Anda di halaman 1dari 6

Pemikiran Lex Humana Thomas Aquinas

dan Relevansinya bagi Pembentukan Hukum Positif Indonesia

Oleh Kasimirus1

Abstrak
Negara Indonesia adalah negara hukum. Hukum merupakan artikulasi
keadilan bagi hidup bersama suatu masyarakat dalam polis tertentu. Setiap polis
memiliki aturan yang berbeda. Aturan-aturan buatan masyarakat itu disebut hukum
positif. Perbedaan hukum positif dalam suatu tempat dengan tempat lain tidak
berarti lari dari kodrat manusia yang harus merumuskan hukumnya sesuai
kodratnya. Thomas Aquinas adalah filsuf dan sekaligus teolog, yang membantu
memberikan pintu masuk bagi hukum positif yang benar-benar hukum. Hukum
positif yang benar bila menjadi produk akal budi, bertujuan untuk kesejahteraan
umum, di bawah wewenang yang membudayakan akal budi untuk kesejahteraan
umum, dan hukum positif yang benar wajib diberlakukan paksa demi kebaikan.

1. Pendahuluan
Hukum tidak bisa dilepaskan dari hidup manusia, terlebih dalam hidup bersama.
Kebersamaan hidup sebagai masyarakat dalam suatu polis tidak dapat dipikirkan tanpa hukum,
sebab manusia secara kodratiah berakal budi dan sosialis. Hukum berisi perintah dan larangan,
yang sangat menentukan kualitas hidup bersama. Hukum yang ditetapkan dan dideklarasikan
sebagai aturan hidup bersama harus melalui pertimbangan akal sehat. Perkara muncul ketika
hukum tampil sebagai produk inferioritas mayoritas, dalil agama, dan ideologi tertentu. Hukum
yang seharusnya produk akal budi menjadi produk agama yang sarat dengan lompatan terhadap
akal budi, meskipun hukum harus mengarah kepada Sang Pemilik Hukum Maha Adil (Allah).
Hukum harus dipikirkan dengan sungguh-sungguh karena hukum mengabdi manusia yaitu cara
terbaik untuk mencapai kesejahteraan hidup dalam arti luas (jasmani dan rohani). Hukum harus
dipromulgasikan oleh wewenang yang dipercaya setelah melalui uji rasionalitas hukum.
Thomas Aquinas sebagai filsuf-teolog memberikan pandangan yang sangat relevan untuk
membantu Indonesia sebagai negara hukum. Pandangan Thomas dapat menjadi filter bagi
hukum-hukum yang telah ada saat ini. Selain itu, teori Thomas dapat juga menjadi prinsip
untuk menyusun suatu hukum positif yang rasional, sehingga ketika dipromulgasikan sebagai
sebuah aturan suatu masyarakat, tidak menindas manusia itu sendiri, melainkan menjadi
artikulasi bagi terciptanya keadilan manusia sebagai makhluk berakal budi dan ciptaan Tuhan.
Karya ilmiah ini akan menjelaskan teori hukum positif Thomas Aquinas, teori hukum
positif Thomas sebagai filter hukum dan alat bantu menyusun hukum positif yang humanis,
rasional, dan terakhir adalah penutup.

