Anda di halaman 1dari 12

LAPORAN PRAKTIKUM FARMAKOLOGI

EFEK OBAT SISTEM SARAF OTONOM


(PENGARUH OBAT KOLINERGIK DAN ANTIKOLINERGIK
TERHADAP KELENJAR SALIVA DAN MATA)

Disusun oleh :
Fatimatu Zahro (18121294)

POLITEKNIK HANG TUAH JAKARTA


PROGRAM STUDI DIII FARMASI
TAHUN AJARAN 2019/2020
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Farmakologi atau ilmu khasiat obat adalah ilmu yang mempelajari kemampuan obat
dengan seluruh aspeknya, baik sifat kimiawi maupun fisikanya, kegiatan fisiologi, resorpsi
dan nasipnya didalam organisme hidup.
Sistem saraf otonom adalah bagian sistem saraf tepi yang mengatur fungsi viseral tubuh.
diaktifkan oleh pusat-pusat yang terletak di medula spinalis, batang otak, dan hipotalamus.
Sistem saraf otonom disusun oleh serabut saraf yang berasal dari otak. Dua perangkat neuron
dalam komponen otonom pada sistem saraf perifer adalah neuron aferen atau sensorik dan
neuron eferen atau motorik. Jalur eferen dalam sistem saraf otonom dibagi menjadi dua
cabang yaitu saraf simpatis dan saraf parasimpatis. Dimana kedua sistem saraf ini bekerja
pada organ-organ yang sama tetapi menghasilkan respon yang berlawanan agar tercapainya
homeostatis (keseimbangan). Kerja obat-obat pada sistem saraf simpatis dan sistem saraf
parasimpatis dapat berupa respon yang merangsang atau menekan.
1.2 Maksud dan Tujuan Praktikum
 Menghayati secara lebih baik pengaruh berbegai obat system saraf otonom dalam
pengendalian fungsi vegetative tubuh.
 Mengenal teknik untuk mengevaluasi aktivitas obat kolinergeik atau antikolinergik
pada neuroefektor parasimpatis.
1.3 Prinsip Percobaan
Percobaan Pemberian zat kolinergik pada hewan percobaan menyebabkan salivasi dan
hipersalivasi yang dapat diinhibisi oleh zat antikolinergik.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Sistem saraf dibagi mnjadi 2, sistem saraf pusat (SSP) dan sistem saraf Tepi (SST). SSP
terdiri dari otak dan medulla spinalis, SST mempunyai 2 cabang, sistem saraf somatik (SSS) dan
sistem saraf otonom (SSO). Sistem saraf otonom adalah bagian sistem saraf tepi yang mengatur
fungsi viseral tubuh. diaktifkan oleh pusat-pusat yang terletak di medula spinalis, batang otak,
dan hipotalamus. Fungsi SSO adalah mengendalikan dan mengatur organ-organ otonom, seperti
jantung, saluran gastrointestinal (GI), mata, kandung kemih, pembuluh darah, kelenjar, paru-paru
dan bronkus.
SSO mmpunyai 2 neuron, yaitu aferen (sensorik) dan eferen (motorik). Neuron aferen
mengirimkan inpuls (informasi) ke SSP, untuk diinterprestasikan. Neuron eferen menerima
inpuls dari otak dan diteruskan melalui medulla spinalis ke sel-sel organ efektor, seperti jantung,
paru-paru, dan saluran pencernaan. Jalur eferen dari SSO dibagi menjadi 2, yang sering disebut
sebagai sistem saraf simpatik dan sistem saraf para simpatik.
Sistem saraf simpatik bersifat katabolik artinya menghabiskan energi. Sistem saraf
parasimpatik bersifat anabolik berarti berusaha menyimpan energi. Kerja obat pada kedua sistem
saraf ini menyebabkan perangsangan atau penghambatan. Sistem saraf simpatik dan parasimpatik
jika bekerja pada organ yang sama akan menghasilkan efek yang berlawanan untuk tujuan
