Anda di halaman 1dari 11

1.

Agama-agama dari luar datang ke Indonesia

Sejak abad-abad pertama tarikh masehi, Indonesia mempunyai hubungan perdagangan


dengan wilayah-wilayah Asia lainnya. Ada jalan dagang dari Tiongkok melalui kepulauan
Nusantara ke India, Persia, Mesir dan Eropa dan sebaliknya. Barang dagangan yang dihasilkan
Indonesia ialah rempah-rempah yang terutama berasal dari Maluku.

Pada zaman Mojopahit, orang-orang jawalah yang menguasai perdagangan antara daerah
rempah-rempah di Maluku dan pelabuhan-pelabuhan di Sumatera dan di semenanjung Melayu.

Pada tahun 1292, kota Perlak di Sumatera Utara (Aceh) sudah beralih kepada agama
islam, disusul oleh banyak kota lain di daerah pesisir Malaya, Sumatera, Jawa, dan Maluku.
Hubungan erat antara lalulintas dagang dengan dakwah islam menjelaskan mengapa Ternate
masuk islam terlebih dahulu (± 1480) daripada Sulawesi Selatan (± 1600). Pedagang-pedagang
jawa membawa islam ke Maluku.

2. Agama Kristen orang-orang Barat

Orang-orang Portugis dan Spanyol menganut agama Kristen Katolik. Perjanjian baru
untuk pertama kali diterjemahkan dalam bahasa portugis menjelang akhir abad ke-18.
Masyarakat Eropa dalam abad pertengahan masih mengakui kesatuan azasi seluruh kehidupan.
Tugas Negara adalah melayani gereja, melindungi iman Kristen dari serangan musuh-musuhnya,
dan mendukung penyiarannya ke luar.

Dalam gereja abad pertengahan, pertarakan dipandang sebagai bentuk kehidupan Kristen
yang paling tinggi. Orang-orang menuntut kehidupan yang demikian berkumpul membentuk
ordo-ordo, misalnya ordo Fransiskan, ordo Dominikan, di kemudian hari juga Serikat Yesus.
Mereka adalah orang-orang Kristen yang sangat bersemangat. Oleh karena itu,anggota-anggota
ordo cocok sekali untuk dipakai sebagai tenaga misionaris. Dari ordo-ordo itu hamper semua
missionaris di Indonesia. Itulah agama orang-orang Barat yang pertama datang ke Indonesia,
yaitu orang-orang Portugis dan Spanyol.

3. Orang-orang Barat datang ke Indonesia

Pada tahun 1511, kota Malaka direbut oleh orang-orang Portugis, dan kapal-kapal mereka
muncul di perairan Jawa dan Maluku. Mereka sudah berhasil menaklukkan Malaka, pusat
perdagangan yang utama antara Maluku dan India. Beberapa tahun kemudian, mereka
mendirikan benteng di Ternate (1522). Ternate menjadi pangkalan tentara dan misi Portugis di
Indonesia Timur, dan nasib misi akan tergantung dari hubungan orang-orang Portugis dengan
penguasa-penguasa setempat, khususnya Sultan Ternate. Di Maluku, orang-orang Portugis
mendapat sekutu terutama di Halmahera, dan berganti-ganti di Ternate atau Tidore. Persekutuan
politik sering disertai dan diperkokoh oleh beralihnya pihak Indonesia ke agama Kristen. Antara
tahun 1570-1600, kekuasaan ternate semakin besar, dan orang-orang Portugis semakin terdesak,
dan karena ansib misi sama sekali terikat pada nasib Negara, maka misi itu ikut menderita.
Orang-orang Portugis mulai diusir dari nusantara (kecuali NTT) oleh orang-orang Eropa lain,
yaitu orang-orang Belanda.

Alasan orang-orang Belanda datang ke Asia tidak jauh berbeda dari alasan-alasan yang
telah mendorong orang-orang Portugis sebelumnya. Sebagai pedagang, orang-orang Belanda
tidak mengutamakan pekabaran injil. Mereka mengakui kewajiban Negara ( di Indonesia : VOC)
untuk mendukung kehidupan gereja pada umumnya dan usaha pekabaran injil pada khususnya.
akan tetapi, kompeni itu hanya memperhatikan penyiaran agama Kristen ke luar, apabila hal itu
membawa keuntungan baginya, misalnya di Maluku. Dengan dikristenkannya mereka, maka
VOC memperoleh rakyat yang setia. Usaha VOC untuk memperoleh monopoli perdagangan,
berarti VOC tidak suka melihat adanya kegiatan-kegiatan orang Indonesia sendiri. Tetapi di
bidang gerejani pun orang-orang Indonesia tidak diperbolehkan berdiri sendiri dan menempuh
jalan sendiri.

Hal ini membawa akibat yang hampir fatal ketika kekuasaan VOC mundur yaitu pada
akhir abad ke 18. sekali lagi, gereja terseret dalam kemerosotan Negara yang kepadanya ia
terikat. Jumlah pendeta berkurang, jemaat-jemaat di luar pusat tidak bisa dilayani lagi dank arena
belum pernah diberi kesempatan untuk berdiri sendiri, jemaat-jemaat itu tidak dapat
mempertahankan diri.

