Jelajahi eBook
Kategori
Jelajahi Buku audio
Kategori
Jelajahi Majalah
Kategori
Jelajahi Dokumen
Kategori
Disusun oleh :
Fatimatu Zahro (18121294)
Alkaloid pilokarpin adalah suatu amin tersier dan stabil dari hidrolisis oleh
asetilkolenesterase. Pilokarpin juga merupakan salah satu pemacu sekresi kelenjar yang terkuat
pada kelenjar keringat, air mata, dan saliva, tetapi obat ini tidak digunakan untuk maksud demikian.
Pilokarpin adalah obat terpilih dalam keadaan gawat yang dapat menurunkan tekanan bola mata
baik glaukoma bersudut sempit maupun bersudut lebar. Di samping kemampuannya dalam
mengobati glaukoma, pilokarpin juga mempunyai efek samping dimana pilokarpin dapat mencapai
otak dan menimbulkan gangguan SSP. Obat ini merangsang keringat dan salivasi yang berlebihan.
Atropin memiliki afinitas kuat terhadap reseptor muskarinik dimana obat ini terikat secara
kompetitif sehingga mencegah asetilkolin terikat pada tempatnya di reseptor muskarinik. Atropin
menyekat reseptor muskarinik baik di sentral maupun di saraf tepi. Kerja obat ini berlangsung
sekitar 4 jam, kecuali jika diteteskan ke dalam mata maka kerjanya bahkan sampai berhari-hari.
Atropin menghambat M. contrictor pupilae dan M. ciliaris lensa mata sehingga menyebabkan
midriasis dan siklopegia (paralisis mekanisme akomodasi). Midriasis mengakibatkan fotofobia
sedangkan sklopegia menyebabkan hilangnya daya melihat jarak dekat. Midriasis oleh atropine
dapat diatasi oleh pilokarpin, eserin atau DFP. Tekanan intraocular pada mata yang normal tidak
banyak mengalami perubahan tetapi pada penderita glaucoma, pengeluaran cairan intraocular akan
terhambar (terutama pada glaucoma sudut sempit) sehingga dapat meningkatkan tekanan
intraocular. Hal ini disebabkan dalam keadaan midriasis, saluran schlemm yang terletak di sudut
bilik depan mata menyempit sehingga terjadi bendungan cairan bola mata.
BAB III
METODE KERJA
Alat, bahan dan prosedur kerja
1. Kolinergik dan Antikolinergik Kelenjar Saliva
Hewan coba : Kelinci (jumlah 1 ekor), bobot tubuh ±1,5 kg
Obat : - Fenobarbital 100 mg/ 70 kgBB manusia secara IV
- Pilokarpin HCl 5 mg/kg BB kelinci secara IM
- Atropin SO4 0,25 mg/ kgBB kelinci secara IV
Alat : Spuit injeksi 1 ml, timbangan hewan, corong gelas, beaker glass, gelas
ukur
Prosedur:
1. Siapkan kelinci.
2. Hitung dosis dan volume pemberian obat dengan tepat untuk kelinci.
3. Sedasikan kelinci dengan fenobarbital 100 mg/ 70 kgBB manusia secara IV.
4. Suntikkan kelinci dengan pilokarpin HCl 5 mg/kg BB kelinci secara IM.
5. Catat waktu saat muncul efek salivasi akibat pilokarpin HCl dan tampung saliva yang
diekskresikan kelinci ke dalam beaker glass selama lima menit. Ukur volume saliva yang
ditampung.
6. Setelah lima menit, suntikkan atropin SO4 0,25 mg/ kgBB kelinci secara IV.
7. Catat waktu saat muncul efek salivasi akibat atropine SO4 dan tampung saliva yang
diekskresikan kelinci ke dalam beaker glass selama lima menit. Ukur volume saliva yang
ditampung.
1. Siapkan kelinci. Gunting bulu mata kelinci agar tidak mengganggu pengamatan.
2. Sebelum pemberian obat; amati, ukur dan catat diameter pupil pada cahaya suram dan pada
penyinaran dengan senter.
