokus pada masalah makro, semakin kurang kemampuan OD
merangkul dan melibatkan semua individu yang terkait program
perubahannya dan semakin kurang mampu PO mempromosikan nilai-nilai
dasar humanis dan demokratisnya.
Perkembangan PO di atas, dan juga sejumlah perspektif tentang
organisasi yang lebih baru, telah membuat banyak orang mempertanyakan
bukan hanya aspek tertentu saja dari pendekatan Perubahan Terencana
namun juga kegunaan dan praktek dari pendekatan secara keseluruhan.
Sejumlah penulis mengkritik pendekatan Perubahan Terencana karena terlalu
menekankan pada perubahan inkremental dan terisolasi serta
ketidakmampuannya dalam mengadopsi perubahan radikal dan
transformasional (Dunphy dan Stace, 1993).
Pendekatan perubahan Terencana didasarkan pada asumsi bahwa
kesepakatan umum dapat dicapai, dan bahwa semua pihak terkait dalam
proyek perubahan tertentu memiliki kemauan serta minat untuk
melakukannya. Asumsi ini sepertinya mengabaikan konflik dan politik
organisasi, atau paling tidak menganggap bahwa masalah dapat dengan
mudah diidentifikasi dan diselesaikan. Stace dan Dunphy (1994)
menunjukkan bahwa terdapat spektrum yang luas pada situasi perubahan,
dari fine-tuning hingga transformasi korporat dan juga berbagai cara
mengelola perubahan, dari kolaboratif sampai koersif. Walau Perubahan
Terencana mungkin sesuai bagi sebagian situasi ini, namun jelas tidak
cocok diterapkan dalam situasi di mana diperlukan pendekatan direktif,
seperti pada saat 'crisis yang menuntut perubahan besar-besaran dalam waktu
singkat, di mana tidak dimungkinkan keterlibatan luas ataupun konsultasi.
Memang, Perubahan Terencana tak pernah dimaksudkan untuk dapat
diterapkan di semua situasi perubahan dan jelas tidak pernah dimaksudkan
untuk diterapkan dalam situasi di mana dibutuhkan perubahan cepat, koersif
dan atau besar-besaran. Fokus model Bullock dan Batten (1985),
sebagaimana juga model Lewin, adalah perubahan pada tataran individu
dan kelompok. Namun demikian, para praktisi OD sebagaimana juga para
pakar lainnya dewasa ini semakin mengakui bahwa "Organisasi kini sedang
diciptakan ulang (reinvented); tugas-tugas kerja sedang direkayasa-ulang;
 EKMA4565/MODUL 5 5.43

aturan main pasar sedang ditulis ulang; sifat fundamental organisasi


sedang berubah", dan oleh karena itu, Pengembangan Organisasi
(Organization Development) sudah selayaknya menyesuaikan diri dengan
kondisi-kondisi baru ini dan memperluas fokusnya di luar perilaku individu
ataupun kelompok (French dan Bell, 1995).

LAT IH A N

Untuk memperdalam pemahaman Anda mengenai materi di atas,


kerjakanlah latihan berikut!

1) Ada beberapa karakteristik yang harus dipenuhi dalam pengembangan


organisasi (Organization development) yaitu…?.
2) Menurut Anda, apakah dengan perkembangan zaman saat ini OD masih
dibutuhkan dalam suatu organisasi? Jelaskan secara singkat dan berikan
contoh konkretnya.
3) Jelaskan secara singkat apa yang dimaksud dengan intervensi OD?

Petunjuk Jawaban Latihan

1) Untuk menerapkan pengembangan organisasi yang baik, suatu organisasi


haruslah mengetahui karakteristik apa yang ada dalam pengembangan
organisasi, untuk jelasnya dapat Anda baca pada paparan di modul ini
halaman 5.10 sampai dengan halaman 5.12.
2) Untuk menjawab latihan No. 2, silakan Anda simak materi pada halaman
5.12 — 5.15. Materi tersebut memaparkan beberapa kritik terhadap OD,
dari materi tersebut Anda dapat mengambil simpulan apakah OD masih
relevan dengan perkembangan zaman. Contoh dapat Anda berikan dari
hal-hal yang terdekat di lingkungan Anda.
3) Intervensi dalam OD tidak dapat disamakan dengan pengertian
intervensi secara umum, memang intervensi dalam OD tentu tidak bisa
dihindari namun intervensi OD memiliki pengertian dan tujuan yang
lebih luas yaitu untuk memberi kemanfaatan bagi yang diintervensi.
Harvey & Brown (1996) memberi pengertian intervensi OD sebagai
serangkaian tindakan yang didesain untuk meningkatkan kesehatan
organisasi dan atau menjadikan sistem organisasi bisa berfungsi lebih
5.44 Manajemen Perubahan 

baik. Untuk jelasnya dapat Anda lihat Gambar 5.9 sebagai ilustrasi dari
proses intervensi OD.

R A NG KU M AN

Ada beberapa definisi yang dikemukakan oleh beberapa pakar


tentang pengembangan organisasi atau yang lebih populer dengan istilah
OD. Salah satu pengertian yang dapat merangkum pengertian-pengertian
dari OD adalah definisi yang dikemukakan oleh Beer (1980) yang
menyatakan bahwa pengembangan organisasi adalah aplikasi dan
transfer pengetahuan berbasis pada ilmu prilaku (behavioral science)
yang diterapkan secara sistemik dan terencana dalam rangka untuk
mengembangkan, meningkatkan dan menguatkan kembali strategi,
struktur dan proses organisasi sehingga tercipta efektivitas organisasi.
Dari definisi tersebut dapat diturunkan menjadi karakteristik-
karakteristik apa saja yang terkandung dalam OD, seperti karakteristik:
perubahan terencana, pendekatan kolaboratif, orientasi pada kinerja,
orientasi pada humanism, pendekatan sistem dan penggunaan metode
ilmiah. Modul ini juga membahas bagaimana pakar di bidang OD
memberikan kritiknya terhadap OD, bagaimana proses OD itu sendiri,
dan yang tak kalah penting dibahas dalam modul ini adalah bagaimana
proses diagnosis organisasi, tahapan dalam diagnosis organisasi, serta
bagaimana intervensi OD terhadap organisasi.

TES F OR M AT IF 1

Pilihlah satu jawaban yang paling tepat!


1) Di bawah ini merupakan salah satu tujuan dari pengembangan
organisasi, yaitu untuk .....
A. mengubah strategi organisasi agar lebih dapat bersaing
B. meningkatkan kemampuan organisasi dengan cara mengubah
struktur organisasinya
C. mengubah proses organisasi secara sistematik
D. menguatkan kembali strategi, struktur dan proses organisasi
sehingga tercipta efektivitas organisasi
 EKMA4565/MODUL 5 5.45

2) Ada enam kritik Greiner terhadap OD, yang terkenal dengan istilah red
flag, salah satu di antaranya adalah OD dianggap lebih ....
A. mengedepankan aspek informal daripada aspek formal organisasi
B. mementingkan tugas daripada proses
C. mendahulukan kepentingan organisasi daripada kepentingan
individu
D. mementingkan diagnosis dibanding dengan perubahan perilaku

3) Manfaat yang dapat diambil dari proses diagnosis organisasi salah


satunya adalah dapat ....
A. merubah budaya organisasi
B. menunda proses perbaikan organisasi
C. mempertahankan kepemimpinan seseorang
D. membentuk organisasi baru

4) Model diagnosis organisasi yang melibatkan 12 faktor organisasi yang


dibedakan menjadi faktor penyebab perubahan transformasional dan
perubahan incremental dikemukakan oleh ....
A. David Nadler dan Michael Tushman
B. Jay Galbraith dan kawan-kawan
C. Burke Litwin
D. Waterman dan kawan-kawan

5) Tindakan riil yang didesain untuk meningkatkan kesehatan organisasi


biasa disebut dengan tindakan
A. Implementasi teknik OD
B. campur tangan OD
C. uji coba OD
D. pembimbangan OD

Cocokkanlah jawaban Anda dengan Kunci Jawaban Tes Formatif 1 yang


terdapat di bagian akhir modul ini. Hitunglah jawaban yang benar.
Kemudian, gunakan rumus berikut untuk mengetahui tingkat penguasaan
Anda terhadap materi Kegiatan Belajar 1.

Jumlah Jawaban yang Benar


Tingkat penguasaan =  100%
Jumlah Soal
5.46 Manajemen Perubahan 

Arti tingkat penguasaan: 90 - 100% = baik sekali


80 - 89% = baik
70 - 79% = cukup
< 70% = kurang

Apabila mencapai tingkat penguasaan 80% atau lebih, Anda dapat


meneruskan dengan Kegiatan Belajar 2. Bagus! Jika masih di bawah 80%,
Anda harus mengulangi materi Kegiatan Belajar 1, terutama bagian yang
belum dikuasai.
 EKMA4565/MODUL 5 5.47

Ke g ia ta n B ela ja r 2

Organisasi Pembelajar

P eter Drucker (1998), seorang pemikir dan sekaligus guru manajemen


terkemuka, sangat percaya bahwa era ke depan adalah era pengetahuan.
Pengetahuan tidak semata-mata sistem dan prosedur di dalam perusahaan
atau organisasi publik, atau hanya sekumpulan ingatan kognitif seseorang,
namun juga merupakan sekumpulan pengetahuan eksplisit dan implisit yang
dibangun melalui proses pembelajaran perusahaan yang terus-menerus dan
melalui koreksi atas kesalahan-kesalahan yang dilakukan maupun proses
yang adaptif terhadap perubahan lingkungan. Drucker tidak percaya
bahwa berlimpahnya informasi dapat menjadi keunggulan kompetitif dalam
jangka panjang, kecuali bila informasi tersebut dapat diproses menjadi
pengetahuan yang diaplikasikan bagi pengambilan keputusan manajemen.
Pemikiran ini sangat relevan pada era keterbukaan dan hadirnya teknologi
informasi dan komunikasi (information and communication technology –
ICT). Informasi yang berlimpah akan menjadi sia-sia bila tidak dapat
memanfaatkan bagi keputusan bisnis atau organisasi.
Di sisi lain, Hamel & Prahalad (1994) lebih dari satu dekade lalu
mempubikasikan pemikirannya tentang perlunya sebuah perusahaan memiliki
dan memperkuat kompetensi inti (core competence) agar dapat
mempertahankan daya saingnya. Secara definitif, kompetensi inti adalah,
kemampuan perusahaan untuk menciptakan nilai (value) bagi pasar dan
pelanggannya yang bersumber dari kapabilitas unik (distinctive capabilities)
yang dimiliki dan terus dikembangkan perusahaan. Argumentasi Hamel dan
Prahalad (1994) ini mengawali arus besar kesadaran para pimpinan puncak
perusahaan untuk melakukan revitalisasi bisnis, menggantikan tren tahun
1980an yang disebut sebagai era pertumbuhan dan ekspansi usaha yang
didorong konsep diversifikasi bisnis vertikal dan horizontal. Saat itu, para
pimpinan puncak bertanya tentang esensi dari bisnis masing-masing. Apakah
perusahaan mampu menciptakan nilai tambah (value) yang berkelanjutan bagi
pasar dan pelanggannya? Sekaligus apakah perusahaan dapat menjamin
return yang bernilai bagi perusahaan?
Jawaban atas pertanyaan tersebut agak panjang, mengingat setiap bisnis
berbeda meski masih dalam satu payung perusahaan yang sama memiliki
perilaku pelanggan yang berbeda, pesaing yang berbeda, lingkungan bisnis
5.48 Manajemen Perubahan 

yang berbeda dan rule of the game yang berbeda pula. Secara singkat,
setiap bisnis memiliki logic of business dan key success factors sendiri-
sendiri. Sebagai akibat dari diversifikasi usaha tersebut, banyak kelompok-
kelompok perusahaan yang lamban menghadapi perubahan lingkungan,
terlebih lagi menghadapi krisis yang berkepanjangan. Sejak saat itu, seperti
dipaparkan oleh Kenichi Ohmae dalam The End of the Nation State (1995),
para pemimpin puncak mulai menyadari pentingnya inovasi dan
pembelajaran terus-menerus sebagai kunci daya saing perusahaan, terlebih
lagi pada era teknologi informasi, di mana sekat-sekat ideologi, industri,
pasar semakin tak berbatas (borderless). Begitu pula Hamel dan Prahalad
(1994), keduanya berhasil memprovokasi para pemimpin bisnis agar
membaca dengan cerdas kecenderungan masa depan tentang pasar, pesaing,
dan produk masa depan yang boleh jadi berbeda dengan apa yang dilakukan
perusahaan saat ini.
Para pemimpin bisnis semakin menyadari makna inovasi yang terus
menerus yang menjamin daya saing perusahaan (Nonaka dan Takeuchi,
1995) dan perlunya kepemimpinan yang kuat untuk menggerakkan
perubahan, serta tipe kepemimpinan yang lebih berorientasi pada substansi
ketimbang berorientasi pada kebesaran (glorious) dan publisitas (Collins,
2002). Semakin disadari pula bahwa pembelajaran terus-menerus yang
dilakukan perusahaan terhadap pelanggan, pasar, pelaku pasar pada industri
lain, pesaing dan lain-lain adalah sumber atau prasyarat terjadinya inovasi
terus-menerus.
Alasan pembenar yang melatarbelakangi pandangan di atas adalah dalam
ekonomi elektronis, kesuksesan pasar bisa cepat tergerus oleh keunggulan
pengetahuan (knowledge egde) perusahaan pesaing - keunggulan bersaing
yang langsung berdampak pada pemilihan produk dan jasa di pasar oleh
konsumen. Kepemimpinan pasar, ukuran perusahaan, nama yang terkenal
dan struktur kini tidak lagi memberi garansi bagi kelangsungan hidup
perusahaan. Berada di tempat dan waktu yang tepat dengan pengetahuan
yang tepat jauh lebih penting. Kata `tepat" di sini diartikan sebagai
perolehan, penerapan dan manajemen pengetahuan yang pas dengan
tuntutan pasar di saat dan tempat tertentu. Dalam ekonomi berbasis
pengetahuan, perusahaan yang mampu memberikan jawaban pas atas
tuntutan stakeholder dan pelanggan diyakini sebagai perusahaan yang akan
meraih sukses.
 EKMA4565/MODUL 5 5.49

Uraian-uraian di atas secara tidak langsung menegaskan bahwa kinerja


organisasi pada akhirnya akan ditentukan oleh keunggulan sumber daya
(resources) yang terus diasah dan diperbaharui. Barney (2007) menyatakan
bahwa sumber daya tersebut harus memenuhi kriteria VRIN; bernilai
(valuable), langka (rare), tak dapat ditiru (in-imitable) dan tak tergantikan
(nonsubstitable). Keunggulan sumber daya ini melahirkan berbagai strategi
pengembangan sumber daya manusia dan sumber daya lainnya yang dapat
melahirkan inovasi, teknologi dan infrastruktur organisasi yang menopang
profitabilitas dan pertumbuhan secara berkelanjutan. Sebagai contoh,
kemampuan Steve Jobs menarik para programer brilian di Apple tidak
berhenti pada upaya merekrut SDM yang bertalenta, namun juga disertai
dengan penciptaan suasana dan sistem kerja yang kondusif terhadap lahirnya
inovasi dan alokasi anggaran perusahaan dalam melakukan research and
development (R & D) yang terus-menerus. Kecerdikan Apple yang berhasil
memperkenalkan iTune sebagai terobosan bisnis yang mengagumkan, di
mana pengembangan teknologi iTune yang disertai dengan model bisnis
yang terintegrasi dengan layanan downloading berbagai konten yang
memiliki segmentasi yang jelas membuat Apple kembali menjadi perusahaan
yang dikagumi di seluruh dunia.
Selain sumber daya manusia, sumber pengendali kinerja organisasi juga
terletak pada keunggulannya, pada kepemimpinan eksekutif, kualitas manusia,
budaya inovasi, dan sistem yang terbangun di dalam berbagai organisasi, baik
pada skala lokal maupun global. Leibold, et al. (2005) menyebutkan
beberapa tren yang terjadi pada berbagai organisasi di dunia, di antaranya
1. perubahan apresiasi terhadap informasi menjadi knowledge dan wisdom
(kearifan);
2. perubahan praktek birokrasi menjadi jejaring;
3. orientasi pelatihan menjadi pembelajaran;
4. ranah lokal menjadi transnasional/global dan bahkan metanational;
5. pemikiran tentang persaingan menjadi kolaborasi; dan
6. hubungan organisasional secara tunggal menjadi ekosistem bisnis
dengan stakeholder yang berbeda.

Selanjutnya, Leibold et al. (2005) juga menguraikan korelasi kuat antara


perilaku organisasi pembelajar dengan kinerja perusahaan pada era ekonomi
saat ini. Arie de Geus (1997) misalnya mengatakan bahwa perusahaan-
perusahaan besar seperti Shell telah menjalankan praktek manajemen
5.50 Manajemen Perubahan 

pengetahuan sebagai strategi perusahaan untuk terus tumbuh dan berumur


panjang, di mana pembelajaran organisasional menjadi kebutuhan organisasi.
Contoh ini semakin memperkuat temuan Senge (1990) tentang pentingnya
menjadi organisasi pembelajar. Karena ciri-ciri organisasi belajar yang terus
tumbuh merupakan ciri makhluk hidup (living organism) yang memiliki ruh
dan jiwa maka tak terbantahkan lagi bahwa upaya organisasi dalam
menciptakan dan menggunakan sumber daya pengetahuan yang melekat pada
manusia dan sistem organisasi akan dapat membangun kinerja organisasi
secara berkelanjutan.
Paparan di atas pada akhirnya mendorong para eksekutif terus berupaya
untuk memastikan bahwa jajaran SDM dan sistemnya punya akses dengan
pengetahuan kunci untuk mendukung dan menjaga visi mereka agar sukses.
Dampaknya adalah gagasan dan konsep 'organizational learning' dan
'learning organization' luas dipelajari dan diterapkan. Beberapa perusahaan
kini bereksperimen dengan inisiatif manajemen pengetahuan untuk meraih
dan memanfaatkan aset pengetahuannya. Nortel, IBM dan Cisco adalah di
antara perusahaan yang berada di depan sebagai pionir. Mereka
memanfaatkan manajemen pengetahuan sebagai upaya untuk menaikkan
profitabilitas, mentransformasi diri, menata pengetahuan jajaran S.D.M.
mereka dan melatih karyawan baru.
Upaya-upaya seperti yang dilakukan Nortel, IBM dan Cisco sekarang ini
tampaknya bukan lagi sekadar menjadi tren tetapi sudah menjadi paradigma
baru dalam mengelola bisnis. Perubahan paradigma ini misalnya tercermin
pada perubahan prosedur kerja, pola perilaku, budaya perusahaan dan
seterusnya. Pergeseran paradigma ini juga makin tercermin pada pergeseran
bahasa bisnis yang, pada gilirannya, menyediakan pelbagai kemungkinan
bagi solusi-solusi baru. Dulu kita bicara tentang organisasi, tugas, sistem,
produk, teknologi dan konsumen, sekarang kita akan makin sering bicara
mengenai kompetensi, kapabilitas, nilai-tambah, manajemen kinerja
(performance management), rancangan proses, arus informasi. Pergeseran ini
terjadi karena tuntutan sengitnya persaingan. Saat dihadapkan pada ketatnya
kompetisi, kita makin kerap mendapati perusahaan sukses sebagai
perusahaan yang mampu mengubah aturan main. Hamel dan Prahalad (1991)
menyebutkan:
Penelitian pasar dan analisa segmentasi nyaris tak mampu mengungkap
peluang-peluang semacam ini. Diperlukan wawasan yang menukik mengenai
kebutuhan, gaya hidup dan aspirasi konsumen masa kini dan masa depan.
 EKMA4565/MODUL 5 5.51

Sejauh menyangkut perubahan besar, pergeseran paradigma ini telah


merubah cara kita berpikir tentang bagaimana mewujudkan perubahan.
Ketika dulu kita banyak berpikir tentang perubahan top-down atau bottom-up
dan bahasan kita tersedot pada isu-isu mengapa program perubahan gagal dan
bagaimana menerapkan program pelibatan sebagai cara memperoleh
dukungan dan kesuksesan, sekarang kita lebih berupaya mewujudkan hal-hal
tersebut melalui program komunikasi cascade, lokakarya perubahan,
program manajemen kinerja dan penggunaan mekanisme pasar. Walhasil,
mewujudkan pergeseran 'mind-set' merupakan tugas kognitif utama dan
pertama yang harus dilakukan dalam konteks sosial. Kecuali kita siap
menuntaskan tantangan kognitif tersebut, maka kecil kemungkinan kita
meraih sukses. Pada gilirannya, hal ini berimplikasi atau menuntut
diterapkannya keterampilan-keterampilan tertentu dan hadirnya ciri-ciri
tertentu dalam organisasi, dan semua itu hanya akan berhasil jika perusahaan
terus melakukan pembelajaran.

A. PEMBELAJARAN ORGANISASIONAL VS. ORGANISASI


PEMBELAJAR

Secara samar-samar uraian di muka telah menyinggung dua istilah yang


hampir sama yakni ―organizational learning‖ dan ―learning organization‖.
Sepintas tidak ada yang berbeda dari kedua istilah tersebut. Keduanya
mengandung kata ―learning‖ (pembelajaran atau belajar) dan ―organization‖.
Itulah sebabnya sangat masuk akal jika dalam banyak kasus kedua istilah ini
sering digunakan secara bergantian karena dianggap memiliki pengertian
sama walaupun senyatanya pengertian keduanya berbeda (Ờrstenblad, 2001).
Menyamakan organizational learning dan learning organization merupakan
salah kaprah. Hal ini misalnya diakui Fiol & Lyles (1985). Mereka
mengatakan bahwa salah kaprah seperti ini bermula dari Herbert Simon
(1969) yang mendefinisikan organizational learning sebagai:

………. the growing insights and successful restructurings of


organizational problems by individuals reflected in the structural
elements and outcomes of the organization itself

……….bertambahnya pengetahuan individu-individu dan keberhasilan


mereka dalam melakukan restrukturalisasi masalah-masalah organisasi
yang hasilnya tercermin dalam elemen-elemen struktur tersebut dan
hasil kegiatan organisasi lainnya.
5.52 Manajemen Perubahan 

Menurut definisi ini pembelajaran terdiri dari dua komponen pokok


yakni (1) pengembangan pengetahuan – komponen yang tidak mudah dilihat
dan (2) hasil kegiatan organisasi – komponen yang mudah dilihat. Perubahan
yang terjadi pada komponen pengetahuan biasanya akan diikuti oleh
perubahan pada hasil kegiatan organisasi meski perubahan kedua komponen
tersebut tidak selalu terjadi secara simultan. Masalah inilah yang kemudian
dianggap membingungkan dan mengakibatkan perbedaan antara
organizational learning dan learning organization menjadi kabur (Lundberg,
1995). Sejak saat itu para teoritis organisasi cenderung memahami learning
organization (LO) dengan pandangan masing-masing mulai dari sekedar
pengetahuan, struktur baru, sistem baru, tindakan-tindakan organisasi atau
kombinasi dari itu semua. Hal yang sama, pemahaman tentang organizational
learning (OL) juga bervariasi. Ada yang menganggap OL sekedar belajar,
tidak belajar, berubah, beradaptasi, dan transformasi (untuk penjelasan ini
lihat, Fiol & Lyles, 1985 dan Lundberg, 1995).
Untuk menghindari kerancuan definisi seperti tersebut di atas, klarifikasi
tentang pengertian masing-masing istilah sangat penting dikedepankan.
Organizational learning biasanya diterjemahkan menjadi pembelajaran
organisasional atau pembelajaran dalam organisasi, sedangkan learning
organization diterjemahkan menjadi organisasi pembelajar.
Dalam bahasa Indonesia perbedaan antara OL dan OL tampak agak jelas
di mana OL lebih menekankan pada aspek pembelajaran yakni proses
pembelajaran yang terjadi di dalam organisasi, sedangkan LO menekankan
pada organisasi tempat pembelajaran tersebut berlangsung. Perbedaan ini
didukung oleh Lundberg (1995) dan Yeo (1993).
Lundberg (1995) misalnya mengatakan bahwa LO merupakan unit
aktivitas tersistem yang memiliki karakteristik tertentu, atau sebuah kiasan
tentang organisasi yang memiliki kemampuan untuk menerjemahkan bahasa
sandi ke dalam kehidupan rutin sehari-hari sebagai pedoman berprilaku dan
atau beradaptasi terhadap perubahan lingkungan. Sementara itu OL
merupakan sebuah konstruk yang menjelaskan sebuah proses atau tipe
aktivitas yang mungkin terjadi pada organisasi atau pada bagian-bagian
organisasi. Bila disederhanakan, LO adalah organisasi dengan segala
kapabilitasnya dan OL adalah proses, dan keduanya berhubungan dengan
pembelajaran. Sementara itu Yeo (1993) mengatakan bahwa LO merupakan
entitas kolektif yang fokus perhatiannya tertuju pada pertanyaan ―apa‖ yakni
apa karakteristik, prinsip-prinsip dari suatu organisasi yang belajar secara
kolektif? Jadi, LO mencakup pentingnya pembelajaran kolektif baik pada
 EKMA4565/MODUL 5 5.53

dataran lingkungan internal maupun eksternal. Sedangkan OL adalah sebuah


proses untuk menjawab pertanyaan ―bagaimana‖ yakni bagaimana tingkat
penguasaan dan proses pengembangan pengetahuan.
Penjelasan Lundberg dan Yeo tentang LO dan OL merupakan simpulan
yang mereka buat setelah memperhatikan definisi-definisi LO dan OL yang
diberikan oleh beberapa teoritisi sebelumnya. Beberapa definisi tersebut
adalah sebagai berikut:
1. organizational learning is a process of detecting and correcting error –
OL adalah proses mendeteksi dan memperbaiki kesalahan (Argyris,
1977).
2. Organizational learning means the process of improving action through
better knowledge and understanding – OL berarti proses untuk
meningkatkan tindakan melalui pengetahuan dan pemahaman yang lebih
baik (Fiol & Lyles, 1985).
3. Learning organization is an organization skilled at creating, acquiring,
and transferring knowledge, and at modifying its behavior to reflect new
knowledge and insights – OL kemampuan organisasi dalam
menciptakan, mendapatkan dan mentrasfer pengetahuan, dan dalam
memodifikasi prilaku mereka yang tercermin dalam pengetahuan dan
pemahaman baru (Garvin, 1993).
4. [Learning is] the development of insights, knowledge, and associations
between past actions, the effectiveness of those actions, and futue actions
– LO adalah pengembangan pemahaman, pengetahuan, dan
pengembanagn tersebut saling berkaitan antara tindakan masa lalu,
efektivitas tindakan-tindakan tersebut, dan tindakan-tindakan yang akan
datang (Fiol & Lyles, 1985).
5. Organizational learning occurs through shared insights, knowledge, and
mental model ….[and] builds on past knowledge and experience, - that
is on memory – OL terjadi melalui pemahaman, pengetahuan, dan
mental model bersama ….dan dibangun berdasarkan pengetahuan dan
pengalaman masa lalu yakni berdasarkan memory (Stata, 1989).
6. Organizations are seen as learning by encoding influences from history
into routines that guide behavior – organisasi dianggap sebagai
organisasi belajar bila mampu menerjemahkan symbol-symbol yang
bersumber dari masa lalu kedalam kehidupan rutin dan menjadikannya
sebagai pedoman berprilaku (Leavitt and March, 1988).
7. [A learning organization is]….an organization that is continually
expanding its capacity to create its future – LO adalah sebuah organisasi
yang terus memperluas kapasitasnya untuk menciptakan masa depan
(Senge, 1990).
5.54 Manajemen Perubahan 

8. The learning organization has embedded systems or mechanisms to


capture and shared learning – LO adalah organisasi yang telah
membumikan system dan mekanisme untuk menangkap dan berbagi
pembelajaran (Watkins & Marsick, 1993).

Sementara itu Yeo (1995), dari sumber berbeda, tidak hanya


membedakan pengertian LO dan OL tetapi juga mengaitkannya dengan tema-
tema tertentu (lihat Tabel 5.5). Untuk memperoleh gambaran tentang apa
yang dimaksud dengan definisi-definisi pada Tabel 5.5, berikut diuraikan
salah satu contoh definisi dan interpretasinya yang diberikan Marquardt &
Kearsley (1999) – definisi LO yang sebelumnya digunakan Marquardt
(1996). Marqurdt & Kearsly mendefinisikan LO sebagai berikut:

A learning organization has powerful capacity to collect, store and


transfer knowledge and thereby continuously transform itself for
corporate success. It empowers people within and outside company to
learn as they work. A most critical element is the utilization of
technology to optimize both learning and productivity.

Organisasi pembelajar adalah sebuah lembaga yang memiliki kapasitas


yang besar untuk mengumpulkan, menyimpan dan mentransfer
pengetahuan dan lembaga tersebut mampu secara terus menerus
mentransformasi diri demi keberhasilan perusahaan. Lembaga ini juga
memberdayakan orang-orangnya baik yang berada di dalam maupun di
luar perusahaan untuk belajar selama mereka bekerja. Elemen paling
penting dari semua ini adalah pemanfaatan teknologi untuk
mengoptimalkan pembelajaran dan produktivitas.

Elaborasi dari definisi di atas menunjukkan bahwa (1) organisasi


dikiaskan seolah-olah sebagai makhluk hidup yang memiliki kemampuan
untuk belajar, dan memiliki dan mampu mentransfer pengetahuan, (2) semua
itu tujuannya adalah keberhasilan perusahaan, (3) kemampuan organisasi ini
juga diharapkan membantu orang-orangnya untuk terus belajar, dan
(4) media terpenting dalam pembelajaran adalah teknologi. Secara sederhana
bisa dikatakan bahwa perbedaan definisi LO ini dengan definisi-definisi LO
lainnya terletak pada poin 4 yakni peran teknologi dalam pembelajaran. Jadi
tema yang diusung Marquardt & Kearsley adalah teknologi yang menjadi
kunci dalam pembelajaran. Tema ini misalnya berbeda dengan tema yang
diusung Schein (1996) di mana budaya sebagai kunci pembelajaran
organisasi.
 EKMA4565/MODUL 5 5.55

Tabel 5.5.
Beberapa definisi LO dan OL

Di sisi lain Pedler, et al. (1997) menegaskan bahwa suatu organisasi


pembelajar bukan organisasi yang semata-mata mengikuti banyak pelatihan.
Perlunya pengembangan keterampilan individu tertanam dalam konsep
organisasi yang setara dan merupakan bagian dari kebutuhan akan
5.56 Manajemen Perubahan 

pembelajaran organisasi demi keberlangsungan hidup dan pertumbuhan


organisasi. Menurut Pedler, et al. (1997) suatu organisasi pembelajar adalah
organisasi yang:
1. Mempunyai suasana di mana anggota-anggotanya secara individu
terdorong untuk belajar dan mengembangkan potensi penuh mereka.
2. Memperluas budaya belajar ini sampai pada pelanggan, pemasok dan
stakeholder lain yang signifikan.
3. Menjadikan strategi pengembangan sumber daya manusia sebagai pusat
kebijakan bisnis.
4. Berada dalam proses transformasi organisasi secara terus menerus.

Transformasi organisasi dalam hal ini tidaklah sama dengan


pengembangan organisasi. Transformasi organisasi merujuk pada upaya
organisasi yang secara proaktif merubah semua aspek yang ada di
dalamnya, baik individu, kepemimpinan, sumber daya, struktur
organisasi maupun proses-proses pertukaran informasi. Tujuan proses
transformasi ini, sebagai aktivitas sentral, adalah agar perusahaan mampu
menggali secara luas ide-ide baru, masalah-masalah baru dan peluang-
peluang baru untuk pembelajaran dan mampu mendayagunakan
keunggulan kompetitif dalam dunia yang semakin kompetitif.
Apa yang disampaikan Peddler et al. (1997) juga didukung oleh
Lundberg (1995) yang menyatakan bahwa pembelajaran adalah suatu kegiatan
bertujuan yang diarahkan pada perolehan dan pengembangan keterampilan
dan pengetahuan serta aplikasinya. Menurutnya pembelajaran organisasi
adalah:
1. Tidaklah semata-mata jumlah pembelajaran masing-masing anggota;
2. Pembelajaran itu membangun pemahaman yang luas terhadap keadaan
internal maupun eksternal melalui kegiatan-kegiatan dan sistem-sistem
yang tidak tergantung pada anggota-anggota tertentu;
3. Pembelajaran tidak hanya tentang penataan kembali atau perancangan
kembali unsur-unsur organisasi;
4. Pembelajaran lebih merupakan suatu bentuk mata pembelajaran yang
mensyaratkan pemikiran kembali pola-pola yang menyambung dan
mempertautkan potongan-potongan sebuah organisasi dan juga
mempertautkan pola-pola dengan lingkungan yang relevan.
 EKMA4565/MODUL 5 5.57

5. Pembelajaran organisasi adalah suatu proses yang seolah-olah mengikat


beberapa subproses, misalnya perhatian, penafsiran, pencarian,
pengungkapan dan penemuan, pilihan, pengaruh dan penilaian.
6. Pembelajaran organisasi mencakup baik unsur kognitif, misalnya
pengetahuan dan wawasan yang dimiliki bersama oleh para anggota
organisasi maupun kegiatan organisasi yang berulang-ulang, misalnya
rutinitas dan perbaikan tindakan Ada proses yang sah dan tanpa henti
untuk mempertanyakan dan menguji praktek-praktek organisasi serta
penjelasan yang menyertainya.

Dari uraian-uraian di atas maka dapat disimpulkan bahwa organisasi


pembelajar adalah organisasi yang secara terencana dan terus menerus
memfasilitasi anggotanya agar mampu terus berkembang dan mentransformasi
diri baik secara kolektif maupun individual dalam usaha meraih hasil atau
kinerja yang makin meningkat, dan sesuai dengan kebutuhan yang
dirasakan bersama antara organisasi dan individu di dalamnya. Sementara itu
proses pembelajaran sehingga terbentuk organisasi pembelajar disebut
sebagai pembelajaran organisasional.