4. Misi di Maluku sampai tahun-tahun 1540-an.

Sekitar tahun 1500, daerah Maluku mengalami perubahan-perubahan besar di bidang


politis dan agamani. Sebelumnya, seluruh daerah itu menganut agama nenek moyang. Tetapi
pada akhir abad ke 15, beberapa Raja di pulau-pulau kecil lepas pantai Halmahera memeluk
agama baru, yang telah dibawa oleh pedagang-pedagang dari Indonesia barat yakni agama islam.
Dengan demikian terjadi empat kerajaan islam, yaitu Ternate, Tidore, Bacan, dan Jailolo. Di
Maluku selatan juga sejumlah kampung masuk islam pada zaman itu. dari segi politis, masuknya
agama islam berarti masunya faktor baru dalam pertikaian antara kampung dan suku. Secara
khusus, sultan-sultan Ternate berusaha menaklukkan daerah-daerah lain di Maluku utara dan
diluarnya, sekaligus menyebarkan agama islam.

Beberapa puluh tahun setelah kedatangan islam, masuklah golongan lain lagi ke Maluku.
mereka ini pedagang juga, dan mereka membawa serta agama baru pula. Setelah merebut kota
malaka, pusat perdagangan di Asia Tenggara, orang-orang Portugis segera berlayar terus ke
daaerah penghasil rempah-rempah yang diperdagangkan di kota tersebut, yaitu ke Maluku.
Disana mereka disambut dengan baik oleh sultan Ternate. Sultan ini memberi mereka
kesempatan membangun benteng di Ternate. Pulau ini menjadi pangkalan tentara dan saudagar-
saudagar portugis di Indonesia Timur, dan dengan sendirinya menjadi juga pusat misi.
Selanjutnya, nasib agama Kristen di Indonesia Timur akan tergantung dari hubungan orang-
orang Portugis dengan Sultan Ternate.
Hubungan ini ditentukan oleh tiga faktor, dari segi ekonomi dan politis, sultan ini
mempunyai kepentingan bersama dengan orang-orang Portugis. Mereka dapat membantu dia
terhadap raja-raja lain dalam memperoleh monopoli penjualan rempah-rempah dan dalam
memperluas wilayah kekuasaannya. Sebaliknya dari segi agama, sultan tidak senang melihat
kemajuan misi di daerah sekitar ternate. Lebih-lebih karena orang-orang yang masuk Kristen
dengan cara itu menjadi sekutu atau rakyat Portugal. Kedua faktor ini saling mengimbangi.
Orang-orang portugis (dan orang-orang Eropa lainnya) yang pada zaman itu datang ke daerah-
daerah di seberang lautan, kebanyakan merupakan orang-orang buangan, sampah masyarakat
bagi mereka, berzinah, mabuk-mabukan, berkelahi, menipu, memeras adalah perbuatan biasa-
biasa saja. Perbuatan-perbuatan itu memuncak dalam pembunuhan atas diri sultan Hairun dari
Ternate. Kelakuan mereka itu membuat nama orang-orang Eropa disini berbau busuk, dan
mempersulit, akhirnya malah merusakkan usaha-usaha kaum rohaniawan untuk membangun
jemaat Kristen pribumi. Sebab orang-orang pertama yang masuk Kristen ditarik oleh seorang
awam, hal ini terjadi di Pulau Halmahera. Di bagian utara pulau ini, Islam sudah mulai masuk
sekitar tahun 1530. Beberapa kampung sudah menerima agama yang baru itu. Tetapi kampung
Mamuya tetap berpegang kepada agama nenek moyang. Penduduk Mamuya terus-menerus
diganggu tetangganya. Mungkin sekali dalam hal ini agama hanya merupakan pokok pertikaian
baru antara kampung-kampung yang sudah lama berkelahi.

Pada tahun 1533/4 datanglah seorang asing menetap di daerah Mamuya dengan maksud
hendak berdagang. Ia termasuk orang-orang kulit Putih yang katanya sudah mendirikan suatu
benteng di Ternate. Agamanya bukan agama nenek moyang dan bukan Islam pula. Tampaknya
Malaya tidak begitu suka akan agama islam. Hal ini member harapan kepada orang-orang
Mamuya : mungkin orang ini dapat menjadi sekutu mereka dalam pertikaian dengan
tetangganya. Mereka membawa keluhan-keluhannya kepadanya, Saudagar itu bersikap simpati,
Ia memberi nasehat agar Mamuya mencari perlindungan pada orang-orang Portugis di Ternate
dan supaya perlindungan itu seefektif mungkin. Orang-orang Mamuya menerima pula agama
orang-orang Portugis, yaitu agama Kristen. Dengan demikian tanah maupun jiwa mereka akan
selamat. Saudagar itu masih menambahkan keterangan mengenai kuasa raja Portugal yang jaya
itu, mengenai kepala orang-orang Kristen di Roma, dan mengenai pokok-pokok utama agama
itu.

