Anda di halaman 1dari 17

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Salah satu masalah gangguan kesehatan yang menonjol  pada usia lanjut adalah
gangguan muskoloskeletal, terutama osteoartritis dan osteoporosis. Menghadapi problem
ini tanpa adanya persiapa yang baik, di khawatirkan akan menjadikan beban yang akan di
tanggung pemerintah, masyarakat, dan warga usia lanjut  dengan keluarga akan menjadi 
sangat besar dan akan  menghambat perkembangan ekonomi  serta memperburuk kualitas
hidup manusia secara utuh (isbagio H dalam Daniel, 2007).
Osteoporosis adalah suatu problem klimakterium yang serius. Di amerika serikat
dijumpai  satu kasus osteoporosis  di antara dua sampai tiga wanita pascamonopause.
Massa tulang pada manusia mencapai maksimum pada usia sekita 35 tahun, kemudian
terjadi penurunan massa tulang secara eksponensial. Penurunan massa tulang ini berkisar 
antara 3-5% setiap decade, sesuai dengan kehilangan massa otot  dan hal ini di alami baik
pada pria dan wanita. Pada masa klimakterium, penurunan massa tulang pada wanita
lebih mencolok  dan dapat mencapai 2-3%  setahun secara eksponensial. Pada usia 70
tahun  kehilangan massa tulang pada wanita  ini baru mencapai 25%  (Gonta,P.1996).
Kecepatan resorpsi tulang lebih besar dari kecepatan pembentukan tulang,
sehingga dapat menurunkan massa tulang total. Osteoporosis  adalah penyakit yang
mempunyai sifat-sifat khas berupa massa tulang yang  rendah,  disertai mikroarsitektur 
tulang dan penurunan kualitas  jaringan tulang yang dapat menimbulkan  kerapuhan
tulang. Tulang secara progresif  menjadi rapuh dan mudah patah. Tulang menjadi mudah
patah dengan stres, yang pada tulang normal tidak menimbulkan pengaruh. Sherwood
(2001), mengatakan selama dua decade pertama kehidupan, saat terjadi pertumbuhan,
pengendapan tulang melebihi resorpsi tulang dibawah pengaru hormone pertumbuhan.
Sebaiknya pada usia 50-6- tahun, resorpsi tulang melebihi pembentukan tulang.
Kalsitonin  yang menghambat resorpsi tulang dan merangsang pembentukan tulang
mengalami penurunan. Hormone paratiroid meningkat bersama bertambahnya  dan
meningkatkan resorpsi tulang. Hormone estrogen yang menghambat  pemecahan tulang,
juga berkurang bersama bertambahnya usia.
Menurut Ganong (2003), perempuan dewasa memiliki massa tulang yang lebih
sedikit  daripada pria dewasa, dan setelah menopause mereka mulai kehilangan tulang 
lebih cepat daripada pria. Akibatnya perempuan lebih rentang menderita ospteoporosis
serius. Penyebab utama berkurangnya tulang setelah menopause adalah defesiensi 
hormone estrogen. Pada osteoporosis, matriks dan mineral tulang hilang, hingga massa
dan kekuatan tulang, dengan peningkatan fraktur. 
Osteoporosis sering menimbulkan fraktur kompresi pada vertebra  torakalis.
Terdapat penyempitan diskus  vertebra, apabila penyebaran berlanjut keseluruh korpus
vertebra akan menimbulkan kompresi vertebra  dan terjadi gibus. Fraktur kolum femur 
sering terjadi pada usia di atas 60 tahun dan lebih sering pada perempuan, yang
disebabkan oleh penuaan dan osteoporosis pascamenopause.
Kolaps bertahap tulang vertebra mungkin tidak menimbulkan gejala, namun
terlihat sebagai kifosis progresif. Kifosis dapat mengakibatkan pengurangan tinggi badan.
Pada beberapa perempuan dapat kehilangan  tinggi badan sekitar 2,5-15 cm, akibat kolaps
vertebra.