B. KARAKTERISTIK ORGANISASI PEMBELAJAR

Megginson dan Pedler (1992) memberikan sebuah panduan mengenai


konsep organisasi pembelajar. Panduan adalah sebuah ide yang dapat
berfungsi layaknya sebuah bintang penunjuk yang bisa membantu orang
berpikir dan bertindak bersama sesuai dengan maksud gagasan tersebut untuk
masa kini dan di masa yang akan datang. Jadi, panduan itu layaknya sebuah
visi yang bisa membantu menciptakan kondisi di mana sebagian ciri-ciri
organisasi pembelajar dapat dihasilkan. Kondisi-kondisi tersebut adalah:
1. Strategi pembelajaran.
2. Pembuatan kebijakan partisipatif.
3. Pemberian informasi, yaitu teknologi informasi digunakan untuk
menginformasikan dan memberdayakan orang untuk mengajukan
pertanyaan dan mengambil keputusan berdasarkan data-data yang
tersedia.
4. Akunting formatif, yaitu sistem pengendalian disusun untuk membantu
belajar dari keputusan.
5. Pertukaran internal.
5.58 Manajemen Perubahan 

6. Kelenturan penghargaan.
7. Struktur-struktur yang memberikan kemampuan.
8. Pekerja lini depan sebagai penyaring lingkungan.
9. Pembelajaran antar perusahaan.
10. Suasana belajar.
11. Pengembangan diri bagi semua orang

Suatu organisasi tidak otomatis menjadi organisasi pembelajar walaupun


telah melakukan semua hal tersebut. Perlu dipastikan bahwa tindakan-
tindakan tidak dilakukan hanya berdasarkan kebutuhan. Tindakan-tindakan
tersebut harus ditanamkan, sehingga menjadi cara kerja sehari-hari yang rutin
dan normal. Strategi pembelajaran bukan sekedar strategi pengembangan
sumber daya manusia. Dalam organisasi pembelajar, pembelajaran menjadi
inti dari semua bagian operasi, cara berprilaku dan sistem. Mampu
melakukan transformasi dan berubah secara radikal adalah sama dengan
perbaikan yang berkelanjutan. Schein (1985) mengemukakan karakteristik
organisasi pembelajar sebagai berikut:
1. Dalam hubungan dengan lingkungan maka organisasi bersifat lebih
dominan dalam menjalin hubungan.
2. Manusia hendaknya berprilaku proaktif.
3. Manusia pada dasarnya adalah makhluk yang baik.
4. Manusia pada dasarnya dapat diubah.
5. Dalam hubungan antar manusia, individualisme dan kolektivisme sama-
sama penting.
6. Dalam hubungan atasan bawahan kesejawatan atau partisipatif dan
otoritatif atau paternalistik sama-sama pentingnya.
7. Orientasi waktu lebih berorientasi pada masa depan yang pendek.
8. Untuk penghitungan waktu lebih digunakan satuan waktu yang medium.
9. Jaringan komunikasi dan informasi berkesinambungan secara lengkap.
10. Orientasi hubungan dan orientasi tugas sama-sama pentingnya.
11. Perlunya berpikir secara sistematis.

Menurut Marquardt (1996), ada beberapa dimensi dan karakter penting


yang ditimbulkan bila organisasi telah menjadi organisasi pembelajar, yaitu
sebagai berikut:
1. Pembelajaran dilakukan oleh organisasi secara keseluruhan, seolah-olah
organisasi mempunyai satu otak.
 EKMA4565/MODUL 5 5.59

2. Anggota organisasi merasakan pentingnya proses pembelajaran


organisasi secara terus-menerus untuk kepentingan meraih kesuksesan
saat ini dan dimasa yang akan datang.
3. Pembelajaran dilakukan secara terus-menerus dan dari sisi strategi
pembelajaran digunakan serta disejajarkan dengan pekerjaan.
4. Ada suatu fokus atau kreativitas dan melahirkan pembelajaran.
5. Berpikir sistem merupakan hal yang bersifat fundamental.
6. Orang-orang memiliki akses yang berkesinambungan terhadap sumber
informasi dan data yang penting bagi kesuksesan organisasi.
7. Iklim organisasi mendorong, menghargai dan mempercepat
pembelajaran individu dan kelompok.
8. Pekerja memiliki jaringan bagi upaya melakukan inovasi.
9. Perubahan merupakan bagian yang melekat, sementara kejutan yang
tidak diinginkan serta kesalahan yang terjadi dipandang sebagai peluang
untuk belajar.
10. Organisasi pembelajar cerdas dan fleksibel.
11. Setiap orang didorong oleh keinginan untuk melakukan perbaikan
kualitas secara berkelanjutan.
12. Aktivitas dicirikan oleh aspirasi, refleksi, dan konseptualisasi.
13. Ada pengembangan kompetensi inti yang baik sebagai dasar bagi produk
dan layanan baru.
14. Anggota organisasi memiliki kemampuan untuk secara berkelanjutan
beradaptasi, memperbarui, dan merevitalisasi dirinya dalam merespons
perubahan lingkungan.

C. MODEL SISTEM ORGANISASI PEMBELAJAR

Menurut Marquardt dan Reynolds (1994), agar proses pembelajaran


terjadi, dibutuhkan sebelas elemen pokok dalam organisasi yaitu, struktur
organisasi yang memadai, budaya pembelajaran dalam organisasi,
pemberdayaan, kreasi ilmu pengetahuan dan transfer pengetahuan, teknologi
pembelajaran, kualitas pembelajaran, strategi pembelajaran, lingkungan yang
mampu mendukung, kelompok kerja dan jejaring kerja, visi pembelajaran
dan keterkaitan antarbudaya. Selain itu, ada faktor lain yang memungkinkan
proses pembelajaran lebih mudah berlangsung, yang dikenal dengan faktor
disiplin pembelajaran. Dalam hal ini Senge (1990) mengemukakan bahwa di
dalam organisasi pembelajar yang efektif sangat diperlukan lima faktor
5.60 Manajemen Perubahan 

disiplin pembelajaran yang harus diwujudkan dan dikembangkan dalam


terciptanya organisasi pembelajar, yaitu:
1. system thinking;
2. personal mastery;
3. mental model;
4. share vision;
5. team learning.

1. System Thinking (Berpikiran Sistem)


Semua orang mesti belajar bagaimana cara menyikapi segalanya secara
holistik dan bahwa serentetan kejadian akan saling mempengaruhi satu sama
lain. Organisasi pada dasarnya terdiri atas unit-unit yang harus bekerja sama
untuk menghasilkan kinerja yang optimal. Unit-unit itu antara lain ada yang
disebut divisi, direktorat, seksi, atau cabang. Kesuksesan suatu
organisasi sangat ditentukan oleh kemampuan organisasi untuk melakukan
pekerjaan secara sinergik. Kemampuan untuk membangun hubungan yang
sinergik ini hanya akan dimiliki kalau semua anggota unit saling memahami
pekerjaan unit lain dan memahami juga dampak dari kinerja unit tempat dia
bekerja pada unit lainnya
Sering kali dalam organisasi orang hanya memahami apa yang dia
kerjakan dan tidak memahami dampak dari pekerjaannya pada unit lainnya.
Selain itu sering kali timbul fanatisme seakan-akan hanya unit dia sendiri
yang penting perannya dalam organisasi dan unit lainnya tidak berperan
sama sekali. Fenomena ini disebut dengan ego-sektoral. Kerugian akan
sangat sering terjadi akibat ketidakmampuan untuk bersinergi satu dengan
lainnya. Pemborosan biaya, tenaga dan waktu. Terlepas dari adanya
perasaan bahwa unit diri sendiri adalah unit yang paling penting, tidak adanya
pemikiran sistemik ini akan membuat anggota perusahaan tidak memahami
konteks keseluruhan dari organisasi.
Kini semakin banyak organisasi yang mengandalkan pada struktur tanpa
batas (borderless organization), atau kalaupun masih menggunakan struktur
organisasi berbasis fungsi, kini fungsi-fungsi yang terkait dengan proses
yang sama dibuat saling melintas batas fungsi. Organisasi yang demikian
disebut organisasi lintas fungsi atau cross-functional organization. Organisasi
yang demikian ini akan membuat proses pembelajaran lebih cepat karena
masing-masing orang dari fungsi yang berbeda akan berbagi pengetahuan
dan pengalamannya.
 EKMA4565/MODUL 5 5.61

2. Personal Mastery
Bagi Senge, ini merupakan `disiplin untuk terus-menerus memperjelas
dan memperdalam... visi personal, memfokuskan … energi, mengembangkan
kesabaran dan menilai realitas secara obyektif. Hal ini merupakan
landasan penting bagi organisasi pembelajar - fondasi spiritual 'organisasi
pembelajar'.
Organisasi pembelajar memerlukan karyawan yang memiliki kompetensi
yang tinggi agar bisa beradaptasi dengan tuntutan perubahan, khususnya
perubahan teknologi dan perubahan paradigma bisnis dari paradigma yang
berbasis kekuatan fisik (tenaga otot) ke paradigma yang berbasis
pengetahuan (tenaga otak). Selain itu kecepatan perubahan tipe pekerjaan
telah menyebabkan banyak pekerjaan tidak diperlukan lagi oleh organisasi
karena digantikan oleh tipe pekerjaan baru atau digantikan oleh pekerjaan
yang menuntut penggunaan teknologi. Bilamana pekerja tidak mau belajar
hal baru, maka dia akan kehilangan pekerjaan. Selain itu banyak pekerjaan
yang ditambahkan pada satu pekerjaan (job-enlargement) atau job rotation
(mutasi karyawan) agar memudahkan karyawan untuk memahami kegiatan di
unit kerja yang lain demi terwujudnya sinergi. Oleh karena itu karyawan
harus belajar hal-hal baru. Penguasaan pribadi juga merupakan kegiatan
belajar untuk meningkatkan kapasitas pribadi kita untuk menciptakan hasil
yang paling kita inginkan dan menciptakan suatu lingkungan organisasi yang
mendorong semua anggotanya mengembangkan diri mereka sendiri ke arah
sasaran-sasaran dan tujuan-tujuan yang mereka pilih.
Untuk memenuhi persyaratan perubahan dunia kerja ini semua anggota
organisasi harus memiliki kemauan dan kebiasaan untuk meningkatkan
kompetensi dirinya dengan terus belajar. Kompetensi dirinya bukan semata-
mata di bidang pengetahuan, tetapi kemampuan berinteraksi dengan orang
lain, menyelesaikan konflik dan saling mengapresiasi pekerjaan orang lain.
Organisasi lintas fungsi seperti yang telah dibicarakan di atas akan
mempercepat proses pembelajaran individu di dalam organisasi.

3. Mental Model
Mental model (Model mental): hal ini menyangkut pembelajaran
bagaimana cara menggali gambaran internal dunia, untuk membawanya ke
permukaan dan secara tekun menelitinya dengan cermat'.
Respon manusia terhadap situasi yang terjadi di lingkungannya sangat
dipengaruhi oleh asumsi dan kebiasaan yang selama ini berlaku. Di dalam
5.62 Manajemen Perubahan 

organisasi, berlaku pula kesimpulan yang diambil mengenai 'how things


work' di dalam organisasi. Hal ini disebut dengan mental model, yang dapat
terjadi tidak hanya pada level individual tetapi juga kelompok dan organisasi.
Mental model memungkinkan manusia bekerja dengan lebih cepat.
Namun, dalam organisasi yang terus berubah, mental model ini kadang-
kadang tidak berfungsi dengan baik dan menghambat adaptasi yang
dibutuhkan. Dalam organisasi pembelajar, mental model ini didiskusikan,
dicermati dan direvisi pada level individual, kelompok dan organisasi. Model
mental adalah suatu prinsip yang mendasar dari Organisasi Pembelajar,
karena dengannya organisasi dan individu yang ada di dalamnya
diperkenankan untuk berpikir dan merefleksikan struktur dan arahan
(perintah) dalam organisasi dan juga dari dunia luar selain organisasinya.
Senge menyebutkan bahwa model mental adalah suatu aktivitas perenungan,
kita terus menerus mengklarifikasikan dan memperbaiki gambaran-gambaran
internal kita tentang dunia dan melihat bagaimana hal itu membentuk
tindakan dan keputusan kita.
Model mental terkait dengan bagaimana seseorang berpikir dengan
mendalam tentang mengapa dan bagaimana dia melakukan tindakan atau
aktivitas dalam berorganisasi. Model mental merupakan suatu pembuatan
peta atau model kerangka kerja dalam setiap individu untuk melihat
bagaimana melakukan pendekatan terhadap masalah yang dihadapinya.
Dengan kata lain, model mental bisa dikatakan sebagai konsep dini
seseorang, yang dengan konsep diri tersebut dia akan mengambil keputusan
terbaiknya.

4. Shared Vision
Shared vision (Membangun visi bersama): ini menyangkut bagaimana
setiap orang berbagi visi bersama tentang masa depan. Kepemimpinan
merupakan kunci dalam menciptakan dan mengkomunikasikan visi tersebut.
Namun, Senge memandang kepemimpinan lebih sebagai yang bertanggung
jawab atas penciptaan struktur dan aktivitas yang berkaitan dengan aktivitas
kehidupan total seseorang. Pemimpin menciptakan visi namun rela
membiarkan visi tersebut dirumuskan ulang oleh orang lain.
Oleh karena organisasi terdiri atas berbagai orang yang berbeda latar
belakang pendidikan, kesukuan, pengalaman serta budayanya, maka akan
sangat sulit bagi organisasi untuk bekerja secara terpadu kalau tidak memiliki
visi yang sama. Selain perbedaan latar belakang karyawan, organisasi juga
 EKMA4565/MODUL 5 5.63

memiliki berbagai unit yang pekerjaannya berbeda antara satu unit dengan
unit lainnya. Untuk menggerakkan organisasi pada tujuan yang sama dengan
aktivitas yang terfokus pada pencapaian tujuan bersama diperlukan adanya
visi yang dimiliki oleh semua orang dan semua unit yang ada dalam
organisasi.

5. Team Learning
Team Learning (Pembelajaran tim): tim-tim dan bukan perseorangan,
merupakan kunci sukses organisasi masa depan dan semua individu mesti
belajar bagaimana cara belajar (learn how to learn) dalam konteks tim Kini
semakin banyak organisasi berbasis tim karena rancangan organisasi dibuat
dalam lintas fungsi yang biasanya berbasis tim. Kemampuan organisasi untuk
mensinergikan kegiatan tim ini ditentukan oleh adanya visi bersama dan
kemampuan berpikir sistemik. Namun demikian tanpa adanya kebiasaan
berbagi wawasan sukses dan gagal yang terjadi dalam suatu tim, maka
pembelajaran organisasi akan menjadi sangat lambat, atau bahkan berhenti.
Pembelajaran dalam organisasi akan semakin cepat kalau orang mau berbagi
wawasan dan belajar bersama-sama. Oleh karena itu semangat belajar dalam
tim, cerita sukses atau gagal suatu tim harus disampaikan pada tim yang
lainnya. Berbagi wawasan pengetahuan dalam tim menjadi sangat penting
untuk peningkatan kapasitas organisasi dalam menambah modal
intelektualnya.
Marquardt, 1996 menggambarkan model sistem organisasi pembelajar
secara matematis berupa gambar irisan antara lain: pembelajaran (learning),
organisasi (organization), anggota organisasi (people), pengetahuan
(knowledge), dan teknologi (technology) dengan pembelajaran terletak di
pusat irisan. Model sistem organisasi pembelajar digambarkan seperti pada
Gambar 5.11 berikut.
5.64 Manajemen Perubahan 

Gambar 5.11.
Model Sistem Organisasi Pembelajar (Marquardt, 1996)

Gambar tersebut menjelaskan bahwa proses pembelajaran juga


merupakan bagian dan harus terjadi baik dalam subsistem manusia,
teknologi, pengetahuan, dan organisasi. Jika proses pembelajaran dalam
organisasi pembelajar terjadi, akan terjadi perubahan persepsi, prilaku,
kepercayaan, mentalitas, strategi, kebijakan dan prosedur baik yang berkaitan
dengan manusia maupun organisasi.

D. SUBSISTEM PEMBELAJARAN

Subsistem pembelajaran berkenaan dengan tingkat-tingkat pembelajaran,


tipe dari pembelajaran yang krusial bagi pembelajaran yang terorganisasi,
dan keahlian kritis dalam pembelajaran yang terorganisasi. Subsistem
pembelajaran dapat digambarkan seperti pada Gambar 5.12 berikut.

Gambar 5.12.
Subsistem Pembelajaran
 EKMA4565/MODUL 5 5.65

Organisasi pembelajar termanifestasi melalui tiga tingkatan pembelajar


yaitu individu, tim atau kelompok, dan organisasi (Wang & Ahmed, 2003).
Pada tingkatan individu, pembelajaran dimaksudkan untuk meningkatkan
keterampilan, pengetahuan, sikap, dan nilai-nilai yang dibutuhkan oleh
seseorang melalui pelatihan, belajar sendiri, pemahaman, observasi, dan
refleksi diri. Tingkatan kelompok atau tim dimaksudkan untuk meningkatkan
pengetahuan, keterampilan, dan kompetensi oleh dan di dalam kelompok.
Pembelajaran tim dapat terjadi melalui upaya-upaya penyelesaian konflik
dengan menyatukan sudut pandang yang berbeda ke dalam pemahaman yang
dapat diterima tanpa kompromi. Pembelajaran tim juga dapat terjadi melalui
uji coba terhadap satu hipotesis atau menemukan sesuatu yang baru, dua atau
lebih orang atau tim berkomunikasi untuk mencapai satu tujuan yang positif.
Tingkatan organisasi sebagai bagian dari organisasi pembelajar berperan
menawarkan berbagai peluang untuk belajar. Melalui pembentukan divisi,
departemen, komite, dan tim kerja pada dasarnya merupakan sarana dan
peluang bagi kelompok untuk belajar, mempercepat proses pembelajaran,
memperdalam pembelajaran, serta memperluas pembelajaran.

1. Subsistem Transformasi Organisasi


Organisasi adalah struktur dan badan di mana pembelajaran organisasi
secara luas, kelompok, dan individu terjadi. Berubah dari suatu organisasi
nonpembelajar menjadi suatu organisasi pembelajar memerlukan suatu
transformasi yang signifikan. Struktur dan strategi perusahaan harus berubah
hampir secara dramatis menjadi suatu organisasi pembelajar. Untuk tumbuh
dengan subur sebagai organisasi pembelajar, perusahaan harus mengatur
kembali dirinya sendiri melalui suatu fokus yang penuh perhatian pada empat
dimensi subsistem organisasi yaitu visi, budaya, strategi, dan struktur atau
dikenal dengan empat dimensi kunci transformasi organisasi, yang
digambarkan seperti pada Gambar 5.13 berikut (Marquardt, 1996).
5.66 Manajemen Perubahan 

Gambar 5.13.
Subsistem Transformasi Organisasi (Marquardt, 1996)

Menurut Marquardt (1996), visi mengungkapkan tujuan, sasaran, dan


arah yang ingin dituju oleh organisasi. Visi organisasi pembelajar
mengungkapkan pentingnya pembelajaran untuk mencapai sasaran masa
depan yang diinginkan, membangun keinginan organisasi, serta terus-
menerus memperbarui organisasi dalam rangka mempertahankan
pertumbuhan dan perkembangannya. Kultur organisasi terdiri dari nilai-nilai,
kepercayaan, sikap, praktik, prosedur, dan kebiasaan-kebiasaan organisasi
(Schein, 1985). Kultur organisasi pembelajar menekankan pada pentingnya
pembelajaran yang terus-menerus dilakukan pada semua tingkatan, fungsi,
dan divisi organisasi. Kultur pembelajar mendorong individu dan tim tumbuh
dan berkembang melalui kreativitas, tim kerja, perbaikan yang berkelanjutan,
dan manajemen diri.
Strategi mengacu pada tindakan, taktik, dan metode yang digunakan
untuk mencapai visi dan sasaran organisasi. Dalam organisasi pembelajar,
strategi ini mendorong dan memaksimalkan pembelajaran yang diperlukan,
penyebaran,dan pemanfaatan oleh seluruh departemen, tindakan, dan inisiatif
organisasi. Sementara itu, struktur organisasi mencakup konfigurasi unit,
departemen dan divisi. Organisasi pembelajar menunjukkan struktur yang
sederhana yang meminimalkan pemisahan antara orang dengan proses,
sambil memaksimalkan kontak, alur informasi, dan kolaborasi di antara
individu dan tim (Marquardt, 1996).

2. Subsistem Pemberdayaan Orang-orang/Manusia


Subsistem ketiga dari organisasi pembelajar adalah pemberdayaan
orang-orang/manusia. Marquardt (1996) menyebutkan enam dimensi kunci
dari subsistem pemberdayaan orang-orang/manusia yaitu pegawai, manajer,
 EKMA4565/MODUL 5 5.67

pelanggan, supplier, mitra kerja, dan kelompok-kelompok komunitas/


masyarakat yang digambarkan seperti pada Gambar 5.14. Masing-masing
kelompok tersebut diberi kuasa dan dimungkinkan untuk belajar.

Gambar 5.14.
Subsistem Pemberdayaan Manusia (Marquardt, 1996)

Menurut Marquardt (1996), para pegawai diberi wewenang dan


diharapkan untuk belajar, merencanakan kompetensi masa depan mereka,
mengambil tindakan dan risiko, dan memecahkan masalah. Para
manajer/pemimpin menjalankan tugas-tugas pelatihan, penasihatan, dan
pemodelan dengan suatu tanggung jawab utama membangkitkan dan
mempertinggi kesempatan pembelajaran bagi orang-orang di sekitar mereka.
Para pelanggan berpartisipasi dalam mengidentifikasi kebutuhan-kebutuhan,
menerima pelatihan, dan dihubungkan dengan pembelajaran organisasi. Para
supplier dapat menerima dan memberi kontribusi terhadap instruksi program.
Para partner aliansi/mitra kerja dapat berbagi kompetensi dan pengetahuan.
Kelompok-kelompok komunitas masyarakat termasuk wakil-wakil ekonomi,
pendidikan, dan sosial dapat berbagi dalam menyediakan dan menerima
pembelajaran.

3. Subsistem Pengetahuan
Marquardt (1996) menyatakan bahwa pengetahuan menjadi lebih penting
untuk organisasi dibanding sumber daya keuangan, menjual posisi, teknologi,
atau aset perusahaan lainnya. Pengetahuan dilihat sebagai sumber daya yang
5.68 Manajemen Perubahan 

utama digunakan di dalam penyelenggaraan organisasi. Kultur tradisi


organisasi, teknologi, operasi, sistem dan prosedur adalah semua keahlian
dan pengetahuan yang didasarkan pada pengetahuan.
Organisasi pembelajar yang sukses secara sistematis memadu
pengetahuan di seluruh organisasi melalui empat langkah sehingga dapat
dengan sukses diterapkan dan digunakan. Subsistem pengetahuan
digambarkan seperti Gambar 5.15 berikut.

Gambar 5.15.
Subsistem pengetahuan (Marquardt, 1996)

Dimensi kunci dari subsistem pengelolaan pengetahuan adalah


penguasaan, penciptaan, penyimpanan, transfer dan penggunaan. Akuisisi
(penguasaan) berkenaan dengan pengumpulan informasi dan data yang ada
dari dalam dan luar organisasi. Penciptaan melibatkan pengetahuan baru yang
diciptakan dalam organisasi melalui wawasan dan pemecahan masalah.
Penyimpanan adalah pengkodean dan pemeliharaan pengetahuan berharga
organisasi untuk akses yang mudah oleh anggota staf pada suatu waktu dan
dari mana pun. Transfer dan penggunaan termasuk mekanikal, elektronik,
dan pergerakan interpersonal dari informasi dan pengetahuan, secara sengaja
dan tidak sengaja, di seluruh organisasi serta aplikasinya dan kegunaannya
oleh para anggota organisasi.

4. Subsistem Teknologi
Sebagaimana dikemukakan oleh Marquardt (1996), subsistem kelima
dari organisasi pembelajar adalah teknologi, yang terdiri dari teknologi
informasi, pembelajaran berbasis teknologi, dan kinerja sistem dengan
dukungan elektronik atau Electronic Performance Support System (EPSS).
 EKMA4565/MODUL 5 5.69

Subsistem teknologi adalah pendukung, jaringan teknologi yang terintegrasi


dan alat informasi yang membolehkan akses dan pertukaran terhadap
informasi dan pembelajaran. Hal itu termasuk proses teknik, sistem-sistem,
dan struktur untuk kolaborasi, pelatihan, koordinasi, dan keahlian
pengetahuan lainnya. Subsistem teknologi dapat digambarkan seperti Gambar
5.16 berikut.

Gambar 5.16.
Subsistem teknologi (Marquardt, 1996)

Tiga komponen utama dari subsistem teknologi adalah teknologi


informasi, pembelajaran berdasarkan teknologi, dan Electronic Performance
Support System (Sistem Pendukung Kinerja berbasis Elektronik – EPSS).
a. Teknologi informasi berkenaan dengan teknologi berdasarkan komputer
yang gathers, codes, stores, dan transfer informasi lintas organisasi dan
lintas dunia.
b. Pembelajaran berbasis teknologi yang melibatkan penggunaan video,
audio, dan pelatihan multimedia dengan komputer untuk maksud
pengiriman dan berbagi pengetahuan dan keahlian.
c. Electronic Performance Support System (EPSS) menggunakan data
(teks, visual, dan audio) dan dasar pengetahuan untuk menangkap,
menyimpan, dan mendistribusikan informasi di seluruh organisasi
sehingga dapat membantu para pekerja mencari tingkat kinerja tertinggi
mereka dalam waktu secepat mungkin, dengan dukungan personel paling
sedikit.
5.70 Manajemen Perubahan 

E. KONDISI YANG DIBUTUHKAN DALAM MEMBANGUN


ORGANISASI PEMBELAJAR

Kondisi yang dibutuhkan untuk menyukseskan organisasi sebagai


organisasi pembelajar antara lain adalah adanya komitmen pimpinan untuk
menjadikan pembelajaran sebagai bagian penting dari organisasi dalam
meraih daya saing. Selain itu, dimilikinya cetak biru yang jelas mengenai
perubahan dan visi yang diinginkan dalam mendorong organisasi menjadi
organisasi pembelajar sehingga setiap karyawan merasa nyaman sebagai
bagian dari perubahan tersebut. Kemudian diperlukan komitmen
kepemimpinan untuk membuat model perubahan yang diinginkan serta
komitmen untuk menghilangkan rasa takut organisasi. Organisasi juga
membutuhkan tindakan korektif terhadap pimpinan yang menolak perubahan.
Organisasi juga memerlukan komitmen senior manajemen untuk memberikan
waktu dan sumber daya yang diperlukan dalam proses pembelajaran. Faktor
lainnya adalah sistem manajemen kinerja yang mengaitkan kompensasi dan
pencapaian visi yang telah ditetapkan. Kultur organisasi yang mendorong dan
memperkenalkan uji coba, berkolaborasi, inovasi, dan paradigma pemikiran
baru. Faktor penting terakhir yaitu organisasi juga perlu menetapkan berbagai
struktur mekanisme umpan balik dan saluran pembelajaran untuk
memaksimalkan penguatan dan peluang pembelajaran.
Selain pentingnya mengenali faktor-faktor pendukung yang dibutuhkan
oleh organisasi menuju organisasi pembelajar, sejumlah faktor penghambat
juga perlu diperhatikan dan diantisipasi. Dilworth (1995) melihat setidaknya
ada lima faktor yang menghambat organisasi menuju organisasi pembelajar,
yaitu:
1. Kecenderungan untuk memperlakukan pembelajaran sebagai fenomena
individu bukan kelompok atau bahkan organisasi, di mana dalam
konteks ini Senge (1995) menekankan pentingnya tim pembelajar
sebagai keahlian kelompok dalam organisasi pembelajar.
2. Terlalu menekankan pada pelatihan formal, sementara perhatian
terhadap pembelajaran informal hanya diberikan sekilas.
3. Memperlakukan kegiatan bisnis dan proses pembelajaran sebagai sesuatu
yang terpisah sama sekali.
4. Lingkungan kerja yang enggan mendengar (non-listening).
5. Hambatan yang ditimbulkan karena gaya kepemimpinan, suasana kerja
yang tidak saling percaya, dan adanya rasa takut.
 EKMA4565/MODUL 5 5.71

F. ORGANISASI PEMBELAJAR DAN MANAJEMEN


PENGETAHUAN

Melanjutkan pemikiran Michael Polanyi (1966), Bruce Kogut dan Udo


Zander (1992) kemudian memperkenalkan pemikiran yang menyatakan
bahwa perubahan kondisi pasar harus dihadapi organisasi dengan
menjalankan pengelolaan teknologi yang berbasis prinsip manajemen
pengetahuan, baik yang berupa informasi maupun know-how, di mana
pengetahuan menjadi sumber daya yang menentukan keunggulan daya saing
perusahaan. Pemikiran ini terus dikembangkan oleh berbagai pakar yang
bersumber dari riset-riset aplikatif pada berbagai industri dan sektor bisnis.
Organisasi yang memiliki nilai-nilai pembelajaran organisasi (share vison,
commitment to learning dan open -mindedness) telah terbukti lebih teruji
bertahan di tengah-tengah kompetisi yang ketat.
Selanjutnya, Nonaka dan Takeuchi (1995) memberikan batasan bahwa
manajemen pengetahuan didefinisikan sebagai: "proses penciptaan
pengetahuan, teknologi dan sistem baru secara kontinu, penyebaran secara
luas melalui organisasi dan mewujudkannya dalam bentuk produk atau jasa
baru dengan cepat, serta membuat perubahan dalam organisasi". Keduanya
membagi pengetahuan menjadi dua yaitu:
1. pengetahuan eksplisit (explicit knowledge), diekspresikan dalam bentuk
kata-kata, nomor, bunyi, data, rumus, visual, audio visual, spesifikasi
produk, atau bentuk manual. Pengetahuan ini dapat ditransfer secara
formal dan sistematis kepada individu dan kelompok; dan
2 . pengetahuan implisit (tacit knowledge), tidak mudah dilihat dan
diekspresikan. Tacit knowledge cenderung lebih bersifat personal, sulit
untuk diformalkan dan dikomunikasikan atau disebarkan kepada yang
lain. Intuisi subyektif dan firasat merupakan bentuk tacit knowledge.
Pengetahuan ini termasuk hal-hal yang mendasar dalam diri seseorang
seperti visi, nilai-nilai yang dianut, kecerdasan emosi, pengalaman dan
sejenisnya.

Suatu organisasi dikatakan menjalankan manajemen pengetahuan


dengan mengkonversi pengetahuan implisit menjadi eksplisit dan begitu
sebaliknya. Selanjutnya Nonaka &Takeuchi (1995) mengidentifikasi empat
gaya konversi pengetahuan yang disingkat SECT, yaitu:
5.72 Manajemen Perubahan 

1. socialization (sosialisasi) dari tacit menjadi tacit; merupakan pembuatan


dan penyebaran tacit knowledge melalui pengalaman langsung dari
individu ke individu;
2. externalization (ekstemalisasi) dari tacit menjadi eksplisit; merupakan
artikulasi tacit knowledge melalui dialog dan refleksi, yaitu dari individu
ke kelompok;
3. combination (kombinasi) dari eksplisit ke eksplisit, yang merupakan
sistematika dan aplikasi pengetahuan eksplisit dan informasi, dari
kelompok ke organisasi; dan
4. internalization (intemalisasi), dari eksplisit menjadi tacit; yang
mempelajari dan memenuhi praktek tacit knowledge yang barn, dari
organisasi ke individu.

Dengan kata lain, menerapkan manajemen pengetahuan yang merupakan


inti dari proses membangun knowledge enterprise adalah proses dinamis
yang membutuhkan kerja cerdas para eksekutif organisasi. Proses
mewujudkan knowledge enterprise bukanlah proses yang instan. Menurut
Nonaka dan Takeuchi (1995), pembelajaran organisasi dapat dipahami
sebagai proses-proses untuk menangkap dan mengubah pengetahuan tacit
menjadi pengetahuan eksplisit dan/atau untuk meraih pengetahuan eksplisit
baru. Pengetahuan tacit amat penting karena ketika perusahaan menghadapi
masalah dan tantangan, pengetahuan itu tak bisa begitu saja muncul.
Lazimnya hal itu diawali dari staf perusahaan yang mencoba meneliti
masalah dan merancang solusinya. Biasanya solusi ini belum bersifat utuh
dan matang. Solusi ini representasi dari pengetahuan tacit. Kita butuh suatu
proses untuk `mengumpulkan' pengetahuan yang muncul ini. Solusi yang kita
adopsi mungkin juga membutuhkan pengetahuan baru katakanlah teknologi
baru. Maka, kita akan mencari pengetahuan eksplisit baru.
Dengan melakukan hal-hal tersebut, yaitu menangkap dan mengubah
pengetahuan tacit dan eksplisit untuk diintegrasikan ke dalam sistem bisnis
(ke dalam strategi, prosedur struktur, portfolio produk dan sebagainya),
maka terbantu proses pergeseran 'mind-set' dengan cara menambahkan
kemungkinan-kemungkinan baru. Dalam hal ini, pemikirannya adalah bahwa
perubahan 'mind-set' kemungkinan besar tidak akan terjadi jika dilakukan
dengan cara menantang gagasan secara langsung. Namun, hal ini akan
tercipta dengan menambahkan gagasan-gagasan baru dan karena itu,
menambah kemungkinan-kemungkinan baru.
 EKMA4565/MODUL 5 5.73

G. PERUBAHAN PERSEPSI ATAS PERUSAHAAN

Para pimpinan organisasi kini dituntut membangun nilai-nilai


organisasional yang dapat mendorong terjadinya pembelajaran terus-menerus
di dalam organisasi masing-masing. Proses pembelajaran organisasional ini
merupakan esensi dari manajemen pengetahuan yang telah teruji pada
berbagai kelas dunia. Membangun knowledge enterprise adalah sebuah visi
dan sekaligus komitmen. Sebagai sebuah visi, knowledge enterprise sejatinya
diterjemahkan ke dalam strategi dan tindakan-tindakan yang mengarah pada
pencapaian visi tersebut. Seorang futurolog, Joel Arthur Barker menyatakan
bahwa vision is dream and actions. Knowledge enterprise melekat pada
manusia-manusia di dalam organisasi, nilai-nilai dan budaya organisasi,
infrastruktur serta sistem yang menunjangnya. Keempatnya menjadi pilar-
pilar yang menyangga kekuatan organisasi yang terus tumbuh pada
lingkungan organisasi yang terus bergerak dinamis. Membangun knowledge
enterprise merupakan esensi dari manajemen perubahan (change
management), yang kini diserukan oleh banyak pemimpin bisnis di negeri
mi.
Persepsi tentang bagaimana perusahaan dideskripsikan, dirancang dan
dikelola telah mengalami pergeseran karena desakan teknologi, tuntutan
pasar dan kompetisi. Lebih dari itu, sebagian perubahan kini diasosiasikan
dengan dampak perubahan cepat yang bersifat diskontinyu, kecepatan
perubahan dan kompleksitas. Belum lagi, isu-isu seperti pengelolaan
diversitas, dampak lintas budaya dan gender, yang kesemuanya itu
memunculkan tantangan-tantangan baru bagi perumusan-ulang organisasi.
Kesemua itu memunculkan tuntutan baru untuk `belajar cara belajar' (learn
how to learn).
Argyris dan Schon (1996) membagi dua jenis pembelajaran yang
terjadi di dalam organisasi. Single-loop learning adalah pembelajaran yang
membawa ke arah peningkatan kinerja organisasi dengan cara menemukan
dan memperbaiki kesalahan berdasarkan pada kumpulan norma-norma dan
nilai-nilai, atau suatu teori yang berlaku. Dalam konteks ini, single-loop
learning, adalah sesuai dengan rutinitas, pekerjaan yang berulang, di mana
sasaran sudah jelas dan telah ditentukan untuk tujuan yang telah ditetapkan
dalam perencanaan strategis.
Single-loop learning adalah penetapan secara langsung tujuan dan
sasaran pada suatu titik di mana sasaran tersebut terukur dan berorientasi
5.74 Manajemen Perubahan 

pada hasil (outcome); pekerjaan (kegiatan, program, kebijakan) mengarah


pada sasaran; dan mengukur hasilnya dengan memperbandingkan capaian
kinerja (performance results) dengan kinerja yang direncanakan
(performance plan). Proses perbandingan tersebut mendorong manajer
untuk menilai keberhasilan atau kegagalan, meneliti faktor dan proses
kinerja yang menjadi penyebab dan bagaimana memperbaiki/merubahnya.
Singkatnya, single-loop learning memenuhi organisasi untuk meyakinkan hal
yang sama lebih baik.
Sejarah manajemen mencatat bahwa single-loop learning telah lama
dipraktekkan secara implisit di dalam organisasi, misalnya perhatian pada
perbaikan inkremental terhadap produk, pelayanan, dan teknologi, yang
kerapkali berpijak pada kesuksesan masa lalu. Para karyawan bekerja
mengikuti prosedur baku, perilaku rutin, dan menghindari risiko perbedaan
opini, eksperimentasi, dan kegagalan. Organisasi melakukan perubahan tetapi
dalam skala yang sempit, karena lebih terpaku pada norma-norma, nilai-nilai
dan asumsi-asumsi yang berlaku. Prosedur kerja diterima dan dikerjakan
sebagaimana adanya dan tidak pernah mempertentangkan mengapa harus
memakai prosedur seperti itu. Prosedur kerja yang berlaku jarang atau tidak
pernah dipertanyakan, artinya secara konseptual sudah melekat dengan
rutinitas (kebiasaan).
Double-Loop learning adalah pembelajaran yang mengakibatkan
perubahan dalam nilai-nilai theory-in-use, seperti asumsi dan strategi.
Asumsi dan strategi berubah secara bersamaan dengan atau sebagai suatu
konsekuensi perubahan di dalam nilai-nilai (Argyris dan Schon, 1996). Double-
Loop learning memiliki aspek destruktif yang selalu mempertanyakan norma-
norma, nilai-nilai dan asumsi-asumsi yang berlaku. Norma, strategi, dan
sasaran yang berlaku perlu digali lebih dalam lagi, dipertanyakan kembali,
dan diperbaiki untuk menciptakan kinerja tinggi organisasi. Double-loop
learning terjadi ketika para anggota organisasi menguji dan merubah
asumsi dasar yang menyokong misi dan kebijakan inti mereka. Dengan
demikian menjadi lebih relevan bagi survival organisasi dibanding hanya
efisiensi jangka pendek. Pembelajaran ini menyiratkan suatu keinginan
untuk menengok kembali misi, sasaran, dan strategi organisasi secara
reguler.
Jadi bisa disimpulkan bahwa Pembelajaran Satu Putaran (single
loop/first order):
 EKMA4565/MODUL 5 5.75

"Proses belajar untuk meningkatkan kapasitas organisasi untuk


mencapai tujuan yang jelas - bersifat rutin & belajar prilaku"
"Memperoleh hasil belajar tanpa terjadi perubahan pada asumsi-asumsi
yang mendasarinya".

