Anda di halaman 1dari 20

LAPORAN TUTORIAL

BLOK GERIATRI
SKENARIO 3
AKU INGIN BISA DUDUK

Oleh:
Amalia Ifanasari G0014022
Andre Thadeo Abraham G0014032
Atika Rahmah G0014050
Dinda Carissa G0014072
Firdanianti Ulfa G0014100
Handy Nugraha Putra G0014112
Khoirunnisa G0014132
Muh Arif Wira Bahari G0014160
Nabila Gita Ekanara G0014172
Realita Sari G0014198
Syahmadidi Rabbani G0014226
Tia Putri Widayati G0014228
Tutor:

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA
2016
BAB I
PENDAHULUAN

A. Skenario

AKU INGIN BISA DUDUK

Pada usia 87 tahun, Kakek Budi, datang ke IGD diantar oleh keluarga
karena mengeluhkan sesak yang memberat sejak 3 hari, disertai dengan
demam dan batuk dengan dahak berwarna kuning kental. Pasien memiliki
riwayat hpertensi lebih dari 20 tahun. Satu tahun lalu terserang stroke karena
perdarahan di otak. Sudah 1 bulan ini tidak bisa bangun dari tempat tidur,
makan dan minum hanya sedikit, sering tidak mau bicara, dan sulit diajak
komunikasi.
Dari pemeriksaan fisik terakhir di bangsal, pasien tampak sesak dengan
kesadaran apatis, TD 110/60 mmHg, RR 30x/menit, t 36,5 oC, HR 108x/menit,
BMI 14,3. Pada paru tampak sela iga melebar dan didapatkan suara vesikular
meningkat, ronki basah kasar pada lapang paru bawah dengan fremitus taktil
meningkat. Hasil leukosit 21.000. thorak PA tampak infiltrat di kedua lapang
baru bawah.
Kemudian oleh dokter bangsal diberikan oksigen, dipasang cairan
infus, antibiotik dengan salah satu tata laksana non farmakologi dilakukan
pemasangan NGT dengan diit cair, serta konsul di bagian rehabilitasi medik,
dan gizi.

B. Rumusan Masalah
1. Apa saja risiko imbilitas?
2. Bagaimana hubungan stroke dengan keluhan saat ini?
3. Bagaimana interpretasi hasil pemeriksaan?
4. Apa tipe pneumonia pada pasien tersebut?
5. Bagaimana tata laksana untuk pasien tersebut?
6. Mengapa pasien dikonsul ke bagian rehab medik dan gizi?
7. Bagaiman pengaturan gizi pada geriatri?
8. Apa indikasi pemasangan NGT?
9. Apa efek samping dari pemasangan NGT?

C. Tujuan Pembahasan
1. Mengetahui macam-macam risiko imobilitas.
2. Mengetahui hubungan stroke dengan keluhan saat ini.
3. Mengetahui interpretasi hasil pemeriksaan.
4. Mengetahui tipe pneumonia pada pasien tersebut.
5. Mengetahui tata laksana untuk pasien tersebut.
6. Mengetahui alasan pasien dikonsul ke bagian rehab medik dan gizi.
7. Mengetahui pengaturan gizi pada geriatri.
8. Mengetahui indikasi pemasangan NGT.
9. Mengetahui efek samping dari pemasangan NGT.
BAB II
DASAR TEORI

A. Sepsis
a. Definisi
Sepsis adalah respon inflamasi sistemik akibat adanya infeksi. Sepsis
ditegakkan bila terdapat bakterimia pada pasien dengan inflamasi
sistemik. Dalam perjalanannya, sepsis dapat menjadi sepsis berat,
syok septik, hingga menjadi multiple organ dysfunction syndrome
(MODS).
Istilah Definisi
Systemic Inflamatory Response Minimal 2 dari 4 kriteria :
Syndrome (SIRS) 1. Suhu tubuh >38oC atau
<36oC
2. HR > 90x/menit
3. RR >20x/menit atau PaCO2
<32mmHg
4. Jumlah hitung leukosit
>12.000 atau <4.000, atau
neutrofil batang >10%
Sepsis SIRS dengan bakterimia
Sepsis Berat Sepsis dengan disfungsi organ,
hipotensi, atau hipoperfusi
Syok Septik Sepsis dengan hipotensi yang tidak
membaik setelah terapi resusistasi
cairan awal
MODS Terdapat ganggua fungsi organ
tubuh yang mengganggu
homeostasis