keseimbangan, kecuali pada organ tertentu.
Didalam sistem saraf otonom terdapat obat otonom. Obat otonom adalah obat yang
bekerja pada berbagai bagaian susunan saraf otonom, mulai dari sel saraf sampai dengan sel
efektor. Obat-obat otonom bekerja mempengaruhi penerusan impuls dalam susunan saraf otonom
dengan jalan mengganggu sintesa, penimbunan, pembebasan atau penguraian
neurohormon tersebut dan khasiatnya atas reseptor spesifik.
Berdasarkan macam-macam saraf otonom tersebut, maka obat berkhasiat pada sistem
saraf otonom digolongkan menjadi:
1. Obat yang mempengaruhi sistem saraf simpatik: ·
a. Simpatomimetik/ adrenergik, yaitu obat yang meniru efek perangsangan dari saraf simpatik
(oleh noradrenalin). Contohnya, efedrin, isoprenalin, dan lain-lain.
b. Simpatolitik/ adrenolitik, yaitu obat yang meniru efek bila saraf parasimpatik ditekan atau
melawan efek adrenergic. Contohnya alkaloida sekale, propanolol, dan lain-lain.
2. Obat yang mempengaruhi sistem saraf parasimpatik:
a. Parasimpatomimetik/ kolinergik, yaitu obat yang meniru perangsangan dari saraf
parasimpatik oleh asetilkolin. Contohnya pilokarpin dan phisostigmin.
b. Parasimpatolitik/ antikolinergik, yaitu obat yang meniru bila saraf parasimpatik ditekan
atau melawan efek kolinergik. Contohnya alkaloida belladonna.
Kolenergika atau parasimpatomimetika adalah sekelompok zat yang dapat menimbulkan
efek yang sama dengan stimulasi saraf parasimpatis, karena melepaskan neurohormon asetilkolin
(ACh) di ujung-ujung neuronnya. Bila neuron saraf parasimpatis dirangsang, timbullah sejumlah
efek yang menyerupai keadaan istirahat dan tidur. Efek kolinergis faal yang terpenting seperti:
1. Stimulasi pencernaan dengan jalan memperkuat peristaltik dan sekresi kelenjar
ludah dan getah lambung (HCl).
2. Sekresi air mata.
3. Memperkuat sirkulasi, antara lain dengan mengurangi kegiatan jantung,
vasodilatasi, dan penurunan tekanan darah.
4. Memperlambat pernafasan, antara lain dengan menciutkan bronchi, sedangkan
sekresi dahak diperbesar.
5. Kontraksi otot mata dengan efek penyempitan pupil (miosis) dan menurunnya
tekanan intraokuler akibat lancarnya pengeluaran air mata.
6. Kontraksi kantung kemih dan ureter dengan efek memperlancar pengeluaran urin.
7. Dilatasi pembuluh dan kotraksi otot kerangka, menekan SSP setelah pada
permulaan menstimulasinya, dan lain-lain.
Reseptor kolinergik terdapat dalam semua ganglia, sinaps, dan neuron postganglioner dari
saraf parasimpatis, juga pelat-pelat ujung motoris dan di bagian SSP yang disebut sistem
ekstrapiramidal. Berdasarkan efeknya terhadap perangsangan, reseptor ini dapat dibagi menjadi dua
bagian, yakni:
1. Reseptor Muskarinik
Reseptor ini, selain ikatannya dengan asetilkolin, mengikat pila muskarin, yaitu
suatu alkaloid yang dikandung oleh jamur beracun tertentu. Sebalikya, reseptor
muskarinik ini menunjukkan afinitas lemah terhadap nikotin.
2. Reseptor Nikotinik
Reseptor ini selain mengikat asetilkolin, dapat pula mengenal nikotin, tetapi
afinitas lemah terhadap muskarin. Tahap awal nikotin memang memacu reseptor
nikotinik, namun setelah itu akan menyerap reseptor itu sendiri.

