6. Bencana alam/pengungsian
Gempa bumi, tanah longsor, gunung meletus, atau banjir yang sering terjadi di Indonesia
mengakibatkan penduduk mengungsi yang tentunya menambah banyak permasalahan
kesehatan lingkungan.
7. Perencanaan tata kota dan kebijakan pemerintah
Perencanaan tata kota dan kebijakan pemerintah seringkali menimbulkan masalah baru bagi
kesehatan lingkungan. Contoh, pemberian izin tempat permukinan, gedung atau tempat
industri baru tanpa didahului dengan studi kelayakan yang berwawasan lingkungan dapat
menyebabkan terjadinya banjir, pencemaran udara, air, dan tanah serta masalah sosial lain.
Referensi
Pengantar Kesehatan Lingkunagan
Artikel Terkait:
Mencegah dan Mengendalikan Dampak Konsumsi Tembakau
Melalui Siklus Kebijakan yang Berbassis Evidens Epidemiologi dan Edukasi Publik
Saran
d. Artikel :
Tidak terpenuhinya kebutuhan ber-KB, biasanya terkait dengan isu aborsi tidak aman;
Mortalitas dan morbiditas ibu dan anak (sebagai kesatuan) selama kehamilan, persalian
dan masa nifas, yang diikuti dengan malnutrisi, anemia, berat bayi lahir rendah;
Kemandulan, yang berkaitan erat dengan infeksi saluran reproduksi dan penyakit menular
seksual;
Sindrom pre dan post menopause dan peningkatan resiko kanker organ reproduksi;
c. Faktor psikologis (dampak pada keretakan orang tua pada remaja, depresi karena
ketidakseimbangan hormonal, rasa tidak berharga wanita terhadap pria yang membeli
kebebasannya secara materi, dsb);
d. Faktor biologis (cacat sejak lahir, cacat pada saluran reproduksi pasca penyakit menular
seksual, dsb).
Pengaruh dari semua faktor diatas dapat dikurangi dengan strategi intervensi yang tepat
guna, terfokus pada penerapan hak reproduksi wanita dan pria dengan dukungan disemua tingkat
administrasi, sehingga dapat diintegrasikan kedalam berbagai program kesehatan, pendidikan,
sosial dam pelayanan non kesehatan lain yang terkait dalam pencegahan dan penanggulangan
masalah kesehatan reproduksi.
PENDAHULUAN
Kesehatan reproduksi adalah kesejahteraan fisik, mental dan sosial yang utuh dan bukan hanya
tidak adanya penyakit atau kelemahan, dalam segala hal yang berhubungan dengan sistem
reproduksi dan fungsi-fungsinya serta prosesprosesnya. Oleh karena itu, kesehatan reproduksi
berarti orang dapat mempunyai kehidupan seks yang memuaskan dan aman, dan bahwa mereka
memiliki kemapuan untuk bereproduksi dan kebebasan untuk menentukan apakah mereka ingin
melakukannya, bilamana dan seberapa seringkah. Termasuk terakhir ini adalah hak pria dan
wanita untuk memperoleh informasi dan mempunyai akses terhadap cara - cara keluarga
berencana yang aman, efektif dan terjangkau, pengaturan fertilitas yang tidak melawan hukum,
hak memperoleh pelayanan pemeliharaan kesehatan yang memungkinkan para wanita dengan
selamat menjalani kehamilan dan melahirkan anak, dan memberikan kesempatan untuk memiliki
bayi yang sehat.
Sejalan dengan itu pemeliharaan kesehatan reproduksi merupakan suatu kumpulan metode,
teknik dan pelayanan yang mendukung kesehatan dan kesejahteraan reproduksi melalui
pencegahan dan penyelesaian masalah kesehatan reproduksi. Ini juga mencakup kesehatan
seksual, yang bertujuan meningkatkan status kehidupan dan hubungan-hubungan perorangan,
dan bukan semata-mata konseling dan perawatan yang bertalian dengan reproduksi dan penyakit
yang ditularkan melalui hubungan seks.
Defenisi
Kesehatan reproduksi menurut WHO adalah kesejahteraan fisik, mental dan sosial yang utuh
bukan hanya bebas dari penyakit atau kecatatan, dalam segala aspek yang berhubungan dengan
sistem reproduksi, fungsi serta prosesnya. Reproductive health is a state of complete physical,
mental and social welling and not merely the absence of disease or infirmity, in all matters
relating to reproductive system and to its funtctions processes (WHO) Agar dapat melaksanakan
fungsi reproduksi secara sehat, dalam pengertian fisik, mental maupun sosial, diperlukan
beberapa prasyarat :
1. agar tidak ada kelainan anatomis dan fisiologis baik pada perempuan maupun laki-laki. Antara
lain seorang perempuan harus memiliki rongga pinggul yang cukup besar untuk mempermudah
kelahiran bayinya kelak. Ia juga harus memiliki kelenjar-kelenjar penghasil hormon yang mampu
memproduksi hormon-horman yang diperlukan untuk memfasilitasi pertumbuhan fisik dan
fungsi sistem dan organ reproduksinya. Perkembangan-perkembangan tersebut sudah
berlangsung sejak usia yang sangat muda. Tulang pinggul berkembang sejak anak belum
menginjak remaja dan berhenti ketika anak itu mencapai usia 18 tahun. Agar semua
pertumbuhan itu berlangsung dengan baik, ia memerlukan makanan dengan mutu gizi yang baik
dan seimbang. Hal ini juga berlaku bagi laki-laki. Seorang lakilaki memerlukan gizi yang baik
agar dapat berkembang menjadi laki-laki dewasa yang sehat.
2. baik laki-laki maupun perempuan memerlukan landasan psikis yang memadai agar
perkembangan emosinya berlangsung dengan baik. Hal ini harus dimulai sejak sejak anak-anak,
bahkan sejak bayi.
3. setiap orang hendaknya terbebas dari kelainan atau penyakit yang baik langsung maupun tidak
langsung mengenai organ reproduksinya. Setiap kelainan atau penyakit pada organ reproduksi,
akan dapat pula menggangu kemampuan seseorang dalam menjalankan tugas reproduksinya.
Termasuk disini adalah penyakit yang ditularkan melalui hubungan seksual.
Isu-isu yang berkaitan dengan kesehatan reproduksi kadang merupakan isu yang pelik dan
sensitif, seperti hak-hak reproduksi, kesehatan seksual, penyakit menular seksual (PMS)
termasuk HIV/AIDS, kebutuhan khusus remaja, dan perluasan jangkauan pelayanan kelapisan
masyarakat kurang manpu atau meraka yang tersisih. Karena proses reproduksi nyatanya terjadi
terjadi melalui hubungan seksual, defenisi kesehatan reproduksi mencakup kesehatan seksual
yang mengarah pada peningkatan kualitas hidup dan hubungan antar individu, jadi bukan hanya
konseling dan pelayanan untuk proses reproduksi dan PMS. Dalam wawasan pengembagan
kemanusiaan. Merumuskan pelayanan kesehatan reproduksi yang sangat penting mengingat
dampaknya juga terasa pada kualitas hidup generasi berikutnya. Sejauh mana seseorang
dapatmenjalankan fungsi dan proses reproduksinya secara aman dan sehat sesungguhnya
tercermin dari kondisi kesehatan selama siklus kehidupannya, mulai dari saat konsepsi, masa
anak, remaja, dewasa, hingga masa pasca usia reproduksi.
Secara garis besar dapat dikelompokkan empat golongan faktor yang dapat berdampak buruk
bagi keseshatan reproduksi:
a. Faktor sosial-ekonomi dan demografi (terutama kemiskinan, tingkat pendidikan yang rendah
dan ketidaktahuan tentang perkembangan seksual dan proses reproduksi, serta lokasi tempat
tinggal yang terpencil).
b. Faktor budaya dan lingkungan (misalnya, praktek tradisional yang berdampak buruk pada
kesehatan reproduksi, kepercayaan banyak anak banyak rejeki, informasi tentang fungsi
reproduksi yang membingungkan anak dan remaja karena saling berlawanan satu dengan yang
lain, dsb).
c. Faktor psikologis (dampak pada keretakan orang tua pada remaja, depresi karena
ketidakseimbangan hormonal, rasa tidak berharga wanita terhadap pria yang membeli
kebebasannya secara materi, dsb).
d. Faktor biologis (cacat sejak lahir, cacat pada saluran reproduksi pasca penyakit menular
seksual, dsb). Pengaruh dari semua faktor diatas dapat dikurangi dengan strategi intervensi yang
tepat guna, terfokus pada penerapan hak reproduksi wanita dan pria dengan dukungan disemua
tingkat administrasi, sehingga dapat diintegrasikan kedalam berbagai program kesehatan,
pendidikan, sosial dam pelayanan non kesehatan lain yang terkait dalam pencegahan dan
penanggulangan masalah kesehatan reproduksi.
Tujuan Utama
Sehubungan dengan fakta bahwa fungsi dan proses reproduksi harus didahului oleh hubungan
seksual, tujuan utama program kesehatan reproduksi adalah meningkatkan ksesadaran
kemandiriaan wanita dalam mengatur fungsi dan proses reproduksinya, termasuk kehidupan
seksualitasnya, sehingga hak-hak reproduksinya dapat terpenuhi, yang pada akhirnya menuju
penimgkatan kualitas hidupnya.
Tujuan Khusus
Dari tujuan umum tersebut dapat dijabarkan empat tujuan khusus yaitu :
2. meningkatnya hak dan tanggung jawab sosial wanita dalam menentukan kapan hamil, jumlah
dan jarak kehamilan.
3. meningkatnya peran dan tanggung jawab sosial pria terhadap akibat dari perilaku seksual dan
fertilitasnya kepada kesehatan dan kesejahteraan pasangan dan anak-anaknya.
4. dukungan yang menunjang wanita untuk menbuat keputusan yang berkaitan dengan proses
reproduksi, berupa pengadaan informasi dan pelayanan yang dapat memenuhi kebutuhan untuk
mencapai kesehatan reproduksi secara optimal.
Sasaran
Indonesia menyetujui ke -tujuh sasaran reproduksi WHO untuk masa 1993- 2001, karena masih
dalam jangkauan sasaran Repelita VI, yaitu:
1. Penurunan 33% angka prevalensi anemia pada wanita (usia 15-49 tahun)
2. Penurunan angka kematian ibu hingga 59%;semua wanita hamil mendapatkan akses pelayanan
prenatal, persalinan oleh tenaga terlatih dan kasus kehamilan resiko tinggi serta
kegawatdaruratan kebidanan, dirujuk kekapasilitas kesehatan.
3. peningkatan jumlah wanita yang bebas dari kecacatan/gangguan sepanjang hidupnya sebesar
15% diseluruh lapisan masyarakat.
4. Penurunan proporsi bayi berat lahir rendah (<2,5kg) menjadi kurang dari 10 %.
5. Pemberantasan tetanus neonatarum (angka insiden diharapkan kurang dari satu kasus per 1000
kelahiran hidup) disemua kabupaten.
6. Semua individu dan pasangan mendapatkan akses informasi dan pelayanan pencegahan
kehamilan yang terlalu dini, terlalu dekat jaraknya, terlalu tua, dan telalu banyak.
7. Proporsi yang memanfaatkan pelayanan kesehatan dan pemeriksaan dan pengobatan PMS
minimal mencapai 70% (WHO/SEARO,1995).
Sesuai dengan rekomendasi strategi regional WHO untuk negara-negara anggota di Asia
Tenggara, dua peket pelayanan kesehatan reproduksi telah dirumuskan oleh wakil-wakil sektor
dan inter-program dalam beberapa pertemuan koordinasi pralokakarya nasional di Jakarta. Lima
kelompok kerja telah sepakat untuk melaksankan pelayanan dasar berikut sebagai strategi
intervensi nasional penanggulangan masalah kesehatan reproduksi di Indonesia.
Dengan kedua paket intervensi diatas, komponen intervensi pada kesehatan reproduksi di
Indonesia menjadi lengkap, seperti terlihat dalam diagram berikut:
2. Keluarga Berencana
Pencegahan dan penanganan masalah usia lanjut, selain paket esensial diatas.
Keterangan :
** Paket pelayanan Kesehatan Reproduksi Komprehensif (Paket PKRK) PKRE terdiri dari:
2. Keluarga Berencana
PKRE+ Pelayanan dan Penanganan Masalah Usila Strategi kesehatan reproduksi menurut
komponen pelayaanan kesehatan reproduksi komprehensif dapat diuraikan sebagai berikut:
Peristiwa kehamilan, persalinan dan masa nifas merupakan kurun kehidupan wanita yang paling
tinggi resikonya karena dapat membawa kematian, dan makna kematian seorang ibu bukan
hanya satu anggota keluarga tetapi hilangnya kehidupan sebuah keluarga. Peran ibu sebagai
wakil pimpinan rumah tangga sulit digantikan. Untuk mengurangi terjadinya kematian ibu
karena kehamilan dan persalinan, harus dilakukaun pemantauan sejak dini agar dapat mengambil
tindakan yang cepat dan tepat sebelum berlanjut pada keadaan kebidanan darurat. Upaya
intervensi dapat berupa pelayanan ante natal, pelayanan persalinan/partus dan pelayanan
postnatal atau masa nifas. Informasi yang akurat perlu diberikan atas ketidaktahuan bahwa
hubungan seks yang dilakukan, akan mengakibatkan kehamilan, dan bahwa tanpa menggunakan
kotrasepsi kehamilan yang tidak diinginkan bisa terjadi. Dengan demikian tidak perlu dilakukan
pengguguran yang dapat mengancam jiwa.
Promosi KB dapat ditujukan pada upaya peningkatan kesejahteraan ibu sekaligus kesejahteraan
keluarga. Calon suami-istri agar merencanakan hidup berkeluarga atas dasar cinta kasih, serta
pertimbangan rasional tentang masa depan yang baik bagi kehidupan suami istri dan anak-anak
mereka serta masyarakat. Keluarga berencana bukan hanya sebagai upaya/strategi kependudukan
dalam menekan pertumbuhan penduduk agar sesuai dengan daya dukung lingkungan tetapi juga
merupakan strategi bidang kesehatan dalam upaya peningkatan kesehatan ibu melalui pengaturan
jarak dan jumlah kelahiran. Pelayanan yang berkualitas juga perlu ditingkatkan dengan lebih
memperhatikan pandangan klien atau pengguna pelayanan.
3. Komponen Pencegahan dan Penanganan Infeksi Saluran Reproduksi (ISR), termasuk Penyakit
Menular Seksual dan HIV/AIDS
Pencegahan dan penanganan infeksi ditujukan pada penyakit dan gangguan yang berdampak
pada saluran reproduksi. Baik yang disebabkan penyakit infeksi yang non PMS. Seperti
Tuberculosis, Malaria, Filariasis, dsb; maupun penyakit infeksi yang tergolong PMS (penyalit
menular seksual), seperti gonorrhoea, sifilis, herpes genital, chlamydia, dsb; ataupun kondisi
infeksi yang berakibat infeksi rongga panggul (pelvic inflammatory diseases/ PID) seperti alat
kontrasepsi dalam rahim (AKDR), yang dapat berakibat seumur hidup pada wanita maupun pria,
misalnya kemandulan, hal mana akan menurunkan kualitas hidupnya. Salah satu yang juga
sangat mendesak saat ini adalah upaya pencegahan PMS yang fatal yaitu infeksi virus HIV
(Human Immunodeficiency Virus).
