Anda di halaman 1dari 120

Masalah Kesehatan Lingkungan di Indonesia

Sebagai salah satu negara berkembang dengan jumlah penduduk lebih


dari 200 juta jiwa, masalah kesehatan lingkungan di Indonesia menjadi sangat kompleks
terutama di kota-kota besar. Hal tersebut disebabkan, antara lain:
1. Urbanisasi penduduk
Di Indonesia, terjadi perpindahan penduduk dalam jumlah besar dari desa ke kota. Lahan
pertanian yang semakin berkurang terutama di pulau Jawa dan terbatasnya lapangan pekerjaan
mengakibatkan penduduk desa berbondong-bondong datang ke kota besar mencari pekerjaan
sebagai pekerja kasar seperti pembantu rumah tangga, kuli bangunan dan pelabuhan,
pemulung bahkan menjadi pengemis dan pengamen jalanan yang secara tidak langsung
membawa dampak sosial dan dampak kesehatan lingkungan, seperti munculnya permukiman
kumuh dimana-mana.
2. Tempat pembuangan sampah
Di hampir setiap tempat di Indonesia, sistem pembuangan sampah dilakukan secara dumping
tanpa ada pengelolaan lebih lanjut. Sistem pembuangan semacam itu selain memerlukan lahan
yang cukup luas juga menyebabkan pencemaran pada udara, tanah, dan air selain lahannya
juga dapat menjadi tempat berkembangbiaknya agens dan vektor penyakit menular.
3. Penyediaan sarana air bersih
Berdasarkan survei yang pernah dilakukan, hanya sekitar 60% penduduk Indonesia
mendapatkan air bersih dari PDAM, terutama untuk penduduk perkotaan, selebihnya
mempergunakan sumur atau sumber air lain. Bila datang musim kemarau, krisis air dapat
terjadi dan penyakit gastroenteritis mulai muncul di mana-mana.
4. Pencemaran udara
Tingkat pencemaran udara di Indonesia sudah melebihi nilai ambang batas normal terutama di
kota-kota besar akibat gas buangan kendaraan bermotor. Selain itu, hampir setiap tahun asap
tebal meliputi wilayah nusantara bahkan sampai ke negara tetangga akibat pembakaran hutan
untuk lahan pertanian dan perkebunan.
5. Pembuangan limbah industri dan rumah tangga
Hampir semua limbah cair baik yang berasal dari rumah tangga dan industri dibuang langsung
dan bercampur menjadi satu ke badan sungai atau laut, ditambah lagi dengan kebiasaan
penduduk melakukan kegiatan MCK di bantaran sungai. Akibatnya, kualitas air sungai
menurun dan apabila di-gunakan untuk air baku memerlukan biaya yang tinggi.

6. Bencana alam/pengungsian
Gempa bumi, tanah longsor, gunung meletus, atau banjir yang sering terjadi di Indonesia
mengakibatkan penduduk mengungsi yang tentunya menambah banyak permasalahan
kesehatan lingkungan.
7. Perencanaan tata kota dan kebijakan pemerintah
Perencanaan tata kota dan kebijakan pemerintah seringkali menimbulkan masalah baru bagi
kesehatan lingkungan. Contoh, pemberian izin tempat permukinan, gedung atau tempat
industri baru tanpa didahului dengan studi kelayakan yang berwawasan lingkungan dapat
menyebabkan terjadinya banjir, pencemaran udara, air, dan tanah serta masalah sosial lain.
Referensi
Pengantar Kesehatan Lingkunagan

Artikel Terkait:
Mencegah dan Mengendalikan Dampak Konsumsi Tembakau

Melalui Siklus Kebijakan yang Berbassis Evidens Epidemiologi dan Edukasi Publik

Sebagai Upaya Meningkatkan Derajat Kesehatan Masyarakat Indonesia

Victor Subiakto Puja

Latar belakang mengantarkan nikotin dalam jumlah yang besar kedalam


otak secara cepat .
World Health Organization dalam buku panduan
strategi pengendalian bahaya tembakau (MPOWER)
menjelaskan bahwa kematian akibat tembakau diseluruh
dunia amat mengejutkan, terdapat 1 kematian tiap 6 Abdilah Ahsan dalam bukunya “Ekonomi Tembakau
detik, 5,4 juta jiwa pada tahun 2005, 100 juta selama di Indonesia” menjelaskan bahwa ada hubungan antara
abad ke-20 jika dibiarkan 8 juta jiwa pada tahun 2030 kesehatan dan produktivitas ekonomi, hal tersebut
dan 1 milyar jiwa selama abad ke 21¹. Untuk mengatasi berdasarkan teori yang menyatakan bahwa kesehatan
epidemi tembakau, organisasi kesehatan dunia (WHO) merupakan bentuk modal sumberdaya manusia 6.
mengajak negara anggotanya untuk menerapkan Pertama, Individu yang sehat secara fisik maupun
strategi MPOWER². Strategi MPOWER terdiri atas 6 kognitif, yang berdampak pada kemampuan bekerja
upaya pengendalian bahaya tembakau yang meliputi: dengan jam kerja yang lebih panjang, lebih sedikitnya
Monitor prevalensi penggunaan tembakau dan hari-hari absent dari pekerjaan karena sakit, dan
pencegahannya, perlindungan terhadap asap tembakau, produktivitas yang lebih tinggi baik ditempat kerja
optimalisasi dukungan untuk berhenti merokok, maupun sekolah. Kedua, individu yang sehat memiliki
waspadakan masyarakat akan bahaya tembakau, umur harapan hidup yang lebih lama. Hal memberi
eliminasi iklan, promosi dan sponsor tembakau, serta insentif bagi investasi dibidang kesehatan, pendidikan
raih kenaikan cukai tembakau³. Berbagai data dan fakta dan bentuk modal manusia lainnya. Ketiga, Usia hidup
menjelaskan bahwa dampak dari tembakau khususnya yang panjang mengarah pada tingkat tabungan pensiun
rokok sangat merugikan bagi kesehatan tubuh manusia, yang semakin membesar selama masa kerja. Keempat,
karena dapat menimbulkan penyakit seperti kanker paru, penduduk yang lebih sehat berdampak pada penurunan
jantung dan berbagai penyakit berbahaya lainnya. jumlah anak yang diinginkan karena mortalitas rendah.
Seperti perkiraan global, penyebab kematian di Perubahan dari tingkat mortalitas dan fertilitas yang
Indonesia yang terkait konsumsi tembakau adalah tinggi ketingkat yang rendah mengakibatkan
penyakit jantung, stroke, kanker, penyakit pernapasan meningkatnya proporsi penduduk usia kerja–sebagai
khususnya chronic obstructive pulmonary (penyakit paru factor penentu pertumbuhan ekonomi.
kronik obstruktif). Ketergantungan terhadap rokok
Kesehatan Masyarakat dan Evidens Epidemiologi
disinyalir disebabkan oleh zat adiksi (nikotin) yang
terkandung pada asap yang keluar saat rokok dibakar Kesehatan masyarakat (Winslow) adalah suatu ilmu
atau dikonsumsi. Menghisap asap tembakau dan seni yang bertujuan mencegah timbulnya penyakit,
memperpanjang masa hidup dan mempertinggi nilai rasional dan objek tertentu, dijadikan landasan
kesehatan dengan jalan menimbulkan, menyatukan, konsepsional bagi upaya pencegahan dan pengendalian
menyalurkan dan mengkoordinir usaha-usaha di dalam berbagai masalah kesehatan yang dihadapi umat
masyarakat kearah terlaksanannya usaha-usaha : manusia (Gordis, 1996)¹. Di ranah nilai, perhatian utama
memperbaiki kesehatan lingkungan, mencegah dan epidemiologi yang tertuju pada kesehatan umat manusia
memberantas penyakit-penyakit yang merajalela dalam mengepresikan kaidah norma yang universal
masyarakat, mendidik masyarakat dalam prinsip-prinsip (Greenwood, 1935 dikutip dari gordis, 1996) 19. Dampak
kesehatan perorangan, mengkoordinir tenaga-tenaga konsumsi tembakau sangat berpotensi menjadi petaka
kesehatan agar dapat melakukan pengobatan dan kesehatan masyarakat karena dapat meningkatkan
perawatan dengan sebaik-baiknya, memperkembangkan jumlah mortalitas dan morbiditas dan sangat
usaha-usaha masyarakat agar mereka dapat mencapai berpengaruh terhadap kesehatan masyarakat.
tingkatan hidup yang setinggi-tingginya sehingga dapat
memperbaiki dan memelihara kesehatannya Secara
pemahaman, terapan, dan nilai bahwa kesehatan
Surveilans Perilaku Merokok
masyarakat merupakan gerakan ”Humanisme” yang
universal. Dari sisi yang Pertama, humanisme berarti Program pencegahan dan pemberantasan penyakit
suatu gerakan intelektual dan kesusastraan yang akan sangat efektif jika didukung oleh sistem surveilans,
pertama kali muncul di Italia pada paruh abad ke-14 surveilans epidemiologi adalah suatu proses
Masehi9. Dari sisi yang kedua humanisme sering pengamatan terus menerus terhadap terjadinya penyakit
diartikan sebagai paham di dalam filsafat yang serta kondisi yang memperbesar risiko penularan
menjunjung tinggi nilai dan martabat manusia dengan melakukan pengumpulan data, analisis,
sedemikian rupa sehingga manusia menempati posisi interpretasi, dan penyebaran interpretasi serta tindak
yang sangat sentral dan penting, baik dalam perenungan lanjut perbaikan dan perubahan. Inti dari surveilans
teoritis-filsafati maupun dalam praktis hidup sehari-hari 10. epidemiologi adalah menghasilkan informasi
Secara ideal Kesehatan masyarakat bersifat universal epidemiologi yang dapat dipercaya. Secara ringkas
dan analisis permasalahan melaui data evidens aktivitas dari surveilans epidemiologi adalah proses
kesehatan secara jujur digunakan untuk pengambilan pengumpulan data epidemiologi secara sistematis dan
keputusan moral untuk meningkatkan derajat kesehatan berkelanjutan, pengolahan dan analisis serta interpretasi
masyarakat melaui prinsip keilmuannya data agar menghasilkan informasi epidemiologi,
penggunaan Informasi untuk menentukan tindakan
perbaikan yang perlu dilakukan atau peningkatan
Epidemiologi merupakan salah satu bagian dari ilmu program dalam menyelesaikan masalah.
kesehatan masyarakat, di ranah pemahaman,
epidemiologi merupakan disiplin ilmu (Klainbaum, et al,
1982; Friedman, 1994)¹¹ atau metode ilmiah (Kelsey, et Skiner (1938) seorang ahli psikologi, merumuskan
al, 1996;Timreck 1994)¹². Epidemiologi adalah ilmu bahwa perilaku merupakan respons atau reaksi
empiris yang menangkap fenomena status dan proses seseorang terhadap stimulus (rangsangan dari luar).
kejadian penyakit/masalah kesehatan dalam populasi Oleh karena itu maka perilaku terjadi akibat adanya
manusia (Friss & Seller, 2000)¹³. Didalam epidemiologi proses stimulus terhadap organisme, dan kemudian
komponen pemahaman bermula dari pengamatan organisme tersebut merespon, atau teori Skiner lebih
populasi dan berakhir pada penarikan kesimpulan dikenal dengan teori “S-O-R” atau Stimulus-Organisme-
tentang etiologi, proses kejadian dan riwayat alami Respons. Respons akan menghasilkan suatu tindakan,
berbagai masalah kesehatan masyarakat¹. Komponen Skinner membedakan respon menjadi 2, pertama,
aksi bermula dari penggunaan evidens epidemiologi respondent respon atau reflexive yaitu respon yang
dalam proses pembuatan kebijakan dan berakhir pada ditimbulkan oleh rangsangan-rangsangan (stimulus)
evaluasi dampak kebijakan pada kesehatan masyarakat tertentu contohnya, mendengar berita musibah dan
(Klainbraum, et al, 1982)¹. Sebagai ilmu empiris, pendengar menjadi sedih. Kedua, operant respons atau
epidemiologi melakukan konfirmasi kebenaran teori instrumental respon, yakni respons yang timbul dan
berdasarkan fakta-fakta yang dapat ditangkap secara berkembang kemudian diikuti oleh stimuli atau
indrawi16. Di ranah terapan, epidemiologi mempunyai perangsang contohnya adalah : apabila seorang petugas
kaidah axiologis atau kegunaan¹. Berbagai fenomena kesehatan melaksanakan tugasnya dengan baik
kesehatan populasi yang ditangkap secara sistematis, (respons terhadap uraian tugasnya atau job descripsi)
kemudian memperoleh penghargaan dari atasannya Gubernur DKI Jakarta mengeluarkan perda no.2 tahun
(stimuli baru), maka petugas kesehatan tersebut akan 2005 tentang pengendalian pencemaran udara dan
lebih baik lagi dalam melaksanakan tugasnya20. menyelipkan satu pasal yaitu pasal 13 yang mengatur
kawasan tanpa rokok². Namun masih dibutuhkan waktu
yang cukup panjang dan kesungguhan pemerintah untuk
mengawasi pelaksanaan terhadap kepatuhannya29.
Abdilah Ahsan dalam bukunya “Ekonomi Tembakau
di Indonesia” menjelaskan bahwa prinsip ekonomi
tentang kebebasan konsumen menyatakan bahwa
konsumen sendirilah yang membuat keputusan terbaik Fakta yang terungkap jelas bahwa disinyalir adanya
tentang bagaimana ia membelanjakan uangnya, eksploitasi dari pihak industri kepada masyarakat dan
argumen tersebut didasarkan pada dua asumsi Pertama, menjadikannya korban konsumsi rokok, kebijakan
konsumen mengambil keputusan tersebut berdasarkan pemerintah belum sepenuhnya dapat sesuai dengan
pengetahuan yang penuh atas biaya dan manfaat dari kebutuhan dan kondisinya, di era reformasi seperti
keputusan ang diambilnya, asumsi yang kedua adalah sekarang perlu adanya sebuah reformasi data dan
individu akan menanggung sendiri semua resiko atas kebijakan yang berbassis fakta. Secara ideal reformasi
keputusan konsumsi mereka ; artinya si individu data dasar mengandung makna bahwa seluruh tahapan
mengetahi bahwa orang lain tidak akan menanggung siklus pembuatan kebijakan dilakukan berbassis evidens,
beban atas tindakan individu tersebut , konsumsi kebijakan akan melenceng dari yang semestinya akibat
tembakau melanggar kedua asumsi tersebut..Jika kita definisi masalah yang kabur, batas kebijakan yang tidak
melihat fakta mngenai perilaku merokok ”rata-rata umur jelas dan upaya intervensi alternative yang tidak lengkap
perma kali merokok telah turun menjadi usia 17, 4 tahun. (Spassof, 2003)30. Kebijakan adalah seperangkat
Anak-anak telah dibiasakan sejk dini untuk berfikir bahwa panduan yang diperlukan untuk mengambil keputusan
merokok adalah hal yang wajar dan diterima secara (Spassof, 1999)³¹. Kebijakan berperan mengintegrasikan,
sosial fakt a tersebut menunjukan adanya suatu memfokuskan dan mengefektifkan upaya organisasi
kegagalan pasar : kekurangan informasi yang utuh untuk mencapai sasaran yang ditentukan³² . Berbagai
tentang resiko kecanduan, dan biaya fnansial dan fisik model siklus kebijakan tersedia dalam jenis dan jumlah
yang dialami oleh perokok dan masyarakat²¹. langkah yang bervariasi³³. Walt mengajukan empat
langkah kebijakan yang terdiri dari identifikasi masalah
dan pemahaman isu, perumusan, implementasi dan
evaluasi kebijakan (Walt, 1944:45)³. Selain berdasarkan
Pro–Kontra Pengendalian Konsumsi Tembakau di
pada nilai, ideology, dan tekanan politik, rumusan
Indonesia
kebijakan kesehatan juga didasarkan pada evidens³.
Indonesia sampai saat ini merupakan satu-satunya
Negara di asia pasifik yang belum menandatangani
Framework Convention Tobacco Control (FCTC) sebuah Dari hasil pemantauan aktivis industri rokok di
traktat internasional yang didalamnya terdapat upaya Indonesia periode Januari-Oktober 2007 yang dilakukan
pengendalian bahaya tembakau. Walaupun pemerintah oleh Komisi Nasional Perlindungan Anak (KPA), industri
Indonesia berperan aktif dalam forum internasional inter rokok menggunakan semua jenis iklan langsung untuk
Govermental Negoatiating Body di Geneva²². Namun mengiklankan produknya dengan memanfaatkan
Indonesia Mengingkari komitmenya dengan tidak beragam media baik luar maupun media cetak dan
meratifikasi FCTC²³ . Pengendalian bahaya tembakau elektronik 36. Semua PP yang pernah ada membolehkan
memiliki prioritas rendah dalam agenda kesehatan iklan dimedia cetak maupun di media luar ruangan,
masyarakat Indonesia² . Melalui hak inisiatif anggota sementara PP 19/2003 mengizinkan penayangan iklan
dewan yang disiapkan atas prakarsa IFPPD (Forum rokok di media elektronik dari jam 21.30-05.00 WIB³.
Parlemen Untuk Kependudukan dan Pembangunan) Batasan ini terbukti tidak efektif dalam membatasi
bekerjasama dengan tim penyusun undang-undang periklanan rokok di Indonesia, justru hanya membuat
DPR-RI². PP 19/2003 melarang orang merokok iklan rokok semakin kreatif ³. Hal tersebut terkait dengan
ditempat umum, tempat kerja, sarana pendidikan, sarana kondisi tersebut diatas dampak dari konsumsi tembakau
kesehatan, tempat ibadah, tempat bermain anak dan berpotensi menjadi petaka kesehatan masyarakat hal
kendaraan umum26 .Daerah yang telah mengeluarkan tersebut dapat dilihat dari biaya akibat konsumsi
peraturan kawasan tanpa rokok adalah pemerintah tembakau tahun 2001 diperkirakan sebesar Rp. 127,7
daerah kota bogor, kota Cirebon dan kota Palembang². triliun meliputi biaya langsung yang dikeluarkan oleh
masyarakat untuk membeli rokok dan biaya pengobatan program kesehatan dan pencegahan penyakit yang
dan biaya tidak langsung akibat hilangnya produktivitas berkualitas dan bermoral.
karena kematian, sakit dan kecacatan. Jumlah ini adalah
7 kali lipat penerimaan cukai pada tahun yang sama
yang besarnya Rp. 16, 5 Triliun. Pada tahun 2005,
Kesimpulan
jumlah kematian pada 3 kelompok penyakit utama
kanker, penyakit jantung pembuluh darah dan penyakit Kesimpulan dari hasil kajian singkat tentang
pernapasan kronik obstruktif diperkirakan sebesar pemasalahan tembakau di Indonesia ini adalah :
400.000 orang dan menyebabkan kerugian total
sebanyak Rp. 167 Triliun yang berasal dari biaya Pertama, Jumlah mortaltas dan morbiditas yang
langsung dan tidak langsung 5 kali lipat pendapatan dtimbulkan oleh konsumsi tembakau diasumsikan
pemerintah dan bea cukai tembakau tahun yang sama menjadi fenomena dan petaka kesehatan masyarakat
sebesar Rp. 37 Triliun39. dan ikut mempengaruhi kesejaheraan ekonomi, fisik dan
mental serta belum disadari sepenuhnya oleh seluruh
lapisan masyarakat. di Indonesia.
Konteks Pergerakan Mahasiswa dalam Upaya
Pengendalian Bahaya Tembakau
Kedua, Siklus kebijakan yang berbassis evidens
Mahasiswa merupakan asset dan generasi penerus Epidemiologi (data ilmiah) merupakan kebijakan
pembangunan bangsa, dalam pergerakannya kesehatan yang berbassis fakta dan kebutuhan yang
mahasiswa memilki prinsip Tri Dharma perguruan Tinggi, dihasilkan melali hasil surveilance namun belum menjadi
yaitu pendidikan, penelitian dan pengabdian suatu prioritas dalam pengambilan keputusan oleh
masyarakat., mahasiswa kesehatan masyarakat memiliki pemerintah, legislatif Indonesia dibidang pengendalian
prinsip ilmu kesehatan masyarakat dan berbagai ilmu bahaya tembakau.
empiris lainnya seperti, epidemiologi, kesehatan
lingkungan, keselamatan kerja, statistika, pendidikan
kesehatan dan ilmu perilaku, kesehatan reproduksi.
Mahasiswa sebagai calon intelektual tentunya perlu Ketiga, Perilaku merokok masyarakat dipengaruhi oleh
memahami berbagai kebutuhan masyarakat sebagai lingkungan sosial, pengetahuan, akses terhadap rokok,
pengguna jasa yang dihasilkannya, secara sederhana promosi dan sponsor industri rokok, dan pada umumnya
mahasiswa memilki banyak peluang untuk berkembang. perokok tidak mengetahui efek yang ditimbukan oleh
Berbagai perubahan yang dilakukan lewat pergerakan rokok dalam jangka waktu yang panjang.hal tersebut
mahasiswa sudah hadir dalam sejarah bangsa dimulai ditenggarai oleh frekuensi edukasi publik yang kurang
pada era- pra kemerdekaan, perjuangan melawan maksimal sehingga pemahaman masyarakat berbeda
pemberontakan, pada masa transisi orde lama menuju antara satu dengan yang lain.
orde baru, sampai jatuhnya rezim orde baru, yang
ditandai dengan dimulainya era-reformasi.
Keempat, Indonesia sampai saat ini merupakan satu-
satunya Negara di asia pasifik yang belum
Sebagai bagian dari masyarakat, mahasiswa menandatangani Framework Convention Tobacco
berada ditempat yang strategis terutama dalam upaya Control (FCTC) sebagai traktat internasional yang isinya
advokasi, pergerakan mahasiwa dan perannya di adalah untuk melindungi kesehatan warga negara dari
lingkungan civitas akademika ,bukan hanya mendalami dampak konsumsi tembakau.
disiplin keilmuannya, mahasiswa perlu dan mampu
menghasilkan karya, berupa hasil penelitian, temuan dan
tentunya prestasi akademik yang tinggi dan maksimal Kelima, Pro-kontra terkait isu tembakau di Indonesia
selain itu Partisipasi dan Kontribusi Universal Kontribusi terjadi akibat tingkat pemahaman yang berbeda dan
terhadap peningkatan prestasi akademik Realisasi dampak dari tidak maksimalnya dari komposisi edukasi
Disiplin Ilmu kesehatan Masyarakat dan penerapannya. kepada masyarakat terkait permasalahan tembakau dan
Pergerakan mahasiswa adalah memberkan kontribusi keberlanjutan gerakan anti rokok serta dipahami bahwa
terhadap penyelesaian masalah kesehatan dan isu rokok merupakan hal yang sangat sensitif untuk
pembangunan Komunitas dan Kemampuan menciptakan masyarakat indonesia.
Keenam, Konteks pergerakan mahasiswa dalam bidang Keempat, segera raftifikasi dan aksesi Framework
pengendalian bahaya tembakau sesuai dengan Convention Tobacco Control (FCTC) sebagai bagian dari
realisasi Tri Dharma Peruruan Tinggi adalah pendidikan upaya dan ”political will”pemerintah republik indonesia
: sosialisasi internal kampus (pertemuan ilmiah),
penelitian : menghasilkan karya ilmiah yang mendukung
peningkatan prestasi akademik maupun non-akademik,
Kelima, Maksimalkan Intensitas program, promosi
pengabdian masyarakat : edukasi dan menghasilkan
kesehatan, iklan audio visual serta edukasi masyarakat
produk promosi kesehatan dan hasil surveilance perilaku
terhadap dampak konsumsi tembakau
merokok masyarakat., advokasi : membangun kemitraan
bersama dengan instiusi terkait baik elemen organisasi
mahasiswa, NGO, LSM, maupun audiensi dengan
pengambil kebijakan dan pelaksana Program Keenam, bentuk komunitas dan aliansi peduli bahaya
pengendalian bahaya tembakau. konsumsi tembakau di berbagai elemen , pelajar, dan
mahasiswa dan opimaliasi penguatan komitmen
Lembaga Swadaya Masyarakat

Saran

Berdasarkan dengan hasil kajian singkat dan kesimpulan Referensi


yang dihasilkan maka izinkan kami untuk memberikan
a. Dokumen internal :
saran melalui artikel singkat dengan judul ”Mencegah
dan Mengendalikan Dampak Konsumsi Tembakau 1) Thoha Khaled. 2007. Rekomendasi Rencana Strategis ISMKMI wilayah II .
MUNAS ISMKMI ke-X Depok.Universitas Indonesia: Jawa Barat
Melalui Siklus Kebijakan yang Berbassis Evidens 2) Erwin N Pratama. Rakernas ISMKMI ke-VI. Protokol
Epidemiologi dan Edukasi Publik Sebagai Upaya Surabaya.2008.Universitas Airlangga:Surabaya
3) MUNAS ISMKMI ke-XI. Anggaran Dasar & Rumah Tangg a. 2008.
Meningkatkan Derajat Kesehatan Masyarakat Indonesia” Universitas Jendral Soedirman: Purwokerto
4) MUNAS ISMKMI ke- XI. Garis Besar Haluan Organisasi. 2008. Universitas
Jendral Soedirman. Purwokerto
5) Hasil Diskusi Daerah & Pusat. Workshop Larang Iklan Promosi dan
Sponsor Rokok.2008. KOMNAS ANAK: Depok
Pertama, pentingnya penerapan strategi MPOWER
sebagai bagian dalam upaya pengendaian bahaya b. Dokumen eksternal :
tembakau di Indonesia pada tingkat pemerintahan
1) Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Rencana Strategis Depkes RI
maupun masyarakat secara luas dan utuh melalui siklus tahun 2005-2009
kebijakan berbassis evidens epidemiologi. 2) Anggaran dasar dan RumahTangga & Kode Etik IAKMI
3) Tobacco Control Support Centre IAKMI. Profil Tembakau Indonesia. 2007:
Jakarta
4) Deklarasi Palembang, 2007. KONAS IAKMI & Rakernas AIPTKMI
5) Paket Pengembangan Kawasan Tanpa Asap Rokok: Pedoman untuk
Advokator TCSC IAKMI: Jakarta
Kedua, perjuangkan isu pengendalian bahaya tembakau 6) Widyastuti Wibisana. Tembakau & Kemiskinan: sumber World Health
Organization. 2008. Workshop Pembentukan Kader mahasiswa Peduli
sebagai bagian dari agenda reformasi pembangunan Bahaya Tembakau. FKM UI: Depok
kesehatan (pemerintah pusat, provinsi,kabupaten/kota) 7) Mary Asunta. Networking Building. 2008. South East Asia Tobacco Control
Alliance :Thailand
dan prioritas legislatif nasional ( legislatif ) dan civitas 8) Keputusan Menteri tenaga kerja & Transmigrasi No.42 Tahun 2008
tentang Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia(SKKNI) tentang
akademika (lingkungan pendidikan) melalui kawasan tenaga K3
tanpa rokok (KTR) 9) Profil Forum Mahasiswa Indonesia Tanggap Flu Burung wilayah Jawa
Bagian Barat
10) MENKOKESRA. Pedoman Umum Program Aksi Nasional. Pengembangan
Kabupaten/Kota Percontohan Dalam Upaya Peningkatan Derajat
Kesehatan Masyarakat Indonesia .2006. Jakarta
11) Adang Bachtiar.Tantangan Untuk Melangkah Ke depan: Pentingnya
Ketiga, eliminasi iklan, sponsor dan promosi produk Kemitraan. IAKMI. 2009. Jakarta
12) Recognition and mentoring program- institute Pertanian Bogor (RAMP-
tembakau dan kemasan pada bungkus rokok, disertai IPB) Intensive-student technopreunership program.2008. Bogor
kenaikan cukai dan harga rokok. Dan tingkatkan
frekuensi edukasi publik yang berkesinambungan c. Buku Bacaan :
beserta peringatan kesehatan bergambar dan memenuhi
1) Suwarto,FX. Perilaku Keorganisasian. 1998. Universitas Atma Jaya :
syarat.serta ketentuan yang seharusnya pada bungkus Yogyakarta
rokok (Iyarat FCTC yaitu 30-50 % dari permukaan lebar 2) Notoatmodjo Soekidjo. Ilmu Kesehatan Masyarakat. 2003. Rineka Cipta:
Jakarta
bungkus rokok, pesan tunggal dan berganti-ganti) 3) Aidh bin Abdullah al-Qarni. La Tahzan. 2006.Magfirah: Jakarta
4) Mahmud Muhammad Al-Hazandar.The Most Perfect Habit.2006.Embun
Publishing: Jakarta
5) Hudzaifah Ismail. Sesegar Telaga Kausar, Tadabbur kreatif 30 ayat
Motivasi. 2006. Senayan Publishing : Jakarta
6) Akses Peran Serta Masyarakat Memahami Lebih Jauh Tentang
Community Development. 2003. Indonesia Center for Sustainable
Development(ICSD):Jakarta
7) Baasir Faisal. Pembangunan & Krisis, Kritik dan solusi menuju
kebangkitan Indonesia. 2003: Pustaka Sinar Harapan. Jakarta
8) Media Informasi dan Komunikasi Epidemiologi. Pedoman Surveilans
Vektor Terpadu.2006.PAEI.Jakarta
9) Topatimasang,Roem,et,a.l.Merubah Kebijakan Publik. 2000. Reseach,
Education and Dialogue(ReaD): Yogyakarta
10) M. Gun Gun Sambas.Diktat kuliah.Epidemiologi Pelayanan
Kesehatan.2008.Universitas Respati Indonesia:Jakarta
11) Chandra Budiman. Metodologi Penelitian Kesehatan.2008.Penerbit Buku
Kedokteran EGC.Jakarta
12) Imam Munadi.Menyibak Rahasia di Balik Fenomena Sukses. 2005.Skill
Publishing. Jakarta
13) Abdilah Ahsan, Dkk. Ekonomi Tembakau Di Indonesia. 2008. Lembaga
Demografi Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia.Depok
14) Daniel H. Pink. Misteri Otak Kanan Manusia. 2008. Think: Jogyakarta
15) World Health Organization. MPOWER Upaya Pengendalian Konsumsi
Tembakau. 2008. Jakarta
16) Nasrin Kodim. Mencegah dan Mengendalikan Petaka Kesehatan
Masyarakat Dengan Siklus Kebijakan Yang Berbassis Evidens
Epidemiologi.2006. Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia,
Depok

d. Artikel :

1) Syahrul Aminullah. Ketahanan Idealisme Profesi Kesehatan ditengah


terjadinya Perubahan Pelayanan Kesehatan dari Humanisme menjadi
Kapitalis dan Kesiapan Menghadapi Dampak Krisis Ekonomi Global.
Diskusi Publik Refleksi Pembangunan Kesehatan Tahun 2008.Jakarta
2) Sjafii ahmad. Pembangunan kesehatan Masa Depan; Masalah dan
Tantangan.2009.Majalah Kesehatan Masyarakat Indonesia. Ikatan Ahli
Kesehatan Masyarakat Indonesia. Jakarta
3) Does Sampoerno.Penyehatan Bangsa Perlu Komitmen Politik .2009.
Majalah Kesehatan Masyarakat Indonesia. Ikatan Ahli Kesehatan
Masyarakat Indonesia. Jakarta
4) Buchari Lapau. Diperlukan Pendidikan Profesi Epidemiologi Kesehatan
Dalam Rangka Menghasilkan Informasi Ilmiah Untuk Pengambilan
Keputusan. 2009. Majalah Kesehatan Masyarakat Indonesia. Ikatan Ahli
Kesehatan Masyarakat Indonesia. Jakarta
5) Soekidjo Notodmodjo. Promosi Kesehatan ”Roh” Kesehatan Masyarakat .
2009. Majalah Kesehatan Masyarakat Indonesia. Ikatan Ahli Kesehatan
Masyarakat Indonesia. Jakarta
Pengertian Pelayanan Kesehatan Reproduksi
Kesehatan Reproduksi menurut WHO adalah kesejahteraan fisik, mental dan sosial yang
utuh bukan hanya bebas dari penyakit atau kecatatan, dalam segala aspek yang berhubungan
dengan system reproduksi, fungsi serta prosesnya. Reproductive health is a state of complete
physical, mental and social welling and not merely the absence of disease or infirmity, in all
matters relating to reproductive system and to its funtctions processes (WHO).
Baik laki-laki maupun perempuan memerlukan landasan psikis yang memadai agar
perkembangan emosinya berlangsung dengan baik. Hal ini harus dimulai sejak sejak anak-anak,
bahkan sejak bayi. Sentuhan pada kulitnya melalui rabaan dan usapan yang hangat, terutama
sewaktu menyusu ibunya, akan memberikan rasa terima kasih, tenang, aman dan kepuasan yang
tidak akan ia lupakan sampai ia besar kelak. Perasaan semacam itu akan menjadi dasar
kematangan emosinya dimasa yang akan datang.
Salah satu butir kesepakatan ICPD Cairo 1994 adalah Hak reproduksi dan kesehatan
reproduksi termasuk masalah KB dan kesehatan seksual. ICPD Cairo memberikan defenisi
tentang kesehatan reproduksi sebagai berikut “Kesehatan Reproduksi adalah kesehatan secara
fisik, mental dan kesejahteraan sosial secara utuh pada semua hal yang berhubungan dengan
sistem dan fungsi serta proses reproduksi dan bukan hanya kondisi yang bebas dari penyakit dan
kecacatan”. Setiap pasangan suami-isteri yang telah menikah selalu menginginkan untuk
memiliki anak atau keturunan. Anak dapat diperoleh melalui hubungan intim suami dan isteri
(anak kandung) atau dapat dilakukan dengan cara mengadopsi anak dari pasangan lain (anak
angkat/anak piara). Namun yang sangat diharapkan oleh setiap pasangan adalah memiliki anak
kandung. Namun dalam kenyataan hidup, ada pasangan yang isterinya tidak dapat hamil karena
adanya gangguan infertilitas/ketidaksuburan pada salah satu diantara pasangan tersebut baik
isteri maupun suami. Sehingga harapan untuk mendapatkan anak melalui hubungan intim suami
isteri sulit tercapai. Hal ini mendorong pasangan yang mengalami masalah infertilitas untuk
mencari jalan keluar, yang salah satu caranya adalah melaui konsepsi buatan atau bayi tabung.
Menurut program kerja WHO ke IX (1996-2001), masalah kesehatan reproduksi ditinjau
dari pendekatan siklus kehidupan keluarga, meliputi :
 Praktek tradisional yang berakibat buruk semasa anak-anak (seperti mutilasi, genital,
deskriminasi nilai anak, dsb);
 Masalah kesehatan reproduksi remaja (kemungkinan besar dimulai sejak masa kanak-
kanak yang seringkali muncul dalam bentuk kehamilan remaja, kekerasan/pelecehan
seksual dan tindakan seksual yang tidak aman);

 Tidak terpenuhinya kebutuhan ber-KB, biasanya terkait dengan isu aborsi tidak aman;

 Mortalitas dan morbiditas ibu dan anak (sebagai kesatuan) selama kehamilan, persalian
dan masa nifas, yang diikuti dengan malnutrisi, anemia, berat bayi lahir rendah;

 Infeksi saluran reproduksi, yang berkaitan dengan penyakit menular seksual;

 Kemandulan, yang berkaitan erat dengan infeksi saluran reproduksi dan penyakit menular
seksual;

 Sindrom pre dan post menopause dan peningkatan resiko kanker organ reproduksi;

 Kekurangan hormon yang menyebabkan osteoporosis dan masalah ketuaan lainnya.

B. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kesehatan Reproduksi


Secara garis besar dapat dikelompokkan empat golongan faktor yang dapat
berdampak buruk bagi keseshatan reproduksi:
a. Faktor sosial-ekonomi dan demografi (terutama kemiskinan, tingkat pendidikan yang
rendah dan ketidaktahuan tentang perkembangan seksual dan proses reproduksi, serta
lokasi tempat tinggal yang terpencil)
b. Faktor budaya dan lingkungan (misalnya, praktek tradisional yang berdampak buruk pada
kesehatan reproduksi, kepercayaan banyak anak banyak rejeki, informasi tentang fungsi
reproduksi yang membingungkan anak dan remaja karena saling berlawanan satu dengan
yang lain, dsb)

c. Faktor psikologis (dampak pada keretakan orang tua pada remaja, depresi karena
ketidakseimbangan hormonal, rasa tidak berharga wanita terhadap pria yang membeli
kebebasannya secara materi, dsb);
d. Faktor biologis (cacat sejak lahir, cacat pada saluran reproduksi pasca penyakit menular
seksual, dsb).

Pengaruh dari semua faktor diatas dapat dikurangi dengan strategi intervensi yang tepat
guna, terfokus pada penerapan hak reproduksi wanita dan pria dengan dukungan disemua tingkat
administrasi, sehingga dapat diintegrasikan kedalam berbagai program kesehatan, pendidikan,
sosial dam pelayanan non kesehatan lain yang terkait dalam pencegahan dan penanggulangan
masalah kesehatan reproduksi.

PENDAHULUAN

Kesehatan reproduksi adalah kesejahteraan fisik, mental dan sosial yang utuh dan bukan hanya
tidak adanya penyakit atau kelemahan, dalam segala hal yang berhubungan dengan sistem
reproduksi dan fungsi-fungsinya serta prosesprosesnya. Oleh karena itu, kesehatan reproduksi
berarti orang dapat mempunyai kehidupan seks yang memuaskan dan aman, dan bahwa mereka
memiliki kemapuan untuk bereproduksi dan kebebasan untuk menentukan apakah mereka ingin
melakukannya, bilamana dan seberapa seringkah. Termasuk terakhir ini adalah hak pria dan
wanita untuk memperoleh informasi dan mempunyai akses terhadap cara - cara keluarga
berencana yang aman, efektif dan terjangkau, pengaturan fertilitas yang tidak melawan hukum,
hak memperoleh pelayanan pemeliharaan kesehatan yang memungkinkan para wanita dengan
selamat menjalani kehamilan dan melahirkan anak, dan memberikan kesempatan untuk memiliki
bayi yang sehat.

Sejalan dengan itu pemeliharaan kesehatan reproduksi merupakan suatu kumpulan metode,
teknik dan pelayanan yang mendukung kesehatan dan kesejahteraan reproduksi melalui
pencegahan dan penyelesaian masalah kesehatan reproduksi. Ini juga mencakup kesehatan
seksual, yang bertujuan meningkatkan status kehidupan dan hubungan-hubungan perorangan,
dan bukan semata-mata konseling dan perawatan yang bertalian dengan reproduksi dan penyakit
yang ditularkan melalui hubungan seks.

Defenisi

Kesehatan reproduksi menurut WHO adalah kesejahteraan fisik, mental dan sosial yang utuh
bukan hanya bebas dari penyakit atau kecatatan, dalam segala aspek yang berhubungan dengan
sistem reproduksi, fungsi serta prosesnya. Reproductive health is a state of complete physical,
mental and social welling and not merely the absence of disease or infirmity, in all matters
relating to reproductive system and to its funtctions processes (WHO) Agar dapat melaksanakan
fungsi reproduksi secara sehat, dalam pengertian fisik, mental maupun sosial, diperlukan
beberapa prasyarat :
1. agar tidak ada kelainan anatomis dan fisiologis baik pada perempuan maupun laki-laki. Antara
lain seorang perempuan harus memiliki rongga pinggul yang cukup besar untuk mempermudah
kelahiran bayinya kelak. Ia juga harus memiliki kelenjar-kelenjar penghasil hormon yang mampu
memproduksi hormon-horman yang diperlukan untuk memfasilitasi pertumbuhan fisik dan
fungsi sistem dan organ reproduksinya. Perkembangan-perkembangan tersebut sudah
berlangsung sejak usia yang sangat muda. Tulang pinggul berkembang sejak anak belum
menginjak remaja dan berhenti ketika anak itu mencapai usia 18 tahun. Agar semua
pertumbuhan itu berlangsung dengan baik, ia memerlukan makanan dengan mutu gizi yang baik
dan seimbang. Hal ini juga berlaku bagi laki-laki. Seorang lakilaki memerlukan gizi yang baik
agar dapat berkembang menjadi laki-laki dewasa yang sehat.

2. baik laki-laki maupun perempuan memerlukan landasan psikis yang memadai agar
perkembangan emosinya berlangsung dengan baik. Hal ini harus dimulai sejak sejak anak-anak,
bahkan sejak bayi.

3. setiap orang hendaknya terbebas dari kelainan atau penyakit yang baik langsung maupun tidak
langsung mengenai organ reproduksinya. Setiap kelainan atau penyakit pada organ reproduksi,
akan dapat pula menggangu kemampuan seseorang dalam menjalankan tugas reproduksinya.
Termasuk disini adalah penyakit yang ditularkan melalui hubungan seksual.

Ruang Lingkup Masalah Kesehatan Reproduksi

Isu-isu yang berkaitan dengan kesehatan reproduksi kadang merupakan isu yang pelik dan
sensitif, seperti hak-hak reproduksi, kesehatan seksual, penyakit menular seksual (PMS)
termasuk HIV/AIDS, kebutuhan khusus remaja, dan perluasan jangkauan pelayanan kelapisan
masyarakat kurang manpu atau meraka yang tersisih. Karena proses reproduksi nyatanya terjadi
terjadi melalui hubungan seksual, defenisi kesehatan reproduksi mencakup kesehatan seksual
yang mengarah pada peningkatan kualitas hidup dan hubungan antar individu, jadi bukan hanya
konseling dan pelayanan untuk proses reproduksi dan PMS. Dalam wawasan pengembagan
kemanusiaan. Merumuskan pelayanan kesehatan reproduksi yang sangat penting mengingat
dampaknya juga terasa pada kualitas hidup generasi berikutnya. Sejauh mana seseorang
dapatmenjalankan fungsi dan proses reproduksinya secara aman dan sehat sesungguhnya
tercermin dari kondisi kesehatan selama siklus kehidupannya, mulai dari saat konsepsi, masa
anak, remaja, dewasa, hingga masa pasca usia reproduksi.

Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kesehatan Reproduksi

Secara garis besar dapat dikelompokkan empat golongan faktor yang dapat berdampak buruk
bagi keseshatan reproduksi:

a. Faktor sosial-ekonomi dan demografi (terutama kemiskinan, tingkat pendidikan yang rendah
dan ketidaktahuan tentang perkembangan seksual dan proses reproduksi, serta lokasi tempat
tinggal yang terpencil).

b. Faktor budaya dan lingkungan (misalnya, praktek tradisional yang berdampak buruk pada
kesehatan reproduksi, kepercayaan banyak anak banyak rejeki, informasi tentang fungsi
reproduksi yang membingungkan anak dan remaja karena saling berlawanan satu dengan yang
lain, dsb).

c. Faktor psikologis (dampak pada keretakan orang tua pada remaja, depresi karena
ketidakseimbangan hormonal, rasa tidak berharga wanita terhadap pria yang membeli
kebebasannya secara materi, dsb).

d. Faktor biologis (cacat sejak lahir, cacat pada saluran reproduksi pasca penyakit menular
seksual, dsb). Pengaruh dari semua faktor diatas dapat dikurangi dengan strategi intervensi yang
tepat guna, terfokus pada penerapan hak reproduksi wanita dan pria dengan dukungan disemua
tingkat administrasi, sehingga dapat diintegrasikan kedalam berbagai program kesehatan,
pendidikan, sosial dam pelayanan non kesehatan lain yang terkait dalam pencegahan dan
penanggulangan masalah kesehatan reproduksi.

Tujuan dan Sasaran Kesehatan Reproduksi

Tujuan Utama

Sehubungan dengan fakta bahwa fungsi dan proses reproduksi harus didahului oleh hubungan
seksual, tujuan utama program kesehatan reproduksi adalah meningkatkan ksesadaran
kemandiriaan wanita dalam mengatur fungsi dan proses reproduksinya, termasuk kehidupan
seksualitasnya, sehingga hak-hak reproduksinya dapat terpenuhi, yang pada akhirnya menuju
penimgkatan kualitas hidupnya.

Tujuan Khusus

Dari tujuan umum tersebut dapat dijabarkan empat tujuan khusus yaitu :

1. Meningkatnya kemandirian wanita dalam memutuskan peran dan fungsi reproduksinya.

2. meningkatnya hak dan tanggung jawab sosial wanita dalam menentukan kapan hamil, jumlah
dan jarak kehamilan.

3. meningkatnya peran dan tanggung jawab sosial pria terhadap akibat dari perilaku seksual dan
fertilitasnya kepada kesehatan dan kesejahteraan pasangan dan anak-anaknya.
4. dukungan yang menunjang wanita untuk menbuat keputusan yang berkaitan dengan proses
reproduksi, berupa pengadaan informasi dan pelayanan yang dapat memenuhi kebutuhan untuk
mencapai kesehatan reproduksi secara optimal.

Sasaran

Indonesia menyetujui ke -tujuh sasaran reproduksi WHO untuk masa 1993- 2001, karena masih
dalam jangkauan sasaran Repelita VI, yaitu:

1. Penurunan 33% angka prevalensi anemia pada wanita (usia 15-49 tahun)

2. Penurunan angka kematian ibu hingga 59%;semua wanita hamil mendapatkan akses pelayanan
prenatal, persalinan oleh tenaga terlatih dan kasus kehamilan resiko tinggi serta
kegawatdaruratan kebidanan, dirujuk kekapasilitas kesehatan.

3. peningkatan jumlah wanita yang bebas dari kecacatan/gangguan sepanjang hidupnya sebesar
15% diseluruh lapisan masyarakat.

4. Penurunan proporsi bayi berat lahir rendah (<2,5kg) menjadi kurang dari 10 %.

5. Pemberantasan tetanus neonatarum (angka insiden diharapkan kurang dari satu kasus per 1000
kelahiran hidup) disemua kabupaten.

6. Semua individu dan pasangan mendapatkan akses informasi dan pelayanan pencegahan
kehamilan yang terlalu dini, terlalu dekat jaraknya, terlalu tua, dan telalu banyak.

7. Proporsi yang memanfaatkan pelayanan kesehatan dan pemeriksaan dan pengobatan PMS
minimal mencapai 70% (WHO/SEARO,1995).

Pelayanan Kesehatan Reproduksi

Sesuai dengan rekomendasi strategi regional WHO untuk negara-negara anggota di Asia
Tenggara, dua peket pelayanan kesehatan reproduksi telah dirumuskan oleh wakil-wakil sektor
dan inter-program dalam beberapa pertemuan koordinasi pralokakarya nasional di Jakarta. Lima
kelompok kerja telah sepakat untuk melaksankan pelayanan dasar berikut sebagai strategi
intervensi nasional penanggulangan masalah kesehatan reproduksi di Indonesia.
Dengan kedua paket intervensi diatas, komponen intervensi pada kesehatan reproduksi di
Indonesia menjadi lengkap, seperti terlihat dalam diagram berikut:

A. Paket Kesehatan Reproduksi Esensial

1. Kesejahteraan Ibu dan Bayi

2. Keluarga Berencana

3. Pencegahan dan penanganan ISR/PMS/HIV

4. Kesehatah Reproduksi Remaja

B. Paket Kesehatan Reproduksi Komprehensip

Pencegahan dan penanganan masalah usia lanjut, selain paket esensial diatas.

Keterangan :

* Paket pelayanan Kesehatan Reproduksi Esensial (Paket PKRE)

** Paket pelayanan Kesehatan Reproduksi Komprehensif (Paket PKRK) PKRE terdiri dari:

1. Kesejahteraan Ibu dan bayi

2. Keluarga Berencana

3. Pencegahan dan penanganan ISR/PMS/HIV dan kemandulan

4. Kesehatan Reproduksi Remaja

PKRK terdiri dari :

PKRE+ Pelayanan dan Penanganan Masalah Usila Strategi kesehatan reproduksi menurut
komponen pelayaanan kesehatan reproduksi komprehensif dapat diuraikan sebagai berikut:

1. Komponen Kesejahteraan Ibu dan Anak

Peristiwa kehamilan, persalinan dan masa nifas merupakan kurun kehidupan wanita yang paling
tinggi resikonya karena dapat membawa kematian, dan makna kematian seorang ibu bukan
hanya satu anggota keluarga tetapi hilangnya kehidupan sebuah keluarga. Peran ibu sebagai
wakil pimpinan rumah tangga sulit digantikan. Untuk mengurangi terjadinya kematian ibu
karena kehamilan dan persalinan, harus dilakukaun pemantauan sejak dini agar dapat mengambil
tindakan yang cepat dan tepat sebelum berlanjut pada keadaan kebidanan darurat. Upaya
intervensi dapat berupa pelayanan ante natal, pelayanan persalinan/partus dan pelayanan
postnatal atau masa nifas. Informasi yang akurat perlu diberikan atas ketidaktahuan bahwa
hubungan seks yang dilakukan, akan mengakibatkan kehamilan, dan bahwa tanpa menggunakan
kotrasepsi kehamilan yang tidak diinginkan bisa terjadi. Dengan demikian tidak perlu dilakukan
pengguguran yang dapat mengancam jiwa.

2. Komponen Keluarga Berencana

Promosi KB dapat ditujukan pada upaya peningkatan kesejahteraan ibu sekaligus kesejahteraan
keluarga. Calon suami-istri agar merencanakan hidup berkeluarga atas dasar cinta kasih, serta
pertimbangan rasional tentang masa depan yang baik bagi kehidupan suami istri dan anak-anak
mereka serta masyarakat. Keluarga berencana bukan hanya sebagai upaya/strategi kependudukan
dalam menekan pertumbuhan penduduk agar sesuai dengan daya dukung lingkungan tetapi juga
merupakan strategi bidang kesehatan dalam upaya peningkatan kesehatan ibu melalui pengaturan
jarak dan jumlah kelahiran. Pelayanan yang berkualitas juga perlu ditingkatkan dengan lebih
memperhatikan pandangan klien atau pengguna pelayanan.

3. Komponen Pencegahan dan Penanganan Infeksi Saluran Reproduksi (ISR), termasuk Penyakit
Menular Seksual dan HIV/AIDS

Pencegahan dan penanganan infeksi ditujukan pada penyakit dan gangguan yang berdampak
pada saluran reproduksi. Baik yang disebabkan penyakit infeksi yang non PMS. Seperti
Tuberculosis, Malaria, Filariasis, dsb; maupun penyakit infeksi yang tergolong PMS (penyalit
menular seksual), seperti gonorrhoea, sifilis, herpes genital, chlamydia, dsb; ataupun kondisi
infeksi yang berakibat infeksi rongga panggul (pelvic inflammatory diseases/ PID) seperti alat
kontrasepsi dalam rahim (AKDR), yang dapat berakibat seumur hidup pada wanita maupun pria,
misalnya kemandulan, hal mana akan menurunkan kualitas hidupnya. Salah satu yang juga
sangat mendesak saat ini adalah upaya pencegahan PMS yang fatal yaitu infeksi virus HIV
(Human Immunodeficiency Virus).

4. Komponen Kesehatan Reproduksi Remaja

Upaya promosi dan pencegahan masalah kesehatan reproduksi juga perlu diarahkan pada masa
remaja, dimana terjadi peralihan dari masa anak menjadi dewasa, dan perubahan-perubahan dari
bentuk dan fungsi tubuh terjadi dalam waktu relatif cepat. Hal ini ditandai dengan
berkembangnya tanda seks sekunder dan berkembangnya jasmani secara pesat, menyebabkan
remaja secara fisik mampu melakukan fungsi proses reproduksi tetapi belum dapat
mempertanggungjawabkan akibat dari proses reproduksi tersebut. Informasi dan penyuluhan,
konseling dan pelayanan klinis perlu ditingkatkan untuk mengatasi masalah kesehatan reproduksi
remaja ini.

5. Komponen Usia Lanjut

Melengkapi siklus kehidupan keluarga, komponen ini akan mempromosikan peningkatan


kualitas penduduk usia lanjut pada saat menjelang dan setelah akhir kurun usia reproduksi
(menopouse/adropause). Upaya pencegahan dapat dilakukan melalui skrining keganansan organ
reproduksi misalnya kan ker rahim pada wanita, kanker prostat pada pria serta pencegahan
defesiensi hormonal dan akibatnya seperti kerapuhan tulang dan lain-lain. Hasil akhir yang
diharapkan dai pelaksanaan kesehatan reproduksi yang dimodifikasikan dari rekomendasi WHO
tersebut adalah peningkatan akses :

a. Informasi secara menyeluruh mengenai seksualitas dan reproduksi, masalah kesehatan


reproduksi, manfaat dan resiko obat, alat, perawatan, tindakan intervensi, dan bagaimana
kemampuan memilih dengan tepat sangat diperlukan.

b. Paket pelayanan kesehatan reproduksi yang berkualitas yang menjawab kebutuhan wanita
maupun pria.

c. Kontrasepsi (termasuk strerilisasi) yang aman dan efektif

d. Kehamilan dan persalinan yang direncanakan dan aman

e. Pencegahan dan penanganan tindakan pengguguran kandungan tida k aman.

f. Pencegahan dan penanganan sebab-sebab kemandulan (ISR/PMS).

g. Informasi secara menyeluruh termasuk dampak terhadap otot dan tulang, libido, dan perlunya
skrining keganasan (kanker) organ reproduksi. Pengukuran perubahan-perubahan yang positif
terhadap hasil akhir diatas akan menunjukkan kemajuan pencapaian tujuan akhir; pelayanan
kesehatan dasar yang menjawab kebutuhan kesehatan reproduksi individu, suami-istri dan
keluarga, hal mana menjadi dasar yang kokoh untuk mengatasi kesehatan reproduksi yang
dihadapi seseorang dalam kurun siklus reproduksinya.

PENUTUP

Persoalan kesehatan reproduksi bukan hanya mencakup persoalan kesehatan reproduksi wanita
secara sempit dengan mengaitkannya pada masalah seputar perempuan usia subur yang telah
menikah, kehamilan dan persalinan, pendekatan baru dalam program kependudukan memperluas
pemahaman persoalan kesehatan reproduksi. Dimana seluruh tingkatan hidup perempuan
merupakan fokus persoalan kesehatan reproduksi.

Secara tematik, ada lima kelompok masalah yang diperhatikan dalam kesehatan reproduksi, yaitu
kesehatan reproduksi itu sendiri, keluarga berencana, PMS dan pencegahan HIV/AIDS,
seksualitas hubungan manusia dan hubungan gender, dan remaja. Secara lebih spesifik, berbagai
masalah dalam kesehatan reproduksi adalah perawatan kehamilan, pertolongan persalinann,
infertilitas, menopause, penggunann kontrasepsi, kehamilan tidak dikehendaki dan aborsi baik
pada remaja maupun pasangan yang telah menikah, PMS dan HIV/AIDS (berkaitan dengan
prostitusi, homoseksualitas, gaya hidup dan praktek tradisional), pelecehan dan kekerasan pada
perempuan, pekosaan, dan layanan dan informasi pada remaja.

Berfungsinya sistem reproduksi wanita dipengaruhi oleh aspek-aspek dan proses-proses yang
terkait pada setiap tahap dalam lingkungan hidup. Masa kanak-kanak, remaja pra -nikah,
reprodukstif baik menikah maupun lajang, dan menopause akan dilalui oleh setiap perempuan,
dan pada masa- masa tersebut akan terjadi perubahan dalam sistem reproduksi. Pada saat yang
bersamaan dimungkinkan adanya faktor-faktor non klinis yang menyertai perubahan itu, seperti
faktor sosial, faktor budaya dan faktor politik yang berkaitan dengan kebijakan pemerintah.
Berperannya berbagai faktor dalam kesehatan reproduksi ini selanjutnya menberikan
pemahaman akan keterlibatan subjek atau pelaku, diluar kelompok perempuan itu sendiri.

Salah satu subjek terdekat dan langsung berkaitan dengan masalah reproduksi perempuan adalah
kelompok laki-laki. Laki-laki dalam hal ini berperan penting sesuai dengan statusnya terhadap
perempuan, baik sebagai suami, saudara, ayah, teman, atasan maupun critical person dalam
penentuan kebijakan.

DASAR E P I D E M I O L O G I

A. Pengertian, definisi, peranan dan ruang lingkup epidemiologi

1. Pengertian

Epidemilogi berasal dari bahasa Yunani, yaitu (Epi=pada, Demos=penduduk, logos =


ilmu), dengan demikian epidemiologi adalah ilmu yang mempelajari hal-hal yang
berkaitan dengan masyarakat.

2. Definisi

Banyak definisi tentang Epidemiologi, beberapa diantaranya :

a. W.H. Welch

Suatu ilmu yang mempelajari timbulnya, perjalanan, dan pencegahan penyakit,


terutama penyakit infeksi menular. Dalam perkembangannya, masalah yang dihadapi
penduduk tidak hanya penyakit menular saja, melainkan juga penyakit tidak menular,
penyakit degenaratif, kanker, penyakit jiwa, kecelakaan lalu lintas, dan sebagainya.
Oleh karena batasan epidemiologi menjadi lebih berkembang.

b. Mausner dan Kramer


Studi tentang distribusi dan determinan dari penyakit dan kecelakaan pada populasi
manusia.

c. Last

Studi tentang distribusi dan determinan tentang keadaan atau kejadian yang
berkaitan dengan kesehatan pada populasi tertentu dan aplikasi studi untuk
menanggulangi masalah kesehatan.

d. Mac Mahon dan Pugh

Epidemiologi adalah sebagai cabang ilmu yang mempelajari penyebaran penyakit dan
faktor-faktor yang menentukan terjadinya penyakit pada manusia.

e. Omran

Epidemiologi adalah suatu studi mengenai terjadinya distribusi keadaan kesehatan,


penyakit dan perubahan pada penduduk, begitu juga determinannya dan akibat-akibat
yang terjadi pada kelompok penduduk.

f. W.H. Frost

Epidemiologi adalah suatu ilmu yang mempelajari timbulnya, distribusi, dan jenis
penyakit pada manusia menurut waktu dan tempat.

g. Azrul Azwar

Epidemiologi adalah ilmu yang mempelajari tentang frekuensi dan penyebaran


masalah kesehatan pada sekelompok manusia serta faktor-faktor yang mempengaruhi
masalah kesehatan.

Dengan demikian dapat ditarik kesimpulan bahwa ada 3 komponen penting yang ada
dalam epidemiologi, sebagai berikut :

1) Frekuensi masalah kesehatan

2) Penyebaran masalah kesehatan

3) Faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya masalah kesehatan.

3. Peranan

Dari kemampuan epidemiologi untuk mengetahui distribusi dan faktor-faktor


penyebab masalah kesehatan dan mengarahkan intervensi yang diperlukan maka
epidemiologi diharapkan mempunyai peranan dalam bidang kesehatan masyarakat
berupa :
a. Mengidentifikasi faktor-faktor yang berperan dalam terjadinya penyakit atau
masalah kesehatan dalam masyarakat.

b. Menyediakan data yang diperlukan untuk perencanaan kesehatan dan mengambil


keputusan.

c. Membantu melakukan evaluasi terhadap program kesehatan yang sedang atau telah
dilakukan.

d. Mengembangkan metodologi untuk menganalisis keadaan suatu penyakit dalam


upaya untuk mengatasi atau menanggulanginya.

e. Mengarahkan intervensi yang diperlukan untuk menanggulangi masalah yang perlu


dipecahkan.

4. Ruang lingkup

a. Masalah kesehatan sebagai subjek dan objek epidemiologi

Epidemiologi tidak hanya sekedar mempelajari masalah-masalah penyakit-penyakit


saja, tetapi juga mencakup masalah kesehatan yang sangat luas ditemukan di
masyarakat. Diantaranya masalah keluarga berencana, masalah kesehatan lingkungan,
pengadaan tenaga kesehatan, pengadaan sarana kesehatan dan sebagainya. Dengan
demikian, subjek dan objek epidemiologi berkaitan dengan masalah kesehatan secara
keseluruhan.

b. Masalah kesehatan pada sekelompok manusia

Pekerjaan epidemiologi dalam mempelajari masalah kesehatan, akan memanfaatkan


data dari hasil pengkajian terhadap sekelompok manusia, apakah itu menyangkut
masalah penyakit, keluarga berencana atau kesehatan lingkungan. Setelah dianalisis
dan diketahui penyebabnya dilakukan upaya-upaya penanggulangan sebagai tindak
lanjutnya.

c. Pemanfaatan data tentang frekuensi dan penyebaran masalah kesehatan dalam


merumuskan penyebab timbulnya suatu masalah kesehatan.

Pekerjaan epidemiologi akan dapat mengetahui banyak hal tentang masalah


kesehatan dan penyebab dari masalah tersebut dengan cara menganalisis data
tentang frekuensi dan penyebaran masalah kesehatan yang terjadi pada sekelompok
manusia atau masyarakat. Dengan memanfaatkan perbedaan yang kemudian dilakukan
uji statistik, maka dapat dirumuskan penyebab timbulnya masalah kesehatan.

B. Natural history of deseases

Riwayat alamiah suatu penyakit dapat digolongkan dalam 5 tahap :


1. Pre Patogenesis

Tahap ini telah terjadi interaksi antara penjamu dengan bibit penyakit, tetapi
interaksi ini terjadi di luar tubuh manusia, dalam arti bibit penyakit berada di luar
tubuh manusia dan belum masuk ke dalam tubuh. Pada keadaan ini belum ditemukan
adanya tanda-tanda penyakit dan daya tahan tubuh penjamu masih kuat dan dapat
menolak penyakit. Keadaan ini disebut sehat.

2. Tahap inkubasi (sudah masuk Patogenesis)

Pada tahap ini biit penyakit masuk ke tubuh penjamu, tetapi gejala-gejala penyakit
belum nampak. Tiap-tiap penyakit mempunyai masa inkubasi yang berbeda. Kolera 1-
2 hari, yang bersifat menahun misalnya kanker paru, AIDS dll.

3. Tahap penyakit dini

Tahap ini mulai dihitung dari munculnya gejala-gejala penyakit, pada tahap ini
penjamu sudah jatuh sakit tetapi masih ringan dan masih bisa melakukan aktifitas
sehari-hari. Bila penyakit segera diobati, mungkin bisa sembuh, tetapi jika tidak, bisa
bertambah parah. Hal ini terganting daya tahan tubuh manusia itu sendiri, seperti
gizi, istirahat dan perawatan yang baik di rumah (self care).

4. Tahap penyakit lanjut

Bila penyakit penjamu bertambah parah, karena tidak diobati/tidak tertur/tidak


memperhatikan anjuran-anjuran yang diberikan pada penyakit dini, maka penyakit
masuk pada tahap lanjut. Penjamu terlihat tak berdaya dan tak sanggup lagi
melakukan aktifitas. Tahap ini penjamu memerlukan perawatan dan pengobatan yang
intensif.