1.2 Tujuan Penulisan


1.2.1 Tujuan Umum
Untuk mengetahui konsep dasar terkait penyakit osteoporosis dan pengaplikasian
dalam asuhan keperawatan.
1.2.2 Tujuan Khusus
- Untuk mengetahui pengertian terkait osteoporosis
- Untuk mengetahui etiologi dan klasifikasi terkait osteoporosis
- Untuk mengetahui tanda dan gejala terkait osteoporosis
- Untuk mengetahui penatalaksanaan dan pemeriksaan penunjang terkait
osteoporosis
- Untuk mengetahui komplikasi penyakit yang disebabkan oleh osteoporosis
- Untuk mengetahui konsep asuhan keperawatan yang akan diberikan pada
klien dengan osteoporosis
BAB II

TINJAUAN TEORI

2.1 Defenisi Osteoporosis


Osteoporosis adalah suatu kondisi berkurangnya massa tulang secara nyata yang
berakibat pada rendahnya kepadatan tulang, sehingga tulang menjadi keropos dan rapuh.
“Osto” berarti tulang, sedangkan “porosis” berarti keropos. Tulang yang mudah patah
akibat Osteoporosis adalah tulang belakang, tulang paha, dan tulang pergelangan tangan
(Endang Purwoastuti : 2009) .
Osteoporosis yang dikenal dengan keropos tulang menurut WHO adalah penyakit
skeletal sistemik dengan karakteristik massa tulang yang rendah dan perubahan
mikroarsitektur dari jaringan tulang dengan akibat meningkatnya fragilitas tulang dan
meningkatnya kerentanan terhadap tulang patah. Osteoporosis adalah kelainan dimana
terjadi penurunan massa tulang total (Lukman, Nurma Ningsih : 2009).
Osteoporosis adalah kelainan di mana terjadi penurunan massa tulang total.
Terdapat perubahan pergantian tulang homeostasis normal, kecepatan resorpsi tulang
lebih besar dari kecepatan pembentukan tulang, pengakibatkan penurunan masa tulang
total. Tulang secara progresif menjadi porus, rapuh dan mudah patah; tulang menjadi
mudah fraktur dengan stres yang tidak akan menimbulkan pengaruh pada tulang normal
(Brunner&Suddarth, 2000).

2.2 Klasifikasi Osteoporosis


Klasifikasi osteoporosis dibagi ke dalam dua kelompok yaitu osteoporosis primer
dan osteoporosis sekunder. Osteoporosis primer terdapat pada wanita postmenopause
(postmenopause osteoporosis) dan pada laki-laki lanjut usia (senile osteoporosis).
Penyebab osteoporosis belum diketahui dengan pasti. Sedangkan osteoporosis sekunder
disebabkan oleh penyakit yang berhubungan dengan Kelainan endokrin misalnya
Chusing’s disease, hipertiriodisme, hiperparatiriodisme, hipogonadisme, kelainan hepar,
gagal ginjal kronis, kurang gerak, kebiasaan minum alcohol, pemakaian obat-
obatan/kortikosteroid, kelebihan kafein, dan merokok (Lukman, Nurma Ningsih : 2009).
Djuwantoro (1996), membagi osteoporosis menjadi osteoporosis postmenopause
(Tipe I), Osteoporosis involutional (Tipe II), osteoporosis idiopatik, osteoporosis juvenil
dan osteoporosis sekunder.

1) Osteoporosis Postmenopause (Tipe I)


Merupakan bentuk yang paling sering ditemukan pada wanita kulit putih dan
Asia. Bentuk osteoporosis ini disebabkan oleh percepatan resopsi tulang yang
berlebihan dan lama setelah penurunan sekresi hormon estrogen pada masa
menopause.
2) Osteoporosis involutional (Tipe II)
Terjadi pada usia diatas 75 tahun pada perempuan maupun laki-laki. Tipe ini
diakibatkan oleh ketidakseimbangan yang samar dan lama antara kecepatan resorpsi
tulang dengan kecepatan pembentukan tulang.
3) Osteoporosis idiopatik
Adalah tipe osteoporosis primer yang jarang terjadi pada wanita
premenopouse dan pada laki-laki yang berusi di bawah 75 tahun. Tipe ini tidak
berkaitan dengan penyebab sekunder atau faktor resiko yang mempermudah
timbulnya penurunan densitas tulang.
4) Osteoporosis juvenil
Merupakan bentuk yang paling jarang terjadi dan bentuk osteoporosis yang
terjadi pada anak-anak prepubertas.
5) Osteoporosis sekunder.
Penurunan densitas tulang yang cukup berat untuk menyebabkan fraktur
atraumatik akibat faktor ekstrinsik seperti kelebihan kortikosteroid, atraumatik
reumatoid, kelainan hati/ ginjal kronis, sindrom malabsorbsi, mastisitosis sistemik,
hipertiriodisme , varian status hipogonade dan lain-lain.