Upaya promosi dan pencegahan masalah kesehatan reproduksi juga perlu diarahkan pada masa
remaja, dimana terjadi peralihan dari masa anak menjadi dewasa, dan perubahan-perubahan dari
bentuk dan fungsi tubuh terjadi dalam waktu relatif cepat. Hal ini ditandai dengan
berkembangnya tanda seks sekunder dan berkembangnya jasmani secara pesat, menyebabkan
remaja secara fisik mampu melakukan fungsi proses reproduksi tetapi belum dapat
mempertanggungjawabkan akibat dari proses reproduksi tersebut. Informasi dan penyuluhan,
konseling dan pelayanan klinis perlu ditingkatkan untuk mengatasi masalah kesehatan reproduksi
remaja ini.
b. Paket pelayanan kesehatan reproduksi yang berkualitas yang menjawab kebutuhan wanita
maupun pria.
g. Informasi secara menyeluruh termasuk dampak terhadap otot dan tulang, libido, dan perlunya
skrining keganasan (kanker) organ reproduksi. Pengukuran perubahan-perubahan yang positif
terhadap hasil akhir diatas akan menunjukkan kemajuan pencapaian tujuan akhir; pelayanan
kesehatan dasar yang menjawab kebutuhan kesehatan reproduksi individu, suami-istri dan
keluarga, hal mana menjadi dasar yang kokoh untuk mengatasi kesehatan reproduksi yang
dihadapi seseorang dalam kurun siklus reproduksinya.
PENUTUP
Persoalan kesehatan reproduksi bukan hanya mencakup persoalan kesehatan reproduksi wanita
secara sempit dengan mengaitkannya pada masalah seputar perempuan usia subur yang telah
menikah, kehamilan dan persalinan, pendekatan baru dalam program kependudukan memperluas
pemahaman persoalan kesehatan reproduksi. Dimana seluruh tingkatan hidup perempuan
merupakan fokus persoalan kesehatan reproduksi.
Secara tematik, ada lima kelompok masalah yang diperhatikan dalam kesehatan reproduksi, yaitu
kesehatan reproduksi itu sendiri, keluarga berencana, PMS dan pencegahan HIV/AIDS,
seksualitas hubungan manusia dan hubungan gender, dan remaja. Secara lebih spesifik, berbagai
masalah dalam kesehatan reproduksi adalah perawatan kehamilan, pertolongan persalinann,
infertilitas, menopause, penggunann kontrasepsi, kehamilan tidak dikehendaki dan aborsi baik
pada remaja maupun pasangan yang telah menikah, PMS dan HIV/AIDS (berkaitan dengan
prostitusi, homoseksualitas, gaya hidup dan praktek tradisional), pelecehan dan kekerasan pada
perempuan, pekosaan, dan layanan dan informasi pada remaja.
Berfungsinya sistem reproduksi wanita dipengaruhi oleh aspek-aspek dan proses-proses yang
terkait pada setiap tahap dalam lingkungan hidup. Masa kanak-kanak, remaja pra -nikah,
reprodukstif baik menikah maupun lajang, dan menopause akan dilalui oleh setiap perempuan,
dan pada masa- masa tersebut akan terjadi perubahan dalam sistem reproduksi. Pada saat yang
bersamaan dimungkinkan adanya faktor-faktor non klinis yang menyertai perubahan itu, seperti
faktor sosial, faktor budaya dan faktor politik yang berkaitan dengan kebijakan pemerintah.
Berperannya berbagai faktor dalam kesehatan reproduksi ini selanjutnya menberikan
pemahaman akan keterlibatan subjek atau pelaku, diluar kelompok perempuan itu sendiri.
Salah satu subjek terdekat dan langsung berkaitan dengan masalah reproduksi perempuan adalah
kelompok laki-laki. Laki-laki dalam hal ini berperan penting sesuai dengan statusnya terhadap
perempuan, baik sebagai suami, saudara, ayah, teman, atasan maupun critical person dalam
penentuan kebijakan.
DASAR E P I D E M I O L O G I
1. Pengertian
2. Definisi
a. W.H. Welch
c. Last
Studi tentang distribusi dan determinan tentang keadaan atau kejadian yang
berkaitan dengan kesehatan pada populasi tertentu dan aplikasi studi untuk
menanggulangi masalah kesehatan.
Epidemiologi adalah sebagai cabang ilmu yang mempelajari penyebaran penyakit dan
faktor-faktor yang menentukan terjadinya penyakit pada manusia.
e. Omran
f. W.H. Frost
Epidemiologi adalah suatu ilmu yang mempelajari timbulnya, distribusi, dan jenis
penyakit pada manusia menurut waktu dan tempat.
g. Azrul Azwar
Dengan demikian dapat ditarik kesimpulan bahwa ada 3 komponen penting yang ada
dalam epidemiologi, sebagai berikut :
3. Peranan
c. Membantu melakukan evaluasi terhadap program kesehatan yang sedang atau telah
dilakukan.
4. Ruang lingkup
Tahap ini telah terjadi interaksi antara penjamu dengan bibit penyakit, tetapi
interaksi ini terjadi di luar tubuh manusia, dalam arti bibit penyakit berada di luar
tubuh manusia dan belum masuk ke dalam tubuh. Pada keadaan ini belum ditemukan
adanya tanda-tanda penyakit dan daya tahan tubuh penjamu masih kuat dan dapat
menolak penyakit. Keadaan ini disebut sehat.
Pada tahap ini biit penyakit masuk ke tubuh penjamu, tetapi gejala-gejala penyakit
belum nampak. Tiap-tiap penyakit mempunyai masa inkubasi yang berbeda. Kolera 1-
2 hari, yang bersifat menahun misalnya kanker paru, AIDS dll.
Tahap ini mulai dihitung dari munculnya gejala-gejala penyakit, pada tahap ini
penjamu sudah jatuh sakit tetapi masih ringan dan masih bisa melakukan aktifitas
sehari-hari. Bila penyakit segera diobati, mungkin bisa sembuh, tetapi jika tidak, bisa
bertambah parah. Hal ini terganting daya tahan tubuh manusia itu sendiri, seperti
gizi, istirahat dan perawatan yang baik di rumah (self care).
a. Sembuh sempurna (bentuk dan fungsi tubuh penjamu kembali berfungsi seperti
keadaan sebelumnya/bebeas dari penyakit)
c. Karier : pada karier perjalanan penyakit seolah terhenti, karena gejala penyakit tak
tampak lagi, tetapi dalam tubuh penjamu masih terdapat bibit penyakit, yang pada
suatu saat bila daya tahan tubuh penjamu menurun akan dapat kembuh kembali.
Keadaan ini tak hanya membahayakan penjamu sendiri, tapi dapat berbahaya
terhadap orang lain/masyarakat, karena dapat menjadi sumber penularan penyakit
(human reservoir)
d. Kronis ; pada tahap ini perjalanan penyakit tampak terhenti, tapi gejala-gejala
penyakit tidak berubah. Dengan kata lain tidak bertambah berat maupun ringan.
Keadaan ini penjamu masih tetap berada dalam keadaan sakit.
e. Meninggal ; Apabila keadaan penyakit bertambah parah dan tak dapat diobati lagi,
sehingga berhentinya perjalanan penyakit karena penjamu meninggal dunia. Keadaan
ini bukanlah keadaan yang diinginkan.
b. Isolasi terhadap penderita penyakit menular, misal yang terkena flu burung.
c. Mencari semua orang yang telah berhubungan dengan penderita penyakit menular
(contact person) untuk diawasi agar bila penyakitnya timbul dapat segera diberikan
pengobatan.
a. Pengobatan dan perawatan yang sempurna agar penderita sembuh dan tak terjadi
komplikasi.
D. Penelitian epidemiologi
Secara sederhana, studi epidemiologi dapat dibagi menjadi dua kelompok sebagai
berikut :
a. Non eksperimental :
3) Studi ekologik. Studi ini memakai sumber ekologi sebagai bahan untuk penyelidikan
secara empiris faktor resiko atau karakteristik yang berada dalam keadaan konstan di
masyarakat. Misalnya, polusi udara akibat sisa pembakaran BBM yang terjadi di kota-
kota besar.
a) Pemberian obat hipertensi pada orang dengan tekanan darah tinggi untuk
mencegah terjadinya stroke.
b) Pemberian Tetanus Toxoid pada ibu hamil untuk menurunkan frekuensi Tetanus
Neonatorum.
2) Community Trial. Contoh : Studi Pemberian zat flourida pada air minum.
E. Epidemiologi keperawatan
Dalam ilmu keperawatan dikenal istilah community health nursing (CHN) atau
keperawatan kesehatan masyarakat, dimana ilmu pengetahuan epidemiologi
digunakan CHN sebagai alat meneliti dan mengobservasi pada pekerjaan dan sebagai
dasar untuk intervensi dan evaluasi literatur riset epidemiologi. Metode epidemiologi
sebagai standard kesehatan, disajikan sebagai alat untuk memperkirakan kebutuhan
masyarakat. Monitoring perubahan status kesehatan masyarakat dan evaluasi
pengaruh program pencegahan penyakit, dan peningkatan kesehatan. Riset/studi
epidemiologi memunculkan badan pengetahuan (body of knowledge) termasuk riwayat
asal penyakit, pola terjadinya penyakit, dan faktor-faktor resiko tinggi terjadinya
penyakit, sebagai informasi awal untuk CHN. Pengetahuan ini memberi kerangka
acuan untuk perencanaan dan evaluasi program intervensi masyarakat, mendeteksi
segera dan pengobatan penyakit, serta meminimalkan kecacatan. Program utama
pencegahan difokuskan pada menjaga jarak perantara penyakit dari host/tuan rumah
yang rentan, pengurangan kelangsungan hidup agent, penambahan resistensi host dan
mengubah kejadian hubungan host, agent, dan lingkungan. Kedua, program
mengurangi resiko dan screening, ketiga : strategi mencegah pada pribadi perawat
dengan body of knowlwdge yang berasal dari riset epidemiologi, sebagai dasar untuk
pengkajian individu dan kebutuhan kesehatan keluarga dan intervensi perencanaan
perawatan.
Suatu penyakit timbul akibat dari beroperasinya berbagai faktor baik dari agen, induk
semang atau lingkungan. Bentuk ini tergambar didalam istilah yang dikenal luas
dewasa ini. Yaitu penyebab majemuk (multiple causation of disease) sebagai lawan
dari penyebab tunggal (single causation).
Tiga model yang dikenal dewasa ini ialah 1) segitiga epidemiologi (the epidemiologic
triangle) 2) jaring-jaring sebab akibat (the web of causation) dan 3) roda (the wheel).
Menurut model ini, suatu penyakit tidak bergantung pada satu sebab yang berdiri
sendiri melainkan sebagai akibat dari serangkaian proses sebab dan akibat. Dengan
demikian maka timbulnya penyakit dapat dicegah atau dihentikan dengan memotong
mata rantai pada berbagai titik.
1.3 Roda
Seperti halnya dengan model jaring-jaring sebab akibat, model roda memerlukan
identifikasi dari berbagai faktor yang berperan dalam timbulnya penyakit dengan
tidak begitu menekankan pentingnya agen. Disini dipentingkan hubungan antara
manusia dengan lingkungan hidupnya. Besarnya peranan dari masing-masing
lingkungan bergantung pada penyakit yang bersangkutan.
Sebagai contoh peranan lingkungan sosial lebih besar dari yang lainnya pada stress
mental, peranan lingkungan fisik lebih besar dari lainnya pada sunburn, peranan
lingkungan biologis lebih besar dari lainnya pada penyakit yang penularannya melalui
vektor (vektor borne disease) dan peranan inti genetik lebih besar dari lainnya pada
penyakit keturunan.
2. Penyakit Menular
Yang dimaksud penyakit menular adalah penyakit yang dapat ditularkan (berpindah
dari orang yang satu ke orang yang lain, baik secara langsung maupun melalui
perantara). Penyakit menular ini ditandai dengan adanya (hadirnya) agen atau
penyebab penyakit yang hidup dan dapat berpindah.
Suatu penyakit dapat menular dari orang yang satu kepada yang lain ditentukan oleh 3
faktor tersebut diatas, yakni :
Agar supaya agen atau penyebab penyakit menular ini tetap hidup (survive) maka
perlu persyaratan-persyaratan sebagai berikut :
a. Berkembang biak
Kemampuan agen penyakit ini untuk tetap hidup pada lingkungan manusia adalah
suatu faktor penting didalam epidemiologi infeksi. Setiap bibit penyakit (penyebab
penyakit) mempunyai habitat sendiri-sendiri sehingga ia dapat tetap hidup.
Dari sini timbul istilah reservoar yang diartikan sebagai berikut 1) habitat dimana bibit
penyakit tersebut hidup dan berkembang 2) survival dimana bibit penyakit tersebut
sangat tergantung pada habitat sehingga ia dapat tetap hidup. Reservoar tersebut
dapat berupa manusia, binatang atau benda-benda mati.
Carrier
Carrier adalah orang yang mempunyai bibit penyakit didalam tubuhnya tanpa
menunjukkan adanya gejala penyakit tetapi orang tersebut dapat menularkan
penyakitnya kepada orang lain. Convalescant carriers adalah orang yang masih
mengandung bibit penyakit setelah sembuh dari suatu penyakit.
a. Jumlah (banyaknya carriers jauh lebih banyak daripada orang yang sakitnya
sendiri).
b. Carriers maupun orang yang ditulari sama sekali tidak tahu bahwa mereka
pekerjaan sehari-hari.
d. Carriers mungkin sebagai sumber infeksi untuk jangka waktu yang relatif lama.
a. Orang makan daging binatang yang menderita penyakit, misalnya cacing pita.
b. Melalui gigitan binatang sebagai vektornya, misalnya pes melalui pinjal tikus,
Yang dimaksud sumber infeksi adalah semua benda termasuk orang atau binatang
yang dapat melewatkan / menyebabkan penyakit pada orang. Sumber penyakit ini
mencakup juga reservoar seperti telah dijelaskan sebelumnya.
Mode penularan adalah suatu mekanisme dimana agen / penyebab penyakit tersebut
ditularkan dari orang ke orang lain atau dari reservoar kepada induk semang baru.
Penularan ini melalui berbagai cara antara lain :
Kontak disini dapat terjadi kontak langsung maupun kontak tidak langsung melalui
benda-benda yang terkontaminasi. Penyakit-penyakit yang ditularkan melalui kontak
langsung ini pada umumnya terjadi pada masyarakat yang hidup berjubel. Oleh karena
itu lebih cenderung terjadi di kota daripada di desa yang penduduknya masih jarang.