b. Patogenesis dan patofisiologi


Kegagalan fungsi organ pada kondisi sepsis disebabkan oleh
terjadinya nekrosis sel pada organ tersebut. Mekanisme kematian sel
dapat disebabkan oleh proses nekrosis seluler akibat jejas iskemik,
proses apoptosis, kerusakan jaringan akibat mediator inflamasi dan
hipoksia sitopatik.
c. Manifestasi klinis
1. Kondisi hiperdinamik (warm shock) : takikardi, peningkatan curah
jantung, serta penurunan resistensi darah sistemik.
2.Kondisi hipodinamik (cold shock) : bentuk lanjut setelah
hiperdinamik yang ditandai dengan penurunan curah jantung.
d. Manajemen dan tata laksana
1.Resusitasi cairan dalam 6 jam pertama
Beri sesegera mungkin pada kondisi hipotensi atau
peningkatan laktat serum >4mmol/L. Resusitasi menggunakan
cairan fisiologis. Berikan cairan kristaloid minimal 30mL/KgBB
bolus cepat selama 30 menit.Target resusitasi : CVP 8-12 mmHg,
MAP ≥ 65 mmHg, produksi urin ≥ 0,5 mL/KgBB/jam dan
normalisasi kadar laktat serum.
2.Pemberian antibiotik
Pemberian antibiotik dilakukan sesuai hasil kultur darah.
Dalam jam pertama perlu diberikan antibiotik empiris intra vena
sesuai lokasi atau sumber infeksi.
3.Pemberian agen vasopresor dan inotropik
Vasopresor diberikan untuk menjaga terkanan arteri rerata
≥ 65 mmHg. Inotropik diberikan pada pasien dengan disfungsi
miokardium. Vasopresor utama adalah norepinefrin.
4.Pemberian kortikosteroid pada pasien dengan syok tanpa perbaikan
tekanan darah setelah resusitasi cairan dan terapi vasopresor.
5.Terapi suportif lainnya meliputi transfusi darah, kontrol glikemik,
profilaksis trombosis vena dalam dan ulkus stres serta manajemen
nutrisi.
e. Prognosis
Pasien sepsis pada lansia umumnya memiliki prognosis
yang buruk dengan angka mortalitas mencapai 50-60%. Prognosis
yang buruk tersebut disebabkan oleh beberapa faktor seperti
terjadinya syok dan kegagalan organ, terutama pada paru dan
jantung.
B. Imobilisasi
Merupakan sebagai ketidakmampuan transfer atau berpindah posisi
atau tirah baring selama 3 hari atau lebih, dengan gerak anatomik tubuh
menghilang akibat perubahan fungsi fisiologik. Imobilisasi sering
dijumpai pada pasien usia lanjut. Organ yang sering terkena antara lain
muskuloskeletal (osteoporosis, penurunan masa tulang, penurunan masa
otot), kardiovaskuler (peningkatan heart rate, penurunan perfusi
myocardium, penurunan volume plasma, hiperkoagulasi), integumen
(dekubitus), metabolik (hiperkalsiuri, resistensi insulin, hiperlipidemia),
gastrointestinal (inkontinensia urin dan alvi, gangguan pengosongan
vesika urinaria, konstipasi), neurologi dan psikiatri (depresi, psikosis,
penurunan kognitif)
Komplikasi pada pasien-pasien imobilisasi antara lain:
a. Kelemahan Otot
Imobilisasi akan menyebabkan atrofi otot dengan penurunan
ukuran dan kekuatan otot. Penurunan kekuatan diperkirakan 1-2%
sehari. Kelemahan otot pada pasien dengan imobilisasi sering kali
terjadi berkaitan dengan penurunan fungsional, kelemahan, dan jatuh.
b. Kontraktur Otot dan Sendi
Pasien yang mengalami tirah baring lama berisiko mengalami
kontraktur karena sendi-sendi tidak digerakkan. Akibatnya timbul
nyeri yang menyebabkan seseorang semakin tidak mau menggerakkan
sendi yang kontraktur tersebut.
c. Ulkus Dekubitus
Luka akibat tekanan merupakan komplikasi yang paling sering
terjadi pada pasien usia lanjut dengan imobilisasi. Jumlah tekanan yang
dapat mempengaruhi mikro sirkulasi kulit pada usia lanjut berkisar
atara 25 mmHg. Tekanan lebih dari 25 mmHg secara terus-menerus
pada kulit atau jaringan lunak dalam waktu lama akan menyebabkan
kompresi pembuluh kapiler. Kompresi pembuluh dalam waktu lama
akan mengakibatkan trombosis intra arteri dan gumpalan fibrin yang
secara permanen mempertahankan iskemia kulit. Relief bekas tekanan
mengakibatkan pembuluh darah tidak dapat terbuka dan akhirnya
terbentuk luka akibat tekanan.
d. Hipotensi Postural
Hipotensi postural adalah penurunan tekanan darah sebesar 20
mmHg dari posisi berbaring ke duduk dengan salah satu gejala klinik
yang sering timbul adalah iskemia serebral, khususnya sinkop. Pada
posisi berdiri, secara normal 600-800 ml darah dialirkan ke bagian
tubuh inferior terutama tungkai. Penyebaran cairan tubuh tersebut
menyebabkan penurunan curah jantung sebanyak 20%, penurunan
volume sekuncup 35%, dan akselerasi frekuensi jantung sebanyak
30%. Pada orang normal sehat, mekanisme kompensasi menyebabkan
vasokonstriksi dan peningkatan denyut jantung yang menyebabkan
tekanan darah tidak turun. Pada lansia, umumnya fungsi baroreseptor
menurun. Tirah baring total selama paling sedikit 3 minggu akan
mengganggu kemampuan seseorang untuk menyesuaikan posisi berdiri
dari berbaring pada orang sehat, hal ini akan lebih terlihat pada lansia.
e. Pneumonia dan Infeksi Saluran Kencing (ISK)
Akibat imobilisasi, retensi sputum dan aspirasi lebih mudah
terjadi pada pasien geriatri. Pada posisi berbaring otot diafragma dan
interkostal tidak berfungsi dengan baik sehingga gerakan dinding
dada juga menjadi terbatas yang menyebabkan sputum sulit keluar
dan pasien mudah terkena pneumonia. Aliran urin juga terganggu
akibat tirah baring yang kemudian menyebabkan infeksi saluran
kemih. Inkontinensia urin juga sering terjadi pada usia lanjut yang
mengalami imobilisasi yang disebabkan ketidakmampuan ke toilet,
berkemih yang tidak sempurna, gangguan status mental, dan
gangguan sensai kandung kemih
f. Gangguan nutrisi (hipoalbuminemia)
Imobilisasi akan mempengaruhi sistem metabolik dan sistem
endokrin yang akibatnya akan terjadi perubahan terhadap
metabolisme zat gizi. Salah satu yang terjadi adalah perubahan
metabolisme protein. Kadar plasma kortisol lebih tinggi pada usia
lanjut yang mobilisasi sehingga menyebabkan metabolisme menjadi
katabolisme. Keadaan tidak beraktifitas dan imobilisasi selama 7 hari
akan meningkatkan ekskresi nitrogen urin sehingga terjadi
hipoproteinemia
g. Trombosis vena dalam akibat sirkulasi darah (gagal jantung konestif,
imobilisasi lama, gumpalan darah) yang tidak baik karena imobilisasi.
h. Emboli paru, karena lepsnya trombosis di vena dan mengalir ke
pembuluh darah paru yang menyebabkan sumbatan aliran darah.
i. Konstipasi dan skibala akibat terlalu lama akibat terlalu lama waktu
tinggal feses di kolon dan absorbsi air akan terjadi terus menerus.