Kepala Mamuya, yang memakai gelar kolano menyambut baik nasihat orang itu. Selama
beberapa hari mereka diberi pengajaran agama Kristen, lalu mereka dibaptis. Setelah itu mereka
pulang ke kampungnya. Pada kesempatan itu, Ia mendapat nama raja Portugal serta gelar
bangsawan Portugis : Don Joao. Bersama rakyatnya sudah dimasukkan ke dalam “Corpus
Christianum”, ke dalam “umat” Kristen-Portugis. Simon Vaz (yang adalah seorang rahib
Fransiskan), karena teladan hidupnya berhasil menarik sejumlah besar orang di Mamuya dan di
kampung-kampung lain menjadi Kristen. Di setiap kampung yang telah masuk Kristen didirikan
sebuah salib yang besar. Disana dilayankan misa, tetapi untuk sementara waktu yang berkomuni
(menerima roti dan anggur) hanya imam. untuk orang-orang Kristen yang baru itu masih perlu
pendidikan lebih lanjut. Pendidikan itu tentu saja tidak diberikan dalam bahasa daerah yang
begitu singkat tetapi dalam semacam bahasa campuran melayu portugis yang kemudian
diterjemahkan oleh seorang juru bahasa ke dalam bahasa daerah. Mungkin juga orang harus
menghafal rumusan-rumusan pokok iman Kristen, seperti doa Bapa kami, Keduabelas pasal
iman, salam maria, dll. entah dalam bahasa Portugis entah dalam bahasa Melayu. Mereka tidak
dapat berbicara langsung dengan guru mereka dan sebaliknya, itu berarti bahwa Ia ini tidak
mengenal latar belakang kekafiran mereka dan tidak dapat mengarahkan pemberitaannya ke situ.
Sudah ada lapisan baru ditambahkan baru ditambahkan kepada kepercayaan yang lama itu.
Orang mulai mengerti meskipun masih samar-samar tentang suatu Allah yang Esa, mengenai
kristus yang menderita di atas salib, dan mengenai penghukuman yang terakhir tentang neraka
yang mengancam orang-orang berdosa. Semua hal ini masih kurang dipahami dalam otak dan
hati orang, agama yang baru itu perlu diajarkan terus menerus selama puluhan tahun lagi.

Misi di Halmahera tidak berlangsung lama, panglima-panglima Portugis di ternate tidak


berhasil membina persahabatan dengan penduduk Maluku, dan persaingan antara raja Ternate
dengan raja-raja Maluku lainnya seperti persaingan antara Portugis dan Spanyol. Orang-orang
portugis membantu ternate, sedangkan orang-orang Spanyol menjadi sekutu sultan Jailolo. Pihak
Portugal-Ternate, banyak menderita, dan Simon Vaz terbunuh (1535/6). Don Joao meskipun
dipaksa dan diancam tidak mau mengingkari imannya dan masuk islam. Tetapi sejumlah orang
Kristen lain murtad dan menjadi musuh orang-orang portugis.

Pada waktu itu juga datanglah seorang panglima lain, Antonio Galvao (1536-1540).
Galvao adalah seorang yang bijaksana dan selama masa pemerintahannya, misi mendapat angin
kembali. Keadaan di Halmahera utara dipulihkan, beberapa tokoh masyarakat ternate masuk
Kristen karena tertarik oleh pribadi panglima ini. Untuk sementara waktu, di ternate dibuka satu
sekolah, dimana anak-anak Indo-Portugis dan anak-anak Kristen Pribumi belajar membaca dan
menulis, dan menghafal katekismus Katolik-Roma (sama seperti di daerah-daerah yang baru
masuk islam dibuka madrasah-madrasah), tetapi beberapa tahun kemudian sekolah ini ditutup
karena panglima yang mengganti Galvao maupun Pastor Ternate terlalu sibuk dengan urusan
dagangan. Pekerjaan misi di Maluku Utara merosot lagi. Tindakan penguasa-penguasa Portugis
yang sewenang-wenang terhadap orang Kristen sendiri. Pada tahun 1538, orang-orang Portugis
mengalahkan suatu armada besar dari Jawa yang akan membawa bantuan senjata kepada
kampung-kampung Islam di Hitu. Sukses itu membawa beberapa kampung masih menganut
agama nenek moyang kepada keputusan untuk menerima agama Kristen.

5. Prajurit-prajurit Paus

Dalam tahun-tahun 1540-an, suasana misi di Maluku mengalami perubahan. Masuklah


suatu unsure baru yaitu Pater-pater serikat Yesus (orang-orang Yesuit) yang membawa serta
suasana Kontra-Reformasi dari Eropa. Kontra-Reformasi adalah suatu pembaruan dalam tubuh
gereja Katolik-Roma yang berlangsung sejak ± tahun 1540. Gerakan ini ditimbulkan oleh
“Pemberontakan” Protestan terhadap kuasa Roma. Tetapi bukan hanya protestanisme yang
ditentang olehnya. Kontra-Reformasi melawan juga pandangan yang telah muncul pada zaman
Konstantinus Agung, dan yang juga terdapat dalam Ideologi Negara Spanyol dan Portugis yaitu
bahwa gereja adalah alat Negara untuk bidang kerohanian. Ambrosius Agustinus dan Paus-paus
abad pertengahan telah berjuang menentang pandangan itu. Hanya, Paus-paus ini
memutarbalikkan Ideologi-Negara dan menyatakan bahwa Negara adalah pelayan gereja.
Dengan demikian, mereka telah menciptakan suatu Ideologi-Gereja sebagai tanding Ideologi-
Negara. Kontra-Reformasi menegaskan sekali lagi bahwa gereja bukan suatu lembaga Negara,
gereja mempunyai metode-metode dan tujuan tersendiri.

