Anda di halaman 1dari 9

A.

Latar Belakang
Indonesia adalah negara yang memiliki kekayaan alam melimpah. Salah satu
alasannya karena Indonesia terletak di dalam garis khatulistiwa, artinya termasuk
negara yang beriklim tropis. Indonesia mendapatkan sinar matahari juga curah hujan
yang cukup, serta struktur tanah yang beragam. Oleh karena itu, Indonesia sering
disebut sebagai negara agraris, dikarenakan hampir semua komoditas tanaman bisa
tumbuh, mayoritas penduduknya juga bekerja sebagai petani, dan sektor pertanian
sendiri sebagai salah satu pilar besar penunjang perekonomian bangsa. Sektor ini juga
berperan dalam proses pengentasan kemiskinan dan perbaikan pendapatan masyarakat
secara umum. Pertanian telah menjadi bagian krusial dalam pembangunan nasional
dan penyeimbang ekosistem dunia.
Menurut data BPS (2019), sektor pertanian menyumbang 1,81% dari
pertumbuhan Pendapatan Domestik Bruto (PDB) menurut lapangan usaha di
Indonesia. Angka tersebut masih sangat kecil jika dibandingkan sektor lainnya seperti
industri pengolahan (3,86%), perdagangan dan reparasi (5,26%), konstruksi (5,91%),
pertambangan dan penggalian (2,32%), dan sektor lainnya (7,30%). Hal tersebut
menunjukkan sedikitnya serapan lapangan usaha dari sektor pertanian. Menurut
Oktavia et al (2016), kondisi sektor pertanian sekarang sedang mengalami gejala
penerimaan output yang terus berkurang dikarenakan alokasi dan kombinasi dari
faktor produksi pertanian yang digunakan masih dikatakan belum mampu untuk
mengimbangi penurunan yang sedang terjadi.
Masalah yang sampai saat ini masih dirasakan petani adalah ketidakjelasan
harga yang cenderung fluktuasi, padahal mereka membutuhkan jaminan kepastian
harga guna mendapatkan penghasilan yang layak. Undang-undang Perdagangan No 7
tahun 2014 pasal 26 ayat 3 mengamanatkan bahwa “dalam menjamin pasokan dan
stabilisasi harga barang kebutuhan pokok dan barang penting, Menteri menetapkan
kebijakan harga, pengelolaan stok dan logistik serta pengelolaan ekspor dan impor”.
Melalui UU tersebut secara tersirat menegaskan pemerintah memegang tanggung
jawab dalam menjaga stabilitas harga, khususnya di tataran petani. Terlebih di saat
produksi melimpah seperti panen raya yang membuat harga turun drastis.
B. Pengertian
C. Rumusan Masalah
Harga pangan yang stabil adalah kepentingan bersama yaitu bagi produsen,
konsumen dan juga pemerintah. Agar produksi pangan dapat berkelanjutan, dan
kebutuhan pangan masyarakat dapat terpenuhi pemerintah harus melindungi
masyarakat dan petani dari gejolak harga seperti harga jatuh pada saat panen raya dan
harga melambung pada saat di luar panen. Salah satu upaya yang dilakukan
pemerintah yaitu kebijakan stabilisasi harga. Harga yang tidak stabil mempunyai
dampak ke produsen, khususnya petani (disinsentif).
Kebijakan harga pangan telah lama dilaksanakan di Indonesia. Sejauh ini
pelaksanaannya seolah-olah hanya terlihat dalam jangka pendek yang selanjutnya
harga-harga komoditi di dalam negeri terus naik. Sehingga muncul pertanyaan
bagaimana pelaksanan kebijakan harga pangan selama ini dan kemungkinan
penerapan pelaksanaan kebijakan harga pangan di Indonesia. Oleh karena itu, kajian
kebijakan harga pangan khususnya pada komoditi kebutuhan pangan pokok
masyarakat penting dilakukan.