5. Tahap penyakit akhir

Tahap akhir dibagi menjadi 5 keadaan :

a. Sembuh sempurna (bentuk dan fungsi tubuh penjamu kembali berfungsi seperti
keadaan sebelumnya/bebeas dari penyakit)

b. Sembuh tapi cacat ; penyakit penjamu berakhir/bebas dari penyakit, tapi


kesembuhannya tak sempurna, karena terjadi cacat (fisik, mental maupun sosial) dan
sangat tergantung dari serangan penyakit terhadap organ-organ tubuh penjamu.

c. Karier : pada karier perjalanan penyakit seolah terhenti, karena gejala penyakit tak
tampak lagi, tetapi dalam tubuh penjamu masih terdapat bibit penyakit, yang pada
suatu saat bila daya tahan tubuh penjamu menurun akan dapat kembuh kembali.
Keadaan ini tak hanya membahayakan penjamu sendiri, tapi dapat berbahaya
terhadap orang lain/masyarakat, karena dapat menjadi sumber penularan penyakit
(human reservoir)

d. Kronis ; pada tahap ini perjalanan penyakit tampak terhenti, tapi gejala-gejala
penyakit tidak berubah. Dengan kata lain tidak bertambah berat maupun ringan.
Keadaan ini penjamu masih tetap berada dalam keadaan sakit.

e. Meninggal ; Apabila keadaan penyakit bertambah parah dan tak dapat diobati lagi,
sehingga berhentinya perjalanan penyakit karena penjamu meninggal dunia. Keadaan
ini bukanlah keadaan yang diinginkan.

C. Upaya pencegahan dan ukuran frekuensi penyakit.

Dalam kesehatan masyarakat ada 5 (lima) tingkat pencegahan penyakit menurut


Leavell and Clark. Pada point 1 dan 2 dilakukan pada masa sebelum sakit dan point
3,4,5 dilakukan pada masa sakit.

1. Peningkatan kesehatan (health promotion)

a. Penyediaan makanan sehat dan cukup (kualitas maupun kuantitas)

b. Perbaikan hygiene dan sanitasi lingkungan, misalnya penyediaan air bersih,


pembuangan sampah, pembuangan tinja dan limbah.

c. Pendidikan kesehatan kepada masyarakat. Misal untuk kalangan menengah ke atas


di negara berkembang terhadap resiko jantung koroner.

d. Olahraga secara teratur sesuai kemampuan individu.

e. Kesempatan memperoleh hiburan demi perkembangan mental dan sosial.

f. Nasihat perkawinan dan pendidikan seks yang bertanggung jawab.

2. Perlindungan umum dan khusus terhadap penyakit-penyakit tertentu (general and


specific protection)

a. Memberikan immunisasi pada golongan yang rentan untuk mencegah penyakit

b. Isolasi terhadap penderita penyakit menular, misal yang terkena flu burung.

c. Pencegahan terjadinya kecelakaan baik di tempat umum maupun tempat kerja.

d. Perlindungan terhadap bahan-bahan yang bersifat karsinogenik, bahan-bahan racun


maupun alergi.

e. Pengendalian sumber-sumber pencemaran.


3. Penegakkan diagnosa secara dini dan pengobatan yang cepat dan tepat (early
diagnosis and prompt treatment)

a. Mencari kasus sedini mungkin.

b. Mencari penderita dalam masyarakat dengan jalan pemeriksaan . Misalnya


pemeriksaan darah, rontgent paru.

c. Mencari semua orang yang telah berhubungan dengan penderita penyakit menular
(contact person) untuk diawasi agar bila penyakitnya timbul dapat segera diberikan
pengobatan.

d. Meningkatkan keteraturan pengobatan terhadap penderita.

e. Pemberian pengobatan yang tepat pada setiap permulaan kasus.

4. Pembatasan kecacatan (dissability limitation)

a. Pengobatan dan perawatan yang sempurna agar penderita sembuh dan tak terjadi
komplikasi.

b. Pencegahan terhadap komplikasi dan kecacatan.

c. Perbaikan fasilitas kesehatan sebagai penunjang untuk dimungkinkan pengobatan


dan perawatan yang lebih intensif.

5. Pemulihan kesehatan (rehabilitation)

a. Mengembangkan lembaga-lembaga rehabilitasi dengan mengikutsertakan


masyarakat.

b. Menyadarkan masyarakat untuk menerima mereka kembali dengan memberikan


dukungan moral setidaknya bagi yang bersangkutan untuk bertahan.

c. Mengusahakan perkampungan rehabilitasi sosial sehingga setiap penderita yang


telah cacat mampu mempertahankan diri.

d. Penyuluhan dan usaha-usaha kelanjutan yang harus tetap dilakukan seseorang


setelah ia sembuh dari suatu penyakit.

Beaglehole (WHO, 1993) membagi upaya pencegahan menjadi 3 bagian : primordial


prevention (pencegahan awal) yaitu pada pre patogenesis, primary prevention
(pencegahan pertama) yaitu health promotion dan general and specific protection ,
secondary prevention (pencegahan tingkat kedua) yaitu early diagnosis and prompt
treatment dan tertiary prevention (pencegahan tingkat ketiga) yaitu dissability
limitation.
Ukuran frekuensi penyakit menunjukkan kepada besarnya masalah kesehatan yang
terdapat pada kelompok manusia/masyarakat. Artinya bila dikaitkan dengan masalah
penyakit menunjukkan banyaknya kelompok masyarakat yang terserang penyakit.
Untuk mengetahui frekuensi masalah kesehatan yang terjadi pada sekelompok
orang/masyarakat dilakukan langkah-langkah :

1) Menemukan masalah kesehatan, melalui cara : penderita yang datang ke


puskesmas, laporan dari masyarakat yang datang ke puskesmas.

2) Research/survei kesehatan. Misal : Survei Kesehatan Rumah Tangga

3) Studi kasus. Misal : kasus penyakit pasca bencana tsunami.

D. Penelitian epidemiologi

Secara sederhana, studi epidemiologi dapat dibagi menjadi dua kelompok sebagai
berikut :

1. Epidemiologi deskriptif, yaitu Cross Sectional Study/studi potong lintang/studi


prevalensi atau survei.

2. Epidemiologi analitik : terdiri dari :

a. Non eksperimental :

1) Studi kohort / follow up / incidence / longitudinal / prospektif studi. Kohort


diartiakan sebagai sekelompok orang. Tujuan studi mencari akibat (penyakitnya).

2) Studi kasus kontrol/case control study/studi retrospektif. Tujuannya mencari faktor


penyebab penyakit.

3) Studi ekologik. Studi ini memakai sumber ekologi sebagai bahan untuk penyelidikan
secara empiris faktor resiko atau karakteristik yang berada dalam keadaan konstan di
masyarakat. Misalnya, polusi udara akibat sisa pembakaran BBM yang terjadi di kota-
kota besar.

b. Eksperimental. Dimana penelitian dapat melakukan manipulasi/mengontrol faktor-


faktor yang dapat mempengaruhi hasil penelitian dan dinyatakan sebagai tes yang
paling baik untuk menentukan cause and effect relationship serta tes yang
berhubungan dengan etiologi, kontrol, terhadap penyakit maupun untuk menjawab
pertanyaan masalah ilmiah lainnya. Studi eksperimen dibagi menjadi 2 (dua) yaitu :

1) Clinical Trial. Contoh :

a) Pemberian obat hipertensi pada orang dengan tekanan darah tinggi untuk
mencegah terjadinya stroke.
b) Pemberian Tetanus Toxoid pada ibu hamil untuk menurunkan frekuensi Tetanus
Neonatorum.

2) Community Trial. Contoh : Studi Pemberian zat flourida pada air minum.

E. Epidemiologi keperawatan

Dalam ilmu keperawatan dikenal istilah community health nursing (CHN) atau
keperawatan kesehatan masyarakat, dimana ilmu pengetahuan epidemiologi
digunakan CHN sebagai alat meneliti dan mengobservasi pada pekerjaan dan sebagai
dasar untuk intervensi dan evaluasi literatur riset epidemiologi. Metode epidemiologi
sebagai standard kesehatan, disajikan sebagai alat untuk memperkirakan kebutuhan
masyarakat. Monitoring perubahan status kesehatan masyarakat dan evaluasi
pengaruh program pencegahan penyakit, dan peningkatan kesehatan. Riset/studi
epidemiologi memunculkan badan pengetahuan (body of knowledge) termasuk riwayat
asal penyakit, pola terjadinya penyakit, dan faktor-faktor resiko tinggi terjadinya
penyakit, sebagai informasi awal untuk CHN. Pengetahuan ini memberi kerangka
acuan untuk perencanaan dan evaluasi program intervensi masyarakat, mendeteksi
segera dan pengobatan penyakit, serta meminimalkan kecacatan. Program utama
pencegahan difokuskan pada menjaga jarak perantara penyakit dari host/tuan rumah
yang rentan, pengurangan kelangsungan hidup agent, penambahan resistensi host dan
mengubah kejadian hubungan host, agent, dan lingkungan. Kedua, program
mengurangi resiko dan screening, ketiga : strategi mencegah pada pribadi perawat
dengan body of knowlwdge yang berasal dari riset epidemiologi, sebagai dasar untuk
pengkajian individu dan kebutuhan kesehatan keluarga dan intervensi perencanaan
perawatan.

1. Konsep Dasar Terjadinya Penyakit

Suatu penyakit timbul akibat dari beroperasinya berbagai faktor baik dari agen, induk
semang atau lingkungan. Bentuk ini tergambar didalam istilah yang dikenal luas
dewasa ini. Yaitu penyebab majemuk (multiple causation of disease) sebagai lawan
dari penyebab tunggal (single causation).

Didalam usaha para ahli untuk mengumpulkan pengetahuan mengenai timbulnya


penyakit, mereka telah membuat model-model timbulnya penyakit dan atas dasar
model-model tersebut dilakukan eksperimen terkendali untuk menguji sampai dimana
kebenaran dari model-model tersebut.

Tiga model yang dikenal dewasa ini ialah 1) segitiga epidemiologi (the epidemiologic
triangle) 2) jaring-jaring sebab akibat (the web of causation) dan 3) roda (the wheel).

1.1 Segitiga Epidemiologi (lihat gambar)

1.2 Jaring-Jaring Sebab Akibat


Menurut model ini perubahan dari salah satu faktor akan mengubah keseimbangan
antara mereka, yang berakibat bertamba atau berkurangnya penyakit yang
bersangkutan. (lihat gambar)

Menurut model ini, suatu penyakit tidak bergantung pada satu sebab yang berdiri
sendiri melainkan sebagai akibat dari serangkaian proses sebab dan akibat. Dengan
demikian maka timbulnya penyakit dapat dicegah atau dihentikan dengan memotong
mata rantai pada berbagai titik.

1.3 Roda

Seperti halnya dengan model jaring-jaring sebab akibat, model roda memerlukan
identifikasi dari berbagai faktor yang berperan dalam timbulnya penyakit dengan
tidak begitu menekankan pentingnya agen. Disini dipentingkan hubungan antara
manusia dengan lingkungan hidupnya. Besarnya peranan dari masing-masing
lingkungan bergantung pada penyakit yang bersangkutan.

Sebagai contoh peranan lingkungan sosial lebih besar dari yang lainnya pada stress
mental, peranan lingkungan fisik lebih besar dari lainnya pada sunburn, peranan
lingkungan biologis lebih besar dari lainnya pada penyakit yang penularannya melalui
vektor (vektor borne disease) dan peranan inti genetik lebih besar dari lainnya pada
penyakit keturunan.

Dengan model-model tersebut diatas hendaknya ditunjukkan bahwa pengetahuan yang


lengkap mengenai mekanisme-mekanisme terjadinya penyakit tidaklah diperuntukkan
bagi usaha-usaha pemberantasan yang efektif.

Oleh karena banyaknya interaksi-interaksi ekologis maka seringkali kita dapat


mengubah penyebaran penyakit dengan mengubah aspek-aspek tertentu dari interaksi
manusia dengan lingkungan hidupnya tanpa intervensi langsung pada penyebab
penyakit.

2. Penyakit Menular

Yang dimaksud penyakit menular adalah penyakit yang dapat ditularkan (berpindah
dari orang yang satu ke orang yang lain, baik secara langsung maupun melalui
perantara). Penyakit menular ini ditandai dengan adanya (hadirnya) agen atau
penyebab penyakit yang hidup dan dapat berpindah.

Suatu penyakit dapat menular dari orang yang satu kepada yang lain ditentukan oleh 3
faktor tersebut diatas, yakni :

a. Agen (penyebab penyakit)

b. Host (induk semang)


c. Route of transmission (jalannya penularan)

Apabila diumpamakan berkembangnya suatu tanaman, dapat diumpamakan sebagai


biji (agen), tanah (host) dan iklim (route of transmission).

2.1 Agen-Agen Infeksi (Penyebab Infeksi)

Makhluk hidup sebagai pemegang peranan penting didalam epidemiologi yang


merupakan penyebab penyakit dapat dikelompokkan menjadi :

a. Golongan virus, misalnya influenza, trachoma, cacar dan sebagainya.

b. Golongan riketsia, misalnya typhus.

c. Golongan bakteri, misalnya disentri.

d. Golongan protozoa, misalnya malaria, filaria, schistosoma dan sebagainya.

e. Golongan jamur, yakni bermacam-macam panu, kurap dan sebagainya.

f. Golongan cacing, yakni bermacam-macam cacing perut seperti ascaris (cacing

gelang), cacing kremi, cacing pita, cacing tambang dan sebagainya.

Agar supaya agen atau penyebab penyakit menular ini tetap hidup (survive) maka
perlu persyaratan-persyaratan sebagai berikut :

a. Berkembang biak

b. Bergerak atau berpindah dari induk semang

c. Mencapai induk semang baru

d. Menginfeksi induk semang baru tersebut.

Kemampuan agen penyakit ini untuk tetap hidup pada lingkungan manusia adalah
suatu faktor penting didalam epidemiologi infeksi. Setiap bibit penyakit (penyebab
penyakit) mempunyai habitat sendiri-sendiri sehingga ia dapat tetap hidup.

Dari sini timbul istilah reservoar yang diartikan sebagai berikut 1) habitat dimana bibit
penyakit tersebut hidup dan berkembang 2) survival dimana bibit penyakit tersebut
sangat tergantung pada habitat sehingga ia dapat tetap hidup. Reservoar tersebut
dapat berupa manusia, binatang atau benda-benda mati.

Reservoar didalam Manusia


Penyakit-penyakit yang mempunyai reservoar didalam tubuh manusia antara lain
campak (measles), cacar air (small pox), typhus (typhoid), miningitis, gonoirhoea dan
syphilis. Manusia sebagai reservoar dapat menjadi kasus yang aktif dan carrier.

Carrier

Carrier adalah orang yang mempunyai bibit penyakit didalam tubuhnya tanpa
menunjukkan adanya gejala penyakit tetapi orang tersebut dapat menularkan
penyakitnya kepada orang lain. Convalescant carriers adalah orang yang masih
mengandung bibit penyakit setelah sembuh dari suatu penyakit.

Carriers adalah sangat penting dalam epidemiologi penyakit-penyakit polio, typhoid,


meningococal meningitis dan amoebiasis. Hal ini disebabkan karena :

a. Jumlah (banyaknya carriers jauh lebih banyak daripada orang yang sakitnya

sendiri).

b. Carriers maupun orang yang ditulari sama sekali tidak tahu bahwa mereka

menderita / kena penyakit.

c. Carriers tidak menurunkan kesehatannya karena masih dapat melakukan

pekerjaan sehari-hari.

d. Carriers mungkin sebagai sumber infeksi untuk jangka waktu yang relatif lama.

Reservoar pada Binatang

Penyakit-penyakit yang mempunyai reservoar pada binatang pada umumnya adalah


penyakit zoonosis. Zoonosis adalah penyakit pada binatang vertebrata yang dapat
menular pada manusia. Penularan penyakit-penyakit pada binatang ini melalui
berbagai cara, yakni :

a. Orang makan daging binatang yang menderita penyakit, misalnya cacing pita.

b. Melalui gigitan binatang sebagai vektornya, misalnya pes melalui pinjal tikus,

malaria, filariasis, demam berdarah melalui gigitan nyamuk.

c. Binatang penderita penyakit langsung menggigit orang misalnya rabies.

Benda-Benda Mati sebagai Reservoar


Penyakit-penyakit yang mempunyai reservoar pada benda-benda mati pada dasarnya
adalah saprofit hidup dalam tanah. Pada umumnya bibit penyakit ini berkembang biak
pada lingkungan yang cocok untuknya. Oleh karena itu bila terjadi perubahan
temperatur atau kelembaban dari kondisi dimana ia dapat hidup maka ia berkembang
biak dan siap infektif. Contoh clostridium tetani penyebab tetanus, C. botulinum
penyebab keracunan makanan dan sebagainya.

2.2 Sumber Infeksi dan Penyebaran Penyakit

Yang dimaksud sumber infeksi adalah semua benda termasuk orang atau binatang
yang dapat melewatkan / menyebabkan penyakit pada orang. Sumber penyakit ini
mencakup juga reservoar seperti telah dijelaskan sebelumnya.

Macam-Macam Penularan (Mode of Transmission)

Mode penularan adalah suatu mekanisme dimana agen / penyebab penyakit tersebut
ditularkan dari orang ke orang lain atau dari reservoar kepada induk semang baru.
Penularan ini melalui berbagai cara antara lain :

2.2.1 Kontak (Contact)

Kontak disini dapat terjadi kontak langsung maupun kontak tidak langsung melalui
benda-benda yang terkontaminasi. Penyakit-penyakit yang ditularkan melalui kontak
langsung ini pada umumnya terjadi pada masyarakat yang hidup berjubel. Oleh karena
itu lebih cenderung terjadi di kota daripada di desa yang penduduknya masih jarang.

2.2.2 Inhalasi (Inhalation)

Yaitu penularan melalui udara / pernapasan. Oleh karena itu ventilasi rumah yang
kurang, berjejalan (over crowding) dan tempat-tempat umum adalah faktor yang
sangat penting didalam epidemiologi penyakit ini. Penyakit yang ditularkan melalui
udara ini sering disebut air borne infection (penyakit yang ditularkan melalui udara).

2.2.3 Infeksi

Penularan melalui tangan, makanan dan minuman.

2.2.4 Penetrasi pada Kulit

Hal ini dapat langsung oleh organisme itu sendiri. Penetrasi pada kulit misalnya cacing
tambang, melalui gigitan vektor misalnya malaria atau melalui luka, misalnya tetanus.

2.2.5 Infeksi Melalui Plasenta

Yakni infeksi yang diperoleh melalui plasenta dari ibu penderita penyakit pada waktu
mengandung, misalnya syphilis dan toxoplasmosis.
2.3 Faktor Induk Semang (Host)

Terjadinya suatu penyakit (infeksi) pada seseorang ditentukan pula oleh faktor-faktor
yang ada pada induk semang itu sendiri. Dengan perkataan lain penyakit-penyakit
dapat terjadi pada seseorang tergantung / ditentukan oleh kekebalan / resistensi
orang yang bersangkutan.

2.4 Pencegahan dan Penanggulangan Penyakit Menular

Untuk pencegahan dan penanggulangan ini ada 3 pendekatan atau cara yang dapat
dilakukan :

2.4.1 Eliminasi Reservoir (Sumber Penyakit)

Eliminasi reservoir manusia sebagai sumber penyebaran penyakit dapat dilakukan


dengan :

a. Mengisolasi penderita (pasien), yaitu menempatkan pasien di tempat yang

khusus untuk mengurangi kontak dengan orang lain.

b. Karantina adalah membatasi ruang gerak penderita dan menempatkannya

bersama-sama penderita lain yang sejenis pada tempat yang khusus didesain

untuk itu. Biasanya dalam waktu yang lama, misalnya karantina untuk penderita

kusta.

2.4.2 Memutus Mata Rantai Penularan

Meningkatkan sanitasi lingkungan dan higiene perorangan adalah merupakan usaha


yang penting untuk memutus hubungan atau mata rantai penularan penyakit menular.

2.4.3 Melindungi Orang-Orang (Kelompok) yang Rentan

Bayi dan anak balita adalah merupakan kelompok usia yang rentan terhadap penyakit
menular. Kelompok usia yang rentan ini perlu lindungan khusus (specific protection)
dengan imunisasi baik imunisasi aktif maupun pasif. Obat-obat profilaksis tertentu
juga dapat mencegah penyakit malaria, meningitis dan disentri baksilus.

Pada anak usia muda, gizi yang kurang akan menyebabkan kerentanan pada anak
tersebut. Oleh sebab itu, meningkatkan gizi anak adalah juga merupakan usaha
pencegahan penyakit infeksi pada anak.

Diposkan oleh Dauzz simolol di 03.32


Reaksi: 

SEJARAH EPIDEMIOLOGI
Posted: November 5, 2008 in DASAR DASAR EPIDEMIOLOGI
Kaitkata:Add new tag, EPIDEMIOLOGI, Sejarah Epidemiologi
7
Epidemiologi pada mulanya diartikan sebagai studi tentang epidemi. Hal ini berarti
bahwa epidemiologi hanya mempelajari penyakit-penyakit menular saja tetapi dalam
perkembangan selanjutnya epidemiologi juga mempelajari penyakit-penyakit non infeksi,
sehingga dewasa ini epidemiologi dapat diartikan sebagai studi tentang penyebaran penyakit
pada manusia di dalam konteks lingkungannya.
Mencakup juga studi tentang pola-pola penyakit serta pencarian determinan-determinan
penyakit tersebut. Dapat disimpulkan bahwa epidemiologi adalah ilmu yang mempelajari tentang
penyebaran penyakit serta determinan-determinan yang mempengaruhi penyakit tersebut
Epidemiologi merupakan ilmu yang telah dikenal lewat catatan sejarah pada zaman
dahulu kala dan bahkan berkembang bersamaan  dengan ilmu kedokteran karena  kedua disiplin
ilmu ini berkaitan satu sama lainnya. Epidemiologi dalam pelaksanaan program pencegahan dan
pemberantasan penyakit butuh ilmu kedoteran seperti ilmu faal, biokimia, patologi, mikrobiologi
dan genetika.
Perbedaan antara ilmu kedokteran dengan ilmu epidemiologi terletak pada cara
penanganan masalah kesehatan. Ilmu kedokteran menekankan pada pelayanan kasus demi kasus
sedangkan epidemioogi menekankan pada kelmpok  individu. Oleh karena itu, selain
membutuhkan ilmu kedokteran, epidemiologi juga membutuhkan disiplin   lmu-ilmu lain seperti
demografi, sosiologi, antropologi, geologi, lingkungan fisik, ekonomi,  budaya dan statiska.   
Dalam perkembangan ilmu epidemiologi sarat dengan hambatan-hambatan karena belum
semua ahli bidang kedokteran setuju metode yang di gunakan pada epidemioogi. Hal ini
disebabkan karena perbedaan paradigma dalam menangani masalah  kesehatan antara ahli
pengobatan dengan metode epidemiologi terutama pada saat berlakunya paradigma bahwa 
penyakit disebabkan oleh roh jahat.
Keberhasilan menembus paradigma tersebut berkat perjuangan yang gigih para ilmuwan
terkenal di kala itu. Seperti sekitar 1000 SM Cina dan India telah mengenalkan  variolasi, Abad
ke 5 SM muncul  Hipocrates yang memperkenalkan bukunya tentang air,water and places,
selanjutnya Galen melengkapi dengan faktor atmosfir, faktor internal serta faktor predisposisi.
Abad 14 dan 15 terjjadi  karantina berbagai penyakit yang di pelopori oleh V. Fracastorius dan
Sydenham, selanjutnya pada tahun 1662 John Graunt memperkenalkan ilmu biostat dengan
mencatata kematian PES & data metriologi. Pada tahun 1839 William Farr mengembangkan
analisis statistik, matematik dalam epidemiologi dengan mengembangkan sistem pengumpulan
data rutin tentang jumlah dan penyebab kematian dibandingkan pola kematian antara orang-
orang yang menikah dan tidak, dan antara pekerja yang berbeda jenis pekerjaannya di inggris.
Upaya yang telah dilakukan untuk mengembangkan sistem pengamatan penyakit secara terus
menerus dan menggunakan informasi itu untuk perencanaan dan evaluasi program telah
mengangkat nama William Farr sebagai the founder of modern epidemiology.
Selanjutnya pada tahun 1848, John Snow menggunakan metode Epidemiologi dalam
menjawab epidemi cholera di London, Kemudian berkembang usaha vaksinasi, analisis wabah,
terakhir penggunaan metode epidemiologi pada penyakit keracunan dan kanker. Perkembangan
epidemiologi surveilans setelah perang dunia II  disusul perkembangan epidemiologi khusus. hal
yang sama juga dilakukan Edwin Chadwik Pada tahun 1892 yaitu melakukan  riset tentang 
masalah sanitasi di inggeris, serta Jacob henle, robert koch, Pasteur mengembangkan teori
kontak penularan.
Dari tokoh-tokoh tersebut paling tidak telah meletakkan konsep epidemiologi yang masih
berlaku hingga saat ini. Konsep-konsep tersebut antara lain:
1.      Pengaruh lingkungan terhadap kejadian suatu penyakit
2.      Penggunaan data kuantitatif dan statistik
3.      Penularan penyakit
4.      Eksprimen pada manusia
Di dalam perkembangan batasan epidemiologi selanjutnya mencakup  sekurang-kurangnya 3
elemen, yakni :
1. Mencakup semua penyakit

Epidemiologi mempelajari semua penyakit, baik penyakit infeksi maupun penyakit non
infeksi, seperti kanker, penyakit kekurangan gizi (malnutrisi), kecelakaan lalu lintas maupun
kecelakaan kerja, sakit jiwa dan sebagainya. Bahkan di negara-negara maju, epidemiologi ini
mencakup juga kegiatan pelayanan kesehatan.
1. Populasi
Apabila kedokteran klinik berorientasi pada gambaran-gambaran dari penyakit-penyakit
individu maka epidemiologi ini memusatkan perhatiannya pada distribusi penyakit pada populasi
(masyarakat) atau kelompok.
1. Pendekatan ekologi

Frekuensi dan distribusi penyakit dikaji dari latar belakang pada keseluruhan lingkungan
manusia baik lingkungan fisik, biologis, maupun sosial. Hal inilah yang dimaksud pendekatan
ekologis. Terjadinya penyakit pada seseorang dikaji dari manusia dan total lingkungannya.
 
Referensi :
1. Budiarto, Eko.2003. Pengantar Epidemiologi.Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC
2. Bustan MN ( 2002 ). Pengantar Epidemiologi, Jakarta, Rineka Cipta
3. Nasry, Nur dasar-dasar epidemiologi
4. Arsip mata kuliah FKM UNHAS 2006

 
Referensi kaitan
Indan Entjang ( 1979 ). Ilmu Kesehatan Masyarakat, Bandung, Penerbit Alumni
Azrul Azwar ( 1999 ). Pengantar Epidemiologi, Jakarta, Binarupa Aksara.
Bhisma Murti ( 2003 ). Prinsip dan Metode Riset Epidemiologi, Yogyakarta, Gadjah Mada
University Press.
Sasaran strategis Kementerian Kesehatan
Sasaran strategis dalam pembangunan kesehatan 2010 - 2014 yaitu :
 
1. Meningkatnya Status kesehatan dan gizi masyarakat dengan
a. Meningkatnya umur harapan hidup dari 70,7 tahun menjadi 72 tahun.
b. Menurunnya angka kematian ibu melahirkan dari 228 menjadi 118 per 100.000 kelahiran hidup
c. Menurunnya angka kematian bayi dari 34 menjadi 24 per 1.000 kelahiran hidup
d. Menurunnya angka kematian neonatal dari 19 menjadi 15 per 1.000 kelahiran hidup
e. Menurunnya prevelensi kekurangan gizi pada anak balita dari 18,4 persen menjadi di bawah 15,0
persen
f. Menurunnya prevelensi anak balita yang pendek dari 3,8 persen menjadi kurang dari 32 persen
g. Persentase puskesmas rawat inap yang mampu PONED sebesar 100 persen
h. Persentase rumah sakit kabupaten / kota yang melaksanakan PONEK sebesar 100 persen
i. Cakupan kunjungan neonatal lengkap (KN Lengkap) sebesar 90 persen

2. Menurunnya angka kesakitan akibat penyakit menular dengan


a. Menurunnya prevelensi tuberkolosis dari 235 menjadi 224 per 100.000 penduduk
b. Menurunnya kasus malaria dari 2 menjadi 1 per 1.000 penduduk
c. Terkendalinya prevelensi HIV pada populasi dewasa dari 0,2 menjadi di bawah 0,5 persen
d. Meningkatnya cakupan imunisasi dasar lengkap bayi usia 0-11 bulan dari 80% menjadi 90%
e. Persentase desa yang mencapau Universal Child Immunization (UCI) dari 80% menjadi 100%
f. Angka kesakitan Demam Berdarah Dengue (DBD) dari 55 menjadi 1 per 100.000 penduduk
 
3. Menurunnya disparitas status kesehatan dan status gizi antar wilayah dan antar tingkat sosial ekonomi serta
jender, dengan menurunnya disparitas separuh dari tahun 2009.

4. Meningkatnya penyediaan anggaran publik untuk kesehatan dalam rangka mengurangi risiko finansial akibat
gangguan kesehatan bagi seluruh penduduk, terutama penduduk miskin.

5. Meningkatnya Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) pada tingkat rumah tangga dari 50 persen menjadi 70
persen

6. Terpenuhinya kebutuhan tenaga kesehatan strategis di Daerah Terpencil, Tertinggal, Perbatasan dan
Kepulauan ( DTPK ).

7. Seluruh provinsi melaksanakan program pengendalian penyakit tidak menular.

8. Seluruh kabupaten/kota melaksanakan Standar Pelayanan Minimal ( SPM ).

Faktor yang Mempengaruhi Pembangunan Kesehatan


Subtema : Faktor Pendorong dan Penghambat Pembangunan Kesehatan

Kesehatan adalah keadaan sejahtera dari badan, jiwa, dan sosial yang memungkinkan
setiap orang hidup produktif secara sosial dan ekonomis. Pemeliharaan kesehatan adalah upaya
penaggulangan dan pencegahan gangguan kesehatan yang memerlukan pemeriksaan, pengobatan
dan/atau perawatan termasuk kehamilan dan persa linan. 
Kondisi dan status kesehatan perempuan Indonesia masih rendah hal ini terlihat dari
beberapa indikator Angka Kematian Ibu (AKI) saat ini masih tertinggi dibanding negara-negara
lain di ASEAN. Permasalahan tersebut disebabkan oleh permasalahan seperti status kesehatan
reproduksi, status gizi ibu sebelum dan selama kehamilan, pendidikan, tingkat ekonomi keluarga
yang rendah serta status dan kedudukan perempuan yang rendah dalam keluarga dan masyarakat.
Kesehatan perempuan sebagai sebuah investasi merupakan cerminan dari pentingnya
SDM yang produktif. Di beberapa Negara maju yang menggunakan konsep sehat produktif,
sehat adalah sarana atau alat untuk hidup sehari-hari secara produktif. Upaya kesehatan harus
diarahkan untuk dapata membawa setiap penduduk memiliki kesehatan yang cukup agar bisa
hidup produktif.
Selama ini, pemerintah masih memandang sektor kesehatan sebagai sektor konsumtif, kesehatan
tidak dilihat sebagai investasi, tetapi hanya dilihat sebagai sector kesejahteraan yang dinilai
menjadi beban biaya. Bukti nyatanya adalah alokasi belanja kesehatan pemerintah yang sangat
rendah, hanya sekitar 2-3% dari total belanja Negara. Namun ironisnya, pelayanan kesehatan
malah menjadi sumber pendapatan pembangunan.
Disini membuktikan pemerintah menerapkan standar ganda dalam bidang kesehatan.
Disatu sisi, belanja kesehatan dianggap beban dan tidak diprioritaskan. Disisi lain, pelayanan
kesehatan dijadikan sumber pendapatan. Artinya pembangunan Negara ini disokong dari uang
rakyat yang sakit. Sehingga masuk akal bila ada orang usil mengatakan ”bila pemerintah ingin
mendapat sumber pendapatan yang besar sebar saja kuman atau virus kepada masyarakat, agar
masyarakat menjadi sakit dan kemudian mereka berobat ke rumah sakit pemerintah”.