C. Manajemen Nutrisi
Beberapa rekomendasi gizi yang dapat diberikan pada lansia yang
hidup mandiri di tengah masyarakat antara lain (1) Pola makan seimbang
dengan variasi bahan makanan, (2) Sumber karbohidrat terutama komplek
dan mengurangi refined karbohidrat, (3) Sumber protein bervariasi antara
hewani dan nabati, (4) Sumber lemak terutama dari lemak tidak jenuh, (5)
Cukup vitamin, mineral dan serat dengan mengkonsumsi sayur dan buah
(3 porsi sayur dan 2 porsi buah per hari), dan (6) Cukup cairan.
Berbeda dengan diatas, lansia yang dirawat di rumah sakit pada
umumnya dalam keadaan multi patologis. Perlu beberapa tahap untuk
pengelolaan gizi pada geriatric ini. Mulai dari penapisan gizi, pemeriksaan
klinis, antropometri, laboratorium, assessment diet, diagnosis gizi,
inetrvensi gizi dan monitoring.
Dukungan gizi pada lansia dibutuhkan apabila lansia tidak dapat
mencerna makanan dengan baik, kesadaran menurun, menderita penyakit
kronis, dan mempunyai masalah pencernaan (malabsorpsi, maldigesti,
gangguan motilitas). Dukungan gizi peroral diutamakan, namun apabila
ada gangguan saluran cerna bagian atas maka makanan enteral dapat
diberikan. Namun bila saluran cerna tidak dapat difungsikan, maka pilihan
terakhir adalah nutrisi parenteral.
Makanan enteral diberikan melalui pipa. Pemilihan jalur pemberian
berdasarkan prognosis, kualitas hidup dan kondisi mental lansia. (1)
Gastric feeding, pemberian makanan melalui pipa nasogastric (NGT),
melalui pipa nasoenteral, atau melalui percutaneous endoscopic
gastrostomy (PEG) yaitu pipa yang menembus abdomen sampai ke dalam
lambung. (2) Jejunal feeding digunakan apabila ada sumbatan saluran
cerna atas atau tidak berfungsinya lambung (tumor, operasi pada
lambung).
Nutrisi parenteral diberikan pada lansia dengan asupan enteral yang
tidak mencukupi atau tidak memungkinkan diberikan secara enteral
(kontra indikasi makanan enteral). Bila hanya digunakan sebagai gizi
tambahan, maka dapat diberikan melalui vena perifer dengan cairan
perifer. Namun bila indikasi restriksi cairan, maka melalui vena sentral
dengan lipid sebagai sumber energy utama. Kebutuhan kalori 20 kcal/kg
BB/hari. Glukosa merupakan sumber utama, tetapi jika ada intoleransi
glukosa, maka glukosa diberikan mulai dosis kecil namun tidak kurang
dari 100 gr/hari untuk mencegah ketosis dengan maksimal 4mg/kg
BB/hari. Emulsi lemak 10-20% dapat diberikan pada nutrisi parenteral
untuk menbantu pencapaian kebutuhan energy. Untuk protein, dosis
pemberian awal adalah 1-1,5 g/kg BB/hari pada lansia tanpa gangguan
ginjal.