2.3 Etiologi Osteoporosis


Osteoporosis postmenopouse terjadi karena kekurangan estrogen (hormon utama
pada wanita), yang membantu mengatur pengangkutan kalsium ke dalam tulang pada
wanita. Biasanya gejala timbul pada wanita yang berusia diantara 51-75 tahun, tetapi bisa
mulai muncul lebih cepat ataupun lebih lambat. Tidak semua wanita memiliki resiko
yang sama untuk menderita osteoporosis postmenopouse, pada wanita kulit putih dan
daerah timur lebih mudah menderita penyakit ini daripada wanita kulit hitam (Lukman,
Nurma Ningsih : 2009).
Osteoporosis senilis kemungkinan merupakan akibat dari kekurangan kasium
yang berhubungan dengan usia dan ketidakseimbangan diantara kecepatan hancurnya
tulang dan pembentukan tulang yang baru. Senilis yaitu keadaan penurunan masa tulang
yang hanya terjadi pada usia lanjut. Penyakit ini biasanya terjadi pada usia diatas 70
tahun dan dua kali lebih sering menyerang wanita. Wanita sering kali menderita
osteoporosis senilis dan postmenopouse (Lukman, Nurma Ningsih : 2009).
Kurang dari lima persen penderita osteoporosis juga mengalami osteoporosis
sekunder, yang disebabkan oleh keadaan medis lainnya atau oleh obet-obatan. Penyakit
ini bisa disebabkan oleh gagal ginjal kronis dan kelainan hormonal (terutama tiroid,
paratiroid, dan adrenal) dan obat- obatan (misalnya kortikosteroid, barbiturat, anti-kejang,
hormon tiroid yang berlebihan). Pemakaian alkohol yang berlebihan dan kebiasaan
merokok bisa memperburuk keadaan ini (Lukman, Nurma Ningsih : 2009).
Osteoporosis juvenil idiopatik merupakan jenis osteoporosis yang penyebabnya
tidak diketahui. Hal ini terjadi pada anak-anak dan dewasa yang normal dan tidak
memiliki penyebab yang jelas dari rapuhnya tulang (Lukman, Nurma Ningsih : 2009).
Faktor genetik juga berpengaruh terhadap timbulnya osteoporosis. Pada seseorang
dengan tulang yang kecil akan lebih mudah mendapat risiko fraktur daripada seseorang
dengan tulang yang besar. Sampai saat ini tidak ada ukuran universal yang dapat dipakai
sebagai ukuran tulang normal. Setiap individu memiliki ketentuan normal sesuai dengan
sifat genetiknya beban mekanis dan besar badannya. Apabila individu dengan tulang
besar, kemudian terjadi proses penurunan massa tulang (osteoporosis) sehubungan
dengan lanjutnya usia, maka individu tersebut relatif masih mempunyai tulang lebih
banyak daripada individu yang mempunyai tulang kecil pada usia yang sama (Lukman,
Nurma Ningsih : 2009).

2.4 Patofisiologi Osteoporosis


Genetik, nutrisi, gaya hidup (misal merokok, konsumsi kafein, dan alkohol), dan
aktivitas mempengaruhi puncak massa tulang. Kehilangan masa tulang mulai terjadi
setelah tercaipainya puncak massa tulang. Pada pria massa tulang lebih besar dan tidak
mengalami perubahan hormonal mendadak. Sedangkan pada perempuan, hilangnya
estrogen pada saat menopouse  dan pada ooforektomi mengakibatkan percepatan resorpsi
tulang dan berlangsung terus selama tahun-tahun pasca menopouse (Lukman, Nurma
Ningsih : 2009).
Diet kalsium dan vitamin D yang sesuai harus mencukupi untuk mempertahankan
remodelling tulang selama bertahun-tahun mengakibatkan pengurangan massa tulang dan
fungsi tubuh. Asupan kasium dan vitamin D yang tidak mencukupi selama bertahun-
tahun mengakibatkan pengurangan massa tulang dan pertumbuhan osteoporosis. Asupan
harian kalsium yang dianjurkan (RDA : recommended daily allowance) meningkat pada
usia 11 – 24 tahun (adolsen dan dewasa muda) hingga 1200 mg per hari, untuk
memaksimalakan puncak massa tulang. RDA untuk orang dewasa tetap 800 mg, tetapi
pada perempuan pasca menoupose 1000-1500 mg per hari. Sedangkan pada lansia
dianjurkan mengkonsumsi kalsium dalam jumlah tidak terbatas. Karena penyerapan
kalsium kurang efisisien dan cepat diekskresikan melalui ginjal (Smeltzer, 2002).
Demikian pula, bahan katabolik endogen (diproduksi oleh tubuh) dan eksogen
dapat menyebabkan osteoporosis. Penggunaan kortikosteroid yang lama, sindron
Cushing, hipertiriodisme dan hiperparatiriodisme menyebabkan kehilangan massa tulang.
Obat- obatan seperti isoniazid, heparin tetrasiklin, antasida yang mengandung
alumunium, furosemid, antikonvulsan, kortikosteroid dan suplemen tiroid mempengaruhi
penggunaan tubuh dan metabolisme kalsium.
Imobilitas juga mempengaruhi terjadinya osteoporosis. Ketika diimobilisasi
dengan gips, paralisis atau inaktivitas umum, tulang akan diresorpsi lebih cepat dari
pembentukannya sehingga terjadi osteoporosis
.