2. Teori Hukum Positif Thomas Aquinas


1
Mahasiswa STKIP Widya Yuwana – Madiun.

1
2.1. Riwayat Singkat Thomas Aquinas dan Hubungan Filsafat-Teologis
Thomas Aquinas lahir pada tahun 1224 di Desa Aquino. Usia lima tahun, Thomas mulai
mengenyam pendidikan di Pertapaan Para Rahib Benediktin dari Monte Cassino. Thomas
bersekolah pertama dalam bimbingan para rahib Benediktin, namun sangat dekat dengan para
iman Dominikan. Dalam sejarah pemikiran, kelompok Dominikan sangat menekankan
pengetahuan untuk mencapai Allah. Hal itu diperlawankan dengan Fransiskan yang lebih
mengistimewakan kehendak baik, perbuatan kasih untuk mencapai Allah. Kedua pemikiran di
atas ikut mempengaruhi pemikiran Thomas, namun lebih berpihak Dominikan.
Para pemimpin Dominikan mengirim Thomas ke Paris untuk belajar teologi, kemudian
ke pusat studi Christendom, dan ke Cologne (Sumaryono, 2002: 27). Thomas studi lanjut di
Paris tahun 1256, dan menjadi profesor. Lima tahun kemudian (1274), Thomas mendirikan
sekolah teologi di Napoli dan mengabdikan hidupnya di sana hingga akhir hayat.
Thomas adalah filsuf sekaligus teolog. Thomas membangun filsafatnya di atas filsuf
besar yakni Aristoteles. Thomas mendamaikan teologi Kristiani dengan filsafat Aristoteles
yang dianggap ancaman bagi iman Kristiani saat itu (bdk. Sumaryono, 2002: 30). Berikut point
singkat hubungan teologi dengan filsafat yang diartikulasikan Thomas. Pertama, Filsafat mulai
studi dengan fakta yang disimpulkan dari metode ilmiah menuju asalnya yaitu di dalam Tuhan
sendiri. Kedua, Teologi mulai dengan iman kepada Tuhan, dan berkembang ke pemahaman
tentang jalan yang telah dianugerahkan Allah kepada setiap hal.
Ketiga, Akal budi dan wahyu merupakan metode yang valid untuk mencapai kebanaran
yakni Allah sendiri. Keempat, Ilmu profan dengan refrensi dunia fisik pada dasarnya termasuk
bidang filsafat yaitu filsafat empirisme (Thomas Hobbes, John Lock, Leibniz), filsafat
positivisme (Aguste Comte), dan materialisme (Karl Marx) harus dicapai dengan metode
ilmiah (rasional), bukan melalui wahyu (Hardiman, 2004: 64-93, 203-214). Ilmu teologi
berkaitan dengan hal keselamatan, hidup setelah mati, akhir zaman, dan ini tidak bisa
dipikirkan tanpa wahyu. Kelima, Jembatan yang menghubungkan filsafat dan teologi adalah
‘keberadaan Allah’ artinya, keberadaan Allah dapat diterima oleh iman melalui wahyu, dan
dapat dimengerti atas dasar argumentasi ilmiah (rasional) (Sumaryono, 2002: 30).
Hubungan filsafat dan teologi yang dipikirkan Thomas Aquinas berimplikasi pada
pemikirannya tentang hukum. Thomas Aquinas, dalam Magnisz-Suseno (1995: 4-6),
mengatakan secara radikal bahwa kekuasaan menuntut legitimasi etis penggunaan kekuasaan
yang selalu mengandaikan hukum abadi (lex aeterna), hukum kodrat (lex naturalis) dan hukum
positif yang disebut lex humana. Fokus utama karya ilmiah ini adalah Lex Humana.

2.2. Teori hukum positif Thomas Aquinas


2.2.1. Hukum Positif
Menurut Thomas, dalam Sumaryono (2002: 214), semua hukum dipromulgasikan
melalui akal budi, sebab hanya melalui akal budi sajalah manusia dapat memahami hukum.
Hukum positif adalah aturan atau norma yang dibuat manusia untuk diberlakukan dalam suatu
masyarakat (bdk. Dewantara, 2018: 79). Pemahaman Thomas membawa pandangan hukum
positif yang berangkat dari kenyataan asali manusia sebagai makhluk berakal budi. Hukum
kodrat merupakan standar regulatif untuk hukum positif (bdk. Sumaryono, 2002: 215). Hukum
positif dalam hal-hal tertentu yang tidak mencerminkan hukum kodrat sebenarnya bukan
hukum, melainkan hanya suatu yang mirip hukum (bdk. Sumaryono, 2002: 215).