D. Infeksi pada Usia Lanjut


a. Predisposisi Penyakit Infeksi pada Usia Lanjut
1. Faktor Host
a. Keadaan nutrisi
Keadan sering kali tidak baik sehingga dapat mempengaruhi
awitan dan outcome infeksi. Secara klinik keadaan ini dapat
dilihat dari keadaan hidrasi, kadar hemoglobin, kadar albumin,
beberapa mikronutrien yang penting, misalya kadar Cu, Zn, Se
juga beberapa vitamin yang penting pada proses pertahanan
tubuh.
b. Keadaan imunitas tubuh
Imunitas innate seperti kulit, silia, mukosa dan lain-lain yang
sudah berkurang kualitas maupun kuantitasnya, juga dengan
imunitas humoral (berbagai immunoglobulin, sitokin) dan
seluler (netrofil, makrofag, limfosit T)
c. Penurunan fisiologik berbagai organ
Penurunan fungsi paru, ginjal, hati, dan pembuluh darah sangat
mempengaruhi proses infeksi dan pengobatannya. Fungsi
orofaring pada usia lanjut sudah menurun sedemikian rupa,
sehingga seringkali terjadi gerakan kontra peristaltik (terutama
saat tidur) , menyebabkan aspirasi spontan dari flora kuman di
daerah tersebut ke dalam saluran napas bawah dan
menyebabkan terjadinya aspirasi pneumonia. Selain itu obat-
obat an yang aman diberikan pada saat muda harus secara
berhati-hati diberikan pada usia lanjut, karena dapat lebih
memperburuk berbagai fungsi organ, antara lain hati dan
ginjal.
d. Proses patologik (komorbid) yang ada pada penderita.
Karakteristik usia lanjut adalah adanya multi-patologi.
Berbagai penyakit antara lain Diabetes Mellitus, PPOM,
keganasan, atau abnormalitas pembuluh darah dapat
mempermudah terjadinya infeksi, mempersulit proses
pengobatan, dan menyebabkan prognosis lebih buruk.
2. Faktor Kuman
a. Jumlah kuman yang masuk dan bereplikasi
b. Virulensi dari kuman
c. Patogenisitas
3. Faktor Lingkungan
a. Infeksi yang didapat dari komunitas
b. Infeksi yang didapat dari masyarakat
c. Infeksi yang didapat di rumah sakit
d. Infeksi yang didapat dari panti rawat wedha
b. Manifestasi Klinis
1. Demam
Seringkali tidak mencolok, banyak penderita usia lanjut yang jelas
menderita infeksi namun tidak ada gejala demam. Tidak adanya
demam selain memperlambat diagnosis, juga menurunkan efek
fisiologik lekosit dalam melawan infeksi, sehingga angka kematian
penderita lansia dengan infeksi tanpa demam lebih tinggi dari yang
dengan demam. Namun terdapat kemungkinan besar infeksi pada
usia lanjut apabila:
a. Terdapat penetapan suhu metap >2 C
b. Terdapat peningkatan suhu oral >37,2 C atau rektal >37,5 C
2. Gejala Tidak Khas
Gejala nya tidak khas, namun gejala infeksi yang sering didapati
adalah penurunan kesadaran/konfusio, inkonentisia urin, jatuh,
anoreksia, atau kelemahan umum
3. Gejala akibat komorbid
Sering menutupi atau menghilangkan gejala khas akibat penyakit
utama.
c. Contoh Infeksi Usia Lanjut
1. ISK (infeksi Saluran Kemih)
2. Pneumonia
BAB III
PEMBAHASAN