2.5 Manifestasi Klinis Osteoporosis


Kepadatan tulang berkurang secara perlahan, sehingga pada awalnya osteoporosis
tidak menimbulkan gejala pada beberapa penderita. Jika kepadatan tulang sangat
berkurang yang menyebabkan tulang menjadi kolaps atau hancur, maka akan timbul nyeri
tulang dan kelainan bentuk. Tulang-tulang yang terutama terpengaruh pada osteoporosis
adalah radius distal, korpus vertebra terutama mengenai T8-L4, dan kollum femoris
(Lukman, Nurma Ningsih : 2009).
Kolaps tulang belakang menyebabkan nyeri punggung menahun. Tulang belakang
yang rapuh bisa mengalami kolaps secara spontan atau karena cedera ringan. Biasanya
nyeri timbul secara tiba-tiba dan dirasakan di daerah tertentu dari pungung yang akan
bertambah nyeri jika penderita berdiri atau berjalan. Jika disentuh, daerah tersebut akan
terasa sakit, tetapi biasanya rasa sakit ini akan menghilang secara bertahap setelah
beberapa minggu atau beberapa bulan. Jika beberapa tulang belakang hancur, maka akan
terbentuk kelengkungan yang abnormal dari tulang belakang (punuk), yang menyebabkan
terjadinya ketegangan otot dan rasa sakit (Lukman, Nurma Ningsih : 2009).
Tulang lainnya bisa patah, yang sering kali disebabkan oleh tekanan yang ringan
atau karena jatuh. Salah satu patah tulang yang paling serius adalah patah tulang panggul.
Selain itu , yang juga sering terjadi adalah patah tulang lengan (radius) di daerah
persambungannya dengan pergelangan tangan, yang disebut fraktur Colles. Pada
penderita osteoporosis, patah tulang cenderung mengalami penyembuhan secara perlahan
(Lukman, Nurma Ningsih : 2009).

2.6 Penatalaksanaan Osteoporosis


Pengobatan osteoporosis yang telah lama digunakan yaitu terapi medis yang lebih
menekankan pada pengurangan atau meredakan rasa sakit akibat patah tualng. Selain itu,
juga dilakukan terapi hormone pengganti (THP) atau hormone replacement therapy
(HRT) yaitu menggunakan estrogen dan progresteron. Terapi lainnya yaitu terapi non
hormonal antara lain suplemen kalsium dan vitamin D.
2.6.1 Terapi medis.
Sebenarnya belum ada terapi yang secara khusus dapat mengembalikan efek
dari osteoporosis. Hal yang dapat dilakukan adalah upaya-upaya untuk menekan atau
memperlambat menurunnya massa tulang serta mengurangi rasa sakit.
a) Obat pereda sakit
Pada tahap awal setelah terjadinya patah tulang, biasanya diperlukan obat
pereda sakit yang kuat, seperti turunan morfin. Namun, obat tersebut memberikan
efek samping seperti mengantuk, sembelit dan linglung. Bagi yang mengalami
rasa sakit yang sangat dan tidak dapat diredakan dengan obat pereda sakit, dapat
diberikan suntikan hormone kalsitonin.
Bila rasa sakit mulai mereda, tablet pereda rasa sakit seperti paracetamol
atau codein ataupun kombinasi keduanya seperti co-dydramol, co- codramol, atau
co-proxamol bagi banyak pasien cukup memadai untuk menghilangkan rasa sakit
sehingga pasien dapat melakukan aktivitas sehari-hari.
2.6.2 Terapi hormone pada wanita
Osteoporosis memang tidak dapat disembuhkan, semua upaya pengobatan
hanya dimaksudkan untuk mencegah kehilangan massa tulang yang lebih besar.
Namun, demikian, pengobatan masih perlu dilakukan pada kasus osteoporosis berat
untuk mencegah terjadinya patah tulang. Obat-obat untuk mencegah penurunan massa
tulang biasanya bekerja lambat dan efeknya kurang terasa sehingga banyak pasien
penderita osteoporosis merasa putus asa dan menghentikan pengobatan. Hal tersebut
sangat tidak baik karena pengobatan jangka panjang diperlukan untuk dapat secara
maksimal menekan laju penurunan massa tulang dan patah tulang.

