Anda di halaman 1dari 6

KEANEKARAGAMAN MAKROZOOBENTOS EPIFAUNA DI

PERAIRAN AGROWISATA CILANGKAP, JAKARTA TIMUR

A. Keanekaragaman

Indonesia secara geografis termasuk ke dalam dua rumpun


biogeografi, yaitu Indo-Melayu dan Australasia dan di antara keduanya
terdapat zona transisi Wallacea. Kondisi geografis tersebut menyebabkan
Indonesia memiliki keanekaragaman hayati tinggi (KLH dan
KONPHALINDO, 1994 dalam Setiawan, dkk., 2006). Keanekaragaman
memiliki nilai-nilai lingkungan, budaya dan sosial yang penting.
Keanekaragaman hayati adalah semua kehidupan di atas bumi
ini baik tumbuhan, hewan, jamur, mikroorganisme serta berbagai materi
genetik yang dikandungnya dan keanekaragaman sistem ekologi dimana
mereka hidup (Baiquni, 2007 dalam Utama, dkk., 2011).
Keanekaragaman hayati merupakan keanekaragaman di antara makhluk
hidup dari semua sumber di antaranya daratan, lautan dan sistem akuatik
lainnya serta kompleks-kompleks ekologi yang merupakan bagian dari
keanekaragamannya, mencakup keanekaragaman di dalam spesies, antar
spesies dan ekosistem (Sujatnika, dkk., 1995 dalam Utama, dkk., 2011).
Keanekaragaman (diversity) merupakan ukuran integrasi
komunitas biologik dengan menghitung dan mempertimbangkan jumlah
populasi yang membentuknya dengan kelimpahan relatifnya.
Keanekaragaman atau keberagaman dari makhluk hidup dapat terjadi
akibat adanya perbedaan warna, ukuran, bentuk, jumlah, tekstur,
penampilan (Kristanto, 2002).
Keanekaragaman jenis merupakan karakteristik tingkatan dalam
komunitas berdasarkan organisasi biologisnya, yang dapat digunakan
untuk menyatakan struktur komunitasnya. Suatu komunitas dikatakan
mempunyai keanekaragaman yang tinggi jika komunitas tersebut disusun
oleh banyak spesies (jenis) dengan kelimpahan spesies sama dan hampir
sama. Sebaliknya jika suatu komunitas disusun oleh sedikit spesies dan
jika hanya sedikit spesies yang dominan maka keanekaragaman jenisnya
rendah (Umar, 2013).
Sumberdaya alam hayati dengan segenap keanekaannya adalah
kekayaan alam yang mengemban fungsi produksi/ekonomi sekaligus
fungsi ekologis, sosial dan budaya yang harus dimanfaatkan untuk
kepentingan bangsa dan negara secara lestari. Keanekaragaman hayati
yang dikandung sumberdaya hutan dan perairan di Indonesia termasuk
sangat tinggi dan sebagian bersifat endemik, sehingga Indonesia disebut
sebagai negara megabiodiversity. Berdasarkan hasil-hasil penelitian,
keanekaragaman hayati Indonesia terdiri dari: mamalia 515 spesies (12
% dari jenis mamalia dunia), reptilia 511 jenis (7,3 % dari jenis reptilia
dunia), burung 1.531 jenis (17 % dari jenis burung dunia), ampibi 270
jenis, binatang tak bertulang belakang 2.827 jenis dan tumbuhan
sebanyak ± 38.000 jenis, diantaranya 1.260 jenis yang bernilai medis
(fitofarmaka) (Departemen Kehutanan, 2005).

B. Makrozoobentos

Makrozoobentos merupakan salah satu kelompok terpenting


dalam ekosistem perairan sehubungan dengan peranannya sebagai biota
kunci dalam jaring makanan, dan berfungsi sebagai degradator bahan
organik (Pratiwi et al., 2004) Kondisi tersebut menjadikan biota
makrozoobentos memiliki fungsi sebagai penyeimbang kondisi nutrisi
lingkungan dan dapat digunakan sebagai biota indikator akan kondisi
lingkungan diwilayah perairan pesisir (Hawkes, 1978).
Makrozoobentos merupakan kelompok organisme yang hidup di
dalam atau di permukaan sedimen dasar perairan serta memiliki ukuran
panjang lebih dari 1 mm. Siklus hidup beberapa makrozoobentos hanya
hidup sebagai bentos dalam separuh saja dari fase hidupnya, misalnya
pada stadia muda saja atau sebaliknya. Pada umumnya cacing dan
bivalvia hidup sebagai bentos pada stadia dewasa, sedangkan ikan
demersal hidup sebagai bentos pada stadia larva (Nybakken, 1992).
Bentos merupakan makanan alami bagi hewan-hewan dasar
terutama ikan dan udang. Bentos terdiri dari berbagai jenis dan tipe, baik
yang hidup tertancap (lamun, spongae); merayap (bintang laut, kepiting)
maupun yang membenamkan diri di pasir atau lumpur (kerang-kerangan,
cacing) (Setyobudiandi, 1999).
Nybakken (1997) menyatakan bahwa berdasarkan keberadaannya
di dasar perairan, maka makrozoobentos yang hidupnya merayap di
permukaan dasar perairan disebut dengan epifauna, seperti Crustacea dan
larva serangga. Sedangkan makrozoobentos yang hidup pada substrat
lunak di dalam lumpur disebut dengan infauna, misalnya Bivalvia dan
Polychaeta.

1. Keberadaan Makrozoobentos

Komunitas bentos adalah organisme yang hidup di dasar perairan.