Yaitu penularan melalui udara / pernapasan. Oleh karena itu ventilasi rumah yang
kurang, berjejalan (over crowding) dan tempat-tempat umum adalah faktor yang
sangat penting didalam epidemiologi penyakit ini. Penyakit yang ditularkan melalui
udara ini sering disebut air borne infection (penyakit yang ditularkan melalui udara).
2.2.3 Infeksi
Hal ini dapat langsung oleh organisme itu sendiri. Penetrasi pada kulit misalnya cacing
tambang, melalui gigitan vektor misalnya malaria atau melalui luka, misalnya tetanus.
Yakni infeksi yang diperoleh melalui plasenta dari ibu penderita penyakit pada waktu
mengandung, misalnya syphilis dan toxoplasmosis.
2.3 Faktor Induk Semang (Host)
Terjadinya suatu penyakit (infeksi) pada seseorang ditentukan pula oleh faktor-faktor
yang ada pada induk semang itu sendiri. Dengan perkataan lain penyakit-penyakit
dapat terjadi pada seseorang tergantung / ditentukan oleh kekebalan / resistensi
orang yang bersangkutan.
Untuk pencegahan dan penanggulangan ini ada 3 pendekatan atau cara yang dapat
dilakukan :
bersama-sama penderita lain yang sejenis pada tempat yang khusus didesain
untuk itu. Biasanya dalam waktu yang lama, misalnya karantina untuk penderita
kusta.
Bayi dan anak balita adalah merupakan kelompok usia yang rentan terhadap penyakit
menular. Kelompok usia yang rentan ini perlu lindungan khusus (specific protection)
dengan imunisasi baik imunisasi aktif maupun pasif. Obat-obat profilaksis tertentu
juga dapat mencegah penyakit malaria, meningitis dan disentri baksilus.
Pada anak usia muda, gizi yang kurang akan menyebabkan kerentanan pada anak
tersebut. Oleh sebab itu, meningkatkan gizi anak adalah juga merupakan usaha
pencegahan penyakit infeksi pada anak.
SEJARAH EPIDEMIOLOGI
Posted: November 5, 2008 in DASAR DASAR EPIDEMIOLOGI
Kaitkata:Add new tag, EPIDEMIOLOGI, Sejarah Epidemiologi
7
Epidemiologi pada mulanya diartikan sebagai studi tentang epidemi. Hal ini berarti
bahwa epidemiologi hanya mempelajari penyakit-penyakit menular saja tetapi dalam
perkembangan selanjutnya epidemiologi juga mempelajari penyakit-penyakit non infeksi,
sehingga dewasa ini epidemiologi dapat diartikan sebagai studi tentang penyebaran penyakit
pada manusia di dalam konteks lingkungannya.
Mencakup juga studi tentang pola-pola penyakit serta pencarian determinan-determinan
penyakit tersebut. Dapat disimpulkan bahwa epidemiologi adalah ilmu yang mempelajari tentang
penyebaran penyakit serta determinan-determinan yang mempengaruhi penyakit tersebut
Epidemiologi merupakan ilmu yang telah dikenal lewat catatan sejarah pada zaman
dahulu kala dan bahkan berkembang bersamaan dengan ilmu kedokteran karena kedua disiplin
ilmu ini berkaitan satu sama lainnya. Epidemiologi dalam pelaksanaan program pencegahan dan
pemberantasan penyakit butuh ilmu kedoteran seperti ilmu faal, biokimia, patologi, mikrobiologi
dan genetika.
Perbedaan antara ilmu kedokteran dengan ilmu epidemiologi terletak pada cara
penanganan masalah kesehatan. Ilmu kedokteran menekankan pada pelayanan kasus demi kasus
sedangkan epidemioogi menekankan pada kelmpok individu. Oleh karena itu, selain
membutuhkan ilmu kedokteran, epidemiologi juga membutuhkan disiplin lmu-ilmu lain seperti
demografi, sosiologi, antropologi, geologi, lingkungan fisik, ekonomi, budaya dan statiska.
Dalam perkembangan ilmu epidemiologi sarat dengan hambatan-hambatan karena belum
semua ahli bidang kedokteran setuju metode yang di gunakan pada epidemioogi. Hal ini
disebabkan karena perbedaan paradigma dalam menangani masalah kesehatan antara ahli
pengobatan dengan metode epidemiologi terutama pada saat berlakunya paradigma bahwa
penyakit disebabkan oleh roh jahat.
Keberhasilan menembus paradigma tersebut berkat perjuangan yang gigih para ilmuwan
terkenal di kala itu. Seperti sekitar 1000 SM Cina dan India telah mengenalkan variolasi, Abad
ke 5 SM muncul Hipocrates yang memperkenalkan bukunya tentang air,water and places,
selanjutnya Galen melengkapi dengan faktor atmosfir, faktor internal serta faktor predisposisi.
Abad 14 dan 15 terjjadi karantina berbagai penyakit yang di pelopori oleh V. Fracastorius dan
Sydenham, selanjutnya pada tahun 1662 John Graunt memperkenalkan ilmu biostat dengan
mencatata kematian PES & data metriologi. Pada tahun 1839 William Farr mengembangkan
analisis statistik, matematik dalam epidemiologi dengan mengembangkan sistem pengumpulan
data rutin tentang jumlah dan penyebab kematian dibandingkan pola kematian antara orang-
orang yang menikah dan tidak, dan antara pekerja yang berbeda jenis pekerjaannya di inggris.
Upaya yang telah dilakukan untuk mengembangkan sistem pengamatan penyakit secara terus
menerus dan menggunakan informasi itu untuk perencanaan dan evaluasi program telah
mengangkat nama William Farr sebagai the founder of modern epidemiology.
Selanjutnya pada tahun 1848, John Snow menggunakan metode Epidemiologi dalam
menjawab epidemi cholera di London, Kemudian berkembang usaha vaksinasi, analisis wabah,
terakhir penggunaan metode epidemiologi pada penyakit keracunan dan kanker. Perkembangan
epidemiologi surveilans setelah perang dunia II disusul perkembangan epidemiologi khusus. hal
yang sama juga dilakukan Edwin Chadwik Pada tahun 1892 yaitu melakukan riset tentang
masalah sanitasi di inggeris, serta Jacob henle, robert koch, Pasteur mengembangkan teori
kontak penularan.
Dari tokoh-tokoh tersebut paling tidak telah meletakkan konsep epidemiologi yang masih
berlaku hingga saat ini. Konsep-konsep tersebut antara lain:
1. Pengaruh lingkungan terhadap kejadian suatu penyakit
2. Penggunaan data kuantitatif dan statistik
3. Penularan penyakit
4. Eksprimen pada manusia
Di dalam perkembangan batasan epidemiologi selanjutnya mencakup sekurang-kurangnya 3
elemen, yakni :
1. Mencakup semua penyakit
Epidemiologi mempelajari semua penyakit, baik penyakit infeksi maupun penyakit non
infeksi, seperti kanker, penyakit kekurangan gizi (malnutrisi), kecelakaan lalu lintas maupun
kecelakaan kerja, sakit jiwa dan sebagainya. Bahkan di negara-negara maju, epidemiologi ini
mencakup juga kegiatan pelayanan kesehatan.
1. Populasi
Apabila kedokteran klinik berorientasi pada gambaran-gambaran dari penyakit-penyakit
individu maka epidemiologi ini memusatkan perhatiannya pada distribusi penyakit pada populasi
(masyarakat) atau kelompok.
1. Pendekatan ekologi
Frekuensi dan distribusi penyakit dikaji dari latar belakang pada keseluruhan lingkungan
manusia baik lingkungan fisik, biologis, maupun sosial. Hal inilah yang dimaksud pendekatan
ekologis. Terjadinya penyakit pada seseorang dikaji dari manusia dan total lingkungannya.
Referensi :
1. Budiarto, Eko.2003. Pengantar Epidemiologi.Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC
2. Bustan MN ( 2002 ). Pengantar Epidemiologi, Jakarta, Rineka Cipta
3. Nasry, Nur dasar-dasar epidemiologi
4. Arsip mata kuliah FKM UNHAS 2006
Referensi kaitan
Indan Entjang ( 1979 ). Ilmu Kesehatan Masyarakat, Bandung, Penerbit Alumni
Azrul Azwar ( 1999 ). Pengantar Epidemiologi, Jakarta, Binarupa Aksara.
Bhisma Murti ( 2003 ). Prinsip dan Metode Riset Epidemiologi, Yogyakarta, Gadjah Mada
University Press.
Sasaran strategis Kementerian Kesehatan
Sasaran strategis dalam pembangunan kesehatan 2010 - 2014 yaitu :
1. Meningkatnya Status kesehatan dan gizi masyarakat dengan
a. Meningkatnya umur harapan hidup dari 70,7 tahun menjadi 72 tahun.
b. Menurunnya angka kematian ibu melahirkan dari 228 menjadi 118 per 100.000 kelahiran hidup
c. Menurunnya angka kematian bayi dari 34 menjadi 24 per 1.000 kelahiran hidup
d. Menurunnya angka kematian neonatal dari 19 menjadi 15 per 1.000 kelahiran hidup
e. Menurunnya prevelensi kekurangan gizi pada anak balita dari 18,4 persen menjadi di bawah 15,0
persen
f. Menurunnya prevelensi anak balita yang pendek dari 3,8 persen menjadi kurang dari 32 persen
g. Persentase puskesmas rawat inap yang mampu PONED sebesar 100 persen
h. Persentase rumah sakit kabupaten / kota yang melaksanakan PONEK sebesar 100 persen
i. Cakupan kunjungan neonatal lengkap (KN Lengkap) sebesar 90 persen
4. Meningkatnya penyediaan anggaran publik untuk kesehatan dalam rangka mengurangi risiko finansial akibat
gangguan kesehatan bagi seluruh penduduk, terutama penduduk miskin.
5. Meningkatnya Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) pada tingkat rumah tangga dari 50 persen menjadi 70
persen
6. Terpenuhinya kebutuhan tenaga kesehatan strategis di Daerah Terpencil, Tertinggal, Perbatasan dan
Kepulauan ( DTPK ).
Kesehatan adalah keadaan sejahtera dari badan, jiwa, dan sosial yang memungkinkan
setiap orang hidup produktif secara sosial dan ekonomis. Pemeliharaan kesehatan adalah upaya
penaggulangan dan pencegahan gangguan kesehatan yang memerlukan pemeriksaan, pengobatan
dan/atau perawatan termasuk kehamilan dan persa linan.
Kondisi dan status kesehatan perempuan Indonesia masih rendah hal ini terlihat dari
beberapa indikator Angka Kematian Ibu (AKI) saat ini masih tertinggi dibanding negara-negara
lain di ASEAN. Permasalahan tersebut disebabkan oleh permasalahan seperti status kesehatan
reproduksi, status gizi ibu sebelum dan selama kehamilan, pendidikan, tingkat ekonomi keluarga
yang rendah serta status dan kedudukan perempuan yang rendah dalam keluarga dan masyarakat.
Kesehatan perempuan sebagai sebuah investasi merupakan cerminan dari pentingnya
SDM yang produktif. Di beberapa Negara maju yang menggunakan konsep sehat produktif,
sehat adalah sarana atau alat untuk hidup sehari-hari secara produktif. Upaya kesehatan harus
diarahkan untuk dapata membawa setiap penduduk memiliki kesehatan yang cukup agar bisa
hidup produktif.
Selama ini, pemerintah masih memandang sektor kesehatan sebagai sektor konsumtif, kesehatan
tidak dilihat sebagai investasi, tetapi hanya dilihat sebagai sector kesejahteraan yang dinilai
menjadi beban biaya. Bukti nyatanya adalah alokasi belanja kesehatan pemerintah yang sangat
rendah, hanya sekitar 2-3% dari total belanja Negara. Namun ironisnya, pelayanan kesehatan
malah menjadi sumber pendapatan pembangunan.
Disini membuktikan pemerintah menerapkan standar ganda dalam bidang kesehatan.
Disatu sisi, belanja kesehatan dianggap beban dan tidak diprioritaskan. Disisi lain, pelayanan
kesehatan dijadikan sumber pendapatan. Artinya pembangunan Negara ini disokong dari uang
rakyat yang sakit. Sehingga masuk akal bila ada orang usil mengatakan ”bila pemerintah ingin
mendapat sumber pendapatan yang besar sebar saja kuman atau virus kepada masyarakat, agar
masyarakat menjadi sakit dan kemudian mereka berobat ke rumah sakit pemerintah”.
Kepustakaan
http://www.menegpp.go.id/index.php?option=com_content&view=article&id=262:rakornas-
pembangunan-pp-dan-pa-tahun-2010&catid=36:press-release&Itemid=87
Padahal, dalam UUD 1945 secara tegas ditekankan bahwa pembangunan kesehatan merupakan
upaya pemenuhan salah satu hak dasar rakyat. Sehingga pelayanan kesehatan wajib diberikan
negara kepada semua warga negara tanpa dikotomi kaya, miskin, warga kota atau pedesaan,
perempuan ataupun laki-laki.
Realitasnya, masih banyak warga yang belum memperoleh haknya di tengah tingginya
kewajiban membayar pajak. Memang pemerintah telah melakukan revitalisasi peran rumah sakit,
puskesmas, pustu, maupun pos yandu. Juga pemberian askeskin untuk pemerataan pelayanan.
Namun, upaya ini belum menunjukkan perubahan yang signifikan. Puskesmas sebagai tempat
layanan kesehatan yang terdekat dan terdepan, juga masih minim sarana dan fasilitas.
Masyarakat, selain mengeluhkan ketidakramahan staf medis, juga pelayanan yang lamban,
persoalan administrasi dan waktu tunggu yang cukup lama.
Di beberapa rumah sakit, malah memberlakukan panjar atau uang jaminan jika ingin
mendapatkan layanan medis.
Potret buruk pelayanan kesehatan ini tidak mampu mengimbangi sejumlah langkah strategis
pemerintah dalam peningkatan kualitas kesehatan. Sebutlah kebijakan penurunan harga obat-
obatan generik pada 2006 lalu, peningkatan mutu dan jumlah tenaga kesehatan, baik paramedis,
dokter maupun dokter-dokter spesialis.
Sebab kualitas pelayanan kesehatan tidak hanya mencakup keterjangkauan pembelian obat-
obatan, atau banyaknya tenaga medis ahli, tetapi juga empati dan responsilibitas aparat kesehatan
yang lebih tinggi.
Ke depan, tim medis masa depan diharap lebih komunikatif dan jauh dari kesan bahwa posisinya
lebih tinggi dibanding pasien. Selain itu, perlu dilakukan revolusi peran dan fungsi rumah sakit
maupun sistem penataan dan pelayanan kesehatan.