Sementara pada Pembelajaran Dua Putaran (double-loop/second order):


"Termasuk di dalamnya untuk mengevaluasi ulang tujuan organisasi
termasuk nilai-nilai dan kepercayaan dasarnya — melibatkan perubahan
budaya organisasi"
Literatur pembelajaran organisasi menekankan pentingnya budaya
organisasi untuk pembelajaran. Karakteristik suatu budaya pembelajaran
meliputi pemberdayaan karyawan yang tinggi, partisipasi, dan keleluasaan
(Argyris dan Schon, 1996). Beberapa cendekiawan juga sudah mengenali
aspek spesifik suatu kultur organisasi pembelajar seperti: entrepreneurship
and risk taking, kepemimpinan fasilitatif, struktur organik, proses
perencanaan strategik yang di desentralisasi (lihat: Garavan,1997) .
Kesemuanya itu bertujuan untuk lebih meningkatkan interaksi yang positif di
antara karyawan.
Alhasil, cara-cara baru dalam mendeskripsikan organisasi kini mulai
menggantikan pendekatan yang lebih kuno. Menurut Peter Senge, kita perlu
berpikir lebih cermat tentang apa yang dimaksud dengan pembelajaran dan
organisasi, di mana para manajer ditantang untuk mengenali bahwa "mind-
set" merupakan aspek penting bagi pembelajaran. Kesuksesan
perusahaan membutuhkan kemampuan kognitif yang tinggi atau,
menurut Argyris dan Schon (1974), kapasitas pembelajaran dua putaran
(double loop learning), yaitu kemampuan untuk mencairkan kebekuan, untuk
menantang norma-norma, kebijakan, sasaran, konfigurasi sumber daya dan
arsitektur perusahaan yang telah mapan.
Dewasa ini bisa dikatakan bahwa kita berada di tengah-tengah
pergeseran 'mind-set' (atau paradigma) menyangkut aktivitas-aktivitas
ekonomi yang kini lebih bertumpu pada jaringan (network) sebagai sumber
pembelajaran dan kerja sama yang mengandalkan proses dan pembelajaran
melalui evolusi serta tidak lagi bergantung pada kepastian sebelum bertindak
dan lebih bertumpu pada tindakan sebagai cara memperoleh kepastian.
Yang bisa kita simpulkan di sini, bahwa ketika sebuah perusahaan
menghadapi kompleksitas lingkungan yang semakin rumit (yang mungkin
didorong oleh perubahan konstelasi persaingan dan teknologi), maka
5.76 Manajemen Perubahan 

timbullah kebutuhan untuk berpikir-ulang. Hal ini berimplikasi pada


pergeseran "mind-set" sebagaimana telah dibahas di atas
Bagaimana pergeseran 'mind-set' bisa terjadi? Menurut Hurst (2002),
saat dihadapkan dengan kompleksitas, sebuah organisasi yang berorientasi
kinerja (performance organization) perlu menjelma menjadi organisasi
pembelajaran (learning organization) jika ingin mewujudkan perubahan.
Untuk tujuan ini, penekanan pada pengakuan, jaringan dan tim akan
menggantikan tightly defined task, sistem kendali dan struktur yang kaku.
Menurut Hurst, kondisi yang diperlukan antara lain adalah 'crisis yaitu
kegagalan yang nyata dari status quo yang tidak bisa dirasionalisasi,
disembunyikan ataupun dibantah lagi.
Dengan memadukan gagasan-gagasan di atas, sejumlah hal penting bisa
dikemukakan. Pertama, jika sebuah organisasi ingin meraup manfaat jangka
panjang dari pembelajaran, yang pasti akan diperoleh melalui perubahan,
maka dibutuhkan proses yang tepat. Kita memerlukan sistem konvergen yang
dirancang sedemikian rupa hingga organisasi mampu menangkap dan
menciptakan pengetahuan. Diperlukan konvergensi kapasitas infrastruktur IT
untuk menangkap pengetahuan, struktur manajemen dan desain sistem yang
fokus mendorong pembelajaran dan proses pengembangan organisasi yang
bertujuan mendorong pembelajaran dan menerapkannya pada lingkungan
baru. Kesemua ini perlu digerakkan oleh kepemimpinan, visi, sistem
imbalan dan 'mental map' yang sesuai.
Maka dalam hal ini, dibutuhkan proses yang dapat memfasilitasi
penalaran produktif' (productive reasoning). Pada dasarnya, hal ini
merupakan upaya kognitif yang sulit, di dalamnya kita mesti
mengidentifikasi dan mempertanyakan asumsi-asumsi, menata dan
menganalisa data, menantang status quo, menyingkapkan pengetahuan tacit
dan lalu merubahnya menjadi pengetahuan eksplisit, membawa
pengetahuan dan pemikiran baru melalui konsekuensi tak terencana dari
sistem, keputusan, status quo, gagasan baru dan seterusnya. Teknik-teknik baru
dalam bidang pemodelan kognitif bisa membantu dalam melatih kemampuan
kognitif ini namun inti masalahnya berpusat pada isu bagaimana mengatasi
penolakan organisasi terhadap `penalaran produktif
Dalam hal ini kita membutuhkan infrastruktur IT untuk menangkap
pembelajaran, misalnya: untuk menyusun basis-data profil dan keluhan
konsumen sebagai sumber pengembangan produk. Sebagai ilustrasi dapat
dikemukakan di sini adalah bisnis produk peralatan rumah tangga dan
 EKMA4565/MODUL 5 5.77

produk kimia Kao Japlin yang mampu menangani 250 panggilan


pelanggannya per harinya dan kini memiliki lebih dari 350.000 pertanyaan/
keluhan pelanggan yang tersimpan di dalam sistem. Data ini bisa dianalisa dan
dipanggil dengan menggunakan 8.000 kata kunci berupa nama pelanggan, produk,
divisi, tanggal, daerah geografis konsumen.

H. PENGEMBANGAN KOMPETENSI DALAM MENANGANI


PERUBAHAN

Kami menggunakan sebuah model yang digunakan secara luas dalam


literatur pelatihan berdasarkan tahap-tahap pengembangan kompetensi. Di
setiap situasi perubahan, kita bergerak dari unconscious incompetence
menuju unconscious competence melalui conscious incompetence dan lalu
ke conscious competence (Gambar 5.17).
Unconscious
competence
Manajemen kinerja
Organisasi pembelajar Developing
Pengembangan pribadi Mastery

Conscious
competence
Lokakarya perubahan
Pelatihan ketrampilan Sarana
Survey staff pembelajaran Skill building
Survey pelanggan
Benchmarking Conscious
incompetence

Briefing
Penelitian diagnostic
Awareness
Satuan tugas, review
Unconscious rising
incompetencec
e
Gambar 5.17.
Pengembangan kompetensi dalam perubahan

Secara analogis, hal yang sama kita jalani saat kita belajar mengemudi.
proses pergerakan dari ketidakmampuan bawah sadar (di mana kita tidak
menyadari ketidakmampuan atau apa makna kata itu) pada keadaan
ketidakmampuan-yang-disadari saat pertama kali kita duduk di belakang
kemudi. Begitu kita menyadari, kita langsung paham akan ketidakmampuan
kita, karena itu disebut sebagai proses munculnya kesadaran. Dalam situasi
5.78 Manajemen Perubahan 

perubahan, ini bisa terjadi melalui proses komunikasi, kunjungan dan


sebagainya, namun juga kerap muncul di saat timbulnya tuntutan baru pelanggan
atau sumber-sumber kompetitif yang tak segera dapat dipenuhi. Hal terakhir
biasanya disadari dari studi diagnostik, tinjauan internal, dsb, yang dilalukan
konsultan (eksternal ataupun internal), satuan tugas dan sebagainya.
Proses berikutnya merupakan proses pembangunan ketrampilan di mana
kita bergerak dari ketidakmampuan-yang-disadari menuju ke kompetensi-
yang-disadari Di sini kita memasuki tahap pertama implementasi.
Keterampilan dalam sistem, prosedur baru dikembangkan dan dilatih. Sarana
pembelajaran mencakup lokakarya, pelatihan karyawan, survei dan sebagainya.
Pada tahap ini, kesadaran akan proses mencapai tingkat yang tinggi dan
pengambilan risiko pribadi berada pada puncaknya. Dibutuhkan
dukungan manajemen untuk mengambil risiko lantaran proses terpenting
dalam tahap ini adalah eksperimentasi. Upaya-upaya awal untuk mulai
mencoba-coba pendekatan baru, memungkinkan kita untuk mengidentifikasi
modifikasi yang lazimnya dibutuhkan sebelum penerapannya secara efektif.
Di tahap ini, berlangsung proses pembelajaran individual mencapai
puncaknya sehingga jadi saat yang tepat untuk memaksimalkan
pembelajaran organisasi. Namun demikian, seberapa seringkah kita mesti
mencoba menarik pelajaran dari hasil coba-coba perubahan awal dan
lokakarya perubahan agar supaya praktek terbaik baru ini dapat ditransfer
secara sistematis?
Proses yang terakhir merupakan proses pengembangan keahlian melalui
praktek lama. Di sini sarana pembelajarannya adalah sistem manajemen kinerja
dan mencakup perhatian pada pengembangan personal dan pembelajaran
organisasi. Pada tahap ini, kompetensi begitu sering dipraktekkan sehingga
tak perlu lagi dipikirkan. Kompetensi telah melekat pada perusahaan dan
menjadi bagian tak terpisahkan. Maka, pembelajaran lebih lanjut akan
menuntut adanya perhatian khusus pada sistem manajemen kinerja
(penggunaan balanced scorecard, pendekatan nilai tambah, penilaian kinerja
dan sebagainya). Dalam tahap ini, ketika keunggulan dalam kinerja telah mampu
diwujudkan, kecepatan pembelajaran akan menurun. Maka proses baru perlu
diulang lagi.
 EKMA4565/MODUL 5 5.79

LAT IH A N

Untuk memperdalam pemahaman Anda mengenai materi di atas,


kerjakanlah latihan berikut!

1) Apa perbedaan antara pembelajaran organisasional dengan organisasi


pembelajar?
2) Jelaskan secara singkat tentang shared vision sebagai salah satu faktor
yang harus diwujudkan dalam organisasi pembelajar!
3) Apa yang Anda ketahui tentang Double-Loop learning?

Petunjuk Jawaban Latihan

1) Organizational learning biasanya diterjemahkan menjadi pembelajaran


organisasional atau pembelajaran dalam organisasi, sedangkan learning
organization diterjemahkan menjadi organisasi pembelajar.
Pembelajaran organisasional penekanannya pada aspek pembelajaran
yakni proses pembelajaran yang terjadi di dalam organisasi, sedangkan
learning organization menekankan pada organisasi tempat pembelajaran
tersebut berlangsung. Untuk lebih jelasnya silakan Anda membaca pada
halaman 5.51 sampai dengan halaman 5.57.
2) Salah satu faktor yang harus diwujudkan oleh organisasi pembelajar
adalah shared vision (Membangun visi bersama): ini menyangkut
bagaimana setiap orang berbagi visi bersama tentang masa depan.
Kepemimpinan merupakan kunci dalam menciptakan dan
mengkomunikasikan visi tersebut. Namun, Senge memandang
kepemimpinan lebih sebagai yang bertanggung jawab atas penciptaan
struktur dan aktivitas yang berkaitan dengan aktivitas kehidupan total
seseorang. Pemimpin menciptakan visi namun rela membiarkan visi
tersebut dirumuskan-ulang oleh orang lain. Untuk lebih lengkapnya
pengetahuan Anda, dapat Anda baca pada halaman 5.62 dan 5.63.
3) Double-Loop learning adalah pembelajaran yang mengakibatkan
perubahan dalam nilai-nilai theory-in-use, seperti asumsi dan strategi.
Asumsi dan strategi berubah secara bersamaan dengan atau sebagai suatu
konsekuensi perubahan di dalam nilai-nilai (Argyris dan Schon, 1996).
Double-Loop learning memiliki aspek destruktif yang selalu
mempertanyakan norma-norma, nilai-nilai dan asumsi-asumsi yang
berlaku. Norma, strategi, dan sasaran yang berlaku perlu digali lebih
5.80 Manajemen Perubahan 

dalam lagi, dipertanyakan kembali, dan diperbaiki untuk menciptakan


kinerja tinggi organisasi.

R A NG KU M AN

Organisasi pembelajar adalah organisasi yang secara terencana dan


terus menerus memfasilitasi anggotanya agar berkembang dan
mentransformasi diri dalam usaha meningkatkan kinerja sesuai dengan
kebutuhan organisasi. Saat ini ada banyak pendapat yang menyamakan
antara organizational learning dan learning organization, hal itu
merupakan salah kaprah. Untuk menghindari kerancuan definisi seperti
tersebut di atas, klarifikasi tentang pengertian masing-masing istilah
sangat penting dikedepankan. Organizational learning diterjemahkan
sebagai pembelajaran organisasional atau pembelajaran dalam organisasi
di mana lebih menekankan pada aspek pembelajaran yakni proses
pembelajaran yang terjadi di dalam organisasi. Sedangkan learning
organization diterjemahkan menjadi organisasi pembelajar menekankan
pada organisasi tempat pembelajaran tersebut berlangsung. Untuk
menjadi organisasi pembelajar yang baik, ada beberapa karakteristik
yang harus dipenuhi, seperti yang dikemukakan oleh Schein (1985) dan
Marquardt (1996), paparannya dapat Anda cermati pada halaman 5.58
dan 5.59.
Selain berkarakteristik, untuk dapat mewujudkan organisasi
pembelajar ada lima faktor disiplin pembelajaran yang harus dimiliki
yaitu: system thinking, personal mastery, mental model, share vision dan
team learning.
Bahasan tentang organisasi pembelajar juga tidak luput dari
pembahasan tentang subsistem pembelajaran, organisasi pembelajar dan
manajemen pengetahuan, perubahan persepsi atas perusahaan, dan
bahasan terakhir adalah tentang pengembangan kompetensi dalam
menangani perubahan.

TES F OR M AT IF 2

Pilihlah satu jawaban yang paling tepat!


1) Organisasi yang secara terencana dan terus menerus memfasilitasi
anggotanya agar berkembang dan mentransformasi diri dalam usaha
meningkatkan kinerja sesuai dengan kebutuhan organisasi adalah definisi
dari ....
A. manajemen pembelajaran
B. manajemen kinerja
 EKMA4565/MODUL 5 5.81

C. pembelajaran organisasi
D. organisasi pembelajar

2) Salah satu karakteristik organisasi pembelajar yang dikemukakan oleh


Marquardt adalah ....
A. pembelajaran dilakukan secara parsial
B. pembelajaran dilakukan oleh organisasi secara terus menerus
C. anggota organisasi tidak merasakan pentingnya pembelajaran
D. iklim organisasi tidak berpengaruh banyak proses pembelajaran

3) Di bawah ini adalah faktor-faktor yang harus dipenuhi oleh organisasi


pembelajar agar efektif dalam pelaksanaannya, kecuali ....
A. individual learning
B. system thinking
C. personal master
D. share vision

4) Nonaka dan Takeuchi membagi pengetahuan menjadi dua bagian,


pengetahuan yang bersifat personal, sulit diformulasikan dan
dikomunikasikan adalah jenis pengetahuan ....
A. explicit
B. Implicit
C. tacit
D. formal

5) Single loop learning adalah pembelajaran di dalam organisasi yang


bersifat ....
A. merubah mind set sumber daya manusia
B. meningkatkan kinerja organisasi dengan cara menemukan dan
memperbaiki sistem yang digunakan oleh organisasi
C. merubah pengetahuan sumber daya manusia organisasi yang bersifat
nilai-nilai theory in use
D. meningkatkan pengetahuan terhadap visi, misi dan strategi
perusahaan
5.82 Manajemen Perubahan 

Cocokkanlah jawaban Anda dengan Kunci Jawaban Tes Formatif 2 yang


terdapat di bagian akhir modul ini. Hitunglah jawaban yang benar.
Kemudian, gunakan rumus berikut untuk mengetahui tingkat penguasaan
Anda terhadap materi Kegiatan Belajar 2.

Jumlah Jawaban yang Benar


Tingkat penguasaan =  100%
Jumlah Soal

Arti tingkat penguasaan: 90 - 100% = baik sekali


80 - 89% = baik
70 - 79% = cukup
< 70% = kurang

Apabila mencapai tingkat penguasaan 80% atau lebih, Anda dapat


meneruskan dengan modul selanjutnya. Bagus! Jika masih di bawah 80%,
Anda harus mengulangi materi Kegiatan Belajar 2, terutama bagian yang
belum dikuasai.
 EKMA4565/MODUL 5 5.83

Kunci Jawaban Tes Formatif


Tes Formatif 1 Tes Formatif 2
1) D. 1) D.
2) A. 2) B.
3) A. 3) A.
4) C. 4) C.
5) B. 5) B.
5.84 Manajemen Perubahan 

Daftar Pustaka
Argyris, C. dan Schon, D.A. (1978). Organizational Learning: A Theory of
Action Perspective, Reading, Mass: Addison Wesley Publishing
Company.

Argyris, C., & Scho¨n, D. A. (1996). Organizational learning II: Theory,


method and practice. Reading, MA: Addison-Wesley.

Baker, Joel. (cited in Partners in Print Vol. 3, No. 6, Nov./Dec., 1991).

Barney, J. B. (2007). Gaining and Sustaining Competitive Advantage, 3rd


edition, Pearson Prentice Hall.

Beer, M, & Spector, B. (1993). Organizational Diagnosis: Its Rolein


Organizational Learning, Journal of Counselling & Development, 71, pp.
642-650.

Bradford, D.L. & Burke, W.W. (eds.) (2005). Reinventing Organization


Development: Addressing the Crisis, Achieving the Potential, San
Francisco, CA: Pfeffer.

Bullock, R.J. & Batten, D. (1985). It’s Just a Phase We’re Going Through: A
Review and Synthesis of OD Phase, Group & Organization Studies, 10
(4), pp. 383-412.

Burke, W.W. (1997). New Agenda for Organization Development,


Organizational Dynamics, 26 (1), pp. 7-20.

Burke, W.W. & Bradford, D.L. (2005). The Crisis in OD. In Bradford, D.L.
& Burke, W.W. (eds.). Reinventing Organization Development:
Addressing the Crisis, Achieving the Potential, San Francisco, CA:
Pfeffer, pp. 7-14.

Burke, W.W. & Kitwin, G.H. (1992). A Causal Model of Organizational


Performance and Change, Journal of Management, 18 (3), pp. 523-545.
 EKMA4565/MODUL 5 5.85

Cummings, T.G. & Worley, C.G. (2005). Organization Development and


Change, 8th edition, Mason, Ohio: South-Western.

Dilworth, R. (1995). The DNA of the Learning Organization, in Chawla, S.


& Renesch, J. (eds.) Learning Organization: Developing Culture for
Tomorrow‘s Workplace, New York: Productivity Press, pp. 243-256.

Dunphy, D.C. & Stace, D.A. (1993). The Strategic Management of Corporate
Change, Human Relations, 46 (8), pp. 905 – 1110.

Drucker, P. (1998). The Coming of New organization, in Drucker, P. &


Garvin, D.A. (eds.) Harvard Business Review on Knowledge
Management, Boston, Mass.: Harvard Business School Press, pp.1-19.

Egan, T.M. (2002). Organization Development: An Examination of


Definitions and Dependent Variables, Organization Development
Journal, 20 (2), pp. 59-70.

French, W.L. & Bell, C.H. (1995). Organgaization Development: Behavioral


Science Interventions for Organizational Improvement, Englewood
Cliffs, NJ: Prentice Hall.

Friedlander, F. & Brown, L.D. (1974). Organization Development, Annual


Review of Psychology, 25, pp. 323-341.

Garavan, T. (1997). The learning organization: a review and evaluation. The


Learning Organization, 4 (1), pp. 18-29.

Garvin, D.A. (1993), ―Building a Learning Organization‖, Harvard Business


Review, July-August, pp. 78-91.

Greiner, L. (1972). Red Flag in Organization Development, Business


Horizons, pp. 17-24.
5.86 Manajemen Perubahan 

Greiner, l. & Cummings, T.G. (2006). OD: want More Live than Dead! In
Bradford, D.L. & Burke, W.W. (eds.). Reinventing Organization
Development: Addressing the Crisis, Achieving the Potential, San
Francisco, CA: Pfeffer, pp. 87-112.

Grieves, J. (2000). Images of Change: The new Organizational Development,


Journal of Management Development, 19 (5), pp. 345-447.

Hamel, G. & Prahalad, C.K. (1991). Corporate Imagination and


Expeditionary Marketing, Harvard Business Review, July-August, pp.
81-92.

Hamel, G. & Prahalad, C.K. (1994). Competing for the Future, Boston,
Mass.: Harvard Business School Press.

Harvey, D.F. & Brown, D.R. (1996). Experimental Approach to


Organization Development, 5th edition, Upper Saddle River, New Jersey:
Prentice Hall International Edition.

Hurst, D.K. (2002), Crisis and Renewal: Meeting the Challenge of


Organizational Change, Boston, Mass.: Harvard Business School Press.

Huse, E. (1980). Organizational Development and Change, Minneeapolis/St.


Paul: West.

Kogut, B. & Zander, U. (1993). Knowledge of the firm and the evolutionary
theory of the multinational corporation, Journal of International
Business Studies. 24 (4); pp. 625-645.

Leibold, M., Probst, G, & Gilbert, M. (2005). Strategic Management in the


Knowledge Economy: New Approach and Business Application, Wiley.

Lundberg, C. (1995). Learning in and by Organizations: Three Conceptual


Issues, International Journal of Organizational Analysis, 3 (1), pp. 10-23
 EKMA4565/MODUL 5 5.87

Marquardt, M. (1996). Building the Learning Organization, A systems


Approach to Quantum Improvement and Global Success. New York:
McGraw-Hill.

Marquardt, M. & Reynolds, A. (1994). Global Learning Organization, New


York: Irwin Professional Pub.

Marqurdt, M. Kearsley, G. (1999). Technology-Based Learning: Maximizing


Human Performance and Corporate Success, Boca Raton, Florida: CRC
Press.

Megginson, D & Peddler, M. (1992). Self-Development: A Facilitator’


Gauide, Maidenhead, McGraw Hill.

McLean, G.N. (2006). Organizationa Development: Principles, Processes,


Performance, San Francisco, CA: Berret-Kohler Publishers, Inc.

Nonaka, I. & Takeuchi, H. (1995). The Knowledge-Creating Company,


Oxford: Oxford University Press.

Ohmae, K. (1995). The End of Nation State: The Rise of Regional


Economies, Free Press.

Ờrstenblad, A. (2001). On Differences between Organizational Learning and


Learning Organization, The Learning Organization, 8 (3), pp. 125-133.

Pedler, M., Burgoyne, J. and Boydell, T. (1991), The Learning Company: A


Strategy for Sustainable Development, 2nd ed., London: McGraw-Hill.

Senge, P.M. (1990), The Fifth Discipline: The Art and Practice of the
Learning Organization, New York, NY: Currency Doubleday.

Senge, P.M. (2003), ―Taking personal change seriously: the impact of


organizational learning on management practice‖, The Academy of
Management Executive, Vol. 17, pp. 47-50.
5.88 Manajemen Perubahan 

Stace, D. & Dunphy, D.C. (1994), Beyond the Boundaries: Leading and Re-
creating the Successful Enterprise, McGraw-Hill.

Takeuchi, H. and I. Nonaka, Hitotsubashi on Knowledge Management. 2004,


Singapore: John Wiley & Sons (Asia).

Tjakraatmaja, J.H. & Lantu, D.C. (2006). Knowledge Management dalam


Konteks Organisasi Pembelajar, Bandung: SBM-ITB.
Wang, C.L. & Ahmed, P.K. (2003). Organisational learning: A critical
review, The Learning Organization. 10(1), pp. 8-17.

Waterman, R.H., Jr., Peters, T.J., & Phillips, J.R. (1980). Structure is not
Organization, Business Horizons, June, pp. 14-26.

Weisbord, M.R. (1976). Organizational Diagnosis: Six Places to Look for


Trouble with or without Theory, Group & Organization Studies, 1, pp.
430-447.

Worley, C.G. & Feyerherm, A.E. (2003). Reflections of the Future of


Organiztion Development, The Journal of Applied Behavioral Science,
39 (1), pp. 97-115.

Yeo, R. (2003) Linking organisational learning to organisational performance


and success: Singapore case studies, Leadership & Organization
Development Journal.. Vol. 24, Iss. 1/2; p. 70-83.

Yeo, R. (2005). Revisiting the roots of learning organization: A synthesis of


the learning organization literature, The Learning Organization. 12 (4),
pp, 368-382.
Modul 6

Manajemen Pengetahuan
dan Inovasi Organisasi
Drs. Achmad Sobirin, MBA., Ph.D.

PEN D A HU L UA N

S ecara panjang lebar modul satu telah menguraikan terjadinya pergeseran


tata kehidupan manusia yang bersifat struktural. Oleh Toffler (1980)
pergeseran tersebut dibagi ke dalam tiga gelombang perubahan yaitu era
pertanian (agrarian era), era industri (industrial era) dan era pasca industri
atau sering dikenal pula sebagai era informasi (post industrial, atau
information era). Pergeseran dari satu gelombang ke gelombang yang lain
selalu ditandai oleh perubahan atau tepatnya lompatan besar (quantum leap)
yang menyebabkan karakteristik pada satu era berbeda secara signifikan
dengan karakteristik era lainnya. Satu hal yang juga patut mendapat perhatian
adalah setiap menjelang terjadinya perubahan-perubahan besar tersebut selalu
diawali oleh inovasi-inovasi yang pada mulanya hanya dilakukan sebagian
kecil kelompok masyarakat tertentu (Lenski & Lenski, 1987). Sudah hampir
pasti inovasi tersebut kemudian ditiru, merembet dan dikembangkan
kelompok-kelompok masyarakat lain menjadi inovasi yang lebih
komprehensif, atau dengan kata lain inovasi secara langsung maupun tidak
langsung akan diikuti oleh proses pembelajaran dan penciptaan pengetahuan
baru yang hasil akhirnya adalah inovasi-inovasi baru dan pengetahuan baru
yang lebih baik. Inovasi dan pengetahuan yang terus bergulir secara gradual
ini pada akhirnya menyebabkan perubahan dalam pengertian positif yakni
progres dan kemajuan pada sekelompok masyarakat tertentu yang diikuti
oleh progres dan kemajuan pada kelompok masyarakat lain.
Uraian di atas memberi gambaran sederhana bahwa inovasi, pengetahuan
dan perubahan selalu berjalan seiring. Ketiganya hampir tidak bisa
dipisahkan sehingga kita sering kali mengalami kesulitan untuk menentukan
mana yang menjadi pemicu dan mana yang menjadi dampak dari ketiga
hubungan tersebut. Bisa dikatakan bahwa ketiganya memiliki hubungan
6.2 Manajemen Perubahan 

timbal balik (resiprokal) yang saling mempengaruhi seperti tampak pada


Gambar 6.1 berikut ini.

pengetahuan

perubahan
inovasi

Gambar 6.1.
Hubungan resiprokal antara pengetahuan, inovasi dan perubahan

Memang agak sulit untuk melihat sebab akibat dari ketiga hubungan
tersebut. Namun bila kita mencermati simpulan Baloch & Karim (2007) yang
menyatakan bahwa komoditas kunci pada era informasi adalah data, maka
bisa disimpulkan bahwa pengetahuan dewasa ini merupakan faktor kunci
yang menjadi pemicu timbulnya inovasi dan perubahan. Logikanya adalah
data merupakan sumber informasi dan selanjutnya jika informasi tersebut
dipecah-pecah dan digabungkan dengan informasi lain akan menghasilkan
pengetahuan (Bierly III, Kessler & Christensen, 2000). Sesuai dengan
simpulan Baloch & Karim maka bisa diartikan pula bahwa dewasa ini
pengetahuan merupakan komoditas kunci dan menempati peran penting
dalam kehidupan masyarakat. Bahkan dengan dukungan teknologi informasi
yang telah berkembang begitu pesat pengetahuan tidak lagi hanya tersimpan
pada individu-individu tertentu seperti yang terjadi pada era pertanian tetapi
tersimpan dalam bentuk digital yang sewaktu-waktu bisa diakses oleh
siapapun yang membutuhkannya. Dengan demikian ketika produksi
pengetahuan semakin tinggi dan menyebar ke segala penjuru, konsekuensi
logisnya adalah inovasi akan tercipta di mana-mana sehingga perubahan pun
tidak bisa dihindarkan. Dengan dukungan teknologi informasi dan
komunikasi, situasi ini sekali lagi akan terus bergulir dengan intensitas yang
lebih cepat sampai mencapai titik keseimbangan baru yang tidak pernah
berhenti.
Dalam era informasi seperti sekarang ini dengan demikian pengetahuan
menjadi komoditas penting, sumber kekuatan dan daya saing bagi siapapun
 EKMA4565/MODUL 6 6.3

yang menguasainya. Negara yang mengusai pengetahuan lebih memiliki daya


saing ketimbang negara yang tidak memiliki pengetahuan. Demikian juga
organisasi atau perusahaan yang memiliki pengetahuan lebih akan lebih
mudah bersaing. Oleh karena itu sangat wajar jika upaya untuk
mengembangkan dan menguasai pengetahuan terus dilakukan. Jika pada
awalnya hanya institusi pendidikan yang memonopoli pengembangan
pengetahuan, dewasa ini institusi-institusi lain termasuk institusi bisnis tidak
ketinggalan juga ikut mengembangkannya. Munculnya istilah knowledge
based economy tidak lepas dari peran institusi bisnis dalam mengembangkan
pengetahuan. Dampak lanjutannya adalah perusahaan tidak semata-mata
dianggap sebagai institusi keuangan tetapi juga sebagai institusi pengetahuan.
Di sini pengetahuan dikelola agar perusahaan tidak kehilangan pengetahuan
khususnya saat terjadi perubahan radikal (Scalzo, 2006) mengingat
berkembangnya pengetahuan sangat potensial menyebabkan terjadinya
inovasi-inovasi baru dan perubahan radikal.
Berdasarkan paparan di atas, modul terakhir dalam rangkaian bahasan
manajemen perubahan akan difokuskan pada dua topik yang latar
belakangnya telah diuraikan di muka yaitu knowledge management dan
inovasi organisasi. Di satu sisi Chen (2007; 2008) mengatakan bahwa
perubahan dalam perspektif makro memiliki keterkaitan dengan
pengembangan pengetahuan; sementara King & Anderson (2002)
menegaskan adanya hubungan resiprokal – hubungan timbal balik antara
perubahan dan inovasi di mana perubahan bisa memicu timbulnya inovasi
dan sebaliknya inovasi bisa menyebabkan munculnya perubahan. Di sisi lain
Chang & Lee (2008) menjelaskan adanya keterkaitan antara akumulasi
pengetahuan dengan inovasi. Ketiga paparan ini sekali lagi menegaskan
adanya hubungan resiprokal antara pengetahuan, inovasi dan perubahan
seperti dipaparkan pada Gambar 6.1. Karena itulah Modul 6 akan membahas
manajemen pengetahuan dan inovasi organisasi sebagai bagian dari bahasan
manajemen perubahan. Bahasan ini akan dibagi dua, yaitu KB 1 membahas
manajemen pengetahuan dan KB 2 membahas inovasi organisasi. Setelah
selesai mempelajari modul ini Anda diharapkan mampu:
1. memahami pengertian manajemen pengetahuan (knowledge
management);
2. memahami pengertian inovasi organisasi;
3. menjelaskan hubungan antara data, informasi, pengetahuan dan krerifan;
6.4 Manajemen Perubahan 

4. menjelaskan komponen-komponen yang dapat menciptakan nilai tambah


perusahaan;
5. menjelaskan sinergi dari tiga komponen penciptaan nilai tambah
perusahaan;
6. menjelaskan pengertian komponen, tipologi, dan manajemen kreativitas;
7. menjelaskan perbedaan antara invensi, inovasi dan adopsi;
8. menjelaskan karakteristik organisasi inovatif.
 EKMA4565/MODUL 6 6.5