2
Hukum positif yang rasional muncul dari hukum kodrat yaitu manusia sebagai makhluk
yang berakal budi, sosial, dan sebagai makhluk yang cenderung melukai sesama dalam
bebersamaan oleh sifatnya yang rakus. Perumusan hukum positif berada pada dua pondasi.
Pertama, hukum dirumuskan berdasarkan pengetahuan manusia atas hukum kodrat. Pada taraf
pertama ini, tuntutan hukum kodrat bersifat terbuka dan dimengerti oleh setiap orang yang
menggunakan akal sehatnya. Hukum kodrat ditarik dari dua sarana yaitu asas-asas umum
hukum kodrat, dan kesimpulan praktis dalam penerapan asas-asas umum pada perkara-perkara
khusus (bdk. Sumaryono, 2002: 215).
Hukum positif sebagai sarana untuk menjabarkan ketentuan yang terkadung di dalam
hukum kodrat. Hukum positif berperan penting dalam penerapan hukum kodrat dalam perkara-
perkara dan situasi khusus, sebab asas umum hukum kodrat tidak determinasi dan ketentuan
yang jelas pada setiap situasi dan kondisi. Hukum positif dipisahkan dari hukum ilahi.
Sementara hukum ilahi bertumpu pada wahyu, hukum positif bertumpu pada kekuatan akal
budi yang sumber dari hukum kodrat sebagai yang berakal budi. “Hukum merupakan salah satu
lembaga yang bersifat sentral bagi kodrat sosial manusia, bahkan hukum telah berperan penting
dalam pergaulan hidup manusia (bdk. Sumaryono, 2002: 184). Hukum ikut membentuk
peradaban masyarakat manusia yang berkembang secara bertahap seiring dengan
perkembangan sistem aturan hukumnya. Hukum positif yang ada dapat dinilai sebagai layak
jadi hukum dengan melewati asas hukum kodrat yang akan dijelaskan berikut.

2.2.2. Teori Hukum Positif Thomas Aquinas


Hukum harus diuji dengan hukum kodrat yaitu manusia yang berakal budi, sebagai
makhluk sosial dan bertanggunjawab atas hakekatnya sebagai makhluk sosial tersebut, menusia
yang selalu cenderung untuk menguasai (bdk. Sumaryono, 2002: 35). Berikut jalan untuk
meluluskan hukum positif menurut Thomas Aquinas, berdasarkan kajiannya tentang hakekat
hukum.

2.2.2.1. Hukum Harus Perintah Akal Budi


Hukum adalah perintah dan larangan. Sesuatu diperintahkan karena baik, dan dilarang
karena buruk. Definisi itu belum tentu menjelaskan hakekat hukum positif yang baik. Ketaatan
manusia pada hukum hanya sejauh hukum menjadi produk akal budi, sehingga hukum menjadi
perintah yang baik dan larangan yang buruk bila dimengerti dengan akal sehat. Baik, buruk
suatu hukum positif dinilai dalam kelogisan bunyi hukum tersebut, yang tidak berlawanan
dengan akal budi yang jernih. “Jika satu-satunya hal yang dapat memerintahkan perilaku
adalah akal budi, maka bagaimana pun juga autaran selalu berhubungan atau terkait dengan
akal budi” (Sumaryono, 2002: 63). Hakekat hukum positif adalah sesuatu yang (harus) termuat
di dalam akal budi. Defenisi hukum positif yang diuraikan perlu memperhatikan beberapa hal.
Pertama, Hakekat hukum adalah suatu yang termuat di dalam akal budi.
Kedua, Ada gagasan kehendak (misalnya: memerintahkan, mengarahkan dan sebagainya)
untuk mencapai suatu tujuan tertentu. Kehendak adalah daya gerak akal budi (bdk. Sumaryono,
2002: 64). Akal budi akan mengarahkan seseorang untuk mencapai kehendak yang menjadi
tujuannya, misalnya, seseorang ingin berbuat adil demi ketenangan jiwanya, akal budi akan
menuntun kehendaknya untuk mencapai tujuan meskipun ada tawaran suap (bdk. Sumaryono,
2002: 65). Kehendak tidak mencapai tujuan bila akal budi tidak mengarahkannya pada tujuan.