Sehingga, layanan kesehatan yang berkualitas dengan biaya murah bisa dijangkau semua lapisan
masyarakat karena itu adalah hak semua warga negara. (Fajar)
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA--Menteri Koordinator bidang Kesejahteraan Rakyat, Agung
Laksono, menilai kinerja pelayanan kesehatan masih rendah terutama di daerah tertinggal,
terpencil, perbatasan dan pulau-pulau terluar.
"Padahal kinerja kesehatan merupakan salah satu faktor penting dalam upaya peningkatan
kualitas kesehatan penduduk," kata Menko Kesra Agung Laksono, Rabu (16/6).
"Meskipun secara nasional kualitas kesehatan masyarakat meningkat namun disparitas antar
tingkat sosial ekonomi dan antar wilayah masih cukup tinggi," katanya. Tak hanya itu, tantangan
lain yang harus diatasi yaitu beban ganda penyakit di Indonesia yang mengalami transisi
epidemologi. Kondisi itu ditandai dengan prevalensi dan insidensi penyakit menular yang masih
tinggi namun dalam waktu yang bersamaan terjadi peningkatan penyakit tidak menular.
Agung menambahkan, masih banyaknya masyarakat yang belum menjalani pola hidup sehat.
Kongisi sanitasi yang rendah, lanjut dia, juga memperberat tantangan pembangunan kesehatan di
Indonesia. Menko kesra tak ketinggalan menyinggung tingkat pelayanan rumah sakit daerah.
"Kualitas pelayanan kesehatan yang rendah ditandai kualitas pelayanan dibawah standar di
sebagian rumah sakit daerah dan keterbatasan tenaga kesehatan. Itu harus diatasi," katanya.
Dia juga mengatakan hingga saat ini jumlah dan distribusi dokter, bidan serta perawat belum
merata. "Indonesia mengalami kekurangan pada hampir semua tenaga kesehatan yang
diperlukan," katanya.
BAB 27
PENINGKATAN AKSES MASYARAKAT TERHADAP LAYANAN
KESEHATAN YANG LEBIH BERKUALITAS
A. PERMASALAHAN
Pembangunan kesehatan merupakan upaya untuk memenuhi salah satu hak dasar rakyat,
yaitu hak rakyat untuk memperoleh akses atas kebutuhan pelayanan kesehatan. Pembangunan
kesehatan juga harus dipandang sebagai suatu investasi dalam kaitannya untuk mendukung
peningkatan kualitas sumber daya manusia dan pembangunan ekonomi, serta memiliki peran
penting dalam upaya penanggulangan kemiskinan.
Terjadinya beban ganda penyakit. Pola penyakit yang diderita oleh masyarakat sebagian
besar adalah penyakit infeksi menular seperti TB, ISPA, malaria, diare, dan penyakit kulit.
Namun demikian, pada waktu yang bersamaan terjadi peningkatan penyakit tidak menular
seperti penyakit jantung dan pembuluh darah, serta diabetes mellitus. Dengan demikian telah
terjadi transisi epidemiologi dan menghadapi beban ganda pada waktu yang bersamaan (double
burden). Dengan terjadinya beban ganda yang diikuti dengan meningkatnya jumlah penduduk,
serta perubahan struktur penduduk yang ditandai dengan meningkatnya penduduk usia produktif
dan usia lanjut, akan mempengaruhi jumlah dan jenis pelayanan kesehatan yang dibutuhkan
masyarakat di masa datang.
Kinerja pelayanan kesehatan yang rendah. Faktor utama penyebab tingginya angka
kematian bayi di Indonesia sebenarnya dapat dicegah dengan intervensi yang dapat terjangkau
dan sederhana, oleh karena itu kinerja pelayanan kesehatan merupakan salah satu faktor penting
dalam upaya peningkatan kualitas kesehatan penduduk. Masih rendahnya kinerja pelayanan
kesehatan dapat dilihat dari beberapa indikator, seperti: proporsi pertolongan persalinan oleh
tenaga kesehatan, proporsi bayi yang mendapatkan imunisasi campak, proporsi penemuan kasus
(Case Detection Rate) TB Paru. Pada tahun 2001, cakupan persalinan oleh tenaga kesehatan baru
mencapai 67,7 persen, dengan variasi antara 41,39 persen di Propinsi Maluku dan 100 persen di
Propinsi Bali dan Sulawesi Selatan. Pada tahun 2002, cakupan imunisasi campak untuk bayi
umur 12-23 bulan baru mencapai 71,6 persen, dengan variasi antara 44,1 persen di Propinsi
Banten dan 91,1 persen di Propinsi D.I Yogyakarta. Sementara itu, proporsi penemuan kasus
penderita TB Paru pada tahun 2002 baru mencapai 29 persen. Rendahnya kinerja pelayanan
kesehatan ini berpengaruh terhadap upaya peningkatan status kesehatan penduduk.
Perilaku masyarakat yang kurang mendukung pola hidup bersih dan sehat. Perilaku
hidup bersih dan sehat masyarakat merupakan salah satu faktor penting untuk mendukung
peningkatan status kesehatan. Beberapa perilaku masyarakat yang kurang sehat antara lain dapat
dilihat antara lain melalui kebiasaan merokok dan rendahnya pemberian air susu ibu (ASI)
eksklusif dan gizi lebih pada balita. Proporsi penduduk dewasa yang merokok sebesar 31,8
persen. Sementara itu, proporsi penduduk perokok yang mulai merokok pada usia di bawah 20
tahun meningkat dari 60 persen pada tahun 1995 menjadi 68 persen pada tahun 2001. Pada tahun
2002, persentase bayi usia 4-5 bulan yang memperoleh ASI eksklusif baru mencapai 13,9 persen.
Persentase gizi-lebih pada balita mencapai 2,8 persen pada tahun 2003. Kondisi ini antara lain
dipengaruhi oleh rendahnya pengetahuan masyarakat akan pentingnya perilaku hidup bersih dan
sehat.
Rendahnya kondisi kesehatan lingkungan. Salah satu faktor penting lainnya yang
berpengaruh terhadap derajat kesehatan masyarakat adalah kondisi lingkungan yang tercermin
antara lain dari akses masyarakat terhadap air bersih dan sanitasi dasar. Pada tahun 2002,
persentase rumah tangga yang mempunyai akses terhadap air yang layak untuk dikonsumsi baru
mencapai 55,2 persen (BPS 2002), dan akses rumah tangga terhadap sanitasi dasar 63,5 persen.
Terbatasnya tenaga kesehatan dan distribusi tidak merata. Dalam hal tenaga kesehatan,
Indonesia mengalami kekurangan pada hampir semua jenis tenaga kesehatan yang diperlukan.
Pada tahun 2001, diperkirakan per 100.000 penduduk baru dapat dilayani oleh 7,7 dokter umum,
2,7 dokter gigi, 3,0 dokter spesialis dan 8,0 bidan. Rendahnya rasio ini diperburuk oleh
penyebaran tenaga kesehatan yang tidak merata. Lebih dari dua per tiga dokter spesialis berada
di Jawa dan Bali, dan sekitar 15 propinsi yang memiliki rasio dokter per penduduk di atas rata-
rata nasional.
Rendahnya kualitas kesehatan penduduk miskin. Angka kematian bayi pada kelompok
termiskin adalah 61 dibandingkan dengan 17 per 1.000 kelahiran hidup pada kelompok terkaya.
Penyakit infeksi yang merupakan penyebab kematian utama pada bayi dan balita, seperti malaria
dan TBC, lebih sering terjadi pada masyarakat miskin. Rendahnya status kesehatan penduduk
miskin terutama disebabkan oleh terbatasnya akses terhadap pelayanan kesehatan karena kendala
geografis dan kendala biaya (cost barrier). Data SDKI 2002-2003 menunjukkan bahwa 48,7
persen masalah dalam mendapatkan pelayanan kesehatan adalah karena kendala biaya, jarak dan
transportasi. Utilisasi rumah sakit masih didominasi oleh golongan mampu, sedang masyarakat
miskin cenderung memanfaatkan pelayanan di puskesmas. Demikian juga persalinan oleh tenaga
kesehatan pada penduduk miskin hanya sebesar 39,1 persen dibanding 82,3 persen pada
penduduk kaya. Asuransi kesehatan sebagai suatu bentuk sistem jaminan sosial hanya
menjangkau 18,74 persen (2001) penduduk, dan hanya sebagian kecil diantaranya penduduk
miskin.
B. SASARAN
1. Meningkatnya umur harapan hidup dari 66,2 tahun menjadi 67,9 tahun
2. Menurunnya angka kematian bayi dari 35 menjadi 25 per 1000 kelahiran hidup
3. Menurunnya angka kematian ibu melahirkan dari 307 menjadi 226 per 100.000 kelahiran
hidup
4. Menurunnya prevalensi gizi-kurang pada anak balita dari 25,8 persen menjadi 20 persen.
C. ARAH KEBIJAKAN
D. PROGRAM-PROGRAM PEMBANGUNAN
Program ini ditujukan untuk memberdayakan individu, keluarga, dan masyarakat agar
mampu mengembangkan upaya kesehatan bersumber masyarakat.
Kegiatan pokok yang dilaksanakan dalam program ini antara lain meliputi:
Pengembangan media promosi kesehatan dan teknologi komunikasi, informasi dan edukasi
(KIE);
Pengembangan upaya kesehatan bersumber masyarakat dan terutama generasi muda; serta
Peningkatan pendidikan kesehatan kepada masyarakat.
Program ini ditujukan untuk mewujudkan mutu lingkungan hidup yang lebih sehat.
Kegiatan pokok yang dilakukan dalam program ini antara lain meliputi:
1. Penyediaan sarana air bersih dan sanitasi dasar;
Program ini ditujukan untuk meningkatkan jumlah, pemerataan, dan kualitas pelayanan
kesehatan melalui puskesmas dan jaringannya meliputi puskesmas pembantu, puskesmas keliling
dan bidan di desa.
Kegiatan pokok yang dilakukan dalam program ini antara lain meliputi:
2. Pengadaan, peningkatan, dan perbaikan sarana dan prasarana puskesmas dan jaringannya;
Program ini ditujukan untuk meningkatkan akses, keterjangkauan dan kualitas pelayanan
kesehatan di rumah sakit.
Program ini bertujuan untuk menurunkan angka kesakitan, kematian dan kecacatan akibat
penyakit menular dan penyakit tidak menular. Prioritas penyakit menular yang akan
ditanggulangi adalah malaria, demam berdarah dengue, diare, polio, filaria, kusta, TB,
HIV/AIDS, pneumonia, dan penyakit-penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi. Prioritas
penyakit tidak menular yang ditanggulangi adalah penyakit jantung dan gangguan sirkulasi,
diabetes mellitus, dan neoplasma.
Program ini bertujuan untuk meningkatkan kesadaran gizi keluarga dalam upaya
meningkatkan status gizi masyarakat terutama pada ibu hamil, bayi dan balita.
Program ini ditujukan meningkatkan jumlah, mutu dan penyebaran tenaga kesehatan, serta
meningkatkan jaminan pembiayaan kesehatan bagi penduduk miskin.
Program ini ditujukan untuk menjamin ketersediaan, pemerataan, mutu, keterjangkauan obat
dan perbekalan kesehatan.
Program ini bertujuan untuk menjamin produk terapetik/obat, obat tradisional, kosmetik,
perbekalan kesehatan, produk komplemen dan produk pangan memenuhi persyaratan mutu,
keamanan dan kemanfaatan/khasiat.
Kegiatan pokok yang dilakukan program ini adalah:
Kegiatan pokok yang dilaksanakan dalam program ini antara lain meliputi:
1. Pengkajian kebijakan;
Program ini bertujuan untuk menghasilkan ilmu pengetahuan dan teknologi kesehatan
sebagai masukan dalam perumusan kebijakan dan program pembangunan kesehatan.
Kegiatan pokok yang dilakukan dalam program ini adalah:
Surveilans Kesmas
Surveilans kesehatan masyarakat adalah pengumpulan, analisis, dan analisis data secara
terusmenerus dan sistematis yang kemudian didiseminasikan (disebarluaskan) kepada pihak-
pihak yang bertanggungjawab dalam pencegahan penyakit dan masalah kesehatan lainnya
(DCP2, 2008). Surveilans memantau terus-menerus kejadian dan kecenderungan penyakit,
mendeteksi dan memprediksi outbreak pada populasi, mengamati faktor-faktor yang
mempengaruhi kejadian penyakit, seperti perubahan-perubahan biologis pada agen, vektor, dan
reservoir
Selanjutnya surveilans menghubungkan informasi tersebut kepada pembuat keputusan agar dapat
dilakukan langkah-langkah pencegahan dan pengendalian penyakit (Last, 2001). Kadang
digunakan istilah surveilans epidemiologi. Baik surveilans kesehatan masyarakat maupun
surveilans epidemiologi hakikatnya sama saja, sebab menggunakan metode yang sama, dan
tujuan epidemiologi adalah untuk mengendalikan masalah kesehatan masyarakat, sehingga
epidemiologi dikenal sebagai sains inti kesehatan masyarakat (core science of public health).
Surveilans memungkinkan pengambil keeputusan untuk memimpin dan mengelola dengan
efektif. Surveilans kesehatan masyarakat memberikan informasi kewaspadaan dini bagi
pengambil keputusan dan manajer tentang masalah-masalah kesehatan yang perlu diperhatikan
pada suatu populasi. Surveilans kesehatan masyarakat merupakan instrumen penting untuk
mencegah outbreak penyakit dan mengembangkan respons segera ketika penyakit mulai
menyebar. Informasi dari surveilans juga penting bagi kementerian kesehatan, kementerian
keuangan, dan donor, untuk memonitor sejauh mana populasi telah terlayani dengan baik (DCP2,
2008). .
Surveilans berbeda dengan pemantauan (monitoring) biasa. Surveilans dilakukan secara terus
menerus tanpa terputus (kontinu), sedang pemantauan dilakukan intermiten atau episodik.
Dengan mengamati secara terus-menerus dan sistematis maka perubahan-perubahan
kecenderungan penyakit dan faktor yang mempengaruhinya dapat diamati atau
diantisipasi,sehingga dapat dilakukan langkah-langkah investigasi dan pengendalian penyakit
dengan tepat.
TUJUAN SURVEILANS
Surveilans bertujuan memberikan informasi tepat waktu tentang masalah kesehatan populasi,
sehingga penyakit dan faktor risiko dapat dideteksi dini dan dapat dilakukan respons pelayanan
kesehatan dengan lebih efektif. Tujuan khusus surveilans:
(1) Memonitor kecenderungan (trends) penyakit;
(2) Mendeteksi perubahan mendadak insidensi penyakit, untuk mendeteksi dini outbreak; Data
Fasilitas Pelayanan Kesehatan (Puskesmas, RS, Dokter praktik), Komunitas Dinas Kesehatan
Kabupaten/ Kota, Provinsi,Pusat Peristiwa penyakit, kesehatan populasi Intervensi Keputusan
Pelaporan Informasi (Umpan Balik)
(3) Memantau kesehatan populasi, menaksir besarnya beban penyakit (disease burden) pada
populasi;
(4) Menentukan kebutuhan kesehatan prioritas, membantu perencanaan, implementasi,
monitoring, dan evaluasi program kesehatan; (5) Mengevaluasi cakupan dan efektivitas program
kesehatan;
(6) Mengidentifikasi kebutuhan riset (Last, 2001; Giesecke, 2002; JHU, 2002).
