Laporan Tutorial Hais Sken 3 Rearmm
Laporan Tutorial Hais Sken 3 Rearmm
BLOK GERIATRI
SKENARIO 3
AKU INGIN BISA DUDUK
Oleh:
Amalia Ifanasari G0014022
Andre Thadeo Abraham G0014032
Atika Rahmah G0014050
Dinda Carissa G0014072
Firdanianti Ulfa G0014100
Handy Nugraha Putra G0014112
Khoirunnisa G0014132
Muh Arif Wira Bahari G0014160
Nabila Gita Ekanara G0014172
Realita Sari G0014198
Syahmadidi Rabbani G0014226
Tia Putri Widayati G0014228
Tutor:
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA
2016
BAB I
PENDAHULUAN
A. Skenario
Pada usia 87 tahun, Kakek Budi, datang ke IGD diantar oleh keluarga
karena mengeluhkan sesak yang memberat sejak 3 hari, disertai dengan
demam dan batuk dengan dahak berwarna kuning kental. Pasien memiliki
riwayat hpertensi lebih dari 20 tahun. Satu tahun lalu terserang stroke karena
perdarahan di otak. Sudah 1 bulan ini tidak bisa bangun dari tempat tidur,
makan dan minum hanya sedikit, sering tidak mau bicara, dan sulit diajak
komunikasi.
Dari pemeriksaan fisik terakhir di bangsal, pasien tampak sesak dengan
kesadaran apatis, TD 110/60 mmHg, RR 30x/menit, t 36,5 oC, HR 108x/menit,
BMI 14,3. Pada paru tampak sela iga melebar dan didapatkan suara vesikular
meningkat, ronki basah kasar pada lapang paru bawah dengan fremitus taktil
meningkat. Hasil leukosit 21.000. thorak PA tampak infiltrat di kedua lapang
baru bawah.
Kemudian oleh dokter bangsal diberikan oksigen, dipasang cairan
infus, antibiotik dengan salah satu tata laksana non farmakologi dilakukan
pemasangan NGT dengan diit cair, serta konsul di bagian rehabilitasi medik,
dan gizi.
B. Rumusan Masalah
1. Apa saja risiko imbilitas?
2. Bagaimana hubungan stroke dengan keluhan saat ini?
3. Bagaimana interpretasi hasil pemeriksaan?
4. Apa tipe pneumonia pada pasien tersebut?
5. Bagaimana tata laksana untuk pasien tersebut?
6. Mengapa pasien dikonsul ke bagian rehab medik dan gizi?
7. Bagaiman pengaturan gizi pada geriatri?
8. Apa indikasi pemasangan NGT?
9. Apa efek samping dari pemasangan NGT?
C. Tujuan Pembahasan
1. Mengetahui macam-macam risiko imobilitas.
2. Mengetahui hubungan stroke dengan keluhan saat ini.
3. Mengetahui interpretasi hasil pemeriksaan.
4. Mengetahui tipe pneumonia pada pasien tersebut.
5. Mengetahui tata laksana untuk pasien tersebut.
6. Mengetahui alasan pasien dikonsul ke bagian rehab medik dan gizi.
7. Mengetahui pengaturan gizi pada geriatri.
8. Mengetahui indikasi pemasangan NGT.
9. Mengetahui efek samping dari pemasangan NGT.
BAB II
DASAR TEORI
A. Sepsis
a. Definisi
Sepsis adalah respon inflamasi sistemik akibat adanya infeksi. Sepsis
ditegakkan bila terdapat bakterimia pada pasien dengan inflamasi
sistemik. Dalam perjalanannya, sepsis dapat menjadi sepsis berat,
syok septik, hingga menjadi multiple organ dysfunction syndrome
(MODS).