Permasalahan Umum dalam Kesehatan

1.      Disparitas status kesehatan


Disparitas adalah perbedaan; jarak: adanya upah yang diterima oleh para pekerja pabrik
itu. Di Indonesia yang sungguh kaya luar biasa ini,status Menghalangi pemiliknya untuk
mendapatkan hak kesehatan yang layak. , masyarakat, media massa , politikus bahkan insan
kesehatan masih memandang hak kesehatan hanya pada hak untuk memperoleh pelayanan
kuratif dirumah sakit  dan puskesmas . "Meskipun secara nasional kualitas kesehatan masyarakat
telah meningkat namun disparitas antar tingkat sosial ekonomi dan antar wilayah masih cukup
tinggi," katanya.

2.      Beban Ganda penyakit. 


Bagi masyarakat Indonesia khususnya, penyakit memiliki beban ganda,yang pertama
adalah rasa sakit yang diderita dan Uang yang cukup banyak Untuk mengatasi masalah penyakit
yang dideritanya. Hal ini memberikan dampak negative pada Pasien yang bersangkutan, karena
keterbatasan dana, mereka mendapatkan keterbatasan Pelayanan kesehatan.

3.      Kinerja Pelayanan yang rendah


JAKARTA - Menteri Koordinator bidang Kesejahteraan Rakyat, Agung Laksono,
menilai kinerja pelayanan kesehatan masih rendah terutama di daerah tertinggal, terpencil,
perbatasan dan pulau-pulau terluar. "Padahal kinerja kesehatan merupakan salah satu faktor
penting dalam upaya peningkatan kualitas kesehatan penduduk," katanya, malam ini. Agung
Laksono, menjelaskan hal itu merupakan tantangan pembangunan kesehatan di Indonesia yang
memerlukan dukungan semua elemen bangsa.
"Rendahnya kualitas pelayanan kesehatan yang ditandai dengan masih dibawah
standarnya kualitas pelayanan sebagian rumah sakit daerah serta keterbatasan tenaga kesehatan
juga menjadi tantangan yang harus segera diatasi," katanya. Dikatakan, hingga saat ini jumlah
dan distribusi dokter, bidan serta perawat belum merata dimana disparitas rasio dokter umum per
100.000 penduduk antar wilayah masih tinggi. "Indonesia mengalami kekurangan pada hampir
semua tenaga kesehatan yang diperlukan, " katanya.

4.      Perilaku masyarakat yang kurang mendukung hidup Bersih


Dewasa ini sikap masyarakat Indonesia juga sama buruknya dengan system yang
mengatur kesehatan.Jika anda berkunjung ke Jakarta misalnya, lihatlah sungai disana kini sungai
di Jakarta mengalami perubahan fungsi, fungsi sungai bukan lagi menjadi tata perairan kota tapi
tempat sampah umum. Belum lagi ada masyarakat yang MCK di sungai, begitu pula di sebagian
wilayah pedesaan Indonesia kesadaraan akan pentingnya kesehatan belum kita temukan di
masyarakat kita.

5.      Rendahnya Kondisi kesehatan lingkungan


Rendahnya Pembangunan Ekonomi yang belum merata adalah biang keladi pokok
masalah ini.hal tersebut menimbulkan kesenjangan soasial baik papan,sandang dan pangan.
Pertanyaan mengapa masalah kesehatan lebih banyak dialamai oleh orang tak berpunya,
mungkin jawabannya adalah karena lingkungan tempat tinggal yang buruk.
Pembangunan Berwawasan Kesehatan
A.    Internal

1.      Memperbaiki kinerja pelayanan kesehatan


Seiring berkembangnya Pengetahuan dan kebutuhan masyarakat tentang arti kesehatan,maka
para pelaku kesehatan dituntut untuk memberikan pelayanan kesehatan yang lebih baik, oleh
karena itu semua pihak yang bekerja dalam kesehatan disarankan untuk meningkatkan kualitas
dan kuantitasnya, baik dengan pendidikan normal, pendidikan informal, seminar seminar
kesehatan. Dan selalu mengakses informasi ter-update.langkah langkah ini diharapkan bisa
memajukan kesehatan Indonesia.

2.      Mengelola masyarakat


Pembangunan diarahkan untuk meningkatkan kesadaran, kemauan dan kemampuan hidup
sehat tujuannya adalah Mengubah perilaku masyarakat. Diselenggarakan dengan dasar-dasar
perikemanusiaan, pemberdayaan dan kemandirian, adil dan merata dikarenakan Masyarakat
sebagai penentu kesehatannya sendiri . Memperhatikan dinamika kependudukan, epidemiolog,
ekologi, kemajuan iptek, serta globalisasi dan demokratisasi  hal ini Berurusan dengan pengaruh
dari sektor lain.
B.     Eksternal

1.      Diluar system kesehatan


Banyaknya factor lambatnya pembangunan kesehatan di Indonesia, perlu  segera di
atasi.faktor dari luar pelaku kesehatan adalah para pasien ataupun sasaran kesehatan yaitu
masyarakat.dilihat dari segi perekonomian Indonesia saja telah dapat dilihat kesenjangan yang
terjadi,di harapkan Departemen kesehatan, masyarakat, dan para pelaku kesehatan lebih peduli
juga terhadap masalah masalah ini.kebiasaan masyarakat miskin yang cenderung jorok, bukan
tanpa alasan, adalah karena kesterbatasan mereka, sementara sikap acuh mereka disebakan oleh
minimnya pengertahuan masyarakat tentang kesehatan.Pelaku kesehatan di harapkan
mengadakan penyuluhan-penyuluhan, serta pemberdayaan masyarakat, bukan hanya di kota, tapi
terlebih di desa-desa pedalaman.

2.      Determinan kesehatan


Untuk merealisasikan tujuan-tujuan diatas tersebut perlu ditingkatkan sector social ekonomi,
budaya positif dan lingkungan yang sehat.Perilaku gaya hidup dipengaruhi oleh :
  Pendidikan
  Pertanian
  Industry pangan
  Lingkungan kerja
  Pekerjaan
  Air besih dan sanitasi
  Serta pelayanan kesehatan perumahan
Semua itu perlu ditingkatkan guna kemajuan dan peningkatan pembangunan
kesehatan.namun hal yang terpenting  untuk meningkatkan kesehatan SDM Indonesia adalah
factor genetic dan kondisi awal kehidupannya.yang bersangkutan dengan Ibu hamil,masa
kehamilan dan kelahiran.peningkatan dalam hal ini sangatlah penting untuk di perhatikan oleh
semua masyarakat Indonesia.

Kepustakaan
http://www.menegpp.go.id/index.php?option=com_content&view=article&id=262:rakornas-
pembangunan-pp-dan-pa-tahun-2010&catid=36:press-release&Itemid=87

Disparitas Layanan Kesehatan si Miskin-Kaya DI tengah upaya pemerintah meningkatkan


kualitas hidup masyarakat Indonesia di bidang kesehatan, di saat itu pula kondisi riil kesehatan
masyarakat masih jauh dari harapan.Khususnya, di tataran masyarakat miskin. Akses layanan
kesehatan masih tetap merupakan barang mewah yang sering sulit dijangkau karena kendala
biaya (cost barrier) maupun geografis. Dan secara makro, disparitas status kesehatan antartingkat
sosial ekonomi, antar perkotaan, antarkawasan, maupun pedesaan masih cukup tinggi.
Disparitas ini, bisa dilihat pada pemberian layanan kesehatan pada golongan masyarakat miskin.
Respons sebagian besar rumah sakit maupun staf medis cenderung seadanya. Pelayanan terhadap
kelompok kaya yang notabene bukan pemegang kartu askeskin atau jaring pengaman sosial
(JPS) lebih istimewa dibanding kelas bawah.

 Padahal, dalam UUD 1945 secara tegas ditekankan bahwa pembangunan kesehatan merupakan
upaya pemenuhan salah satu hak dasar rakyat. Sehingga pelayanan kesehatan wajib diberikan
negara kepada semua warga negara tanpa dikotomi kaya, miskin, warga kota atau pedesaan,
perempuan ataupun laki-laki.

Realitasnya, masih banyak warga yang belum memperoleh haknya di tengah tingginya
kewajiban membayar pajak. Memang pemerintah telah melakukan revitalisasi peran rumah sakit,
puskesmas, pustu, maupun pos yandu. Juga pemberian askeskin untuk pemerataan pelayanan.

Namun, upaya ini belum menunjukkan perubahan yang signifikan. Puskesmas sebagai tempat
layanan kesehatan yang terdekat dan terdepan, juga masih minim sarana dan fasilitas.
Masyarakat, selain mengeluhkan ketidakramahan staf medis, juga pelayanan yang lamban,
persoalan administrasi dan waktu tunggu yang cukup lama.

Di beberapa rumah sakit, malah memberlakukan panjar atau uang jaminan jika ingin
mendapatkan layanan medis.

Potret buruk pelayanan kesehatan ini tidak mampu mengimbangi sejumlah langkah strategis
pemerintah dalam peningkatan kualitas kesehatan. Sebutlah kebijakan penurunan harga obat-
obatan generik pada 2006 lalu, peningkatan mutu dan jumlah tenaga kesehatan, baik paramedis,
dokter maupun dokter-dokter spesialis.

Sebab kualitas pelayanan kesehatan tidak hanya mencakup keterjangkauan pembelian obat-
obatan, atau banyaknya tenaga medis ahli, tetapi juga empati dan responsilibitas aparat kesehatan
yang lebih tinggi.

Ke depan, tim medis masa depan diharap lebih komunikatif dan jauh dari kesan bahwa posisinya
lebih tinggi dibanding pasien. Selain itu, perlu dilakukan revolusi peran dan fungsi rumah sakit
maupun sistem penataan dan pelayanan kesehatan.

Sehingga, layanan kesehatan yang berkualitas dengan biaya murah bisa dijangkau semua lapisan
masyarakat karena itu adalah hak semua warga negara. (Fajar)
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA--Menteri Koordinator bidang Kesejahteraan Rakyat, Agung
Laksono, menilai kinerja pelayanan kesehatan masih rendah terutama di daerah tertinggal,
terpencil, perbatasan dan pulau-pulau terluar.
"Padahal kinerja kesehatan merupakan salah satu faktor penting dalam upaya peningkatan
kualitas kesehatan penduduk," kata Menko Kesra Agung Laksono, Rabu (16/6).

Agung Laksono menjelaskan, kondisi itu menjadi tantangan pembangunan kesehatan di


Indonesia yang perlu dukungan semua masyarakat. Selain kinerja pelayanan kesehatan yang
masih rendah, Agung menambahkan tantangan pembangunan kesehatan lain adalah disparitas
kasus kesehatan.

"Meskipun secara nasional kualitas kesehatan masyarakat meningkat namun disparitas antar
tingkat sosial ekonomi dan antar wilayah masih cukup tinggi," katanya. Tak hanya itu, tantangan
lain yang harus diatasi yaitu beban ganda penyakit di Indonesia yang mengalami transisi
epidemologi. Kondisi itu ditandai dengan prevalensi dan insidensi penyakit menular yang masih
tinggi namun dalam waktu yang bersamaan terjadi peningkatan penyakit tidak menular.

Agung menambahkan, masih banyaknya masyarakat yang belum menjalani pola hidup sehat.
Kongisi sanitasi yang rendah, lanjut dia, juga memperberat tantangan pembangunan kesehatan di
Indonesia. Menko kesra  tak ketinggalan menyinggung tingkat pelayanan rumah sakit daerah. 
"Kualitas pelayanan kesehatan yang rendah ditandai kualitas pelayanan dibawah standar di
sebagian rumah sakit daerah dan keterbatasan tenaga kesehatan. Itu harus diatasi," katanya.

Dia juga mengatakan hingga saat ini jumlah dan distribusi dokter, bidan serta perawat belum
merata. "Indonesia mengalami kekurangan pada hampir semua tenaga kesehatan yang
diperlukan," katanya.   

BAB 27
PENINGKATAN AKSES MASYARAKAT TERHADAP LAYANAN
KESEHATAN YANG LEBIH BERKUALITAS

A. PERMASALAHAN
Pembangunan kesehatan merupakan upaya untuk memenuhi salah satu hak dasar rakyat,
yaitu hak rakyat untuk memperoleh akses atas kebutuhan pelayanan kesehatan. Pembangunan
kesehatan juga harus dipandang sebagai suatu investasi dalam kaitannya untuk mendukung
peningkatan kualitas sumber daya manusia dan pembangunan ekonomi, serta memiliki peran
penting dalam upaya penanggulangan kemiskinan.

Indonesia memang telah mengalami kemajuan penting dalam meningkatkan kualitas


kesehatan penduduk. Kemajuan ini dapat dilihat melalui angka kematian bayi yang menurun dari
46 (1997) menjadi 35 per seribu kelahiran hidup (2003). Umur harapan hidup telah meningkat
dari 65,8 tahun (1999) menjadi lebih dari 66,2 tahun (2003). Prevalensi gizi kurang
(underweight) pada anak balita, telah menurun dari 37,5 persen (1989) menjadi 25,8 persen
(2002). Namun demikian masih banyak masalah yang harus dipecahkan dan tantangan baru
muncul sebagai akibat perubahan sosial ekonomi agar masyarakat memperoleh pelayanan
kesehatan yang berkualitas. Permasalahan tersebut antara lain adalah sebagai berikut.

Terjadinya disparitas status kesehatan. Meskipun secara nasional kualitas kesehatan


masyarakat telah meningkat, akan tetapi disparitas status kesehatan antar tingkat sosial ekonomi,
antar kawasan, dan antar perkotaan-perdesaan masih cukup tinggi. Angka kematian bayi dan
angka kematian balita pada golongan termiskin adalah empat kali lebih tinggi dari golongan
terkaya. Selain itu, angka kematian bayi dan angka kematian ibu melahirkan lebih tinggi di
daerah perdesaan, di kawasan timur Indonesia, serta pada penduduk dengan tingkat pendidikan
rendah. Persentase anak balita yang berstatus gizi kurang dan buruk di daerah perdesaan lebih
tinggi dibandingkan daerah perkotaan. Pertolongan persalinan oleh tenaga kesehatan terlatih
pada golongan terkaya adalah empat kali lebih tinggi dibanding dengan golongan termiskin.
Cakupan imunisasi pada golongan miskin adalah lebih rendah dari golongan kaya.

Terjadinya beban ganda penyakit. Pola penyakit yang diderita oleh masyarakat sebagian
besar adalah penyakit infeksi menular seperti TB, ISPA, malaria, diare, dan penyakit kulit.
Namun demikian, pada waktu yang bersamaan terjadi peningkatan penyakit tidak menular
seperti penyakit jantung dan pembuluh darah, serta diabetes mellitus. Dengan demikian telah
terjadi transisi epidemiologi dan menghadapi beban ganda pada waktu yang bersamaan (double
burden). Dengan terjadinya beban ganda yang diikuti dengan meningkatnya jumlah penduduk,
serta perubahan struktur penduduk yang ditandai dengan meningkatnya penduduk usia produktif
dan usia lanjut, akan mempengaruhi jumlah dan jenis pelayanan kesehatan yang dibutuhkan
masyarakat di masa datang.
Kinerja pelayanan kesehatan yang rendah. Faktor utama penyebab tingginya angka
kematian bayi di Indonesia sebenarnya dapat dicegah dengan intervensi yang dapat terjangkau
dan sederhana, oleh karena itu kinerja pelayanan kesehatan merupakan salah satu faktor penting
dalam upaya peningkatan kualitas kesehatan penduduk. Masih rendahnya kinerja pelayanan
kesehatan dapat dilihat dari beberapa indikator, seperti: proporsi pertolongan persalinan oleh
tenaga kesehatan, proporsi bayi yang mendapatkan imunisasi campak, proporsi penemuan kasus
(Case Detection Rate) TB Paru. Pada tahun 2001, cakupan persalinan oleh tenaga kesehatan baru
mencapai 67,7 persen, dengan variasi antara 41,39 persen di Propinsi Maluku dan 100 persen di
Propinsi Bali dan Sulawesi Selatan. Pada tahun 2002, cakupan imunisasi campak untuk bayi
umur 12-23 bulan baru mencapai 71,6 persen, dengan variasi antara 44,1 persen di Propinsi
Banten dan 91,1 persen di Propinsi D.I Yogyakarta. Sementara itu, proporsi penemuan kasus
penderita TB Paru pada tahun 2002 baru mencapai 29 persen. Rendahnya kinerja pelayanan
kesehatan ini berpengaruh terhadap upaya peningkatan status kesehatan penduduk.

Perilaku masyarakat yang kurang mendukung pola hidup bersih dan sehat. Perilaku
hidup bersih dan sehat masyarakat merupakan salah satu faktor penting untuk mendukung
peningkatan status kesehatan. Beberapa perilaku masyarakat yang kurang sehat antara lain dapat
dilihat antara lain melalui kebiasaan merokok dan rendahnya pemberian air susu ibu (ASI)
eksklusif dan gizi lebih pada balita. Proporsi penduduk dewasa yang merokok sebesar 31,8
persen. Sementara itu, proporsi penduduk perokok yang mulai merokok pada usia di bawah 20
tahun meningkat dari 60 persen pada tahun 1995 menjadi 68 persen pada tahun 2001. Pada tahun
2002, persentase bayi usia 4-5 bulan yang memperoleh ASI eksklusif baru mencapai 13,9 persen.
Persentase gizi-lebih pada balita mencapai 2,8 persen pada tahun 2003. Kondisi ini antara lain
dipengaruhi oleh rendahnya pengetahuan masyarakat akan pentingnya perilaku hidup bersih dan
sehat.

Rendahnya kondisi kesehatan lingkungan. Salah satu faktor penting lainnya yang
berpengaruh terhadap derajat kesehatan masyarakat adalah kondisi lingkungan yang tercermin
antara lain dari akses masyarakat terhadap air bersih dan sanitasi dasar. Pada tahun 2002,
persentase rumah tangga yang mempunyai akses terhadap air yang layak untuk dikonsumsi baru
mencapai 55,2 persen (BPS 2002), dan akses rumah tangga terhadap sanitasi dasar 63,5 persen.

Rendahnya kualitas, pemerataan dan keterjangkauan pelayanan kesehatan. Pada tahun


2002, rata-rata setiap 100.000 penduduk baru dapat dilayani dilayani oleh 3,5 Puskesmas. Selain
jumlahnya yang kurang, kualitas, pemerataan dan keterjangkauan pelayanan kesehatan di
Puskesmas masih menjadi kendala. Pada tahun 2003 terdapat 1.179 Rumah Sakit (RS), terdiri
dari 598 RS milik pemerintah, dan 581 RS milik swasta. Jumlah seluruh tempat tidur (TT) di RS
sebanyak 127.217 TT. Dengan demikian rata-rata 61 TT melayani 100.000 penduduk. Walaupun
rumah sakit terdapat di hampir semua kabupaten/kota, namun kualitas pelayanan sebagian besar
RS pada umumnya masih dibawah standar. Pelayanan kesehatan masih belum memenuhi
harapan masyarakat. Masyarakat merasa kurang puas dengan mutu pelayanan rumah sakit dan
puskesmas, karena lambatnya pelayanan, kesulitan administrasi dan lamanya waktu tunggu.

Terbatasnya tenaga kesehatan dan distribusi tidak merata. Dalam hal tenaga kesehatan,
Indonesia mengalami kekurangan pada hampir semua jenis tenaga kesehatan yang diperlukan.
Pada tahun 2001, diperkirakan per 100.000 penduduk baru dapat dilayani oleh 7,7 dokter umum,
2,7 dokter gigi, 3,0 dokter spesialis dan 8,0 bidan. Rendahnya rasio ini diperburuk oleh
penyebaran tenaga kesehatan yang tidak merata. Lebih dari dua per tiga dokter spesialis berada
di Jawa dan Bali, dan sekitar 15 propinsi yang memiliki rasio dokter per penduduk di atas rata-
rata nasional.

Rendahnya kualitas kesehatan penduduk miskin. Angka kematian bayi pada kelompok
termiskin adalah 61 dibandingkan dengan 17 per 1.000 kelahiran hidup pada kelompok terkaya.
Penyakit infeksi yang merupakan penyebab kematian utama pada bayi dan balita, seperti malaria
dan TBC, lebih sering terjadi pada masyarakat miskin. Rendahnya status kesehatan penduduk
miskin terutama disebabkan oleh terbatasnya akses terhadap pelayanan kesehatan karena kendala
geografis dan kendala biaya (cost barrier). Data SDKI 2002-2003 menunjukkan bahwa 48,7
persen masalah dalam mendapatkan pelayanan kesehatan adalah karena kendala biaya, jarak dan
transportasi. Utilisasi rumah sakit masih didominasi oleh golongan mampu, sedang masyarakat
miskin cenderung memanfaatkan pelayanan di puskesmas. Demikian juga persalinan oleh tenaga
kesehatan pada penduduk miskin hanya sebesar 39,1 persen dibanding 82,3 persen pada
penduduk kaya. Asuransi kesehatan sebagai suatu bentuk sistem jaminan sosial hanya
menjangkau 18,74 persen (2001) penduduk, dan hanya sebagian kecil diantaranya penduduk
miskin.

B. SASARAN

Sasaran pembangunan kesehatan pada tahun 2004-2009 adalah meningkatnya derajat


kesehatan masyarakat melalui peningkatan akses masyarakat terhadap pelayanan kesehatan yang
antara lain tercermin dari:

1. Meningkatnya umur harapan hidup dari 66,2 tahun menjadi 67,9 tahun
2. Menurunnya angka kematian bayi dari 35 menjadi 25 per 1000 kelahiran hidup
3. Menurunnya angka kematian ibu melahirkan dari 307 menjadi 226 per 100.000 kelahiran
hidup
4. Menurunnya prevalensi gizi-kurang pada anak balita dari 25,8 persen menjadi 20 persen.
C. ARAH KEBIJAKAN

Untuk mencapai sasaran tersebut, kebijakan pembangunan kesehatan diarahkan pada:


1. Peningkatan jumlah jaringan dan kualitas Puskesmas;
2. Peningkatan kualitas dan kuantitas tenaga medis;
3. Pengembangan jaminan kesehatan bagi penduduk miskin;
4. Peningkatan sosialisasi kesehatan lingkungan dan pola hidup sehat;
5. Peningkatan pendidikan kesehatan pada masyarakat sejak usia dini;
6. Pemerataan dan peningkatan kualitas fasilitas kesehatan dasar.

D. PROGRAM-PROGRAM PEMBANGUNAN

Arah kebijakan dalam rangka meningkatkan derajat kesehatan masyarakat tersebut


dijabarkan dalam program-program pembangunan sebagai berikut:

1. Program Promosi Kesehatan dan Pemberdayaan Masyarakat

Program ini ditujukan untuk memberdayakan individu, keluarga, dan masyarakat agar
mampu mengembangkan upaya kesehatan bersumber masyarakat.

Kegiatan pokok yang dilaksanakan dalam program ini antara lain meliputi:

Pengembangan media promosi kesehatan dan teknologi komunikasi, informasi dan edukasi
(KIE);
Pengembangan upaya kesehatan bersumber masyarakat dan terutama generasi muda; serta
Peningkatan pendidikan kesehatan kepada masyarakat.

2. PROGRAM LINGKUNGAN SEHAT

Program ini ditujukan untuk mewujudkan mutu lingkungan hidup yang lebih sehat.

Kegiatan pokok yang dilakukan dalam program ini antara lain meliputi:
1. Penyediaan sarana air bersih dan sanitasi dasar;

2. Pengawasan kualitas lingkungan; serta

3. Pengendalian dampak resiko lingkungan.

3. PROGRAM UPAYA KESEHATAN MASYARAKAT

Program ini ditujukan untuk meningkatkan jumlah, pemerataan, dan kualitas pelayanan
kesehatan melalui puskesmas dan jaringannya meliputi puskesmas pembantu, puskesmas keliling
dan bidan di desa.

Kegiatan pokok yang dilakukan dalam program ini antara lain meliputi:

1. Pelayanan kesehatan penduduk miskin di Puskesmas dan jaringannya;

2. Pengadaan, peningkatan, dan perbaikan sarana dan prasarana puskesmas dan jaringannya;

3. Pengadaan peralatan dan perbekalan kesehatan termasuk obat generik esensial;

4. Peningkatan pelayanan kesehatan dasar yang mencakup promosi kesehatan, kesehatan


ibu dan anak, keluarga berencana, perbaikan gizi, kesehatan lingkungan, pemberantasan
penyakit menular, dan pengobatan dasar; serta

5. Penyediaan biaya operasional dan pemeliharaan.

4. PROGRAM UPAYA KESEHATAN PERORANGAN

Program ini ditujukan untuk meningkatkan akses, keterjangkauan dan kualitas pelayanan
kesehatan di rumah sakit.

Kegiatan pokok yang dilakukan dalam program ini meliputi:

1. Pelayanan kesehatan bagi penduduk miskin di kelas III Rumah Sakit;

2. Pembangunan sarana dan prasarana rumah sakit di daerah pemekaran;


3. Perbaikan sarana dan prasarana rumah sakit;

4. Pengadaan peralatan dan perbekalan rumah sakit;

5. Peningkatan pelayanan kesehatan rujukan; serta

6. Penyediaan biaya operasional dan pemeliharaan.

5. PROGRAM PENCEGAHAN DAN PEMBERANTASAN PENYAKIT

Program ini bertujuan untuk menurunkan angka kesakitan, kematian dan kecacatan akibat
penyakit menular dan penyakit tidak menular. Prioritas penyakit menular yang akan
ditanggulangi adalah malaria, demam berdarah dengue, diare, polio, filaria, kusta, TB,
HIV/AIDS, pneumonia, dan penyakit-penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi. Prioritas
penyakit tidak menular yang ditanggulangi adalah penyakit jantung dan gangguan sirkulasi,
diabetes mellitus, dan neoplasma.

Kegiatan pokok yang dilakukan dalam program adalah:

1. Pencegahan dan penanggulangan faktor resiko;


2. Peningkatan imunisasi;
3. Penemuan dan tatalaksana penderita;
4. Peningkatan surveilens epidemiologi dan penanggulangan wabah; serta
5. Peningkatan komunikasi, informasi dan edukasi (KIE) pencegahan dan pemberantasan
penyakit.

6. PROGRAM PERBAIKAN GIZI MASYARAKAT

Program ini bertujuan untuk meningkatkan kesadaran gizi keluarga dalam upaya
meningkatkan status gizi masyarakat terutama pada ibu hamil, bayi dan balita.

Kegiatan pokok yang dilakukan dalam program ini meliputi:

1. Peningkatan pendidikan gizi;


2. Penanggulangan kurang energi protein (KEP), anemia gizi besi, gangguan akibat kurang
yodium (GAKY), kurang vitamin A, dan kekurangan zat gizi mikro lainnya
3. Penanggulangan gizi-lebih; serta
4. Peningkatan surveilens gizi.

7. PROGRAM SUMBER DAYA KESEHATAN

Program ini ditujukan meningkatkan jumlah, mutu dan penyebaran tenaga kesehatan, serta
meningkatkan jaminan pembiayaan kesehatan bagi penduduk miskin.

Kegiatan pokok yang dilakukan dalam program ini meliputi:

1. Perencanaan kebutuhan tenaga kesehatan;


2. Peningkatan keterampilan dan profesionalisme tenaga kesehatan melalui pendidikan dan
pelatihan tenaga kesehatan;
3. Pemenuhan kebutuhan tenaga kesehatan, terutama untuk pelayanan kesehatan di
puskesmas dan jaringannya, serta rumah sakit;
4. Pembinaan tenaga kesehatan termasuk pengembangan karir tenaga kesehatan; serta
5. Peningkatan jaminan pembiayaan kesehatan bagi penduduk miskin yang berkelanjutan.

8. PROGRAM OBAT DAN PERBEKALAN KESEHATAN

Program ini ditujukan untuk menjamin ketersediaan, pemerataan, mutu, keterjangkauan obat
dan perbekalan kesehatan.

Kegiatan pokok yang dilakukan program ini meliputi:

1. Peningkatan ketersediaan obat dan perbekalan kesehatan;


2. Peningkatan pemerataan obat dan perbekalan kesehatan; serta
3. Peningkatan mutu obat dan perbekalan kesehatan.

9. PROGRAM PENGAWASAN OBAT DAN MAKANAN

Program ini bertujuan untuk menjamin produk terapetik/obat, obat tradisional, kosmetik,
perbekalan kesehatan, produk komplemen dan produk pangan memenuhi persyaratan mutu,
keamanan dan kemanfaatan/khasiat.
Kegiatan pokok yang dilakukan program ini adalah:

1. Peningkatan pengawasan obat dan makanan; dan


2. Penanggulangan penyalahgunaan narkotika, psikotropika, zat adiktif lainnya (NAPZA).

10. PROGRAM PENGEMBANGAN OBAT ASLI INDONESIA

Program ini bertujuan untuk meningkatkan pemanfaatan tanaman obat Indonesia.

Kegiatan pokok yang dilaksanakan dalam program ini antara lain meliputi:

1. Pengembangan dan penelitian tanaman obat; dan

2. Peningkatan promosi pemanfaatan obat bahan alam Indonesia.

11. PROGRAM KEBIJAKAN DAN MANAJEMEN PEMBANGUNAN KESEHATAN

Program ini ditujukan untuk mengembangkan kebijakan dan manajemen pembangunan


kesehatan.

Kegiatan pokok yang dilakukan dalam program antara lain meliputi:

1. Pengkajian kebijakan;

2. Pengembangan sistem perencanaan dan penganggaran, pelaksanaan dan pengendalian,


pengawasan dan penyempurnaan administrasi keuangan; serta

3. Pengembangan sistem informasi kesehatan.

12. PROGRAM PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN KESEHATAN

Program ini bertujuan untuk menghasilkan ilmu pengetahuan dan teknologi kesehatan
sebagai masukan dalam perumusan kebijakan dan program pembangunan kesehatan.
Kegiatan pokok yang dilakukan dalam program ini adalah:

1. Penelitian dan pengembangan;


2. Pengembangan tenaga peneliti, sarana dan prasarana penelitian; serta
3. Penyebarluasan hasil penelitian dan pengembangan kesehatan.