Kegiatan Belajar 1

Knowledge Management

A. MEMASUKI ERA INFORMASI DAN PENGETAHUAN

Dewasa ini kita hidup dalam era informasi atau era pengetahuan dengan
tata kehidupan yang jauh berbeda dibandingkan dengan tata kehidupan pada
era industri dan lebih-lebih dengan era pertanian. Perubahan pada era
informasi ini membawa berbagai macam implikasi bagi masyarakat dalam
menjalani kehidupannya baik kehidupan sosial, ekonomi, pendidikan dan
aspek kehidupan lainnya. Dalam kehidupan sosial, banyak hal yang
sebelumnya dianggap tidak mungkin sekarang menjadi serba mungkin. Yang
sebelumnya dianggap tabu sekarang menjadi sesuatu yang lumrah. Sebagai
contoh, frase ―mangan ora mangan sing penting ngumpul‖ yang populer pada
masyarakat Jawa sudah dianggap kadaluawarsa pada era informasi. Tinggal
di tempat yang saling berdekatan atau dalam satu kota sudah bukan
keharusan. Mereka boleh tinggal di mana-mana bergantung di mana mereka
mencari penghidupan. Jika mereka ingin bertemu, boleh jadi pertemuan
secara fisik sudah tidak lagi menjadi prioritas; pertemuan cukup dilakukan
dengan SMS, telepon, video call atau media komunikasi lainnya yang lebih
praktis. Masyarakat mulai berpandangan bahwa pertemuan secara fisik atau
kumpul di antara anggota keluarga tidak perlu dilakukan sesering seperti
waktu-waktu sebelumnya. Pertemuan seperti ini bahkan sering dianggap
pemborosan dan menyulitkan banyak pihak, mereka lebih mementingkan
kualitas pertemuan tersebut bukan frekuensinya.
Dalam kehidupan ekonomi, pola kegiatan bisnis juga mengalami banyak
perubahan. Model bisnis telah berubah dari bisnis konvensional (brick-and-
mortar-busniess) beralih menuju bisnis berbasis informasi (click-and-mortar-
business) atau sering disebut e-business atau i-business. Sebelumnya untuk
mengirim uang ke sanak keluarga yang jaraknya ribuan kilometer kita harus
menggunakan bantuan kurir yang penuh risiko atau paling tidak
menggunakan jasa pos yang membutuhkan waktu beberapa hari. Sekarang
prosesnya jauh lebih mudah dan lebih cepat, dan bahkan bisa dilakukan
sambil tiduran di rumah. Dengan bantuan teknologi informasi sekarang kita
tinggal ―klik‖ dan uang sudah terkirim. Hanya dalam hitungan detik si
penerima bisa memanfaatkan uang tersebut. Demikian juga dalam hal
6.6 Manajemen Perubahan 

pendidikan, khususnya di negara-negara maju, sudah mulai diperkenalkan


distance learning di mana peserta didik tidak lagi perlu datang ke kampus
sekedar untuk mendengarkan dosen memberi kuliah yang terkadang malah
membosankan. Sekarang mahasiswa cukup tinggal di rumah sambil
menjalankan kegiatan lain seperti biasanya dan pada saat bersamaan mereka
bisa mengikuti kuliah melalui internet.
Walhasil, pada era informasi dan pengetahuan ini kehidupan begitu
cepat, praktis, pragmatis dan serba seketika dan instant. Tidak pelak semua
ini menyebabkan masyarakat berprilaku serba instant. Bayi-bayi yang lahir
pada era ini tidak lagi disebut generasi ―baby boomer‖ atau ―Generartion X‖
tetapi ―Generation-I‖ karena sejak lahir atau bahkan sebelum lahir sudah ter-
ekspos dengan internet dan informasi. Generasi ini sudah tidak mengenal lagi
istilah kirim kartu lebaran atau kartu natal untuk mengucapkan selamat idul
fitri atau selamat natal. Mereka lebih memilih kirim ucapan melalui SMS
yang jauh lebih praktis dan lebih murah. Akibatnya fungsi Kantor Pos pun
mulai berubah. Memang urusan kirim surat masih menjadi bisnis inti Kantor
Pos tetapi pendapatannya banyak ditopang oleh aktivitas bisnis lain yang
berbasis internet. Kondisi semacam ini tidak hanya dialami oleh Kantor Pos
tetapi juga kegiatan bisnis lainnya. Surat kabar misalnya sudah bukan lagi
menjadi bagian hidup Generasi I; mereka lebih memilih membuka internet
dan memilih berita yang mereka sukai.
Gambaran di atas memberi penegasan terhadap sebutan abad 21 sebagai
era informasi dan masyarakat pengetahuan (knowledge society) karena pada
era ini hampir semua kehidupan beralih menuju information atau knowledge
based. Dengan demikian informasi dan pengetahuan memiliki peran penting
dalam tata kehidupan manusia. Informasi menjadi faktor dominan yang
dibutuhkan manusia untuk mengelola kehidupannya. Maju atau mundurnya
sebuah negara, berkembang atau tidaknya sebuah perusahaan dan berhasil
atau gagalnya seseorang dalam menjalani hidup sangat bergantung pada
kualitas informasi dan pengetahuan yang dimilikinya. Siapapun yang
menguasai informasi dan pengetahuan merekalah yang menguasai dunia. Hal
ini bukan berarti pada era sebelumnya informasi dan pengetahuan tidak
diproduksi. Yang membedakan era informasi dengan era-era sebelumnya
adalah pengetahuan diproduksi dan menyebar dengan cepat sehingga sering
terjadi overloaded information. Demikian juga pengetahuan yang telah
dimiliki seseorang atau sekelompok orang tidak lagi hanya tersimpan pada
diri seseorang dan melulu menjadi milik mereka. Sekarang informasi dan
 EKMA4565/MODUL 6 6.7

pengetahuan tersimpan di CD ROM dan alat simpan elektronik lainnya


sehingga pengetahuan tidak segera sirna manakala pemilik pengetahuan tidak
bisa bertahan hidup. Pengetahuan yang telah tersimpan tersebut kemudian
diperlakukan sebagai sumber informasi dan rujukan bagi orang lain untuk
memproduksi dan menciptakan pengetahuan baru yang lebih maju. Proses ini
berjalan secara berkelanjutan dengan cepat sehingga satu sumber
pengetahuan bisa menghasilkan ratusan dan bahkan ribuan pengetahuan baru
dalam waktu yang relatif singkat. Yang menjadi paradox adalah pada saat
bersamaan pengetahuan bisa saja tiba-tiba menjadi kedaluwarsa karena
tergantikan oleh pengetahuan lainnya yang lebih baru.
Ketika pengetahuan tidak tersimpan pada masing-masing individu yang
memproduksinya namun pada tempat-tempat penyimpanan publik seperti CD
ROM dan flash disk yang sangat compact, beberapa implikasi muncul
bersamaan dengan perubahan pola tersebut. Pertama, seperti telah dijelaskan
pada modul satu, seseorang yang menghasilkan pengetahuan pada umumnya
tidak bekerja sendirian; mereka menjadi bagian dari sebuah organisasi. Hal
ini mengandung pengertian bahwa peran organisasi dalam menghasilkan
pengetahuan sangat menonjol. Bisa dikatakan bahwa penghasil pengetahuan
adalah organisasi melalui para ekspertis yang bekerja di dalamnya yang
disebut knowledge worker. Kedua, informasi dan pengetahuan tidak lagi
menjadi milik perorangan tetapi menjadi property organisasi. Organisasi
menjadi pihak yang memproduksi, menyimpan dan menyebarkannya.
Berbagi informasi dan pengetahuan tidak lagi dilakukan oleh individu-
individu melainkan oleh organisasi. Kalaulah yang menyampaikan dan
menyebarkan pengetahuan tersebut adalah individu, mereka merupakan
bagian integral dari sebuah organisasi. Ketiga, akibat dari proses produksi
dan penyebaran pengetahuan yang begitu cepat, siklus hidup pengetahuan
juga menjadi semakin pendek. Dampak lanjutannya adalah perubahan juga
menjadi semakin cepat dan lingkungan menjadi semakin tidak menentu dan
sulit diprediksi arah perkembangannya. Keempat, semua ini dimungkinkan
karena adanya faktor pendukung utama yakni teknologi informasi dan
komunikasi (ICT).
Berdasarkan gambaran di atas, Tjakraatmadja & Lantu (2006. 2-5)
menyimpulkan bahwa era informasi dan pengetahuan memiliki karakteristik
sebagai berikut:
1. Informasi/pengetahuan mudah diperoleh dan sekaligus dapat kedaluarsa
dengan cepat.
6.8 Manajemen Perubahan 

2. Permasalahan dalam kehidupan sehari-hari semakin kompleks.


3. Pola perubahan dalam bidang politik, ekonomi, sosial dan budaya
berpengaruh signifikan pada keberlangsungan organisasi dengan
hubungan pengaruh yang semakin sulit diprediksi.

B. ORGANISASI SEBAGAI INSTITUSI PENGETAHUAN

Jika sebelumnya organisasi hanya dianggap sebagai alat bantu yang


berfungsi untuk membantu para pendiri atau pemilik memenuhi kebutuhan-
kebutuhannya dan perusahaan dianggap sebagai mesin penghasil uang –
sering disebut sebagai cara pandang klasik, sekarang pada era informasi
organisasi/perusahaan juga dianggap sebagai institusi pengetahuan (Leonard,
1999; Nonaka & Takeuchi, 1995; Nonaka, Toyama & Nagata, 2000). Dengan
anggapan ini organisasi seolah-olah menjadi sumber dan gudang pengetahuan
dan mampu menciptakan, memproses dan mendistribusikan pengetahuan.
Anggapan ini sejalan dengan pandangan Gareth Morgan (1997) tentang
metafora organisasi. Menurut Morgan salah satu cara pandang untuk
memahami organisasi adalah organisasi dianggap layaknya sebuah otak
tempat berpikir (organizations as brains) yang mampu memproses informasi
dan mampu melakukan proses pembelajaran. Pandangan ini sekaligus
menegaskan bahwa kemampuan organisasi melakukan pembelajaran bisa
diartikan pula bahwa organisasi mampu menciptakan pengetahuan baru,
mendesiminasi pengetahuan pada seluruh elemen organisasi dan
mewujudkannya dalam bentuk produk, jasa dan sistem organisasi (Nonaka &
Takeuchi, 1995). Yang barangkali tidak boleh disalah-mengertikan terhadap
anggapan ini adalah meski dewasa ini pengetahuan memiliki arti penting bagi
sebuah organisasi/perusahaan, namun bukan berarti pengetahuan merupakan
produk akhir atau tujuan akhir dari sebuah organisasi/perusahaan. Kecuali
institusi pendidikan, pengetahuan bagi organisasi lainnya lebih berfungsi
sebagai aset (Husi, 2004) atau alat bantu (tool) (Martesson, 2000) yang
memungkinkan organisasi memiliki daya saing baru sehingga harapan
organisasi tersebut bisa bertahan hidup dan terus berkembang jauh lebih
tinggi ketimbang organisasi yang tidak memiliki pengetahuan.
 EKMA4565/MODUL 6 6.9

C. DATA, INFORMASI, PENGETAHUAN DAN KEARIFAN

Pada mulanya, sebelum manajemen pengetahuan menjadi kebutuhan


organisasi, tidak banyak yang mempermasalahkan adanya perbedaan antara
pengetahuan, informasi dan data. Ketiga istilah ini sering digunakan secara
bergantian seolah-olah memiliki pengertian yang sama. Akhir-akhir ini ketika
pengetahuan menjadi bagian penting dalam kehidupan organisasi/
perusahaan, membedakan ketiga istilah tersebut dianggap menjadi sebuah
kebutuhan tersendiri. Penyebabnya karena kesalahan dalam memahami
ketiga istilah tersebut berpotensi menciptakan kesalahan dalam mengelola
pengetahuan. Di samping adanya kebutuhan untuk membedakan istilah data,
informasi dan pengetahuan, pengetahuan juga mulai dikontraskan dengan
istilah wisdom atau kearifan. Oleh karena itu sebelum membahas knowledge
management, klarifikasi terhadap keempat istilah ini terlebih dahulu akan
dikemukakan. Secara singkat Tabel 6.1 memberi gambaran tentang
pengertian keempat istilah dimaksud.

Tabel 6.1.
Perbedaan Istilah Data, Informasi, Pengetahuan dan Kearifan

Level Definisi Proses Pembelajaran Hasil


Data Fakta yang belum Mengakumulasi Penghafalan (bank
diolah kebenaran data)
Informasi Data yang Memberikan bentuk Pengertian (bank
mengandung makna; dan fungsi informasi)
data yang bisa
digunakan
Pengetahuan Pemahaman yang jelas Analisis dan sintetis Pemahaman
tentang informasi mendalam (bank
pengetahuan)
Kearifan Menggunakan Ketajaman dalam Hidup lebih baik/
(wisdom) pengetahuan untuk memberi penilaian berhasil (bank
menetapkan dan (judgment) dan kearifan)
mencapai tujuan melakukan tindakan
yang tepat
Sumber: Bierly III, Kessler & Christensen (2000)

Sementara itu untuk memperoleh gambaran tentang hubungan antara


data, informasi, pengetahuan dan kearifan kita gunakan buku sebagai contoh
acuan. Sebuah buku terdiri dari data dalam bentuk huruf dan kata-kata;
6.10 Manajemen Perubahan 

informasi akan kita peroleh jika kita membaca kata-kata yang ada dalam
buku dan mencoba memahami artinya. Selanjutnya jika informasi yang kita
peroleh tersebut digabungkan dengan informasi-informasi lain maka akan
diperoleh sebuah pengetahuan. Jika pengetahuan digunakan dengan benar
akan tercipta wisdom. Dalam konteks organisasi berbasis pengetahuan
wisdom dimaknai sebagai pencapaian tujuan. Dari contoh sederhana ini
tampak bahwa data, informasi, pengetahuan dan wisdom memiliki hubungan
yang bersifat hirarkhis seperti tampak pada Gambar 6.2.

Memahami Hubungan Data - Wisdom

Konteks
tinggi Wisdom
principle
pengetahuan
pola

Informasi
hubungan
Data
symbols
rendah

Mudah
Sulit
Sumber: Nunamaker, Jr. et al. (2001)

Gambar 6.2.
Hierarkhi data, informasi, pengetahuan dan wisdom

1. Data
Data adalah fakta yang belum diolah dan diterima apa adanya. Orang
sering menyebutnya sebagai ―data mentah‖. Meski penyebutan ini salah
kaprah karena data itu sendiri sifatnya masih mentah, belum terstruktur
(discrete), penyebutan ini mengandung pengertian bahwa data sekedar eksis
dan belum memberikan arti apa-apa di luar keberadaan data tersebut. Sebagai
 EKMA4565/MODUL 6 6.11

contoh, ketika Biro Pusat Statistik (BPS) misalnya mengeluarkan angka


kepadatan penduduk di kota-kota besar di Indonesia adalah 5000 orang per
kilometer persegi, angka tersebut baru sebatas fakta dan sekaligus data yang
belum memberikan makna. Jadi 5000 orang merupakan angka – sebuah fakta
dan data tentang kepadatan penduduk. Maknanya apa? Apakah angka 5000
termasuk angka yang cukup besar atau sebaliknya? Belum bisa disimpulkan
karena angka tersebut sebuah fakta .
Tentunya data bukan hanya berupa angka. Data eksis dalam berbagai
bentuk – angka, gambar, kata-kata atau simbol. Apakah data bisa digunakan
atau tidak bukan persoalan yang berkaitan dengan data. Dengan bantuan
teknologi informasi yang sangat canggih dalam beberapa detik misalnya kita
bisa memperoleh beragam data. Apakah data tersebut berguna atau tidak
sangat bergantung pada kita bagaimana memanfaatkannya. Jadi data
merupakan representasi yang maknanya bergantung pada sistem representasi
(symbol, bahasa) yang kita gunakan. Oleh karena itu data merupakan fakta
yang belum terstruktur dan bersifat simbolik. Menurut Bierly III, et al. (2000)
memperoleh data sepadan dengan level 1 pada taxonomy Bloom tentang
keterampilan kognitif seseorang. Dengan demikian belajar tentang data sama
halnya dengan proses mengakumulasi fakta sehingga hasil akhirnya adalah
kita bisa mengingat berbagai macam fakta yang bisa disimpan sebagai bank
data.

2. Informasi
Informasi adalah data yang telah diolah, biasanya dengan cara
mengaitkan satu data dengan data lainnya. Hasil dari olah data adalah sebuah
bentuk atau tatanan terstruktur yang mampu memberi makna bagi siapa saja
yang menerima olah data tersebut. Pada contoh sebelumnya angka 5000
tentang kepadatan penduduk kota di Indonesia akan memberikan makna,
yang berarti pula akan memberikan informasi, jika angka tersebut
dikontekstualkan misalnya dikaitkan dengan data lain yaitu kepadatan
penduduk di negara-negara Eropa yang angkanya katakanlah hanya
1000 orang per kilometer persegi. Jika kedua data tersebut dihubungkan
maka diperoleh informasi tentang kepadatan penduduk di dua kota berbeda di
mana kota-kota di Indonesia lima kali lebih padat dibandingkan kota-kota di
Eropa. Pertanyaannya adalah apakah informasi ini berguna? Bisa ya bisa
tidak bergantung bagaimana kita memaknai informasi tersebut. Bagi orang
pemasaran boleh jadi informasi tentang jumlah kepadatan penduduk di dua
6.12 Manajemen Perubahan 

Negara berbeda menginformasikan dirinya tentang potensi pasar sasaran.


Bagi orang yang sedang belajar ilmu kimia, informasi di atas mungkin tidak
ada manfaatnya. Namun terlepas bahwa informasi ada gunanya atau tidak,
informasi masih lebih berguna ketimbang data. Penyebabnya boleh jadi
karena informasi dan makna yang terkandung di dalamnya dapat
dikomunikasikan dan ditransfer ke pihak lain. Jadi informasi merupakan
media komunikasi yang membawa serta deskripsi, definisi, atau perspektif
dan dapat digunakan untuk menjawab pertanyaan apa, siapa, kapan atau di
mana. Penjelasan ini menunjukkan bahwa informasi bersifat relasional. Jika
dikaitkan dengan taksonomi Bloom, memperoleh informasi setara dengan
kemampuan kognitif seseorang pada level 2 dan level 3 yakni kemampuan
untuk memahami informasi dan kemampuan untuk mengaplikasikan
informasi tersebut (Bierly, III, 2000).

3. Knowledge
Di muka telah disebutkan bahwa kumpulan dari fakta akan membentuk
data dan ketika data dirangkai dengan data lain dan diberi makna akan
menghasilkan informasi. Selanjutnya jika informasi tersebut dipilah-pilah dan
digabungkan dengan informasi lain, kemudian dianalisis dan disintesakan
hasilnya adalah sebuah pengetahuan atau knowledge. Sebagai contoh, setelah
memperoleh informasi tentang perbedaan jumlah penduduk kota-kota besar
di Indonesia dan Eropa, seorang pemasar tahu apa makna informasi tersebut
bagi kegiatan pemasaran sehingga Ia mampu menyusun strategi untuk
memasuki pasar Indonesia. Pengetahuan ini akan semakin baik jika pemasar
tersebut memperoleh informasi tambahan misalnya informasi tentang tingkat
pendapatan penduduk Indonesia yang hanya seperempat dari pendataan
penduduk Eropa. Dari gambaran ini knowledge bisa didefinisikan sebagai
pemahaman yang jelas atau pemahaman baru yang diperoleh melalui proses
analisis dan sintesa informasi dan pola hubungan antara informasi-informasi
tersebut (Bierly III, et al., 2000). Definisi ini menyiratkan bahwa hanya
individu yang memiliki pengetahuan, oleh karenanya Alavi & Leidner (2001)
mengatakan pengetahuan adalah olah informasi yang melekat pada pikiran
seseorang. Atau dengan kata lain, pengetahuan merupakan personalized
information (apakah informasi tersebut baru atau lama, khas, berguna atau
akurat, bukan persoalan) yang terkait dengan fakta, prosedur, konsep,
interpretasi, ide, observasi dan judgment atau penilaian. Sementara itu Bierly
III, et al. (2000) menyamakan knowledge dengan level 4 (analisis) dan level
 EKMA4565/MODUL 6 6.13

5 (sintesis) pada taksonomi Bloom karena pengetahuan mampu


meningkatkan kemampuan kognitif seseorang.
Meski sudah tampak jelas bahwa pengetahuan adalah kumpulan
informasi yang menghasilkan pemahaman baru, pengetahuan secara
konseptual tidak sesederhana itu. Kontroversi di sana sini kadang-kadang
masih sering terjadi. Jika selama ini kita memahami bahwa pengetahuan
berasal dari data dan informasi, Tuomi (1999) justru beranggapan sebaliknya
pengetahuan akan muncul sebelum informasi diformulasikan dan sebelum
data bisa diukur untuk membentuk informasi. Di sini Tuomi ingin
mengatakan bahwa data tidak eksis dengan sendirinya. Data mentah
sekalipun untuk bisa eksis tetap membutuhkan pengetahuan sehingga
menurut Tuomi runtutannya adalah pengetahuan jika diartikulasikan akan
menghasilkan informasi dan informasi jika interpretasinya distandarkan akan
menjadi data. Dengan menggabungkan konsep yang dikembangkan Tuomi
dengan konsep sebelumnya yang konvensional maka bisa dikatakan bahwa
hubungan data-informasi-pengetahuan adalah hubungan timbal balik.
Selain persoalan hierarkhi data-informasi-pengetahuan, definisi
pengetahuan juga menghadapi persoalan yang sama yakni tidak adanya
consensus tentang definisi pengetahuan (lihat misalnya, Barquin, 2001;
Biggam, 2001; Firestone, 2001). Dari sumber-sumber berbeda Barquin
(2001) dan Firestone (2001) masing-masing mengutip 8 definisi
pengetahuan. Definisi yang paing banyak dirujuk adalah definisi pengetahuan
sebagaimana dikemukakan Plato yakni ―justified true belief – keyakinan
mendalam yang sangat beralasan‖ (Nonaka & Takeuchi, 1995; Kakabadse
et al., 2003). Sementara itu Bennet & Bennet (2007) mengatakan bahwa
pengetahuan adalah sebuah kapasitas seseorang (baik yang bersifat potensial
maupun aktual) untuk melakukan tindakan yang efektif pada situasi berbeda
dan pada situasi tidak menentu. Perbedaan pengertian ini tidak pelak
menyebabkan pengetahuan bisa dipotret dari perspektif yang berbeda. Alavi
& Leidner (2001) misalnya mengatakan bahwa pengetahuan diperlakukan
sebagai (a) state of mind, (b) sebagai obyek, (c) sebagai proses, (d) sebagai
kondisi yang memiliki akses ke informasi dan (e) sebagai kapabilitas.
Sebagai state of mind, pengetahuan lebih terfokus pada kemungkinan
individu memperluas pengetahuannya dan mengaplikannya pada kebutuhan
organisasi. Perspektif kedua, pengetahuan sebagai obyek menekankan bahwa
pengetahuan merupakan benda yang bisa disimpan. Sementara itu,
pengetahuan sebagai proses mengandung pengertian bahwa pengetahuan
6.14 Manajemen Perubahan 

dapat dipandang sebagai aktivitas yang terjadi secara simultan dalam hal
mengetahui dan bertindak. Pada pandangan berikutnya, pengetahuan sebagai
kondisi yang mampu mengakses informasi bisa diartikan bahwa pengetahuan
harus dikelola agar memungkinkan untuk akses dan mendapatkan isi
pengetahuan. Bisa dikatakan bahwa pandangan ini merupakan perluasan dari
pengetahuan sebagai obyek yang menitikberatkan pada aksesibilitas obyek
pengetahuan. Terakhir pengetahuan sebagai kapabilitas berarti pengetahuan
mampu mempengaruhi tindakan untuk waktu-waktu yang akan datang.
Dari berbagai ragam definisi dan perspektif tentang pengetahuan,
akhirnya Verna Allee (1997) menyatakan bahwa prinsip-prinsip pengetahuan
yang harus dipahami bagi siapa saja yang ingin mengembangkan
pengetahuan adalah:
a. Pengetahuan adalah tidak teratur, morat-marit. Hal ini disebabkan karena
pengetahuan dikaitkan dengan apa saja sehingga kita tidak bias hanya
fokus pada satu faktor saja.
b. Pengetahuan bias mengorganisasi diri.
c. Pengetahuan membutuhkan adanya komunitas.
d. Pengetahuan bergerak melalui bahasa.
e. Semakin pengetahuan ditekan lambat laun pengetahuan semakin hilang.
f. Mengendalikan pengetahuan terlalu ketat hanya akan menghabiskan
sumber daya dan energi.
g. Pengetahuan tidak akan bias tumbuh untuk selama, suatu ketika
pengetahuan akan sirna.
h. Tidak satu solusi terbaik karena pengetahuan selalu berubah.
i. Tidak ada satu orang pun yang bias dimintai pertanggungjawaban
terhadap pengetahuan karena pengetahuan merupakan proses sosial.
j. Jika pengetahuan betul-betul mampu mengorganisasi diri maka hal yang
paling penting untuk memajukan pengetahuan adalah dengan
menghilangkan rintangan untuk mengorganisasi diri.
k. Tidak satupun best practice untuk memajukan pengetahuan.
l. Bagaimana pengetahuan didefinisikan akan menentukan bagaimana
pengetahuan tersebut dikelola.

4. Wisdom atau Kearifan


Diluar hierarkhi data-informasi-pengetahuan masih ada isu terkait yang
perlu mendapat perhatian yakni wisdom atau kearifan. Pertanyaan penting
berkaitan dengan kearifan adalah ketika seseorang telah memperoleh
 EKMA4565/MODUL 6 6.15

pengetahuan apakah orang tersebut hanya sekedar tahu atau akan


memanfaatkannya untuk suatu tujuan tertentu yang lebih baik? Jawabannya
sesungguhnya sudah jelas yakni agar kita bisa hidup lebih baik. Meski
jawabannya jelas tampaknya perlu ada penegasan lebih lanjut karena
(1) merujuk pada pendapat Sveiby (2001), berbeda dengan barang-barang
berujud (tangible goods) yang akan mengalami depresiasi jika barang-barang
tersebut dipakai, pengetahuan justru akan meningkat daya gunanya jika
dipakai dan akan mengalami depresiasi jika tidak digunakan. Oleh karena
memanfaatkan pengetahuan merupakan tindakan bijak, (2) dalam
memanfaatkan pengetahuan, peran dan moralitas atau kearifan seseorang
menjadi faktor kunci karena pengetahuan sering kali bersifat netral. Artinya
pengetahuan bisa digunakan untuk kebaikan tetapi juga bisa digunakan untuk
kejahatan. Sebagai contoh, ketika seseorang atau sebut saja seorang polisi
memiliki pengetahuan tentang cara mencuri melalui internet tentunya polisi
tersebut bisa memanfaatkan pengetahuan tersebut baik untuk kebaikan
maupun untuk kejahatan. Namun dalam hal ini seorang polisi tentunya harus
menggunakan pengetahuannya untuk mencegah terjadinya pencurian demi
hidup lebih baik dan menciptakan kemaslahatan banyak orang. Dari sini
tampak bahwa kearifan merupakan sebuah konsep yang berorientasi tindakan
dalam rangka untuk menerapkan pengetahuan dalam pengambilan keputusan
dan implementasi lanjutannya. Oleh karena itu kearifan bisa didefinisikan
sebagai kemampuan seseorang untuk menggunakan sebaik mungkin
pengetahuan, pengalaman, dan pemahaman dalam rangka menetapkan dan
mencapai tujuan yang lebih baik dan menciptakan kemaslahatan banyak
orang (Bierly III, et al., 2000). Bierly juga menyimpulkan bahwa kearifan
setara dengan level 6 pada taksonomi Bloom (tahap evaluasi). Simpulan ini
didasarkan pada suatu pemahaman bahwa kearifan mampu meningkatkan
kemampuan kognitif seseorang melebihi level sebelumnya (analisis dan
sintesis) dalam hal orang tersebut secara sadar mampu membuat penilaian
berdasarkan kriteria-kriteria yang jelas.

D. KNOWLEDGE CREATION, INTANGIBLE ASSET DAN


INTELLECTUAL CAPITAL

Kaplan & Norton (2001, hal. 2) mengatakan, pada masa ―industrial


economy‖ perusahaan pada umumnya menciptakan nilai tambah dengan
memanfaatkan tangible assets (asset berujud) seperti mesin, equipment dan
6.16 Manajemen Perubahan 

faktor produksi berujud lainnya untuk mengubah bahan baku menjadi produk
jadi. Pada tahun 1982 aset berujud merepresentasikan 62% dari nilai pasar
perusahaan. Prosentase ini menurun 10 tahun kemudian menjadi 38% dan
pada akhir tahun 2000 kontribusi aset berujud hanya berkisar 10 – 15% saja.
Hal ini menunjukkan ketika industrial economy secara bertahap beralih ke
―knowledge-based economy‖ peran aset berujud dalam menciptakan nilai
tambah perusahaan juga terus mengalami penurunan. Peran ini tergantikan
oleh intangible assets (aset tidak berujud) termasuk di dalamnya learning dan
knowledge (Kaplan & Norton, 2001). Sementara itu, Hussi (2004)
menambahkan dalam era informasi selain membutuhkan intangible asset
untuk menciptakan nilai tambah, organisasi membutuhkan pula dan perlu
mengaitkannya dengan dua komponen lain yang juga bersifat intangible dan
melekat pada diri manusia yaitu: modal intelektual (intellectual capital) dan
penciptaan pengetahuan (knowledge creation). Ketiga komponen inilah yang
secara bersama-sama menciptakan nilai tambah perusahaan.

1. Intangible Asset
Ahonen sebagaimana dikutip Hussi (2004) membedakan intangible asset
menjadi dua macam yaitu aset tidak berujud generatif (generative intangible)
dan aset tidak berwujud komersial (commercially exploitated intangible).
Generative intangible adalah aset tidak berujud dalam bentuk kapasitas
perusahaan untuk menghasilkan commercially exploitated intangible.
Termasuk dalam komponen ini adalah human capital, internal structure dan
external structure. Sedangkan commercially exploitated intangible itu sendiri
terdiri dari produksi berbiaya efisien (cost efficient production), Hak
kekayaan intelektual (immaterial property right – IPR), customer capital,
expanding market dan management trust. Perusahaan bisa memperoleh
commercially exploited intangible melalui dua cara: (1) membeli atau
mengakuisisi dari pihak lain atau (2) menciptakan sendiri. Jika ingin
menciptakan sendiri prasyaratnya adalah perusahaan harus memiliki aset
termasuk human capital dan proses untuk menciptakan intangible asset
tersebut. Seperti tampak pada Gambar 6.3, secara keseluruhan tujuan
perusahaan adalah produktivitas jangka panjang dari modal yang
diinvestasikannya. Untuk mencapai tujuan tersebut perusahaan menggunakan
berbagai macam sumber daya baik tangible maupun intangible assets yang
pada gilirannya diharapkan bisa menciptakan nilai pasar yang lebih tinggi
bagi perusahaan. Meski demikian harus disadari pula bahwa semua ini hanya
 EKMA4565/MODUL 6 6.17

mungkin jika pimpinan perusahaan mampu menjalankan dan mengelola aset-


aset tersebut dengan baik.

Sumber : Hussi (2004)


Gambar 6.3.
Intangible Aset dalam konteks perusahaan secara umum

2. Intellectual Capital
Secara tradisional ketika kita menyebut modal, yang kita maksud adalah
uang atau tepatnya financial capital. Sebutan ini tentu tidak salah karena uang
merupakan sumber daya untuk menggerakkan roda organisasi. Meski
demikian dalam era informasi perusahaan tidak cukup hanya mengandalkan
financial capital. Perusahaan juga membutuhkan intellectual capital untuk
menciptakan market value. Arti penting intellectual capital dapat dipahami
dari ilustrasi berikut ini. Jika sebuah perusahaan software direncanakan untuk
dijual tetapi orang-orang yang bekerja di dalamnya tidak mau pindah ke
pemilik baru boleh jadi calon pembeli enggan membeli perusahaan tersebut.
Bagi calon pembeli tidak ada artinya membeli perusahaan software tersebut
jika para ekspertisnya enggan mengikutinya karena alasan pembeli mau
membeli perusahaan justru karena kemampuan orang-orang tersebut. Dengan
kata lain, alasan utama seseorang mau membeli perusahaan software justru
karena modal ineteletualnya. Contoh ini memberi gambaran akan pentingnya
modal yang tersembunyi yang melekat pada diri karyawan. Modal seperti ini
biasa disebut modal intelektual (intellectual capital). Edvisson & Malone
(1997) mengibaratkan modal intelektual sebagai akar sebuah pohon yang
6.18 Manajemen Perubahan 

tidak tampak tetapi justru menentukan kekokohan pohonnya. Menurut


Edvisson & Malone modal intelektual bukan merupakan subordinasi dari
modal finansial melainkan komponen yang bersifat komplementer seperti
tampak pada Gambar 6.4 berikut ini

Sumber: Edvinsson & Malone (1997)

Gambar 6.4.
Modal intelektual dalam penciptaan nilai tambah

Seperti tampak pada Gambar 6.4 modal intelektual dapat dibedakan


menjadi human capital dan structure capital; selanjutnya structure capital
dibedakan menjadi customer capital dan organizational capital; dan
organizational capital dipecah menjadi process capital dan renewal capital.
Sementara itu Hussi (2004) dengan memodifikasi istilah yang digunakan
Edvisson & Malone membedakan modal intelektual menjadi 3 yaitu human
capital, internal structure dan external structure seperti tampak pada
Gambar 6.5. Internal structure digunakan untuk menggantikan istilah
structural capital dan external structure untuk customer capital. Menurut
Hussi, apapun istilah yang digunakan, esensi dari pembahasan modal
 EKMA4565/MODUL 6 6.19

intelektual adalah bagaimana modal intektual mampu membantu


pengembangan organisasi secara menyeluruh. Dilihat dari Gambar 6.5
kontribusi sesungguhnya dari modal intelektual dalam menciptakan nilai
tambah bisa dilihat dari saling interaksi antara tiga komponen tersebut.
Sementara itu peran dari knowledge management sebagai faktor penekan
yang memungkinkan ketiga komponen tersebut bisa lebih mendekat satu
sama lain. Uraian lebih detail tentang knowledge management akan dibahas
pada bagian lain.

