Anda di halaman 1dari 3

Sejarah kedokteran

Sebelum ilmu kedokteran itu masuk ke Indonesia, masyarakat di Indonesia telah mengenal yang
namanya pengobatan tradisional. Pengobatan tradisional itu telah di turunkan dari generasi ke generasi
lainnya. Pengobatan tradisional ini mengandung unsur spiritual dan kegaiban serta unsur materi berupa
daun-daunan, akar-akar, kulit kayu, dan lainnya yang sudah diakui secara empirik khasiatnya untuk
penyembuhan.

Selain itu, pengobatan secara fisik juga ada seperti pada kasus patah tulang, lelah otot, dan
sebagainya. Obat-obat tradisional atau yang dikenai dengan jamu-jamu masih digunakan hingga saat ini,
di mana masyarakat masih sering mengonsumsinya di samping obat-obatan modern.

Ilmu kedokteran dari eropa di bawa ke Indonesia oleh dokter-dokter yang didatangkan dari

militer belanda pada zaman kolonial belanda.  Pada saat itu kekhawatiran tentang penularan penyakit
cacar yang berbahaya mendesak Belanda untuk mendidik tenaga pembantu dalam pelaksanaan vaksin
cacar, yaitu “vaccinateur“.

Pada tanggal 1 Januari 1851, dr. W. Bosch mendirikan Witeweden (yang sekarang Jakarta Pusat)
di bawah pimpinan dr. P. Bleeker sebuah sekolah untuk pemuda-pemuda Jawa menjadi dokter Jawa, yang
lamanya pendidikan selama 2 tahun.

Pada tahun 1864 mulai diterima pendidikan untuk pemuda-pemuda pribumi lainnya. Pada tahun
1864 pendidikan kedokteran diperpanjang menjadi 3 tahun. Pada tahun 1875 pendidikan kedokteran
ditambah menjadi 7 tahun, yang terdiri dari 2 tahun bagian persiapan dan 5 tahun bagian kedokteran
dengan bahasa Belanda sebagai bahasa pengantar.

Pada tahun 1890, untuk masuk ke sekolah kedokteran, calon murid harus sudah lulus Sekolah
Dasar Belanda (Europeesche Lagera Scholl) terlebih dulu. Nama sekolah kedokteran juga diganti
menjadi School tot Opleiding van lnIandsche Artsen(STOVIA), dan kelulusannya akan mendapat gelar
“Inlandsch Arts” atau Dokter Bumiputera.

Lalu pada tahun 1913 dibuka juga sekolah kedokteran kedua di Surabaya yang diberi nama Nederlandsch
Indische Artsen School yang disingkat menjadi NIAS. Kelulusan dari sekolah NIAS ini akan diberi
gelar“Indisch Arts”atau Dokter Hindia.

Pada tanggal 16 Agustus 1927 dibuka Geneeskundige Hoogeschool (Sekolah Tinggi Kedokteran) untuk


menggantikan STOVIA. Sedangkan STOVIA sendiri tidak lagi menerima murid baru, hanya
menyelesaikan pendidikan para siswa yang sudah ada. Lulusan terakhir dari STOVIA adalah dokter
Sanjoto yang lulus pada tahun 1934, dan pada waktu itu juga sekolah STOVIA resmi ditutup.

Berdirinya Perguruan Tinggi Kedokteran pada tahun 1927 adalah hasil perjuangan para dokter di
lndonesia dengan dukungan dari direktur dan mantan direktur STOVIA dan NIAS. Dr. Abdul Rivai yang
mengusulkan pertama kali diadakannya pendidikan Universitas di Indonesia.

Dari pihak Indische Asrtsen Bond (Ikatan Dokter Indonesia) yang duduk sebagai penasihat pendiri
perguruan tinggi kedokteran adalah dokter J. Kajadoe, Abdoel Rasjid, dan R. Soetomo.

Berkat perjuangan dokter-dokter tersebut ijazah Perguruan Tinggi Kedokteran Betawi disamakan dengan
ijazah fakultas kedokteran di negeri Belanda. Selain itu, didirikan juga sebuah sekolah Dokter Gigi
(School tot Opleiding van Indische Tardartsen, disingkat menjadi STOVIT) di Surabaya pada tahun 1928.