Surveilans Kesmas

SURVEILANS KESEHATAN MASYARAKAT


DEFINISI

Surveilans kesehatan masyarakat adalah pengumpulan, analisis, dan analisis data secara
terusmenerus dan sistematis yang kemudian didiseminasikan (disebarluaskan) kepada pihak-
pihak yang bertanggungjawab dalam pencegahan penyakit dan masalah kesehatan lainnya
(DCP2, 2008). Surveilans memantau terus-menerus kejadian dan kecenderungan penyakit,
mendeteksi dan memprediksi outbreak pada populasi, mengamati faktor-faktor yang
mempengaruhi kejadian penyakit, seperti perubahan-perubahan biologis pada agen, vektor, dan
reservoir
Selanjutnya surveilans menghubungkan informasi tersebut kepada pembuat keputusan agar dapat
dilakukan langkah-langkah pencegahan dan pengendalian penyakit (Last, 2001). Kadang
digunakan istilah surveilans epidemiologi. Baik surveilans kesehatan masyarakat maupun
surveilans epidemiologi hakikatnya sama saja, sebab menggunakan metode yang sama, dan
tujuan epidemiologi adalah untuk mengendalikan masalah kesehatan masyarakat, sehingga
epidemiologi dikenal sebagai sains inti kesehatan masyarakat (core science of public health).
Surveilans memungkinkan pengambil keeputusan untuk memimpin dan mengelola dengan
efektif. Surveilans kesehatan masyarakat memberikan informasi kewaspadaan dini bagi
pengambil keputusan dan manajer tentang masalah-masalah kesehatan yang perlu diperhatikan
pada suatu populasi. Surveilans kesehatan masyarakat merupakan instrumen penting untuk
mencegah outbreak penyakit dan mengembangkan respons segera ketika penyakit mulai
menyebar. Informasi dari surveilans juga penting bagi kementerian kesehatan, kementerian
keuangan, dan donor, untuk memonitor sejauh mana populasi telah terlayani dengan baik (DCP2,
2008). .
Surveilans berbeda dengan pemantauan (monitoring) biasa. Surveilans dilakukan secara terus
menerus tanpa terputus (kontinu), sedang pemantauan dilakukan intermiten atau episodik.
Dengan mengamati secara terus-menerus dan sistematis maka perubahan-perubahan
kecenderungan penyakit dan faktor yang mempengaruhinya dapat diamati atau
diantisipasi,sehingga dapat dilakukan langkah-langkah investigasi dan pengendalian penyakit
dengan tepat.
 
TUJUAN SURVEILANS
Surveilans bertujuan memberikan informasi tepat waktu tentang masalah kesehatan populasi,
sehingga penyakit dan faktor risiko dapat dideteksi dini dan dapat dilakukan respons pelayanan
kesehatan dengan lebih efektif. Tujuan khusus surveilans:
(1) Memonitor kecenderungan (trends) penyakit; 
(2) Mendeteksi perubahan mendadak insidensi penyakit, untuk mendeteksi dini outbreak; Data
Fasilitas Pelayanan Kesehatan (Puskesmas, RS, Dokter praktik), Komunitas Dinas Kesehatan
Kabupaten/ Kota, Provinsi,Pusat Peristiwa penyakit, kesehatan populasi Intervensi Keputusan
Pelaporan Informasi (Umpan Balik)
(3) Memantau kesehatan populasi, menaksir besarnya beban penyakit (disease burden) pada
populasi;
(4) Menentukan kebutuhan kesehatan prioritas, membantu perencanaan, implementasi,
monitoring, dan evaluasi program kesehatan; (5) Mengevaluasi cakupan dan efektivitas program
kesehatan;
(6) Mengidentifikasi kebutuhan riset (Last, 2001; Giesecke, 2002; JHU, 2002).
 
JENIS SURVEILANS
Dikenal beberapa jenis surveilans
 (1) Surveilans individu;
(2) Surveilans penyakit; 
(3) Surveilans sindromik; 
(4) Surveilans Berbasis Laboratorium;
(5) Surveilans terpadu;
(6) Surveilans kesehatan masyarakat global.

1. Surveilans Individu
Surveilans individu (individual surveillance) mendeteksi dan memonitor individu-individu yang
mengalami kontak dengan penyakit serius, misalnya pes, cacar, tuberkulosis, tifus, demam
kuning, sifilis. Surveilans individu memungkinkan dilakukannya isolasi institusional segera
terhadap kontak, sehingga penyakit yang dicurigai dapat dikendalikan. Sebagai contoh, karantina
merupakan isolasi institusional yang membatasi gerak dan aktivitas orang-orang atau binatang
yang sehat tetapi telah terpapar oleh suatu kasus penyakit menular selama periode menular. 
Tujuan karantina adalah mencegah transmisi penyakit selama masa inkubasi seandainya terjadi
infeksi (Last, 2001). Isolasi institusional pernah digunakan kembali ketika timbul AIDS 1980an
dan SARS. Dikenal dua jenis karantina: (1) Karantina total; (2) Karantina parsial. Karantina total
membatasi kebebasan gerak semua orang yang terpapar penyakit menular selama masa inkubasi,
untuk mencegah kontak dengan orang yang tak terpapar. Karantina parsial membatasi kebebasan
gerak kontak secara selektif, berdasarkan perbedaan tingkat kerawanan dan tingkat bahaya
transmisi penyakit.
Contoh,
anak sekolah diliburkan untuk mencegah penularan penyakit campak, sedang orang dewasa
diperkenankan terus bekerja. Satuan tentara yang ditugaskan pada pos tertentu dicutikan, sedang
di pospos lainnya tetap bekerja.
Dewasa ini karantina diterapkan secara terbatas, sehubungan dengan masalah legal, politis, etika,
moral, dan filosofi tentang legitimasi, akseptabilitas, dan efektivitas langkah-langkah pembatasan
tersebut untuk mencapai tujuan kesehatan masyarakat (Bensimon dan Upshur, 2007).

2. Surveilans Penyakit
Surveilans penyakit (disease surveillance) melakukan pengawasan terus-menerus terhadap
distribusi dan kecenderungan insidensi penyakit, melalui pengumpulan sistematis, konsolidasi,
evaluasi terhadap laporan-laporan penyakit dan kematian, serta data relevan lainnya. Jadi fokus
perhatian surveilans penyakit adalah penyakit, bukan individu.
Di banyak negara, pendekatan surveilans penyakit biasanya didukung melalui program vertikal
(pusat-daerah). Contoh, program surveilans tuberkulosis, program surveilans malaria.
Beberapa dari sistem surveilans vertikal dapat berfungsi efektif, tetapi tidak sedikit yang tidak
terpelihara dengan baik dan akhirnya kolaps, karena pemerintah kekurangan biaya. Banyak
program surveilans penyakit vertikal yang berlangsung paralel antara satu penyakit dengan
penyakit lainnya, menggunakan fungsi penunjang masing-masing, mengeluarkan biaya untuk
sumberdaya masingmasing, dan memberikan informasi duplikatif, sehingga mengakibatkan
inefisiensi.

3. Surveilans Sindromik
Syndromic surveillance (multiple disease surveillance) melakukan pengawasan terus-menerus
terhadap sindroma (kumpulan gejala) penyakit, bukan masing-masing penyakit. Surveilans
sindromik mengandalkan deteksi indikator-indikator kesehatan individual maupun populasi yang
bisa diamati sebelum konfirmasi diagnosis. Surveilans sindromik mengamati indikator-indikator
individu sakit, seperti pola perilaku, gejala-gejala, tanda, atau temuan laboratorium, yang dapat
ditelusuri dari aneka sumber, sebelum diperoleh konfirmasi laboratorium tentang suatu penyakit.
Surveilans sindromik dapat dikembangkan pada level lokal, regional, maupun nasional. Sebagai
contoh, Centers for Disease Control and Prevention (CDC) menerapkan kegiatan surveilans
sindromik berskala nasional terhadap penyakit-penyakit yang mirip influenza (flu-like illnesses)
berdasarkan laporan berkala praktik dokter di AS. Dalam surveilans tersebut, para dokter yang
berpartisipasi melakukan skrining pasien berdasarkan definisi kasus sederhana (demam dan
batuk atau sakit tenggorok) dan membuat laporan mingguan tentang jumlah kasus, jumlah
kunjungan menurut kelompok umur dan jenis kelamin, dan jumlah total kasus yang teramati. 
Surveilans tersebut berguna untuk memonitor aneka penyakit yang menyerupai influenza,
termasuk flu burung, dan antraks, sehingga dapat memberikan peringatan dini dan dapat
digunakan sebagai instrumen untuk memonitor krisis yang tengah berlangsung (Mandl et al.,
2004; Sloan et al., 2006). Suatu sistem yang mengandalkan laporan semua kasus penyakit
tertentu dari fasilitas kesehatan, laboratorium, atau anggota komunitas, pada lokasi tertentu,
disebut surveilans sentinel.
Pelaporan sampel melalui sistem surveilans sentinel merupakan cara yang baik untuk memonitor
masalah kesehatan dengan menggunakan sumber daya yang terbatas (DCP2, 2008; Erme
danQuade, 2010).

4. Surveilans Berbasis Laboratorium


Surveilans berbasis laboartorium digunakan untuk mendeteksi dan menonitor penyakit infeksi.
Sebagai contoh, pada penyakit yang ditularkan melalui makanan seperti salmonellosis,
penggunaan sebuah laboratorium sentral untuk mendeteksi strain bakteri tertentu memungkinkan
deteksi outbreak penyakit dengan lebih segera dan lengkap daripada sistem yang mengandalkan
pelaporan sindroma dari klinik-klinik (DCP2, 2008).

5. Surveilans Terpadu
Surveilans terpadu (integrated surveillance) menata dan memadukan semua kegiatan surveilans
di suatu wilayah yurisdiksi (negara/ provinsi/ kabupaten/ kota) sebagai sebuah pelayanan publik
bersama. Surveilans terpadu menggunakan struktur, proses, dan personalia yang sama,
melakukan fungsi mengumpulkan informasi yang diperlukan untuk tujuan pengendalian
penyakit. Kendatipun pendekatan surveilans terpadu tetap memperhatikan perbedaan kebutuhan
data khusus penyakitpenyakit tertentu (WHO, 2001, 2002; Sloan et al., 2006).
Karakteristik pendekatan surveilans terpadu: 
(1) Memandang surveilans sebagai pelayanan bersama (common services); 
(2) Menggunakan pendekatan solusi majemuk; 
(3) Menggunakan pendekatan fungsional, bukan struktural; 
(4) Melakukan sinergi antara fungsi inti surveilans (yakni, pengumpulan, pelaporan, analisis
data, tanggapan) dan fungsi pendukung surveilans (yakni, pelatihan dan supervisi, penguatan
laboratorium, komunikasi, manajemen sumber daya); 
(5) Mendekatkan fungsi surveilans dengan pengendalian penyakit. Meskipun menggunakan
pendekatan terpadu, surveilans terpadu tetap memandang penyakit yang berbeda memiliki
kebutuhan surveilans yang
berbeda (WHO, 2002).

6. Surveilans Kesehatan Masyarakat Global


Perdagangan dan perjalanan internasional di abad modern, migrasi manusia dan binatang serta
organisme, memudahkan transmisi penyakit infeksi lintas negara. Konsekunsinya, masalah-
masalah yang dihadapi negara-negara berkembang dan negara maju di dunia makin serupa dan
bergayut.
Timbulnya epidemi global (pandemi) khususnya menuntut dikembangkannya jejaring yang
terpadu di seluruh dunia, yang manyatukan para praktisi kesehatan, peneliti, pemerintah, dan
organisasi internasional untuk memperhatikan kebutuhan-kebutuhan surveilans yang melintasi
batas-batas negara. Ancaman aneka penyakit menular merebak pada skala global, baik penyakit-
penyakit lama yang muncul kembali (re-emerging diseases), maupun penyakit-penyakit yang
baru muncul (newemerging diseases), seperti HIV/AIDS, flu burung, dan SARS. Agenda
surveilans global yang komprehensif melibatkan aktor-aktor baru, termasuk pemangku
kepentingan pertahanan keamanan dan ekonomi (Calain, 2006; DCP2, 2008).

MANAJEMEN SURVEILANS
Surveilans mencakup dua fungsi manajemen: (1) fungsi inti; dan (2) fungsi pendukung. Fungsi
inti (core activities) mencakup kegiatan surveilans dan langkah-langkah intervensi kesehatan
masyarakat. Kegiatan surveilans mencakup deteksi, pencatatan, pelaporan data, analisis data,
konfirmasi epidemiologis maupun laboratoris, umpan-balik (feedback). Langkah intervensi 
kesehatan masyarakat mencakup respons segera (epidemic type response) dan respons terencana
(management type response). Fungsi pendukung (support activities) mencakup pelatihan,
supervisi, penyediaan sumber daya manusia dan laboratorium, manajemen sumber daya, dan
komunikasi (WHO, 2001; McNabb et al., 2002).
Hakikatnya tujuan surveilans adalah memandu intervensi kesehatan. Karena itu sifat dari
masalah kesehatan masyarakat menentukan desain dan implementasi sistem surveilans. Sebagai
contoh, jika tujuannya mencegah penyebaran penyakit infeksi akut, misalnya SARS, maka
manajer program kesehatan perlu melakukan intervensi kesehatan dengan segera. Karena itu
dibutuhkan suatu sistem surveilans yang dapat memberikan informasi peringatan dini dari klinik
dan laboratorium.
Sebaliknya penyakit kronis dan perilaku terkait kesehatan, seperti kebiasaan merokok, berubah
dengan lebih lambat. Para manajer program kesehatan hanya perlu memonitor
perubahanperubahan sekali setahun atau lebih jarang dari itu. Sebagai contoh, sistem surveilans
yang menilai dampak program pengendalian tuberkulosis mungkin hanya perlu memberikan
informasi sekali setahun atau lima tahun, tergantung prevalensi. Informasi yang diperlukan bisa
diperoleh dari survei rumah tangga.

PENDEKATAN SURVEILANS
Pendekatan surveilans dapat dibagi menjadi dua jenis: (1) Surveilans pasif; (2) Surveilans aktif
(Gordis, 2000).Surveilans pasif memantau penyakit secara pasif, dengan menggunakan data
penyakit yang harus dilaporkan (reportable diseases) yang tersedia di fasilitas pelayanan
kesehatan. Kelebihan surveilans pasif, relatif murah dan mudah untuk dilakukan. Negara-negara
anggota WHO diwajibkan melaporkan sejumlah penyakit infeksi yang harus dilaporkan,
sehingga dengan surveilans pasif dapat dilakukan analisis perbandingan penyakit internasional.
Kekurangan surveilans pasif adalah kurang sensitif dalam mendeteksi kecenderungan penyakit.
Data yang dihasilkan cenderung under-reported, karena tidak semua kasus datang ke fasilitas
pelayanan kesehatan formal. Selain itu, tingkat pelaporan dan kelengkapan laporan biasanya
rendah, karena waktu petugas terbagi dengan tanggungjawab utama memberikan pelayanan
kesehatan di fasilitas kesehatan masing-masing. Untuk mengatasi problem tersebut, instrumen
pelaporan perlu dibuat
sederhana dan ringkas.
Surveilans aktif menggunakan petugas khusus surveilans untuk kunjungan berkala ke lapangan,
desa-desa, tempat praktik pribadi dokter dan tenaga medis lainnya, puskesmas, klinik, dan rumah
sakit, dengan tujuan mengidentifikasi kasus baru penyakit atau kematian, disebut penemuan
kasus (case finding), dan konfirmasi laporan kasus indeks. Kelebihan surveilans aktif, lebih
akurat daripada surveilans pasif, sebab dilakukan oleh
petugas yang memang dipekerjakan untuk menjalankan tanggungjawab itu. Selain itu, surveilans
aktif dapat mengidentifikasi outbreak lokal. Kelemahan surveilans aktif, lebih mahal dan lebih
sulit untuk dilakukan daripada surveilans pasif.
Sistem surveilans dapat diperluas pada level komunitas, disebut community surveilance.
Dalam community surveilance, informasi dikumpulkan langsung dari komunitas oleh kader
kesehatan, sehingga memerlukan pelatihan diagnosis kasus bagi kader kesehatan. Definisi kasus
yang sensitif dapat membantu para kader kesehatan mengenali dan merujuk kasus mungkin
(probable cases) ke fasilitas kesehatan tingkat pertama. Petugas kesehatan di tingkat lebih tinggi
dilatih menggunakan definsi kasus lebih spesifik, yang memerlukan konfirmasi laboratorium.
Community surveilans mengurangi kemungkinan negatif palsu (JHU, 2006).

SURVEILANS EFEKTIF
Karakteristik surveilans yang efektif: cepat, akurat, reliabel, representatif, sederhana, fleksibel,
akseptabel, digunakan (Wuhib et al., 2002; McNabb et al., 2002; Giesecke, 2002; JHU, 2006).
Kecepatan. Informasi yang diperoleh dengan cepat (rapid) dan tepat waktu (timely)
memungkinkan tindakan segera untuk mengatasi masalah yang diidentifikasi. Investigasi lanjut
hanya dilakukan jika diperlukan informasi tertentu dengan lebih mendalam.
Kecepatan surveilans dapat ditingkatkan melalui sejumlah cara:
(1) Melakukan analisis sedekat mungkin dengan pelapor data primer, untuk mengurangi “lag”
(beda waktu) yang terlalu panjang antara laporan dan tanggapan; 
(2) Melembagakan pelaporan wajib untuk sejumlah penyakit tertentu (notifiable diseases);
(3) Mengikutsertakan sektor swasta melalui peraturan perundangan;
(4) Melakukan fasilitasi agar keputusan diambil dengan cepat menggunakan hasil surveilans;
(5) Mengimplementasikan sistem umpan balik tunggal, teratur, dua-arah dan segera.

Akurasi. Surveilans yang efektif memiliki sensitivitas tinggi, yakni sekecil mungkin terjadi hasil
negatif palsu. Aspek akurasi lainnya adalah spesifisitas, yakni sejauh mana terjadi hasil positif
palsu. Pada umumnya laporan kasus dari masyarakat awam menghasilkan “false alarm”
(peringatan palsu).
Karena itu sistem surveilans perlu mengecek kebenaran laporan awam ke lapangan, untuk
mengkonfirmasi apakah memang tengah terjadi peningkatan kasus/ outbreak.
Akurasi surveilans dipengaruhi beberapa faktor:
(1) kemampuan petugas;
(2) infrastruktur laboratorium. 
Surveilans membutuhkan pelatihan petugas. Contoh, para ahli madya epidemiologi perlu dilatih
tentang dasar laboratorium, sedang teknisi laboratorium dilatih tentang prinsip epidemiologi,
sehingga kedua pihak memahami kebutuhan surveilans. Surveilans memerlukan peralatan
laboratorium standar di setiap tingkat operasi untuk meningkatkan kemampuan konfirmasi kasus.
Standar, seragam, reliabel, kontinu. Definisi kasus, alat ukur, maupun prosedur yang standar
penting dalam sistem surveilans agar diperoleh informasi yang konsisten.
Sistem surveilans yang efektif mengukur secara kontinu sepanjang waktu, bukannya intermiten
atau sporadis, tentang insidensi kasus penyakit untuk mendeteksi kecenderungan. Pelaporan rutin
data penyakit yang harus dilaporkan (reportable diseases) dilakukan seminggu sekali.
Representatif dan lengkap. Sistem surveilans diharapkan memonitor situasi yang sesungguhnya
terjadi pada populasi. Konsekuensinya, data yang dikumpulkan perlu representatif dan lengkap.
Keterwakilan, cakupan, dan kelengkapan data surveilans dapat menemui kendala jika
penggunaan kapasitas tenaga petugas telah melampaui batas, khususnya ketika waktu petugas
surveilans terbagi antara tugas surveilans dan tugas pemberian pelayanan kesehatan lainnya.
Sederhana, fleksibel, dan akseptabel. Sistem surveilans yang efektif perlu sederhana dan praktis,
baik dalam organisasi, struktur, maupun operasi. Data yang dikumpulkan harus relevan dan
terfokus.
Format pelaporan fleksibel, bagian yang sudah tidak berguna dibuang. Sistem surveilans yang
buruk biasanya terjebak untuk menambah sasaran baru tanpa membuang sasaran lama yang
sudah tidak berguna, dengan akibat membebani pengumpul data. Sistem surveilans harus dapat
diterima oleh petugas surveilans, sumber data, otoritas terkait surveilans, maupun pemangku
surveilans lainnya.
Untuk memelihara komitmen perlu pembaruan kesepakatan para pemangku secara berkala pada
setiap level operasi.
Penggunaan (uptake). Manfaat sistem surveilans ditentukan oleh sejauh mana informasi
surveilans digunakan oleh pembuat kebijakan, pengambil keputusan, maupun pemangku
surveilans pada berbagai level. Rendahnya penggunaan data surveilans merupakan masalah di
banyak negara berkembang dan beberapa negara maju. Salah satu cara mengatasi problem ini
adalah membangun network dan komunikasi yang baik antara peneliti, pembuat kebijakan, dan
pengambil keputusan.

REFERENSI
DCP2 (2008). Public health surveillance. The best weapon to avert epidemics. Disease Control
Priority Project. www.dcp2.org/file/153/dcpp-surveillance.pdf
Bensimon CM, Upshur REG (2007). Evidence and effectiveness in decisionmaking for
quarantine. Am
J Public Health;97:S44-48.
Giesecke J (2002). Modern infectious disease epidemiology. London: Arnold.
Gordis, L (2000). Epidemiology. Philadelphia, PA: WB Saunders Co.
Erme MA, Quade TC (2010). Epidemiologic surveillance. Enote. www.enotes.com/public-
health.../
epidemiologic-surveillance. Diakses 21 Agustus 2010.
JHU (=Johns Hopkins University) (2006). Disaster epidemiology. Baltimore, MD: The Johns
Hopkins
and IFRC Public Health Guide for Emergencies.
Last, JM (2001). A dictionary of epidemiology. New York: Oxford University Press, Inc.
Mandl KD, Overhage M, Wagner MM, Lober WB, Sebastiani P, Mostahari F, Pavlin JA,
Gesteland PH,
Treadwell T, Koski E, Hutwagner L, Buckeridge DL , Aller RD, Grannis S (2004).
Implementing
syndromic surveillance: A practical guide informed by the early experience. J Am Med Inform
Assoc., 11:141–150.
McNabb SJN, Chungong S, Ryan M, Wuhib T, Nsubuga P, Alemu W, Karande-Kulis V, Rodier
G (2002).
Conceptual framework of public health surveillance and action and its application in health
sector reform. BMC Public Health, 2:2 http://www.biomedcentral. Com
Pavlin JA (2003). Investigation of disease outbreaks detected by “syndromic” surveillance
systems.
Journal of Urban Health: Bulletin of the New York Academy of Medicine, 80 (Suppl 1): i107-
i114(1).
Sloan PD, MacFarqubar JK, Sickbert-Bennett E, Mitchell CM, Akers R, Weber DJ, Howard K
(2006).
Syndromic surveillance for emerging infections in office practice using billing data. Ann Fam
Med 2006;4:351-358.
WHO (2001). An integrated approach to communicable disease surveillance. Weekly
epidemiological
record, 75: 1-8. http://www.who.int/wer
_____ (2002). Surveillance: slides. http://www.who.int
Wuhib T, Chorba TL, Davidiants V, MacKenzie WR, McNabb SJN (2002). Assessment of the
infectious
diseases surveillance system of the Republic of Armenia: an example of surveillance in The
Republics of the former Soviet Union. BMC Public Health, 2:3 http://www.biomedcentral.com.
MODUL EPIDEMIOLOGI
KEBIDANAN-D3
Di susun oleh
Nugroho Susanto
STIKES AHMAD YANI YOGYAKARTA TAHUN 2011/2012
PERTEMUAN KE-1

KONSEP-KONSEP/DASAR-DASAR
EPIDEMIOLOGI

Oleh

Nugroho Susanto
KONSEP-KONSEP/DASAR-DASAR EPIDEMIOLOGI

1. Definisi dan ruang lingkup epidemiologi


Definisi

Epidemiologi berasal dari Yunanai, epi berarti tentang, demos berarti rakyat dan
logos berarti bicara atau ilmu.

Epidemiologi merupakan inti dari ilmu kesehatan masyarakat.

Epidemiologi merupakan studi yang mempelajari distribusi dan determinan penyakit


dan keadaan kesehatan pada populasi, serta penerapanya untuk pengendalian
masalah kesehatan (CDC, 2002). Yang utama dalam epidemiologi adalah distribusi
penyakit dan determinan penyakit.

Dalam distribusi penyakit peranan Epidemiologi mempelajari pola penyebaran,


kecenderungan dan dampak penyakit terhadap kesehatan populasi. Dalam
determinan penyakit epidemiologi mempelajari faktor-faktor risiko dan faktor etiologi
penyakit. Studi epidemiologi dirancang untuk mempelajari paparan, faktor risiko,
kausa, dan faktor-faktor yang dihipotesiskan mempunyai hubungan dengan kejadian
penyakit.

Lingkup epidemiologi

a. Epidemiologi deskriptif
Epidemiologi deskriptif lebih mengarah pada hal pokok antara lain

Tempat, orang dan waktu. Keadaan ini merupakan hal informasi yang penting
dalam epidemiologi. Informasi mengenai orang dapat menunjukan bahwa antar
penyakit belum tentu mempunyai karakteristik orang yang sama untuk di tempati
atau penyakit dapat berkembang biak. Sehinga akan lebih mudah untuk
dipelajari ciri khas dari suatu penyakit. Waktu dapat menunjukan masa inkubasi
dari penyakit tesebut dan tempat dapat menunjukan karakteristik dari serangan
penyakit tersebut.

b. Epidemiologi Analitik
Epidemiologi analitik lebih menekankan pada dasar hubungan antara paparan
atau karakteristik dengan penyebab dari penyakit itu sendiri. Keadaan ini
memerlukan instrumen statistik untuk melihat apakah paparan dan efek
berkaitan secara statistik.

2. Tujuan Epidemiologi
Terdapat 4 tujuan pokok epidemiologi (Risser, 2002)

a. Mendeskripsikan distribusi, kecenderungan, dan riwayat alamiah penyakit atau


keadaan kesehatan populasi.
b. Menjelaskan etiologi penyakit
c. Meramalkan kejadian penyakit
d. Mengendalikan distribusi penyakit dan masalah kesehatan polulasi.

3. Deskripsi Insiden dan Prevalen


Insiden merupakan kejadian kasus baru selama masa pengamatan.

Insiden.

Jumlah kasus baru pada tahun pengamatan


Insiden = -----------------------------------------------------
Jumlah populasi pengamatan

Prevalen
Jumlah kasus baru dan kasus lama pada tahun pengamatan
Prevalensi = -----------------------------------------------------
Jumlah populasi pengamatan

Hubungan antara insiden dan prevalensi

Insiden

Prevalensi

Mati/sembuh

Gambar tersebut memberi arah bahwa pada penyakit-penyakit yang masa


inkubasinya cepat dapat memberi gambaran bahwa peningkatan insiden penyakit
belum pasti akan diikuti oleh peningkatan angka prevalensi. Hal ini disebabkan
adanya kasus yang cepat diikuti juga dengan hasil akhir dari penyakit tersebut
(sembuh/mati). Pada penyakit-penyakit yang masa inkubasinya lama biasanya
peningkatan angka insiden akan diikuti dengan peningkatan angka prevalensi.
4. Pendekatan Epidemiologi
Epidemiologi mempelajari kausa penyakit dengan mengunakan penalaran
epidemiologi (gordis, 2000) yang terdiri dari beberapa langkah antara lain:

a. Epidemiologi biasanya dimulai dengan data deskriptif. Misal data yang


dilaporkan dari jajaran departemen kesehatan. Data ini merupakan langkah awal
sebagai bahan informasi untuk menentukan langkah selanjutnya. Laporan-
laporan merupakan hal yang penting guna mendapatkan informasi yang lebih
banyak mengenai penyakit dan dijadikan sebagai dasar awal untuk melihat
permasalahan yang ada.
b. Menentukan apakah terdapat hubungan antara sebuah faktor atau suatu
karakteristik seseorang dan terjadinya penyakit yang menjadi permasalahan.
c. Jika ditemukan hubungan yang signifikan, antara paparan dan penyakit maka
pertanyaan yang muncul adalah apakah hubungan tersebut merupakan
hubungan kausal (penyebab).

5. Keberhasilan Epidemiologi
Beberapa tokoh yang menyumbang keberhasilan dalam penerapan ilmu
epidemiologi antara lain:

a. Epidemiologi sebelum masehi


Teori hipokrates: mengemukakan teori tentang sebab akibat dari penyakit, yang
mengatakan bahwa: 1. Penyakit terjadi karena adanya kontak jasad hidup. 2.
penyakit berkaitan dengan lingkungan eksternal maupun internal seseorang.

b. Karya John Graut


Grount mengunakan tabel hidup (life tabel) untuk mendeskripsikan mortalitas
penduduk dalam bentuk angka absolut, persen dan probabilitas. Ia mencatat
mortalitas lebih tinggi pada pria dari pada wanita.

c. Revolusi Industri
Abda ke 18 terjadi revolusi industri yang mendorong kemajuan pesat ilmu
pengetahuan termasuk epidemiologi. Pada abad ke 18 ditandai dengan
meningkatnya kejadian infeksi usus, demam tifoid, dan tuberkulosis didaerah
kumuh perkotaan. Dikawasan eropa muncul penyakit kuning dan kolera.

d. Vaksinasi Jener
Pada akhir abda 18 400.000 orang meninggal karena cacar (smallpox). Eddward
Jenner tertarik untuk menenmukan pendekatan pencegahan cacar yang lebih
aman.

e. Penyelidikan Epidemi Snow


John snow mengatakan bahwa perbaikan kesehatan masyarakat tidak mungin
hanya dicapai dengan pendekatan kedokteran klinis pada pasien-pasien secara
individual, melainkan harus dilakukan pendekatan secara komunitas luas.

f. Revolusi mikrobiologi dan teori kuman


Pada abad 19 kemajuan pesat epidemiologi dengan ditemukan alat yang mampu
mengintip struktur dan dinamika mikroba, disebut mikroskop. Sehingga
ditemukan teori kuman.

Latihan

1. Jelaskan ruang lingkup epidemiologi..?


2. Sebutkan tujuan epidemiologi..?
3. Bagaimana hubungan insiden dan prevalensi..?
MENGUKUR SEHAT SAKIT

1. Definisi sehat sakit


Tahun 1948 WHO mendefinisikan kesehatan ” A state of complete physical, and
social well-being and not merely the absence of disease or confirmity”. Dalam
beberapa decade terakhir terjadi pergeseran pendefinisian “sakit” atau “sehat” dari
para dokter kearah penilaian oleh manusia bersangkutan. Sen (2002) membedakan
dua perspektif sehat: 1. Perspektif internal berbasis penilaian pasien dan 2.
Perspektif eksternal berbasis pengamatan dokter, ahli patologi, dan profesi
kesehatan pada umumnya. Penilaian internal dipengaruhi oleh pengalaman social,
ekspektasi dan kesehadiaan pelayanan kesehatan.

2. Frekuensi penyakit
RATE

Pada epidemiologi alat yang terpenting untuk mengukur frekuensi kejadian penyakit
adalah rate, tetapi juga digunakan ratio dan proporsi. Ukuran-ukuran tersebut
merupakan hasil dari bagi antara denumerator (penyebut) dan numerator
(pembilang).