Berkat gerakan pembaharuan itu, muncullah suatu angkatan misionaris yang


bersemangat. Mereka ini tidak merasa terikat pertama-tama kepada Negara Portugal atau
Spanyol, tetapi kepada gereja, kepada paus dan Kristus. Bagi mereka, perluasan agama Kristen
wajib dilaksanakan terlepas dari pertanyaan apakah hal itu adalah menguntungkan bagi perluasan
wilayah pengharu negaranya. Para missionaries gaya baru itu merasa terdorong untuk bekerja
juga di luar lingkungan pengharu Negara-negara Kristen. Demikianlah Xaverius telah
meninggalkan Maluku pergi ke Jepang dan Tiongkok ; de Nobili menetap di ibukota sebuah
kerajaan India yang merdeka. Xaverius mengajak para imam lainnya untuk selalu membela hak-
hak pribumi dan untuk sekali-kali tidak memfitnah mereka di hadapan orang-orang Portugis.
Para misionaries baru, khususnya orang-orang Yesuit yang bekerja di Maluku membawa juga
metode-metode baru, mereka tidak mau membaptis orang apabila sudah dapat dipastikan bahwa
baptisan itu tidak bisa dilanjutkan dengan pendidikan agama yang memadai. Mereka tidak puas
kalau orang yang dibaptis diberi nama yang “Kristen” dan menjadi warga Negara “kristen’. Perlu
ada pendidikan agama yang lebih mendalam supaya orang menjadi sadar akan arti pendidikan
agama. Secara khusus berusaha membimbing orang supaya ikut serta didalam komuni (perayaan
misa). Namun demikian, Xaverius dan teman-temannya tidak benar-benar berhasil mendobrak
corak misi yang lama. Perbedaan antara gaya lama dan gaya baru tidak bersifat mutlak. Di lain
pihak “Ragi lama” belum juga hilang, para misionaris sampai akhir abad ke 18 terpaksa tetap
bekerja dalam rangka sistem Padroado yang mempersempit kebebasan bergerak mereka. Mereka
sendiripun tidak selalu menghindari metode-metode yang lama. Baptisan missal berjalan terus,
begitu juga pemisahan sakramen-sakramen. Dan orang-orang Yesuit juga mengharapkan, kalau
perlu bantuan bersenjata dari pihak Negara untuk menunjang pekerjaan misi, hal ini sesuai
dengan pandangan bahwa Negara adalah pelayan gereja. Xaverius dan kawan-kawan
mengingatkan kita kepada seorang “Rasul Maluku” yang lain, dan juga membawa semangat baru
dalam rangka sistim yang lama yaitu Joseph Kam.

Maluku malah terletak di ujung dunia sebagai daerah jajahan yang paling jauh dari
Eropa.Terutama apabila peperangan sedang melanda daerah Maluku dan hal itu sering terjadi-
kehidupan misionari cukup sulit. Salah seorang Yesuit pernah mencatat bahwa makanan
misionaris-misionaris di Maluku lebih sederhana daripada yang dinikmati Pater-pater di Goa
pada waktu puasa. Selama abad ke 16, ada 50 lebih Pater Yesuit dikirim ke Maluku, mereka
diharapkan akan bekerja disana untuk seumur hidup, tetapi rata-rata tidak bertahan lebih dari
tujuh tahun lalu meninggal mati dibunuh atau diracuni orang, tenggelam atau dihabisi oleh
penyakit, atau mereka terpaksa dipanggil pulang karena kesehatan mereka rusak. Segala jenis
penderitaan yang dicatat oleh rasul paulus dalam 2 Korintus 11 : 23-28. Tetapi kebanyakan
mereka pantang mundur sesuai dengan sumpah mereka sebagai anggota serikat Yesus, yaitu
untuk taat kepada pemimpin serikat dan mengorbankan segala sesuatu demi kebesaran gereja.