Terapi hormone pada wanita diberikan pada masa pramenopause. Lamanya


pemberian terapi hormone sulit ditentukan. Yang jelas jika ingin terhindar dari
osteoporosis, terapi hormone dapat terus dilakukan. Sebagian dokter menganjurkan
untuk dilakukan terapi hormone seumur hidup semenjak menopause pada wanita
yang mengalami osteoporosis. Namun, sebagian juga berpendapat bahwa penggunaan
terapi hormone sebaiknya dihentikan setelah penggunaan selama 5-10 tahun untuk
menghindari kemungkinan terjadinya kanker.
a) Hormone Replacement Theraphy (HRT)
Hormone Replacement Theraphy (HRT) atau terapi hormone pengganti
(THP) menggunakan hormone estrogen atau kombinasi estrogen dan
progesterone. Hormone-hormon tersebut sebenarnya secara alamiah diproduksi
oleh indung telur, tetapi produksinya semakin menurun selama menopause
sehingga perlu dilakukan HRT.
Penggunaan estrogen memang efektif  dalam upaya pengobatan dan
pencegahan osteoporosis. Namun, tidak terlepas dari kemungkinan terjadinya efek
samping berupa munculnya kanker endometrium (dinding rahim). Dengan adanya
hormone tersebut akan merangsang pertumbuhan sel-sel di dinding rahim yang
apabila pertumbuhannya terlalu pesat dapat berkembang menjadi kanker ganas.
Oleh karena itu, penggunaan estrogen biasanya di kombinasikan dengan
progesterone untuk mengurangi resiko tersebut.
Efek lain yang juga dapat timbul dalam pemberian terapi hormone,
diantaranya adalah pembesaran payudara, kembung, retensi cairan, mual, muntah,
sakit kepala, gangguan pencernaan, dan gangguan emosi. Namun, demikian, efek
tersebut biasanya hanya terjadi pada awal terapi dan kondisi berangsur membaik
dengan sendirinya. Dapat juga dilakukan pemberian hormone estrogen dan
progesterone secara bertahap, dosis kecil diberikan pada awal terapi dilihat dulu
reaksinya terhadap tubuh. Bila dosis dapat diterima tubuh, dosis kemudian
dinaikkan secara bertahap.
b) Kalsitonin.
Selain hormone estrogen dan progesterone, hormone lain yang biasa
digunakan dalam pencegahan dan pengobatan osteoporosis adalah kalsitonin.
Kalsitonin turut menjaga kestabilan struktur tulang dengan mengaktifkan kerja sel
osteoblast dan menekan kinerja sel osteoclast.
Kalsitonin juga berperan dalam mengurangi rasa sakit yang mungkin
timbul pada keadaan patah tulang. Hormone ini secara normal dihasilkan oleh
kelenjar tiroid yang memiliki sifat meredakan rasa sakit yang cukup ampuh.
Kalsitonin biasanya diberikan dalam bentuk suntikan yang diberikan setiap hari
atau dua hari sekali selama dua atau tiga minggu. Hormone ini juga dapat
menimbulkan efek samping  berupa  rasa mual dan muka merah, mungkin pula
terjadi muntah dan diare serta rasa sakit pada bekas suntikan.
c) Testosterone
Testosterone adalah hormone yang biasa dihasilkan oleh tubuh pria.
Penggunaan hormone testosterone pada wanita dengan osteoporosis pasca
menopause mampu menghambat kehilangan massa tulang. Namun, dapat muncul
efek maskulinasi seperti penambahan rambut secara berlebihan di dada, kaki,
tangan, timbulnya jerawat dimuka dan pembesaran suara seperti yang biasa terjadi
pada pria.
2.6.3 Terapi non-hormonal
Terapi hormone selama ini memang dianggap sebagai jalan yang paling baik
untuk mengobati osteoporosis. Namun, karena banyaknya efek samping yang dapat
ditimbulkan  dan tidak dapat diterapkan pada semua pasien osteoporosis, maka
sekarang mulai dikembangkan terapi non-hormonal.
a) Bisfosfonat
Bisfosfonat merupakan golongan obat sintetis yang saat ini sangat dikenal
dalam pengobatan osteoporosis non-hormonal. Efek utama dari obat ini adalah
menonaktifkan sel-sel penghancur tulang (osteoclast) sehingga penurunan massa
tulang dapat dihindari. Obat-obat yang termasuk golongan bisfosfonat adalah
etidronat dan alendronat.
b) Etidronat.
Etidronat adalah obat golongan bisfosfonat pertama yang biasa digunakan
dalam pengobatan osteoporosis. Obat ini diberikan dalam bentuk tablet dengan
dosis satu kali sehari selama dua minggu. Penggunaan obat ini harus
dikombinasikan dengan konsumsi suplemen kalsium. Namun, perlu diperhatikan
agar konsumsi suplemen kalsium harus dihindari dalam waktu dua jam sebelum
dan sesudah mengkonsumsi etidronat karena dapat mengganggu penyerapannya.
Kadang kala konsumsi etidronat memberikan efek samping,tetapi relative kecil.
Misalnya timbul mual, diare, ruam kulit dan lain-lain.
c) Alendronat
Alendornat mempunyai fungsi dan peran yang serupa dengan etidronat,
perbedaannya adalah pada penggunaannya tidak perlu dikombinasikan dengan
konsumsi suplemen kalsium, tetapi  bila asupan kalsium masih rendah, pemberian
kalsium tetap dianjurkan. Efek samping yang mungkin ditimbulkan pada
konsumsi alendronat adalah timbulnya diare, rasa sakit dan kembung pada perut,
serta gangguan pada tenggorokan.
2.6.4 Terapi alamiah
Terapi alamiah adalah terapi yang diterapkan untuk mengobati osteoporosis
tanpa menggunakan obat-obatan atau hormone. Terapi ini berhubungan dengan gaya
hidup dan pola konsumsi. Beberapa pencegahan yang dapat diberikan yaitu dengan
berolahraga secara teratur, hindari merokok, hindari minuman beralkohol dan
menjaga pola makan yang baik.