Rate merupakan perhitungan frekuensi kejadian penyakit selama periode waktu


yang tertentu. Rate sering kali digunakan sebagai basis perbandingan untuk
populasi yang berbeda, berbagai kelompok dimasyarakat (populasi), atau populasi
yang sama pada waktu yang berbeda. Ukuran ini sebagai alat untuk menilai suatu
factor etiologi (penyebab) dan membandingkan perkembangan terjadinya penyakit
pada dua populasi yang berbeda. Untuk menetapkan kasus baru paling tidak harus
dilakukan 2 kali pemeriksaan, pemeriksaan pertama untuk menetapkan siapa yang
menderita penyakit, dan pemeriksaan kedua untuk menemukan siapa yang telah
mengalami penyakit. Hal ini berarti kita harus memperhitungkan waktu onset. Waktu
onset adalah waktu saat gejala penyakit pertama kali muncul, waktu onset tidak
hanya suatu titik waktu. Pengamatan yang dilakukan terhadap suatu penyakit
diperlukan perhitungan satuan orang waktu. Satuan orang waktu dapat berupa
(person-years), orang-bulan (pearson-month). Satuan orang waktu digunakan untuk
mencegah perbedaan risiko selama periode pengamatan yang dialami anggota
populasi.

Rasio

Rasio merupakan perbandingan antar dua bilangan. Rasio mencerminkan hubungan


antar dua bilangan, dalam bentuk hasil bagi, x:y atau x/y x k. Misalnya rasio pria dan
wanita anak balita di Kecamatan X pada tahun 2005 3.543:3.802 adalah 0,93 pria
terhadap 1 wanita, atau 93 pria untuk setiap 100 wanita.

Misalkan

Proporsi

Proporsi merupakan bentuk khusus dari rasio, dimana didalamnya denomerator


termasuk juga numerator dan hasilnya adalah nilai yang dinyatakan dalam bentuk
prosentase. Proporsi penduduk di Kecamatan X adalah 22.683/44.792 x 100 =
56,6%.

Ilustrasi

Suatu pengamatan longitudinal dilakukan selama 1 tahun dengan 10 subjek, dan


hasil pengamatan sebagai berikut:
1 orang diamati selama 8 tahun = 8 orang-tahun

2 orang diamati selama 5 tahun = 10 tahun pengamatan

3 orang diamati selama 2 tahun = 6 orang-tahun

4 orang diamati selama 6 bulan = 2 orang tahun

3. Mengunakan informasi yang tersedia


Informasi kondisi kesehatan suatu masyarakat dapat dilihat berdasarkan data-data
yang ada di dinas kesehatan setempat.

Mortalitas atau kematian (mati) merupakan keadaan menghilangnya semua tanda-


tanda kehidupan secara permanen, yg bisa terjadi setiap saat setelah dilahirkan
hidup. Mati hanya bisa terjadi jika di didahului dengan kelahiran hidup.
Ukuran – ukuran dalam mortalitas adalah sebagai berikut,
a. Angka kematian kasar (Crude Death Rate = CDR)
Banyaknya kematian pada suatu periode (tahun) tertentu per 1000 penduduk
tengah periode/tahun yang sama
D = jml kematian selama suatu periode (1 tahun)
P = jml penduduk pertengahan periode (tahun)
k = konstanta = 1000
Seperti fertilitas, ukuran ini juga sangat kasar karena membandingkan jumlah
kematian dengan jumlah penduduk tengah tahun, pada hal kematian menurut
umur cukup bervariasi.

b. Angka kematian menurut Umur (Age Spedific Death Rate = ASDR)


Banyaknya kematian kelompok umur tertentu pada suatu periode (tahun)
tertentu per 1000 penduduk kelompok umur yang sama, tengah periode/tahun
yang sama

Di
ASDRi = ----- x k
Pi
Di = jumlah kematian kelompok umur i
Pi = jumlah penduduk kelompok umur i tengah tahun
k = konstanta = 1000
c. Angka Kematian Bayi (Infant Mortality Rate = IMR)
Banyaknya kematian bayi (anak usia kurang satu tahun) pada suatu periode
(tahun) tertentu per 1000 kelahiran hidup periode/tahun yang sama
D<1 = jumlah kematian bayi selama satu periode/tahun
B = jumlah lahir hidup selama periode/tahun yg sama
k = konstanta = 1000
d. Angka Kematian Ibu (Maternal Mortality Rate = MMR)
Banyaknya kematian ibu pada waktu hamil atau selama 42 hari sejak terminasi
kehamilan tanpa memandang lama & tempat kelahiran, yg disebabkan krn
kehamilannya atau pengelolaannya, bukan oleh sebab-sebab lain pada suatu
periode (tahun) per 100.000 kelahiran hidup periode/tahun yang sama. Rumus:
Df = jml kematian ibu selama satu periode/tahun
B = jml lahir hidup selama periode/tahun yg sama
k = konstanta = 100.000

4. Membandingkan kejadian penyakit


Ukuran yang biasa digunakan untuk membandingkan insiden adalah

Odd rasio dan resiko relatif.

Odd rasio merupakan perbandingan penyakit pada kelompok terpapar dan tidak
terpapar.

Resiko relatif merupakan perbandingan kelompok terpapar yang menderita penyakit


dan tidak menderita penyakit.

OR= a.d/bc

RR= a/a+c : d/b+d


Contoh

Suatu masyarakat mempunyai kebiasaan merokok dan masyarakat mempunyai


kebiasaan tidak merokok. Pada suatu waktu dilakukan pengamata ternyata dari 100
orang yang diamati pada masyarakat perokok terdapat 30 orang dengan kejadian ca
paru. Pada 100 orang tidak merokok didapatkan 10 orang menderita penyakit paru.
Berapa OR dan RR?

Latihan

1. Apa pengertian sehat sakit menurut WHO..?


2. Sebutkan ukuran frekuensi penyakit dan jelaskan..?
3. Suatu penelitian dilakukan di puskesmas A.. jika di puskesmas A terdapat 100
penderita jantung coroner yang diamati selama 4 tahun dan didapatkan 4
orang yang meninggal selama periode waktu itu. Berapa laju kecepatan
insiden kematian penyakit jantung coroner tersebut..?
RIWAYAT ALAMIAH PENYAKIT
Pengantar

Riwayat alamiah penyakit diketahui tidak hanya untuk memahami masing-masing


penyakit, tetapi juga untuk menyusun strategi studi epidemiologi yaitu menentukan dari
mana memulai, bagaimana, serta tujuan dan sasaran studi epdiemiologi. Tanpa
mengenal riwayat alamiah penyakit, sesorang penelitia akan mengalami disorintasi
tentang dimana ia berada, kemana mau pergi dan untuk tujuan apa.

Riwayat alamiah penyakit terdiri dari 4 fase (Gerstman, 1998; Rothman, 1981; Mausner
dan Kramer, 1985) antara lain 1. Fase rentan, 2. Fase subklinis; 3. Fase Klinis; 4; Fase
Penyembuhan, cacat dan kematian.

1. Fase Rentan
Fase rentan adalah tahap berlangsungnya proses etiologi, dimana faktor ”penyebab
pertama” untuk pertama kalinya bertemu dengan penjamu. Faktor penyebab utama
yang disini adalah faktor risiko. Faktor risiko adalah faktor yang kehadirannya
meningkatkan probabilitas kejadian penyakit sebelum fase ireversibilitas. Suatu
faktor yang mempunyai hubungan kausal dapat dikatakan faktor risiko, meski
hubungan itu tidak langsung atau belum diketahui mekanismenya.

2. Fase Subklinis
Fase subklinis disebut juga fase pre simtomatis adalah tahap berlangsungnya
proses perubahan patologis yang diakhiri dengan keadaan ireversibel yaitu
manifestasi penyakit tak dapat dihindari lagi.

3. Fase Klinis
Fase klinis merupakan tahap dimana perubahan patologis pada organ telah cukup
banyak, sehingga tanda dan gejala penyakit mulai dapat dideteksi. Disini telah
terjadi manifestasi klinis penyakit.

4. Fase Penyembuhan, cacat dan kematian


Fase terminal merupakan tahap dimana mulai terlihat akibat dari penyakit: sembuh
sepontan, sembuh dengan terapi, kambuh, perubahan berat ringanya penyakit,
cacat atau kematian.

Pencegahan penyakit dibagi dalam 3 sekmen yaitu pencegahan penyakit primer,


pencegahan penyakit skunder dan pencegahan penyakit tersier.

1. Pencegahan primer
Mulai berhubungan dengan factor risiko, pada tahap ini belum menunjukan gejala
dan tanda factor risiko.

2. Pencegahan skunder
Mulai menunjukan gejala klinis dan tanda penyakit

3. Pencegahan Tersier
Pencegahan pada tahap terminal penyakit (sembuh, cacat, mati)
Pencegahan Pencegahan Pencegahan
Primer Skunder Tersier

Mulai Mulai Mulai Sembuh


berhubunga berhubungan menunjukan
n dengan dengan agen gejala dan Catat
factor penyakit tanda Mati
risiko penyakit

Latihan

1. Sebutkan tahapan dalam riwayat alamiah penyakit..?


2. Sebutkan tahapan pencegahan penyakit..?
PERTEMUAN
EPIDEMIOLOGI KESEHATAN IBU DAN
ANAK
A.  Pelayanan Kesehatan Ibu dan Bayi 

1.    Cakupan Kunjungan ibu hamil K-4 

a.        Pengertian 

a.    Ibu hamil K-4 adalah ibu hamil yang mendapatkan pelayanan antenatal sesuai standar paling
sedikit empat kali, dengan distribusi pemberian pelayanan minimal satu kali pada triwulan pertama,
satu kali pada triwulan kedua dan dua kali pada triwulan ketiga umur kehamilan.

b.  Pelayanan adalah pelayanan/pemeriksaan kesehatan bagi ibu hamil sesuai standar pada masa
kehamilan oleh tenaga kesehatan terampil (Dokter, Bidan, dan Perawat). 

b.        Definisi Operasional

Cakupan Kunjungan ibu hamil K-4 adalah cakupan Ibu hamil yang telah memperoleh pelayanan
antenatal 4 kali sesuai dengan stándar di satu wilayah kerja pada kurun waktu tertentu. 

c.         Cara Perhitungan/Rumus

1)      Rumus

Cakupan Jumlah Kunjungan Ibu Hamil K4 x 100 %


kunjungan         = Jumlah sasaran ibu hamil dalam satu tahun
Ibu Hamil K4

 2)      Pembilang

Jumlah ibu hamil yang telah memperoleh pelayanan antenatal sesuai standar minimal 4 kali di satu
wilayah kerja, pada kurun waktu tertentu.

Perkiraan ibu hamil di wilayah kerja yang sama dapat dihitung dengan formula:

1,1 x CBR x Jumlah penduduk di wilayah kerja. 

3)      Penyebut

Jumlah seluruh ibu hamil di satu wilayah kerja yang sama dalam kurun waktu yang sama. 

4)      Ukuran/Konstanta

Persentase (%) 

5)      Contoh Perhitungan


Jumlah Penduduk 500.000, Angka Kelahiran Kasar (CBR) 2,3 %. Hasil pelayanan antenatal  K4 =  12.000 
Bumil Januari-Desember tahun 2003, Maka :  Cakupan K4 adalah =     

Jml kunjungan ibu hamil K4                         X  100%


 Jml sasaran ibu hamil dalam satu tahun         

       12.000                  X  100% = 94,86%


1,1 x 2,3% x 500.000 

d.        Sumber Data

SIMPUS dan SIRS termasuk pelayanan yang dilakukan oleh swasta. 

e.         Rujukan

1)     Buku Pegangan Praktis Pelayanan Kesehatan Maternal dan Neonatal,;

2)     Standar Pelayanan Kebidanan (SPK);

3)     Pelayanan Kebidanan Dasar;

4)     PWS – KIA. 

f.     Target

§         Target 2005: 78 % 

§         Target 2010: 95 % 

g.        Langkah Kegiatan

1)      Pendataan Bumil;

2)     Pembuatan kantong persalinan;

3)      Pelayanan Antenatal;

4)      Pencatatan  dan Pelaporan;

5)      Monitoring dan Evaluasi.


 

2.    Cakupan Pertolongan Persalinan oleh Bidan atau Tenaga Kesehatan yang Memiliki Kompetensi
Kebidanan 
a.      Pengertian

1)   Pertolongan persalinan adalah persentase ibu bersalin di suatu wilayah dalam kurun waktu tertentu
yang mendapatkan pelayanan pertolongan persalinan oleh tenaga kesehatan yang kompeten.

2)   Kompetensi kebidanan adalah  keterampilan yang dimiliki oleh tenaga kesehatan dalam bidang
pelayanan kebidanan (Dokter dan Bidan). 

b.      Definisi Operasional

Cakupan Pertolongan Persalinan oleh Bidan atau Tenaga Kesehatan adalah cakupan Ibu bersalin yang
mendapat pertolongan persalinan oleh tenaga kesehatan yang memiliki kompetensi kebidanan di satu
wilayah kerja pada kurun waktu tertentu.

c.       Cara Perhitungan/Rumus

1)      Rumus

   Cakupan pertolongan persalinan Jumlah persalinan oleh tenaga kesehatan (Pn)  x 100%
oleh Bidan/Tenaga Kesehatan    = Jml seluruh sasaran persalinan dalam satu tahun

2)      Pembilang

Jumlah ibu bersalin di satu wilayah kerja pada kurun waktu tertentu, yang persalinannya
memperoleh pertolongan dari tenaga kesehatan yang memiliki kompetensi kebidanan. 

3)      Penyebut

Jumlah ibu bersalin di satu wilayah kerja yang sama pada kurun waktu yang sama. 

4)    Ukuran/Konstanta

 Persentase (%) 

5)      Contoh Perhitungan

Jumlah Penduduk 500.000, Angka Kelahiran Kasar (CBR) 2,3 %. Hasil cakupan Pn =  10.500  Ibu
bersalin (Bulin) Januari- Desember tahun 2003,

Maka : 

Cakupan Pn adalah = Jml persalinan oleh tenaga kesehatan (Pn)    X 100%                                        
Jml  seluruh sasaran persalinan dalam satu tahun

                                                              10.500                  X  100%  =  86,96%


                                               1,05 x 2,3% x 500.000 

d.      Sumber Data

SIMPUS dan SIRS termasuk pelayanan yang dilakukan oleh swasta.


e.      Rujukan

1)   Buku Pegangan Praktis Pelayanan Kesehatan Maternal dan Neonatal;

2)   Standar Pelayanan Kebidanan (SPK);

3)   Pelayanan Kebidanan Dasar;

4)   PWS – KIA;

5)   Pedoman Asuhan Persalinan Normal/ APN. 

f.        Target

§     Target 2005: 77 %

§     Target 2010: 90% 

g.      Langkah Kegiatan

1)      Pelayanan persalinan;

2)      Perawatan nifas;

3)      Monitoring dan Evaluasi.


 

3.    Ibu Hamil Risiko Tinggi yang Dirujuk 

a.      Pengertian 

1) Risti/Komplikasi adalah keadaan penyimpangan dari normal, yang secara langsung menyebabkan
kesakitan dan kematian ibu maupun bayi.

2)    Risti/komplikasi kebidanan meliputi: (Hb < 8 g%, Tekanan darah tinggi (sistole > 140 mmHg,
Diastole > 90 mmHg, Oedema nyata, eklamsia, perdarahan pervaginam, ketuban pecah dini, Letak
lintang pada usia kehamilan > 32 minggu,  letak sungsang pada primigravida, infeksi berat/sepsis,
persalinan prematur.

3)  Bumil Risti / komplikasi yang dirujuk adalah Bumil Risti / Komplikasi yang ditemukan untuk
mendapat pertolongan pertama dan rujukan oleh tenaga kesehatan. 

b.      Definisi Operasional

Ibu Hamil Risiko Tinggi yang Dirujuk  adalah Ibu hamil Risiko tinggi/komplikasi yang dirujuk di satu
wilayah kerja pada kurun waktu tertentu. 

c.       Cara Perhitungan/Rumus

1)      Rumus 
Ibu hamil risti/komplikasi      Jumlah Bumil Risti/Komplikasi ditemukan  x 100%
=  yang  dirujuk     Jml seluruh sasaran Bumil risti/komplikasi

 2)      Pembilang

Jumlah ibu hamil risiko tinggi/komplikasi yang ditemukan/ dideteksi  di satu wilayah kerja pada
kurun waktu tertentu. 

3)      Penyebut

Jumlah ibu hamil risiko tinggi/komplikasi yang ada di wilayah kerja pada kurun waktu yang sama
(20% total ibu hamil).
Perhitungan perkiraan ibu hamil dapat dilihat pada indikator cakupan kunjungan ibu hamil K4. 

4)      Ukuran/Konstanta

 Persentase (%) 

5)      Contoh Perhitungan

Jumlah Penduduk 500.000, Angka Kelahiran Kasar (CBR) 2,3%.  Hasil cakupan ibu hamil
Risti/komplikasi =  2250  Januari - Desember tahun 2003, maka:

Cakupan  Ibu hamil risiko tinggi yang dirujuk adalah : 

            Jml Cak Bumil Risti/komplikasi yg ditemukan x 100%


            Jml seluruh sasaran Bumil Risti/Komplikasi 

                        2250                              X  100% = 88,93%.


 20% x ( 1,1 x 2,3% x 500.000) 

d.      Sumber Data

1)   SIMPUS dan SIRS termasuk pelayanan yang dilakukan oleh swasta;

2)   Laporan AMP. 

e.      Rujukan

1)     Buku Pegangan Praktis Pelayanan Kesehatan Maternal dan Neonatal;

2)     Standar Pelayanan Kebidanan (SPK);

3)     Pelayanan Kebidanan Dasar;

4)     PWS – KIA;

5)     Pedoman Asuhan Persalinan Normal/ APN;

6)     Pedoman AMP; 


f.        Target

§    Target 2005:  25 %

§    Target 2010: 100% 

g.      Langkah Kegiatan

1)      Persiapan Pelayanan Antenatal;

2)      Pelayanan ANC;

3)      Pemantauan  & Evaluasi ;

4)      Persiapan Pelayanan Pertolongan Persalinan;

5)      Pemantauan  & Evaluasi;

6)      Persiapan Pendeteksian Bumil Risti/Komplikasi;

7)      Deteksi Bumil Risti/Komplikasi;

8)      Pemantauan  & Evaluasi.


 

4.  Cakupan Kunjungan Neonatus

b.      Pengertian 

1)                         1)  Cakupan Kunjungan Neonatus (KN) adalah pelayanan kesehatan kepada bayi
                            umur 0-28 hari di sarana pelayanan kesehatan maupun pelayanan melalui
                            kunjungan rumah.
2)                     2)     Pelayanan tersebut meliputi pelayanan kesehatan neonatal dasar (tindakan
                           resusitasi, pencegahan hipotermia, pemberian ASI dini dan ekslusif, pencegahan
                           infeksi berupa perawatan mata, tali pusat, kulit, dan pemberian imunisasi);
                           pemberian vitamin K; Manajemen Terpadu Bayi Muda (MTBM); dan penyuluhan
                           perawatan neonatus di rumah menggunakan Buku KIA. 
                        3)   Setiap neonatus memperoleh pelayanan kesehatan minimal 2 kali yaitu 1 kali pada
                        umur 0-7 hari dan 1 kali pada umur 8-28 hari.  

c.       Definisi Operasional

Cakupan Kunjungan Neonatus adalah cakupan neonatus yang memperoleh pelayanan kesehatan
sesuai dengan standar oleh Dokter, Bidan, Perawat yang memilki kompetensi klinis kesehatan
neonatal, paling sedikit 2 kali, di satu wilayah kerja pada kurun waktu tertentu. 

d.      Cara Perhitungan/Rumus 

1)  Rumus

Cakupan KN = Jumlah KN yang ditangani sesuai standar  x 100%


Seluruh bayi lahir hidup

2)  Pembilang

Jumlah neonatus yang memperoleh pelayanan kesehatan sesuai dengan standar, paling sedikit 2
kali, di satu wilayah kerja pada kurun waktu tertentu. 

3)  Penyebut

Seluruh bayi lahir hidup di satu wilayah kerja pada kurun waktu sama. Jika tidak ada data dapat
digunakan angka estimasi jumlah bayi lahir hidup berdasarkan data BPS atau perhitungan CBR
dikalikan jumlah penduduk. 

4)  Ukuran/Konstanta

Persentase (%) 

5)  Contoh Perhitungan

·    Ada data jumlah bayi lahir di desa A.


Jumlah pendataan seluruh bayi lahir di desa A tahun 2003: 75 bayi.
Jumlah KN yang ditangani sesuai standar sebanyak 2 kali oleh Bidan AA tahun 2003: 55 bayi.
Cakupan KN:  55/75 x 100 % = 73,33 % 
·    Tidak ada data jumlah bayi lahir hidup di Kab.
Jumlah penduduk Kab. B tahun 2003: 300.000 jiwa.
CBR Kab. B tahun 2003: 2.3%
Rekapitulasi jumlah KN yang ditangani  Dokter, Bidan, Perawat  sesuai standar (berdasarkan
laporan puskesmas) di Kab B tahun 2003: 4200.
Estimasi jumlah lahir hidup: 2.3% x 300.000= 6.900
Cakupan KN: 4.200 / 6.900 x 100 %  =  60,87 % 

e.      Sumber Data

SIMPUS, SIRS dan Klinik. 

f.        Rujukan

1)      Modul Pelatihan Resusitasi;

2)      Pedoman Teknis Pelayanan Kesehatan Neonatal Esensial;

3)      Modul Manajemen Terpadu Bayi Muda (MTBM);

4)      Buku Kesehatan Ibu dan Anak (KIA). 

g.      Target

§         Target 2005: 65 %

§         Target 2010: 90% 

h.       Langkah Kegiatan


1)   Pelatihan klinis kesehatan neonatal meliputi resusitasi, neonatal esensial, MTBM, pemberian
vitamin K; dan penggunaan Buku KIA; 

2)      Pemantauan pasca pelatihan resusitasi dan MTBM;

3)      Pelayanan kunjungan neonatus di dalam gedung dan luar gedung;

4)      Pelayanan rujukan neonatus;

5)      Pembahasan audit kesakitan dan kematian neonatus.


 

5.  Cakupan Kunjungan Bayi 

a.      Pengertian 

1)   Cakupan kunjungan bayi adalah cakupan kunjungan bayi umur 1-12 bulan di sarana pelayanan
kesehatan maupun di rumah, posyandu, tempat penitipan anak, panti asuhan dan sebagainya, melalui
kunjungan petugas.

2)   Pelayanan kesehatan tersebut meliputi deteksi dini kelainan tumbuh kembang bayi (DDTK), stimulasi
perkembangan bayi, MTBM, manajemen terpadu balita sakit (MTBS), dan penyuluhan perawatan
kesehatan bayi di rumah menggunakan Buku KIA yang diberikan oleh dokter, bidan dan perawat yang
memiliki kompetensi klinis kesehatan bayi.

3)   Setiap bayi memperoleh pelayanan kesehatan minimal 4 kali yaitu 1 kali pada umur 1-3 bulan, 1 kali
pada umur 3-6 bulan, 1 kali pada umur 6-9 bulan dan 1 kali pada umur 9-12 bulan.  

b.      Definisi Operasional

Cakupan Kunjungan Bayi  adalah cakupan bayi yang memperoleh pelayanan kesehatan sesuai dengan
standar oleh Dokter, Bidan, Perawat yang memiliki kompetensi klinis kesehatan bayi, paling sedikit 4 kali,
di satu wilayah kerja pada kurun waktu tertentu. 

c.       Cara Perhitungan/Rumus

1)      Rumus

    Cakupan         Jumlah bayi memperoleh pelayanan kesehatan sesuai standar x 100%
kunjungan bayi  =
Seluruh bayi lahir hidup  

                            2)      Pembilang

Jumlah bayi memperoleh pelayanan kesehatan sesuai standar oleh tenaga kesehatan, paling
sedikit 4 kali, di satu wilayah kerja pada kurun waktu tertentu. 

3)      Penyebut

Seluruh bayi lahir hidup di satu wilayah kerja pada kurun waktu yang sama. Jika tidak ada data dapat
digunakan angka estimasi jumlah bayi lahir hidup berdasarkan data BPS atau perhitungan CBR
dikalikan jumlah penduduk. 
4)      Ukuran/Konstanta

Prosentase (%) 

5)      Contoh Perhitungan

Jumlah seluruh bayi lahir di desa A tahun 2003: 75 bayi.


Jumlah bayi memperoleh pelayanan kesehatan sesuai standar, 4 kali oleh bidan AA: 40. Cakupan 
kunjungan bayi =  40 / 75 x 100 % = 53,33  %. 

Jumlah penduduk Kabupaten B:  270.000 jiwa.


CBR: 2.3%
Rekapitulasi jumlah bayi yang memperoleh pelayanan kesehatan sesuai dengan standar 4 kali, se
kabupaten B: 5000
Estimasi jumlah lahir hidup: 2.3% x 270.000 = 6.210
Cakupan kunjungan bayi = 5.000 / 6.210 =  80,52 %. 

d.       Sumber Data

SIMPUS, SIRS dan Klinik. 

e.       Rujukan

1)      Modul Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS);

2)      Deteksi Dini Tumbuh Kembang Balita (DDTK);

3)      Buku KIA. 

f.        Target

§         Target 2005: 65%

§         Target 2010: 90% 

g.       Langkah Kegiatan

1)      Peningkatan kompetensi klinis kesehatan bayi meliputi DDTK, stimulasi  perkembangan bayi dan
MTBS;

2)      Pemantauan pasca pelatihan MTBS dan DDTK;

3)      Pelayanan kunjungan bayi di dalam gedung dan luar gedung;

4)      Pelayanan rujukan;

5)      Pembahasan audit kematian dan kesakitan bayi.


 

6.  Cakupan Bayi Berat Lahir Rendah/BBLR yang Ditangani 


a.      Pengertian 

1)   Cakupan bayi berat lahir rendah adalah cakupan bayi dengan berat lahir kurang dari 2500 gram yang
ditimbang pada saat lahir sampai dengan 24 jam pertama setelah lahir.

2) Penanganan BBLR meliputi pelayanan kesehatan neonatal dasar (tindakan resusitasi, pencegahan
hipotermia, pemberian ASI dini dan ekslusif, pencegahan infeksi berupa perawatan mata, talipusat,
kulit, dan pemberian imunisasi); pemberian vitamin K; manajemen terpadu bayi muda (MTBM);
penanganan penyulit/komplikasi/masalah pada BBLR dan penyuluhan perawatan neonatus di rumah
menggunakan Buku KIA.

3)  Setiap BBLR memperoleh pelayanan kesehatan yang diberikan di sarana pelayanan kesehatan
maupun pelayanan melalui kunjungan rumah oleh Dokter, Bidan dan Perawat yang memiliki
kompetensi klinis kesehatan neonatal dan penanganan BBLR.

b.      Definisi Operasional

Cakupan Bayi Berat Lahir Rendah/BBLR yang Ditangani adalah cakupan BBLR yang ditangani sesuai
standar oleh Dokter, Bidan dan Perawat yang memiliki kompetensi klinis kesehatan neonatal dan
penanganan BBLR, di satu wilayah kerja pada kurun waktu tertentu. 

c.       Cara Perhitungan/Rumus

1)      Rumus

  Cakupan   =     Jumlah BBLR ditangani sesuai dengan standar  x 100 %


Jumlah BBLR di wilayah kerja  
BBLR     2)     
Pembilang

Jumlah kunjungan BBLR yang ditangani sesuai  dengan standar oleh tenaga kesehatan, di satu
wilayah kerja pada kurun waktu tertentu. 

3)      Penyebut

Jumlah BBLR di wilayah kerja pada kurun waktu yang sama. 

4)      Ukuran/Konstanta

Persentase (%) 

5)      Contoh Perhitungan

Jumlah BBLR yang ditangani bidan MM tahun 2003: 6 bayi.


Jumlah seluruh BBLR di desa M tahun 2003: 9 bayi.
Cakupan BBLR ditangani = 6 / 9 x 100 %  =  67 %. 

d.      Sumber Data

SIMPUS, SIRS dan Klinik. 


e.      Rujukan

1)     Pelayanan Kesehatan Neonatal Esensial;

2)     Modul Manajemen Terpadu balita Sakit;

3)     Modul Manajemen Terpadu Bayi Muda (MTBM);

4)     Buku KIA. 

f.    Target

§         Target 2005: 25%

§         Target 2010: 100% 

g.      Langkah Kegiatan

1)   Pelatihan klinis kesehatan neonatal dan penanganan BBLR; 


2)   Pemantauan pasca pelatihan kesehatan neonatal dan penanganan BBLR;
3)   Pemantauan BBLR ditangani melalui kunjungan neonatal (KN) di dalam gedung dan luar gedung;
4)   Pelayanan rujukan BBLR;
5)   Pembahasan audit kematian BBLR.
 

        B. Pelayanan Kesehatan Anak Pra Sekolah dan Usia Sekolah

1.      Cakupan deteksi dini tumbuh kembang anak balita dan pra sekolah 

a.      Pengertian 

1)      Anak balita dan prasekolah adalah anak umur 1 sampai dengan 6 tahun.

2)      Pelayanan DDTK Anak balita dan Prasekolah meliputi kegiatan deteksi dini masalah kesehatan
anak menggunakan MTBS, monitoring pertumbuhan menggunakan Buku KIA/KMS dan
pemantauan  perkembangan (motorik kasar, motorik halus, bahasa, sosialisasi dan kemandirian);
penanganan penyakit sesuai MTBS, penanganan masalah pertumbuhan, stimulasi perkembangan
anak balita dan prasekolah; pelayanan rujukan ke tingkat yang lebih mampu.

3)      Setiap anak umur 1 sampai dengan 6 tahun memperoleh pelayanan DDTK minimal 2 kali per
tahun (setiap 6 bulan sekali). Pelayanan DDTK diberikan di dalam gedung maupun di luar gedung
(di posyandu, Taman Kanak-kanak, tempat penitipan anak, panti asuhan dan sebagainya) oleh 
Dokter, Bidan dan Perawat yang memiliki kompetensi klinis kesehatan anak, DDTK, MTBM dan
MTBS. 

b.      Definisi Operasional

Cakupan deteksi dini tumbuh kembang anak balita dan pra sekolah adalah cakupan anak umur 1-6
tahun yang dideteksi kesehatan dan tumbuh kembangnya sesuai dengan standar oleh Dokter, Bidan
dan Perawat, paling sedikit 2 kali per tahun, di satu wilayah kerja pada kurun waktu tertentu. 
c.       Cara Perhitungan/Rumus

1) Rumus

                          Cakupan DDTK = Jumlah anak umur 1-6 tahun yang di DDTK  x 100 %
sesuai dengan standar, paling sedikit 2 kali
Jumlah balita di satu wilayah kerja   

2) Pembilang

Jumlah anak umur 1-6 tahun yang dideteksi kesehatan dan tumbuhkembangnya oleh tenaga
kesehatan sesuai dengan standar oleh tenaga kesehatan, paling sedikit 2 kali, di satu wilayah
kerja pada kurun waktu tertentu. 

3)  Penyebut

Jumlah balita di satu wilayah kerja pada kurun waktu yang sama. Jika tidak ada data dapat
digunakan angka estimasi jumlah balita sekitar 10% dari jumlah penduduk. 