6. Pekerjaan Fransiskus Xaverius di Maluku (1546-1547)

Fransiskus Xaverius lahir pada tahun 1506 dari keluarga bangsawan di Spanyol. Ia
mempersiapkan diri menjadi seorang imam tanpa merasa panggilannya khusus. tetapi sewaktu
belajar ilmu teologi di Paris, ia bertemu dengan Ignatius dari Loyola, pelopor kontra-reformasi
itu. Ia menjadi salah seorang anggota pertama serikat Yesus pada tahun 1534/1540. Ia
menggantikan seorang pelopor yang jatuh sakit, Xaverius pun segera berangkat pada tahun
(1542). Ia tidak akan melihat eropa kembali. Xaverius bekerja dulu di goa di tengah-tengah
orang-orang Portugis dan Indo-Portugis yang kehidupannya bobrok, tetapi Ia ingin melayani
orang-orang pribumi, Ia berangkat di sebelah utara goa untuk membina jemaat yang terlantar
disana. Setelah dua tahun di India, Ia mendengar kabar tentang kesempatan yang baik di
Sulawesi selatan. Ia pun berangkat ke Malaka, Ia belajar bahasa melayu sedikit kemudian Ia
berlayar ke Maluku, dimana Ia bekerja kira-kira 15 bulan lamanya (1546-1547). Mula-mula di
Ambon kemudian di Ternate dan di Halmahera, kembali di Ternate, dan akhirnya di Ambon lagi.
Setelah itu Ia berangkat ke Jepang, Ia meninggal di suatu pulau kecil lepas pantai Tiongkok
setelah usaha memasuki negeri itu gagal (1552). Pada tahun 1622, Xaverius dinyatakan sebagai
“Orang Kudus” (Santo) oleh gereja Katolik-Roma. Xaverius menjadi perintis misi gaya baru dan
merupakan salah seorang tokoh yang paling menarik diantara para misionaris abad ke 16.

Di Ternate orang-orang Kristen Portugis dan Indo-Portugis hidup dengan seenaknya dan
sama sekali bodoh dalam hal agama, oleh karena itu Xaverius setiap hari hari 2 kali satu jam
menyelenggarakan pelajaran agama Kristen untuk anak-anak dan orang-orang dewasa. Ia
mempunyai metode rumusan-rumusan pokok iman Kristen seperti pengakuan iman rasuli, doa
bapa kami, salam maria, kesepuluh perintah, dan lain-lain dikaji di depan orang-orang yang telah
berkumpul itu. Di ternate, Fransiskus menyusun pula katekismus yang membentuk suatu syair
yang mengandung penjelasan tentang pengakuan iman rasuli, bahasanya ialah bahasa Portugis,
tetapi ada pula salinan dalam bahasa melayu yang kemudian dipakai di seluruh Maluku. Syair ini
mulai dengan kata-kata “Bersukacitalah kalian umat Kristen, mendengar daan mengetahui bahwa
Allah membuat segala barang ciptaannya untuk kepentingan manusia, isinya terdiri dari 39 pasal.
maksud Xaverius ialah supaya setiap hari diajarkan beberapa kalimat sehingga sehabis waktu
satu tahun mereka sudah menghafal isinya. Kata Xaverius di dalam mereka diletakkan dasar
yang kokoh sehingga mereka benar-benar sungguh-sungguh percay kepada Yesus Kristus dan
tidak lagi percaya kepada berhala yang sia-sia.”

Fransiskus berusaha juga menyebarkan injil kepada orang-orang yang masih menganut
agama nenek moyang. Ia berkeliling di seluruh Lei Timor (bagian selatan pulau Ambon) dan
mengunjungi pulau seram, saparua dan nusa laut dimana belum terdapat orang-orang Kristen
tetapi tidak berhasil, hanya di nusa laut ia berhasil membaptis satu orang, karena itu, ia berangkat
dari pulau itu, membuka sepatu dan mengebaskan debu dari padanya

7. Agama Kristen di Maluku Utara

Dalam tahun-tahun sesudah 1547, usaha misi berkembang terus sampai meliputi wilayah
yang semakin luas di Indonesia Timur. Maluku dijadikan daerah kerja serikat Yesus dan
Xaverius sebagai pembesar orang-orang Yesuit di Asia mengirim sejumlah tenaga ke situ. Tetapi
selama abad ke 16, gereja Kristen di Maluku banyak menderita karena pergolakan politik yang
terus menerus. Di Maluku utara, tahun 1570 merupakan titik balik dalam perkembangan gereja.
Pada masa sebelumnya juga, jemaat-jemaat beberapa kali mengalami penganiayaan yang berat.
tetapi tahun-tahun itu adalah bagian majunya laut di pantai waktu air pasang. Sebaliknya sesudah
tahun 1570 riwayatnya laksana mundurnya laut di waktu air surut : beberapa kali gereja
mendapat pukulan hebat lalu keadaan dipulihkan lagi tetapi setiap kali jumlah jemaat dan orang-
orang Kristen berkurang dibandingkan dengan yang tercatat dalam gerakan maju sebelumnya.

Selama tahun 1547-1570, Ternate tetap merupakan pusat kegiatan misi. Di situ menetap
juga kepala orang-orang Yesuit yang bekerja di Maluku. Sultan yang pada zaman itu berkuasa
atas ternate ialah sultan Hairun (1535-1570). Ia ingin mendirikan suatu kerajaan besar yang akan
meliputi seluruh Maluku dan daerah-daerah sekitarnya. Dalam mewujudkan rencana itu,
kehadiran orang-orang Portugis tak bisa merupakan rintangan. Hairun tidak begitu suka kalau
ada daerah yang menerima agama Kristen, dengan demikian ia menjadi sekutu Portugis. Cara
yang terbaik untuk menjalani persahabatan dengan orang-orang Portugis adalah dengan
menerima agama mereka.