JENIS SURVEILANS
Dikenal beberapa jenis surveilans
(1) Surveilans individu;
(2) Surveilans penyakit;
(3) Surveilans sindromik;
(4) Surveilans Berbasis Laboratorium;
(5) Surveilans terpadu;
(6) Surveilans kesehatan masyarakat global.
1. Surveilans Individu
Surveilans individu (individual surveillance) mendeteksi dan memonitor individu-individu yang
mengalami kontak dengan penyakit serius, misalnya pes, cacar, tuberkulosis, tifus, demam
kuning, sifilis. Surveilans individu memungkinkan dilakukannya isolasi institusional segera
terhadap kontak, sehingga penyakit yang dicurigai dapat dikendalikan. Sebagai contoh, karantina
merupakan isolasi institusional yang membatasi gerak dan aktivitas orang-orang atau binatang
yang sehat tetapi telah terpapar oleh suatu kasus penyakit menular selama periode menular.
Tujuan karantina adalah mencegah transmisi penyakit selama masa inkubasi seandainya terjadi
infeksi (Last, 2001). Isolasi institusional pernah digunakan kembali ketika timbul AIDS 1980an
dan SARS. Dikenal dua jenis karantina: (1) Karantina total; (2) Karantina parsial. Karantina total
membatasi kebebasan gerak semua orang yang terpapar penyakit menular selama masa inkubasi,
untuk mencegah kontak dengan orang yang tak terpapar. Karantina parsial membatasi kebebasan
gerak kontak secara selektif, berdasarkan perbedaan tingkat kerawanan dan tingkat bahaya
transmisi penyakit.
Contoh,
anak sekolah diliburkan untuk mencegah penularan penyakit campak, sedang orang dewasa
diperkenankan terus bekerja. Satuan tentara yang ditugaskan pada pos tertentu dicutikan, sedang
di pospos lainnya tetap bekerja.
Dewasa ini karantina diterapkan secara terbatas, sehubungan dengan masalah legal, politis, etika,
moral, dan filosofi tentang legitimasi, akseptabilitas, dan efektivitas langkah-langkah pembatasan
tersebut untuk mencapai tujuan kesehatan masyarakat (Bensimon dan Upshur, 2007).
2. Surveilans Penyakit
Surveilans penyakit (disease surveillance) melakukan pengawasan terus-menerus terhadap
distribusi dan kecenderungan insidensi penyakit, melalui pengumpulan sistematis, konsolidasi,
evaluasi terhadap laporan-laporan penyakit dan kematian, serta data relevan lainnya. Jadi fokus
perhatian surveilans penyakit adalah penyakit, bukan individu.
Di banyak negara, pendekatan surveilans penyakit biasanya didukung melalui program vertikal
(pusat-daerah). Contoh, program surveilans tuberkulosis, program surveilans malaria.
Beberapa dari sistem surveilans vertikal dapat berfungsi efektif, tetapi tidak sedikit yang tidak
terpelihara dengan baik dan akhirnya kolaps, karena pemerintah kekurangan biaya. Banyak
program surveilans penyakit vertikal yang berlangsung paralel antara satu penyakit dengan
penyakit lainnya, menggunakan fungsi penunjang masing-masing, mengeluarkan biaya untuk
sumberdaya masingmasing, dan memberikan informasi duplikatif, sehingga mengakibatkan
inefisiensi.
3. Surveilans Sindromik
Syndromic surveillance (multiple disease surveillance) melakukan pengawasan terus-menerus
terhadap sindroma (kumpulan gejala) penyakit, bukan masing-masing penyakit. Surveilans
sindromik mengandalkan deteksi indikator-indikator kesehatan individual maupun populasi yang
bisa diamati sebelum konfirmasi diagnosis. Surveilans sindromik mengamati indikator-indikator
individu sakit, seperti pola perilaku, gejala-gejala, tanda, atau temuan laboratorium, yang dapat
ditelusuri dari aneka sumber, sebelum diperoleh konfirmasi laboratorium tentang suatu penyakit.
Surveilans sindromik dapat dikembangkan pada level lokal, regional, maupun nasional. Sebagai
contoh, Centers for Disease Control and Prevention (CDC) menerapkan kegiatan surveilans
sindromik berskala nasional terhadap penyakit-penyakit yang mirip influenza (flu-like illnesses)
berdasarkan laporan berkala praktik dokter di AS. Dalam surveilans tersebut, para dokter yang
berpartisipasi melakukan skrining pasien berdasarkan definisi kasus sederhana (demam dan
batuk atau sakit tenggorok) dan membuat laporan mingguan tentang jumlah kasus, jumlah
kunjungan menurut kelompok umur dan jenis kelamin, dan jumlah total kasus yang teramati.
Surveilans tersebut berguna untuk memonitor aneka penyakit yang menyerupai influenza,
termasuk flu burung, dan antraks, sehingga dapat memberikan peringatan dini dan dapat
digunakan sebagai instrumen untuk memonitor krisis yang tengah berlangsung (Mandl et al.,
2004; Sloan et al., 2006). Suatu sistem yang mengandalkan laporan semua kasus penyakit
tertentu dari fasilitas kesehatan, laboratorium, atau anggota komunitas, pada lokasi tertentu,
disebut surveilans sentinel.
Pelaporan sampel melalui sistem surveilans sentinel merupakan cara yang baik untuk memonitor
masalah kesehatan dengan menggunakan sumber daya yang terbatas (DCP2, 2008; Erme
danQuade, 2010).
5. Surveilans Terpadu
Surveilans terpadu (integrated surveillance) menata dan memadukan semua kegiatan surveilans
di suatu wilayah yurisdiksi (negara/ provinsi/ kabupaten/ kota) sebagai sebuah pelayanan publik
bersama. Surveilans terpadu menggunakan struktur, proses, dan personalia yang sama,
melakukan fungsi mengumpulkan informasi yang diperlukan untuk tujuan pengendalian
penyakit. Kendatipun pendekatan surveilans terpadu tetap memperhatikan perbedaan kebutuhan
data khusus penyakitpenyakit tertentu (WHO, 2001, 2002; Sloan et al., 2006).
Karakteristik pendekatan surveilans terpadu:
(1) Memandang surveilans sebagai pelayanan bersama (common services);
(2) Menggunakan pendekatan solusi majemuk;
(3) Menggunakan pendekatan fungsional, bukan struktural;
(4) Melakukan sinergi antara fungsi inti surveilans (yakni, pengumpulan, pelaporan, analisis
data, tanggapan) dan fungsi pendukung surveilans (yakni, pelatihan dan supervisi, penguatan
laboratorium, komunikasi, manajemen sumber daya);
(5) Mendekatkan fungsi surveilans dengan pengendalian penyakit. Meskipun menggunakan
pendekatan terpadu, surveilans terpadu tetap memandang penyakit yang berbeda memiliki
kebutuhan surveilans yang
berbeda (WHO, 2002).
MANAJEMEN SURVEILANS
Surveilans mencakup dua fungsi manajemen: (1) fungsi inti; dan (2) fungsi pendukung. Fungsi
inti (core activities) mencakup kegiatan surveilans dan langkah-langkah intervensi kesehatan
masyarakat. Kegiatan surveilans mencakup deteksi, pencatatan, pelaporan data, analisis data,
konfirmasi epidemiologis maupun laboratoris, umpan-balik (feedback). Langkah intervensi
kesehatan masyarakat mencakup respons segera (epidemic type response) dan respons terencana
(management type response). Fungsi pendukung (support activities) mencakup pelatihan,
supervisi, penyediaan sumber daya manusia dan laboratorium, manajemen sumber daya, dan
komunikasi (WHO, 2001; McNabb et al., 2002).
Hakikatnya tujuan surveilans adalah memandu intervensi kesehatan. Karena itu sifat dari
masalah kesehatan masyarakat menentukan desain dan implementasi sistem surveilans. Sebagai
contoh, jika tujuannya mencegah penyebaran penyakit infeksi akut, misalnya SARS, maka
manajer program kesehatan perlu melakukan intervensi kesehatan dengan segera. Karena itu
dibutuhkan suatu sistem surveilans yang dapat memberikan informasi peringatan dini dari klinik
dan laboratorium.
Sebaliknya penyakit kronis dan perilaku terkait kesehatan, seperti kebiasaan merokok, berubah
dengan lebih lambat. Para manajer program kesehatan hanya perlu memonitor
perubahanperubahan sekali setahun atau lebih jarang dari itu. Sebagai contoh, sistem surveilans
yang menilai dampak program pengendalian tuberkulosis mungkin hanya perlu memberikan
informasi sekali setahun atau lima tahun, tergantung prevalensi. Informasi yang diperlukan bisa
diperoleh dari survei rumah tangga.
PENDEKATAN SURVEILANS
Pendekatan surveilans dapat dibagi menjadi dua jenis: (1) Surveilans pasif; (2) Surveilans aktif
(Gordis, 2000).Surveilans pasif memantau penyakit secara pasif, dengan menggunakan data
penyakit yang harus dilaporkan (reportable diseases) yang tersedia di fasilitas pelayanan
kesehatan. Kelebihan surveilans pasif, relatif murah dan mudah untuk dilakukan. Negara-negara
anggota WHO diwajibkan melaporkan sejumlah penyakit infeksi yang harus dilaporkan,
sehingga dengan surveilans pasif dapat dilakukan analisis perbandingan penyakit internasional.
Kekurangan surveilans pasif adalah kurang sensitif dalam mendeteksi kecenderungan penyakit.
Data yang dihasilkan cenderung under-reported, karena tidak semua kasus datang ke fasilitas
pelayanan kesehatan formal. Selain itu, tingkat pelaporan dan kelengkapan laporan biasanya
rendah, karena waktu petugas terbagi dengan tanggungjawab utama memberikan pelayanan
kesehatan di fasilitas kesehatan masing-masing. Untuk mengatasi problem tersebut, instrumen
pelaporan perlu dibuat
sederhana dan ringkas.
Surveilans aktif menggunakan petugas khusus surveilans untuk kunjungan berkala ke lapangan,
desa-desa, tempat praktik pribadi dokter dan tenaga medis lainnya, puskesmas, klinik, dan rumah
sakit, dengan tujuan mengidentifikasi kasus baru penyakit atau kematian, disebut penemuan
kasus (case finding), dan konfirmasi laporan kasus indeks. Kelebihan surveilans aktif, lebih
akurat daripada surveilans pasif, sebab dilakukan oleh
petugas yang memang dipekerjakan untuk menjalankan tanggungjawab itu. Selain itu, surveilans
aktif dapat mengidentifikasi outbreak lokal. Kelemahan surveilans aktif, lebih mahal dan lebih
sulit untuk dilakukan daripada surveilans pasif.
Sistem surveilans dapat diperluas pada level komunitas, disebut community surveilance.
Dalam community surveilance, informasi dikumpulkan langsung dari komunitas oleh kader
kesehatan, sehingga memerlukan pelatihan diagnosis kasus bagi kader kesehatan. Definisi kasus
yang sensitif dapat membantu para kader kesehatan mengenali dan merujuk kasus mungkin
(probable cases) ke fasilitas kesehatan tingkat pertama. Petugas kesehatan di tingkat lebih tinggi
dilatih menggunakan definsi kasus lebih spesifik, yang memerlukan konfirmasi laboratorium.
Community surveilans mengurangi kemungkinan negatif palsu (JHU, 2006).
SURVEILANS EFEKTIF
Karakteristik surveilans yang efektif: cepat, akurat, reliabel, representatif, sederhana, fleksibel,
akseptabel, digunakan (Wuhib et al., 2002; McNabb et al., 2002; Giesecke, 2002; JHU, 2006).
Kecepatan. Informasi yang diperoleh dengan cepat (rapid) dan tepat waktu (timely)
memungkinkan tindakan segera untuk mengatasi masalah yang diidentifikasi. Investigasi lanjut
hanya dilakukan jika diperlukan informasi tertentu dengan lebih mendalam.
Kecepatan surveilans dapat ditingkatkan melalui sejumlah cara:
(1) Melakukan analisis sedekat mungkin dengan pelapor data primer, untuk mengurangi “lag”
(beda waktu) yang terlalu panjang antara laporan dan tanggapan;
(2) Melembagakan pelaporan wajib untuk sejumlah penyakit tertentu (notifiable diseases);
(3) Mengikutsertakan sektor swasta melalui peraturan perundangan;
(4) Melakukan fasilitasi agar keputusan diambil dengan cepat menggunakan hasil surveilans;
(5) Mengimplementasikan sistem umpan balik tunggal, teratur, dua-arah dan segera.
Akurasi. Surveilans yang efektif memiliki sensitivitas tinggi, yakni sekecil mungkin terjadi hasil
negatif palsu. Aspek akurasi lainnya adalah spesifisitas, yakni sejauh mana terjadi hasil positif
palsu. Pada umumnya laporan kasus dari masyarakat awam menghasilkan “false alarm”
(peringatan palsu).
Karena itu sistem surveilans perlu mengecek kebenaran laporan awam ke lapangan, untuk
mengkonfirmasi apakah memang tengah terjadi peningkatan kasus/ outbreak.
Akurasi surveilans dipengaruhi beberapa faktor:
(1) kemampuan petugas;
(2) infrastruktur laboratorium.
Surveilans membutuhkan pelatihan petugas. Contoh, para ahli madya epidemiologi perlu dilatih
tentang dasar laboratorium, sedang teknisi laboratorium dilatih tentang prinsip epidemiologi,
sehingga kedua pihak memahami kebutuhan surveilans. Surveilans memerlukan peralatan
laboratorium standar di setiap tingkat operasi untuk meningkatkan kemampuan konfirmasi kasus.
Standar, seragam, reliabel, kontinu. Definisi kasus, alat ukur, maupun prosedur yang standar
penting dalam sistem surveilans agar diperoleh informasi yang konsisten.
Sistem surveilans yang efektif mengukur secara kontinu sepanjang waktu, bukannya intermiten
atau sporadis, tentang insidensi kasus penyakit untuk mendeteksi kecenderungan. Pelaporan rutin
data penyakit yang harus dilaporkan (reportable diseases) dilakukan seminggu sekali.
Representatif dan lengkap. Sistem surveilans diharapkan memonitor situasi yang sesungguhnya
terjadi pada populasi. Konsekuensinya, data yang dikumpulkan perlu representatif dan lengkap.