Berdasarkan keberadaannya di perairan, makrozoobentos digolongkan
menjadi kelompok epifauna, yaitu hewan bentos yang hidup melekat pada
permukaan dasar perairan, sedangkan makrozoobentos yang hidup
didalam dasar perairan disebut infauna. Selanjutnya dinyatakan bahwa
epifauna adalah yang hidup di atas dasar, sedangkan infauna hidup
diantara partikel sedimen. Zoobentos dapat juga disebut sebagai hewan
yang melekat atau beristirahat pada dasar atau hidup di dasar endapan.
Hewan ini merupakan organisme kunci dalam jaring makanan karena
dalam sistem perairan berfungsi sebagai predator, detritivor, dan parasit.
Makrozoobentos ini merupakan salah satu kelompok penting dalam
ekosistem perairan. Bentos merupakan organisme yang mendiami dasar
perairan dan tinggal di dalam atau pada sedimen dasar perairan. Zoobentos
ini juga merupakan hewan yang sebagian atau seluruh siklus hidupnya
berada di dasar perairan, baik sesil, merayap maupun menggali lubang 18.
Tidak semua hewan dasar hidup selamanya sebagai bentos pada
stadia lanjut dalam siklus hidupnya. Makrozoobentos yang mendiami
daerah dasar misalnya, kelas polychaeta, echinodermata dan moluska
mempunyai stadium larva yang seringkali ikut terambil pada saat
melakukan pengambilan sampel. Keadaan substrat dasar merupakan faktor
yang sangat menentukan komposisi makrozoobentos dalam suatu perairan.
Struktur substrat dasar akan menentukan kelimpahan dan komposisi jenis
hewan makrozoobentos
Serasah banyak mengandung unsur-unsur mineral organik,
sehingga mampu menunjang kehidupan makrozoobentos. Selain itu
karakterikstik habitat yang meliputi faktor kimia dan fisika perairan juga
sangat mempengaruhi distribusi makrozoobentos (Siregar, 1997). Nontji,
2002 menyatakan bahwa sifat fisika yang berpengaruh langsung terhadap
makrozoobentos adalah kedalaman, suhu perairan, dan substrat dasar.
Sedangkan sifat kimia yang berpengaruh langsung adalah derajat
keasaman dan kandungan oksigen terlarut. Sifat fisika dan kimia ini tidak
berdiri sendiri tetapi saling berkaitan satu sama lainnya yang membentuk
satu kesatuan pengaruh yang kompleks serta berlangsung secara
bersamaan.
Substrat lumpur dan pasir merupakan habitat yang paling disukai
makrozoobentos, selanjutnya Lind (1979) menyatakan bahwa hewan
bentos lebih menyenangi dasar perairan dengan substrat lumpur, pasir,
kerikil dan substrat sampah. Bentos tidak menyenangi dasar perairan
berupa batuan, tetapi jika dasar batuan tersebut memiliki bahan organik
yang tinggi, maka habitat tersebut akan kaya akan hewan bentos (Nichol,
1981 dalam Sudarja, 1987).

2. Komunitas Makrozoobentos

Komunitas bentos dapat juga dibedakan berdasarkan


pergerakannya, yaitu kelompok hewan bentos yang hidupnya menetap
(sesile), dan hewan bentos yang hidupnya berpindah-pindah (motile).
Hewan bentos yang hidup sesile sering kali digunakan sebagai indikator
kondisi perairan. Distribusi bentos dalam ekonomi perairan alam
mempunyai peranan penting dari segi aspek kualitatif dan kuantitatif.
Untuk distribusi kualitatif, keadaan jenis dasar berbeda terdapat aksi
gelombang dan modifikasi lain yang membawa keanekaragaman fauna
pada zona litoral. Zona litoral mendukung banyak jumlah keanekaragaman
fauna yang lebih besar dari pada zona sublitoral dan profundal. Populasi
litoral dan sublitoral, khususnya bentuk mikroskopik Terdapat banyak
serangga dan molusca, dua kelompok ini biasanya sebanyak 70% atau
lebih dari jumlah komponen spesies yang ada. Dengan peningkatan
kedalaman yang melebihi zona litoral, jumlah spesies bentik biasanya
berkurang dan substrat dasar lumpur sering digambarkan sebagai
pendukung jumlah spesies
DAFTAR PUSTAKA

Ajeng Tri Purnama, dkk, 2010. Studi Komunitas Bentos


Berdasarkan Keanekaragamandan Indeks Similaritas di Waduk Canglik
Boyolali, Semarang. FMIPA Universitas Surakarta, Depok

Asra, Revis. 2009. Makrozoobentos sebagai indicator Biologidari


Kualitas Air di Sungai Kumpeh dan Danau Arang-arang Kabupaten Muaro
Jambi, Jambi. Jurnal Biospesies, Vol 2 No. 1, Januari 2009, Fakultas
Pternakan Universitas Jambi.

Febrita, Elya, dkk. 2004. Kualitas Biologi Perairan Sungai Sanpelan,


Sogo dan Sail di Kota Pekan baru berdasarkan Bioindikator Plankton dan
Bentos. Riau. Jurnal Biogenesis Vol. 1(1): 15-20, 2004 Laboratorium
Universitas Riau.

Hakiem, Rahman. 2012. Indeks Perbandingan Sekuensi


Keanekaragaman Bentos di ekosistem Perairan. Makasar. Laboratorium
Lingkungan Universitas Hasanudin.

Anda mungkin juga menyukai