D. Instabilitas Harga
Instabilitas harga merupakan refleksi dari ketidakseimbangan antara
permintaan dan penawaran. Ketidakseimbangan tersebut dapat disebabkan karena
memang terjadi ketidak seimbangan atau disebabkan oleh adanya harapan
ketidakseimbangan yang salah atau benar dari pelaku ekonomi. Apa pun yang
menyebabkannya, instabilitas harga selalu berarti adanya ketidak seimbangan dalam
jangka pendek. Pergerakan harga dalam jangka panjang yang biasanya terjadi karena
disebabkan perubahan teknologi atau perubahan permintaan tidak dapat diartikan
sebagai instabilitas harga.

Secara garis besar akar penyebab instabilitas harga dapat dibedakan menjadi 3 tipe
sebagai berikut:
a. Instabilitas bawaan/alami atau “natural instability”. Dalam kasus ini, instabilitas
harga disebabkan oleh variabilitas pasokan antar musim atau antar waktu sebagai
akibat dari variasi musiman dan atau gangguan alam (hama penyakit, kekeringan, dan
sebagainya. Contoh paling nyata adalah instabilitas harga beras, cabai, bawang merah,
dan sebagainya.
b. Instabilitas yang diimpor (imported) yakni instabilitas harga komoditas tertentu di
dalam negeri akibat harga di pasar internasional volatil, sementara itu sebagian besar
pasokan di dalam negeri berasal dari impor (Byerlee et al, 2005).

c. Instabilitas endogen (endogenous instability), yakni instabilitas yang tercipta dari


perilaku pasar itu sendiri (Boussard, 1996; Boussard et al, 2006). Instabilitas tipe ini
terkait dengan ekspektasi yang berlebihan pada pelaku pasar atas fenomena “Cob
Web” dalam pasar komoditas yang bersangkutan.

E. Teori Penentuan Harga Dasar dan Harga Eceran Tertinggi

Kegagalan pasar adalah ketidakmampuan dari suatu perekonomian pasar


untuk berfungsi secara efisien dan menimbulkan keteguhan dalam kegiatan dan
pertumbuhan ekonomi. Kegagalan atau kepincangan dalam mekanisme pasar
memerlukan campur tangan Pemerintah dalam perekonomian. Tujuan dari campur
tangan pemerintah adalah untuk (Sukirno, 2008):
a. Menjamin agar kesamaan hak untuk setiap individu tetap terwujud dan
menghindari penindasan;
b. Menjaga agar perekonomian dapat tumbuh dan mengalami perkembangan yang
teratur dan stabil;
c. Mengawasi kegiatan-kegiatan perusahaan, terutama perusahaan-perusahaan
besar yang dapat mempengaruhi pasar agar mereka tidak menjalankan praktek-
praktek monopoli yang merugikan;
d. Menyediakan “barang bersama” (public goods) yang penggunaannya dilakukan
secara kolektif oleh masyarakat mempertinggi kesejahteraan sosial masyarakat;

e. Mengawasi agar eksternalitas kegiatan ekonomi yang merugikan masyarakat


dapat dihindari atau dikurangi.

Harga suatu komoditi merupakan hasil dari keseimbangan permintaan dan


penawaran. Tingkat harga yang dicapai pada keseimbangan untuk komoditi-komoditi
tertentu terutama pangan pokok terkadang menimbulkan ketidakpuasan. Pada
beberapa kasus, ketidakpuasan menimbulkan tekanan politik dari publik kepada
Pemerintah yang kemudian diharapkan dapat menjaga harga pada tingkat tertentu agar
tidak meningkat terlalu tinggi atau jatuh terlalu rendah melalui kebijakan harga (price
control) berupa penetapan harga eceran tertinggi dan harga eceran terendah.
Harga eceran tertinggi (price ceilings) dan harga eceran terendah (price floors)
merupakan praktek dari intervensi Pemerintah kepada pasar terbuka yang merubah
keseimbangan pasar. Kebijakan tersebut akan memberikan dampak kepada
masyarakat dan produsen yang diharapkan akan memberikan insentif serta
meminimalkan biaya dan tradeoff.