Alkaloid pilokarpin adalah suatu amin tersier dan stabil dari hidrolisis oleh
asetilkolenesterase. Pilokarpin juga merupakan salah satu pemacu sekresi kelenjar yang terkuat
pada kelenjar keringat, air mata, dan saliva, tetapi obat ini tidak digunakan untuk maksud demikian.
Pilokarpin adalah obat terpilih dalam keadaan gawat yang dapat menurunkan tekanan bola mata
baik glaukoma bersudut sempit maupun bersudut lebar. Di samping kemampuannya dalam
mengobati glaukoma, pilokarpin juga mempunyai efek samping dimana pilokarpin dapat mencapai
otak dan menimbulkan gangguan SSP. Obat ini merangsang keringat dan salivasi yang berlebihan.
Atropin memiliki afinitas kuat terhadap reseptor muskarinik dimana obat ini terikat secara
kompetitif sehingga mencegah asetilkolin terikat pada tempatnya di reseptor muskarinik. Atropin
menyekat reseptor muskarinik baik di sentral maupun di saraf tepi. Kerja obat ini berlangsung
sekitar 4 jam, kecuali jika diteteskan ke dalam mata maka kerjanya bahkan sampai berhari-hari.
Atropin menghambat M. contrictor pupilae dan M. ciliaris lensa mata sehingga menyebabkan
midriasis dan siklopegia (paralisis mekanisme akomodasi). Midriasis mengakibatkan fotofobia
sedangkan sklopegia menyebabkan hilangnya daya melihat jarak dekat. Midriasis oleh atropine
dapat diatasi oleh pilokarpin, eserin atau DFP. Tekanan intraocular pada mata yang normal tidak
banyak mengalami perubahan tetapi pada penderita glaucoma, pengeluaran cairan intraocular akan
terhambar (terutama pada glaucoma sudut sempit) sehingga dapat meningkatkan tekanan
intraocular. Hal ini disebabkan dalam keadaan midriasis, saluran schlemm yang terletak di sudut
bilik depan mata menyempit sehingga terjadi bendungan cairan bola mata.
BAB III
METODE KERJA
Alat, bahan dan prosedur kerja
1. Kolinergik dan Antikolinergik Kelenjar Saliva
Hewan coba : Kelinci (jumlah 1 ekor), bobot tubuh ±1,5 kg
Obat : - Fenobarbital 100 mg/ 70 kgBB manusia secara IV
- Pilokarpin HCl 5 mg/kg BB kelinci secara IM
- Atropin SO4 0,25 mg/ kgBB kelinci secara IV
Alat : Spuit injeksi 1 ml, timbangan hewan, corong gelas, beaker glass, gelas
ukur
Prosedur:
1. Siapkan kelinci.
2. Hitung dosis dan volume pemberian obat dengan tepat untuk kelinci.
3. Sedasikan kelinci dengan fenobarbital 100 mg/ 70 kgBB manusia secara IV.
4. Suntikkan kelinci dengan pilokarpin HCl 5 mg/kg BB kelinci secara IM.
5. Catat waktu saat muncul efek salivasi akibat pilokarpin HCl dan tampung saliva yang
diekskresikan kelinci ke dalam beaker glass selama lima menit. Ukur volume saliva yang
ditampung.
6. Setelah lima menit, suntikkan atropin SO4 0,25 mg/ kgBB kelinci secara IV.
7. Catat waktu saat muncul efek salivasi akibat atropine SO4 dan tampung saliva yang
diekskresikan kelinci ke dalam beaker glass selama lima menit. Ukur volume saliva yang
ditampung.