1. Macam-macam risiko imobilitas

a. Faktor yang mempengaruhi mobilisasi


1. Sistem neuromuscular
2. Gaya hidup
3. Ketidakmampuan
4. Tingkat energi
b. Komplikasi imobilisasi
1. Trombosis vena dalam
Merupakan salah satu gangguan vaskular perifer yang penyebabnya
multifaktorial, meliputi faktor genetik dan lingkungan. Terdapat tiga
faktor yang meningkatkan risko trombosis vena dalam yaitu karena
adanya luka di vena dalam karena trauma atau pembedahan,sirkulasi
darah yang tidak baik pada vena dalam, dan berbagai kondisi yang
meningkatkan risiko pembekuan darah. Beberapa kondisi yang dapat
menyebabkan sirkulasi darah tidak baik di vena dalam meliputi gagal
jantung kongestive, imobilisasi lama, dan adanya gumpalan darah
yang telah timbul sebelumnya. Gejala trombosis vena bervariasi, dapat
berupa rasa panas, bengkak, kemerahan, dan rasa nyeri pada tungkai.
2. Emboli paru dapat menghambat aliran darah ke paru dan
memicu refleks tertentu yang dapat menyebabkan panas yang
mengakibatkan nafas berhenti secara tiba-tiba. Sebagian besar emboli
paru disebabkan oleh emboli karena trombosis vena dalam. Berkaitan
dengan trombosis vena dalam, emboli paru disebabkan oleh karena
trombosis yang biasanya berlokasi pada tungkai bawah yang pada
gilirannya akan mencapai pembuluh darah paru dan menimbulkan
sumbatan yang dapat berakibat fatal. Emboli paru akibat trombosis
merupakan penyebab kesakitan dankematian pada pasien lanjut usia.
3. Kelemahan Otot
Imobilisasi akan menyebabkan atrofi otot dengan penurunan ukuran
dankekuatan otot. Penurunan kekuatan diperkirakan 1-2% sehari.
Kelemahanotot pada pasien dengan imobilisasi sering kali terjadi
berkaitan dengan penurunan fungsional, kelemahan, dan jatuh.

4. Kontraktur Otot dan Sendi


Pasien yang mengalami tirah baring lama berisiko mengalami kontraktur
karena sendi-sendi tidak digerakkan. Akibatnya timbul nyeri yang
menyebabkan seseorang semakin tidak mau menggerakkan sendi yang
kontraktur tersebut.
5. Osteoporosis
Osteoporosis timbul sebagai akibat ketidak seimbangan antara reabsorpsi
tulang dan pembentukan tulang. Imobilisasi meningkatkan resabsorpsi
tulang, meningkatkan kalsium serum, menghambat sekresi PTH, dan
produksi vitamin D3 aktif. Faktor utama yang menyebabkan kehilangan
massatulang pada imobilisasi adalah meningkatnya resorpsi tulang.
6. Ulkus Dekubitus
Luka akibat tekanan merupakan komplikasi yang paling sering
terjadipada pasien usia lanjut dengan imobilisasi. Jumlah tekanan yang
dapat mempengaruhi mikro sirkulasi kulit pada usia lanjut berkisar atara
25mmHg. Tekanan lebih dari 25 mmHg secara terus-menerus pada
kukitatau jaringan lunak dalam waktu lama akan menyebabkan kompresi
pembuluh kapiler. Kompresi pembuluh dalam waktu lama akan
mengakibatkan trombosis intra arteri dan gumpalan fibrin yang secara
permanen mempertahankan iskemia kulit. Relief bekas tekanan
mengakibatkan pembuluh darah tidak dapat terbuka dan
akhirnyaterbentuk luka akibat tekanan.