2.7 Pemeriksaan Diagnostik


Sebenarnya langkah terbaik dalam penanganan osteoporosis adalah pencegahan
karena bila sudah terkena susah, bahkan tidak dapat dipulihkan. Seyogyanya, sedini
mungkin dilakukan diagnosis untuk mendeteksi keadaan massa tulang sebelum  terjadi
akibat yang lebih fatal seperti  terjadinya patah tulang . penilaian langsung tulang untuk
mengetahui ada tidaknya osteoporosis  dapat dilakukan dengan berbagai cara , yaitu
sebagai berikut :

 Pemeriksaan radiologic
Saat ini, sing dkk telah mengembangkan indeks sing untuk mengukur ketebalan colum
femaris  dan komponen-komponen trabekulasinya  secara radiologic . caranya dengan
menganalisis  komponen-komponen yang berkolerasi  cukup tepat dengan adanya
osteoporosis. Namun hasil pengukuran  pengukuran ini masih sangat lemah untuk
mendiagnosis  adanya osteoporosis. Pada pemeriksaan radiologic  ini digunakan X-ray
konvensional sehingga osteoporosis  baru akan terlihat apabila massa tulang sudah
berkurang hingga 30% atau lebih
 Pemeriksaan radioisotope
Pemeriksaan ini menggunakan sinar foton radionuklida yang dapat mendeteksi 
densitas tulang dan ketebalan korteks tulang. Ada dua jenis pemeriksaan yaitu : single
photon absorptiometry dan dual photon absorptiometry.
a.       Single photon absorptiometry (SPA) sinar photon bersumber dari 1-125 dengan
dosis 200 mci yang diperiksa.
b.      Dual photon absorptiometry (DPA) sinar photon bersumber dari nuklida  GA-135
sebanyak 1,5 Cl  yang mempunyai energy (44 kev dan 100 kev). Pemeriksaan ini
digunakan  untuk mengukur vertebra  dan colum femoris.

 Pemeriksaan Quantitative
Computerized Tamography (QCT). Quantitative computerized tomography (QCT) merupakan
salah satu cara yang dipakai untuk mengukur mineral tulang karena dapat menilai secara
volumetric trabekulasi  tulang radius , tibia, dan vertebra.  keuntungan QCT adalah tidak
dipengaruhi  oleh korteks  dan artefak  kalsifikasi osteosit  dan kalsifikasi  aorta, serta tidak
perlu diperhitungkan  dengan berat badan dan tinggi badan. Kerugiannya adalah paparan
radiasinya  yang jauh lebih tinggi dibandingkan dengan jenis pemeriksaan lainnya.