3
Suap akan diterima bila akal budi tidak jalan. Ketiga, Apa yang dikehendaki harus sesuai
dengan akal budi. Kehendak tidak sembarang menetapkan apa yang dikehendakinya sebagai
tujuan, dengan kata lain kehendak hanya diikuti bila sesuai apa yang diperintahkan akal budi.
Dalam terminologi inilah dapat dipikirkan bahwa kehendak penguasa memiliki kekuatan
hukum (bdk. Sumaryono, 2002: 64).

2.2.2.2. Hukum Harus Bertujuan Untuk Bonum Commune


Hukum dibuat untuk keuntungan umum semua warga negara (bdk. Sumaryono, 2002:
67). Asas pertama segala wujud perbuatan, yaitu objek akal praktis, adalah tujuan akhir
manusia yakni kebahagiaan, maka hukum harus dihubungkan dengan usaha mencari
kebahagiaan. Hukum sebagai produk akal budi akan menemukan legalitasnya ketika diarahkan
demi kebaikan umum (bonum commune). Kesejahteraan umum adalah keseluruhan kondisi-
kondisi hidup kemasyarakatan, yang memungkinkan baik kelompok maupun anggota-anggota
perorangan, untuk secara lebih penuh dan lebih lancar mencapai kesempurnaan (bdk. GS. art.
26). Hukum bisa disebut adil bila menghasilkan dan menjamin kebahagiaan serta melindungi
semua warga negara. Konsekuensinya, semua peraturan yang dibuat untuk mengatur perkara-
perkara individu harus menjadi bagian dari hakekat hukum yang menjadi dasar keberlakuan
peraturan tersebut (bdk. Sumaryono, 2002: 68).

2.2.2.3. Intansi Pembuat Hukum harus Jernih secara Akal Budi


Indonesia memiliki sistem hukum yang berasal dari masyarakat. Hukum adalah perintah
yang berasal dari masryarakat, dan jika ada orang yang melanggar hukum maka akan
dikenakan sanksi oleh orang yang dituakan dalam masyarakat itu dengan seluruh anggota
masyarakat. Thomas, dalam Sumaryono (2002: 69) berpandangan bahwa di dalam diri
seseorang, hukum tidak hanya berfungsi sebagai aturan melainkan juga pastisipasi subjek
pengaturan atau subjek hukum. Pandangan Thomas ini menyuarakan subjek hukum (orang)
dan ambil bagian yang diterimanya dari pemerintah, personalitasnya akan menjadi hukum bagi
diri manusia sendiri. Keberlakuan hukum hanya mungkin bila subjek hukum menghayati
sendiri keberlakuan hukum tersebut dalam kesadaran atau hati nurani (bdk. Sumaryono, 2002:
69).
Penyusunan hukum menjadi wewenang masyarakat atau seseorang yang memiliki
wewenang yuridis. Otoritas hukum harus mencerminkan kekuasaan akal sehat yang berasal
dari hukum abadi yaitu akal Allah dan mengalirkan hukum kodrat sampai pada hukum positif.

2.2.2.4. Perintah Akal Budi Harus Diberlakukan


Berdasarkan teori keberlakuan hukum, suatu hukum baru dinyatakan berlaku jika
diundangkan. Thomas berpandangan bahwa sebuah hukum berlalu dengan cara dipaksakan
pada hal-hal yang hendak diatur (bdk. Sumaryono, 2002: 71). Hukum harus memiliki daya ikat
supaya hukum mempunyai daya mengikat (memaksa), oleh karena itu hukum harus
diberlakukan bagi manusia atau subjek pengaturan. Keberlakuan hukum semacam ini
dilaksanakan melalui promulgasi atau perundang-undangan. Mengundangkan hukum sangat
penting supaya memiliki kekuatan berlaku. Thomas mengatakan: “Hukum adalah perintah
yang masuk akal ditujukkan demi kesejahteraan umum, diundangkan oleh ia yang memiliki
tugas mengelola masyarakat” (Sumaryono, 2002: 71). Paham Thomas yang dikutip dapat