7. Hipotensi Postural
Hipotensi postural adalah penurunan tekanan darah sebesar 20 mmHg
dari posisi berbaring ke duduk dengan salah satu gejala klinik yang
sering timbul adalah iskemia serebral, khususnya sinkop. Pada posisi
berdiri, secara normal 600-800 ml darah dialirkan ke bagian tubuh
inferior terutama tungkai. Penyebaran cairan tubuh tersebut
menyebabkanpenurunan curah jantung sebanyak 20%, penurunan
volume sekuncup 35%, dan akselerasi frekuensi jantung sebanyak 30%.
Pada orang normal sehat, mekanisme kompensasi menyebabkan
vasokonstriksi dan peningkatan denyut jantung yang menyebabkan
tekanan darah tidak turun.Pada lansia, umumnya fungsi baroreseptor
menurun. Tirah baring total selama paling sedikit 3 minggu akan
mengganggu kemampuan seseorang untuk menyesuaikan posisi berdiri
dari berbaring pada orang sehat, hal iniakan lebih terlihat pada lansia.
8. Pneumonia dan Infeksi Saluran Kencing (ISK)
Akibat imobilisasi, retensi sputum dan aspirasi lebih mudah terjadi
padapasien geriatri. Pada posisi berbaring otot diafragma dan interkostal
tidak berfungsi dengan baik sehingga gerakan dinding dada juga menjadi
terbatas yang menyebabkan sputum sulit keluar dan pasien mudah
terkenapneumonia. Aliran urin juga terganggu akibat tirah baring yang
kemudian menyebabkan infeksi saluran kemih. Inkontinensia urin juga
sering terjadipada usia lanjut yang mengalami imobilisasi yang
disebabkanketidakmampuan ke toilet, berkemih yang tidak sempurna,
gangguan status mental, dan gangguan sensai kandung kemih.
9. Gangguan Nutrisi
Imobilisasi akan mempengaruhi sistem metabolik dan sistem endokrin
yang akibatnya akan terjasi perubahan terhadap metabolisme zat gizi.
Salah satu yang terjadi adalah perubahan metabolisme protein. Kadar
plasma kortisol lebih tinggi pada usia lanjut yang mobilisasi sehingga
menyebabkan metabolisme menjadi katabolisme. Keadaan tidak
beraktifitas dan imobilisasi selama 7 hari akan meningkatkan ekskresi
nitrogen urin sehingga terjadi hipoproteinemia.
10.Konstipasi dan Skibala
Imobilisasi lama akan menurunkan waktu tinggal feses di kolon.
Semakin lama feses tinggal di usus besar, absorbsi cairan akan lebih
besar sehingga feses akan menjadi lebih keras.
2. Hubungan stroke dengan keluhan saat ini
Stroke adalah suatu manifestasi klinik gangguan peredaran darah otak yang
menyebabkan defisit neurologik. Kelainan utama stroke adalah kelainan dari pembuluh
darahnya, yang merupakan bagian dari pembuluh darah sistemik. Komplikasi yang sering
terjadi lebih banyak diakibatkan karena pembuluh darah di otak masih merupakan bagian
dari pembuluh darah sistemik. Berdasarkan jenisnya stroke dapat dibagi menjadi;
a. Stroke non hemorrhagik/iskemik yang disebabkan oleh trombosis akibat plak
ateroskeloris dari arteri otak yang memberi vaskularisasi pada otak atau suatu
embolus dari pembuluh darah di luar otak yang tersangkut di arteri otak. Jenis ini
mempunyai prevalensi 80% dari keseluruhan kasus stroke yang ditemukan.
b. Stroke hemorrhagik merupakan 20% dari semua stroke, diakibatkan oleh pecahnya
suatu mikro aneurisme dari Charcot atau etat crible di otak. Tergantung dari tempat
terjadinya, dibedakan menjadi perdarahan intra serebral, sub dural dan sub arachnoid.
Gejala akibat lesi bisa perlu kecermatan tinggi untuk mengenalinya karena bisa
sangat tidak jelas untuk dikenali. Pasien bisa saja datang dengan keluhan lemas separuh
badan pada saat bangun tidur atau bekerja, ada juga yang datang dalam keadaan koma
dalam, sehingga perlu penyingkiran diagnosis banding. Gejala tergantung dari derajat
besar dan letak lesi di otak. Jenis patologi stroke secara umum tidak terlalu berbeda,
kecuali pada stroke hemorrhagik seringkali ditandai dengan nyeri kepala hebat, terjadi
terutama pada saat beraktivitas.
a. Lesi di korteks: gejala terlokalisasi, mengenai daerah lawan dari letak lesi, hilangny
sensasi kortikal (stereognosis,diskriminasi 2 titik) ambang sensorik yang bervariasi,
kurang perhatian terhadap rangsang sensorik, bicara dan penglihatan mungkin
terkena.
b. Lesi di kapsula: lebih luas, mengenai daerah lawan letak lesi, sensasi primer
menghilang, bicara dan penglihatan mungkin terganggu.
c. Lesi di batang otak: luas, bertentangan dengan lesi, mengenai saraf kepala seisi
dengan letak lesi (III-IV otak tengah) (V,VI,VII dan VIII di pons), (IX,X,XI,XII di
medula).
d. Lesi di medula spinalis: neuron motorik bawah di daerah lesi/seisi, neuron motorik
atas di bawah lesi, berlawanan letak lesi, gangguan sensorik.
Komplikasi kronis akibat stroke yang perlu mendapat perhatian khusus adalah
berbaring di tempat tidur yang lama sehingga bisa terjadi pneumonia, dekubitus,
inkontinensia. Defisit neurologik oleh karena stroke dapat menyebabkan pasien kesulitan
untuk beraktivitas secara normal. Sehingga, pasien cenderung akan lebih sering untuk
berbaring di tempat tidur atau duduk di kursi secara terus menerus dan mengarah kepada
timbulnya imobilisasi dan dekubitus serta penyakit infeksi lainnya.