Percobaan Bahan Obat Efek Salivasi


Efek obat system Kelinci Pilokarpin HCl Volume saliva yang
saraf otonom ditampung selama 5
pada kelenjar menit (ml)
Atropine SO4 Volume saliva yang
saliva
ditamoung selama 5
menit (ml)
2. Kolinergi dan antikolinergik mata

Hewan coba : Kelinci (jumlah 1 ekor), bobot tubuh ±1,5 kg


Obat : - Tetes mata pilokarpin HCl sebanyak 3 tetes
- Tetes mata atropin SO4 sebanyak 3 tetes
- Larutan NaCl 0,9%
Alat : Senter, loupe, penggaris
Prosedur:

1. Siapkan kelinci. Gunting bulu mata kelinci agar tidak mengganggu pengamatan.
2. Sebelum pemberian obat; amati, ukur dan catat diameter pupil pada cahaya suram dan pada
penyinaran dengan senter.
3. Teteskan ke dalam kantong konjungtiva kelinci:
a. Mata kanan : tetes mata pilokarpin HCl sebanyak 3 tetes
b. Mata kiri : tetes mata pilokarpin HCl sebanyak 3 tetes
4. Tutup masing-masing kelopak mata kelinci selama satu menit.
5. Amati, ukur dan catat diameter pupil setelah pemberian obat.
6. Uji respon refleks mata.
7. Setelah terjadi miosis kuat pada kedua mata, teteskan atropine SO4.
8. Amati, ukur dan catat diameter pupil setelah pemberian obat.
9. Catat dan tabelkan pengamatan.
10. Setelah percobaan di atas selesai, teteskan larutan fisiologis NaCl 0,9% pada kedua mata
kelinci.
Percobaan Bahan Efek diameter pupil mata
Efek obat system Mata Cahaya suram (cm)
saraf otonom pada kanan Cahaya senter (cm)
Setelah pemberian pilokarpin HCl (cm)
mata kelinci Respon refleks mata
Setelah pemberian atropine SO4 (cm)
Mata kiri Cahaya suram (cm)
kelinci Cahaya senter (cm)
Setelah pemberian pilokarpin HCl (cm)
Respon reflex mata
Setelah pemberian atropine SO4 (cm)

BAB IV

HASIL PERCOBAAN DAN PEMBAHASAN

1. Kolinergik dan Antikolinergik Kelenjar Saliva


Perhitungan dosis

RUMUS :
(1) Konversi Dosis = Dosis Lazim (mg) x Faktor Konversi
BB yang diketahui ( g)
(2) Dosis berdasarkan BB = x Hasil Konversi (mg)
BB maksimal(g)
Jumlah Dosis Berdasarkan BB (mg)
(3) Volume Pemberian = x Konsentrasi sediaan obat (ml)
Jumlah Dosis yang tersedia (mg)

 Fenobarbital 100mg/70kgBB manusia


Konversi dosis = 100 mg× 0,07
= 7 mg
1,5 kg
Dosis berdasarkan BB = × 7 mg=7 mg
1,5 kg
7 mg
Volume pemberian = ×1 ml=0,07 ml
100 mg
 Pilokarpin HCl 5mg/kgBB kelinci
Konversi dosis = 5 mg× 1,0
= 5 mg
1,5 kg
Dosis berdasarkan BB = × 5 mg=5 mg
1,5 kg
5 mg
Volume pemberian = ×5 ml=0,25 ml
100 mg
 Atropine SO4 0,25mg/kgBB kelinci
Konversi dosis = 0,25 mg ×1,0
= 0,25 mg
1,5 kg
Dosis berdasarkan BB = × o , 25 mg=0,25 mg
1,5 kg
0,25 mg
Volume pemberian = ×5 ml=0,025 ml
50 mg

Table hasil pengamatan

Percobaan Bahan Obat Efek Salivasi


Efek obat system Kelinci Pilokarpin HCl Volume saliva yang 1,2ml
saraf otonom ditampung selama 5
pada kelenjar menit (ml)
saliva Atropine SO4 Volume saliva yang 0,3ml
ditamoung selama 5
menit (ml)
Pada praktikum pengaruh obat otonom terhadap kelenjar saliva ini menggunakan hewan uji
berupa kelinci dengan berat 1,5kg. Pada praktikum ini, menggunakan obat berupa fenobarbital,
atropine SO4 dan pilokarpin HCl. Sebelum melakukan uji kelinci disedasikan menggunakan
fenobarbital secara IV.