Sumber: Hussi (2004)

Gambar 6.5.
Value platform model

3. Knowledge Creation
Selain intangible asset dan intellectual capital, penciptaan pengetahuan
(knowledge creation) merupakan komponen penting ketiga yang diharapkan
mampu memberi kontribusi dalam penciptaan nilai tambah organisasi. Kata
kunci dari knowledge creation adalah pengetahuan. Namun Demarest (1997)
sejak awal wanti-wanti agar istilah pengetahuan dipahami dengan benar.
Yang dimaksudkan pengetahuan di sini bukanlah pengetahuan seperti yang
kita kenal pada saat kita membicarakan philosophical atau scientific
knowledge. Di sini pengetahuan lebih dikaitkan dengan kegiatan yang
6.20 Manajemen Perubahan 

bersifat komersial sehingga Demarest (1997) menyebutnya sebagai


commercial knowledge. Demarest lebih lanjut menegaskan bahwa
commercial knowledge dan scientific knowledge harus dibedakan karena
tujuan akhir dari keduanya berbeda. Jika tujuan mengembangkan
philosophical atau scientific knowledge adalah untuk menemukan kebenaran -
―the truth‖ tidak demikian dengan commercial knowledge. The truth dalam
konteks commercial knowledge lebih dimaknai sebagai efektivitas kinerja.
The truth tidak dimaknai sebagai ―apa yang benar‖ tetapi ―apakah organisasi
bisa bekerja lebih baik‖. Pemaknaan ini juga berlaku bagi istilah-istilah yang
berhubungan dengan knowledge lainnya seperti: knowledge worker;
knowledge asset, knowledge tool dan knowledge sharing. Perubahan
pemaknaan terhadap knowledge ini boleh jadi karena knowledge yang secara
tradisional sesungguhnya melekat pada masing-masing individu (disebut tacit
knowledge), dalam era informasi knowledge pada umumnya dinyatakan
secara eksplisit (explicit knowledge) agar bisa ditularkan kepada orang lain.
Oleh karena itu kepemilikan knowledge juga akhirnya berpindah dari
individu ke organisasi/perusahaan. Selanjutnya, karena sejak semula tujuan
didirikannya perusahaan adalah untuk meningkatkan kesejahteraan ekonomi
terutama kesejahteraan para pendiri dan pemilik, meski tidak ada jaminan
bahwa orang kaya akan lebih bahagia (Csikszentmihalyi, 1999), maka
knowledge pun diciptakan dan dikembangkan perusahaan sebagai tool
(Martesson, 2000) untuk tujuan tersebut. Dari sini muncul istilah knowledge
creation yang dibarengi dengan adanya kebutuhan untuk mengelola
knowledge tersebut. Nonaka & Takeuchi (1995) mengartikan knowledge
creation sebagai kapabilitas perusahaan secara keseluruhan untuk
menciptakan pengetahuan baru, menyebarkannya ke seluruh elemen
organisasi dan membakukannya ke dalam produk, jasa dan sistem organisasi.
Penjelasan di atas secara tidak langsung menegaskan bahwa pengetahuan
pada dasarnya bisa dibedakan menjadi dua yaitu pengetahuan yang melekat
pada diri seseorang disebut sebagai tacit knowledge dan kedua explicit
knowledge yaitu pengetahuan yang telah dikodifikasi dalam berbagai bentuk
seperti buku, rekaman, dokumen dan brosur (Nonaka, 1994; Nonaka &
Konno, 1998; Nonaka & Takeuchi, 1995). Tacit knowledge yang melekat dan
dimiliki seseorang biasanya diperoleh melalui pengalaman hidup atau proses
pembelajaran yang bersifat informal dan personal sehingga pengetahuan
bersifat subyektif karena hanya orang tersebut yang mengetahuinya. Dengan
tacit knowledge orang baru sebatas memahami ―know-how‖. Sementara itu
 EKMA4565/MODUL 6 6.21

melalui explicit knowledge yang lebih bersifat obyektif orang bisa memahami
―know-what‖. Secara komprehensif perbedaan kedua jenis pengetahuan
tersebut dapat dilihat pada Tabel 6.2 berikut ini

Tabel 6.2.
Perbedaan antara Tacit dan Explicit Knowledge

Tacit Knowledge Explicit Knowledge


1. Terkadang orang tidak menyadari 1. Pengetahuan bisa diartikulasikan
(subconscious) kalau dirinya memiliki secara formal
pengetahuan
2. Pengetahuan bersifat perseptif 2. Orang dapat menjelaskan
pengetahuan
3. Orang tidak mempedulikan (unaware) 3. Orang menyadari kalau dirinya
terhadap pengetahuan yang dimilikinya memiliki pengetahuan
4. Orang yang memiliki pengetahuan 4. Pengetahuan bersifat fixed – pasti
sering tidak bisa mengartikulasikan sehingga bisa diungkapkan dengan
atau mengungkapkan mudah
5. Pengalaman hidup merupakan salah 5. Pengetahuan dikodifikasikan dalam
satu faktor utama pembentuk berbagai bentuk: buku, dokumen,
pengetahuan manual
6. Orang bisa mentransfer pengetahuan 6. Pengetahuan terdokumentasikan
melalui komunikasi atau percakapan sehingga bisa ditransfer melalui
berbagai media
7. Pengetahuan biasanya melekat pada 7. Pengetahuan disimpan di data
cerita dan narasi base atau knowledge repositories
8. Pengetahuan sulit diobservasi 8. Pengetahuan dapat dilihat dan atau
didengar
9. Pengetahuan hanya disimpan dalam 9. Dapat di-share dengan orang lain
diri seseorang
10. Pengetahuan sifatnya personal 10. Pengetahuan bersifat
organisasional
11. Pengetahuan biasanya hanya tersirat 11. Pengetahuan dapat dikembangkan
dan muncul dalam bentuk pemahaman (Pushed) atau sebaliknya (pulled)
12. Penilaian (judgment) merupakan 12. Pengetahuan muncul dalam bentuk
representasi pengetahuan laporan atau lesson learned
13. Asumsi 14. Pengetahuan berbasis data dan
informasi
Sumber: McInerney (2002)

Berbasis pada Tabel 6.2 Nonaka, Toyama & Konno (2000) mengajukan
sebuah model dinamis proses penciptaan pengetahuan yang terdiri dari tiga
elemen yaitu (1) knowledge-creating spiral yang biasa disebut sebagai SECI
6.22 Manajemen Perubahan 

proses, (2) ba, konteks dalam penciptaan pengetahuan, dan (3) knowledge
assets – proses input, transformasi dan output. Ketiga elemen ini harus saling
berinteraksi satu sama lain sehingga membentuk knowledge spiral yang
ujung-ujungnya terbentuk pengetahuan baru.
SECI Process. Untuk menjelaskan model ini digunakan dua dimensi
yaitu epistimologi dan ontologi. Epistimologi digunakan untuk membedakan
dua jenis pengetahuan – tacit dan explicit knowledge. Meski pengetahuan
dibedakan menjadi dua, keduanya sesungguhnya bersifat komplementer.
Sedangkan dimensi ontologi digunakan untuk menjelaskan spektrum yang
terlibat dalam proses kreasi mulai dari individu, kelompok, organisasi dan
lintas organisasi. Hasil akhir dari gabungan dua dimensi ini adalah sebuah
matriks yang terdiri dari empat kuadran di mana pengetahuan mengalir dan
berpindah dari satu kuadran ke kuadran lainnya berbentuk spiral. Keempat
kuadran ini populer sebagai SECI singkatan dari socialization,
externalization, combination dan internalization. Lihat Gambar 6.6.

Gambar 6.6.
Model Kowledge-Creating Spiral

Socialization adalah proses berbagi pengalaman di antara individu-


individu di dalam organisasi yang menghasilkan tacit knowledge seperti
terciptanya mental model atau kemampuan teknis yang sama. Sejauh mana
efektivitas proses sosialisasi ini sangat bergantung pada kemampuan masing-
masing individu untuk mengobservasi dan mempraktikkan pengetahuan
tersebut. Externalization adalah proses mengartikulasikan tacit knowledge ke
dalam explicit knowledge yakni ke dalam bentuk-bentuk yang lebih
komprehensif yang bisa dipahami oleh orang lain. Mengkonversi tacit ke
explicit knowledge biasanya diwujudkan dan dapat dilihat dari proses
 EKMA4565/MODUL 6 6.23

pencitaan konsep yang diikuti oleh dialog di dalam kelompok atau mereka
secara berkelompok melakukan refleksi dari konsep tersebut. Combination
adalah proses sistematisasi konsep ke dalam knowledge system. Cara
mengkonversi pengetahuan pada tahapan ini biasanya dilakukan dengan
menggabungkan beragam explicit knowledge sehingga membentuk
knowledge system. Di sini masing-masing individu saling bertukar dan
menggabungkan pengetahuan melalui pertukaran dokumen, rapat atau
sekedar percakapan telepon. Selanjutnya untuk memperlancar proses
penggabungan biasanya dibutuhkan alat bantu berupa ICT maupun data base.
Internalization adalah proses mengubah explicit knowledge menjadi tacit
knowledge. Agar explicit knowledge bisa berubah menjadi tacit knowledge,
pengetahuan harus diverbalkan ke dalam dokumen, buku petunjuk maupun
penjelasan lisan. Di sini terjadi proses pembelajaran – learning by doing di
mana pada akhirnya masing-masing individu mampu memperluas dan
mendefinisikan kembali tacit knowledge yang telah dipelajari sebelumnya.
Jika proses ini berhasil berarti masing-masing individu telah mampu
memperbaharui tacit knowledge pada level yang lebih tinggi, dan selanjutnya
proses pembentukan pengetahuan dimulai lagi dari socialization. Proses akan
terus berlanjut tanpa pernah berakhir.
Ba: Konteks dalam Penciptaan Pengetahuan. Penciptaan pengetahuan
tidak bersifat context-free atau bebas dari konteks. Sebaliknya pengetahuan
hanya akan tercipta jika ada konteks yang melingkupinya - ―tidak pernah ada
kreasi jika tidak ada tempat untuk berkreasi‖. Ba yang secara harfiah berarti
tempat atau ruang secara fisik (physical space), didenisikan sebagai shared
context in which knowledge is shared, created and utilized – sebagai konteks
bersama di mana pengetahuan di-share, diciptakan dan digunakan. Jadi ba
merupakan tempat di mana informasi diinterpretasikan sehingga menjadi
pengetahuan. Namun perlu diketahui pula bahwa ba bukan semata-mata
berarti tempat secara fisik. Ba merupakan konsep yang menggabungkan
ruang dan waktu seperti ruang kantor, ruang maya (virtual space) seperti e-
mail, dan ruang mental seperti berbagi ide. Karena menggabungkan ruang
dan waktu, Nonaka et al. (2000) menyatakan bahwa ba sesungguhnya sebuah
konsep yang bersifat interaktif. Pemahaman ini menjadi penting karena
penciptaan pengetahuan itu sendiri merupakan proses yang sangat kompleks
dan dinamis yang melibatkan interaksi antar individu, dan antara individu
dengan lingkungan. Oleh akrenanya ba difungsikan sebagai konteks di mana
masing-masing individu yang terlibat dalam penciptaan pengetahuan saling
berinteraksi dan melalui interaksi ini tercapai proses self-trancendental dalam
penciptaan pengetahuan sebagaimana tampak pada Gambar 6.7 berikut ini.
6.24 Manajemen Perubahan 

Sumber: Nonaka, Toyama & Konno (2000)

Gambar 6.7.
Ba sebagai shared context

Knowledge Assets. Salah satu modal dasar untuk menciptakan


pengetahuan adalah knowledge asset. Di sini aset didefinisikan sebagai
sumber daya perusahaan yang sangat diperlukan untuk menciptakan nilai
tambah perusahaan. Knowledge asset berupa input, output dan faktor-faktor
yang memoderasi proses penciptaan pengetahuan. Nonaka et al. (2000)
mengelompokkan knowledge asset menjadi 4 yaitu: experiential knowledge
asset, conceptual knowledge asset, systemic knowledge asset dan routine
knowledge asset. Experiential knowledge asset terdiri dari tacit knowledge
yang di-share diantara anggota organisasi, antara anggota organisasi dengan
pihak eksternal. Skill atau keterampilan dan know-how yang diperoleh dan
diakumulasi seseorang berdasarkan pengalaman hidup adalah contoh dari
experiential knowledge asset. Conceptual knowledge asset terdiri dari
explicit knowledge yang diartikulasikan melalui berbagai bentuk. Conceptual
knowledge asset merupakan asset yang konsepnya datang dari customer.
Contohnya adalah brand equity. Systemic knowledge asset terdiri explicit
knowledge yang telah tersistem seperti spesifikasi produk, buku panduan dsb.
Routine knowledge asset terdiri dari tacit knowledge yang telah dilakukan
dan diperhatikan dalam kehidupan sehari-hari organisasi. Contohnya adalah
budaya organisasi, know-how dsb.
 EKMA4565/MODUL 6 6.25

E. MENGINTEGRASIKAN KETIGA KOMPONEN

Setelah menjelaskan secara detail masing-masing komponen – intangible


asset, intellectual capital, dan knowledge creation, sekarang giliran kita untuk
mensinerginakan ketiga komponen tersebut dalam rangka menciptakan nilai
tambah atau market value perusahaan. Sinergi dari ketiga komponen tersebut
dapat dilihat pada Gambar 6.8 (lihat Hussi, 2004). Pada intinya Gambar 6.8
merupakan ringkasan dari gambar-gambar sebelumnya (Gambar 6.3 sampai
Gambar 6.7). Tampak dari Gambar 6.8 bahwa visi organisasi tentang
pengetahuan (knowledge vision) akan menentukan keberhasilan organisasi
tersebut dalam menciptakan market value. Bagi organisasi perusahaan yang
dimaksudkan dengan market value adalah laba, sedangkan bagi organisasi
yang tidak berorientasi laba market value bisa diartikan sebagai keunggulan
bersaing. Proses untuk meningkatkan laba atau keunggulan bersaing
bergantung pada tiga komponen nonkebendaan (soft components) yakni
intangible asset, intellectual capital, knowledge creation.

Sumber : Hussi (2004)

Gambar 6.8.
Hubungan antara komponen soft dalam membentuk market value
6.26 Manajemen Perubahan 

1. Knowledge Management
Dewasa ini knowledge atau pengetahuan sudah menjadi bagian tidak
terpisahkan dari kehidupan sebuah organisasi/perusahaan, lebih-lebih jika
organisasi tersebut adalah organisasi yang secara natural berbasis
pengetahuan. Contoh yang sangat ideal untuk menggambarkan situasi ini bisa
ditemukan pada institusi Perguruan Tinggi (PT). Sebagaimana kita ketahui,
PT adalah organisasi yang menggunakan pengetahuan untuk
mengembangkan dan menghasilkan pengetahuan (Rowley, 2000; Baban,
2007). Dengan demikian tidak berlebihan jika dikatakan bahwa pengetahuan
bagi sebuah PT merupakan input dan sekaligus output. Sementara itu proses
penciptaan dan desiminasinya dilakukan oleh para akademisi yang tidak lain
adalah orang-orang yang berpengetahuan (knowledge worker). Di samping
itu, para akademisi yang sekaligus menjadi tempat menyimpan pengetahuan
dituntut pula untuk terus mendapatkan, menciptakan, mengemas dan
mengaplikasikan pengetahuan baru (Davenport, et al., 1996). Karena itu
pulalah menjadi sangat wajar jika para akademisi memiliki peran penting dan
menjadi penentu bagi kemajuan sebuah PT.
Selain PT, organisasi lain yang memiliki karakteristik hampir sama
dengan PT misalnya perusahaan pengembang perangkat lunak (software).
Seperti halnya PT, perusahaan ini juga membutuhkan pengetahuan secara
intensif dan oleh karena itu knowledge worker menjadi penentu keberhasilan
perusahaan. Dalam perkembangannya bukan hanya organisasi-organisasi
yang secara natural memanfaatkan pengetahuan sebagai daya saing,
organisasi-organisasi lain pun mulai menciptakan pengetahuan untuk tujuan
yang sama. Oleh karena itu pada era pengetahuan seperti sekarang ini sering
dikatakan, organisasi yang bisa bertahan hidup dan meraih sukses hanyalah
organisasi yang menjalankan aktivitasnya berbasis pengetahuan. Meski
pernyataan ini terkesan bombastis, pada kenyataannya peran pengetahuan di
dalam organisasi tidak bisa diabaikan. Semakin hari pengetahuan semakin
menentukan keberhasilan seseorang maupun organisasi/perusahaan karena
hampir semua aspek kehidupan organisasi dan bahkan kehidupan masyarakat
sangat membutuhkan pengetahuan. Dalam konteks inilah mengelola
pengetahuan menjadi sebuah kebutuhan.
Tidak dipungkiri jika pada awalnya pengetahuan hanya tersimpan dan
melekat pada masing-masing individu (Alavi & Leidner, 2001). Pengetahuan
seperti ini disebut sebagai tacit knowledge (Nonaka, 1994; Nonaka &
Takeuchi, 1995) yang manfaatnya hanya dinikmati oleh orang yang
 EKMA4565/MODUL 6 6.27

bersangkutan. Sementara Hick et al. (2006) menyebutnya sebagai personal


knowledge yaitu ―knowledge contained only in the mind of a person –
pengetahuan yang tersimpan hanya pada pikiran seseorang‖. Jika penjelasan
ini dikaitkan dengan contoh pada kasus institusi PT, manakala pengetahuan
hanya tersimpan pada diri para akademisi maka manfaat yang diperoleh PT
tersebut sangat minimal. Padahal tujuan sebuah organisasi membangun
pengetahuan tentunya bukan sekedar agar para pekerjanya memiliki
pengetahuan tetapi organisasi sebagai sebuah institusi juga memiliki
pengetahuan. Artinya pengetahuan yang semula hanya melekat pada diri para
karyawan harus dieksplisitkan sehingga bisa di-share kepada karyawan lain.
Tujuannya manakala karyawan yang memiliki pengetahuan meninggalkan
organisasi tidak dengan sendirinya pengetahuan hilang dari organisasi (Praise
et al., 2006). Sebaliknya tujuan organisasi mengelola dan mengembangkan
pengetahuan adalah agar terbentuk knowledge organization dan organisasi
memiliki daya saing untuk mencapai tujuan (Gambar 6.9 memberikan sedikit
gambaran awal tentang kaitan antara knowledge dengan tujuan organisasi).

Hasil dari KM
Proses KM digunakan oleh Proses
bisnis

Hasil dari Knowledge


Proses Pengetahuan digunakan oleh Proses
bisnis

Proses bisnis seperti


penjualan atau Hasil dari bisnis:
pemasaran Pendapatan, Laba,
ROI
Sumber: Firestone (2001)

Gambar 6.9.
Dari KM ke Hasil bisnis
6.28 Manajemen Perubahan 

Beruntung, dengan bantuan ICT pengetahuan sekarang bisa disimpan di


perangkat-perangkat yang memungkinkan orang lain bisa mengaksesnya
dengan mudah. Seperti dikatakan Davenport et al. (1998) agar sebuah
organisasi menjadi knowledge organization, yang pertama harus dilakukan
adalah menciptakan tempat penyimpanan pengetahuan (knowledge
repositories) di mana pengetahuan dan informasi dapat disimpan dalam
bentuk dokumen. Dengan karakteristik cara penyimpanan pengetahuan
seperti ini dengan demikian pengetahuan bukan lagi hanya milik individu
tetapi sudah bergeser menjadi milik publik – dalam hal ini milik organisasi,
sehingga sangat memungkinkan bagi organisasi untuk mengelola
pengetahuan dengan baik dan ujung-ujungnya semua pihak memperoleh
manfaat yang optimal dari pengetahuan tersebut. Dengan bahasa lebih
sederhana pengetahuan harus dikelola. Pengelolaan pengetahuan inilah yang
dikenal dengan istilah knowledge management.
Sebelum kita mencoba memahami lebih detail apa itu knowledge
management (KM) dan bagaimana mengelolanya perlu diketahui terlebih
dahulu bahwa KM sebagai sebuah kajian tidak hanya dikaji dari satu disiplin
ilmu tertentu. Berbagai disiplin ilmu terlibat dalam kajian KM. Ilmu filsafat
misalnya, memberi kontribusi dalam mendefinisikan pengetahuan. Cognitive
science berkontribusi dalam pemahaman knowledge worker; ilmu sosial
(dalam memahami motivasi, interaksi antar manusia, budaya dan lingkungan
pengetahuan); information science (membangun kapabilitas terkait dengan
pengetahuan); management science (optimalisasi operasi organisasi dan
mengintegrasikannya ke dalam kehidupan organisasi); knowledge
engineering (mengumpulkan dan mengkodifikasi pengetahuan); artificial
intelligence (automatisasi kegiatan rutin dan pekerjaan-pekerjaan bermuatan
pengetahuan) dan ilmu ekonomi (menentukan skala prioritas).
Akibat dari ragam disiplin ilmu yang terlibat dalam kajian pengetahuan
maka tidak terelakkan jika (1) consensus untuk mendefinisikan KM tidak
pernah tercapai dan (2) munculnya beberapa aliran dalam memahami konsep
KM. Firestone (2001) dengan merujuk pada web site yang dikelola Dr.
Yogesh Malhotra menemukan ragam definisi KM yang kadang-kadang
berbeda satu dengan lainnya (untuk lebih detail, silakan buka
www.brint.com.). Kritik Firestone terhadap definisi yang ada (kritik yang
sama juga disampaikan oleh Alvesson & Karreman, 2002) adalah
kebanyakan definisi cenderung mengabaikan kata ―management‖ seolah-olah
KM bukan manajemen terhadap pengetahuan. Firestone sendiri kemudian
 EKMA4565/MODUL 6 6.29

mendefiniskan KM sebagai ―human activity that is part of the Knowledge


Management Process (KMP) of an agent or collective – aktivitas manusia
sebagai bagian dari proses manajemen pengetahuan baik secara individu
maupun kolektif. Menurut Firestone, definisi ini merupakan bahasa lain dari
―manajemen siklus hidup pengetahuan (Knowledge Life Cycle – KLC) dan
hasilnya‖. Sementara itu Davenport et al. (1998) mendefinisikan KM sebagai
eksploitasi dan pengembangan knowledge assets dalam rangka untuk
mencapai tujuan organisasi. Termasuk yang di mana di dalam KM adalah
pengetahuan eksplisit (explicit knowledge) – pengetahuan yang sudah
menjadi ranah publik dan terdokumentasikan dan pengetahuan tasit (tacit
knowledge) – pengetahuan yang bersifat subyektif yang melekat pada diri
masing-masing individu. Mengingat manajemen pengetahuan meliputi semua
proses yang terkait dengan identifikasi, sharing dan penciptaan pengetahuan
maka manajemen pengetahuan membutuhkan sistem yang memungkinkan
(a) untuk membangun dan memelihara tempat penyimpanan pengetahuan
(knowledge repository) dan (b) untuk membudayakan dan memfasilitasi
knowledge sharing dan proses pembelajaran. Davenport et al. selanjutnya
mengatakan organisasi yang berhasil dalam mengelola pengetahuan pada
umumnya menganggap pengetahuan sebagai aset dan berusaha
mengembangkan norma dan nilai-nilai yang mendukung penciptaan dan
sharing pengetahuan.

2. Mazhab (Aliran) dalam Knowledge Management


Michael Earl (2001) membedakan mazhab atau aliran dalam KM
menjadi tujuh (7) aliran yang kemudian dikelompokkan menjadi tiga
(3) mahzab yaitu: mahzab technocratic terdiri dari sistem, cartographic dan
engineering; mazhab economic hanya memiliki komponen tunggal yaitu
commercial; dan mazhab behavioral terdiri dari organizational, spatial dan
strategic (lihat Gambar 6.10). Earl mengakui bahwa penggolongan KM ke
dalam tiga mazhab ini masih belum sempurna. Sangat boleh jadi ada
pembagian mazhab yang lebih komprehensif namun dengan menggolongkan
KM ke dalam tiga mazhab ini diyakini bias membantu memahami konsep
KM secara umum. Mazhab pertama disebut technocratic karena mazhab ini
berbasis pada teknologi informasi dan manajemen yang pada batas-batas
tertentu berupaya untuk mendukung knowledge worker dalam menjalankan
tugas sehari. Secara filosofi mazhab ini berupaya untuk mengkodifikasi
pengetahuan, menghubungkan satu pengetahuan dengan pengetahuan lain
6.30 Manajemen Perubahan 

dan berupaya untuk meningkatkan kapabilitas organisasi dengan


memanfaatkan pengetahuan. Mazhab kedua disebut economic karena pada
mazhab ini manajemen pengetahuan lebih diorientasikan bagaimana
organisasi menciptakan pendapatan dan nilai tambah melalui eksploitasi
pengetahuan dan intellectual capital. Walhasil mazhab kedua lebih melihat
KM sebagai media untuk meningkatkan nilai tambah organisasi dalam
perspekti ekonomi. Mazhab terakhir – behavioral lebih ditujukan bagi para
manajer bagaimana mereka mendorong dan mengelola organisasi sehingga
setiap individu lebih proaktif dalam menciptakan, berbagi dan menggunakan
pengetahuan sebagai sumber daya. Oleh karena kolaborasi, melakukan
kontak dan kesadaran tentang KM menjadi unsur penting.

Sumber: Michael Earl (2001)

Gambar 6.10.
Mazhab dalam KM

3. Knowledge Life Cycle


McElroy (2000) mengatakan bahwa KM is all about getting the right
information to the right people at the right time. Jadi pada intinya KM
merupakan proses untuk mendapatkan informasi yang tepat untuk orang yang
 EKMA4565/MODUL 6 6.31

tepat pada waktu yang tepat. Menurut McElroy pandangan ini menganggap
bahwa organisasi seolah-olah telah memiliki pengetahuan yang sangat
berharga sehingga tugas seorang manajer lebih pada bagaimana mendapatkan
pengetahuan tersebut, mengkodifikasikannya dan mendistribusikannya
kepada para pekerja sehingga ujung-ujungnya kinerja organisasi meningkat.
Pemahaman terhadap KM seperti ini oleh McElroy disebut sebagai ―supply
side of KM‖. Secara konvensional pengembangan KM cenderung
menggunakan pendekatan ini. Kebalikan dari supply side adalah ―demand
side of KM‖. Tidak seperti pada supply side yang menggunakan asumsi
bahwa organisasi memiliki pengetahuan, para praktisi dengan pendekatan
demand side justru mempertanyakan: jika organisasi harus menunggu
datangnya pengetahuan dari supply side dan hanya sekedar mengelola
pengetahuan lama, apakah organisasi bisa meningkatkan kemampuannya
untuk bersaing dan meningkatkan kinerjanya? Para praktisi yang berorientasi
pada demand side mengakui jika berbagi pengetahuan merupakan hal penting
tetapi apakah kita tidak bisa fokus untuk menghasilkan pengetahuan sendiri
yang lebih baru yang memiliki daya kompetisi yang lebih tinggi? Barangkali
inilah pertanyaan penting dari praktisi pada sisi demand side. Dengan bahasa
lain, para penganut demand side sesungguhnya bukan tidak mengakui adanya
supply side tetapi mereka lebih memprioritaskan untuk menciptakan
pengetahuan yang lebih baru. Bahwa kemudian sumber untuk menciptakan
pengetahuan baru tersebut adalah pengetahuan dari supply side, bagi
penganut demand side tidak menjadi masalah.
McElroy (2000) menyebut supply side of KM sebagai KM generasi
pertama. Sedangkan praktik yang menyeimbangkan antara supply side dan
demand side disebut sebagai KM generasi kedua. KM generasi kedua inilah
yang disebut juga ―The New Knowledge Management‖. McElroy lebih lanjut
mengatakan bahwa dengan New KM pengetahuan akan terus diproduksi dan
proses produksinya mengikuti suatu aturan tertentu serta pola prilaku tertentu
yang bisa diprediksi. Jika berbagai pihak mendukung dan memperkuat
prilaku tersebut maka akselerasi peningkatan produksi pengetahuan akan
semakin tinggi dan konsekuensinya terjadinya proses pembelajaran
organisasi dan inovasi berkelanjutan.
New KM yang dikembangkan oleh McElroy menghasilkan sebuah
model teoritis yang bisa digunakan untuk memotret proses produksi, difusi
dan implementasi pengetahuan. Model ini berupa siklus hidup pengetahuan
6.32 Manajemen Perubahan 

(Knowledge Life Cycle = KLC) seperti tampak pada Gambar 6.11 dengan
urutan sebagai berikut:
a. Semua pengetahuan pada dasarnya berasal dari diri dan pikiran
seseorang. Bisa dikatakan bahwa organisasi bisa belajar jika dan hanya
jika orang-orangnya mau belajar. Oleh karena itu tahapan penting dalam
memproduksi pengetahuan baru dan berbagi pengetahuan adalah
pengalaman individu dalam proses pembelajaran.
b. Ketika seseorang telah melakukan pembelajaran dan hasilnya dikaitkan
dengan pengalaman sebelumnya maka muncul suatu situasi di mana ada
hal-hal tertentu yang bisa mereka teruskan dan ada hal-hal lain yang
harus dihentikan. Dengan kata lain, setelah seseorang mengetahui
sesuatu maka ada hal-hal tertentu yang bisa disepakati karena sesuai
dengan pengelaman sebelumnya dan ada hal-hal yang tidak bisa
disepakati karena bertentangan dengan pengalaman sebelumnya. Dalam
hal mereka tidak sepakat hampir pasti muncul keinginan untuk
menyelesaikannya. Sebagai contoh jika seseorang menurut
pengetahuannya yakin bahwa atasan mereka melakukan suatu kesalahan
maka hal pertama yang akan dilakukan adalah memberi tahu atasan akan
kesalahan tersebut. Tetapi sebelum hal itu dilakukan biasanya ia akan
berbagi pengetahuan terlebih dahulu dengan orang lain tentang sesuatu
yang ia ketahui. Jika keduanya saling tertarik untuk mendiskusikan
persoalan tersebut maka mereka akan saling berbagi pengetahuan dan
menciptakan pengetahuan yang peredaran terbatas di kalangan mereka.
Dari sinilah terbentuk community of knowledge di mana pengetahuan
telah berubah menjadi property public meski belum bersistem ke dalam
organisasi.
c. Komunitas yang telah berbagi pengetahuan selanjutnya meneruskan
proses pembentukan pengetahuan yang kadang-kadang diselingi proses
negosiasi agar pengetahuan baru bisa diterima. Hal ini bisa diartikan
bahwa masing-masing anggota komunitas mencoba membawa
pengetahuan kepada forum diskusi yang kemudian dibahas bersama,
dimodifikasi dan diperbaharui. Hasilnya adalah pengetahuan baru yang
kemudian diklaim sebagai pengetahuan milik komunitas tersebut.
Namun jika di antara mereka terjadi ketidaksepakatan terhadap
pengetahuan baru maka terjadi proses negosiasi sampai tercapai
kesepakatan. Hanya saja proses negosiasi ini tidak terjadi pada level
individual tetapi pada level organisasi.
 EKMA4565/MODUL 6 6.33

d. Ketika komunitas telah menciptakan pengetahuan dan dalam batas-batas


tertentu pengetahuan baru tersebut tidak sejalan dengan praktik
pengetahuan yang ada, sangat boleh jadi mereka akan membawa
masalah ini pada senior manajer yang notabenenya mewakili komunitas
formal organisasi. Boleh jadi pengetahuan baru yang diciptakan oleh
komunitas tersebut bisa diterima atau tidak secara formal tetapi yang
jelas penciptaan pengetahuan baru sudah sampai pada ranah struktur
formal organisasi, bukan sekedar pada ranah informal seperti
sebelumnya. Jika senior manajer sebagai wakil otoritas formal mencoba
menciptakan pengetahuan baru yang berbeda dengan pengetahuan yang
dibawa oleh komunitas informal dan berusaha untuk menyebarkannya ke
dalam praktik atau mengintegrasikannya secara organisasional maka
terjadilah tahap integrasi pengetahuan dalam siklus pengetahuan.
Pengetahuan kemudian menyebar baik secara kebetulan maupun sengaja
disebarkan. Selanjutnya pengetahuan yang telah tersebar ke seluruh
elemen organisasi akan menciptakan proses pembelajaran dan terjadilah
inovasi organisasi.
e. Jika pengetahuan telah tersebar dan menjadi praktik yang dominan
dalam kehidupan organisasi maka individu-individu yang
mengaplikasikannya akan mendapat pengalaman baru. Dampaknya
adalah pengetahuan baru akan memberikan umpan balik bagi yang
mempraktekkannya dan secara berturut-turut pengetahuan baru tersebut
akan menjadi dasar untuk menilai apakah pengetahuan baru lebih
memiliki nilai atau tidak. Yang lebih penting lagi adalah umpan balik ini
boleh jadi akan merubah cara kerja dan cara berpikir seseorang,
menciptakan masalah, mendorong untuk belajar dan menemukan sesuatu
yang baru yang pada akhirnya akan menjadikan proses ini kembali pada
tahap pertama siklus pengetahuan.
6.34 Manajemen Perubahan 

Sumber: McElroy (2000)

Gambar 6.11.
Siklus Hidup Pengetahuan

4. Knowledge Management dalam Praktik


Untuk memperoleh gambaran bagaimana sebuah organisasi mengelola
pengetahuan berikut ini contoh praktik manajemen pengetahuan yang
dilakukan dua perusahaan konsultan McKinsey & Co dan Earnst & Young
sebagaimana dituturkan oleh Rowley (2000). McKinsey adalah perusahaan
konsultan yang telah mempraktikkan manajemen pengetahuan lebih dari
20 tahun. Pada mulanya perusahaan ini hanya membentuk kelompok kerja
yang tujuannya adalah mengembangkan pengetahuan untuk area manajemen
strategi dan organisasi. Baru pada tahun 1987 McKinsey secara resmi
membangun proyek manajemen pengetahuan khususnya dalam membangun
database perusahaan untuk tujuan praktis. Pada mulanya tentu saja banyak
karyawan yang enggan terlibat dalam proyek ini; mereka cenderung resisten
dan bahkan partner dari McKinsey harus dibujuk dan ditantang untuk
menunjukkan core knowledge-nya. Meski mendapat rintangan proyek ini
terus berjalan dengan mengandalkan pada network masing-masing individu
 EKMA4565/MODUL 6 6.35

yang terlibat dalam proyek. Proyek manajemen pengetahuan mendapatkan


momentum pada tahun 1994 saat terjadi pergantian direktur perusahaan di
mana Ia menemukan mekanisme untuk melakukan proses pembelajaran bagi
para ekspertis. Salah satunya adalah dengan melakukan kompetisi ala
Olimpiade di mana masing-masing tim yang mewakili wilayah kerja
berlomba dan menyajikan ide-idenya yang diperoleh saat mereka melayani
klien.
Sementara itu cara yang sedikit berbeda ditempuh oleh Ernst & Young
dalam membangun manajemen pengetahuan. Ernst & Young mulai focus
pada manajemen pengetahuan pada tahun 1993 dengan tujuan untuk
meningkatkan kemampuan modal intelektual dan menggunakan pengalaman
sebelumnya sebagai dasar untuk praktik-praktik melayani klien di masa
mendatang. Salah satu strateginya adalah membangun komunitas yang
memiliki kepentingan yang sama (community of interest). Ernst & Young
memiliki 70 jaringan di dalamnya terdiri dari para ekspertis dan community
of interest. Masing-masing jaringan memiliki database tersendiri. Sebagai
contoh, satu jaringan fokus pada industry otomotif dengan segala informasi
yang berkaitan dengan industry tersebut. Di samping itu siapa ekspert di
bidang otomotif juga bisa diketahui dengan jelas. Secara sederhana, untuk
mengelola pengetahuan, Ernst & Young menyediakan semua kebutuhan
mulai dari data, infrastruktur dan Chief Knowledge Officer sehingga
siapapun yang membutuhkan pengetahuan bias dengan mudah mengaksesnya
dan menggunakannya untuk kepentingan perusahaan dalam melayani klien.
Dari sinilah Ernst & Young mampu bersaing dengan konsultan lainnya dan
meraih sukses sampai kini.
Berdasarkan kedua contoh di atas, Rowley (2000) kemudian membuat
daftar yang bias digunakan bagi organisasi yang ingin mengembangkan dan
mengelola pengetahuan:
a. Mengelola dan mengembangkan pengetahuan harus melibatkan orang-
orang disegani di bidangnya.
b. Sejak semula harus disadari jika banyak orang yang enggan
mendokumentasikan pengetahuan inti yang dimilikinya.
c. Praktik manajemen pengetahuan membutuhkan waktu untuk
merealisasikannya ke dalam praktik.
d. Community of interest memegang peran penting dalam manajemen
pengetahuan.
6.36 Manajemen Perubahan 

e. Dalam manajemen pengetahuan kemajuan hanya akan diperoleh jika ada


sekelompok orang yang ditunjuk untuk berperan dalam manajemen
pengetahuan. Termasuk di dalamnya orang-orang yang ditugasi untuk
memvalidasi konten dan dukungan terhadap database, di samping para
staf untuk mengawalnya.
f. Pemroses pengetahuan akan bias bekerja lebih efisien dan efektif jika
target pengetahuan yang akan dikelola diidentifikasi dengan jelas dan
dalam pengelolaannya ada struktur pengetahuan yang disusun secara
hirarkhis sesuai dengan peran pentingnya.