Pada tahun 1557 terjadulah suatu krisis. Panglima Portugis di Ternate merampas cengkeh
yang merupakan milik Sultan Hairun, dan ketika Sultan melawan, Ia ditahan. Hairun kemudian
dibebaskan oleh orang-orang Portugis yang tidak setuju dengan tindakan sewenang-wenang
panglimanya. Orang-orang Kristen di Halmahera dipaksa masuk Islam. Kepala suku Joao dari
Mamuya tewas dalam penghambatan itu namun krisis ini pun tidak dapat menahan
perkembangan misi di Maluku Utara.

Di tahun 1569, gereja Kristen di Maluku Utara boleh dikata telah mencapai puncak
perkembangannya akan tetapi segera juga jemaat-jemaat dilanda krisis baru yang lebih hebat
daripada yang dialami sebelumnya. Krisis ini mulai dengan penghambatan yang oleh Sultan
Hairun dilancarkan terhadap orang-orang Kristen di Halmahera utara (1568-1569). Orang-orang
Portugis di Ternate tidak bisa berbuat apa-apa lalu tak terduga panglima mereka bertindak sangat
kurang bijaksana, ia mengadakan perjanjian damai dengan Sultan dan pada esoknya Hairun
dibunuh atas perintah Panglima (1570), akibatnya seluruh Maluku dilanda perang.

Yang memaksa para misionaris untuk meninggalkan Halmahera bukanlah sultan Ternate,
telah muncul suatu kekuasaan baru di kepulauan Maluku, yaitu orang-orang Belanda, mereka
merebut ambon sekitar 1605, dan semakin mendesak orang-orang Spanyol dan Portugis ke utara.
Mereka pun membangun benteng-benteng di Ternate di sebelah benteng Spanyol-Portugis
disana. Sultan Ternate menjadi sekutu mereka sebagaimana sultan Tidore adalah sekutu orang-
orang Portugis. Akan tetapi orang-orang belanda tidak menggunakan kehadiran mereka di
Maluku Utara untuk mengabarkan injil dan di Ternate mereka malah mengadakan perjanjian
dengan Sultan: orang-orang belanda yang akan membelok ke pihak Ternate. Dalam suasana
zaman itu, penetapan semacam itu berarti bahwa orang islam yang masuk Kristen harus
diserahkan kepada sultan ternate. Pemerintah VOC tidak merasa terpanggil mengabarkan injil
kepada orang yng bukan Kristen kalau hal itu tidak cocok dengan kepentingan dagangannya.
Akibat sikap ini, jemaat Kristen protestan ternate dan di tempat-tempat lain di Maluku utara
hanya merupakan “Jemaat Benteng” saja. Anggotanya terdiri dari orang-orang Belanda-totok,
pegawai dan serdadu kompeni, dan dari orang-orang Kristen warisan zaman Portugis. Orang-
orang Maluku asli dan orang-orang Mardeka (Mardjikers). Sejarah jemaat-jemaat ini
berlangsung terus sampai pada abad 18 bahkan sampai kepada zaman kita

8. Gereja di Maluku Selatan selama masa Portugis.

Pada tahun 1538 dikampung di pulau Ambon menerima agama Kristen dan beberapa
tahun kemudian, jumlah jemaat telah bertambah menjadi tujuh. Kampung-kampung Kristen
hampir semuanya terletak di bagian selatan pulau Ambon yang disebut Leitimor. Sejumlah besar
kampung-kampung di Ambon dan kepulauan Lease menerima agama Kristen. Di pulau Buru
juga ribuan orang dibaptis oleh awak kapal yang selama beberapa waktu berlabuh disana. 5
tahun lamanya seorang bruder (anggota ordo bukan imam, yang tidak berhak melayangkan
sakramen-sakramen) -. Setelah 3 minggu di Ambon, Ia mati tenggelam dalam perjalanan ke
Buru. Akhir tahun itu juga datang seorang Imam, tetapi satu setengah tahun lagi Ia dipanggil ke
Maluku Utara dimana Ia mati Syahid tak lama kemudian. Kalau dihitung, maka dalam 20 tahun
pertama hanya 5 atau 6 tahun lamanya gereja di Ambon dilayani oleh seorang Imam.

Di kemudian hari, para “katekit” tenaga pribumi seperti yang diangkat oleh Xaverius
memainkan peranan besar di Vietnam. Merekalah yang merupakan tulang punggung gereja pada
masa penghambatan, apabila para misionaris asing diusir. Akan tetapi di Maluku, tempatnya
pelayanan para katekis tidak sempat berkembang. Sebab 7 tahun setelah Xaverius berangkat,
seorang misionaris hendak mengangkat tenaga-tenaga katekit di kampung-kampung – berarti
petunjuk-petunjuk Xaverius tidak diikuti. Pertanyaan siapa-siapa yang membimbing orang-orang
Kristen. Mungkin tokoh-tokoh seperti Manuel, kepala kampung Hatiwi (nama Portugis lagi!)
yang pernah menjadi petunjuk jalan atau pandu bagi Xaverius di kemudian hari memimpin
pertahanan orang-orang Kristen terhadap serangan-serangan orang-orang itu dan sekutu mereka
dari Ternate, bagaimanapun juga sulit untuk diterima agama Kristen di Maluku tengah dan
kesetiaan orang-orang kepada agama mereka yang baru.