3. Interpretasi hasil pemeriksaan


a. Ronki basah
Ronki basah adalah suara tambahan disamping suara nafas, yaitu bunyi gelembung-
gelembung udara yang melewati cairan (gurgling atau bubling) terutama pada fase
inspirasi. Ronki basah disebabkan oleh adanya eksudat atau cairan dalam bronkiolus
atau alveoli dan bisa juga pada bronkus dan trakea. Ada ronki basah nyaring
contohnya pada infiltrat paru dan ronki basah tak nyaring misalnya pada bendungan
paru. Ada ronki basah kasar, ini biasanya berasal dari cairan yang berada dibronkus
besar atau trakea, ada ronki basah sedang dan ada pula ronki basah halus yang
terutama terdengar pada akhir inspirasi, terdengar seperti bunyi gesekan rambut antara
jari telunjuk dengan empu jari.
b. Ronki kering
Ronki kering disebabkan lewatnya udara melalui penyempitan saluran nafas,
inflamasi atau spasme saluran nafas seperti pada bronkitis atau asma bronkial. Ronki
kering lebih dominant pada fase ekspirasi terdengar squeking dan grouning, pada
saluran yang lebih besar adalah deep tone grouning (sonorous) dan pada saluran yang
lebih kecil terdengar squeking dan whistling (sibilant). Ronki kering dengan berbagai
kualitas frekuensi pitchnya disebut musical rales (seperti pada asma bronkial)
c. Respiratory rate naik (30x/menit). Normalnya 14-20 kali permenit.
d. Heart rate naik (108x/menit). Normalnya 60-100 kali
e. Fremitus tak permenittil meningkat menunjukkan adanya rambatan udara tidak
normal di area dada.

4. Tipe pneumonia pada pasien tersebut


Dilihat dari riwayat pasien yang tidak sedang atau setelah rawat inap di rumah sakit,
maka pneumonia tipe Community-Acquired Pneumonia. Pneumonia ini ini terjadi
dikarenakan tertular bakteri penyebab pneumonia di lingkungannya melalui inhalasi.

5. Tata laksana untuk pasien tersebut


Pasien pada skenario mengalami sepsis. Untuk sepsis pada pasien tersebut maka
perlu tata laksana berupa pemberian cairan resusitasi serta pemberian antibiotik sesuai
kebutuhan pasien. Jika setelah langkah awal tersebut kondisi pasien belum membaik
maka perlu diberikan agen vasopresor dan kortikosteroid untuk memperbaiki sirkulasi
pada pasien.
Pasien mengalami pneumonia komunitas. Pemberian antibiotik pada pasien dengan
pneumonia komunitas perlu meihat faktor risiko infeksi pseudomonas. Untuk pasien
tanpa risiko infeksi pseudomonas perlu diberikan sefalosporin generasi III (seftriakson
IV 1-2g/12jam) ditambah aminoglikosida (gentamisin IV 7mg/kgBB/jam) pada pasien
degan risiko infeksi pseudomonas maka perlu diberikan sefepim IV (1-2g/8-12jam) atau
seftadisim IV (2g/8jam) atau meropenem IV (1g/8jam) atau imipenem IV (500g/6jam)
ditambah siprofloksasin IV (400 mg/8jam) atau gentamisin IV (7mg/kgBB/jam).