F. Harga Eceran Tertinggi (Price Ceilings)


Ceiling Price adalah harga maksimal yang ditetapkan oleh Pemerintah pada komoditi dan
jasa tertentu yang diyakini telah dijual pada tingkat harga yang lebih tinggi dari wajar
yang merugikan konsumen. Namun akan ada konsekuensi jika price ceilings ditetapkan
pada tingkat harga di bawah harga keseimbangan pasar.
Ketika Price Ceilings ditetapkan pada tingkat harga di bawah harga pasar,
maka akan terdapat kelebihan permintaan (excess demand) atau kekurangan supply.
Jumlah produksi akan lebih sedikit ketika harga rendah, sedangkan permintaan akan
semakin banyak karena harga yang lebih murah. Permintaan akan lebih besar dari
pada supply dimana akan lebih banyak orang yang ingin membeli pada harga yang
lebih murah namun supply terbatas. Jika kurva permintaan elastis maka total dampak
kepada surplus konsumen akan positif. Di sisi produsen, surplusnya akan mengalami
penurunan dimana akan ada produsen yang keluar dari pasar karena tidak bisa
berproduksi pada tingkat harga yang ditentukan dan produsen yang tinggal di pasar
harus menerima tingkat harga yang rendah.
Price Ceilings ditujukan untuk melindungi konsumen dari gejolak kenaikan
harga tak terhingga. Kebijakan Price Ceilings akan efektif jika diiringi dengan
kebijakan operasional pendukung seperti Operasi Pasar pada waktu tertentu dimana
pemerintah menambah jumlah barang yang ditawarkan ke pasar. Penerapan Price
Ceilings di bawah harga keseimbangan (equilibrium price) pasar pada kurva
permintaan dan supply yang elastis akan berdampak sebagai berikut (Besanko dan
Braeutigam, 2011):
a. Terjadi kelebihan permintaan (excess demand)
b. Produksi yang di supply di pasar lebih rendah relatif terhadap tingkat yang efisien
yaitu jumlah yang di supply saat tidak ada intervensi Pemerintah
c. Surplus produsen lebih rendah dibandingkan sebelum penerapan Price Ceilings
d. Sebagian dari surplus produsen yang hilang ditransfer ke konsumen
e. Karena adanya excess demand, besar surplus konsumen tergantung pada
aksesibilitas konsumen terhadap produk. Oleh karena itu surplus konsumen dapat
meningkat atau bahkan turun jika barang tidak tersedia karena penerapan Price
Ceilings.
f. Akan terjadi deadweight loss yaitu berkurangnya surplus total (surplus konsumen
dan surplus produsen) yang terjadi karena pasar tidak beroperasi secara optimal.
Dalam hal ini karena output yang tersedia terbatas.
G. Harga Dasar
Floor Price adalah harga minimum yang ditetapkan Pemerintah untuk
komoditi dan jasa tertentu yang diyakini dijual pada tingkat harga yang lebih rendah
dari yang layak diterima oleh produser. Harga dasar akan menimbulkan dampak jika
ditetapkan pada tingkat harga di atas tingkat harga keseimbangan. Jika harga dasar
ditetapkan di bawah tingkat harga keseimbangan maka kebijakan intervensi ini tidak
akan memberikan dampak kepada pasar. Ketika Price Floors ditetapkan di atas
tingkat harga ekuilibrium maka akan terjadi surplus supply (excess supply). Hal ini
terjadi ketika produsen akan berproduksi lebih banyak namun permintaan justru akan
menurun karena harga barang yang lebih tinggi.