Keterwakilan, cakupan, dan kelengkapan data surveilans dapat menemui kendala jika
penggunaan kapasitas tenaga petugas telah melampaui batas, khususnya ketika waktu petugas
surveilans terbagi antara tugas surveilans dan tugas pemberian pelayanan kesehatan lainnya.
Sederhana, fleksibel, dan akseptabel. Sistem surveilans yang efektif perlu sederhana dan praktis,
baik dalam organisasi, struktur, maupun operasi. Data yang dikumpulkan harus relevan dan
terfokus.
Format pelaporan fleksibel, bagian yang sudah tidak berguna dibuang. Sistem surveilans yang
buruk biasanya terjebak untuk menambah sasaran baru tanpa membuang sasaran lama yang
sudah tidak berguna, dengan akibat membebani pengumpul data. Sistem surveilans harus dapat
diterima oleh petugas surveilans, sumber data, otoritas terkait surveilans, maupun pemangku
surveilans lainnya.
Untuk memelihara komitmen perlu pembaruan kesepakatan para pemangku secara berkala pada
setiap level operasi.
Penggunaan (uptake). Manfaat sistem surveilans ditentukan oleh sejauh mana informasi
surveilans digunakan oleh pembuat kebijakan, pengambil keputusan, maupun pemangku
surveilans pada berbagai level. Rendahnya penggunaan data surveilans merupakan masalah di
banyak negara berkembang dan beberapa negara maju. Salah satu cara mengatasi problem ini
adalah membangun network dan komunikasi yang baik antara peneliti, pembuat kebijakan, dan
pengambil keputusan.
REFERENSI
DCP2 (2008). Public health surveillance. The best weapon to avert epidemics. Disease Control
Priority Project. www.dcp2.org/file/153/dcpp-surveillance.pdf
Bensimon CM, Upshur REG (2007). Evidence and effectiveness in decisionmaking for
quarantine. Am
J Public Health;97:S44-48.
Giesecke J (2002). Modern infectious disease epidemiology. London: Arnold.
Gordis, L (2000). Epidemiology. Philadelphia, PA: WB Saunders Co.
Erme MA, Quade TC (2010). Epidemiologic surveillance. Enote. www.enotes.com/public-
health.../
epidemiologic-surveillance. Diakses 21 Agustus 2010.
JHU (=Johns Hopkins University) (2006). Disaster epidemiology. Baltimore, MD: The Johns
Hopkins
and IFRC Public Health Guide for Emergencies.
Last, JM (2001). A dictionary of epidemiology. New York: Oxford University Press, Inc.
Mandl KD, Overhage M, Wagner MM, Lober WB, Sebastiani P, Mostahari F, Pavlin JA,
Gesteland PH,
Treadwell T, Koski E, Hutwagner L, Buckeridge DL , Aller RD, Grannis S (2004).
Implementing
syndromic surveillance: A practical guide informed by the early experience. J Am Med Inform
Assoc., 11:141–150.
McNabb SJN, Chungong S, Ryan M, Wuhib T, Nsubuga P, Alemu W, Karande-Kulis V, Rodier
G (2002).
Conceptual framework of public health surveillance and action and its application in health
sector reform. BMC Public Health, 2:2 http://www.biomedcentral. Com
Pavlin JA (2003). Investigation of disease outbreaks detected by “syndromic” surveillance
systems.
Journal of Urban Health: Bulletin of the New York Academy of Medicine, 80 (Suppl 1): i107-
i114(1).
Sloan PD, MacFarqubar JK, Sickbert-Bennett E, Mitchell CM, Akers R, Weber DJ, Howard K
(2006).
Syndromic surveillance for emerging infections in office practice using billing data. Ann Fam
Med 2006;4:351-358.
WHO (2001). An integrated approach to communicable disease surveillance. Weekly
epidemiological
record, 75: 1-8. http://www.who.int/wer
_____ (2002). Surveillance: slides. http://www.who.int
Wuhib T, Chorba TL, Davidiants V, MacKenzie WR, McNabb SJN (2002). Assessment of the
infectious
diseases surveillance system of the Republic of Armenia: an example of surveillance in The
Republics of the former Soviet Union. BMC Public Health, 2:3 http://www.biomedcentral.com.
MODUL EPIDEMIOLOGI
KEBIDANAN-D3
Di susun oleh
Nugroho Susanto
STIKES AHMAD YANI YOGYAKARTA TAHUN 2011/2012
PERTEMUAN KE-1
KONSEP-KONSEP/DASAR-DASAR
EPIDEMIOLOGI
Oleh
Nugroho Susanto
KONSEP-KONSEP/DASAR-DASAR EPIDEMIOLOGI
Epidemiologi berasal dari Yunanai, epi berarti tentang, demos berarti rakyat dan
logos berarti bicara atau ilmu.
Lingkup epidemiologi
a. Epidemiologi deskriptif
Epidemiologi deskriptif lebih mengarah pada hal pokok antara lain
Tempat, orang dan waktu. Keadaan ini merupakan hal informasi yang penting
dalam epidemiologi. Informasi mengenai orang dapat menunjukan bahwa antar
penyakit belum tentu mempunyai karakteristik orang yang sama untuk di tempati
atau penyakit dapat berkembang biak. Sehinga akan lebih mudah untuk
dipelajari ciri khas dari suatu penyakit. Waktu dapat menunjukan masa inkubasi
dari penyakit tesebut dan tempat dapat menunjukan karakteristik dari serangan
penyakit tersebut.
b. Epidemiologi Analitik
Epidemiologi analitik lebih menekankan pada dasar hubungan antara paparan
atau karakteristik dengan penyebab dari penyakit itu sendiri. Keadaan ini
memerlukan instrumen statistik untuk melihat apakah paparan dan efek
berkaitan secara statistik.
2. Tujuan Epidemiologi
Terdapat 4 tujuan pokok epidemiologi (Risser, 2002)
Insiden.
Prevalen
Jumlah kasus baru dan kasus lama pada tahun pengamatan
Prevalensi = -----------------------------------------------------
Jumlah populasi pengamatan
Insiden
Prevalensi
Mati/sembuh
5. Keberhasilan Epidemiologi
Beberapa tokoh yang menyumbang keberhasilan dalam penerapan ilmu
epidemiologi antara lain:
c. Revolusi Industri
Abda ke 18 terjadi revolusi industri yang mendorong kemajuan pesat ilmu
pengetahuan termasuk epidemiologi. Pada abad ke 18 ditandai dengan
meningkatnya kejadian infeksi usus, demam tifoid, dan tuberkulosis didaerah
kumuh perkotaan. Dikawasan eropa muncul penyakit kuning dan kolera.
d. Vaksinasi Jener
Pada akhir abda 18 400.000 orang meninggal karena cacar (smallpox). Eddward
Jenner tertarik untuk menenmukan pendekatan pencegahan cacar yang lebih
aman.
Latihan
2. Frekuensi penyakit
RATE
Pada epidemiologi alat yang terpenting untuk mengukur frekuensi kejadian penyakit
adalah rate, tetapi juga digunakan ratio dan proporsi. Ukuran-ukuran tersebut
merupakan hasil dari bagi antara denumerator (penyebut) dan numerator
(pembilang).
Rasio
Misalkan
Proporsi
Ilustrasi
Di
ASDRi = ----- x k
Pi
Di = jumlah kematian kelompok umur i
Pi = jumlah penduduk kelompok umur i tengah tahun
k = konstanta = 1000
c. Angka Kematian Bayi (Infant Mortality Rate = IMR)
Banyaknya kematian bayi (anak usia kurang satu tahun) pada suatu periode
(tahun) tertentu per 1000 kelahiran hidup periode/tahun yang sama
D<1 = jumlah kematian bayi selama satu periode/tahun
B = jumlah lahir hidup selama periode/tahun yg sama
k = konstanta = 1000
d. Angka Kematian Ibu (Maternal Mortality Rate = MMR)
Banyaknya kematian ibu pada waktu hamil atau selama 42 hari sejak terminasi
kehamilan tanpa memandang lama & tempat kelahiran, yg disebabkan krn
kehamilannya atau pengelolaannya, bukan oleh sebab-sebab lain pada suatu
periode (tahun) per 100.000 kelahiran hidup periode/tahun yang sama. Rumus:
Df = jml kematian ibu selama satu periode/tahun
B = jml lahir hidup selama periode/tahun yg sama
k = konstanta = 100.000
Odd rasio merupakan perbandingan penyakit pada kelompok terpapar dan tidak
terpapar.
OR= a.d/bc
Latihan
Riwayat alamiah penyakit terdiri dari 4 fase (Gerstman, 1998; Rothman, 1981; Mausner
dan Kramer, 1985) antara lain 1. Fase rentan, 2. Fase subklinis; 3. Fase Klinis; 4; Fase
Penyembuhan, cacat dan kematian.
1. Fase Rentan
Fase rentan adalah tahap berlangsungnya proses etiologi, dimana faktor ”penyebab
pertama” untuk pertama kalinya bertemu dengan penjamu. Faktor penyebab utama
yang disini adalah faktor risiko. Faktor risiko adalah faktor yang kehadirannya
meningkatkan probabilitas kejadian penyakit sebelum fase ireversibilitas. Suatu
faktor yang mempunyai hubungan kausal dapat dikatakan faktor risiko, meski
hubungan itu tidak langsung atau belum diketahui mekanismenya.
2. Fase Subklinis
Fase subklinis disebut juga fase pre simtomatis adalah tahap berlangsungnya
proses perubahan patologis yang diakhiri dengan keadaan ireversibel yaitu
manifestasi penyakit tak dapat dihindari lagi.
3. Fase Klinis
Fase klinis merupakan tahap dimana perubahan patologis pada organ telah cukup
banyak, sehingga tanda dan gejala penyakit mulai dapat dideteksi. Disini telah
terjadi manifestasi klinis penyakit.
1. Pencegahan primer
Mulai berhubungan dengan factor risiko, pada tahap ini belum menunjukan gejala
dan tanda factor risiko.
2. Pencegahan skunder
Mulai menunjukan gejala klinis dan tanda penyakit
3. Pencegahan Tersier
Pencegahan pada tahap terminal penyakit (sembuh, cacat, mati)
Pencegahan Pencegahan Pencegahan
Primer Skunder Tersier
Latihan
a. Pengertian
a. Ibu hamil K-4 adalah ibu hamil yang mendapatkan pelayanan antenatal sesuai standar paling
sedikit empat kali, dengan distribusi pemberian pelayanan minimal satu kali pada triwulan pertama,
satu kali pada triwulan kedua dan dua kali pada triwulan ketiga umur kehamilan.
b. Pelayanan adalah pelayanan/pemeriksaan kesehatan bagi ibu hamil sesuai standar pada masa
kehamilan oleh tenaga kesehatan terampil (Dokter, Bidan, dan Perawat).
Cakupan Kunjungan ibu hamil K-4 adalah cakupan Ibu hamil yang telah memperoleh pelayanan
antenatal 4 kali sesuai dengan stándar di satu wilayah kerja pada kurun waktu tertentu.
1) Rumus
2) Pembilang
Jumlah ibu hamil yang telah memperoleh pelayanan antenatal sesuai standar minimal 4 kali di satu
wilayah kerja, pada kurun waktu tertentu.
Perkiraan ibu hamil di wilayah kerja yang sama dapat dihitung dengan formula:
3) Penyebut
Jumlah seluruh ibu hamil di satu wilayah kerja yang sama dalam kurun waktu yang sama.
4) Ukuran/Konstanta
Persentase (%)
e. Rujukan
f. Target
2. Cakupan Pertolongan Persalinan oleh Bidan atau Tenaga Kesehatan yang Memiliki Kompetensi
Kebidanan
a. Pengertian
1) Pertolongan persalinan adalah persentase ibu bersalin di suatu wilayah dalam kurun waktu tertentu
yang mendapatkan pelayanan pertolongan persalinan oleh tenaga kesehatan yang kompeten.
2) Kompetensi kebidanan adalah keterampilan yang dimiliki oleh tenaga kesehatan dalam bidang
pelayanan kebidanan (Dokter dan Bidan).
Cakupan Pertolongan Persalinan oleh Bidan atau Tenaga Kesehatan adalah cakupan Ibu bersalin yang
mendapat pertolongan persalinan oleh tenaga kesehatan yang memiliki kompetensi kebidanan di satu
wilayah kerja pada kurun waktu tertentu.
1) Rumus
Cakupan pertolongan persalinan Jumlah persalinan oleh tenaga kesehatan (Pn) x 100%
oleh Bidan/Tenaga Kesehatan = Jml seluruh sasaran persalinan dalam satu tahun
2) Pembilang
Jumlah ibu bersalin di satu wilayah kerja pada kurun waktu tertentu, yang persalinannya
memperoleh pertolongan dari tenaga kesehatan yang memiliki kompetensi kebidanan.
3) Penyebut
Jumlah ibu bersalin di satu wilayah kerja yang sama pada kurun waktu yang sama.
4) Ukuran/Konstanta
Persentase (%)
Jumlah Penduduk 500.000, Angka Kelahiran Kasar (CBR) 2,3 %. Hasil cakupan Pn = 10.500 Ibu
bersalin (Bulin) Januari- Desember tahun 2003,
Maka :
Cakupan Pn adalah = Jml persalinan oleh tenaga kesehatan (Pn) X 100%
Jml seluruh sasaran persalinan dalam satu tahun
f. Target
a. Pengertian
1) Risti/Komplikasi adalah keadaan penyimpangan dari normal, yang secara langsung menyebabkan
kesakitan dan kematian ibu maupun bayi.
2) Risti/komplikasi kebidanan meliputi: (Hb < 8 g%, Tekanan darah tinggi (sistole > 140 mmHg,
Diastole > 90 mmHg, Oedema nyata, eklamsia, perdarahan pervaginam, ketuban pecah dini, Letak
lintang pada usia kehamilan > 32 minggu, letak sungsang pada primigravida, infeksi berat/sepsis,
persalinan prematur.
3) Bumil Risti / komplikasi yang dirujuk adalah Bumil Risti / Komplikasi yang ditemukan untuk
mendapat pertolongan pertama dan rujukan oleh tenaga kesehatan.
Ibu Hamil Risiko Tinggi yang Dirujuk adalah Ibu hamil Risiko tinggi/komplikasi yang dirujuk di satu
wilayah kerja pada kurun waktu tertentu.
1) Rumus
Ibu hamil risti/komplikasi Jumlah Bumil Risti/Komplikasi ditemukan x 100%
= yang dirujuk Jml seluruh sasaran Bumil risti/komplikasi
2) Pembilang
Jumlah ibu hamil risiko tinggi/komplikasi yang ditemukan/ dideteksi di satu wilayah kerja pada
kurun waktu tertentu.
3) Penyebut
Jumlah ibu hamil risiko tinggi/komplikasi yang ada di wilayah kerja pada kurun waktu yang sama
(20% total ibu hamil).
Perhitungan perkiraan ibu hamil dapat dilihat pada indikator cakupan kunjungan ibu hamil K4.