4)   Ukuran/Konstanta

Persentase (%) 

5)   Contoh Perhitungan

Jumlah anak balita  umur 1-6 tahun memperoleh pelayanan DDTK sesuai standar oleh tenaga
kesehatan paling sedikit 2 kali di Kabupaten A= 9.000.
Seluruh balita = 25.000
Cakupan DDTK anak balita dan prasekolah = 9.000 / 27.000 x 100 % = 33,33 % 

d.      Sumber Data

SIMPUS, praktek swasta. 

e.      Rujukan

1)      Modul Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS);

2)      Deteksi Dini Tumbuh Kembang Balita (DDTK);

3)      Buku KIA. 

f.        Target

§         Target 2005: 65%


§         Target 2010: 95% 

g.      Langkah Kegiatan

1)      Pelatihan kesehatan klinis kesehatan balita, MTBS dan DDTK;

2)      Pemantauan pasca pelatihan;

3)      Pelayanan kunjungan anak balita dan prasekolah, di dalam gedung dan luar gedung;

4)      Pelayanan rujukan.


 

2.      Cakupan pemeriksaan kesehatan siswa SD dan setingkat oleh tenaga kesehatan atau
  tenaga terlatih/ guru UKS/Dokter Kecil 

a.      Pengertian 

1)   Usaha Kesehatan Sekolah (UKS) adalah upaya terpadu lintas program dan lintas sektor dalam
rangka meningkatkan derajat kesehatan serta membentuk perilaku hidup sehat anak usia sekolah
yang berada di sekolah.

2) Pelayanan kesehatan pada UKS adalah pemeriksaan kesehatan umum, kesehatan gigi dan mulut
siswa SD dan setingkat melalui penjaringan kesehatan terhadap murid kelas 1 Sekolah Dasar dan
Madrasah Ibtidaiyah yang dilaksanakan oleh tenaga kesehatan bersama dengan guru UKS terlatih
dan dokter kecil secara berjenjang (penjaringan awal oleh guru dan dokter kecil, penjaringan
lanjutan oleh tenaga kesehatan).

3)   Tenaga Kesehatan adalah tenaga medis, keperawatan atau petugas Puskesmas lainnya yang telah
dilatih sebagai tenaga pelaksana UKS/UKGS.

4)   Guru UKS adalah guru kelas atau guru yang ditunjuk sebagai pembina UKS di sekolah dan telah
dilatih tentang UKS.

5)    Dokter kecil adalah kader kesehatan sekolah yang biasanya berasal dari murid kelas 4 dan 5 SD
dan setingkat yang telah mendapatkan pelatihan dokter kecil. 

b.      Definisi Operasional

Cakupan pemeriksaan kesehatan siswa SD dan setingkat adalah cakupan siswa kelas 1 SD dan
setingkat yang diperiksa kesehatannya oleh tenaga kesehatan atau tenaga terlatih (guru UKS/dokter
kecil) melalui penjaringan kesehatan di satu wilayah kerja pada kurun waktu tertentu. 

c.       Cara Perhitungan/Rumus

1)      Rumus 

 Cakupan   Jumlah murid kelas 1 SD dan setingkat yang diperiksa  x 100 %


pemeriksaan kesehatannya melalui penjaringan kesehatan oleh tenaga
kesehatan siswa = kesehatan atau tenaga terlatih
SD Jumlah murid kelas 1 SD dan setingkat
                                  2)      Pembilang

Jumlah murid kelas 1 SD dan setingkat yang diperiksa kesehatannya melalui penjaringan
kesehatan oleh tenaga kesehatan atau tenaga terlatih  (guru UKS/ dokter kecil) di satu wilayah
kerja pada kurun waktu tertentu. 

3)      Penyebut

Jumlah murid kelas 1 SD dan setingkat di wilayah kerja pada kurun waktu yang sama. 

4)      Ukuran/Konstanta

Persentase (%) 

5)      Contoh Perhitungan

Jumlah murid kelas 1 SD dan setingkat di Kabupaten X pada tahun 2003 adalah 12.000 orang.

Jumlah murid kelas 1 SD dan setingkat yang diperiksa kesehatannya melalui penjaringan
kesehatan 9.000 orang

Cakupan = 9.000/12.000 x 100 % = 75 %. 

d.      Sumber Data

1)      Catatan dan pelaporan hasil penjaringan kesehatan (Laporan kegiatan UKS);

2)      Data Diknas/BPS setempat. 

e.      Rujukan

1)      Buku Pedoman UKS untuk Sekolah Dasar;

2)      Buku Pedoman Penjaringan Kesehatan;

3)      Buku Pedoman UKGS murid Sekolah Dasar. 

f.        Target

§         Target 2005: 75%

§         Target 2010: 100% 

g.      Langkah Kegiatan

1)      Pengadaan dan Pemeliharaan UKS Kit , UKGS Kit;

2)      Perencanaan kebutuhan anggaran, logistik dan pelatihan;

3)      Pelatihan petugas, guru UKS / UKGS dan dokter kecil;


4)      Pelayanan Kesehatan;

5)      Pencatatan dan Pelaporan. 

         3.  Cakupan  Pemeriksaan  Kesehatan  Siswa TK,  SLTP,  SLTA  dan  setingkat  oleh  tenaga
              kesehatan atau tenaga terlatih/ guru uks/ dokter kecil ( 80%) 

a.      Pengertian 

1)      Pemeriksaan kesehatan siswa adalah pemeriksaan kesehatan umum (TB, BB, Kulit, ketajaman
mata, pendengaran, gigi mulut) yang dilaksanakan oleh nakes bagi siswa TK, SLP, SLTA atau
setingkat.

2)      Tenaga kesehatan adalah tenaga medis, keperawatan atau petugas puskesmas lainnya yang
telah dilatih sebagai tenaga pelaksana UKS/ UKDS.

3)      Guru UKS adalah guru kelas atau guru yang ditunjuk sebagai pembina UKS di sekolah dan telah
dilatih tentang UKS.

4)      Dokter kecil adalah kader kesehatan sekolah yang berasal dari murid kelas IV dan V SD dan
setingkat yang mendapat pelatihan dokter kecil. 

b.   Definisi Operasional

Persentase siswa TK, SLTP, SLTA, dan Setingkat yang diperiksa kesehatannya oleh tenaga kesehatan
atau tenaga terlatih (guru UKS/ dokter kecil) melalui penjaringan kesehatan paling sedikit 2 x setahun di
satu wilayah kerja pada kurun waktu satu tahun. 

c.   Cara Perhitungan

1. Rumus: 

Jumlah murid TK, SLTP, SLTA yang setingkat diperiksa 2 x setahun x 100%
    Jumlah sasaran siswa TK, SLTP, SLTA dan setingkat  

2. Pembilang

Jumlah murid TK, SLTP, SLTA yang setingkat diperiksa 2 x setahun di satu wilayah kerja dalam kurun
waktu tertentu. 

3. Penyebut

Jumlah sasaran siswa TK, SLTP, SLTA dan setingkat di satu wilayah kerja dalam kurun waktu yang
sama. 

d. Sumber data

Laporan Puskesmas. 
e. Rujukan.

- Buku Pedoman UKS dari Depkes Tahun 1999

- Buku Pedoman Diknas Tahun 1999.

- Renstra 1999-2004 

f. Target

·        Tahun 2010: 80% 

g. Langkah Kegiatan

·        Pengadaan UKS kit

·        Perencanaan kebutuhan anggaran, logistik dan pelatihan.

·        Pelatihan petugas UKS puskesmas dan kab/kota

·        Pelatihan dokter kecil

·        Pelayanan kesehatan (promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif)

·        Pencatatan dan pelaporan. 

4. Cakupan pelayanan kesehatan remaja 

a.      Pengertian 

1)      Pemeriksaan kesehatan remaja adalah pemeriksaan kesehatan siswa kelas 1 SLTP dan
setingkat, kelas 1 SMU dan setingkat melalui penjaringan kesehatan terhadap murid kelas 1 SLTP
dan Madrasah Tsanawiyah, kelas 1 SMU/SMK dan Madrasah Aliyah yang dilaksanakan oleh
tenaga kesehatan bersama dengan guru UKS terlatih dan kader kesehatan remaja secara
berjenjang (penjaringan awal oleh guru dan kader kesehatan remaja, penjaringan lanjutan oleh
tenaga kesehatan).

2)      Tenaga Kesehatan adalah tenaga medis, paramedis atau petugas Puskesmas lainnya yang telah
dilatih sebagai tenaga pelaksana UKS.

3)      Guru UKS adalah guru kelas atau guru yang ditunjuk sebagai pembina UKS di sekolah dan telah
dilatih tentang UKS.

4)      Kader Kesehatan Remaja adalah kader kesehatan sekolah yang biasanya berasal dari murid
kelas 1 dan 2 SLTP dan setingkat, murid kelas 1 dan 2 SMU/SMK dan setingkat yang telah
mendapatkan pelatihan Kader Kesehatan Remaja. 

b.      Definisi Operasional

Cakupan pelayanan kesehatan remaja adalah cakupan siswa kelas 1 SLTP dan setingkat, SMU/SMK
dan setingkat yang diperiksa kesehatannya oleh tenaga kesehatan atau tenaga terlatih (guru
UKS/kader kesehatan sekolah) melalui penjaringan kesehatan di satu wilayah kerja pada kurun waktu
tertentu. 

c.       Cara Perhitungan/Rumus

1)      Rumus 

Cakupan   Jumlah murid kelas 1 SLTP dan setingkat + murid kelas 1  


pelayanan   SMU/SMK dan setingkat yang diperiksa kesehatannya melalui
kesehatan penjaringan kesehatan oleh tenaga kesehatan atau tenaga terlatih  
remaja = Jumlah murid kelas 1 SLTP dan setingkat + SMU/SMK dan
setingkat
x 100 %

                                   2)      Pembilang

Jumlah murid kelas 1 SLTP dan setingkat + Murid kelas 1 SMU/SMK dan setingkat yang diperiksa
kesehatannya melalui penjaringan kesehatan oleh tenaga kesehatan atau tenaga terlatih (guru
UKS/kader kesehatan remaja) di satu wilayah kerja pada kurun waktu tertentu. 

3)      Penyebut

Jumlah murid kelas 1 SLTP dan setingkat + murid kelas 1 SMU/ SMK dan setingkat di wilayah
kerja pada kurun waktu yang sama. 

4)      Ukuran/Konstanta

Persentase (%) 

5)      Contoh Perhitungan

Jumlah murid kelas 1 SLTP dan setingkat + murid kelas SMU/SMK dan setingkat di Kabupaten A
tahun 2003 adalah 6.000 orang.
Jumlah murid kelas 1 SLTP dan setingkat + murid kelas 1 SMU/SMK dan setingkat yang diperiksa
kesehatannya melalui penjaringan kesehatan 3.000 orang.
Cakupan = 3.000/6.000 x 100 % = 50 % 

d.      Sumber Data

1)      Catatan dan pelaporan hasil penjaringan kesehatan Laporan kegiatan UKS);

2)      Data Diknas/BPS setempat.

e.      Rujukan

1)      Buku Pedoman UKS untuk Sekolah Tingkat Lanjutan;

2)      Buku Pedoman Penjaringan Kesehatan. 

f.        Target

§         Target 2005: 15%


§         Target 2010: 80% 

g.      Langkah Kegiatan

1)      Pengadaan dan Pemeliharaan UKS Kit;

2)      Perencanaan kebutuhan anggaran, logistik dan pelatihan;

3)      Pelatihan petugas, guru UKS dan dokter kecil;

4)      Pelayanan Kesehatan;

5)      Pencatatan dan Pelaporan.


 

C.           Pelayanan Keluarga Berencana 

Cakupan peserta KB aktif 

a.      Pengertian

1)        Peserta KB Aktif (CU) adalah akseptor yang pada saat ini memakai kontrasepsi untuk menjarangkan
kehamilan atau yang mengakhiri kesuburan.

2)        Cakupan Peserta KB Aktif adalah perbandingan antara jumlah peserta KB aktif (CU) dengan
Pasangan Usia Subur (PUS).

3)        Cakupan Peserta KB aktif menunjukkan tingkat pemanfaatan kontrasepsi di antara para Pasangan
Usia Subur (PUS). 

b.      Definisi Operasional

Cakupan peserta KB aktif  adalah cakupan peserta KB aktif dibandingkan dengan jumlah Pasangan Usia
Subur di suatu wilayah kerja pada kurun waktu tertentu. 

c.       Cara Perhitungan/Rumus

1)      Rumus

                            Cakupan                   = Jumlah peserta KB aktif (CU)  x 100 %  


                            peserta KB  aktif         Jumlah pasangan usia subur  
2)     
Pembilang

Jumlah PUS yang memperoleh pelayanan kontrasepsi sesuai standar di suatu wilayah kerja pada
kurun waktu tertentu. 

3)      Penyebut

Jumlah PUS di wilayah kerja dan kurun waktu yang sama. 


4)      Ukuran/Konstanta

Persentase (%) 

5)      Contoh Perhitungan

Jumlah PUS yang memperoleh pelayanan kontrasepsi sesuai standar di Kabupaten A= 12.000 PUS.

Jumlah PUS di Kabupaten A= 15.000 PUS

Cakupan peserta aktif KB =  12.000 / 15.000 x 100 % = 80 %.  

d.      Sumber Data

1)       Hasil Pencatatan dan Pelaporan KB BKKBN;

2)       Hasil Pendataan BKKBN/ BPS setempat. 

e.      Rujukan

1)         Buku Panduan Praktis Pelayanan Kontrasepsi (BP3K);

2)         Panduan Baku Klinis Program Pelayanan KB;

3)         Pedoman Penanggulangan Efek Samping/Komplikasi Kontrasepsi;

4)         Pedoman Pelayanan Kontrasepsi Darurat;

5)         Penyeliaan Fasilitatif Pelayanan KB;

6)         Instrumen Kajian Mandiri Pelayanan KB;

7)         Panduan Audit Medik Pelayanan KB;

8)         Analisis Situasi & Bimbingan Teknis Pengelolaan Pelayanan KB;

9)         Paket Kesehatan Reproduksi. 

f.        Target

§         Target 2005: 60%

§         Target 2010: 80% 

g.      Langkah Kegiatan

1)      Pendataan Sasaran;

2)      Penyediaan Akses Pelayanan yang Berkualitas;


3)      Pemberian Pelayanan yang Berkualitas;

4)      Manajemen Kualitas Pelayanan :

·      Penyeliaan Fasilitatif;

·      Audit Medik;

·      Kajian Mandiri;

·      Quick Investigation of Quality (QIQ);

·      Manajemen Pengelolaan.


 

Pelayanan imunisasi 

a.      Pengertian

1)   Kelurahan adalah wilayah kerja lurah sebagai perangkat daerah kabupaten dan/atau daerah kota di
bawah kecamatan. (Undang-Undang Otonomi Daerah 1999).

2)   Desa adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki kewenangan untuk mengatur dan mengurus
kepentingan masyarakat setempat berdasarkan asal usul dan adat istiadat setempat yang diakui dalam
sistem Pemerintahan Nasional dan berada di daerah kabupaten. (Undang-Undang Otonomi Daerah
1999).

3)   UCI (Universal Child Immunization) ialah tercapainya imunisasi dasar secara lengkap pada bayi (0-11
bulan), ibu hamil, WUS dan anak sekolah tingkat dasar.

4)   Imunisasi dasar lengkap pada bayi meliputi : 1 dosis BCG, 3 dosis DPT, 4 dosis Polio, 4 dosis Hepatitis
B, 1 dosis Campak. Ibu hamil dan WUS meliputi 2 dosis TT. Anak sekolah tingkat dasar meliputi, 1 dosis
DT, 1 dosis campak, 2 dosis TT. 

b.      Definisi Operasional

Desa atau Kelurahan UCI adalah desa/kelurahan dimana ≥ 80% dari jumlah bayi yang ada di desa tersebut
sudah mendapat imunisasi dasar lengkap. 

c.       Cara Perhitungan/Rumus

1)      Rumus

 Desa/Kelurahan  UCI   =    Jumlah desa / kelurahan UCI  x 100 %


Seluruh desa / kelurahan
 

                       2)      Pembilang

Jumlah desa/kelurahan UCI di satu wilayah kerja pada kurun waktu tertentu.
3)      Penyebut

Seluruh desa/kelurahan di satu wilayah kerja pada kurun waktu tertentu.

4)      Ukuran / Konstanta

Persentase (%) 

5)      Contoh Perhitungan

Jumlah desa/kelurahan  UCI di Kabupaten/Kota X sebanyak 75 desa.


Jumlah desa di Kabupaten/Kota X sebanyak 90 desa.
Desa/kelurahan UCI di wilayah Kabupaten/Kota X = 75/90 x 100% = 83,3 % 

d.      Sumber Data

SIMPUS, SIRS, dan klinik. 

e.      Rujukan

Pedoman Operasional Program Imunisasi Tahun 2003, IM. 16 ( 3 buku).

f.        Target

§         Target 2005:   86 %

§         Target 2010: 100 % 

g.      Langkah Kegiatan

1.    Pengadaan dan Pemeliharaan rantai dingin;

§      Penerimaan / pengiriman vaksin.

§      Penyimpanan vaksin.

2.    Perencanaan penyiapan logistik;

§      Perhitungan kebutuhan vaksin.

§      Kebutuhan tempat penyimpanan vaksin.

§      Kebutuhan tempat pendistribusian vaksin.

§      Kebutuhan alat suntik ADS.

3.    Pelayanan Imunisasi;

§      Pengumpulan data sasaran.


§      Penggerakan sasaran.

§      Pelaksanaan imunisasi.

§      Pencatatan dan pelaporan.

4.    Penanganan KIPI.

§      Kunjungan lapangan.

§      Investigasi/pelacakan.

§      Perawatan rujukan.

§      Pemeriksaan laboratorium.

§      Pengkajian kasus tersangka KIPI.

§      Kebutuhan alat penenganan limbah.


 

E.   Pelayanan Pengobatan / Perawatan 

1.      Cakupan Rawat Jalan 

a.         Pengertian 

1)   Rawat Jalan adalah pelayanan keperawatan kesehatan perorangan  yang meliputi observasi,
diagnosa, pengobatan, rehabilitasi medik tanpa tinggal di ruang rawat inap pada sarana kesehatan.

2)   Cakupan rawat jalan adalah jumlah kunjungan kasus baru rawat jalan  di sarana kesehatan dalam
kurun waktu 1 (satu) tahun.

3)   Kunjungan pasien baru adalah seseorang yang berkunjung ke sarana pelayanan kesehatan
dengan kasus penyakit baru.

4)   Sarana kesehatan adalah tempat pelayanan kesehatan meliputi antara lain : rumah sakit
pemerintah dan swasta, puskesmas, balai pengobatan pemerintah dan swasta, praktek bersama
dan perorangan. 

b.         Definisi Operasional

Cakupan Rawat Jalan  adalah cakupan kunjungan rawat jalan baru di sarana pelayanan kesehatan
pemerintah dan swasta di satu wilayah kerja pada kurun waktu tertentu. 

c.          Cara Perhitungan/Rumus 

1)   Rumus
 Cakupan             =  Jumlah kunjungan kasus baru Rawat Jalan di sakes  
 Rawat Jalan        dalam kurun waktu tertentu
Jumlah penduduk di satu wilayah dalam kurun x 100 %
waktu yang sama
 

                                   2)   Pembilang

Jumlah kunjungan kasus baru rawat jalan di sarana pelayanan kesehatan dalam  kurun waktu
tertentu. 

3)   Penyebut

Jumlah penduduk di satu wilayah kerja dalam kurun waktu  yang sama. 

4)   Ukuran/Konstanta

Persentase (%). 

5)   Contoh Perhitungan

Jumlah kunjungan pasien baru RJ di sarkes di Kab. A dalam kurun waktu 1 (satu) tahun : 52.800.
Jumlah penduduk Kab. A : 2.000.000 orang. 

Cakupan Rawat Jalan  =        52. 800          x 100 %   =  2,64 %                                       
2.000.000 

d.         Sumber Data

SIMPUS, SIRS, dan Rekam Medik. 

e.         Rujukan

Pedoman Puskesmas dan Rumah Sakit; 

f.           Target

      Target 2005 :  10 %

      Target 2010 :  15 % 

g.         Langkah Kegiatan

1)  Pendataan penduduk, sarana kesehatan, dan kunjungan ke sarana kesehatan;

2)   Peningkatan prasarana dan sarana kesehatan;

3)   Analisa kebutuhan pelayanan;

4)   Penyuluhan;
5)   Pelatihan SDM;

6)   Pencatatan pelaporan.


 

2.            Cakupan Rawat Inap 

a.    Pengertian 

1)     Rawat Inap adalah pelayanan kesehatan perorangan yang meliputi pelayanan kesehatan
perorangan  yang meliputi observasi, diagnosa, pengobatan, keperawatan, rehabilitasi medik
dengan menginap  di ruang rawat inap pada sarana kesehatan rumah sakit pemerintah dan
swasta, serta puskesmas perawatan dan rumah bersalin, yang oleh karena penyakitnya penderita
harus  menginap.

2)     Penderita adalah seseorang yang mengalami / menderita sakit atau mengidap suatu penyakit.

3)     Fasilitas pelayanan kesehatan adalah Rumah Sakit baik milik pemerintah maupun swasta, dan
Puskesmas. 

b.    Definisi Operasional

Cakupan Rawat Inap adalah Cakupan kunjungan rawat inap baru di sarana pelayanan kesehatan
swasta dan pemerintah di satu wilayah kerja pada kurun waktu tertentu. 

c.    Cara Perhitungan / Rumus

1)   Rumus

 Cakupan          = Jumlah penderita rawat inap baru di sarkes  x 100 %


 Rawat Inap         dalam kurun waktu tertentu
Jumlah penduduk dalam satu wilayah kerja  
dalam kurun waktu yang sama
                               2)   Pembilang

PERTEMUAN
PENYAKIT-PENYAKIT KLB
A. Pengertian
1. Wabah
Merupakan kejadian berjangkitnya suatu penyakit menular dimasyarakat yang
jumlah penderitanya secara nyata meningkat melebihi dari pada keadaan yang
lazim pada waktu dan daerah tertentu serta menimbulkan mala petaka (UU N0 4,
1984).

2. KLB
Merupakan timbulnhya atan meningkatnya kejadian keseakitan, kematian yang
bermakna secara epidemiologi pada suatu daerah dalam kurun waktu tertentu
(peraturan mentri kesehatan RI, No, 560/MENKES/PER/VII/1989).

B. Kriteria KLB
Suatu kejadian penyakit dapat dikatakan KLB apabila memenuhi syarat sebagai
berikut;

1. Timbulnya suatu penyakit menular yang sebelumnya tidak ada.tidak dikenal.


2. Peningkatan kejadian penyakit /kematian terus menerus selama 3 kurun waktu
berturut-turut menurut penyakitnya.
3. peningkatan kejadian penyakit 2 kali atau lebih disbanding dengan periode
sebelumnya, (jam, minggu, bulan, tahun)
4. jumlah penderita baru dalam satu bulan menunjukan kenaikan 2 kali atau lipat
atau lebih dibandingkan dengan angka rata-rata penularan dalam tahun
sebelumnya.
5. angka rata-rata perbulan selama satu tabun menunjukan kenaikan 2 kali lipat
atau lebih jika dibandingkan dengan angka rata-rata perbulan dari tahun
sebelumnya.
6. Case fatality rate suatu penyakit dalam kurun waktu tertentu menunjukan
kenaikan 50% atau lebih dibandingkan dengan CFR dari periode sebelumnya.
7. proporsional rate penderita baru dari suatu penyakit menular menunjukan
kenaikan 2 atau lebih disbanding periode kurun waktu yang sama tahun
sebelumnya.

C. Penyakit menular potensial KLB


Penyakit-penyakit yang memerlukan kewaspadaan ketat dan merupakan penyakit
wabah atau potensi wabah atau yang dapat menimbulkan kejadian luar biasa sesuai
dengan undang-undang wabah tahun No 4 tahun 1984 yaitu : Pes, kolera, demam
bolak balik, demam kuning, DHF, campak, difteri, rabies, pertusis, polio mielitis,
malaria, influenza, antraxs, hepatitis, typus abdominalis, typus bercak wabah,
meningitis, enchepalitis.

Sesuai dengan perkembangan penyakit maka termasuk golongan penyakit potensial


wabah adalah : SAR, flu burung, HIV/AIDS, keracunan.

Jika ada wabah/KLB dilaporkan dalam waktu 24 jam dengan mengunakan formulir
W1. kemudian KLB atau wabah yang berlangsung juga dilaporkan dengan laporan
mingguan dengan form W2.

D. Tata cara pelaporan KLB


1. Dilaporkan dalam 24 jam
Laporan kewaspadaan adalah laporan adanya penderita atau tersangka
penderita penyakit yang dapat menimbulkan wabah. Yang diharuskan
menyampaikan laporan adalah:

a. Orang tua penderita atau tersangka penderita yang tinggal serumah dengan
penderita kepada kepala RT/RW/kepala dusun
b. Dokter, petugas kesehatan yang memeriksa penderita.
c. Kepala unit pemerintah atau swasta
d. Nahkoda kendaraan air atau udara.
Laporan kewaspadaan disampaikan kepada lurah atau unit kesehatan terdekat
selambat-lambatnya 24 jam sejak mengetahui adanya penderita baik dengan
cara lisan maupun tulisan. Kemudian laporan tersebut harus diteruskan kepada
kepala puskesmas setempat.

Isi laporan kewaspadaan adalah:

a. nama penderita /penderita yang meninggal


b. golongan umur
c. tempat dan alamat kejadian
d. jumlah yang sakit dan meninggal

2. Laporan kejadian luar biasa (W1) dilaporkan dalam waktu 24 jam


Merupakan salah satu laporan kewaspadaan yang dibuat unit kesehatan, segera
setelah mengetahui adanya KLB penyakit tertentu/keracunan makanan. Laporan
ini digunakan untu melaporakan KLB sebagai laporan pengamatan dini kepada
pihak-pihak yang menerima laporan akan adanya KLB penyakit tertentu disuatu
wilayah tertentu. Laporan ini harus memperhatikan asan dini, tepat, cepat, dapat
dipercaya dan bertanggung jawab yang dapat dilakukan dengan lisan dan
tulisan. Unit kesehatan yang membuat laporan adalah puskesmas, dinas
kesehatan kabupaten/kota dan dinas kesehatan provinsi dengan berpedoman
pada laporan KLB W1.

3. Dilaporkan mingguan
Laporan mingguan wabah (W2) merupakan bagian dari sistem kewaspadaan dini
KLB yang dilaksanakan oleh unit kesehatan terdepan (puskesmas). Sumber data
laporan mingguan adalah data rawat jalan dan rawat inap dari puskesmas,
puskesmas pembantu, puskesmas keliling, posyandu dan masyarakat dan
rumah sakit pemerintas atau swasta. Sikap waspada terhdap penyakit potensial
KLB ini juga diikuti oleh siaga TIM professional logistik dan cara penanggulangan
termasuk sarana komunikasi dan administrasi.
E. Langkah-langkah penyidikan KLB
1. Persiapan
a. Konfirmasi informasi
Informasi yang didapat kadang-kadang tidak lengkap bahkan tidak jelas, untuk
itu diperlukan upaya konfirmasi tentang kejelasan informasi.

- Sumber informasi dapat diperoleh dari masyarakat baik lisan maupun


tulisan dan fasilitas kesehatan.
- Gambaran tentang kasus meliputi gejala, pemeriksaan yang dilakukan
untuk diagnosis dan hasil konfirmasi ada tidaknya komplikasi, kecacatan,
kelumpuhan bahkan kematian.
- Situasi geografi dan sarana transportasi yang ada.
b. Pembuatan rencana kerja
Kegiatan ini meliputi;

1. Definisi kasus
Definisi kasus sangat berguna untuk mengarahkan pencarian kasus,
paling baik ditentukan berdasarkan hasil konfirmasi laboratorium.
Perumusan diagnosis kasus dalam kalimat yang jelas merupakan hal
yang penting oleh karena itu akan menjadi pedoman bagi tim penyelidikan
lapangan dalam penemuan kasus.

2. Hipotesis mengenai penyakit, penyebab, sumber dan cara penularan.


3. data /informasi yang diperlukan misalnya jumlah kasus, jumlah penduduk,
kebiasaan penduduk, data lingkungan.
4. cara memperoleh data/ informasi
kegiatan ini dapat dilakukan dengan mengunakan data fasilitas pelayanan
kesehatan, mencari informasi di instansi non kesehatan, dan melalui
survey di masyarakat.
5. Tim dan sarana yang diperlukan sesuai dengan jenis KLB, misal sanitasi,
entomolog, analis dll

2. Pelaksanaan
a. Penegakan diagnosis
Penegakan diagnosis dilakukan dengan cara menghitung distribusi frekuensi
dari tanda dan gejala yang ditemukan pada kasus dengan membuat daftar
gejala yang ada pada kasus dan menghitung persentasenya. Susunan
berdasarkan pada frekuensi gejala dan tanda penderita kemudian dicocokan
dengan tanda dan gejala klinis penderita penyakit tertentu, sehingga kejadian
ini dapat dikelompokan menjadi kasus atau bukan.

Penentuan laboratorium diperlukan untuk konfirmasi diagnosis dan


menentukan type prganisme penyebab sakit serta pengobatan yang cepat
dan tepat.

b. Penentuan KLB
Penentuan KLB bertujuan menetapkan apakah kejadian tesebut merupakan
KLB atau bukan, dilakukan dengan membandingkan insiden penyakit yang
telah berjalan dengan insiden penyakit dalam keadaan biasa pada populasi
yang berisiko pada tempat dan waktu tertentu.

Hal ini dapat dilakukan dengan melihat pola maksimum dan minimum 5
tahunan atan 3 tahunan, membandingkan penyakit pada minggu.bulan/tahun
sebelumya. Untuk memastikan KLB sebaiknya dilakukan pola analisis secara
komperhensif tidak hanya kasus tetapi termasuk informasi fektor, lingkungan
dan prilaku penduduk.

c. Identifikasi kasus dan paparan


Identifikasi kasus yang paling baik adalah berdasarkan hasil konfirmasi
laboratorium, namun demikian berdasarkan gejala klinis dapat dipakai
sebagai identifikasi kasus di lapangan saat penyidikakan. Identifikasi paparan
dapat ditentukan melalui analisis kurva epidemic sehingga dapat diperkirakan
indeks kasus (siapa yang pertama kali terkena) dan waktu paparan (kapan
penularan itu terjadi).

Informasi yang penting adalah landasan teori tentang cara penularan


penyakit. Identifikasi paparan akan membantu mengidentifikasi penularan
serta membantu mendiagnosa dengan lebih baik.

d. Diskripsi menurut orang, tempat, dan waktu


Dari hasil pengumpulan data penderita kemudian dikelompokan.
Pengelompokan menurut tempat mengambarkan dimana mereka terkena,
yang perlu mengelompokan tidak harus tempat tinggal, bisa sekolah, tempat
kerja, desa atau kota, gunung dan pantai dll.

Pengelompokan berdasarkan orang seperti umur, sex, jenis kelamin, jenis


pekerjaan, perilaku.

e. Merumuskan hipotesis
Setelah di ketahui adanya laporan kemudian diambil hipotesis dengan
merujuk teori yang telah ada.
SURVEILANS

Pengantar

Berdasarkan cara pengumpulan data, sistem surveilans dapat dibagi menjadi:

1. Surveilans aktif

Pada sistem surveilans ini dituntut keaktivan dari petugas surveilans dalam
mengumpulkan data, baik dari masyarakat maupun ke unit-unit pelayanan
kesehatan. Sistem surveilans ini memberikan data yang paling akurat serta sesuai
dengan kondisi waktu saat itu. Namun kekurangannya, sistem ini memerlukan biaya
lebih besar dibandingkan surveilans pasif.