Istilah Definisi
Systemic Inflamatory Response Minimal 2 dari 4 kriteria :
Syndrome (SIRS) 1. Suhu tubuh >38oC atau
<36oC
2. HR > 90x/menit
3. RR >20x/menit atau PaCO2
<32mmHg
4. Jumlah hitung leukosit
>12.000 atau <4.000, atau
neutrofil batang >10%
Sepsis SIRS dengan bakterimia
Sepsis Berat Sepsis dengan disfungsi organ,
hipotensi, atau hipoperfusi
Syok Septik Sepsis dengan hipotensi yang tidak
membaik setelah terapi resusistasi
cairan awal
MODS Terdapat ganggua fungsi organ
tubuh yang mengganggu
homeostasis
C. Manajemen Nutrisi
Beberapa rekomendasi gizi yang dapat diberikan pada lansia yang
hidup mandiri di tengah masyarakat antara lain (1) Pola makan seimbang
dengan variasi bahan makanan, (2) Sumber karbohidrat terutama komplek
dan mengurangi refined karbohidrat, (3) Sumber protein bervariasi antara
hewani dan nabati, (4) Sumber lemak terutama dari lemak tidak jenuh, (5)
Cukup vitamin, mineral dan serat dengan mengkonsumsi sayur dan buah
(3 porsi sayur dan 2 porsi buah per hari), dan (6) Cukup cairan.
Berbeda dengan diatas, lansia yang dirawat di rumah sakit pada
umumnya dalam keadaan multi patologis. Perlu beberapa tahap untuk
pengelolaan gizi pada geriatric ini. Mulai dari penapisan gizi, pemeriksaan
klinis, antropometri, laboratorium, assessment diet, diagnosis gizi,
inetrvensi gizi dan monitoring.
Dukungan gizi pada lansia dibutuhkan apabila lansia tidak dapat
mencerna makanan dengan baik, kesadaran menurun, menderita penyakit
kronis, dan mempunyai masalah pencernaan (malabsorpsi, maldigesti,
gangguan motilitas). Dukungan gizi peroral diutamakan, namun apabila
ada gangguan saluran cerna bagian atas maka makanan enteral dapat
diberikan. Namun bila saluran cerna tidak dapat difungsikan, maka pilihan
terakhir adalah nutrisi parenteral.
Makanan enteral diberikan melalui pipa. Pemilihan jalur pemberian
berdasarkan prognosis, kualitas hidup dan kondisi mental lansia. (1)
Gastric feeding, pemberian makanan melalui pipa nasogastric (NGT),
melalui pipa nasoenteral, atau melalui percutaneous endoscopic
gastrostomy (PEG) yaitu pipa yang menembus abdomen sampai ke dalam
lambung. (2) Jejunal feeding digunakan apabila ada sumbatan saluran
cerna atas atau tidak berfungsinya lambung (tumor, operasi pada
lambung).
Nutrisi parenteral diberikan pada lansia dengan asupan enteral yang
tidak mencukupi atau tidak memungkinkan diberikan secara enteral
(kontra indikasi makanan enteral). Bila hanya digunakan sebagai gizi
tambahan, maka dapat diberikan melalui vena perifer dengan cairan
perifer. Namun bila indikasi restriksi cairan, maka melalui vena sentral
dengan lipid sebagai sumber energy utama. Kebutuhan kalori 20 kcal/kg
BB/hari. Glukosa merupakan sumber utama, tetapi jika ada intoleransi
glukosa, maka glukosa diberikan mulai dosis kecil namun tidak kurang
dari 100 gr/hari untuk mencegah ketosis dengan maksimal 4mg/kg
BB/hari. Emulsi lemak 10-20% dapat diberikan pada nutrisi parenteral
untuk menbantu pencapaian kebutuhan energy. Untuk protein, dosis
pemberian awal adalah 1-1,5 g/kg BB/hari pada lansia tanpa gangguan
ginjal.