4) Ukuran/Konstanta
Persentase (%)
Jumlah Penduduk 500.000, Angka Kelahiran Kasar (CBR) 2,3%. Hasil cakupan ibu hamil
Risti/komplikasi = 2250 Januari - Desember tahun 2003, maka:
1) SIMPUS dan SIRS termasuk pelayanan yang dilakukan oleh swasta;
e. Rujukan
b. Pengertian
1) 1) Cakupan Kunjungan Neonatus (KN) adalah pelayanan kesehatan kepada bayi
umur 0-28 hari di sarana pelayanan kesehatan maupun pelayanan melalui
kunjungan rumah.
2) 2) Pelayanan tersebut meliputi pelayanan kesehatan neonatal dasar (tindakan
resusitasi, pencegahan hipotermia, pemberian ASI dini dan ekslusif, pencegahan
infeksi berupa perawatan mata, tali pusat, kulit, dan pemberian imunisasi);
pemberian vitamin K; Manajemen Terpadu Bayi Muda (MTBM); dan penyuluhan
perawatan neonatus di rumah menggunakan Buku KIA.
3) Setiap neonatus memperoleh pelayanan kesehatan minimal 2 kali yaitu 1 kali pada
umur 0-7 hari dan 1 kali pada umur 8-28 hari.
Cakupan Kunjungan Neonatus adalah cakupan neonatus yang memperoleh pelayanan kesehatan
sesuai dengan standar oleh Dokter, Bidan, Perawat yang memilki kompetensi klinis kesehatan
neonatal, paling sedikit 2 kali, di satu wilayah kerja pada kurun waktu tertentu.
1) Rumus
2) Pembilang
Jumlah neonatus yang memperoleh pelayanan kesehatan sesuai dengan standar, paling sedikit 2
kali, di satu wilayah kerja pada kurun waktu tertentu.
3) Penyebut
Seluruh bayi lahir hidup di satu wilayah kerja pada kurun waktu sama. Jika tidak ada data dapat
digunakan angka estimasi jumlah bayi lahir hidup berdasarkan data BPS atau perhitungan CBR
dikalikan jumlah penduduk.
4) Ukuran/Konstanta
Persentase (%)
5) Contoh Perhitungan
f. Rujukan
g. Target
a. Pengertian
1) Cakupan kunjungan bayi adalah cakupan kunjungan bayi umur 1-12 bulan di sarana pelayanan
kesehatan maupun di rumah, posyandu, tempat penitipan anak, panti asuhan dan sebagainya, melalui
kunjungan petugas.
2) Pelayanan kesehatan tersebut meliputi deteksi dini kelainan tumbuh kembang bayi (DDTK), stimulasi
perkembangan bayi, MTBM, manajemen terpadu balita sakit (MTBS), dan penyuluhan perawatan
kesehatan bayi di rumah menggunakan Buku KIA yang diberikan oleh dokter, bidan dan perawat yang
memiliki kompetensi klinis kesehatan bayi.
3) Setiap bayi memperoleh pelayanan kesehatan minimal 4 kali yaitu 1 kali pada umur 1-3 bulan, 1 kali
pada umur 3-6 bulan, 1 kali pada umur 6-9 bulan dan 1 kali pada umur 9-12 bulan.
Cakupan Kunjungan Bayi adalah cakupan bayi yang memperoleh pelayanan kesehatan sesuai dengan
standar oleh Dokter, Bidan, Perawat yang memiliki kompetensi klinis kesehatan bayi, paling sedikit 4 kali,
di satu wilayah kerja pada kurun waktu tertentu.
1) Rumus
Cakupan Jumlah bayi memperoleh pelayanan kesehatan sesuai standar x 100%
kunjungan bayi =
Seluruh bayi lahir hidup
2) Pembilang
Jumlah bayi memperoleh pelayanan kesehatan sesuai standar oleh tenaga kesehatan, paling
sedikit 4 kali, di satu wilayah kerja pada kurun waktu tertentu.
3) Penyebut
Seluruh bayi lahir hidup di satu wilayah kerja pada kurun waktu yang sama. Jika tidak ada data dapat
digunakan angka estimasi jumlah bayi lahir hidup berdasarkan data BPS atau perhitungan CBR
dikalikan jumlah penduduk.
4) Ukuran/Konstanta
Prosentase (%)
e. Rujukan
f. Target
1) Peningkatan kompetensi klinis kesehatan bayi meliputi DDTK, stimulasi perkembangan bayi dan
MTBS;
1) Cakupan bayi berat lahir rendah adalah cakupan bayi dengan berat lahir kurang dari 2500 gram yang
ditimbang pada saat lahir sampai dengan 24 jam pertama setelah lahir.
2) Penanganan BBLR meliputi pelayanan kesehatan neonatal dasar (tindakan resusitasi, pencegahan
hipotermia, pemberian ASI dini dan ekslusif, pencegahan infeksi berupa perawatan mata, talipusat,
kulit, dan pemberian imunisasi); pemberian vitamin K; manajemen terpadu bayi muda (MTBM);
penanganan penyulit/komplikasi/masalah pada BBLR dan penyuluhan perawatan neonatus di rumah
menggunakan Buku KIA.
3) Setiap BBLR memperoleh pelayanan kesehatan yang diberikan di sarana pelayanan kesehatan
maupun pelayanan melalui kunjungan rumah oleh Dokter, Bidan dan Perawat yang memiliki
kompetensi klinis kesehatan neonatal dan penanganan BBLR.
Cakupan Bayi Berat Lahir Rendah/BBLR yang Ditangani adalah cakupan BBLR yang ditangani sesuai
standar oleh Dokter, Bidan dan Perawat yang memiliki kompetensi klinis kesehatan neonatal dan
penanganan BBLR, di satu wilayah kerja pada kurun waktu tertentu.
1) Rumus
Jumlah kunjungan BBLR yang ditangani sesuai dengan standar oleh tenaga kesehatan, di satu
wilayah kerja pada kurun waktu tertentu.
3) Penyebut
4) Ukuran/Konstanta
Persentase (%)
f. Target
1. Cakupan deteksi dini tumbuh kembang anak balita dan pra sekolah
a. Pengertian
1) Anak balita dan prasekolah adalah anak umur 1 sampai dengan 6 tahun.
2) Pelayanan DDTK Anak balita dan Prasekolah meliputi kegiatan deteksi dini masalah kesehatan
anak menggunakan MTBS, monitoring pertumbuhan menggunakan Buku KIA/KMS dan
pemantauan perkembangan (motorik kasar, motorik halus, bahasa, sosialisasi dan kemandirian);
penanganan penyakit sesuai MTBS, penanganan masalah pertumbuhan, stimulasi perkembangan
anak balita dan prasekolah; pelayanan rujukan ke tingkat yang lebih mampu.
3) Setiap anak umur 1 sampai dengan 6 tahun memperoleh pelayanan DDTK minimal 2 kali per
tahun (setiap 6 bulan sekali). Pelayanan DDTK diberikan di dalam gedung maupun di luar gedung
(di posyandu, Taman Kanak-kanak, tempat penitipan anak, panti asuhan dan sebagainya) oleh
Dokter, Bidan dan Perawat yang memiliki kompetensi klinis kesehatan anak, DDTK, MTBM dan
MTBS.
Cakupan deteksi dini tumbuh kembang anak balita dan pra sekolah adalah cakupan anak umur 1-6
tahun yang dideteksi kesehatan dan tumbuh kembangnya sesuai dengan standar oleh Dokter, Bidan
dan Perawat, paling sedikit 2 kali per tahun, di satu wilayah kerja pada kurun waktu tertentu.
c. Cara Perhitungan/Rumus
1) Rumus
Cakupan DDTK = Jumlah anak umur 1-6 tahun yang di DDTK x 100 %
sesuai dengan standar, paling sedikit 2 kali
Jumlah balita di satu wilayah kerja
2) Pembilang
Jumlah anak umur 1-6 tahun yang dideteksi kesehatan dan tumbuhkembangnya oleh tenaga
kesehatan sesuai dengan standar oleh tenaga kesehatan, paling sedikit 2 kali, di satu wilayah
kerja pada kurun waktu tertentu.
3) Penyebut
Jumlah balita di satu wilayah kerja pada kurun waktu yang sama. Jika tidak ada data dapat
digunakan angka estimasi jumlah balita sekitar 10% dari jumlah penduduk.
4) Ukuran/Konstanta
Persentase (%)
Jumlah anak balita umur 1-6 tahun memperoleh pelayanan DDTK sesuai standar oleh tenaga
kesehatan paling sedikit 2 kali di Kabupaten A= 9.000.
Seluruh balita = 25.000
Cakupan DDTK anak balita dan prasekolah = 9.000 / 27.000 x 100 % = 33,33 %
e. Rujukan
f. Target
3) Pelayanan kunjungan anak balita dan prasekolah, di dalam gedung dan luar gedung;
2. Cakupan pemeriksaan kesehatan siswa SD dan setingkat oleh tenaga kesehatan atau
tenaga terlatih/ guru UKS/Dokter Kecil
a. Pengertian
1) Usaha Kesehatan Sekolah (UKS) adalah upaya terpadu lintas program dan lintas sektor dalam
rangka meningkatkan derajat kesehatan serta membentuk perilaku hidup sehat anak usia sekolah
yang berada di sekolah.
2) Pelayanan kesehatan pada UKS adalah pemeriksaan kesehatan umum, kesehatan gigi dan mulut
siswa SD dan setingkat melalui penjaringan kesehatan terhadap murid kelas 1 Sekolah Dasar dan
Madrasah Ibtidaiyah yang dilaksanakan oleh tenaga kesehatan bersama dengan guru UKS terlatih
dan dokter kecil secara berjenjang (penjaringan awal oleh guru dan dokter kecil, penjaringan
lanjutan oleh tenaga kesehatan).
3) Tenaga Kesehatan adalah tenaga medis, keperawatan atau petugas Puskesmas lainnya yang telah
dilatih sebagai tenaga pelaksana UKS/UKGS.
4) Guru UKS adalah guru kelas atau guru yang ditunjuk sebagai pembina UKS di sekolah dan telah
dilatih tentang UKS.
5) Dokter kecil adalah kader kesehatan sekolah yang biasanya berasal dari murid kelas 4 dan 5 SD
dan setingkat yang telah mendapatkan pelatihan dokter kecil.
Cakupan pemeriksaan kesehatan siswa SD dan setingkat adalah cakupan siswa kelas 1 SD dan
setingkat yang diperiksa kesehatannya oleh tenaga kesehatan atau tenaga terlatih (guru UKS/dokter
kecil) melalui penjaringan kesehatan di satu wilayah kerja pada kurun waktu tertentu.
1) Rumus
Jumlah murid kelas 1 SD dan setingkat yang diperiksa kesehatannya melalui penjaringan
kesehatan oleh tenaga kesehatan atau tenaga terlatih (guru UKS/ dokter kecil) di satu wilayah
kerja pada kurun waktu tertentu.
3) Penyebut
Jumlah murid kelas 1 SD dan setingkat di wilayah kerja pada kurun waktu yang sama.
4) Ukuran/Konstanta
Persentase (%)
Jumlah murid kelas 1 SD dan setingkat di Kabupaten X pada tahun 2003 adalah 12.000 orang.
Jumlah murid kelas 1 SD dan setingkat yang diperiksa kesehatannya melalui penjaringan
kesehatan 9.000 orang
1) Catatan dan pelaporan hasil penjaringan kesehatan (Laporan kegiatan UKS);
e. Rujukan
f. Target
3. Cakupan Pemeriksaan Kesehatan Siswa TK, SLTP, SLTA dan setingkat oleh tenaga
kesehatan atau tenaga terlatih/ guru uks/ dokter kecil ( 80%)
a. Pengertian
1) Pemeriksaan kesehatan siswa adalah pemeriksaan kesehatan umum (TB, BB, Kulit, ketajaman
mata, pendengaran, gigi mulut) yang dilaksanakan oleh nakes bagi siswa TK, SLP, SLTA atau
setingkat.
2) Tenaga kesehatan adalah tenaga medis, keperawatan atau petugas puskesmas lainnya yang
telah dilatih sebagai tenaga pelaksana UKS/ UKDS.
3) Guru UKS adalah guru kelas atau guru yang ditunjuk sebagai pembina UKS di sekolah dan telah
dilatih tentang UKS.
4) Dokter kecil adalah kader kesehatan sekolah yang berasal dari murid kelas IV dan V SD dan
setingkat yang mendapat pelatihan dokter kecil.
Persentase siswa TK, SLTP, SLTA, dan Setingkat yang diperiksa kesehatannya oleh tenaga kesehatan
atau tenaga terlatih (guru UKS/ dokter kecil) melalui penjaringan kesehatan paling sedikit 2 x setahun di
satu wilayah kerja pada kurun waktu satu tahun.
c. Cara Perhitungan
1. Rumus:
Jumlah murid TK, SLTP, SLTA yang setingkat diperiksa 2 x setahun x 100%
Jumlah sasaran siswa TK, SLTP, SLTA dan setingkat
2. Pembilang
Jumlah murid TK, SLTP, SLTA yang setingkat diperiksa 2 x setahun di satu wilayah kerja dalam kurun
waktu tertentu.
3. Penyebut
Jumlah sasaran siswa TK, SLTP, SLTA dan setingkat di satu wilayah kerja dalam kurun waktu yang
sama.
d. Sumber data
Laporan Puskesmas.
e. Rujukan.
- Renstra 1999-2004
f. Target
g. Langkah Kegiatan
a. Pengertian
1) Pemeriksaan kesehatan remaja adalah pemeriksaan kesehatan siswa kelas 1 SLTP dan
setingkat, kelas 1 SMU dan setingkat melalui penjaringan kesehatan terhadap murid kelas 1 SLTP
dan Madrasah Tsanawiyah, kelas 1 SMU/SMK dan Madrasah Aliyah yang dilaksanakan oleh
tenaga kesehatan bersama dengan guru UKS terlatih dan kader kesehatan remaja secara
berjenjang (penjaringan awal oleh guru dan kader kesehatan remaja, penjaringan lanjutan oleh
tenaga kesehatan).
2) Tenaga Kesehatan adalah tenaga medis, paramedis atau petugas Puskesmas lainnya yang telah
dilatih sebagai tenaga pelaksana UKS.
3) Guru UKS adalah guru kelas atau guru yang ditunjuk sebagai pembina UKS di sekolah dan telah
dilatih tentang UKS.
4) Kader Kesehatan Remaja adalah kader kesehatan sekolah yang biasanya berasal dari murid
kelas 1 dan 2 SLTP dan setingkat, murid kelas 1 dan 2 SMU/SMK dan setingkat yang telah
mendapatkan pelatihan Kader Kesehatan Remaja.
Cakupan pelayanan kesehatan remaja adalah cakupan siswa kelas 1 SLTP dan setingkat, SMU/SMK
dan setingkat yang diperiksa kesehatannya oleh tenaga kesehatan atau tenaga terlatih (guru
UKS/kader kesehatan sekolah) melalui penjaringan kesehatan di satu wilayah kerja pada kurun waktu
tertentu.