Krisis tahun 1557 dan berikutnya melanda daerah mereka juga, kapal-kapal angkatn laut
Sultan Ternte datang ke Ambon. Selama tiga tahun orang-orng Kristen hanya dapat
mempertahankan diri dalam suatu benteng di pegunungan, dikatakan bahwa sejak tahun 1558
terjadi perang gerilya yang terus menerus di Leitimor dan Hitu. Di Haruku dan Saparua
terkadang orang-orang itu diperkuat oleh korakora-korakora Ternate atau oleh pasukan-pasukn
dari Jawa Sehingga membakar kampung-kampung Kristen memaksa penduduknya untuk murtad
atau mundur ke pedalaman. Datang bala bantuan Portugis lalu kampung-kampung Islamlah yang
menderita nasib yang buruk. keadaan ini berlangsung terus-menerus sampai setengah abad,
sampai kepada tangan orang-orang belanda. Peristiwa-peristiwa local yang sudah ada sejak
dahulu kala antara kampung-kampung dan perkelompokkan-perkelompokkan kampung-
kampung ( “Ulisiwa dan Ulilima”) bercampur persaingan antara ternate dan tidore, antara ternate
dengan Portugal, dan akhirnya dikaitkan dengan perbedaan dalam hal agama. Salh seorang
pemimpin orang-orang Kristen yang bersemangat dalam perang gerilya itu ialah Manuel dari
Hatiwi. Orang-orang Kristen banyak yang murtad tetapi banyak juga yang lebih suka hidup di
hutan atau mati syahid daripada mengingkari iman mereka.

Di tengah-tengah pergolakan itu, jemaat-jemaat Kristen di Ambon dan pulau-pulau


sekitarnya rada-rada berhasil mempertahankan diri. Pada tahun-tauhun 1569 dan 1570 yang
merupakan masa tenteram para misionaris membaptis 800 orang-orang dewasa dan anak-anak.
Agama Kristen juga diterima oleh beberapa kampung di seram selatan. Pada akhir jaman
portugis (1605) ketika terjadi semacam serah terima dengan penguasa-penguasa baru, yaitu
orang-orang Belanda, orang-orang Kristen di Ambon, Lease dan Seram berjumlah 16.000 orang.

Keadaan kacau yang berlangsung selama setengah abad itu mempengaruhi kehidupan
jemaat-jemaat Kristen di Ambon dan Lease. Salah satu akibatnya adalah terdapat perbedaan
besar antara orang-orang Kristen yang tinggal di sekitar benteng Portugis dan mereka yang
tempat tinggalnya jauh dari pusat. setelah tahun 1560-an biasanya ada dua atau tiga orang
misionaris. (Pada tahun 1605) Satu untuk orang-orang Portugis yang tinggal di benteng, satu
untuk orang-orang merdeka, dan dua untuk orang-orang Ambon asli. Para Peter menjalankan
pendidikan agama yang sudah dipakai oleh Xaverius. Pemisahan sakramen-sakramen tetap
dipraktekkan. Mereka wajib mengikuti katekisasi yang cukup panjang dulu apabila mereka sudah
dianggap mempunyai pengertian yang secukupnya tentang iman dan kesusilaan Kristen sehingga
dapat menginsyafi dosa-dosa mereka sendiri maka mereka diperbolehkan menjalani sakramen
pengakuan dosa (biecht). Mereka berhak menikmati sakramen ekaristi (misa). Dengan demikian,
dalam jemaat pusat itu, terdapat dua golongan yang “Elit” dan yang “Anggota Biasa”. Satu-
satunya sakramen yang dilayani disana ialah sakramen baptisan dan itupun hanya apabila
keadaan mengizinkan.

9. Gereja di Maluku Selatan pada zaman VOC

Pada tahun 1605, angkatan laut VOC merebut benteng-benteng Portugis di banda dan di
Ambon. Orang-orang Kristen di Ambon dan Lease yang telah merupakan sekutu orang-orang
Portugis menjadi rakyat kompeni. Sebaliknya orang-orang islam di Hitu, musuh kawakan orang-
orang Portugis tadi menjadi sekutu VOC. Namun demikian, kedatangan orang-orang Belanda
membawa suatu hadiah besar bagi kampung-kampung Kristen, malahan bagi seluruh Ambon dan
Lease sebab mereka berhasil mengikuti perjanjian perdamaian antara semua kampung di pulau-
pulau itu. Berhentilah peperangan antara kampung yang selama masa portugis menjadi salah satu
halangan besar bagi perkembangan agama Kristen. VOC adalah badan perdagangan, tujuannya
sama dengan tujuan orang-orang Portugis Sebelumnya yaitu memperoleh monopoli hak tunggal
untuk jual beli rempah-rempah. Untuk itu, VOC tidak perlu menjajah seluruh Maluku. Orang-
orang Kristen di Ambon-Lease memberontak juga, tetapi mereka pun terpaksa takluk. Produksi
rempah-rempah dipusatkan di pulau-pulau tertentu yang dijadikan jajahan Belanda: Ambon-lease
dan kepulauan Banda. Daerah-daerah lain tidak dijajahi, tetapi pohon-pohon cengkeh dan pala
disitu dirusakkan (hongi).