7. Hipotensi Postural
Hipotensi postural adalah penurunan tekanan darah sebesar 20 mmHg
dari posisi berbaring ke duduk dengan salah satu gejala klinik yang
sering timbul adalah iskemia serebral, khususnya sinkop. Pada posisi
berdiri, secara normal 600-800 ml darah dialirkan ke bagian tubuh
inferior terutama tungkai. Penyebaran cairan tubuh tersebut
menyebabkanpenurunan curah jantung sebanyak 20%, penurunan
volume sekuncup 35%, dan akselerasi frekuensi jantung sebanyak 30%.
Pada orang normal sehat, mekanisme kompensasi menyebabkan
vasokonstriksi dan peningkatan denyut jantung yang menyebabkan
tekanan darah tidak turun.Pada lansia, umumnya fungsi baroreseptor
menurun. Tirah baring total selama paling sedikit 3 minggu akan
mengganggu kemampuan seseorang untuk menyesuaikan posisi berdiri
dari berbaring pada orang sehat, hal iniakan lebih terlihat pada lansia.
8. Pneumonia dan Infeksi Saluran Kencing (ISK)
Akibat imobilisasi, retensi sputum dan aspirasi lebih mudah terjadi
padapasien geriatri. Pada posisi berbaring otot diafragma dan interkostal
tidak berfungsi dengan baik sehingga gerakan dinding dada juga menjadi
terbatas yang menyebabkan sputum sulit keluar dan pasien mudah
terkenapneumonia. Aliran urin juga terganggu akibat tirah baring yang
kemudian menyebabkan infeksi saluran kemih. Inkontinensia urin juga
sering terjadipada usia lanjut yang mengalami imobilisasi yang
disebabkanketidakmampuan ke toilet, berkemih yang tidak sempurna,
gangguan status mental, dan gangguan sensai kandung kemih.
9. Gangguan Nutrisi
Imobilisasi akan mempengaruhi sistem metabolik dan sistem endokrin
yang akibatnya akan terjasi perubahan terhadap metabolisme zat gizi.
Salah satu yang terjadi adalah perubahan metabolisme protein. Kadar
plasma kortisol lebih tinggi pada usia lanjut yang mobilisasi sehingga
menyebabkan metabolisme menjadi katabolisme. Keadaan tidak
beraktifitas dan imobilisasi selama 7 hari akan meningkatkan ekskresi
nitrogen urin sehingga terjadi hipoproteinemia.
10.Konstipasi dan Skibala
Imobilisasi lama akan menurunkan waktu tinggal feses di kolon.
Semakin lama feses tinggal di usus besar, absorbsi cairan akan lebih
besar sehingga feses akan menjadi lebih keras.
2. Hubungan stroke dengan keluhan saat ini
Stroke adalah suatu manifestasi klinik gangguan peredaran darah otak yang
menyebabkan defisit neurologik. Kelainan utama stroke adalah kelainan dari pembuluh
darahnya, yang merupakan bagian dari pembuluh darah sistemik. Komplikasi yang sering
terjadi lebih banyak diakibatkan karena pembuluh darah di otak masih merupakan bagian
dari pembuluh darah sistemik. Berdasarkan jenisnya stroke dapat dibagi menjadi;
a. Stroke non hemorrhagik/iskemik yang disebabkan oleh trombosis akibat plak
ateroskeloris dari arteri otak yang memberi vaskularisasi pada otak atau suatu
embolus dari pembuluh darah di luar otak yang tersangkut di arteri otak. Jenis ini
mempunyai prevalensi 80% dari keseluruhan kasus stroke yang ditemukan.
b. Stroke hemorrhagik merupakan 20% dari semua stroke, diakibatkan oleh pecahnya
suatu mikro aneurisme dari Charcot atau etat crible di otak. Tergantung dari tempat
terjadinya, dibedakan menjadi perdarahan intra serebral, sub dural dan sub arachnoid.