 Magnetic resonance imaging (MRI)


Cara ini dapat mengukur struktur trabekuler tulang dan kepadatannya. Alat tersebut tidak
memakai radiasi, melainkan hanya dengan lapangan  magnet yang sangat kuat.

 Quantitative Ultra Sound (QUS)


Cara ini menggunakan kecepatan gelombang suara ultra yang menembus tulang. Kemudian
dinilai atenuasi  kekuatan dan daya tembus melalui tulang yang dinyatakan  sebagai pita
lebar ultrasonic (ultrasound broad band ) dan kekuatan (stiffness). Keuntungannya  adalah
mudah  dibawah kemana-mana , tetapi kerugiannya adalah tidak dapat  mengetahui
lokalisasi osteoporosis  secara tepat.
 Densitometer (X-ray absorptiometry)
Menggunakan radiasi sinar X  yang sangat rendah. Ada dua jenis X-ray
absorptiometry yaitu SXA (Single X-ray absorptiometry) yang juga disebut scan
tulang. Pengukuran dilakukan  pada tulang yang kemungkinan mudah patah, seperti
tulang belakang, pinggul, dan pergelangan tangan  atau seluruh rangka tubuh.
Nilai massa tulang yang didapat dari pengukuran ini disebut kerapatan mineral tulang
(BMD= bone mineral density). Pengukuran ini tidak menimbulkan rasa sakit, mudah
dilakukan, hasil pemeriksaan diperoleh dalam waktu singkat, dan relative aman.
Walaupun menggunakan sinar X, tingkat radiasinya sangat kecil ,  seingkali lebih
kecil dari radiasi alamiah. Oleh karenanya, pengukuran dapat dilakukan pada anak-
anak dan ibu hamil, serta dapat pula di ulang bila diperlukan.

 Tes darah dan urine


Sebenarnya osteoporosis tidak dapat di deteksi menggunakan tes darah dan urine.
Namun demikian tes itu  kedua tes ini masih mungkin dilakukan untuk mengetahui 
dan melihat kondisi lain yang terkait  dengan hilangnya  massa tulang.

2.8 Komplikasi
Osteoporosis mengakibatkan tulang secara progresif menjadi panas, rapuh dan mudah patah.
Osteoporosis sering mengakibatkan fraktur. Bisa terjadi fraktur kompresi vertebra torakalis dan
lumbalis, fraktur daerah kolum femoris dan daerah trokhanter, dan fraktur colles pada pergelangan
tangan.

2.9 Prinsip Pengobatan dan Pencegahan


Prinsip Pengobatan
o Meningkatkan pembentukan tulang, obat-obatan yg dapat meningkatkan pembentukan
tulan adalah Na-fluorida dan steroid anabolik
o Menghambat resobsi tulang, obat-obatan yang dapat mengahambat resorbsi tulang
adalah kalsium, kalsitonin, estrogen dan difosfonat.
Pencegahan
Pencegahan sebaiknya dilakukan pada usia pertumbuhan/dewasa muda, hal ini bertujuan:
Mencapai massa tulang dewasa Proses konsolidasi) yang optimal Mengatur makanan dan
life style yang menjadi seseorang tetap bugar seperti:
1. Diet mengandung tinggi kalsium (1000 mg/hari)
2. Latihan teratur setiap hari
3. Hindari : Makanan tinggi protein Minum alkohol Merokok Minum kopi Minum
antasida yang mengandung aluminium
BAB III