6. Alasan pasien dikonsul ke bagian rehab medik dan gizi


Pasien di konsul ke bagian gizi karena pasien memiliki indeks masa tubuh yang
rendah sehingga perlu manajemen nutrisi yang baik sesuai pasien tersebut. Pasien
dikonsul juga ke bagian rehab medik untuk tetap menjaga dan memperbaiki fungsi tubuh
pasien.
Rehab medik pada pasien lansia meliputi fisio terapi, terapi okupasi, terapi wicara,
program orthosis prostetis, dan psikoterapi. Tujuan rehabilitasi medik pada pasien lansia
adalah mempertahankan kualitas hidup, mengurangi kecacatan, dan mengurangi
ketergantungan.

7. Pengaturan gizi pada geriatri


Lansia yang dirawat di rumah sakit pada umumnya dalam keadaan multi patologis.
Perlu beberapa tahap untuk pengelolaan gizi pada geriatric ini. Mulai dari penapisan gizi,
pemeriksaan klinis, antropometri, laboratorium, assessment diet, diagnosis gizi, inetrvensi
gizi dan monitoring. Untuk dukungan gizi yang dibutuhkan seperti yang telah tercantum
pada bab II Dasar Teori mengenai Manajemen Gizi.

8. Indikasi pemasangan NGT


- Lansia tidak dapat mencerna makanan dengan baik
- Kesadaran menurun
- Menderita penyakit kronis
- Mempunyai masalah pencernaan (malabsorpsi, maldigesti, gangguan motilitas).

9. Efek samping dari pemasangan NGT


Risiko kejadian aspirasi sangat besar terutama bagi pasien refluks esophagus,
gastroparesis, gangguan fungsi menelan dan koma. Risiko aspirasi ini dapat ditekan
dengan pemasangan pipa nasoenteral. Namun, pipa nasoenteral pada umumnya
mempunyai diameter kecil sehingga jenis formula yang dapat diberikan sangat terbatas.
BAB IV
PENUTUP

A. KESIMPULAN

Dari tutoial kali ini, berdasarkan skenario yang ada, kelompok kami mempelajari
mengenani manajemen tirah baring pada usia lanjut, sepsis dan manajemen usia akhir
pada lansia. Manejemen usia akhir pada lansia meliputi pemberian terapi farmakologik
dan non-farmakologik meliputi rehabilitasi medik dan pengaturan status gizi.

B. SARAN
Tutorial kali ini berjalan cukup baik, tujuan pembelajaran tercapai. Tutor
memastikan semua tujuan pembelajaran tercapai. Saran untuk peserta adalah dalam
diskusi tutorial, meningkatkan keaktifan berdiskusi sehingga semakin banyak hal yang
bisa dipelajari.
DAFTAR PUSTAKA

Haboubi, N. (2010). Assessment and management of nutrition in older people and its
importance to health. Clinical Interventions in Aging, p.207.
Juneja, D. (2012). Severe sepsis and septic shock in the elderly: An overview. World Journal
of Critical Care Medicine, 1(1), p.23.
Liwang, F. dan Mansjoer, A. (2014). Sepsis dan Syok Sepsis. Dalam : Tanto C, Liwang F,
Hanifati S, Pradipta EA (eds). Kapita Selekta Kedokteran Jilid II. Jakarta: Media
Aesculapius, pp: 857-860.
Darmojo, R.B. (2015). Buku Ajar Boedhi-Darmojo Geriatri (Ilmu Keseharan Usia Lanjut).
Jakarta: Badan Penerbit FK UI, pp: 733-741.
Bansal, C. et al., 2005. Decubitus ulcers: A review of the literature. International Journal of
Dermatology, 44(10), pp.805–810.
Musher, D.M. & Thorner, A.R., 2014. Community-Acquired Pneumonia. New England
Journal of Medicine, 371(17), pp.1619–1628. Available at:
http://www.nejm.org/doi/abs/10.1056/NEJMra1312885.
Panggabean, M.M., 2009. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Interna Publishing, pp.1583–
1585

Anda mungkin juga menyukai