4
dijelaskan (1) hukum kodrat dipromulgasikan melalui akal budi manusia, dan promulgasikan
ini harus diketahui manusia melalui atau berdasarkan kodrat rasionalnyas (diterima secara
rasional); (2) Mereka yang tidak hadir saat promulgasi hukum tetap wajib mengetahui melalui
sesamanya sesegera mungkin setelah promulgasi, oleh karena itu penting sekali sosialisasi dari
pemerintah, dan keingintahuan (partisipasi) dari masyarakat; (3) Hukum yang dipromulgasikan
berlaku untuk masa yang akan datang karena berkarakter tertulis dan durabilitas.

3. Memfilter Produk Legislatif Indonesia dengan Teori Hukum Positif Thomas Aquinas
Hukum positif di Indonesia begitu banyak, bahkan setiap kali ganti pemimpin hampir
selalu ada aturan yang diganti bahkan diganti atau ditambahkan aturan yang tidak esensial,
yang hanya membuat kehidupan bersama makin rumit. Situasi ini dapat dikatakan sebagai
keburukan hukum di Indonesia. Letak persoalanya pada kelogisan hukum, tujuan pembuatan
hukum, wewenang hukum, dan promulgasi hukum yang selalu kurang sosialisasi.
Hukum di Indonesia banyak yang tidak logis, padahal pada hakekatnya hukum harus
sebagai perwujudan tatanan akal budi. Agama terkadang lebih banyak berperan sebagai pabrik
hukum positif di Indonesia, padahal kita tahu dengan sadar bahwa agama adalah gudang
mistik, yang selalu melampaui akal budi. Iman itu melampaui akal budi. Bahayanya lagi, ada
orang yang memaksakan norma moral agamanya supaya menjadi hukum hidup bersama yang
sangat plural ini. Padahal, Pancasila sebagai dasar negara Indonesia sangat berlawanan dengan
imperialisme agama tertentu, atau tradisi tertentu yang tidak masuk akal. Ambil contoh: ada
sekolah di Banjarejo – Madiun membuat benner dan ditulisi “Kawasan Berbusana Muslim.”
Sekolah merupakan lembaga pendidikan, dimana kebenaran sangat dijunjung tinggi dan
oleh siapa saja dapat selalu mengaksesnya asalkan melalui sistem aturan yang rasional.
Realitasnya, jika ada sekolah yang membatasi ilmu pengetahuan pada atribut agama maka
bukan lagi kebenaran yang dicari tetapi pembenaran. Pembenaran yang dimaksud adalah
bahwa yang berhak mendapat ilmu di tempat ‘ini’ adalah orang muslim. Dalam lembaga
pendidikan, pembuatan aturan seharusnya yang dikedepankan adalah akal budi, sehingga
aturan mendidik memaksimalkan kodrat manusia sebagai yang berakal budi, bersosial. Jadi
persoalan hukum yang seharusnya produk akal sehat menjadi produk kepentingan yang
serakah, kepentingan politik, kepentingan agama dan ideologi yang bukan dasar negara dan
bukan menjadi representasi manusia yang berakal budi.
Thomas Aquinas mengingatkan bahwa hukum positif bertujuan untuk kesejahteraan
umum. Ironisnya, hukum seringkali dibuat untuk kepentingan individu atau kelompok tertentu.
Hukum harus untuk kesejahteraan umum berangkat dari kodrat manusia sebagai makhluk
sosial, selain berakal budi, maka akal budinya harus mengarahkan penghidupan kodrat
kesosialannya sehingga ia menjadi manusia yang mengacuh pada hukum abadi yakni kasih.
Setiap hukum positif yang memiliki unsur politik uang dan keserakahan harus diberantas.
Hukum yang berdayaguna untuk meningkatkan kesejahteraan umum adalah hukum yang selalu
tujuannya untuk kesejahteraan umum, di luar itu bukanlah hukum melainkan haram bagi
negara.
Intansi penegak hukum di Indonesia tidak jarang memasukkan orang karena menang
popularitas, hubungan kekerabatan, politik uang, dan persuasif terhadap warga masyarakat
yang tidak berdasar, sehingga memilih karena kekuatan kata-kata (janji, hoaks). Kepintaran
yang dipelihara adalah tipu muslihat. Jarang ada pemimpin yang cerdas, namun orang pintar