5. Perubahan Organisasi dan Knowledge Management


Telah berulang kali dikemukakan pada bagian-bagian sebelumnya bahwa
kita sekarang ini hidup pada masyarakat pengetahuan (knowledge society) di
mana setiap individu dan setiap organisasi tidak bisa melepaskan diri untuk
tidak terlibat dengan pengetahuan. Yang barangkali harus disadari oleh setiap
manajer adalah proses terciptanya pengetahuan baru terjadi dalam skala
waktu yang relatif pendek sehingga dalam waktu yang pendek pula ratusan
pengetahuan baru muncul berbarengan dan bertebaran ke segala penjuru.
Akibatnya siklus hidup pengetahuan menjadi semakin pendek. Pengetahuan
baru bisa berubah dengan cepat menjadi pengetahuan lama dan tanpa disadari
tiba-tiba menjadi kedaluwarsa. Dalam perspektif yang lebih makro, semakin
pendeknya siklus hidup pengetahuan tentunya berakibat pada semakin
cepatnya perubahan lingkungan eksternal dan konsekuensi logisnya adalah
lingkungan eksternal semakin tidak menentu (uncertain) dan turbulensi
lingkungan menjadi semakin tinggi. Ujung-ujungnya organisasi harus segera
melakukan perubahan dan menciptakan pengetahuan baru agar terus bisa
bersaing. Siklus seperti ini tampaknya akan terus berputar tanpa pernah akan
berhenti.

LAT IH A N

Untuk memperdalam pemahaman Anda mengenai materi di atas,


kerjakanlah latihan berikut!
I) Jelaskan keterkaitan antara knowledge creation, intangible asset dan
intellectual capital!
2) Jelaskan apa yang Anda ketahui tentang knowledge management!
3) Sebutkan beberapa mazhab yang mendasari knowledge management!
 EKMA4565/MODUL 6 6.37

Petunjuk Jawaban Latihan

1) Silakan Anda menyimak dan membacanya pada halaman 14 sampai


dengan halaman 23, intinya adalah bahwa Ketiga komponen inilah yang
secara bersama-sama menciptakan nilai tambah perusahaan bagi
perusahaan.
2) Simak dan pahami materi pada halaman 24 sampai dengan halaman 31.
Pada intinya knowledge management merupakan sebuah kajian yang
berasal bukan hanya dari satu disiplin ilmu tertentu. Berbagai disiplin
ilmu terlibat dalam kajian knowledge management. Davenport et al.
(1998) mendefinisikan knowledge management sebagai eksploitasi dan
pengembangan knowledge assets dalam rangka untuk mencapai tujuan
organisasi. Termasuk yang dimana didalam knowledge management
adalah pengetahuan eksplisit (explicit knowledge) — pengetahuan yang
sudah menjadi ranah publik dan terdokumentasikan dan pengetahuan
tasit (tacit knowledge) — pengetahuan yang bersifat subyektif yang
melekat pada diri masing-masing individu. Mengingat manajemen
pengetahuan meliputi semua proses yang terkait dengan identifikasi,
sharing dan penciptaan pengetahuan maka manajemen pengetahuan
membutuhkan sistem yang memungkinkan (a) untuk membangun dan
memelihara tempat penyimpanan pengetahuan (knowledge repository)
dan (b) untuk membudayakan dan memfasilitasi knowledge sharing dan
proses pembelajaran.
3) Michael Earl membedakan mazhab atau aliran dalam knowledge
management menjadi tujuh (7) aliran yang kemudian dikelompokkan
menjadi tiga (3) mahzab yaitu: Mahzab Technocratic terdiri dari system,
cartographic dan engineering; Mazhab Economic hanya memiliki
komponen tunggal yaitu commercial; dan Mazhab Behavioral terdiri dari
organizational, spatial dan strategic.

R A NG KU M AN

Knowledge management adalah sebuah kajian yang tidak hanya


dikaji dari satu disiplin ilmu tertentu, melainkan berasal dari beberapa
disiplin ilmu. Firestone mendefiniskan knowledge management sebagai
aktivitas manusia sebagai bagian dari proses manajemen pengetahuan
baik secara individu maupun kolektif. Sementara Davenport et al.
6.38 Manajemen Perubahan 

mendefinisikan knowledge management sebagai eksploitasi dan


pengembangan knowledge assets dalam rangka untuk mencapai tujuan
organisasi. Termasuk yang di mana di dalam knowledge management
adalah pengetahuan eksplisit (explicit knowledge) — pengetahuan yang
sudah menajdi ranah publik dan terdokumentasikan dan pengetahuan
tasit (tacit knowledge) — pengetahuan yang bersifat subyektif yang
melekat pada diri masing-masing individu. Michael Earl membedakan
mazhab atau aliran dalam knowledge management menjadi tiga mahzab
yaitu: Mahzab Technocratic terdiri dari sistem, cartographic dan
engineering; Mazhab Economic hanya memiliki komponen tunggal yaitu
commercial; dan Mazhab Behavioral terdiri dari organizational, spatial
dan strategic.

TES F OR M AT IF 1

Pilihlah satu jawaban yang paling tepat!

1) Pada masa knowledge-based economy peran aset berujud dalam


menciptakan nilai tambah perusahaan juga terus mengalami penurunan,
peran ini tergantikan oleh aset tidak berujud, salah satu aset tidak
berujud adalah ....
A. mesin
B. gedung
C. tanah
D. knowledge

2) Untuk menciptakan market value, perusahaan membutuhkan capital


yang berasal dari sumberdaya manusia, yaitu ....
A. structure capital
B. customer capital
C. intellectual capital
D. financial capital

3) Knowledge asset terdiri dari input, output dan faktor-faktor yang


memoderasi proses penciptaan pengetahuan, yang dikelompokkan
menjadi empat kelompok aset, diantaranya adalah ....
A. explicit knowled
B. experiential knowledge asset
C. mecanical knowledge asset
D. knowledge engineering
 EKMA4565/MODUL 6 6.39

4) Mazhab dalam Knowledge Management yang berbasis pada teknologi


informasi dan manajemen yang pada batas-batas tertentu berupaya untuk
mendukung knowledge worker dalam menjalankan tugas sehari adalah
mazhab ....
A. economic
B. perubahan
C. technocratic
D. behavioral

5) Di bawah ini adalah perusahaan-perusahaan yang telah berhasil


menerapkan Knowledge Management, salah satunya adalah ....
A. Ernst & Young
B. Telkomsel
C. McDonald
D. Kentucky Freid Chicken

Cocokkanlah jawaban Anda dengan Kunci Jawaban Tes Formatif 1 yang


terdapat di bagian akhir modul ini. Hitunglah jawaban yang benar.
Kemudian, gunakan rumus berikut untuk mengetahui tingkat penguasaan
Anda terhadap materi Kegiatan Belajar 1.

Jumlah Jawaban yang Benar


Tingkat penguasaan =  100%
Jumlah Soal

Arti tingkat penguasaan: 90 - 100% = baik sekali


80 - 89% = baik
70 - 79% = cukup
< 70% = kurang

Apabila mencapai tingkat penguasaan 80% atau lebih, Anda dapat


meneruskan dengan Kegiatan Belajar 2. Bagus! Jika masih di bawah 80%,
Anda harus mengulangi materi Kegiatan Belajar 1, terutama bagian yang
belum dikuasai.
6.40 Manajemen Perubahan 

Kegiatan Belajar 2

Inovasi Organisasi

U ntuk memulai KB 2 mahasiswa kembali diajak untuk menelaah ulang


perjalanan peradaban manusia mulai dari era pertanian, era industri dan
era informasi. Lenski & Lenski (1978) mengatakan bahwa setiap perpindahan
dari satu era ke era lainnya selalu diawali dengan inovasi khususnya inovasi
di bidang teknologi. Pada mulanya inovasi hanya dilakukan oleh seseorang
kemudian melibatkan beberapa orang dan komunitas, dan akhirnya menjadi
inovasi sekelompok masyarakat. Dari rangkaian inovasi tersebut hasil
akhirnya adalah perubahan masyarakat seperti yang digambarkan Alvin
Toffler (1980). Dari penjelasan ini, paling tidak ada dua pesan yang bisa kita
petik. Pertama, inovasi bukan hanya monopoli masyarakat modern tetapi
sudah dipraktikkan ribuan tahun yang lalu meski skala inovasinya boleh jadi
berbeda. Artinya inovasi adalah fenomena yang sudah tua dan bahkan
menurut Fragerberg (2003) inovasi secara inheren adalah manusiawi karena
setiap orang pasti menginginkan sesuatu yang lebih baik. Kedua, sekecil
apapun kontribusinya inovasi selalu menyebabkan perubahan. Atau dengan
kata lain hasil dari inovasi adalah perubahan dalam pengertian dengan
inovasi diharapkan terjadi kemajuan atau progres dan hidup akan jauh lebih
mudah. Seandainya dunia ini tanpa inovasi kita bisa membayangkan
bagaimana dunia begitu lengang karena tidak ada deru pesawat terbang, lalu
lalang kendaraan bermotor dan dunia sepi dari informasi karena tidak ada
komputer.
Terlepas bahwa inovasi sudah sangat lama dipraktikkan, namun dalam
ranah ilmiah, inovasi baru dikaji pada tahun 1930an melalui tulisan
Schumpeter (lihat Hagedoorn, 1996) dan baru pada pertengahan abad 20
inovasi mulai mendapat perhatian serius para akademisi dari berbagai disiplin
berbeda (Ravichandran, 2000) yang ditandai oleh tulisan Burns & Stalker
(1961) ―The management of innovation‖. Sampai saat ini tulisan Burns &
Stalker bahkan masih menjadi salah satu rujukan utama untuk kajian inovasi.
Puncak perhatian para akademisi terhadap pentingnya memahami konsep
inovasi terjadi menjelang akhir abad 20 awal abad 21 dengan ragam dan
jumlah kajian yang terus meningkat secara akselaratif. Ketika itu masyarakat
memasuki era informasi dan pengetahuan di mana kehidupan berjalan sangat
cepat dan perubahan menjadi bagian tidak terpisahkan dari kehidupan
 EKMA4565/MODUL 6 6.41

mereka. Pada era ini siklus perubahan bahkan mengalami percepatan, tidak
menentu dan tidak mudah diprediksi kemana arah perubahannya. Dalam
kondisi semacam ini frase ―innovate or evaporate‖ menjadi kosakata setiap
orang. Jika kita ingin bertahan hidup kita harus inovatif; jika tidak, kita
sendiri yang ditelan zaman. Orang Jawa mengatakannya ―iki jaman edan ora
ngedan ora keduman‖ yang bisa diterjemahkan ―kalau kita tidak
kreatif/inovatif kita tidak bisa menjadi bagian dari masyarakat‖. Tentunya
frase ini bukan hanya berlaku bagi manusia sebagai individu tetapi juga
masyarakat dan bahkan berlaku juga bagi organisasi.
Dalam konteks kajian ilmiah inovasi bukanlah kata yang berdiri sendiri;
beberapa kata lain seperti pengetahuan, kreativitas, pembelajaran, ikut
menyertainya. Sebagai contoh, agar bisa inovatif tentunya seseorang harus
berpengetahuan dan berpikiran kreatif. Steiner (2009) misalnya mengatakan
bahwa kreativitas merupakan prasyarat untuk terciptanya inovasi. Sementara
itu menurut Tierney & Farmer (2002) pengalaman kerja sebagai indikator
adanya proses pembelajaran secara praktis dan latar belakang pendidikan
sebagai pertanda seseorang belajar secara konseptual merupakan prediktor
terhadap keyakinan seseorang bahwa dirinya mampu berkreasi (creative self-
efficacy). Artinya orang yang kreatif pada umumnya memiliki pengetahuan
khusus yang mendalam, baik pengetahuan lapangan maupun pengetahuan
akademik. Dari kedua pendapat tersebut bisa disimpulkan bahwa
pengetahuan-kreativitas-inovasi adalah sebuah rangkaian yang tidak
terpisahkan. Ketiganya akan terus berinteraksi dan ketiganya muncul karena
di satu sisi adanya tuntutan hidup yang lebih baik dan di sisi lain terjadinya
tekanan perubahan lingkungan. Oleh karena itu tidak berlebihan jika
perubahan juga menjadi bagian tidak terpisahkan dari rangkaian hubungan
pengetahuan-kreativitas-inovasi.
Seperti halnya pengetahuan (knowledge) yang pada awalnya hanya
menjadi property individual, inovasi juga demikian karena hanya manusia
yang mampu berinovasi. Schumpeter (1934) pada mulanya mengatakan
bahwa inovasi adalah sebuah proses yang dilakukan oleh seorang
entrepreneur. Dalam hal ini yang dimaksudkan dengan entrepreneur adalah
seseorang dalam kedudukannya sebagai individu. Namun pada buku
berikutnya Schumpeter mengatakan lain. Menurutnya lokus tempat inovasi
berproses bergeser dari individu ke perusahaan besar (lihat misalnya:
Doganova & Renault, 2008). Schumpeter berubah pikiran karena
beranggapan hanya organisasi besar yang memiliki sumber daya yang
6.42 Manajemen Perubahan 

dibutuhkan untuk melakukan inovasi. Inovasi tidak hanya membutuhkan


kreativitas individual semata tetapi membutuhkan juga kolaborasi, sumber
dana, riset secara intensif dan bantuan teknologi yang semuanya itu hanya
mungkin tersedia jika difasilitasi perusahaan besar. Pandangan Schumpeter
sejalan dengan fakta bahwa dalam kehidupan modern seperti sekarang ini
peran organisasi dalam mempengaruhi masyarakat banyak jauh lebih besar
ketimbang peran individu (lihat kembali Modul 1 yang membahas perubahan
dalam skala mikro). Sehebat apapun dalam berinovasi, Bill Gate tidak akan
mengubah dunia jika tidak ada mendirikan Microsoft. Memang Bill Gate lah
orang yang mendirikan dan menjadi tokoh sentral Microsoft tetapi tidak
boleh dilupakan bahwa Microsoft lah yang sesungguhnya melakukan inovasi
karena di sana bukan hanya Bill Gate tetapi berkumpul para ekspertis yang
saling belajar dan berbagi pengetahuan sehingga dari situlah inovasi
berkembang dan menjadi budaya.
Uraian di atas membawa kita pada satu simpulan ketika kita bicara
tentang inovasi pada dasarnya yang kita bicarakan adalah inovasi organisasi.
Hal ini bukan berarti peran manusia dalam inovasi bisa diabaikan. Memang
manusia merupakan pelaku utama inovasi namun harus disadari pula bahwa
inovasi tidak ditentukan oleh manusia sebagai satu-satunya faktor. Masih
banyak faktor lain yang ikut menentukan terciptanya inovasi sebut saja
sumber daya keuangan, teknologi, struktur, iklim dan budaya organisasi.
Bahkan seperti dikatakan Dodgson (2009) peran negara dalam menumbuhkan
daya inovasi masyarakat juga tidak kalah penting. Inovasi dengan demikian
merupakan bidang kajian yang sangat kompleks yang melibatkan berbagai
disiplin berbeda dan menggunakan lensa berbeda sehingga membutuhkan
kehati-hatian dalam menelaahnya.
Untuk memperoleh gambaran awal tentang apa itu inovasi, ilustrasi yang
digunakan Timon Gartner (2009) sebagai pembuka proposal disertasi yang
ditulisnya akan dipaparkan di sini dengan harapan bisa membantu kita
memahami inovasi secara umum dan istilah-istilah lain yang terkait –
kreativitas dan adopsi. Pada tahun 1903 Mary Anderson mematenkan temuan
kecilnya – wiper untuk membersihkan kaca mobil dari air hujan/salju, yang
dianggap tidak memiliki nilai ekonomi namun dewasa ini masyarakat
(pengendara mobil) menikmati hasil temuan tersebut. Temuan itu bermula
dari masalah yang dihadapi setiap pengendara mobil termasuk Anderson
yang setiap kali harus turun dari mobil sekedar untuk membersihkan salju
yang menempel di kaca mobilnya. Pada waktu itu pada umumnya masyarakat
 EKMA4565/MODUL 6 6.43

menerima apa adanya kondisi semacam itu. Namun tidak demikian dengan
Anderson. Merasa tidak puas dengan kondisi tersebut Anderson kemudian
membuat gambar mekanik yang diyakininya bisa mengatasi masalah
tersebut. Dari sinilah Mary Anderson mendapat hak paten pembersih kaca
sebagai hasil invensi yang dia lakukan. Cerita ini memberi gambaran bahwa
inovasi bermula ketika seseorang merasa tidak puas dengan suatu keadaan
dan termotivasi untuk melakukan perubahan. Atau dengan kata lain
seseorang tidak boleh menggunakan logika secara konvensional dan linier
untuk bisa berinovasi. Gangguan yang kita hadapi harus disikapi secara kritis
dan memerlukan imaginasi dan kreativitas. Dari situlah inovasi akan muncul
dan gangguan yang sama tidak akan muncul secara berulang.
Dari cerita di atas tampak bahwa kreativitas, termasuk di dalamnya
imaginasi, selalu datang mendahului terciptanya inovasi. Itulah sebabnya
orang awam sering menyalahartikan seolah-olah inovasi dan kreativitas
adalah satu dan pengertiannya sama. Woodman et al. (1993) secara tegas
membedakan kedua istilah tersebut. Kreativitas merupakan sub set dari
inovasi dan inovasi merupakan sub set dari perubahan organisasi. Meski
inovasi merupakan bagian dari perubahan organisasi akan tetapi tidak semua
perubahan organisasi sama dengan inovasi. Artinya perubahan organisasi
tidak harus inovatif tetapi inovasi hampir selalu berakibat pada perubahan.
Demikian juga, meski hasil dari kreativitas bisa berupa produk, jasa, ide dan
proses baru yang nantinya diimplementasikan melalui inovasi, inovasi tidak
selalu mengandung unsur kreativitas. Boleh jadi inovasi hanya sekedar
mengadaptasi produk dan proses yang sudah ada sebelumnya atau sekedar
mengadopsi apa yang diciptakan orang lain di luar organisasi.
Dari penjelasan Woodman et al. paling tidak ada dua istilah yang
pengertiannya perlu diklarifikasi agar kita memperoleh pemahaman yang
lebih baik. Kedua istilah tersebut adalah kreativitas dan inovasi. Sementara
itu jika kita merujuk pada pandangan Ravichandran (2000) tentang inovasi
maka istilah inovasi itu sendiri perlu diklarifikasi lebih jauh karena istilah ini
memiliki kedekatan dengan istilah adopsi.

A. KREATIVITAS

Sternberg (2001) mengatakan bahwa orang yang kreatif tidak sama


dengan orang yang cerdas. Kecerdasan menurut Sternberg adalah
kemampuan untuk beradaptasi dengan lingkungan. Sebagai contoh, ketika
6.44 Manajemen Perubahan 

harga ponsel semakin hari semakin terjangkau dampaknya adalah penurunan


jumlah orang yang menelepon menggunakan jasa wartel. Jika anda seorang
pemilik wartel yang cerdas maka anda akan segera tanggap bahwa bisnis
wartel sudah tidak menguntungkan. Oleh karenanya menutup wartel dan
berpindah ke bisnis lain yang sedang trend saat itu misalnya jualan pulsa atau
mengubah wartel menjadi gerai ponsel adalah solusi yang cerdas. Hal yang
sama pernah dialami Lou Gertsner mantan CEO IBM. Ketika diserahi untuk
mengelola IBM Lou sadar bahwa trend industry computer telah bergeser dari
mainframe ke Personal Komputer (PC). Di sisi lain Lou sebagai CEO yang
cerdas yakin bahwa pengguna PC pada akhirnya akan membutuhkan
jaringan. Oleh karenanya Ia lantas memutuskan untuk masuk ke bisnis
jaringan dan berhasil. Dua contoh ini menggambarkan bahwa orang yang
cerdas adalah orang yang memiliki keterampilan sehingga ia mampu
beradaptasi dengan lingkungan dan mampu mengatasi masalah yang
ditimbulkan oleh perubahan lingkungan.
Sementara itu kreativitas oleh Sternberg didefinisikan sebagai
kemampuan seseorang untuk menghasilkan bukan hanya produk berkualitas
tetapi juga baru. Gedung berbentuk U terbalik yang akan dibangun untuk
menggantikan gedung lama DPR RI yang rancangannya dihasilkan para
arsitek yang cerdas sesungguhnya memenuhi kriteria sebagai produk kreatif
karena gedung tersebut boleh jadi berkualitas tinggi. Sayangnya kriteria lain
tidak terpenuhi yakni karena gedung tersebut ternyata meniru sebuah gedung
yang berlokasi di La Defense Paris bernama ―Grand Arch‖ dan keduanya
bahkan hampir sama persis. Oleh karena itu gedung baru berbentuk U
terbalik tidak bisa disebut sebagai produk kreatif. Artinya calon gedung baru
DPR RI merupakan contoh produk yang dihasilkan orang yang sekedar
cerdas tetapi bukan orang yang kreatif.
Tentang perbedaan antara kreativitas dan kecerdasan, Sternberg lebih
jauh mengatakan (1) kreativitas lebih luas dibandingkan dengan kecerdasan.
Atau dengan bahasa yang lebih sederhana orang yang cerdas belum tentu
kreatif. Sebaliknya orang yang kreatif cenderung cerdas meski tidak harus.
Bahwa orang kreatif tidak harus cerdas dikemukakan oleh Hayes (1990)
―orang yang kreatif boleh jadi memiliki IQ tinggi tetapi bisa jadi IQ-nya tidak
terlalu tinggi, (2) meski kreativitas merupakan property individual, kreativitas
tidak berada pada ruang isolasi. Sebuah produk tidak bisa dikatakan produk
kreatif hanya karena penciptanya mengatakan bahwa produk tersebut
merupakan produk kreatif. Kreativitas harus diletakkan dalam konteks sosial
 EKMA4565/MODUL 6 6.45

dalam pengertian apakah sebuah karya dianggap sebagai karya yang kreatif
atau tidak, sangat bergantung pada penilaian sistem sosial terhadap produk
tersebut. Oleh karena itu suatu karya bisa dianggap kreatif bagi sekelompok
masyarakat tetapi belum tentu dianggap karya kreatif bagi kelompok
masyarakat lain.
Kreativitas sesungguhnya tidak hanya berkaitan dengan produk tetapi
dengan karya-karya lainnya. Hal ini misalnya ditegaskan oleh Woodman et
al. (1993) yang mengatakan bahwa kreativitas adalah penciptaan produk,
jasa, ide, proses atau prosedur baru yang berguna dan berharga, dilakukan
oleh individu-individu yang bekerja bersama dalam sebuah kompleksitas
sistem sosial. Sementara itu Lubart & Guignard (2004) mengatakan bahwa
kreativitas merupakan kapasitas untuk menghasilkan sesuatu yang baru dan
asli yang mampu memenuhi kondisi saat ini yang terbatas.
Dari ketiga definisi kreativitas yang disebutkan di muka dan definisi-
definisi lain yang tidak disebutkan di sini tampak bahwa masing-masing
penulis cenderung menggunakan bahasa berbeda untuk menjelaskan esensi
kreativitas. Dibalik perbedaan tersebut, setiap definisi juga mengandung
unsur kesamaan dan unsur kesamaan inilah yang bisa disebut sebagai
karakteristik kreativitas. Pertama, kreativitas meliputi semua bentuk karya
manusia baik karya yang berujud (produk) maupun tidak berujud termasuk
desain, proses dan ide. Kedua, proses kreativitas tidak terjadi secara
kebetulan melainkan merupakan sebuah upaya yang sengaja dilakukan. Hal
ini bisa diartikan bahwa kreativitas akan muncul jika pelakunya memiliki
pengetahuan untuk itu. Pengetahuan tersebut boleh jadi pengetahuan praktis
yang berbasis pada pengalaman masa lalu dan boleh jadi pengetahuan
akademik hasil dari pendidikan formal. Ketiga, kreativitas harus
menghasilkan sesuatu yang baru dan orisinal. Bisa dikatakan bahwa kebaruan
adalah esensi dari kreativitas. Gedung baru berbentuk U sebagai calon
pengganti gedung lama DPR RI seperti dicontohkan di muka bukanlah
produk kreatif karena konsepnya tidak orisinal dan tidak baru sama sekali.
Keempat, tidak dipungkiri bahwa individu merupakan aktor utama pelaku
kreativitas tetapi kreativitas tidak hanya dilakukan secara individual tetapi
bisa juga secara berkelompok dan organisasional. Kelima, karya yang kreatif
harus menunjukkan adanya nilai tambah. Atau dengan kata lain, kreativitas
harus menghasilkan kualitas lebih baik dari kondisi sebelumnya.
6.46 Manajemen Perubahan 

B. KOMPONEN KREATIVITAS

Menurut Sternberg et al. (1997) ada enam persyaratan sebagai modal


dasar agar seseorang atau organisasi bisa disebut kreatif. Keenam syarat
tersebut adalah:
1. Pengetahuan – mengetahui apa yang dianggap baru bukan sekedar
menemukan kembali apa yang sudah ada.
2. Kemampuan intelektualitas – kemampuan untuk menghasilkan ide,
mengevaluasinya dan menerapkan ide tersebut.
3. Cara berpikir kreatif – seseorang memiliki preferensi untuk berpikir
dengan cara baru bukan sekedar cara berpikir konvensional.
4. Motivasi – ada keinginan dan upaya yang konsisten untuk terus bergerak
dan menemukan sesuatu yang baru dan menjadikan segala sesuatunya
terasa menyenangkan.
5. Kepribadian – dalam diri seseorang terdapat sifat yang persisten dan
bulat untuk mengatasi berbagai macam hambatan.
6. Lingkungan – ada dukungan sehingga seseorang berani mengambil
risiko misalnya risiko untuk melakukan kegiatan yang tidak populer.

Dalam bahasa Sternberg et al. (1997), keenam prasyarat di atas


merupakan bentuk investasi yang harus dilakukan organisasi agar tercipta
kreativitas. Hasil dari investasi tersebut bukan hanya individu-individunya
saja yang kreatif tetapi juga organisasi secara keseluruhan menjadi kreatif.
Dalam bentuk slogan, Sternberg et al. menyebut kreativitas sebagai
―membeli dengan harga murah dan menjual dengan harga tinggi‖. Sayangnya
dalam realita lebih banyak organisasi yang tanpa disadari mendesain
organisasinya yang justru membunuh kreativitas secara sistematis ketimbang
yang mendukungnya (Amabile, 1998). Seperti dikatakan Amabile, jika
sebuah organisasi terperangkap di dalam ekosistem organisasi yang
membunuh kreativitas maka risiko yang dihadapinya sangat luas. Sebagai
contoh, membunuh kreativitas berarti organisasi kehilangan senjata untuk
berkompetisi: ide baru tidak akan pernah muncul. Padahal dalam lingkungan
bisnis yang semakin kompetitif sebuah perusahaan bisa bertahan hidup dan
terus berkembang jika dan hanya jika perusahaan tersebut terus
memperbaharui positioningnya melalui penciptaan ide-ide baru. Selain itu,
sangat boleh jadi karyawan akan kehilangan energi dan komitmen jika
kreativitasnya terbelenggu. Semua itu pada akhirnya berujung pada perasaan
 EKMA4565/MODUL 6 6.47

frustrasi, dan aspek psikologis lainnya – stress, merasa tidak dihargai dan
munculnya perasaan bahwa karyawan hanya sekedar sebagai alat yang
dimanfaatkan oleh pemilik perusahaan. Ujung-ujungnya daya kompetisi
perusahaan terus menurun.
Amabile sendiri sebagai seorang konsultan yang telah bertahun-tahun
menekuni bidang kreativitas kemudian mengatakan bahwa kreativitas
individual terdiri dari tiga komponen yaitu: (1) expertise, (2) creative-
thinking skill, dan (3) motivation seperti tampak pada Gambar 6.12. berikut
ini.

Sumber: Amabile (1998)

Gambar 6.12.
Komponen Kreativitas

Secara harfiah expertise atau kepakaran berarti pengetahuan baik


teknikal, procedural maupun intelektual. Hal ini bisa diartikan bahwa agar
seseorang menjadi kreatif maka Ia harus berpengetahuan tidak peduli apakah
pengetahuan tersebut diperoleh melalui pendidikan formal, sekedar
pengetahuan praktis melalui pengalaman lapangan atau hasil interaksi dengan
para profesional lain. Sebagai contoh, jika anda diminta untuk mengubah
sistem perhitungan harga pokok produk berbasis aktivitas (activity-based
accounting) tidak bisa dihindari anda harus memiliki dan ekspert di bidang
6.48 Manajemen Perubahan 

akuntansi dan pengetahuan lain seperti proses produksi. Tanpa itu semua
mustahil anda bisa kreatif dalam menentukan sistem perhitungan harga
pokok produk yang lebih efisien.
Komponen kedua pembentuk kreativitas adalah keterampilan berpikir
kreatif (creative-thinking skill). Yang dimaksud dengan creative-thinking
skill adalah bagaimana seseorang menyikapi berbagai macam masalah dan
cara penyelesaiannya yakni kapasitas seseorang untuk menggabungkan
berbagai macam ide yang ada menjadi ide baru. Secara psikologis apakah
seseorang berpikir kreatif atau tidak dalam batas-batas tertentu biasanya
dipengaruhi pula oleh kepribadian orang tersebut. Untuk mengatasi masalah
membengkaknya harga pokok produksi selain orang tersebut harus ekspert di
bidangnya tetapi juga harus berpikiran kreatif. Ia misalnya harus memiliki ide
bagaimana proses produksi yang sekarang ada bisa disederhanakan tanpa
mengganggu prosesnya itu sendiri. Proses yang lebih sederhana ini tentu
dengan sendirinya akan mampu mengurangi biaya produksi. Pertanyaannya
adalah apakah orang yang bertanggung jawab terhadap masalah harga pokok
produk tersebut memiliki kepribadian yang sejalan dengan kebutuhan untuk
kreatif? Misalnya apakah Ia bukan tipikal orang yang konformitis yang
cenderung mengiakan orang lain? Kalau jawabannya ―ya‖ maka kreativitas
diyakini akan semakin subur.
Komponen ketiga adalah motivasi. Jika ekspertis dan creative-thinking
skill bisa disebut sebagai bahan baku terciptanya kreativitas, motivasi akan
menentukan apakah kreativitas benar-benar bisa terwujud. Secara definitif
motivasi adalah sebuah proses psikologis yang menyebabkan seseorang
tergerak untuk melakukan tindakan-tindakan sukarela, dan mengarahkan
serta memelihara tindakan tersebut secara terus menerus menuju pada satu
tujuan tertentu. Jika dikaitkan dengan contoh di atas, apakah activity based
accounting bisa terealisir sangat bergantung pada kemauan orang yang
bertanggung jawab terhadap persoalan tersebut. Sangat boleh jadi secara
intrinsic orang tersebut mau mengupayakan agar activity-based accounting
bisa terealisir tetapi jika tidak ada dorongan extrinsic boleh jadi kreativitas
tidak akan pernah terwujud.
Jika penjelasan Amabile tentang komponen pembentuk kreativitas
dibandingkan dengan prasyarat terjadinya kreativitas seperti dikemukakan
Sternberg et al. dapat disimpulkan bahwa keduanya sesungguhnya memiliki
kesamaan seperti tampak pada Tabel 6.2. Kalaulah sedikit ada perbedaan,
Amabile tidak menyebut lingkungan sebagai komponen pembentuk
 EKMA4565/MODUL 6 6.49

kreativitas. Perbedaan ini bisa dipahami jika kita menyadari bahwa Amabile
berangkat dari kreativitas individu sebagai titik tolaknya sementara Sternberg
et al. berangkat dari kreativitas organisasi di mana komponen organisasi
bukan hanya individu tetapi juga faktor-faktor organisasi lainnya termasuk
lingkungan organisasi baik internal maupun eksternal.

Tabel 6.2.
Komponen Kreativitas Amabile vs Sternberg et al.

Komponen Kreativitas manurut Amabile Prasyarat Kreativitas menurut Sternberg et al.


Ekspertis Pengetahuan
Kemampuan Intelektualitas
Creative-thinking Skill Cara berpikir kreatif
Motivation Motivasi
Kepribadian
Lingkungan

C. TIPOLOGI KREATIVITAS

Sejauh ini telah dijelaskan esensi dari kreativitas termasuk di dalamnya


tentang komponen kreativitas. Untuk selanjutnya akan dijelaskan beberapa
tipologi tentang kreativitas. Penjelasan ini dianggap perlu karena kreativitas
bukan sebuah konstruk tunggal. Dua tipologi kreativitas akan menjadi fokus
perhatian pada modul ini yaitu tipologi yang dikemukakan oleh Unsworth
(2001) dan Kaufmann (2003).

1. Tipologi Kreativitas Menurut Unsworth


Untuk menjelaskan tipe-tipe kreativitas, Unsworth (2001) menggunakan
dua dimensi sebagai parameternya yaitu pendorong yang menyebabkan
seseorang bertindak kreatif dan masalah yang ditemukan saat proses kreatif
dimulai. Seseorang mau melakukan tindakan kreatif karena di satu sisi ada
dorongan dari dalam dirinya dan alasan lainnya karena dipaksa oleh pihak
eksternal untuk melakukannya. Sementara itu dimensi kedua masalah yang
dihadapi seseorang sesaat sebelum tindakan kreatif tersebut dilakukan.
Masalah ini bisa diklasifikasikan menjadi dua yaitu masalahnya masih
terbuka dalam pengertian orang yang mau berkreasi harus terlebih dahulu
menemukan masalahnya seperti seorang seniman yang mau menciptakan
6.50 Manajemen Perubahan 

gagasan baru, dan masalahnya sudah ada sehingga orang yang mau berkreasi
tinggal menterjemahkan masalah tersebut.
Berdasarkan penjelasan tersebut Unsworth menggunakan dua dimensi
yaitu dimensi pertama tipe masalah yang dibedakan menjadi masalah terbuka
dan masalah tertutup, dan dimensi kedua dorongan untuk berkreasi yang
dibedakan menjadi dorongan dari dalam dan dorongan dari luar. Dari dua
dimensi ini dihasilkan empat tipologi kreativitas yaitu: expected creativity,
proactive creativity, reactive creativity dan contributory creativity (lihat
Gambar 6.13).

terbuka
Kreativitas yang Diharapkan Kreativitas Proreaktif
(Expected Creativity) (Proactive creativity)

Tipe Persoalan

Kreativitas Responstif Kreativitas Kontributif


(Responsive Creativity) (Contributory Creativity)

tertutup

eksternal Dorongan untuk Berkreasi

Sumber: Unsworth (2001)


Gambar 6.13.
Tipologi Kreativitas

Expected Creativity : kreativitas yang dilakukan karena ada permintaan


dari eksternal tetapi masalah ditemukan sendiri
disebut sebagai expected creativity. Di dalam
organisasi contohnya adalah TQM.
Responsive Creativity : jika dorongan untuk berkreasi datangnya dari
pihak eksternal dan masalah yang dihadapi juga
sudah disodorkan maka seseorang tinggal
merespon bagaimana melakukan tindakan kreatif.
Contohnya adalah sekelompok orang yang
ditugasi untuk menyelesaikan masalah secara
kreatif.
 EKMA4565/MODUL 6 6.51

Proactive Creativity : proses kreatif terjadi jika seseorang secara sadar


terdorong atau termotivasi untuk bertindak kreatif
dan terus berusaha menemukan masalah untuk
dipecahkan. Contohnya adalah tindakan sukarela
karyawan untuk terus memperbaiki proses
produksi.
Contributory Creativity : jika seseorang mau bertindak kreatif atas
kesadarannya sendiri dalam rangka untuk
membantu memecahkan masalah yang ada.
Contohnya adalah membantu orang lain
memecahkan masalah walaupun hal itu bukan
tanggung jawabnya.