TINJAUAN KASUS

3.1 PENGKAJIAN
Hari/ Tgl : 06 Novemer 2018
Jam : 16.00 WIB
1. Identitas
a. Nama : Ny.W
b. Tempat /tgl lahir : Malang, 08 Januari 1958
c. Jenis Kelamin : Perempuan
d. Status Perkawinan : Menikah
e. Agama : Islam
f. Suku : Jawa
2. Riwayat Pekerjaan dan Status Ekonomi
a. Pekerjaan saat ini : Ibu Rumah Tangga
b. Pekerjaan sebelumnya : Swasta
c. Sumber pendapatan : Rp600.000,00/bulan
d. Kecukupan pendapatan : Cukup
3. Lingkungan tempat tinggal
Kebersihan dan kerapihan ruangan : Lingkungan bersih dan ruangan rapi
Penerangan: Cukup terang
Sirkulasi udara : Sirkulasi udara memadai
Keadaan kamar mandi &WC : Kamar mandi dan WC bersih
Pembuangan air kotor : Langsung menuju ke sungai terdekat
4. Riwayat Kesehatan
a. Status Kesehatan saat ini
1. Keluhan utama dalam 1 tahun terakhir : Pasien mengatakan bahwa merasakan nyeri
pada punggung nya
2. Gejala yang dirasakan : Pasien mengatakan bahwa nyeri pada punggungnya dan
mengatakan bahwa ia mengalami kesulitan untuk beraktivitas.
3. Faktor pencetus : Usia dan pola makan
4. Timbulnya keluhan : ( ) Mendadak ( √) Bertahap
b. Riwayat Kesehatan Masa Lalu
1. Penyakit yang pernah diderita : Pasien mengatakan tidak pernah mengalami sakit
2. Riwayat alergi ( obat, makanan, binatang, debu dll ) : Tidak memiliki alergi
3. Riwayat kecelakaan : Tidak pernah
4. Riwayat pernah dirawat di RS : Tidak pernah
5. Riwayat pemakaian obat : Tidak meminum obat-obatan
5. Pola Fungsional
No. Pola kesehatan
a. Persepsi dan pola Pasien tampak baik karena pasien tidak pernah neko-
manajemen neko dalam kesehatannya
kesehatan
b. Pola Pasien makan 3x1hari dengan gizi seimbang, frekuensi
makan/nutrisi 1 porsi habis, pasien tidak memiliki alergi terhadap
makanan, minum +/- 8 gelas/hari, frekuensi minum +/-
2000ml/hari
c. Pola eliminasi BAK : +/- 5x/hari, warna kencing kuning cerah, bau
khas kencing
BAB : 2x/hari lancar, padat dengan bau khas, berwarna
kecoklatan
d. Pola aktivitas Pasien membersihkan rumahnya
e. Pola istirahat Klien tidur 8 jam/hari
tidur Tidur siang 1 jam/hari,
malam 7 jam/hari
f. Pola kognitif Penglihatan pasien mengalami kabur, dengan
pendengaran yang kurang tajam
g. Pola personal Mandi 2x perhari, pakai
hygiene sabun, mandi pagi dan sore
secara mandiri
h. Pola keyakinan Pasien tetap menjalankan sholat karena dengan sholat
dan tetap dekat dengan Allah maka pasien yakin akan
jika dia selalu sehat
6. Pemeriksaan Fisik
a. Keadaan umum : Baik
b. TTV :
Suhu : 36,5o C
TD : 110/70 mmHg
Nadi : 78x/menit
RR : 18x/menit
c.BB/TB : BB : 54 kg
TB : 150 cm
d. Kepala
Wajah : tampak grimace (-) dan keriput
Rambut : putih tidak rata dan bersih
Hidung : tidak terdapat polip, bersih
Mata : simetris, konjunktiva anemis, sklera putih kekuningan, pupil baik terhadap
rangsangan cahaya
Telinga : simetris kanan kiri, ukuran sedang bersih, pendengaran kurang baik
Mulut, gigi dan bibir : bibir tampak merah kehitaman, gigi tampak putih kekuningan,
dan mulut bersih tapi berbau
e.Leher : simetris dan tidak ada pembesaran kelenjar limfe
Pemeriksaan f.Thorak g.Cardiovascular h.Abdomen

Palpasi Vocal remitus Ictus cordis teraba Saat dipalpasi perutnya


: Normal ada tidak teraba adanya
getaran pembesaran hepar dan
tidak ada nyeri tekan
Perkusi Batas paru Batas jantung Timpani
kanan :
normal: batas
Normal
atas (N=ICS II),
Batas paru
batas bawah
kiri : Normal
(N=ICS V),
batas kiri (N=ICS
V Mid Clavikula
Sinistra),
batas kanan
(N=ICS IV Mid
Sternalis Dextra)
Batas kanan :
Pekak
Batas kiri :Pekak
Auskultasi Tidak ada S1 S2 tunggal Adanya suara bising
suara nafas usus 12x/menit
tambahan
seperti ronchi
dan whezing
Inspeksi Pergerakan Ictus cordis tidak Bentuknya datar
dada simetris, tampak
bentuknya
normal chest
h. Kulit : tidak terdapat penyakit kulit

Anda mungkin juga menyukai