5
banyak. Akibatnya, banyak lembaga hukum atau legislatif tidak bisa membuat hukum positif
yang mencerminkan kodratnya sebagai berakal budi. Seharunya lembaga hukum harus
membudayakan oknum politik yang waras dalam arti mengerti hakekat hukum, ilmu politik
dan negara, sosial, budaya dan filsafat bangsa, sehingga aturan yang dihasilkan adalah
representasi kekuasaan akal Ilahi.
Hukum hanya menjadi hukum tidak hanya dipikirkan secara rasional, bertujuan untuk
kesejahteraan umum, digagas oleh lembaga yang waras, melainkan juga harus
dipromulgasikan/diberlakukan. Hukum di Indonesia sering kali tidak dikenal oleh masyarakat,
jangankan di daerah plosok, di Ibu Kota sendiri aturan jalur lalu lintas yang searah ketika
seagame 2018 di Gelora Bung Karno tidak dimengerti oleh masyarakat sekitar. Akibatnya
banyak pengendara roda dua dan empat ditilang polisi hingga ratusan kendaraan. Pelanggar
lalu lintas hanya memberi jawab “kami tidak tahu.”
Seringkali masyarakat kaget akan aturan-aturan baru, meskipun itu baik. Segala yang
baik (aturan yang baik), harus diberitahukan atau diperintahkan atau disosialisasikan demi
mewujudkannya bersama bagi kebaikan dan kesejahteraan bersama. Selain itu, dengan
dipromulgasikan hukum positif yang disusun dengan berdasarkan akal budi dapat diuji
rasionalitasnya di masyarakat ketika hukum positif berhadapan dengan konteks masyarakat.

4. Penutup
Pandangan Thomas Aquinas membantu kita untuk merevitalisasi hukum yang tengah
berlalu di negara Indonesia. Kedua, Teori hukum positif yang digagas Thomas membantu
lembaga legislatif sebagai pabrik hukum positif suatu lembaga yang baik. Lembaga yang baik
harus lolos uji setiap bagian dari pandangan Thomas yaitu hukum harus rasional, hukum
bertujuan untuk kesejahteraan umum, pembuat hukum harus legitim yaitu orang yang secara
hukum dipercaya untuk mempromulkasikan hukum atas persetujuan masyarakat, dan hukum
harus dipromulkasikan (diberitahukan). Salah satu saja diantaranya tidak masuk dalam ruang
uji kualitas hukum dalam pandangan Thomas, maka hukum itu bukanlah hukum positif yang
benar, itu hanya mirip hukum.

Daftar Pustaka
Magnis-Suseno, Franz. 1995. Kuasa dan Moral. Jakarta: Gramedia
Hardiman F. Budi. 2004. Filsafat Modern: Dari Machiavelli Sampai Nietzche. Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama (hal. 64-93, 203-214).
Sumaryono, E. 2002. Etika & Hukum: Relevansi Teori Hukum Kodrat Thomas Aquinas.
Yogyakarta: Kanisius.
Dewantara, Agustinus Wisnu. 2018. “Pendidikan Kewarganegaraan.” Madiun: Lembaga
STKIP Widya Yuwana Madiun.

Anda mungkin juga menyukai