2. Tipologi Kreativitas Menurut Kaufmann


Di muka telah disebutkan bahwa salah satu kriteria penting apakah
sebuah karya disebut sebagai karya kreatif adalah adanya unsur kebaruan.
Pertanyaannya adalah apa yang dimaksud dengan baru di sini? Apakah
sesuatu yang baru berarti sebelumnya belum ada sama sekali? Atau apakah
sesuatu dikatakan baru jika berbeda dengan yang ada sebelumnya?
Pertanyaan-pertanyaan ini dijawab Kaufmann (2003) dengan mengajukan
sebuah taksonomi kreativitas – kebaruan seperti tampak pada Gambar 6.14
berikut ini.

tinggi tinggi
Adaptasi yang cerdas Kreativitas reaktif
(Intellegent Adaptation) (Reactive creativity)

Baru dalam hal


tugas
Memecahkan masalah rutin Kreativitas Proaktif
(Routine Problem Solving) (Proactive Creativity)
rendah

rendah Baru dalam hal solusi tinggi

Sumber: Kaufmann (2003)


Gambar 6.14.
Taksonomi Kreativitas – Kebaruan
6.52 Manajemen Perubahan 

Untuk menghasilkan tipologi kebaruan seperti tampak pada


Gambar 6.13. Kaufmann menggunakan dua dimensi sebagai faktor
penentunya, yaitu tingkat kebaruan tugas (task novelty) – apakah tugas yang
akan dikerjakan memiliki tingkat kebaruan yang relatif rendah atau
sebaliknya, dan kebaruan dalam menyelesaikan masalah (response novelty) –
sejauh mana masalah yang dihadapi membutuhkan tingkat kebaruan. Oleh
karena dimensi kedua adalah apakah kebaruan dalam penyelesaian masalah
relatif tinggi atau sebaliknya. Dari kombinasi dua dimensi ini dihasilkan
4 macam tipologi yaitu (1) routine problem solving, (2) intellegent
adaptation, (3) reactive creativity dan (4) proactive creativity.
Kategori pertama disebut routine problem solving karena baik pada sisi
tugas maupun sisi solusi yang diharapkan tidak ada sesuatu yang baru.
Sebagai contoh, jika sebuah perusahaan menghadapi masalah dan semua
orang sudah familiar dengan masalah tersebut, sedangkan tugas-tugas yang
diberikan kepada karyawan untuk menyelesaikan masalah tersebut hanya
mengandalkan System Operating Procedure (SOP) yang ada atau sekedar
menggunakan formula yang lama maka situasi ini bisa dikatakan sebagai
penyelesaian masalah yang bersifat rutin (routine problem solving) sehingga
tidak membutuhkan kecerdasan maupun kreativitas baru karena pengalaman
masa lalu bisa digunakan untuk menyelesaikan masalah tersebut.
Kategori kedua disebut intelligent adaptation. Disebut demikian karena
pada kategori ini meski masalah yang dihadapi perusahaan sudah dikenal
baik oleh semua orang dan semua orang juga sudah tahu bagaimana
solusinya tetapi untuk menyelesaikan masalah tersebut harus digunakan cara-
cara baru yang membutuhkan kecerdasan para karyawan. Atau dengan kata
lain tugasnya saja yang baru tetapi solusi tetap sama seperti sebelumnya.
Sebagai contoh, agar konsumen tetap tertarik untuk membeli produk kita,
perusahaan tidak cukup hanya mengiming-imingi konsumen dengan
potongan harga yang menarik tetapi misalnya perlu dibarengi pula dengan
memberi kesempatan konsumen untuk membayar secara angsuran. Jadi
dalam hal ini kreativitas belum begitu diperlukan tetapi yang diperlukan
adalah kecerdasan para karyawannya – solusinya masih sama yakni
konsumen tetap mau membeli barang; tugasnya saja yang relatif baru yakni
menawarkan pembelian dengan angsuran.
Kategori ketiga adalah proactive creativity. Pada intinya unsur
kreativitas sudah muncul meski kreativitas tersebut terletak pada solusi
penyelesaian masalah bukan pada tugasnya. Tugasnya sendiri masih
 EKMA4565/MODUL 6 6.53

berdasarkan pengalaman masa lalu. Pada kategori ini pada awalnya


perusahaan sesungguhnya tidak menghadapi masalah. Masalah justru muncul
atau sengaja dimunculkan ketika perusahaan berusaha untuk mengubah
kondisi berjalan menjadi kondisi lebih baik. Di sini tampak bahwa
perusahaan melakukan terobosan (break through). Sebagai contoh,
Universitas Islam Indonesia (UII) sebagai universitas tertua di Indonesia
sesungguhnya tidak menghadapi masalah berarti dalam persaingan dengan
perguruan tinggi lain bahkan bisa dikatakan relatif memiliki keunggulan.
Namun karena tidak puas dengan kondisi tersebut dan dalam upayanya untuk
sejajar dan lebih baik dari universitas negeri, pada tahun 1996 Fakultas
Ekonomi UII mendirikan program internasional yang belum diselenggarakan
oleh perguruan tinggi manapun di Indonesia. Pendirian program internasional
inilah yang bisa disebut sebagai menciptakan masalah dan mengajukan solusi
baru yang identik dengan kebaruan solusi meski proses pendidikannya relatif
tidak berubah.
Kategori keempat adalah reactive creativity. Pada kategori ini baik tugas
yang harus dijalankan maupun solusinya semuanya baru. Karena semuanya
serba baru baik tugas maupun solusinya sepintas tampak bahwa kategori ini
merupakan tipologi yang paling membutuhkan kreativitas. Dalam banyak hal
kategori ini identik dengan konsep single loop learning dan double loop
learning sebagaimana dikemukakan oleh Chris Argirys (1995). Dengan
single loop learning pada dasarnya perusahaan dalam menjalankan
aktivitasnya tidak ada yang berubah; perubahan hanya terjadi pada skala kecil
dalam rangka menyesuaikan diri dengan norma yang ada. Namun jika
lingkungan berubah secara signifikan boleh jadi norma yang ada harus
ditinjau kembali karena sudah tidak sesuai lagi dengan lingkungan terbaru.
Disinilah perusahaan membutuhkan double loop learning – perubahan lebih
fundamental. Sebagai contoh, ketika teknologi informasi mendominasi
kehidupan masyarakat perusahaan yang tadinya sukses dengan bisnis
konvensional mau tidak mau harus menyesuaikan diri dan masuk ke e-
business. Dalam kondisi seperti ini maka asumsi-asumsi yang digunakan
untuk menjalankan bisnis konvensional harus diubah ke asumsi baru yang
sesuai dengan pola e-business. Dengan demikian baik tugas dan solusinya
berbeda dengan sebelumnya.
6.54 Manajemen Perubahan 

D. MANAJEMEN KREATIVITAS

Pertanyaannya adalah apakah kreativitas bisa dikelola? Amabile (1998)


menjawabnya bisa. Namun Amabile mengakui bahwa mengelola ekspertis
dan creative thinking jauh lebih sulit ketimbang mengelola motivasi
karyawan. Hal ini bukan berarti ekspertis dan creative thinking tidak bisa
dikelola, hanya saja untuk mengelola keduanya membutuhkan waktu dan
biaya yang cukup besar. Sedangkan mengelola motivasi hasilnya lebih cepat
tampak. Lebih jauh Amabile mengatakan bahwa seorang manajer dapat
mempengaruhi kreativitas seseorang dalam 6 hal yaitu: memberikan
tantangan kepada karyawan, memberi kebebasan, menyediakan sumber daya,
menata teamwork, melakukan supervisi dan memberikan dorongan
organisasional.
1. Tantangan. Pekerjaan pertama seorang manajer untuk menumbuhkan
kreativitas adalah menempatkan karyawan pada pekerjaan yang sesuai
sehingga karyawan mampu menunjukkan kepakarannya dan mampu
berpikir kreatif. Kecocokan karyawan dengan pekerjaan juga akan
mendorong terciptanya motivasi dari dalam (intrinsic motivation). Jika
terjadi sebaliknya karyawan justru merasa bosan karena mereka tidak
suka dengan tugas yang diembannya. Kecocokan karyawan dengan
pekerjaan juga harus diwaspadai karena sering kali justru terjadi
karyawan merasa sebagai ―raja‖ yang tidak boleh diganggu orang lain
bahkan manajernya sendiri. Barangkali itulah tantangan paling krusial
yang dihadapi manajer.
2. Kebebasan. Memberi kebebasan karyawan berarti memberi mereka
otonomi yang berkaitan dengan proses melakukan pekerjaan bukan
dengan tujuan yang hendak dicapai. Kebebasan dalam hal bagaimana
karyawan memutuskan cara untuk melakukan pekerjaan bisa
menumbuhkan motivasi karyawan untuk berkreasi dan lebih dari itu
karyawan juga memiliki perasaan ikut memiliki. Di samping itu
kebebasan juga memungkinkan karyawan berpikir kreatif dan mampu
menunjukkan kepakarannya. Kesalahan yang sering dilakukan
manajemen adalah (1) terlalu seringnya tujuan yang hendak dicapai
berubah sehingga membingungkan karyawan dan (2) bahwa manajemen
member kebebasan kepada karyawan hanya dalam ucapan tetapi
praktiknya tidak.
 EKMA4565/MODUL 6 6.55

3. Sumber daya. Dua jenis sumber daya yang bisa mempengaruhi


kreativitas adalah waktu dan uang. Terhadap dua hal ini manajer harus
bertindak hati-hati karena kesalahan dalam mengalokasikan waktu dan
uang justru bisa membutuh kreativitas. Pada dasarnya mengelola sumber
daya lebih membutuhkan seni ketimbang sain dalam pengertian
menyediakan sumber daya keuangan melebih ambang batas yang
dibutuhkan tidak akan meningkatkan kreativitas dan sebaliknya justru
memupus kreativitas. Sayangnya dalam banyak hal para manajer sering
kali justru mengadopsi kebijakan uang ketat. Kebijakan ini berakibat
pada kreativitas karyawan yang salah arah karena karyawan berkreasi
bukan untuk meningkatkan kualitas produk tetapi berkreasi untuk
mendapatkan tambahan uang.
4. Komposisi Tim. Dalam beberapa kasus kreativitas dihasilkan bukan
oleh individu melainkan oleh tim kerja. Oleh karena itu mendesain
komposisi anggota tim menjadi sangat penting agar kreativitas bisa
tumbuh. Dalam hal ini keragaman perspektif dan latar belakang anggota
tim sangat menentukan. Anggota tim yang memiliki perspektif dan latar
belakang yang sama diyakini kurang kreatif dibandingkan jika perspektif
mereka beragam. Keragaman memungkinkan masing-masing anggota
tim melihat persoalan yang sama dengan perspektif berbeda dan disinilah
creative thinking berkembang. Dampaknya tentu saja tim menjadi
semakin kreatif.
5. Dorongan Supervisi. Para manajer biasanya sibuk dengan dirinya
sendiri karena dikejar target pencapaian hasil. Namun sesibuk apapun
manajer perhatian terhadap karyawan harus diberikan jika menghendaki
kreativitas tumbuh subur. Manajer tidak bisa membiarkan kreativitas
tumbuh dengan sendirinya tanpa ada apresiasi dari pimpinan karena
karyawan pun ingin tampak bahwa mereka berkontribusi terhadap
perusahaan dan terhadap orang lain atau komunitas. Apresiasi terhadap
karyawan yang kreatif tidak harus dalam bentuk finansial, dalam bentuk
penghargaan nonfinansial pun karyawan sudah bangga. Bahkan seperti
dalam kasus perusahaan 3M toleransi terhadap kesalahan ketika
melakukan kreativitas juga bisa disebut sebagai penghargaan karena hal
ini akan memberi dorongan karyawan untuk tidak takut berkreasi. Lebih-
lebih jika para manajer bisa menjadi role model maka diyakini
kreativitas akan terus tumbuh.
6.56 Manajemen Perubahan 

6. Dukungan Organisasi. Kreativitas akan semakin tumbuh jika dorongan


berkreasi bukan hanya datang dari para supervisor langsung tetapi dari
organisasi secara keseluruhan. Hal ini bisa diartikan bahwa kreativitas
akan tumbuh subur jika iklim dan sistem organisasi mendorong
tumbuhnya kreativitas sehingga pada akhirnya kreativitas menjadi
budaya. Untuk sampai pada keadaan tersebut tentunya peran pimpinan
puncak tidak bisa diabaikan. Dalam konteks menumbuhkan budaya
kreatif pimpinan puncak tidak boleh mendelegasikannya kepada
sekelompok orang tertentu, misalnya manajer menengah apalagi manajer
level bawah. Pimpinan puncak suka atau tidak suka harus terlibat
langsung dalam manajemen kreativitas. Keterlibatan tersebut sebagai
pertanda bahwa organisasi secara keseluruhan peduli terhadap
kreativitas.

E. INOVASI ORGANISASI

Setelah panjang lebar menguraikan esensi kreativitas kini giliran kita


untuk memahami arti penting inovasi organisasi. Seperti telah dijelaskan di
muka kreativitas memiliki hubungan yang erat dengan inovasi. Kreativitas
selalu menghasilkan inovasi walaupun tidak secara otomatis terjadi
sebaliknya – inovasi selalu mengandung unsur kreativitas. Tidak ada jaminan
bahwa kegiatan inovatif selalu kreatif. Bisa jadi inovasi menghasilkan
kebaruan tetapi bukan tidak mungkin inovasi hanya sekedar mengadopsi dari
inovasi orang lain atau organisasi lain. Meski adopsi sering dianggap sebagai
unsur penting dari inovasi, tidak demikian dengan pendapat Ravichandran
(2000). Menurutnya inovasi harus secara tegas dibedakan dari adopsi.
Demikian juga inovasi tidak jarang dipersamakan dengan invensi atau
temuan walaupun pengertian keduanya sesungguhnya berbeda. Karena
adanya silang pendapat seperti ini dan untuk memperjelas perbedaan ketiga
istilah tersebut maka istilah invensi, inovasi dan adopsi perlu didefinisikan
secara jelas pula.

1. Invensi, Inovasi dan Adopsi


Harus diakui bahwa membedakan invensi, inovasi dan adopsi bukan
merupakan pekerjaan mudah karena ketiganya merupakan konsep yang
tumpang tindih. Apalagi masyarakat umum sering kali tidak
mempermasalahkan apakah sesuatu yang baru disebut invensi atau inovasi.
 EKMA4565/MODUL 6 6.57

Untuk menguji pemahaman kita, perhatikan Gambar 6.3a dan Gambar 6.3b.
Apakah gambar tersebut merupakan bentuk kreativitas, invensi atau inovasi?
Yang pasti kedua gambar tersebut menunjukkan adanya sesuatu yang
baru yang berbeda dari lainnya. Remote control biasanya hanya digunakan
untuk mengendalikan jarak jauh fungsi on-off TV atau AC tidak sekaligus
untuk membuka botol. Demikian juga untuk memotong pizza biasanya tidak
menggunakan gunting waklaupun dengan gunting memotong pizza tampak
lebih mudah dan praktis. Kembali pertanyaannya adalah apakah unsur
kebaruan tersebut sebuah kreativitas, invensi atau inovasi? Atau apakah
kebaruan tersebut mengandung ketiga unsur yang dimaksud? Untuk
menjawab pertanyaan ini, pertama kita perlu merujuk kembali definisi
kreativitas yakni adanya unsur kebaruan. Dari sini kita bisa menyimpulkan
bahwa gagasan untuk menggabungkan fungsi remote control dan pembuka
botol, jika orisinil, adalah gagasan kreatif. Demikian juga gagasan
menggunakan gunting sebagai pemotong pizza. Jadi gambar di atas
memenuhi unsur kreativitas. Kedua, untuk melihat apakah kedua gambar
tersebut juga memenuhi unsur invensi kita memperhatikan definisi invensi
berikut ini.

Gambar 6.15a.
Remote control pembuka botol
6.58 Manajemen Perubahan 

Gambar 6.15b.
Gunting pizza

Palmberg (1999) mendefinisikan invensi sebagai ―an idea, a sketch or a


model for something – sebuah ide/gagasan, sketsa atau model untuk suatu
hal‖. Definisi yang hampir sama diberikan oleh Ahuja & Lampert (2001)
yakni invensi adalah pengembangan ide baru. Kedua definisi ini
menunjukkan bahwa invensi merupakan sesuatu yang baru namun masih
berada pada tataran konsep, model, prototipe atau pengetahuan. Jadi kedua
gambar di atas juga memenuhi unsur invensi. Karena kreativitas dan invensi
sama-sama mengandung unsur kebaruan, uraian berikut diharapkan bisa
menjelaskan perbedaan antara invensi dari kreativitas. Ketika seseorang
berpikiran bahwa remote control bisa digunakan untuk membuka botol maka
pikiran tersebut disebut sebagai ide kreatif. Namun ide tersebut hanya sebatas
gagasan jika tidak ditindaklanjuti dengan mewujudkan dan menguji cobakan
dalam bentuk konsep atau prototype. Perwujudan gagasan dalam bentuk
konsep inilah yang disebut invensi.
Meski tidak harus, invensi yang membutuhkan bantuan teknologi atau
rumusan kimia yang kompleks, misalnya invensi untuk ramuan obat baru,
sehingga membutuhkan proses yang tidak sederhana pada umumnya
dilakukan di laboratorium baik laboratorium perguruan tinggi, laboratorium
 EKMA4565/MODUL 6 6.59

(R&D) perusahaan atau dilakukan bersama antara perguruan tinggi dengan


perusahaan. Hasil dari invensi bukan produk atau jasa itu sendiri melainkan
baru sebatas resep, formula atau prototipe untuk menghasilkan produk, jasa
atau teknologi. Hasil invensi inilah yang biasanya dipatenkan meski ada juga
yang tidak dipatenkan. Alasan tidak dipatenkannya invensi boleh jadi karena
hasil invensi tersebut belum menunjukkan tanda-tanda nilai komersial, paling
tidak pada saat invensi tersebut dihasilkan.
Setelah seseorang atau sebuah perusahaan menghasilkan invensi atau
temuan baru tidak otomatis temuan tersebut bisa dikomersialkan. Atau
dengan kata lain invensi belum bisa langsung berubah menjadi inovasi.
Beberapa bukti menunjukkan banyak invensi yang sudah dipetenkan tetapi
hanya berhenti sampai diperoleh hak paten tetapi tidak dikomersialkan.
Untuk mengubah invensi menjadi inovasi terkadang butuh waktu sampai
puluhan tahun meski ada juga yang membutuhkan interval waktu relatif
pendek. Sebagai contoh, Enos (1962) misalnya mengidentifikasi 35 produk
hasil invensi yang ditemukan sejak pertengahan abad 19 sampai awal abad
20. Dari 35 temuan yang diinventarisasi Enos, diketahui bahwa waktu
interval paling lama adalah 79 tahun untuk temuan lampu dengan unsur fluor
(lampu neon). Lampu neom ditemukan oleh Bacquerel tahun 1859 dan
dikomersialkan oleh GE Westinghouse tahun 1938. Pisau cukur yang dikenal
di Indonesia dikenal dengan nama silet ditemukan oleh Gillette pada tahun
1895 dan dikomersialkan oleh Gillette Safety Razor Company pada tahun
1904 (butuh waktu 9 tahun). Temuan lainnya butuh waktu interval bervariasi
antara 1 tahun sampai 53 tahun.
Pada contoh lain, Khijli et al. (2006) misalnya mengatakan bahwa proses
untuk menciptakan produk berbasis biotechnology yakni obat-obatan (drugs)
sejak mulai invensi sampai dengan komersialisasi membutuhkan waktu tidak
kurang dari 15 tahun (lihat Gambar 6.16). Secara umum, waktu 15 tahun
tersebut bisa dibagi menjadi dua yakni 6.5 tahun pertama digunakan untuk
menemukan formula baru dan uji klinis. Jika hasil uji klinis memberikan
sinyal positif dalam pengertian memungkinkan untuk dikembangkan lebih
lanjut maka pihak perusahaan mengajukan permohonan uji investigasi untuk
temuan produk obatan-obatan baru (Investigational New Drug Application)
kepada pihak berwenang. Sedangkan 8.5 tahun sisanya disebut sebagai
postdiscovery – paska temuan yang dibagi menjadi beberapa fase waktu.
Fase 1- 3 merupakan fase penyempurnaan yang diakhiri dengan pengajuan
permohonan daftar produk obat-obatan baru. Berdasarkan permohonan ini
6.60 Manajemen Perubahan 

pihak berwenang – Food and Drug Authority (FDA) melakukan review dan
persetujuan jika obat baru tersebut sesuai standar yang berlaku. Fase terakhir
– fase 4 merupakan periode uji coba pasar. Selanjutnya, produksi akan
dilakukan secara massal jika penerimaan pasar menunjukkan sinyal positif
terhadap produk baru tersebut.

Sumber: Khijli et al. (2006)

Gambar 6.16.
Proses invensi dan inovasi produk Obat

Dari dua contoh di atas diperoleh dua simpulan sementara (1) inovasi
dalam batas-batas tertentu membutuhkan waktu yang lama, biayanya mahal
dan mengandung risiko yang tidak kecil. Oleh karenanya meski inovasi
diyakini menjadi keunggulan bersaing bagi sebuah perusahaan tidak semua
perusahaan mampu melakukan inovasi karena tidak memiliki infrastruktur
yang memadai, dan (2) inovasi pada dasarnya adalah komersialisasi dari
invensi dan invensi merupakan perwujudan kreativitas dalam bentuk konsep
atau formula. Inovasi dengan demikian bisa dirumuskan sebagai berikut:

Inovasi = kreativitas + invensi + ekploitasi.

2. Definisi Inovasi
Inovasi secara harfiah berasal dari bahasa Latin ―innovare‖ yang berarti
me-review, membuat sesuatu menjadi baru atau mengganti yang lama
menjadi baru. Kata innovare itu sendiri berasal dari kata ―novus‖ yang juga
berarti baru (Bhat, 2010). Dengan demikian jika kita melihat kembali esensi
kreativitas dan invensi serta membandingkannya dengan kata inovasi
 EKMA4565/MODUL 6 6.61

sesungguhnya ketiga memiliki kesamaan yakni unsur kebaruan. Perbedaan


dari ketiganya terletak pada nilai guna dari kebaruan tersebut. Kreativitas
menghasilkan pengetahuan baru, pengetahuan baru menjadi dasar untuk
menemukan formula baru dan formula baru jika diwujudkan dalam realitas
kehidupan akan memberi nilai guna dan membantu memecahkan persoalan
yang sebelumnya tidak terpecahkan. Invensi yang memberi manfaat nyata
inilah yang secara umum disebut sebagai inovasi.
Dari uraian di atas tampak jelas bahwa esensi dari inovasi adalah adanya
unsur kebaruan (Johanessen, et al. 2001). Di luar itu inovasi didefinisikan
secara berbeda oleh penulis berbeda bergantung pada fokus perhatian
masing-masing. Munculnya perbedaan definisi inovasi boleh jadi karena
cakupan dari kajian inovasi yang begitu luas. Inovasi misalnya bisa dikaji
pada level individu, kelompok, organisasi, industri maupun nasional (lihat
misalnya Read, 2000). Perbedaan level kajian tersebut tentunya akan
berpengaruh terhadap konsepsi inovasi. Berikut beberapa definisi inovasi
yang diberikan oleh beberapa akademisi.
a. Van de Ven (1986).
―The process of innovation is defined as the development and
implementation of new ideas by people who over time engage in
transactions within an institutional context – proses inovasi didefinisikan
sebagai pengembangan dan implementasi ide-ide baru oleh sekumpulan
orang yang dalam kurun waktu lama saling bertransaksi dalam lingkup
sebuah institusi‖
b. West and Farr (1990)
―Innovation is the sequence of activity by which a new element is
introduced into social unit, with the intention of benefiting the unit, some
part of it, or the wider society. The element need not be entirely novel or
unfamiliar to members of unit, but it must involve some discernible
change or challenge to the status quo – inovasi adalah urut-urutan
aktivitas dalam sebuah unit sosial yang di dalamnya memasukkan
elemen baru dengan tujuan memberi manfaat bagi unit bersangkutan,
sebagian dari unit bersangkutan atau keuntungan bagi masyarakat lebih
luas. Elemen dimaksud tidak harus baru sama sekali atau tidak diketahui
sebelumnya oleh anggota-anggota unit bersangkutan, tetapi elemen
tersebut harus melibatkan aspek perubahan atau mampu kondisi status
quo.
6.62 Manajemen Perubahan 

c. Ravichandran (2000)
―Organizational innovation can be constructed as the actualization of
the creation of a new product, process, method or service by an
organization, through concerted and commited efforts of its members,
and by other resources, exhibiting a perceptual departure from its
antecedent and demonstrating one or more utility values – inovasi
organisasi adalah aktualisasi dari penciptaan produk, jasa, proses atau
metode baru yang dilakukan organisasi melalui upaya bersama dan
komitmen para anggota organisasi, dan penggunaan sumber daya lain
sehingga hasil ciptaan tersebut dianggap telah berubah atau berbeda dari
kondisi sebelumnya dan menunjukkan nilai guna lebih baik.

3. Dimensi Inovasi
Bisa dikatakan bahwa ketiga definisi di atas merupakan representasi dari
definisi-definisi yang bisa ditemukan pada berbagai literatur tentang inovasi.
Terlepas bahwa inovasi didefinisikan secara berbeda, ada satu yang tidak
berbeda dari setiap definisi inovasi yaitu unsur kebaruan. Oleh karenanya
tidak berlebihan jika dikatakan bahwa kebaruan adalah inti dari inovasi.
Sedangkan komponen inti yang kedua adalah nilai manfaat. Setiap inovasi
harus memberi nilai manfaat paling tidak bagi perusahaan yang berinovasi.
Dengan inovasi misalnya perusahaan diharapkan mampu memperbaiki daya
saing baik dalam lingkup pasar domestik maupun pasar global. Berkaitan
dengan kebaruan dalam inovasi, masih ada tiga pertanyaan yang perlu
dielaborasi lebih lanjut yaitu: Apanya yang baru dari sebuah inovasi?
Seberapa baru inovasi tersebut? Jika inovasi dikatakan baru, sesungguhnya
baru bagi siapa? Itulah tiga pertanyaan yang diajukan oleh Johanessen et al.
(2001). Pertanyaan ini pada dasarnya adalah pertanyaan tentang dimensi
inovasi.

4. Unsur Kebaruan dalam Inovasi


Kebaruan adalah sebuah tema penting khususnya bagi perusahaan yang
baru berdiri (new start-up), perusahaan yang hendak memasuki pasar baru
(new entry), perusahaan yang hendak memperbaiki proses aktivitas (new
organization) dan bahkan bagi perusahaan yang mengalami kegagalan dan
hendak menyehatkan diri (organizational renewal). Mengadopsi hal-hal baru
merupakan sebuah keharusan bagi perusahaan-perusahaan seperti tersebut di
atas jika ingin tetap bertahan hidup dan bisa bersaing dalam kancah
 EKMA4565/MODUL 6 6.63

lingkungan yang sangat dinamis. Inovasi yang di dalamnya melibatkan unsur


kebaruan dengan demikian merupakan salah satu bentuk solusi yang sangat
disarankan bagi tipikal perusahaan di atas. Baru dalam hal ini bisa berupa
produk, jasa, metode produksi, membuka pasar baru, pasokan (supply), atau
manajemennya baru (Johanessen et al. 2001). Berdasarkan unsur kebaruan
dalam inovasi, secara umum inovasi biasanya dibedakan menjadi 4 macam
yakni inovasi produk, jasa, proses dan administrasi atau manajemen
(Damanpour, 1987; 1991; 1996; Van de Ven, 1986). Keempat macam inovasi
tersebut kadang-kadang diklasifikasikan seperti tampak pada gambar berikut.

Inovasi Produk

Inovasi
Teknis

Inovasi Proses

OI
Inovasi Staff

Inovasi Inovasi Marketing


Administratif

Inovasi Struktur dan


Iklim Organisasi
5. Tipologi Inovasi
Meski kebaruan merupakan unsur pokok dalam inovasi, pertanyaan
selanjutnya adalah seberapa baru agar sesuatu yang baru bisa disebut inovasi?
Sejauh ini literature-literature inovasi menunjukkan bahwa kebaruan dalam
inovasi tidak harus semuanya serba baru. Bisa saja yang baru hanya
sebagiannya saja misalnya hanya kemasannya saja yang baru sementara
isinya sama seperti sebelumnya. Sebuah pabrikan sepeda motor di Indonesia
yang mengusung slogan ―inovasi tiada henti‖ ternyata tidak banyak
menunjukkan hal-hal baru dalam produknya. Bahkan jika dibandingkan
dengan pabrikan lain yang tidak mengusung slogan inovasi, tingkat kebaruan
pabrikan yang mengusung slogan inovasi relatif lebih rendah. Hal ini
menunjukkan bahwa tingkat kebaruan inovasi tidak harus menyeluruh.
Memang seperti dikatakan Damanpour (1996) inovasi bisa radikal tetapi juga
bisa incremental. Inovasi kadang-kadang juga dibedakan menjadi inovasi
6.64 Manajemen Perubahan 

revolusioner dan inovasi evolusioner. Inovasi radikal atau revolusioner


adalah sebuah proses inovasi yang tingkat kebaruannya sangat tinggi
sehingga organisasi yang mengimplementasikan inovasi sering kali harus
mengubah paradigma untuk menjalankan kegiatannya. Sebaliknya inovasi
incremental/evolusioner adalah proses inovasi yang tingkat kebaruannya
relatif rendah sehingga dalam menjalankan aktivitasnya perusahaan tidak
harus mengubah paradigma lama.

6. Nilai Manfaat dari Inovasi


Pertanyaan ketiga adalah baru untuk siapa? Jika kita menilik alasan
sebuah perusahaan melakukan inovasi yakni agar bisa bertahan hidup atau
agar bisa bersaing dengan perusahaan lain maka inovasi sesungguhnya lebih
ditujukan untuk kepentingan eksternal yakni untuk kepentingan pasar.
Dengan inovasi, diharapkan pasar merespon secara positif apa yang
dilakukan perusahaan. Terlepas bahwa tujuan akhir dari inovasi untuk
memperbaiki posisi pasar, sifat kebaruan dalam inovasi sesungguhnya bisa
dibedakan menjadi dua yaitu baru bagi organisasi bersangkutan (disebut
sebagai the firm-based framework) dan baru bagi pasar (newness to the
market framework) (lihat misalnya Kotabe & Swan, 1995). Tidak jarang
perusahaan yang mengklaim dirinya melakukan inovasi, katakanlah inovasi
proses, sesungguhnya proses yang sama sudah dilakukan oleh perusahaan
lain sebelumnya. Namun karena proses tersebut betul-betul baru bagi
perusahaan yang bersangkutan maka wajar jika diklaim sebagai sebuah
inovasi. Inovasi seperti inilah yang disebut firm based framework. Meski
firm based framework hanya menunjukkan kebaruan bagi organisasi
bersangkutan tujuan akhirnya bukanlah sekedar organisasinya yang baru
tetapi pada akhirnya diharapkan pula agar dengan kebaruan tersebut ujung-
ujungnya kinerja perusahaan menjadi lebih baik. Artinya meski firm based
framework pada awalnya lebih berorientasi internal pada akhirnya inovasi
diharapkan bisa mempengaruhi posisi pasar. Atau dengan kata lain firm
based dan newness to market framework sesungguhnya saling berkaitan.

7. Adopsi dalam Inovasi


Di luar tiga pertanyaan tentang esensi inovasi yang diajukan Johanessen
et al. Di atas, masih ada pertanyaan lain yaitu tentang orisinalitas inovasi.
Pertanyaan ini datang dari Ravichandran (2000) yang mempersoalkan apakah
inovasi yang sudah dilakukan oleh organisasi lain kemudian diadopsi oleh
 EKMA4565/MODUL 6 6.65

sebuah organisasi bisa disebut inovasi bagi organisasi yang bersangkutan?


Atau dengan kata lain apakah firm based framework bisa disebut inovasi?
Ravichandran secara tegas mengatakan ―tidak‖. Menurutnya inovasi dan
adopsi adalah dua konsep yang berbeda. Ravichandran mendefinisikan
adopsi sebagai membeli atau meminjam inovasi untuk digunakan oleh sebuah
organisasi di mana inovasi tersebut telah dilakukan sebelumnya di tempat
lain atau organisasi lain dan telah menunjukkan nilai manfaat lebih baik dari
kondisi sebelumnya. Definisi ini menunjukkan bahwa adopsi pada dasarnya
adalah inovasi. Hanya saja yang melakukan inovasi bukan organisasi yang
bersangkutan tetapi organisasi lain. Sebagai contoh, perusahaan obat yang
membeli hak paten dari sebuah perusahaan lain yang mengembangkan obat
baru tidak bisa disebut sebagai perusahaan yang inovatif karena yang
mengembangkan obat baru tersebut adalah perusahaan lain bukan perusahaan
yang mengkomersialkan obat baru tersebut. Secara lebih detail Ravichandran
membedakan inovasi dari adopsi seperti tampak pada Tabel 6.3 sebagai
berikut:

Table 6.3.
Perbedaan antara Inovasi dan Adopsi

Inovasi Adopsi
Original Hasilnya berupa derivasi
Baru Bukan sesuatu yang baru bersifat umum
Diciptakan Dibeli atau pinjaman
Wujud atau realisasi dari kemampuan organisasi Merupakan perwujudan dari daya beli
Memiliki ketidakpastian yang relative tinggi Mudah diprediksi
Pioneer Pengikut bukan pencetus gagasan
Memiliki unsur inovasi Merupakan bentuk respon
Dukungan dari pimpinan puncak Keputusan manajemen puncak
Upaya yang berbasis komitmen dan Tidak harus memiliki komitmen dan
berkesinambungan keterkaitan
Dapat dilihat oleh pihak eksternal Tidak harus terlihat oleh pihak eksternal
Sumber : Ravichandran (2000)

8. Difusi Inovasi
Meski Ravichandran (2000) mengatakan bahwa adopsi bukanlah inovasi
karena yang melakukan inovasi adalah pihak lain namun tidak bisa
dipungkiri jika sebuah organisasi/perusahaan melakukan inovasi hampir pasti
perusahaan-perusahaan lain pun akan melakukan hal yang kurang lebih sama
atau bahkan lebih baik demi memperbaiki daya kompetisi. Akibatnya tidak
6.66 Manajemen Perubahan 

bisa dihindari jika inovasi terus bergulir mulai dari organisasi ke industri ke
regional ke nasional dan global. Dengan penyebaran inovasi seperti ini bukan
hanya perusahaan yang berinovasi yang memperoleh manfaat tetapi pada
umumnya masyarakat juga akan diuntungkan. Pertama, dengan semakin
banyak perusahaan yang berinovasi berarti tidak ada monopoli terhadap
produk atau jasa tertentu. Kedua, standar hidup masyarakat akan meningkat
karena di satu sisi masyarakat bisa memperoleh produk/jasa dengan kulaitas
lebih baik dan di sisi lain harganya tentu lebih murah.
Sebagai contoh, jika anda ingin membuka internet, media yang biasa
anda gunakan (internet browser) adalah internet explorer hasil inovasi
Mirosoft. Namun sekarang anda punya pilihan lain untuk membuka internet
misalnya Mozilla Firefox, Flock, Safari maupun Google Chrome. Mungkin
ke depan anda punya pilihan lain lagi karena inovasi terus berjalan. Proses
penyebaran inovasi seperti ini disebut difusi inovasi. Secara sederhana bisa
dikatakan bahwa difusi inovasi merupakan potensi sebuah inovasi diadopsi
oleh pihak lain sehingga inovasi tersebut menyebar lebih luas (Wolfe, 1994).
Proses penyebarannya itu sendiri membentuk sebuah kurve yang menyerupai
huruf S sehingga sering disebut sebagai S-Curve seperti tampak pada
Gambar 6.17.