Terdapat deadweight loss yang direfleksikan oleh kerugian di sisi konsumen


dan surplus produsen pada tingkat produksi yang lebih rendah. Produsen dapat
memperoleh keuntungan dari kebijakan ini hanya jika kurva supply relatif elastis
sehingga tidak terjadi net loss. Konsumen dirugikan dalam kebijakan ini karena harus
membayar dengan harga yang lebih tinggi. Kebijakan harga eceran terendah ditujukan
untuk melindungi produsen dari penurunan harga barang sampai tak terhingga.
Mekanisme kebijakan ini akan efektif jika pemerintah berperan dalam membeli
surplus produksi.
Berbagai strategi dapat dilakukan oleh pemerintah dalam menetapkan harga
dasar dan menghadapi dampaknya. Pilihan kebijakan lain mendukung kebijakan harga
dasar antara lain kebijakan price support, atau menetapkan kuota produksi. Price
support dilakukan dengan menetapkan harga minimum namun tidak hanya itu.
Pemerintah dalam hal ini membeli berapapun kelebihan supply (excess supply).
Metode ini tidak efisien, mahal dan merugikan tidak hanya bagi pemerintah tetapi
juga secara sosial dari pada jika pemerintah memberikan subsidi langsung kepada
perusahaan atau produsen yang terkena dampak penetapan harga dasar.
Kuota produksi meningkatkan harga secara artificial melalui restriksi produksi
menggunakan aturan kuota atau memberikan insentif usaha agar produsen
mengurangi produksi. Cara ini dilakukan di Amerika terutama di sektor pertanian.
Pemerintah membayar petani untuk mengatur jumlah produksinya agar harga terjaga.
Sama halnya dengan price support, kebijakan ini akan efisien dan murah jika
pemerintah memberikan subsidi langsung kepada petani dari pada melakukan restriksi
produksi.
Saat pemerintah menetapkan Price Floors lebih tinggi dari pada harga
keseimbangan pasar, maka dampak yang terjadi adalah sebagai berikut:
a. Akan terjadi kelebihan produksi (excess supply) di pasar