Bagi VOC, sama seperti bagi Negara Portugis, kepentingan agama dan kepentingan
Negara bertindih tepat. Berarti VOC dengan segala tenaga mendukung pemeliharaan orang-
orang Kristen dan pekabaran injil di daerah-daerah yang secara langsung dikuasainya yaitu
Ambon-Lease dan Banda. Daerah-daerah ini menjadi pusat agama Kristen. Kalau pulau-pulau
yang terletak di sekira pulau itu seperti seram selatan, Kei, Aru, pulau-pulau barat daya, maka
ada perhatian juga tetapi sudah kurang. Daerah-daerah ini menjadi daerah pinggir dalam riwayat
kekristenan Maluku pada zaman VOC. Begitu misalnya Halmahera, juga Irian. Dibandingkan
dengan zaman Portugis, Agama Kristen pada zaman VOC berkurang di Maluku utara tetapi
memperoleh wilayah yang lebih luas di Maluku selatan.

Orang-orang Kristen di Ambon dan Lease mempunyai agama yang sama seperti orang-
orang portugis, musuh VOC. Hal itu dapat diterima oleh penguasa-penguasa yang baru. Jadi,
orang-orang Kristen yang baru ditaklukkan itu harus menjadi protestan. Imam-imam katolik
diusir tetapi untuk sementara waktu mereka tidak diganti, tidak ada lagi ibadah, sekolah
dihentikan sebab VOC belum mempunyai tenaga untuk memelihara orang-orang Kristen yang
sudah ada ataupun mengabarkan injil kepada orang-orang bukan Kristen. Di benteng hanya ada
seorang “Penghibur” orang-orang sakit yang bertugas juga mengucapkan doa pagi dan doa
malam dan yang pada hari minggu membacakan khotbah oleh seorang pendeta di belanda.
Orang-orang Kristen Ambon meminta agar sekolah dibuka kembali dan permintaan itu pun
dikabulkan. menteri kesehatan dari kapal-kapal belanda turun ke darat dan menjadi guru sekolah
di Ambon. Di sekolah itu, anak-anak belajar membaca, menulis, dan menghitung, semuanya
dalam bahasa belanda, dan mereka menghafal doa bapa kami, pengakuan iman rasuli dan dasa
titah dalam bahasa belanda maupun melayu. Orang-orang ambon atas kehendak mereka sendiri
agama Kristen dan kebudayaan Kristen dalam “Corpus Christianum” yaitu dalam “Corpus
Christianum Belanda”.

Setelah keadaan menjadi tertib dibentuklah suatu majelis gereja di ambon (1625). Majelis
ini menyelenggarakan pemeliharaan rohani di kota ambon maupun di jemaat-jemaat di luarnya.
Di kemudian hari terdapat juga majelis di haruku dan di saparua. Di dalamnya duduk orang-
orang belanda, pegawai-pegawai kompeni atau lain-lain, tetapi juga orang-orang Ambon. Pada
tahun 1636, misalnya dua orang Ambon dipilih menjadi penatua dan dua yang menjadi diaken.
biasanya anggota-anggota Ambon ini mempunyai kedudukan sebagai kepala negeri.

Hanya satu orang yang memihak kepada bahasa Ambon asli yaitu Heurnius ( di Ambon
1633-1638). Ia adalah salah seorang pendeta yang datang dari negeri Belanda khusus dengan
maksud hendak mengabarkan injil kepada orng-orang yang bukan Kristen. Ia mau dikirim ke
Seram tetapi Gubernur menganggap tempat itu terlampau berbahaya dan mengutus Ia ke
Saparua. Disini Heurnius belajar bahasa Lease karena itu dianggapnya bahasa hati yang mesti
digunakan kalau orang betul-betul mau menarik orang-orang Kristen – nama yang terdapat
disana. Ia berkhotbah dalam bahasa itu dan mulai menterjemahkan kitab injil ke dalamnya. Ia
mempersiapkan juga bahan-bahan dalam bahasa Lease untuk guru-guru jemaat dan mulai
mendidik beberapa pemuda dari pulau-pulau Lease supaya nanti bisa memberitakan firman
kepada teman-teman sebangsanya. Ternyata orang-orang Saparua tertarik oleh ibadah dalam
bahasa mereka sendiri, tetapi Heurnius kena racun dan terpaksa meninggalkan pulau itu. Di
kemudian hari ketika Ia sudah menjadi pendeta di Netherland, Ia menerbitkan beberapa bahasa
melayu, bahasa itulah yang menjadi bahasa masyarakat sistem Ambon. Begitu terikat orang-
orang Ambon kepadanya sehingga di kemudian hari, guru-guru mereka yang bekerja di daerah-
daerah lain mau menggunakan bahasa Melayu di sekolah dan di gereja.

Anda mungkin juga menyukai