Gejala akibat lesi bisa perlu kecermatan tinggi untuk mengenalinya karena bisa
sangat tidak jelas untuk dikenali. Pasien bisa saja datang dengan keluhan lemas separuh
badan pada saat bangun tidur atau bekerja, ada juga yang datang dalam keadaan koma
dalam, sehingga perlu penyingkiran diagnosis banding. Gejala tergantung dari derajat
besar dan letak lesi di otak. Jenis patologi stroke secara umum tidak terlalu berbeda,
kecuali pada stroke hemorrhagik seringkali ditandai dengan nyeri kepala hebat, terjadi
terutama pada saat beraktivitas.
a. Lesi di korteks: gejala terlokalisasi, mengenai daerah lawan dari letak lesi, hilangny
sensasi kortikal (stereognosis,diskriminasi 2 titik) ambang sensorik yang bervariasi,
kurang perhatian terhadap rangsang sensorik, bicara dan penglihatan mungkin
terkena.
b. Lesi di kapsula: lebih luas, mengenai daerah lawan letak lesi, sensasi primer
menghilang, bicara dan penglihatan mungkin terganggu.
c. Lesi di batang otak: luas, bertentangan dengan lesi, mengenai saraf kepala seisi
dengan letak lesi (III-IV otak tengah) (V,VI,VII dan VIII di pons), (IX,X,XI,XII di
medula).
d. Lesi di medula spinalis: neuron motorik bawah di daerah lesi/seisi, neuron motorik
atas di bawah lesi, berlawanan letak lesi, gangguan sensorik.
Komplikasi kronis akibat stroke yang perlu mendapat perhatian khusus adalah
berbaring di tempat tidur yang lama sehingga bisa terjadi pneumonia, dekubitus,
inkontinensia. Defisit neurologik oleh karena stroke dapat menyebabkan pasien kesulitan
untuk beraktivitas secara normal. Sehingga, pasien cenderung akan lebih sering untuk
berbaring di tempat tidur atau duduk di kursi secara terus menerus dan mengarah kepada
timbulnya imobilisasi dan dekubitus serta penyakit infeksi lainnya.
A. KESIMPULAN
Dari tutoial kali ini, berdasarkan skenario yang ada, kelompok kami mempelajari
mengenani manajemen tirah baring pada usia lanjut, sepsis dan manajemen usia akhir
pada lansia. Manejemen usia akhir pada lansia meliputi pemberian terapi farmakologik
dan non-farmakologik meliputi rehabilitasi medik dan pengaturan status gizi.
B. SARAN
Tutorial kali ini berjalan cukup baik, tujuan pembelajaran tercapai. Tutor
memastikan semua tujuan pembelajaran tercapai. Saran untuk peserta adalah dalam
diskusi tutorial, meningkatkan keaktifan berdiskusi sehingga semakin banyak hal yang
bisa dipelajari.
DAFTAR PUSTAKA
Haboubi, N. (2010). Assessment and management of nutrition in older people and its
importance to health. Clinical Interventions in Aging, p.207.
Juneja, D. (2012). Severe sepsis and septic shock in the elderly: An overview. World Journal
of Critical Care Medicine, 1(1), p.23.
Liwang, F. dan Mansjoer, A. (2014). Sepsis dan Syok Sepsis. Dalam : Tanto C, Liwang F,
Hanifati S, Pradipta EA (eds). Kapita Selekta Kedokteran Jilid II. Jakarta: Media
Aesculapius, pp: 857-860.
Darmojo, R.B. (2015). Buku Ajar Boedhi-Darmojo Geriatri (Ilmu Keseharan Usia Lanjut).
Jakarta: Badan Penerbit FK UI, pp: 733-741.
Bansal, C. et al., 2005. Decubitus ulcers: A review of the literature. International Journal of
Dermatology, 44(10), pp.805–810.
Musher, D.M. & Thorner, A.R., 2014. Community-Acquired Pneumonia. New England
Journal of Medicine, 371(17), pp.1619–1628. Available at:
http://www.nejm.org/doi/abs/10.1056/NEJMra1312885.
Panggabean, M.M., 2009. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Interna Publishing, pp.1583–
1585