Lulusan dari STOVIT mendapat gelar sebagai Dokter Gigi Hindia, dengan ijazah dokter gigi Hindia
dibuat lebih rendah dari pada ijazah dokter gigi Belanda.

Pada tahun 1953 oleh WHO didatangkan suatu tim kesehatan yang terdiri dari ahli-ahli ilmu kedokteran
yang dikumpulkan dari berbagai negara untuk memberikan kuliah atau membagi ilmu di Universitas di
Jakarta, Surabaya, Yogyakarta, Medan, dan beberapa kota besar lainnya.

Sejak saat itu dimulailah kerja sama dengan universitas di luar negeri. Sistem pendidikan dokter di
Indonesia menjadi lebih baik. Pengadaan pendidikan spesialis juga lebih mudah dan lebih cepat.

Selain itu, dengan terus berkembangnya ilmu kedokteran di Indonesia, terjadi juga penambahan Fakultas
Kedokteran. Penambahan jumlah Fakultas Kedokteran juga didirikan di Sumatera, Sulawesi, Bali, dan
Jawa yang peminatnya meningkat dengan sangat cepat setiap tahunnya.

Universitas Jenderal Achmad Yani (UNJANI) merupakan pengembangan dari Sekolah-Sekolah


Tinggi yang diselenggarakan di bawah koordinasi Lembaga Pendidikan Tinggi (LEMDIKTI) Yayasan
Kartika Eka Paksi (YKEP) yang ditetapkan dengan Surat Keputusan Ketua Umum Yayasan Kartika Eka
Paksi Nomor 027/YKEP/1990 tanggal 20 Mei 1990. UNJANI dikukuhkan oleh Surat Keputusan Menteri
Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 0512/0/1990 tanggal 9 Agustus 1990. Integrasi Sekolah Tinggi
Teknologi Bandung di Bandung dengan Universitas Jenderal Achmad Yani sesuai dengan Surat
Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 0124/0/1992 tanggal 2 Maret
1992.

Sejak tahun 1987, jauh sebelum UNJANI dibentuk, telah mulai perintisan untuk mendirikan
Sekolah Tinggi Kedokteran bersama Universitas Padjajaran (UNPAD). Setelah UNJANI berdiri,
perintisan dilanjutkan lebih intensif bersama UNPAD dan KOPERTIS Wilayah IV Jawa Barat untuk
mendirikan Fakultas Kedokteran dengan persetujuan Koordinator KOPERTIS Wilayah IV Jawa Barat
tanggal 21 Juli 1991 Nomor 143/KopIV/1991.
Pendirian Fakultas Kedokteran UNJANI dikukuhkan dengan Surat Keputusan Direktur Jenderal
Pendidikan Tinggi a.n. Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI Nomor 45/D/0/1993 tanggal 20 April
1993 yang memberikan status terdaftar kepada Program Studi Pendidikan Dokter untuk jenjang Program
S1. Meskipun penerimaan mahasiswa angkatan pertama sebenarnya telah dimulai bulan Oktober 1992,
namun Hari Kelahiran Fakultas Kedokteran UNJANI ditetapkan berdasarkan tanggal dikukuhkan
pendiriannya oleh Dirjen Dikti, yaitu tanggal 20 April 1993.

FK UNJANI terakreditasi “B” dan mendapat izin perpanjangan penyelenggaraan studi dari Dirjen
Dikti, sesuai dengan surat keputusan BAN-PT No. 028/BAN-PT/Ak-XIII/S1/XI/2010, tertanggal 26
Nopember 2010 yang berlaku sampai tahun 2015.

Sejak berdiri, kurikulum Fakultas Kedokteran Unjani menggunakan Sistem Kredit Semester
(SKS) berdasarkan KIPDI I dan KIPDI II. Mulai TA 2007/2008 menerapkan kurikulum berbasis
kompetensi (KBK) berdasarkan Standar Pendidikan Profesi Dokter dan Standar Kompetensi Dokter.

Anda mungkin juga menyukai