3. Teteskan ke dalam kantong konjungtiva kelinci:
a. Mata kanan : tetes mata pilokarpin HCl sebanyak 3 tetes
b. Mata kiri : tetes mata pilokarpin HCl sebanyak 3 tetes
4. Tutup masing-masing kelopak mata kelinci selama satu menit.
5. Amati, ukur dan catat diameter pupil setelah pemberian obat.
6. Uji respon refleks mata.
7. Setelah terjadi miosis kuat pada kedua mata, teteskan atropine SO4.
8. Amati, ukur dan catat diameter pupil setelah pemberian obat.
9. Catat dan tabelkan pengamatan.
10. Setelah percobaan di atas selesai, teteskan larutan fisiologis NaCl 0,9% pada kedua mata
kelinci.
Percobaan Bahan Efek diameter pupil mata
Efek obat system Mata Cahaya suram (cm)
saraf otonom pada kanan Cahaya senter (cm)
Setelah pemberian pilokarpin HCl (cm)
mata kelinci Respon refleks mata
Setelah pemberian atropine SO4 (cm)
Mata kiri Cahaya suram (cm)
kelinci Cahaya senter (cm)
Setelah pemberian pilokarpin HCl (cm)
Respon reflex mata
Setelah pemberian atropine SO4 (cm)
BAB IV
RUMUS :
(1) Konversi Dosis = Dosis Lazim (mg) x Faktor Konversi
BB yang diketahui ( g)
(2) Dosis berdasarkan BB = x Hasil Konversi (mg)
BB maksimal(g)
Jumlah Dosis Berdasarkan BB (mg)
(3) Volume Pemberian = x Konsentrasi sediaan obat (ml)
Jumlah Dosis yang tersedia (mg)
Setelah kelinci disedasikan suntikan pilokarpin HCl secara IM, tunggu selama lima menit
tampung saliva dalam beaker glass lalu ukur dan catat saliva yang dihasilkan. Didapatkan hasil 1.2ml
pada percobaan ini. Setelah itu, suntikan atropine SO4 secara IV tampung saliva dalam beaker glass
lalu ukur dan catat saliva yang dihasilkan. Setelah pemberian lima menit didapatkan hasil 0,3ml pada
percobaan ini.
Dalam percobaan diatas fenobarbital digunakan sebagai obat untuk mensedasikan kelinci agar
kelinci tenang dan praktikan dapat melakukan percobaan dengan lebih mudah. Dapat dilihat dari hasil
percobaan diatas saat kelinci diberikan pilokarpin HCl setelah 5 menit pengamatan saliva yang
dihasilkan lebih banyak ini berarti pilokarpin HCl bersifat kolinergik karena kolinergik bekerja
dengan merangsang atau menstimulasi saraf parasimpatik. Sebaliknya saat kelinci diberikan atropine
SO4 dan diamati selama 5 menit saliva yang dihasilkan lebih sedikit ini berarti atropine bersifat
antikolinergik karena bekerja dengan cara menghambat. Onset kerja pada pemberian secara injeksi
IV, atropine akan segera hilang dalam darah, dengan efek kerja dalam waktu 3 menit. Sedangkan
konsentrasi puncak obat atropine dalam darah , pada pemberian injeksi secara IM terjadi sekitar 30
menit.
Pada praktikum pengaruh obat otonom terhadap mata, ini menggunakan hewan uji berupa
kelinci dengan berat 1,5kg. Pada praktikum ini, menggunakan obat tetes mata berupa atropin, dan
pilokarpin. Sebelum mulai percobaan bulu mata kelinci dicukur terlebih dahulu agar tidak
mengganggu pengamatan. Amati, ukur dan catat diameter pupil pada cahaya suram dan pada
penyinaran dengan senter.
Setelah dilakukan persiapan, lakukan percobaan dengan menggunakan obat tetes pilokarpin
HCl sebanyak 3 tetes untuk mata kanan dan obat tetes atropine sebanyak 3 tetes untuk mata kiri.
Setelah itu tutup kedua mata kelinci. Setelah 1 menit amati, ukur dan catat diameter pupil mata kelinci
setelah diberikan obat. Setelah itu uji respon reflex mata menggunakan sebagian bulu mata kelinci
yang tadi dicukur saat persiapan.