2. Surveilans pasif

Dasar dari sistem surveilans ini adalah pelaporan. Dimana dalam suatu sistem
kesehatan ada, ada sistem pelaporan yang dibangun dari unit pelayanan kesehatan
di masyarakat sampai ke pusat, ke pemegang kebijakan. Pelaporan ini meliputi
pelaporan laporan rutin program serta laporan rutin manajerial yang meliputi logistik,
administrasi dan finansial program (laporan manajerial program).

Pengertian sistem surveilans

Sistem surveilans merupakan kegiatan terus menerus yang meliputi


pengumpulan data, analisis dan interpretasi, dan diseminasi yang digunakan untuk
perencanaan, implementasi, dan evaluasi kebijakan. WHO mendefinisikan surveilans
sebagai suatu kegiatan sistematis berkesinambungan, mulai dari kegiatan
mengumpulkan, menganalisis dan menginterpretasikan data yang untuk selanjutnya
dijadikan landasan yang esensial dalam membuat rencana, implementasi dan evaluasi
suatu kebijakan kesehatan masyarakat. Program pencegahan dan pemberantasan
penyakit akan sangat efektif bila didukung oleh sistem surveilans yang efektif, karena
fungsi sistem surveilans yang utama adalah menyediakan informasi epidemiologis yang
peka terhadap perubahan yang terjadi dalam pelaksanaan pemberantasan penyakit
yang menjadi prioritas pembangunan. Surveilans dapat digunakan untuk menentukan
prioritas, kebijakan, perencanaan, pelaksanaan dan penggerakan sumber daya
program pembangunan kesehatan, serta prediksi dan deteksi dini kejadian luar biasa.
Surveilans juga dapat digunakan untuk monitoring dan evaluasi, sehingga surveilans
menjadi alat dalam mengambil keputusan masalah kesehatan. Selain itu data yang
dihasilkan sistem surveilans dapat digunakan untuk menilai faktor risiko dan juga faktor
kausal dari suatu penyakit, dengan demikian melalui sistem surveilans timbulnya
penyakit baru dapat teridentifikasi.

Komponen sistem surveilans

Kerangka konsep system surveilans-respon yang dikembangkan oleh WHO


adalah sebagai berikut;

Struktur Fungsi
Surveilan Pokok
s Surveilans

Mutu Fungsi
Surveilan Pendukung
s Surveilans

Gambar Kerangka Konsep Sistem Surveilans-respon WHO


Terdapat 4 sub kelompok besar yang berada dalam sistem surveilans, adapun
kelompok tersebut antara lain struktur surveilans, fungsi pendukung surveilans,
fungsi pokok surveilans dan mutu surveilans.

Materi yang dikembangkan dalam kegiatan penyusunan sistem surveilans di dinas


kesehatan Provinsi dan Kabupaten meliputi; pengertian sistem surveilans respons,
perjalanan alamiah penyakit, pembentukan unit pendukung sistem surveilans,
sumber daya untuk unit pendukung surveilans (tenaga fungsional), sistem
penganggaran untuk unit pendukung surveilans, dan peningkatan kemampuan
petugas surveilans dalam penyidikan kejadian luar biasa.

Sasaran sistem surveilans

A. Sasaran Penyelengaraan Sistem Surveilans Respon


Sasaran penyelengaraan sistem surveilans kesehatan meliputi masalah-
masalah yang berkaitan dengan perogram kesehatan yang ditetapkan berdasarkan
prioritas yang ditetapkan secara nasional, bilateral, regional, penyakit potensial
wabah, bencana dan komitmen lintas sektoral (KepMenKes, 2003).

1. Surveilans Penyakit Menular


1. Surveilans Penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi
2. Surveilans AFP
3. Surveilans Penyakit Potensial Wabah dan keracunan
4. Surveilans Penyakit demam berdarah dan demam berdarah dengue.
5. Surveilans Malaria
6. Surveilans Penyakit-penyakit zoonosis, antraks, rabies, leptospirosis.
7. Surveilans Penyakit Filariasis
8. Surveilans Penyakit Tuberkulosis
9. Surveilans penyakit diare, tipus perut, kecacingan dan dan penyakit perut
lainya.
10. Surveilans penyakit kusta
11. Surveilans penyakit frambusia
12. Surveilans penyakit HIV/AIDs
13. Surveilans penyakit menular lainya
14. Surveilans penyakit pneumonia, termasuk penyakit penemonia akut berat.

2. Surveilans Penyakit Tidak Menular


1. Surveilans hipertensi, stroke dan jantung koroner
2. Surveilans diabetes militus
3. Surveilas neoplasma
4. Surveilans penyakit paru obstruksi kronis
5. Surveilans gangguan mental
6. Surveilans kesehatan akibat kecelakaan

3. Surveilans Epidemiologi Kesehatan Lingkugan dan Prilaku


1. Surveilans sarana air bersih
2. Surveilans tempat-tempat umum
3. Surveilans penmukiman dan lingkungan perumahan
4. Surveilans limbah industri, rumah sakit dan kegiatan lainya.
5. Surveilans vektor penyakit
6. Surveilans kesehatan dan keselamatan kerja
7. Surveilans rumah sakit dan sarana pelayanan kesehatan lainya, termasuk
infeksi nosokomial.

4. Surveilans Epidemiologi Masalah Kesehatan


1. Surveilans gizi dan sistem kewaspadaan pangan dan gizi (SKPD)
2. Surveilans gizi mikro kurang zodium, anemia gizi besi, kekurangan vit A.
3. Surveilans gizi lebih
4. Surveilans kesehatan ibu dan anak termasuk reproduksi
5. Surveilans kesehatan lanjut usia
6. Surveilans penyalah gunaan obat, narkotika, psikotropika, zat adiktif dan
bahan berbahaya.
7. Surveilans pengunaan sediaan farmasi, obat, obat tradisional, bahan
kosmetika, serta peralatan.
8. Surveilans kualitas makanan dan bahan tambahan makanan.

5. Surveilans Epidemiologi Kesehatan Matra


1. Surveilans kesehatan haji
2. Surveians kesehatan pelabuhan dan lintas batas perbatasan
3. Surveilans bencana dan masalah sosial
4. Surveilans kesehatan matra laut dan udata
5. Surveilan kejadian luar biasa penyakit dan keracunan
REVIEW DAN LATIHAN SOAL

Kasus 1

Kecamatan A merupakan daerah yang penduduknya sekitar 2500 orang dengan


mempunyai pekerjaan tetap sebagai petani. Kecamatan A terdiri dari 9 desa diwilayah
kerja kecamatan A. Pada suatu waktu di bulan januari beberapa penduduk yang tinggal
di daerah tersebut banyak mengalami gangguan kesehatan yaitu panas tinggi disertai
nyeri sendi.

Pertanyaan

1. Berdasarkan kasus diatas buat perjalanan penularan penyakit dari desa satu ke
desa lainnya.
2. berdasarkan kasus diatas buat indek case untuk setiap desa yang terjangkit.

Kasus 2

Suatu puskesmas kesulitan dalam pelaporan data ke dinas kesehatan karena petugas
puskesmas tidak paham mengenai sistem pelaporan data ke dinas kesehatan. Data
yang dilaporkan ke dinas keshatan meliputi laporan penyakit-penyakit yang
menimbulkan kejadian luarbiasa dan penyakit-penyakit yang wajib lapor.

Pertanyaan

1. sebutkan komponen-komponen dalam sistem surveilans


2. Gambar mekanisme alur pelaporan data dari puskesmas ke dinas kesehatan.

EPIDEMIOLOGI DESKRIPTIF
DALAM PELAYANAN KEBIDANAN
Epidemiologi deskirptiif adalah studi pendekatan epidemiologi yang bertujuan untuk
menggambarkan masalah kesehatan yang terdapat di dalam masyarakat dengan menentukan
frekuensi, distribusi dan determinan penyakit berdsarkan atribut & variabel menurut segitiga
epidemiologi (orang, Tempat, dan Waktu)

Studi Deskriptif disebut juga studi prevalensi atau studi pendahuluan dari studi analitik
ayng dapat dilakukan suatu saat atau suatu periode tertentu. Jika studi ini ditujukan kepada
sekelompok masyarakat tertentu yang mempunyai masalah kesehatan maka disebutlah studi
kasus tetapi jika ditujukan untuk pengamatan secara berkelanjutan maka disebutlah dengan
surveilans serta bila ditujukan untuk menganalisa faktor penyebab atau risiko maupun akibatnya
maka disebut dengan studi potong lintang atau cross sectional

Tujuan epidemiologi deskriptif adalah :

1. Untuk menggambarkan distribusi keadaan masalah kesehatan sehingga dapat diduga kelompok
mana di masyarakat yang paling banyak terserang.

2. Untuk memperkirakan besarnya masalah kesehatan pada berbagai kelompok.

3. Untuk mengidentifikasi dugaan adanya faktor yang mungkin berhubungan terhadap masalah
kesehatan (menjadi dasar suatu formulasi hipotesis).

Kategori berdasarkan unit pengamatan atau analisis epidemiologi deskriptif dibagi 2


yaitu:

 Populasi : Studi Korelasi Populasi, Rangkaian Berkala (time series).


 Individu : Laporan Kasus (case report), Rangkaian Kasus (case series), Studi Potong
Lintang (Cross-sectional).

Adapun Ciri-ciri studi deskriptif sebagai berikut:

1. Bertujuan untukmenggambarkan

2. Tidak terdapat kelompok pembanding

3. Hubungan sebab akibat hanya merupakan suatu perkiraan ataau semacam asumsi

4. Hasil penelitiannya berupa hipotesis

5. Merupakan studi pendahluan untuk studi yang mendalam

Hasil penelitian deskriptif dapat di gunakan untuk:


1. Untuk menyusun perencanaan pelayanan kesehatan

2. Untuk menentukan dan menilai program pemberantasan penyakit yang telah dilaksanakan

3. sebagai bahan untuk mengadakan penelitain lebih lanjut

4. Untuk Membandingkan frekuensi distribusi morbiditas atau mortalitas antara wilayah atau satu
wil dalam waktu yang berbeda.

Konsep yang terpenting juga dalam studi epidemiologi deskriptif adalah bagaimana
menjawab pertanyaan 5W+1H. Hal tersebut mengacu pada variabel-variabel segitiga
epidemiologi terdiri dari orang (person), tempat (place) dan waktu (time).

A. Orang (Person)

Disini akan dibicarakan peranan umur, jenis kelamin, kelas sosial, pekerjaan, golongan
etnik, status perkawinan, besarnya keluarga, struktur keluarga dan paritas.

1. Umur

Umur adalah variabel yang selalu diperhatikan didalam penyelidikan-penyelidikan


epidemiologi. Angka-angka kesakitan maupun kematian didalam hampir semua keadaan
menunjukkan hubungan dengan umur.

Dengan cara ini orang dapat membacanya dengan mudah dan melihat pola kesakitan atau
kematian menurut golongan umur. Persoalan yang dihadapi adalah apakah umur yang dilaporkan
tepat, apakah panjangnya interval didalam pengelompokan cukup untuk tidak menyembunyikan
peranan umur pada pola kesakitan atau kematian dan apakah pengelompokan umur dapat
dibandingkan dengan pengelompokan umur pada penelitian orang lain.

Didalam mendapatkan laporan umur yang tepat pada masyarakat pedesaan yang
kebanyakan masih buta huruf hendaknya memanfaatkan sumber informasi seperti catatan
petugas agama, guru, lurah dan sebagainya. Hal ini tentunya tidak menjadi soal yang berat dikala
mengumpulkan keterangan umur bagi mereka yang telah bersekolah.

1. Jenis Kelamin

Angka-angka dari luar negeri menunjukkan bahwa angka kesakitan lebih tinggi
dikalangan wanita sedangkan angka kematian lebih tinggi dikalangan pria, juga pada semua
golongan umur. Untuk Indonesia masih perlu dipelajari lebih lanjut. Perbedaan angka kematian
ini, dapat disebabkan oleh faktor-faktor intinsik.

Yang pertama diduga meliputi faktor keturunan yang terkait dengan jenis kelamin atau
perbedaan hormonal sedangkan yang kedua diduga oleh karena berperannya faktor-faktor
lingkungan (lebih banyak pria mengisap rokok, minum minuman keras, candu, bekerja berat,
berhadapan dengan pekerjaan-pekerjaan berbahaya, dan seterusnya).

Sebab-sebab adanya angka kesakitan yang lebih tinggi dikalangan wanita, di Amerika
Serikat dihubungkan dengan kemungkinan bahwa wanita lebih bebas untuk mencari perawatan.
Di Indonesia keadaan itu belum diketahui. Terdapat indikasi bahwa kecuali untuk beberapa
penyakit alat kelamin, angka kematian untuk berbagai penyakit lebih tinggi pada kalangan pria.

1. Kelas Sosial

Kelas sosial adalah variabel yang sering pula dilihat hubungannya dengan angka
kesakitan atau kematian, variabel ini menggambarkan tingkat kehidupan seseorang. Kelas sosial
ini ditentukan oleh unsur-unsur seperti pendidikan, pekerjaan, penghasilan dan banyak contoh
ditentukan pula oleh tempat tinggal. Karena hal-hal ini dapat

mempengaruhi berbagai aspek kehidupan termasuk pemeliharaan kesehatan maka tidaklah


mengherankan apabila kita melihat perbedaan-perbedaan dalam angka kesakitan atau kematian
antara berbagai kelas sosial.

Masalah yang dihadapi dilapangan ialah bagaimana mendapatkan indikator tunggal bagi
kelas sosial. Di Inggris, penggolongan kelas sosial ini didasarkan atas dasar jenis pekerjaan
seseorang yakni I (profesional), II (menengah), III (tenaga terampil), IV (tenaga setengah
terampil) dan V (tidak mempunyai keterampilan).

Di Indonesia dewasa ini penggolongan seperti ini sulit oleh karena jenis pekerjaan tidak
memberi jaminan perbedaan dalam penghasilan. Hubungan antara kelas sosial dan angka
kesakitan atau kematian kita dapat mempelajari pula dalam hubungan dengan umur, dan jenis
kelamin.

1. Jenis Pekerjaan

Jenis pekerjaan dapat berperan didalam timbulnya penyakit melalui beberapa jalan yakni
a. Adanya faktor-faktor lingkungan yang langsung dapat menimbulkan kesakitan
seperti bahan-bahan kimia, gas-gas beracun, radiasi, benda-benda fisik yang dapat menimbulkan
kecelakaan dan sebagainya.

b. Situasi pekerjaan yang penuh dengan stress (yang telah dikenal sebagai faktor
yang berperan pada timbulnya hipertensi, ulkus lambung).

c. Ada tidaknya “gerak badan” didalam pekerjaan;

d. Karena berkerumun di satu tempat yang relatif sempit maka dapat terjadi proses
penularan penyakit antara para pekerja.

e. Penyakit karena cacing tambang telah lama diketahui terkait dengan pekerjaan
di tambang.

Penelitian mengenai hubungan jenis pekerjaan dan pola kesakitan banyak dikerjakan di
Indonesia terutama pola penyakit kronis misalnya penyakit jantung, tekanan darah tinggi, dan
kanker.Jenis pekerjaan apa saja yang hendak dipelajari hubungannya dengan suatu penyakit
dapat pula memperhitungkan pengaruh variabel umur dan jenis kelamin.

1. Penghasilan

Yang sering dilakukan ialah menilai hubungan antara tingkat penghasilan dengan
pemanfaatan pelayanan kesehatan maupun pencegahan. Seseorang kurang memanfaatkan
pelayanan kesehatan yang ada mungkin oleh karena tidak mempunyai cukup uang untuk
membeli obat, membayar transport, dan sebagainya.

1. Golongan Etnik

Berbagai golongan etnik dapat berbeda didalam kebiasaan makan, susunan genetika, gaya
hidup dan sebagainya yang dapat mengakibatkan perbedaan-perbedaan didalam angka kesakitan
atau kematian.

Didalam mempertimbangkan angka kesakitan atau kematian suatu penyakit antar


golongan etnik hendaknya diingat kedua golongan itu harus distandarisasi menurut susunan
umur dan kelamin ataupun faktor-faktor lain yang dianggap mempengaruhi angka kesakitan dan
kematian itu.

.
1. Status Perkawinan

Dari penelitian telah ditunjukkan bahwa terdapat hubungan antara angka kesakitan
maupun kematian dengan status kawin, tidak kawin, cerai dan janda; angka kematian karena
penyakit-penyakit tertentu maupun kematian karena semua sebab makin meninggi dalam urutan
tertentu.

Diduga bahwa sebab-sebab angka kematian lebih tinggi pada yang tidak kawin
dibandingkan dengan yang kawin ialah karena ada kecenderungan orang-orang yang tidak kawin
kurang sehat. Kecenderungan bagi orang-orang yang tidak kawin lebih sering berhadapan
dengan penyakit, atau karena adanya perbedaan-perbedaan dalam gaya hidup yang berhubungan
secara kausal dengan penyebab penyakit-penyakit tertentu.

1. Besarnya Keluarga

Didalam keluarga besar dan miskin, anak-anak dapat menderita oleh karena penghasilan
keluarga harus digunakan oleh banyak orang.

1. Struktur Keluarga

Struktur keluarga dapat mempunyai pengaruh terhadap kesakitan (seperti penyakit


menular dan gangguan gizi) dan pemanfaatan pelayanan kesehatan. Suatu keluarga besar karena
besarnya tanggungan secara relatif mungkin harus tinggal berdesak-desakan didalam rumah yang
luasnya terbatas hingga memudahkan penularan penyakit menular di kalangan anggota-
anggotanya; karena persediaan harus digunakan untuk anggota keluarga yang besar maka
mungkin pula tidak dapat membeli cukup makanan yang bernilai gizi cukup atau tidak dapat
memanfaatkan fasilitas kesehatan yang tersedia dan sebagainya.

1. Paritas

Tingkat paritas telah menarik perhatian para peneliti dalam hubungan kesehatan si ibu
maupun anak. Dikatakan umpamanya bahwa terdapat kecenderungan kesehatan ibu yang
berparitas rendah lebih baik dari yang berparitas tinggi, terdapat asosiasi antara tingkat paritas
dan penyakit-penyakit tertentu seperti asma bronchiale, ulkus peptikum, pilorik stenosis dan
seterusnya. Tapi kesemuanya masih memerlukan penelitian lebih lanjut.

A. Tempat (Place)
Pengetahuan mengenai distribusi geografis dari suatu penyakit berguna untuk
perencanaan pelayanan kesehatan dan dapat memberikan penjelasan mengenai etiologi penyakit.

Perbandingan pola penyakit sering dilakukan antara :

1. Batas daerah-daerah pemerintahan

2. Kota dan pedesaan

3. Daerah atau tempat berdasarkan batas-batas alam (pegunungan, sungai, laut


atau padang pasir)

4. Negara-negara

5. Regional

Untuk kepentingan mendapatkan pengertian tentang etiologi penyakit, perbandingan


menurut batas-batas alam lebih berguna daripada batas-batas administrasi pemerintahan.

Hal-hal yang memberikan kekhususan pola penyakit di suatu daerah dengan batas-batas
alam ialah : keadaan lingkungan yang khusus seperti temperatur, kelembaban, turun hujan,
ketinggian diatas permukaan laut, keadaan tanah, sumber air, derajat isolasi terhadap pengaruh
luar yang tergambar dalam tingkat kemajuan ekonomi, pendidikan, industri, pelayanan
kesehatan, bertahannya tradisi-tradisi yang merupakan hambatan-hambatan pembangunan,
faktor-faktor sosial budaya yang tidak menguntungkan kesehatan atau pengembangan kesehatan,
sifat-sifat lingkungan biologis (ada tidaknya vektor penyakit menular tertentu, reservoir penyakit
menular tertentu, dan susunan genetika), dan sebagainya.

Pentingnya peranan tempat didalam mempelajari etiologi suatu penyakit menular dapat
digambar dengan jelas pada penyelidikan suatu wabah, yang akan diuraikan nanti.

Didalam membicarakan perbedaan pola penyakit antara kota dan pedesaan, faktor-faktor
yang baru saja disebutkan diatas perlu pula diperhatikan. Hal lain yang perlu diperhatikan
selanjutnya ialah akibat migrasi ke kota atau ke desa terhadap pola penyakit, di kota maupun di
desa itu sendiri.

Migrasi antar desa tentunya dapat pula membawa akibat terhadap pola dan penyebaran
penyakit menular di desa-desa yang bersangkutan maupun desa-desa di sekitarnya.
Peranan migrasi atau mobilitas geografis didalam mengubah pola penyakit di berbagai
daerah menjadi lebih penting dengan makin lancarnya perhubungan darat, udara dan laut;
lihatlah umpamanya penyakit demam berdarah.

Pentingnya pengetahuan mengenai tempat dalam mempelajari etiologi suatu penyakit


dapat digambarkan dengan jelas pada penyelidikan suatu wabah dan pada menyelidikan-
penyelidikan mengenai kaum migran. Didalam memperbandingkan angka kesakitan atau angka
kematian antar daerah (tempat) perlu diperhatikan terlebih dahulu di tiap-tiap daerah (tempat) :

1. Susunan umur

2. Susunan kelamin

3. Kualitas data

4. Derajat representatif dari data terhadap seluruh penduduk.

Walaupun telah dilakukan standarisasi berdasarkan umur dan jenis kelamin,


memperbandingkan pola penyakit antar daerah di Indonesia dengan menggunakan data yang
berasal dari fasilitas-fasilitas kesehatan, harus dilaksanakan dengan hati-hati, sebab data tersebut
belum tentu representatif dan baik kualitasnya.

Variasi geografis pada terjadinya beberapa penyakit atau keadaan lain mungkin
berhubungan dengan 1 atau lebih dari beberapa faktor sebagai berikut :

1. Lingkungan fisis, kemis, biologis, sosial dan ekonomi yang berbeda-beda dari
suatu tempat ke tempat lainnya.

2. Konstitusi genetis atau etnis dari penduduk yang berbeda, bervariasi seperti
karakteristik demografi.

3. Variasi kultural terjadi dalam kebiasaan, pekerjaan, keluarga, praktek higiene


perorangan dan bahkan persepsi tentang sakit atau sehat.

4. Variasi administrasi termasuk faktor-faktor seperti tersedianya dan efisiensi


pelayanan medis, program higiene (sanitasi) dan lain-lain.

Banyaknya penyakit hanya berpengaruh pada daerah tertentu. Misalnya penyakit demam
kuning, kebanyakan terdapat di Amerika Latin. Distribusinya disebabkan oleh adanya
“reservoir” infeksi (manusia atau kera), vektor (yaitu Aedes aegypty), penduduk yang rentan dan
keadaan iklim yang memungkinkan suburnya agen penyebab penyakit. Daerah dimana vektor
dan persyaratan iklim ditemukan tetapi tidak ada sumber infeksi disebut “receptive area” untuk
demam kuning.

A. Waktu (Time)

Mempelajari hubungan antara waktu dan penyakit merupakan kebutuhan dasar didalam
analisis epidemiologis, oleh karena perubahan-perubahan penyakit menurut waktu menunjukkan
adanya perubahan faktor-faktor etiologis. Melihat panjangnya waktu dimana terjadi perubahan
angka kesakitan, maka dibedakan :

1. Fluktuasi jangka pendek dimana perubahan angka kesakitan berlangsung


beberapa jam, hari, minggu dan bulan.

2. Perubahan-perubahan secara siklus dimana perubahan-perubahan angka


kesakitan terjadi secara berulang-ulang dengan antara beberapa hari, beberapa
bulan (musiman), tahunan, beberapa tahun.

3. Perubahan-perubahan angka kesakitan yang berlangsung dalam periode waktu


yang panjang, bertahun-tahun atau berpuluh tahun yang disebut “secular trends”.

1. Fluktuasi Jangka Pendek

Pola perubahan kesakitan ini terlihat pada epidemi umpamanya epidemi keracunan
makanan (beberapa jam), epidemi influensa (beberapa hari atau minggu), epidemi cacar
(beberapa bulan).

Fluktuasi jangka pendek atau epidemi ini memberikan petunjuk bahwa :


1. Penderita-penderita terserang penyakit yang sama dalam waktu bersamaan atau
hampir bersamaan.

2. Waktu inkubasi rata-rata pendek.

1. Perubahan-Perubahan Secara Siklus

Perubahan secara siklus ini didapatkan pada keadaan dimana timbulnya dan
memuncaknya angka-angka kesakitan atau kematian terjadi berulang-ulang tiap beberapa bulan,
tiap tahun, atau tiap beberapa tahun. Peristiwa semacam ini dapat terjadi baik pada penyakit
infeksi maupun pada penyakit bukan infeksi.
Timbulnya atau memuncaknya angka kesakitan atau kematian suatu penyakit yang
ditularkan melalui vektor secara siklus ini adalah berhubungan dengan :
1. Ada tidaknya keadaan yang memungkinkan transmisi penyakit oleh vektor yang
bersangkutan, yakni apakah temperatur atau kelembaban memungkinkan
transmisi.

2. Adanya tempat perkembangbiakan alami dari vektor sedemikian banyak untuk


menjamin adanya kepadatan vektor yang perlu dalam transmisi.

3. Selalu adanya kerentanan

4. Adanya kegiatan-kegiatan berkala dari orang-orang yang rentan yang


menyebabkan mereka terserang oleh “vektor bornedisease” tertentu.

5. Tetapnya kemampuan agen infektif untuk menimbulkan penyakit.

6. Adanya faktor-faktor lain yang belum diketahui. Hilangnya atau berubahnya


siklus berarti adanya perubahan dari salah satu atau lebih hal-hal tersebut diatas.

Penjelasan mengenai timbulnya atau memuncaknya penyakit menular yang berdasarkan


pengetahuan yang kita kenal sebagai bukan vektor borne secara siklus masih jauh lebih kurang
dibandingkan dengan vektor borne diseases yang telah kita kenal.

Sebagai salah satu sebab yang disebutkan ialah berkurangnya penduduk yang kebal
(meningkatnya kerentanan) dengan asumsi faktor-faktor lain tetap. Banyak penyakit-penyakit
yang belum diketahui etiologinya menunjukkan variasi angka kesakitan secara musiman.

Tentunya observasi ini dapat membantu didalam memulai dicarinya etiologi penyakit-
penyakit tersebut dengan catatan-catatan bahwa interpretasinya sulit karena banyak keadaan
yang berperan terhadap timbulnya penyakit juga ikut berubah pada perubahan musim, perubahan
populasi hewan, perubahan tumbuh-tumbuhan yang berperan tempat perkembangbiakan,
perubahan dalam susunan reservoir penyakit, perubahan dalam berbagai aspek perilaku manusia
seperti yang menyangkut pekerjaan, makanan, rekreasi dan sebagainya.

Sebab-sebab timbulnya atau memuncaknya beberapa penyakit karena gangguan gizi


secara bermusim belum dapat diterangkan secara jelas.

Variasi musiman ini telah dihubung-hubungkan dengan perubahan secara musiman dari
produksi, distribusi dan konsumsi dari bahan-bahan makanan yang mengandung bahan yang
dibutuhkan untuk pemeliharaan gizi maupun keadaan kesehatan individu-individu terutama
dalam hubungan dengan penyakit-penyakit infeksi dan sebagainya.
EPIDEMIOLOGI DALAM LAYANAN KEBIDANAN

PENGERTIAN TUJUAN DAN MANFAAT

PENGERTIAN
Epidemiologi dalam layanan kebidanan mengkaji distribusi serta determinan peristiwa
morbiditas dan mortalitas yang terjadi dalam layanan kebidanan.

TujuanEpidemiologi kebidanan adalah mengenali faktor-faktor resiko terhadap ibu


selama peroide kehamilan ,persalinan dan masa nifas(42 hari setelah berakhirnya kehamilan
beserta hasil konsepsinya dan mempelajari cara-cara pencegahannya.
Indikator terpenting bagi kesehatan ibu hamil adalah angka kematiann ibu (AKI,Maternal
Mortality Rate) sedangkan indikator utama bagi hasil konsepsi pada kehamilan ialah angka
kematian perinatal.Kematia ibu/Maternal ialah kematian yang terjadi pada ibu karena kehamilan
persalinan dan masa nifas,sedangkan angka kematian ibu dihitung berdasarkan Jumlah kematian
ibu  disuatu wilayah tertentu selama 1th per 100000 ribu kelahiran hidup.Kematian perinatal
adalah jumlah lahir mati dan bayi yang mati dalam minggu pertama kehidupan.sedangkan angka
kematian perinatal adalah jumlah kematian bayi disuatu wilayah tertentu dalam 1 th per 1000
kelahiran hidup.
Penyebab kematian ibu yang utama karena perdarahan infeksi dan keracunan
kehamilan.Untuk kematian perinatal selain faktor usia ibu sebagai penyebab urutan kelahiran
anak juga berpengaruh dimana didapatkan kematian pada kelahiran pertama lebih tinggi
dibanding dengan urutan kelahiran yang kedua.

Terjadinya Masalah kesehatan dalam pelayanan kebidanan

Dengan menggunakan paradigma epidemiologi klasik yang menganggap terjadinya


penyakit /masalah kesehatan sebagai hasil akhir interaksi antara penjamu,agent dan lingkungan.
Dalam pelayanan kebidanan yang dimaksud dengan :
penjamu adalahibu hamil
Agent adalah hasil konsepsi yaitu janin/fetus yang ada dalam kandungan ibu hamil.
Lingkungan adalah lingkungan sosial budaya serta pelayanan kesehatan yang diterima
oleh ibu hamil.Apabila dalam penyakit /masalah kesehatan agent adalah suatu faktor yang harus
diupayakan untuk dieliminasi,tapi dalam layanan kebidanan hasil konsepsi adalah sesuatu yang
harus dilindungi,agar tidak menimbulkan masalah kesehatan.

Faktor-Faktor Resiko Dalam Pelayanan Kebidanan

Faktor-faktor resiko bagi kematian ibu dikelompokkan menjadi 4 kategori :


1.Faktor –faktor reproduksi
a.    Usia
b.     Paritas
c.                  Kehamilan yang tak diinginkan
2.Faktor-faktor komplikasi kehamilan
a.                Perdarahan pada abortus spontan
b.                 Kehamilan ektopik
c.                  Perdarahan pada trimester III kehamilan
d.                 Infeksi nifas
e.                 Gestosis
f.                  Distosia
g.                 Abortus profokatus
3.Faktor pelayanan kesehatan
a)                  Kesukaran untuk mendapat pelayanan medis
b)                  Asuhan medis yang kurang baik
c)                  Kekurangan tenaga terlatih dan obat-obat esensial
4.Faktor sosia budaya
1.                  kemiskinan dan ketidakmampuan membayar pelayanan yang baik

2.                  ketidak tahuan dan kebodohan


3.                  kesulitan transportasi
4.                  status wanita yang rendah
5.                  pantangan makanan tertentu pada wanita hamil

Untuk menangani masalah kesehatan ibu Depkes dengan bantuan WHO,UNICEF dan
UNDP sejak th1990-1991 telah melaksanakan program safe motherhood,Upaya intervensi dalam
program tersebut dinamakan 4 pilar Safe motherhood adalah :
1.                  Keluarga berencana
2.                  Pelayanan ANC
3.                  Persalinan yang aman
4.                  Pelayanan kebidanan esensiall

Anda mungkin juga menyukai