Setelah kelinci disedasikan suntikan pilokarpin HCl secara IM, tunggu selama lima menit
tampung saliva dalam beaker glass lalu ukur dan catat saliva yang dihasilkan. Didapatkan hasil 1.2ml
pada percobaan ini. Setelah itu, suntikan atropine SO4 secara IV tampung saliva dalam beaker glass
lalu ukur dan catat saliva yang dihasilkan. Setelah pemberian lima menit didapatkan hasil 0,3ml pada
percobaan ini.

Dalam percobaan diatas fenobarbital digunakan sebagai obat untuk mensedasikan kelinci agar
kelinci tenang dan praktikan dapat melakukan percobaan dengan lebih mudah. Dapat dilihat dari hasil
percobaan diatas saat kelinci diberikan pilokarpin HCl setelah 5 menit pengamatan saliva yang
dihasilkan lebih banyak ini berarti pilokarpin HCl bersifat kolinergik karena kolinergik bekerja
dengan merangsang atau menstimulasi saraf parasimpatik. Sebaliknya saat kelinci diberikan atropine
SO4 dan diamati selama 5 menit saliva yang dihasilkan lebih sedikit ini berarti atropine bersifat
antikolinergik karena bekerja dengan cara menghambat. Onset kerja pada pemberian secara injeksi
IV, atropine akan segera hilang dalam darah, dengan efek kerja dalam waktu 3 menit. Sedangkan
konsentrasi puncak obat atropine dalam darah , pada pemberian injeksi secara IM terjadi sekitar 30
menit.

2. Kolinergik dan Antikolinergik mata

Percobaan Bahan Efek diameter pupil mata


Efek obat system Mata Cahaya suram (cm) 1
saraf otonom pada kanan Cahaya senter (cm) 0,9
mata kelinci Setelah pemberian pilokarpin HCl (cm) 0,6
Respon refleks mata Berkedip
Setelah pemberian atropine SO4 (cm) 0,9
Mata kiri Cahaya suram (cm) 1
kelinci Cahaya senter (cm) 0,9
Setelah pemberian pilokarpin HCl (cm) 0,7
Respon reflex mata Berkedip
Setelah pemberian atropine SO4 (cm) 0,9

Pada praktikum pengaruh obat otonom terhadap mata, ini menggunakan hewan uji berupa
kelinci dengan berat 1,5kg. Pada praktikum ini, menggunakan obat tetes mata berupa atropin, dan
pilokarpin. Sebelum mulai percobaan bulu mata kelinci dicukur terlebih dahulu agar tidak
mengganggu pengamatan. Amati, ukur dan catat diameter pupil pada cahaya suram dan pada
penyinaran dengan senter.

Setelah dilakukan persiapan, lakukan percobaan dengan menggunakan obat tetes pilokarpin
HCl sebanyak 3 tetes untuk mata kanan dan obat tetes atropine sebanyak 3 tetes untuk mata kiri.
Setelah itu tutup kedua mata kelinci. Setelah 1 menit amati, ukur dan catat diameter pupil mata kelinci
setelah diberikan obat. Setelah itu uji respon reflex mata menggunakan sebagian bulu mata kelinci
yang tadi dicukur saat persiapan.