b. Konsumen akan membeli lebih sedikit dari pada di pasar sempurna

c. Surplus konsumen lebih rendah dari pada jika tidak ada harga dasar

d. Sebagian surplus konsumen akan ditransfer kepada produsen

e. Karena harga dasar menyebabkan kelebihan supply, besarnya surplus produsen


akan tergantung pada produsen mana yang benar-benar memasok produk. Surplus
produsen dapat meningkat atau menurun karena penetapan harga dasar.
H. Penerapan Kebijakan Harga di Indonesia
Kebijakan terkait upaya stabilisasi harga komoditi di Indonesia tertuang dalam
Undang-Undang No. 18 tahun 2012 tentang Pangan dan Undang-Undang No. 7 tahun
2014 tentang Perdagangan. UU Nomor 8 menyatakan bahwa pemerintah
berkewajiban mengelola stabilisasi pasokan dan harga Pangan Pokok, mengelola
cadangan Pangan Pokok Pemerintah, dan distribusi Pangan Pokok untuk mewujudkan
kecukupan Pangan Pokok yang aman dan bergizi bagi masyarakat. Sedangkan UU
Nomor 7 menyatakan Pemerintah berkewajiban menjamin pasokan dan stabilisasi
harga Barang kebutuhan pokok dan Barang penting yang dilakukan untuk menjaga
keterjangkauan harga di tingkat konsumen dan melindungi pendapatan produsen.
Pelaksana kebijakan harga adalah Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah
dimana pada Pasal 51 dalam UU Pangan menyatakan bahwa Pemerintah
berkewajiban mengatur Perdagangan Pangan yang bertujuan untuk: a. stabilisasi
pasokan dan harga Pangan, terutama Pangan Pokok; b. manajemen Cadangan Pangan;
dan c. penciptaan iklim usaha Pangan yang sehat. Dalam menjamin pasokan dan
stabilisasi harga Barang kebutuhan pokok dan Barang penting, Menteri menetapkan
kebijakan harga, pengelolaan stok dan logistik, serta pengelolaan Ekspor dan Impor.
Pengaturan lebih lanjut mengenai kebijakan harga serta jenis komoditi atau
barang yang diatur akan ditetapkan dalam Peraturan Presiden. Draf terakhir dari
Rancangan Peraturan Presiden mengenai Barang Kebutuhan Pokok dan Barang
Penting menetapkan jenis barang kebutuhan pokok yaitu beras, kedelai, cabe, bawang
merah, gula, minyak goreng, tepung terigu, daging sapi, daging ayam ras, telur ayam
ras, dan ikan segar (tongkol/ tuna/ cakalang). Jenis barang penting terdiri dari: benih
(padi, jagung, dan kedelai), pupuk, gas elpiji 3 kilogram, triplek, semen, besi baja
konstruksi, dan baja ringan. Perbedaan dengan kebijakan pengendalian harga di
negara lain terletak pada peran pemerintah yang terwujud pada instansi teknis yang
bertanggung jawab langsung dalam law enforcement dan pemberian sanksi hukum
bagi pelaku usaha dan aparat pemerintah yang melakukan perbuatan melanggar
hukum.
Pelaksanaan kebijakan harga di Indonesia sudah didukung oleh peraturan
perundangan yang jelas yaitu UU pangan dan UU Perdagangan serta dukungan
institusi/lembaga. Bahkan di tahun 2015 muncul peraturan baru terkait dengan
ketersediaan pasokan dan stabilisasi harga yaitu Peraturan Presiden No 17/2015
tentang ketahanan pangan dan gizi serta Peraturan Presiden No 71/2015 tentang
penentapan dan penyimpanan barang kebutuhan pokok dan barang penting. Namun,
pelaksanaan kebijakan harga di Indonesia masih memiliki kelemahan baik dalam hal
koordinasi maupun aransemen kelembagaan.
Salah satunya pelanggaran/sanksi dalam pelaksanaan kebijakan harga di
Indonesia masih lemah sehingga perlu adanya law enforcement. Kondisi empiris
menunjukkan bahwa selama ini masih ada kelemahan dalam hal instrumen kebijakan,
infrastruktur serta kelembagaan pendukung. Contohnya infrastruktur pendukung
sistem logistik belum memadai, kelembagaan pendukung produksi belum terbentuk
dengan baik akibat struktur pertanian yang tidak terkonsolidasi dan biaya penegakan
aturan di Indonesia cukup mahal sangat mahal dari pada manfaat yang diperoleh.
Dalam rangka melindungi produsen (petani kecil) maupun konsumen (yang
sebagian besar juga miskin), pemerintah meluncurkan kebijakan harga terutama untuk
komoditas pangan strategis. Sebagai contoh, untuk mengkondisikan agar harga gabah
pada saat panen tidak merosot tajam maka Pemerintah menetapkan kebijakan Harga
Pembelian Pemerintah (HPP) gabah (dahulu Harga Dasar gabah) dan untuk
menstabilkan harga beras agar pada saat paceklik tidak melonjak tajam maka
pemerintah menetapkan Harga Eceran Tertinggi Beras. Bekerjasama dengan
Departemen Pertanian serta Departemen terkait lainnya, lembaga yang secara khusus
ditugaskan untuk mengeksekusinya adalah Badan Urusan Logistik (BULOG).
Upaya mendirikan lembaga asosiasi atau koperasi dikarenakan melemahnya
posisi tawar petani di pasar input maupun output pertanian tidaklah mudah
dilaksanakan. Meskipun secara teoritis dapat diatasi melalui pengembangan asosiasi
petani namun secara empiris tidak mudah diwujudkan karena: (1) kepentingan petani
sangat heterogen, (2) secara agregat, net benefit dari pengembangan kelambagaan
asosiasi petani sangat kecil (bahkan di beberapa kasus negatif), sementara itu campur
tangan pemerintah untuk menekan social cost dari pengembangan kelembagaan
seperti itu sangat tidak memadai.
Masalah fluktuasi harga tidak hanya pada petani makanan poko saja.
Kombinasi pendekatan fundamental dan kebijakan harga perlu diterapkan pada
stabilisasi harga daging ayam, beras, cabai merah dan bawang merah, gula. Dasar
pertimbangannya adalah sebagai berikut: (a) bagian terbesar dari penawaran berasal
dari produk domestik; (b) konvergensinya dengan kebijakan Kementerian Pertanian;
(c) kebijakan harga saja tidak cukup karena melibatkan jumlah produsen yang sangat
besar dan secara geografis tersebar di lokasi-lokasi yang jumlahnya sangat banyak.
Untuk minyak goreng pendekatan melalui kebijakan harga sudah cukup efektif karena
(a) struktur produksi mudah terkonsolidasi; (b) jumlah produsen pada umumnya
berskala besar dan jumlah banyak ; (c) bahan baku cukup; (d) secara hostoris
kebijakan yang sudah dilakukan cukup efektif.

Anda mungkin juga menyukai