Maturation

Jumlah
Adopter
Kumulatif Rapid
expansion
Infancy

Interval waktu
Sumber: Taylor & McAdam (2004)

Gambar 6.17.
Adopsi inovasi berbentuk Kutve – S.
 EKMA4565/MODUL 6 6.67

Pada awalnya ketika sebuah perusahaan menemukan sesuatu yang baru


tentunya hanya perusahaan tersebut yang berusaha untuk
mengomersialkannya jika temuan tersebut diyakini memiliki potensi pasar.
Namun sebelum temuan tersebut dikomersialkan, bukan tidak mungkin
perusahaan lain pun berusaha melakukan hal yang sama misalnya dengan
mengintip apa yang dilakukan perusahaan pesaing. Dengan merujuk pada
Gambar 6.5 (S-curve) tahap ini disebut sebagai slow initial adoption – adopsi
awal yang masih lambat di mana hanya ada satu atau dua perusahaan yang
melakukan inovasi. Sebagai contoh, sepeda motor matic pada mulanya tidak
dikenal sebelum perusahaan Korea, Kymco, melakukan terobosan dengan
mengembangkan teknologi matic dan memproduksi sekaligus
mengomersialkannya. Ketika perusahaan lain (Honda, Yamaha, Suzuki dan
Kawasaki) melihat potensi pasar dari teknologi matic, tidak pelak perusahaan
lainpun mulai ramai-ramai ikut mengembangkan dan memproduksinya
sampai akhirnya inovasi motor matic tidak bisa lagi dikembangkan. Contoh
ini memberi gambaran bahwa tahapan pada proses difusi bermula dari slow
initial adoption dan berlanjut ke tahap take off di mana invensi mulai
dikomersialkan, di imitasi oleh banyak perusahaan sehingga terjadi ekspansi
besar-besaran dan akhir mencapai tahap maturiry atau kemapanan di mana
sebuah inovasi tidak lagi bisa dikembangkan.
Tentunya tidak semua inovasi akan diadopsi dan di imitasi oleh
perusahaan lain seperti pada contoh teknologi matic maupun internet
browser. Beberapa di antaranya bahkan hanya berhenti sampai diperolehnya
hak paten tetapi tidak pernah sampai pada komersialisasi. Faktor yang
mempengaruhi apakah sebuah inovasi akan diadopsi oleh perusahaan lain di
antaranya adalah (1) kemungkinan tingkat keuntungan yang akan diperoleh
jika mengadopsi inovasi yang dilakukan perusahaan lain, (2) tingkat
kompatibilitas dengan teknologi yang dimiliki perusahaan saat ini, (3) tingkat
kompleksitas inovasi yang akan diadopsi, (4) dapat tidaknya inovasi baru
bisa diujicobakan dan (5) mudah tidaknya inovasi baru bisa diobservasi oleh
pihak lain (lihat Taylor & McAdam, 2004). Sementara itu Rogers
sebagaimana dikutip Taylor & McAdam (2004) membedakan perusahaan
yang mendadopsi inovasi menjadi lima kategori yaitu (1) innovator –
individu atau perusahaan yang pertama kali melakukan inovasi, (2) early
adopter – perusahaan yang segera tanggap begitu ada inovasi baru, (3) early
majority – perusahaan yang mengambil keputusan untuk mengadopsi inovasi
sebelum kebanyakan perusahaan lain melakukannya, (4) late majority –
6.68 Manajemen Perubahan 

perusahaan yang mendapat tekanan untuk mengadopsi inovasi karena


perusahaan lain telah melakukannya dan (5) laggard – perusahaan yang
paling lambat atau paling akhir mengadopsi inovasi.

F. KARAKTERISTIK ORGANISASI INOVATIF

Amabile dalam artikelnya ―How to Kill Creativity‖ (1997) mengatakan


bahwa organisasi di satu sisi bisa membunuh kreativitas karyawannya tetapi
di sisi lain juga bisa mendorong karyawan untuk terus berkreasi. Analog
dengan penjelasan Amabile, inovasi juga menghadapi persoalan yang sama.
Di satu sisi bisa saja organisasi sangat antusias dalam menumbuhkan
lingkungan organisasi yang inovatif. Salah satu contohnya adalah perusahaan
3M. Di perusahaan ini setiap karyawan memiliki kesempatan dan motivasi
untuk menemukan hal-hal baru terutama karena dukungan perusahaan sangat
besar. 3M misalnya sangat terbuka bagi ide-ide baru, menyediakan dana bagi
karyawan yang hendak melakukan inovasi, memberi penghargaan bagi yang
menemukan invensi baru, dan mentolerir kesalahan bagi yang gagal dalam
inovasi. Akibatnya bisa diduga inovasi tumbuh subur dan ribuan invensi
dihasilkan oleh perusahaan ini (lihat misalnya Higgins & McAllaster, 2002).
Sebaliknya tidak jarang ditemukan pula perusahaan yang menghambat
inovasi atau paling tidak enggan berinovasi. Pertama, boleh jadi karena
perusahaan memiliki keunggulan daya saing sehingga menganggap inovasi
tidak diperlukan lagi. Perusahaan yang memonopoli pasar misalnya
cenderung berpandangan seperti ini. Kedua, walaupun beberapa studi
menunjukkan bahwa organisasi yang sudah tua memiliki kemampuan
berinovasi lebih tinggi dibandingkan organisasi baru, teori lain mengatakan
bahwa organisasi yang sudah tua biasanya mengalami situasi yang disebut
―liability of oldness‖ yakni kesulitan beradaptasi dengan perubahan
lingkungan karena struktur organisasi yang terlanjur sangat kaku (struktur
organisasi mekanik). Akibatnya tingkat inovasinya relatif rendah. Sebaliknya
organisasi yang inovatif biasanya memiliki struktur organisasi yang fleksible
(struktur organisasi organik) (lihat: Burns and Stalker, 1961). Ketiga, inovasi
merupakan proses yang sangat kompleks yang hasilnya tidak segera bisa
dinikmati (tidak menentu) dan membutuhkan dana dan infrastruktur yang
memadai – bukan hanya fisik tetapi juga budaya, manajemen dan sumber
daya manusia. Prasyarat untuk dikatakan sebagai organisasi yang inovatif
misalnya dapat dilihat pada Tabel 6.3 (Matthews, 2002). Prasyarat seperti
 EKMA4565/MODUL 6 6.69

inilah yang menyebabkan beberapa perusahaan tidak mampu memenuhinya


lebih-lebih jika pihak manajemen tidak memiliki intensitas untuk berinovasi.

Tabel 6.4.
Komponen Organisasi yang Inovatif

Komponen
Visi, kepemimpinan dan Ada kejelasan tentang tujuan organisasi yang hendak dicapai
kemauan untuk inovasi dan tujuan tersebut juga telah diartikulasikan secara jelas.
Pada saat yang sama pimpinan puncak memiliki komitmen
yang ditunjukkan dengan pengembangan strategic intent.
Struktur organisasi yang tepat Desain organisasi yang tepat sehingga daya kreatif karyawan
mencapai level paling tinggi.
Orang-orang kunci Orang-orang kunci dalam organisasi bertindak sebagai
promotor, penjaga gawang dan peran-peran lain sejenis yang
memfasilitasi dan menggerakkan inovasi organisasi.
Team work yang efektif Tim kerja difungsikan secara tepat dalam memecahkan
berbagai persoalan organisasi. Oleh karenanya memilih dan
membangun tim yang solid menjadi sangat krusial.
Pengembangan diri karyawan Organisasi memiliki komitmen untuk mendidik dan melatih
secara berkelanjutan karyawan dalam rangka memastikan bahwa karyawan
memiliki kompetensi yang dibutuhkan dan memiliki
kemampuan belajar yang efektif.
Komunikasi yang terbuka Menjaga efektivitas komunikasi di dalam organisasi dan
antara organisasi dengan pihak luar. Di dalam organisasi
komunikasi dilakukan secara lateral, ke atas dan ke bawah.
Keterlibatan yang tinggi dalam Seluruh karyawan berpartisipasi dalam kegiatan organisasi
inovasi dalam rangka peningkatan kinerja berkelanjutan (continuous
improvement).
Fokus pada pelanggan Perhatian ditujukan baik pada pelanggan internal dan
eksternal dengan membangun total quality culture.
Iklim yang kreatif Berpandangan positif terhadap ide-ide kreatif yang didukung
oleh sistem penghargaan yang relevan.
Organisasi pembelajar Proses, struktur dan kultur yang mendukung terciptanya
pembelajaran individu, ditunjukkan dengan dibangunnya
knowledge management.
Sumber: Matthews (2002)

Berdasarkan prasyarat di atas, Matthews & Manley (2009) selanjutnya


membedakan praktik manajemen yang mendukung dan menghambat inovasi
seperti tampak pada Tabel 6.4 sebagai berikut.
6.70 Manajemen Perubahan 

Tabel 6.5.
Karakteristik Manajemen Yang Mendukung dan Menghambat Inovasi

Praktik Manajemen yang Mendukung Inovasi

Dorongan manajemen Budaya organisasi yang mendorong kreativitas melalui penilaian


gagasan yang fair dan konstruktif, pemberian pengakuan dan
penghargaan untuk pekerjaan kreatif, mekanisme untuk
mengembangkan gagasan baru, gagasan yang terus mengalir
dan visi bersama.
Dorongan atasan Atasan bertindak sebagai role model, menetapkan tujuan secara
tepat, dan member dukungan penuh kepada kelompok kerja yang
menghargai kontribusi individu dan menunjukkan rasa percaya diri
dalam kelompok.
Dorongan kelompok kerja Anggota kelompok kerja memiliki skill yang beragam di mana
masing-masing bisa berkomunikasi dengan baik, terbuka untuk
menerima ide-ide baru, masing-masing bisa bersaing secara
konstruktif, saling percaya dan saling membantu satu sama lain
dan memiliki komitmen terhadap apa yang sedang dikerjakan
kelompoknya.
Sumber daya yang memadai Memiliki akses terhadap sumber daya yang dibutuhkan termasuk
keuangan, material, fasilitas dan informasi.
Pekerjaan yang menantang Memiliki rasa dan kemauan bekerja keras untuk pekerjaan yang
menantang dan proyek-proyek penting.
Kebebasan Memiliki kebebasan untuk menentukan cara kerja.

Praktik Manajemen yang Menghambat Inovasi

Hambatan manajemen Budaya organisasi yang kental dengan suasana politik,


persaingan yang destruktif dan menghindari risiko.
Tekanan beban kerja Tekanan terhadap waktu kerja yang sangat ketat, mengharapkan
tingkat produktivitas yang tidak realistik dan banyaknya gangguan
untuk menciptakan pekerjaan yang kreatif.
Sumber: Matthews & Manley (2009)

1. Proses Inovasi
Professor Roy Rothwell dari Science Policy Research unit (SPRU), the
University of Sussex sebagaimana dikutip Neely and Hii (1998)
mengklasifikasikan proses inovasi menjadi lima generasi yaitu:
a. Generasi Pertama Technology Push.
b. Generasi Kedua Market Pull.
c. Generasi Ketiga Coupling Model.
 EKMA4565/MODUL 6 6.71

d. Generasi Keempat Integrated Model.


e. Generasi Kelima Systems Integration and Networking.

2. Technology Push
Proses inovasi pada awalnya mengikuti pola yang disebut technology-
push atau linear model seperti tampak pada Gambar 6.6. Model ini banyak
diterapkan pada periode tahun 1950-an dan 1960-an di mana ketika itu
permintaan melebihi kapasitas produksi sehingga kebanyakan perusahaan
berasumsi bahwa semua yang diproduksi pasti bisa terserap oleh pasar –
supply creates its own demand. Dengan demikian pusat perhatian perusahaan
lebih dititikberatkan pada R&D dan manufacturing ketimbang pada aspek
pemasaran. R&D diperlakukan sebagai tempat melalukan inovasi untuk
menghasilkan produk-produk baru. Semakin banyak R&D dilakukan
semakin banyak inovasi dan semakin banyak pula dihasilkan produk baru.
Peran manufacturing adalah memproduksi produk baru secara masal dan
pasar dianggap mampu menyerap semua hasil produksi dibuat perusahaan.
Dengan asumsi seperti ini maka inovasi diinterpretasikan sebagai sebuah
proses yang bermula dari penelitian ilmiah yang dikembangkan pada R&D,
diimplementasikan melalui kegiatan produksi yang hasilnya adalah produk
baru dan dijual ke masyarakat melalui mekanisme pemasaran. Jadi inovasi
pada dasarnya dipahami sebagai proses linear di mana R&D memiliki peran
kunci sebagai input.

Gambar 6.18.
Proses inovasi generasi pertama – technology-push

3. Marketing Pull
Jika pada tahun 1950-an dan 1960-an proses inovasi mengikuti linear
model di mana proses inovasi bersifat inside-out, akhir tahun 1960-an sampai
dengan awal tahun 1970-an terjadi hal sebaliknya yakni proses inovasi
bersifat outside-in atau disebut marketing-pull. Karena tingkat persaingan
pada periode ini sudah mulai menonjol, perusahaan cenderung berusaha
untuk menawarkan produk yang semakin beragam yang memang dibutuhkan
oleh kastemer bukan semata-mata yang dikehendaki perusahaan. Oleh
6.72 Manajemen Perubahan 

karenanya dalam konteks inovasi kebutuhan kastemer menjadi faktor


pendorong untuk melakukan inovasi (lihat Gambar 6.19). Atau dengan kata
lain pasar merupakan sumber ide untuk menggerakkan kegiatan R&D.

Gambar 6.19.
Proses inovasi generasi kedua–marketing-pull

4. Coupling Model

New Needs of society and the market


Needs

Idea Research, Prototype Mrktg Market


genera design & production Manufacturing & sales place
tion development

New State the art of technology and science


techn

Gambar 6.20.
Proses inovasi generasi ketiga–coupling model

Dua model proses inovasi yang telah dibahas sebelumnya – technology-


push dan marketing-pull dianggap memiliki beberapa kelemahan. Di
antaranya (1) model tersebut terlalu menyederhanakan proses inovasi yang
dalam realita sesungguhnya sangat kompleks, (2) tidak ada umpan balik yang
memungkinkan untuk perbaikan proses inovasi selanjutnya. Oleh karenanya
memasuki pertengahan tahun 1970-an sampai dengan awal tahun1980-an
dikembangkan model proses inovasi generasi ketiga yang disebut coupling
model (lihat Gambar 6.20). Pada intinya model ini, meski masih bersifat
sequential seperti pada model pertama dan kedua, jauh lebih komprehensif
karena keterkaitan faktor-faktor yang mempengaruhi proses inovasi sudah
dipertimbangkan secara seksama. Faktor yang dimaksud adalah: perusahaan
yang melakukan inovasi, komunitas ilmu pengetahuan dan teknologi, dan
 EKMA4565/MODUL 6 6.73

kebutuhan pasar. Model ini sering disebut pula sebagai ―a complex net of
communication path‖ karena sifatnya yang kompleks yang menghubungkan
kondisi internal perusahaan, ketersediaan ilmu pengetahuan dan teknologi,
dan kebutuhan pasar. Dari hubungan inilah diperoleh umpan balik yang
menjadi kunci dalam mengembangkan inovasi baru.

5. Integrated Model
Proses inovasi generasi keempat yang disebut integrated model mulai
dikembangkan di Jepang khususnya pada industri otomotif dan elektronik
sejak pertengahan tahun 1980-an sampai dengan tahun 1990-an. Sama seperti
proses inovasi generasi ketiga, integrated model merupakan proses inovasi
yang bersifat kompleks, nonlinear dan mensyaratkan adanya umpan balik.
Bedanya adalah proses inovasi generasi keempat tidak terjadi secara
berurutan (sequential) melainkan proses inovasi yang melibatkan berbagai
fungsi organisasi – marketing, R&D, product development, production
engineering, supplier dan manufacture secara parallel (lihat Gambar 6.21).
Fungsi-fungsi melakukan aktivitas bersama lintas fungsi agar bisa saling
berbagi informasi dalam mengembangkan inovasi baru.

Gambar 6.21.
Proses Inovasi Generasi Keempat – Integrated Model

Dari pengelaman industri otomotif di Jepang diyakini bahwa model ini


jauh lebih efektif dibandingkan dengan model-model sebelumnya. Proses
pengembangan produk baru membutuhkan waktu lebih pendek karena
dilakukan secara integratif, biaya lebih efisien, dan lebih penting lagi waktu
yang dibutuhkan untuk memproses informasi juga lebih efisien. Pada era
1980-an dan 1990-an keuntungan dari proses inovasi generasi keempat ini –
6.74 Manajemen Perubahan 

membutuhkan waktu yang semakin pendek menjadi sangat penting


mengingat tingkat persaingan yang semakin tinggi dan waktu menjadi
komponen kunci dalam menjaga tingkat persaingan.

6. Systems Integration and Networking (SIN)


Proses inovasi generasi kelima disebut sebagai systems integration and
networking (SIN). Model ini relatif baru dan baru berkembang sejak
pertengahan tahun 1990-an. Model ini dipicu oleh berbagai trend yang
berkembang saat ini: semakin maraknya aliansi strategis antar perusahaan
multinasional, kolaborasi dalam melakukan R&D, networking antara
perusahaan kecil menengah dengan perusahaan besar dan networking antar
perusahaan kecil menengah. Trend ini menunjukkan bahwa untuk
memperkuat daya saing perusahaan tidak harus bekerja sendirian. Sebaliknya
perusahaan harus menjalin kerja sama dengan perusahaan lain demi
mempertahankan posisi masing-masing. Kerja sama seperti ini terpaksa
dilakukan karena mereka menyadari kekuatan dan kelemahan masing-
masing. Akibat dari trend seperti ini proses inovasi tidak pelak juga
dilakukan oleh dua atau tiga perusahaan secara berbarengan. Contoh paling
baru adalah inovasi pengembangan mobil keluarga yang dilakukan oleh
Daihatsu dan Toyota yang menghasilkan produk Xenia dan Avanza.
Di samping networking, proses inovasi generasi kelima juga lebih
berorientasi pada sistem yang terintegrasi. Orientasi ini dimungkinkan karena
bantuan teknologi informasi yang semakin canggih. Dengan teknologi
informasi semua fungsi organisasi bisa diintegrasikan dengan mudah;
demikian juga hubungan antara perusahaan dengan pihak eksternal menjadi
semakin efektif. Melalui teknologi informasi pengembangan desain produk
baru juga bisa dilakukan dengan mudah dengan bantuan perangkat lunak
komputer yang tersedia sangat murah. Oleh karenanya tidak mengherankan
jika inovasi produk berkembang semakin cepat bukan hanya dilakukan
perusahaan besar tetapi juga perusahaan kecil menengah mampu melakukan
hal yang sama. Persoalan yang masih tersisa adalah karena proses inovasi
dengan model SIN ini masih relatif baru, bentuk dari SIN masih perlu
dielaborasi lebih lanjut. Yang pasti adalah SIN jauh lebih kompleks
dibandingkan dengan model-model sebelumnya dan tentunya memerlukan
perhatian lebih serius dan energi lebih besar.
Terlepas dari model lima generasi seperti dikemukakan Roy Rothwell di
atas, dengan kelebihan dan kekurangan masing-masing, ada pendapat lain
 EKMA4565/MODUL 6 6.75

yang mengatakan bahwa proses inovasi organisasi pada dasarnya bersifat


siklikal. Pendapat ini dikemukakan oleh Desouza et al. (2009). Menurut
mereka proses inovasi organisasi melibatkan lima tahapan yaitu:
menghasilkan dan memobilisasi ide, advokasi dan memilah-milah ide,
eksperimentasi, komersialisasi, dan difusi dan implementasi inovasi. Kelima
tahapan ini saling terkait membentuk sebuah siklus seperti tampak pada
Gambar 6.10 berikut ini.

Siklus Proses Inovasi

Generation
and
Mobilization

Diffusion and Adaptability


Implementation and Screening

commercialization experimentation
6.76 Manajemen Perubahan 

LAT IH A N

Untuk memperdalam pemahaman Anda mengenai materi di atas,


kerjakanlah latihan berikut!
1) Jelaskan dan berikan contoh apa yang Anda ketahui tentang kreativitas!
2) Sebutkan dimensi dari inovasi?
3) Jelaskan perbedaan klasifikasikan generasi dari proses inovasi Coupling
model dengan Integrated model!

Petunjuk Jawaban Latihan

1) Kreativitas oleh Sternberg didefinisikan sebagai kemampuan seseorang


untuk menghasilkan bukan hanya produk berkualitas tetapi juga baru.
Sebagai contoh, arsitektur candi Borobudur yang rancangannya
dihasilkan arsitek yang cerdas pada zamannya, untuk jelasnya dapat
Anda pelajari pada halaman 4-6.
 EKMA4565/MODUL 6 6.77

2) Silakan Anda simak materi pada halaman 21-26. Ada beberapa dimensi
yang mendasari inovasi yaitu: unsur kebaruan, seberapa baru agar
sesuatu bisa disebut inovasi, nilai manfaatnya, adopsi dan difusi inovasi.
3) Professor Roy Rothwell mengklasifikasikan proses inovasi menjadi lima
generasi yaitu generasi: Technology Push, Market Pull, Coupling Model,
Integrated Model dan Systems Integration and Networking. Pada proses
inovasi Coupling model bersifat sequential (berurutan) sedangkan proses
inovasi Integrated model tidak terjadi secara berurutan.

R A NG KU M AN

Inovasi secara harfiah berasal dari bahasa Latin ―innovare‖ yang


berarti me-review, membuat sesuatu menjadi baru atau mengganti yang
lama menjadi baru. Di dalam inovasi terkandung unsur-unsur kreativitas
dan invensi, dan sesungguhnya ketiga unsur tersebut memiliki kesamaan
yakni unsur kebaruan. Perbedaan dari ketiga unsur terletak pada nilai
guna dari kebaruan tersebut. Kreativitas menghasilkan pengetahuan
baru, pengetahuan baru menjadi dasar untuk menemukan formula baru
dan formula baru jika diwujudkan dalam realitas kehidupan akan
memberi nilai guna dan membantu memecahkan persoalan yang
sebelumnya tidak terpecahkan. Invensi yang memberi manfaat nyata
inilah yang secara umum disebut sebagai inovasi, atau dengan rumusan
sebagai berikut: Inovasi = kreativitas + invensi + eksploitasi.
Untuk mengetahui dimensi-dimensi apa yang terkandung dalam
inovasi, ada tiga pertanyaan yang perlu dielaborasi lebih lanjut yaitu:
Apanya yang baru dari sebuah inovasi? Seberapa baru inovasi tersebut?
Jika inovasi dikatakan baru, sesungguhnya baru bagi siapa? Itulah tiga
pertanyaan yang pada dasarnya adalah pertanyaan tentang dimensi
inovasi.
Suatu organisasi dapat dikatakan sebagai organisasi yang inovatif
memiliki beberapa prasyarat yang dapat dilihat pada Tabel 6.3. Prasyarat
seperti inilah yang menyebabkan beberapa perusahaan tidak mampu
memenuhinya lebih-lebih jika pihak manajemen tidak memiliki
intensitas untuk berinovasi.
Professor Roy Rothwell mengklasifikasikan proses inovasi menjadi
lima generasi yaitu generasi: pertama Technology Push, kedua Market
Pull, ketiga Coupling Model, keempat Integrated Model dan kelima
Systems Integration and Networking. Masing-masing generasi ini
memiliki kelemahan dan kelebihan sendiri-sendiri.
6.78 Manajemen Perubahan 

TES F OR M AT IF 2

Pilihlah satu jawaban yang paling tepat!

1) Di bawah ini yang bukan tipologi kreativitas menurut Kaufmann


adalah ....
A. intellegent adaptation
B. routine problem solving
C. expected creativity
D. proactive creativity

2) Di bawah ini merupakan komponen-komponen dari kreativitas menurut


Sternberg kecuali ....
A. Cara berpikir kreatif
B. Pragmatist
C. Kemampuan intelektualitas
D. Motivasi

3) Salah satu karakteristik yang terkandung dari pengertian inovasi


adalah ....
A. bersifat umum
B. kecanggihan
C. kebaruan
D. mudah diprediksi

4) Sesuatu yang baru namun masih berada pada tataran konsep, model,
prototipe atau pengetahuan adalah definisi dari ....
A. invensi
B. kreativitas
C. difusi
D. inovasi

5) Proses inovasi yang bersifat kompleks, nonlinear, mensyaratkan adanya


umpan balik, dan tidak terjadi secara berurutan serta melibatkan berbagai
fungsi organisasi adalah model proses inovasi ....
A. Technology Push
B. Coupling
C. Integrated
D. Market Pull
 EKMA4565/MODUL 6 6.79

Cocokkanlah jawaban Anda dengan Kunci Jawaban Tes Formatif 2 yang


terdapat di bagian akhir modul ini. Hitunglah jawaban yang benar.
Kemudian, gunakan rumus berikut untuk mengetahui tingkat penguasaan
Anda terhadap materi Kegiatan Belajar 2.

Jumlah Jawaban yang Benar


Tingkat penguasaan =  100%
Jumlah Soal

Arti tingkat penguasaan: 90 - 100% = baik sekali


80 - 89% = baik
70 - 79% = cukup
< 70% = kurang

Apabila mencapai tingkat penguasaan 80% atau lebih, Anda dapat


mengikuti Ujian Akhir Semester (UAS). Selamat! Jika masih di bawah 80%,
Anda harus mengulangi materi Kegiatan Belajar 2, terutama bagian yang
belum dikuasai.
6.80 Manajemen Perubahan 

Kunci Jawaban Tes Formatif

Tes Formatif 1 Tes Formatif 2


1) D. 1) C.
2) C. 2) B.
3) B. 3) C.
4) C. 4) A.
5) A. 5) C.
 EKMA4565/MODUL 6 6.81

Daftar Pustaka

Alavi, M. & Leidner, D.E. (2001). Review: Knowledge Management and


Knowledge Management Systems: Conceptual Foundation and
Research Issues, Management Information System Quarterly, 25, 1, pp.
107-136.

Allee, V. (1997). 12 Principles of Knowledge Management, Training and


Development, 51, 11, pp. 71-74.

Alvesson, M., Karreman, D. & Swan, J. (2002). Departures from Knowledge


and/or Management in Knowledge Management, Management
Communication Quarterly, 16, 2, pp. 282-291.

Baban, C.F. (2007). A Knowledge Management Approach in Higher


Education, Proceeding of KSS 2007: The Eight International
Symposium on Knowledge and Systems Sciences, Orgaized by: Japan
Institute of Science and Technology.

Baloch, Q.B. & Kareem, N. (2007), The Third Wave (Book Review), Journal
of Managerial Sciences, vol. 1, number 2, pp. 115 – 143.

Barquin, R.C. (2001). What is Knowledge Management? Knowledge and


Innovation: Journal of the KMCI, 1, 2, pp. 127-143.

Bennet, A. & Bennet, D. (2007) context: The Shared knowledge Enigma,


VINE: The Journal of Information and Knowledge Management Systems,
37, 1, pp. 12-40.

Bennet, D. & Bennet, A. (2008). Engaging Tacit Knowledge in Support of


Organizational Learning, VINE: The Journal of Information and
Knowledge Management Systems, 38, 1, pp. 72-94.

Bierly III, P.E., Kessler, E.H. & Christensen, E.W. (2000). Organizational
Learning, Knowledge and Wisdom, Journal of Organizational Change
Management, 13, 6, pp. 595-618.
6.82 Manajemen Perubahan 

Biggam, J. (2001). Defining Knowledge: An epistemological Foundation for


Knowledge Management, Proceedings of the 34th Hawaii International
Conference on System Sciences – 2001.

Chang & Lee (2008).

Chen, C-A. (2007). Analysis of the Knowledge Creation Process: An


Organizational Change Perspective, International Journal of
Organization Theory and Behavior; Fall; 10, 3; pp. 287-313.

Chen, C-A. (2008). Linking Knowledge Creation Process to Organization


Theories: A macro View of Organization-Environment Change, Journal
of Organizational Change Management, 21, 3, pp. 259-279.

Csikszentmihalyi, M. (1999). If We Are So Rich, Why Aren‘t We Happy?


American Psychologist, 54, 10, pp. 821-827.

Davenport, T.H., Jarvenpaa, S.L. & Beers, M. C. (1996). Improving


Knowledge Work Process, MIT Sloan Management Review, 37, 4, pp.
53-65.

Davenport, T.H., de Long, D.W. & Beers, M.C. (1998). Successful


Knowledge Management Projects, Sloan Management Review, 39, 2; pp.
43-57.

Demarest, M. (1997). Understanding Knowledge Management, Long Range


Planning, 30, 3, pp. 374-384.

Earl, M. (2001). Knowledge Management Strategies: Toward Taxonomy,


Journal of Management Information Systems, 18, 1, pp. 215-233.

Edvisson, L. & Malone, M.S. (1997). Intellectual Capital: Realizing Your


Company’s True Value by Finding Its Hidden Brainpower, 1st edition,
New York, NY: HarperBusiness.

Firestone, J.M. (2001). Key Issues in Knowledge Management, Knowledge


and Innovation: Journal of the KMCI, 1, 3, pp. 8-38.
 EKMA4565/MODUL 6 6.83

Hick, R.C. Dattero, R. & Galup, S.D. (2006). The Five-tier Knowledge
Management Hierarchy, Journal of Knowledge Management, 10, 1, pp.
19-31.

Hussi ,T. ( 2004). Reconfiguring Knowledge Management - Combining


Intellectual Capital, Intangible Assets and Knowledge Creation, Journal
of Knowledge Management, 8, 2, pp. 36-52.

Hussi, T. & Ahonen, G. (2002). Managing Intangible Assets – a Question of


Integration and Delicate Balance, Journal of Intellectual Capital, 3, 3,
pp. 277-286.

Kakabadse, N.K., Kakabadse, A. & Kouzmin, A. (2003). Reviewing the


Knowledge Management Literature: Towards a Taxonomy, Journal of
Knowledge Management Volume 7 Number 4 pp. 75-91.

Kaplan, R.S. & Norton, D.P. (2001). The Strategy Focused Organization:
How Balanced Scorecard Companies Thrive in the New Business
Environment, Boston, MA: Harvard Business School Press.

King, N. & Anderson, N. (2002). Managing Innovation and Change: A


Critical Guide for Organizations, Singapore: Thomson.

Leonard, D. (1999). Wellsprings of Knowledge – Building and Sustaining the


Sources of Innovation, Boston, MA: Harvard Business School Press.

Lenski. G & Lenski, J. (1987). Human Society: An Introduction to


Macrosociology, 5th edition, New York, NY: McGraw-Hill Book
Company.

Martensson, M, (2000). Critical Review of Knowledge Management As a


Management Tool, Journal of Knowledge Maangement, 4, 3, pp 204-
216.

McElroy.M.W. (2000). The New Knowledge Management, Knowledge and


Innovation: Journal of KMCI, 1, 1, pp. 43-67.
6.84 Manajemen Perubahan 

McInerney, C. (2002). Knowledge Management and the Dynamic Nature of


Knowledge, Journal of the American Society for Information Science
and Technology, 53, 12, pp. 1009-1018.

Morgan, G. (1997). Images of Organisations, Sage, London.

Nonaka, I. (1994). A Dynamic Theory of Organizational Knowledge


Creation, Organization Science, 5, pp. 14-37.

Nonaka, I. & Konno, N. (1998). The Concept of ‗Ba‘: Building a Foundation


for Knowledge Creation, California Management Review, 4, 3, pp. 40-
54.

Nonaka, I. & Takeuchi, H. (1995). The Knowledge-Creating Company, New


York: Oxford University Press.

Nonaka, I., Toyama, R. & Konno, N. (2000). SECI, Ba and Leadership, A


Unified Model of Dynamic Knowledge Creation, Long Range Planning,
33, pp. 5-34.

Nonaka, I. Toyama, R. & Nagata, A. (2000). A Firm As a Knoweledge


Creating Entity: A New Perspective on the Theory of the Firm,
Industrial and Corporate Change, 9, 1, pp. 1-20.

Nunamaker, Jr. J.F., Romano, Jr. N.C. & Briggs, R.O. (2001). A Framework
for Collaboration and Knowledge Management, Proceedings of the 34th
Hawaii International Conference on System Sciences – 2001.

Parise, S., Cross, R. & Davenport, T.H. (2006). Strategy for Preventing a
Knowledge-Loss Crisis, MIT Sloan Management Review, pp. 31-38.

Rowley, J. (2000). Is Higher education Ready for Knowledge management?


The International Journal of Educational Management, 14, 7, pp. 325-
333.

Scalzo, N.J. (2006). Mempry Loss? Corporate Knowledge and Radical


Change, Journal of Business Strategy, 27, 4, pp. 60-69.
 EKMA4565/MODUL 6 6.85

Sveiby, K-E. (2001). A Knowledge-Based Theory of Firm to Guide in


Strategy Formulation, Journal of Intellectual Capital, 2, 4, pp. 344-358.

Tjakraatmadja, J.H. & Lantu, D.C. (2006). Knowledge Management dalam


Konteks Organisasi Pembelajar, Bandung: Sekolah Bisnis dan
Manajemen (SMB) Institut Teknologi Bandung.

Toffler, A. (1980). The Third Wave, London, Pan Book Ltd.

Tuomi, I. (1999). Data is More than Knowledge: Implications for the


Reversed Knowledge Hierarchy for Knowledge Management and
Organizational Memory, Journal of Management Information System,
Fall 16, 3, pp. 107-121.

Anda mungkin juga menyukai