Dari hasil percobaan di atas didapatkan hasil sebelum dilakukan percobaan pupil mata kelinci
pada cahaya senter adalah 0,9cm lalu diberikan obat tetes mata pilokarpin HCl. Setelah 1 menit, pada
mata kanan terjadi pengecilan diameter pupil (miosis) menjadi 0,6cm, begitu juga pada mata kiri
terjadi pengecilan diameter pupil (miosis) dari 0,9cm menjadi 0,7cm. Hal ini dikarenakan pilokarpin
termasuk golongan agonis kolinergik di muskarinik, yaitu obat yang menduduki reseptor dan
menimbulkan efek yang mirip dengan efek transmitter kolinergik. Serta salah satu dampak dari
farmakodinamik pilokarpin di mata yaitu sebagai kontriktor pupil. Pada obat tetes pilocarpine, onset
miosis akan terjadi pada 10-30 menit setelah tetes dan akan menurunkan tekanan intraokuler dalam
waktu 1 jam setelah pemberian. Durasi kerja miotikum pada obat tetes mata pilokarpine adalah sekitar
4 hingga 8 jam setelah pemberian. Obat tetes mata pilocarpine memiliki durasi kerja sebagai penurun
tekanan intraokuler selama 4 hingga 12 jam.
Setelah pemberian pilokarpin HCl pada mata kelinci dan terjadi miosis. Selanjutnya mata
kelinci diberikan obat tetes mata atropine SO4. Setelah 1 menit didapatkan hasil pada mata kanan
kelinci mengalami pelebaran pupil (midriasis) dari 0,6cm menjadi 0,9cm, begitu juga pada mata kiri
kelinci terjadi pelebaran pupil (midriasis) menjadi 0,9cm. Hal ini disebabkan atropine termasuk
golongan antagonis kolinergik/parasimpatolitik/ merupakan antagonis kompetitif asetilkolin. Atropine
hanya menduduki reseptor tanpa menimbulkan efek langsung , mengakibatkan berkurang / hilangnya
efek transmitter pada sel tersebut karena tergesernya transmitter dari sel tersebut. Serta salah satu
dampak dari farmako dinamik atropine di mata adalah midriasis (dilatasi pupil).
Setelah dilakukan semua percobaan mata kelinci diteteskan larutan fisiologis NaCl 0,9% pada
kedua mata. Larutan fisiologin NaCl 0,9% ini berfungsi sebagai pembersih atau pembilas mata ketika
masuknya benda asing.
BAB V
KESIMPULAN
Kesimpulan
a. Pilokarpin HCl bersifat kolinergik karena kolinergik bekerja dengan merangsang atau
menstimulasi saraf parasimpatik. Pemberian pilokarpin menyebabkan saliva yang keluar lebih
banyak dan menyebabkan terjadiya pengecilan diameter pupil kelinci (miosis)
b. Atropine SO4 bersifat antikolinergik yaitu obat yang meniru bila saraf parasimpatik ditekan
atau melawan efek kolinergik. Pemberian atropine menyebabkan saliva yang keluar lebih
sedikit dan menyebabkan terjadinya dilatasi diameter pupil kelinci (midriasis)
c. Pemberian fenobarbisal untuk sedasikan kelinci agar tenang
d. Larutan fisologis NaCl 0,9% digunakan sebagai pembilan atau pencuci mata kelinci setelah
masuknya zat asing.
DAFTAR PUSTAKA
1. Gunawan, Sulistia Gan, dkk. 2012. Farmakologi dan Terapi. Jakarta: Balai Peterbit FKUI
2. Priyanto, 2008. Farmakologi Dasar Edisi III, Depok : Leskonfi
3. Sulistia, G.G., 2017. Farmakologi dan Terapi, edisi 6. Departemen Farmakologi dan Terapi,
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
4. Stevani, H., 2016. Praktikum Farmakologi: Modul Bahan Ajar Cetak Farmasi, Jakarta:
Pusdik SDM Kesehatan Departemen Kesehatan Republik Indonesia.
5. Priyanto, Lilin Batubara. 2010. Farmakologi Dasar untuk Mahasiswa Farmasi dan
Keperawatan. Depok Jabar: Leskonfi