Dari hasil percobaan di atas didapatkan hasil sebelum dilakukan percobaan pupil mata kelinci
pada cahaya senter adalah 0,9cm lalu diberikan obat tetes mata pilokarpin HCl. Setelah 1 menit, pada
mata kanan terjadi pengecilan diameter pupil (miosis) menjadi 0,6cm, begitu juga pada mata kiri
terjadi pengecilan diameter pupil (miosis) dari 0,9cm menjadi 0,7cm. Hal ini dikarenakan pilokarpin
termasuk golongan agonis kolinergik di muskarinik, yaitu obat yang menduduki reseptor dan
menimbulkan efek yang mirip dengan efek transmitter kolinergik. Serta salah satu dampak dari
farmakodinamik pilokarpin di mata yaitu sebagai kontriktor pupil. Pada obat tetes pilocarpine, onset
miosis akan terjadi pada 10-30 menit setelah tetes dan akan menurunkan tekanan intraokuler dalam
waktu 1 jam setelah pemberian. Durasi kerja miotikum pada obat tetes mata pilokarpine adalah sekitar
4 hingga 8 jam setelah pemberian. Obat tetes mata pilocarpine memiliki durasi kerja sebagai penurun
tekanan intraokuler selama 4 hingga 12 jam.
Setelah pemberian pilokarpin HCl pada mata kelinci dan terjadi miosis. Selanjutnya mata
kelinci diberikan obat tetes mata atropine SO4. Setelah 1 menit didapatkan hasil pada mata kanan
kelinci mengalami pelebaran pupil (midriasis) dari 0,6cm menjadi 0,9cm, begitu juga pada mata kiri
kelinci terjadi pelebaran pupil (midriasis) menjadi 0,9cm. Hal ini disebabkan atropine termasuk
golongan antagonis kolinergik/parasimpatolitik/ merupakan antagonis kompetitif asetilkolin. Atropine
hanya menduduki reseptor tanpa menimbulkan efek langsung , mengakibatkan berkurang / hilangnya
efek transmitter pada sel tersebut karena tergesernya transmitter dari sel tersebut. Serta salah satu
dampak dari farmako dinamik atropine di mata adalah midriasis (dilatasi pupil).
Setelah dilakukan semua percobaan mata kelinci diteteskan larutan fisiologis NaCl 0,9% pada
kedua mata. Larutan fisiologin NaCl 0,9% ini berfungsi sebagai pembersih atau pembilas mata ketika
masuknya benda asing.
BAB V

KESIMPULAN

Kesimpulan

a. Pilokarpin HCl bersifat kolinergik karena kolinergik bekerja dengan merangsang atau
menstimulasi saraf parasimpatik. Pemberian pilokarpin menyebabkan saliva yang keluar lebih
banyak dan menyebabkan terjadiya pengecilan diameter pupil kelinci (miosis)

b. Atropine SO4 bersifat antikolinergik yaitu obat yang meniru bila saraf parasimpatik ditekan
atau melawan efek kolinergik. Pemberian atropine menyebabkan saliva yang keluar lebih
sedikit dan menyebabkan terjadinya dilatasi diameter pupil kelinci (midriasis)
c. Pemberian fenobarbisal untuk sedasikan kelinci agar tenang
d. Larutan fisologis NaCl 0,9% digunakan sebagai pembilan atau pencuci mata kelinci setelah
masuknya zat asing.
DAFTAR PUSTAKA

1. Gunawan, Sulistia Gan, dkk. 2012. Farmakologi dan Terapi. Jakarta: Balai Peterbit FKUI
2. Priyanto, 2008. Farmakologi Dasar Edisi III, Depok : Leskonfi

3. Sulistia, G.G., 2017. Farmakologi dan Terapi, edisi 6. Departemen Farmakologi dan Terapi,
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
4. Stevani, H., 2016. Praktikum Farmakologi: Modul Bahan Ajar Cetak Farmasi, Jakarta:
Pusdik SDM Kesehatan Departemen Kesehatan Republik Indonesia.
5. Priyanto, Lilin Batubara. 2010. Farmakologi Dasar untuk Mahasiswa Farmasi dan
Keperawatan. Depok Jabar: Leskonfi

Anda mungkin juga menyukai