1) Rumus
2) Pembilang
Jumlah murid kelas 1 SLTP dan setingkat + Murid kelas 1 SMU/SMK dan setingkat yang diperiksa
kesehatannya melalui penjaringan kesehatan oleh tenaga kesehatan atau tenaga terlatih (guru
UKS/kader kesehatan remaja) di satu wilayah kerja pada kurun waktu tertentu.
3) Penyebut
Jumlah murid kelas 1 SLTP dan setingkat + murid kelas 1 SMU/ SMK dan setingkat di wilayah
kerja pada kurun waktu yang sama.
4) Ukuran/Konstanta
Persentase (%)
Jumlah murid kelas 1 SLTP dan setingkat + murid kelas SMU/SMK dan setingkat di Kabupaten A
tahun 2003 adalah 6.000 orang.
Jumlah murid kelas 1 SLTP dan setingkat + murid kelas 1 SMU/SMK dan setingkat yang diperiksa
kesehatannya melalui penjaringan kesehatan 3.000 orang.
Cakupan = 3.000/6.000 x 100 % = 50 %
1) Catatan dan pelaporan hasil penjaringan kesehatan Laporan kegiatan UKS);
e. Rujukan
f. Target
a. Pengertian
1) Peserta KB Aktif (CU) adalah akseptor yang pada saat ini memakai kontrasepsi untuk menjarangkan
kehamilan atau yang mengakhiri kesuburan.
2) Cakupan Peserta KB Aktif adalah perbandingan antara jumlah peserta KB aktif (CU) dengan
Pasangan Usia Subur (PUS).
3) Cakupan Peserta KB aktif menunjukkan tingkat pemanfaatan kontrasepsi di antara para Pasangan
Usia Subur (PUS).
Cakupan peserta KB aktif adalah cakupan peserta KB aktif dibandingkan dengan jumlah Pasangan Usia
Subur di suatu wilayah kerja pada kurun waktu tertentu.
1) Rumus
Jumlah PUS yang memperoleh pelayanan kontrasepsi sesuai standar di suatu wilayah kerja pada
kurun waktu tertentu.
3) Penyebut
Persentase (%)
Jumlah PUS yang memperoleh pelayanan kontrasepsi sesuai standar di Kabupaten A= 12.000 PUS.
e. Rujukan
f. Target
Pelayanan imunisasi
a. Pengertian
1) Kelurahan adalah wilayah kerja lurah sebagai perangkat daerah kabupaten dan/atau daerah kota di
bawah kecamatan. (Undang-Undang Otonomi Daerah 1999).
2) Desa adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki kewenangan untuk mengatur dan mengurus
kepentingan masyarakat setempat berdasarkan asal usul dan adat istiadat setempat yang diakui dalam
sistem Pemerintahan Nasional dan berada di daerah kabupaten. (Undang-Undang Otonomi Daerah
1999).
3) UCI (Universal Child Immunization) ialah tercapainya imunisasi dasar secara lengkap pada bayi (0-11
bulan), ibu hamil, WUS dan anak sekolah tingkat dasar.
4) Imunisasi dasar lengkap pada bayi meliputi : 1 dosis BCG, 3 dosis DPT, 4 dosis Polio, 4 dosis Hepatitis
B, 1 dosis Campak. Ibu hamil dan WUS meliputi 2 dosis TT. Anak sekolah tingkat dasar meliputi, 1 dosis
DT, 1 dosis campak, 2 dosis TT.
Desa atau Kelurahan UCI adalah desa/kelurahan dimana ≥ 80% dari jumlah bayi yang ada di desa tersebut
sudah mendapat imunisasi dasar lengkap.
1) Rumus
2) Pembilang
Jumlah desa/kelurahan UCI di satu wilayah kerja pada kurun waktu tertentu.
3) Penyebut
Persentase (%)
e. Rujukan
f. Target
§ Investigasi/pelacakan.
a. Pengertian
1) Rawat Jalan adalah pelayanan keperawatan kesehatan perorangan yang meliputi observasi,
diagnosa, pengobatan, rehabilitasi medik tanpa tinggal di ruang rawat inap pada sarana kesehatan.
2) Cakupan rawat jalan adalah jumlah kunjungan kasus baru rawat jalan di sarana kesehatan dalam
kurun waktu 1 (satu) tahun.
3) Kunjungan pasien baru adalah seseorang yang berkunjung ke sarana pelayanan kesehatan
dengan kasus penyakit baru.
4) Sarana kesehatan adalah tempat pelayanan kesehatan meliputi antara lain : rumah sakit
pemerintah dan swasta, puskesmas, balai pengobatan pemerintah dan swasta, praktek bersama
dan perorangan.
Cakupan Rawat Jalan adalah cakupan kunjungan rawat jalan baru di sarana pelayanan kesehatan
pemerintah dan swasta di satu wilayah kerja pada kurun waktu tertentu.
1) Rumus
Cakupan = Jumlah kunjungan kasus baru Rawat Jalan di sakes
Rawat Jalan dalam kurun waktu tertentu
Jumlah penduduk di satu wilayah dalam kurun x 100 %
waktu yang sama
2) Pembilang
Jumlah kunjungan kasus baru rawat jalan di sarana pelayanan kesehatan dalam kurun waktu
tertentu.
3) Penyebut
Jumlah penduduk di satu wilayah kerja dalam kurun waktu yang sama.
4) Ukuran/Konstanta
Persentase (%).
Jumlah kunjungan pasien baru RJ di sarkes di Kab. A dalam kurun waktu 1 (satu) tahun : 52.800.
Jumlah penduduk Kab. A : 2.000.000 orang.
Cakupan Rawat Jalan = 52. 800 x 100 % = 2,64 %
2.000.000
e. Rujukan
f. Target
4) Penyuluhan;
5) Pelatihan SDM;
a. Pengertian
1) Rawat Inap adalah pelayanan kesehatan perorangan yang meliputi pelayanan kesehatan
perorangan yang meliputi observasi, diagnosa, pengobatan, keperawatan, rehabilitasi medik
dengan menginap di ruang rawat inap pada sarana kesehatan rumah sakit pemerintah dan
swasta, serta puskesmas perawatan dan rumah bersalin, yang oleh karena penyakitnya penderita
harus menginap.
2) Penderita adalah seseorang yang mengalami / menderita sakit atau mengidap suatu penyakit.
3) Fasilitas pelayanan kesehatan adalah Rumah Sakit baik milik pemerintah maupun swasta, dan
Puskesmas.
Cakupan Rawat Inap adalah Cakupan kunjungan rawat inap baru di sarana pelayanan kesehatan
swasta dan pemerintah di satu wilayah kerja pada kurun waktu tertentu.
1) Rumus
PERTEMUAN
PENYAKIT-PENYAKIT KLB
A. Pengertian
1. Wabah
Merupakan kejadian berjangkitnya suatu penyakit menular dimasyarakat yang
jumlah penderitanya secara nyata meningkat melebihi dari pada keadaan yang
lazim pada waktu dan daerah tertentu serta menimbulkan mala petaka (UU N0 4,
1984).
2. KLB
Merupakan timbulnhya atan meningkatnya kejadian keseakitan, kematian yang
bermakna secara epidemiologi pada suatu daerah dalam kurun waktu tertentu
(peraturan mentri kesehatan RI, No, 560/MENKES/PER/VII/1989).
B. Kriteria KLB
Suatu kejadian penyakit dapat dikatakan KLB apabila memenuhi syarat sebagai
berikut;
Jika ada wabah/KLB dilaporkan dalam waktu 24 jam dengan mengunakan formulir
W1. kemudian KLB atau wabah yang berlangsung juga dilaporkan dengan laporan
mingguan dengan form W2.
a. Orang tua penderita atau tersangka penderita yang tinggal serumah dengan
penderita kepada kepala RT/RW/kepala dusun
b. Dokter, petugas kesehatan yang memeriksa penderita.
c. Kepala unit pemerintah atau swasta
d. Nahkoda kendaraan air atau udara.
Laporan kewaspadaan disampaikan kepada lurah atau unit kesehatan terdekat
selambat-lambatnya 24 jam sejak mengetahui adanya penderita baik dengan
cara lisan maupun tulisan. Kemudian laporan tersebut harus diteruskan kepada
kepala puskesmas setempat.
3. Dilaporkan mingguan
Laporan mingguan wabah (W2) merupakan bagian dari sistem kewaspadaan dini
KLB yang dilaksanakan oleh unit kesehatan terdepan (puskesmas). Sumber data
laporan mingguan adalah data rawat jalan dan rawat inap dari puskesmas,
puskesmas pembantu, puskesmas keliling, posyandu dan masyarakat dan
rumah sakit pemerintas atau swasta. Sikap waspada terhdap penyakit potensial
KLB ini juga diikuti oleh siaga TIM professional logistik dan cara penanggulangan
termasuk sarana komunikasi dan administrasi.
E. Langkah-langkah penyidikan KLB
1. Persiapan
a. Konfirmasi informasi
Informasi yang didapat kadang-kadang tidak lengkap bahkan tidak jelas, untuk
itu diperlukan upaya konfirmasi tentang kejelasan informasi.
1. Definisi kasus
Definisi kasus sangat berguna untuk mengarahkan pencarian kasus,
paling baik ditentukan berdasarkan hasil konfirmasi laboratorium.
Perumusan diagnosis kasus dalam kalimat yang jelas merupakan hal
yang penting oleh karena itu akan menjadi pedoman bagi tim penyelidikan
lapangan dalam penemuan kasus.
2. Pelaksanaan
a. Penegakan diagnosis
Penegakan diagnosis dilakukan dengan cara menghitung distribusi frekuensi
dari tanda dan gejala yang ditemukan pada kasus dengan membuat daftar
gejala yang ada pada kasus dan menghitung persentasenya. Susunan
berdasarkan pada frekuensi gejala dan tanda penderita kemudian dicocokan
dengan tanda dan gejala klinis penderita penyakit tertentu, sehingga kejadian
ini dapat dikelompokan menjadi kasus atau bukan.
b. Penentuan KLB
Penentuan KLB bertujuan menetapkan apakah kejadian tesebut merupakan
KLB atau bukan, dilakukan dengan membandingkan insiden penyakit yang
telah berjalan dengan insiden penyakit dalam keadaan biasa pada populasi
yang berisiko pada tempat dan waktu tertentu.
Hal ini dapat dilakukan dengan melihat pola maksimum dan minimum 5
tahunan atan 3 tahunan, membandingkan penyakit pada minggu.bulan/tahun
sebelumya. Untuk memastikan KLB sebaiknya dilakukan pola analisis secara
komperhensif tidak hanya kasus tetapi termasuk informasi fektor, lingkungan
dan prilaku penduduk.
e. Merumuskan hipotesis
Setelah di ketahui adanya laporan kemudian diambil hipotesis dengan
merujuk teori yang telah ada.
SURVEILANS
Pengantar
1. Surveilans aktif
Pada sistem surveilans ini dituntut keaktivan dari petugas surveilans dalam
mengumpulkan data, baik dari masyarakat maupun ke unit-unit pelayanan
kesehatan. Sistem surveilans ini memberikan data yang paling akurat serta sesuai
dengan kondisi waktu saat itu. Namun kekurangannya, sistem ini memerlukan biaya
lebih besar dibandingkan surveilans pasif.
2. Surveilans pasif
Dasar dari sistem surveilans ini adalah pelaporan. Dimana dalam suatu sistem
kesehatan ada, ada sistem pelaporan yang dibangun dari unit pelayanan kesehatan
di masyarakat sampai ke pusat, ke pemegang kebijakan. Pelaporan ini meliputi
pelaporan laporan rutin program serta laporan rutin manajerial yang meliputi logistik,
administrasi dan finansial program (laporan manajerial program).
Struktur Fungsi
Surveilan Pokok
s Surveilans
Mutu Fungsi
Surveilan Pendukung
s Surveilans
Kasus 1
Pertanyaan
1. Berdasarkan kasus diatas buat perjalanan penularan penyakit dari desa satu ke
desa lainnya.
2. berdasarkan kasus diatas buat indek case untuk setiap desa yang terjangkit.
Kasus 2
Suatu puskesmas kesulitan dalam pelaporan data ke dinas kesehatan karena petugas
puskesmas tidak paham mengenai sistem pelaporan data ke dinas kesehatan. Data
yang dilaporkan ke dinas keshatan meliputi laporan penyakit-penyakit yang
menimbulkan kejadian luarbiasa dan penyakit-penyakit yang wajib lapor.
Pertanyaan
EPIDEMIOLOGI DESKRIPTIF
DALAM PELAYANAN KEBIDANAN
Epidemiologi deskirptiif adalah studi pendekatan epidemiologi yang bertujuan untuk
menggambarkan masalah kesehatan yang terdapat di dalam masyarakat dengan menentukan
frekuensi, distribusi dan determinan penyakit berdsarkan atribut & variabel menurut segitiga
epidemiologi (orang, Tempat, dan Waktu)
Studi Deskriptif disebut juga studi prevalensi atau studi pendahuluan dari studi analitik
ayng dapat dilakukan suatu saat atau suatu periode tertentu. Jika studi ini ditujukan kepada
sekelompok masyarakat tertentu yang mempunyai masalah kesehatan maka disebutlah studi
kasus tetapi jika ditujukan untuk pengamatan secara berkelanjutan maka disebutlah dengan
surveilans serta bila ditujukan untuk menganalisa faktor penyebab atau risiko maupun akibatnya
maka disebut dengan studi potong lintang atau cross sectional
1. Untuk menggambarkan distribusi keadaan masalah kesehatan sehingga dapat diduga kelompok
mana di masyarakat yang paling banyak terserang.
3. Untuk mengidentifikasi dugaan adanya faktor yang mungkin berhubungan terhadap masalah
kesehatan (menjadi dasar suatu formulasi hipotesis).
1. Bertujuan untukmenggambarkan
3. Hubungan sebab akibat hanya merupakan suatu perkiraan ataau semacam asumsi
2. Untuk menentukan dan menilai program pemberantasan penyakit yang telah dilaksanakan
4. Untuk Membandingkan frekuensi distribusi morbiditas atau mortalitas antara wilayah atau satu
wil dalam waktu yang berbeda.
Konsep yang terpenting juga dalam studi epidemiologi deskriptif adalah bagaimana
menjawab pertanyaan 5W+1H. Hal tersebut mengacu pada variabel-variabel segitiga
epidemiologi terdiri dari orang (person), tempat (place) dan waktu (time).
A. Orang (Person)
Disini akan dibicarakan peranan umur, jenis kelamin, kelas sosial, pekerjaan, golongan
etnik, status perkawinan, besarnya keluarga, struktur keluarga dan paritas.
1. Umur
Dengan cara ini orang dapat membacanya dengan mudah dan melihat pola kesakitan atau
kematian menurut golongan umur. Persoalan yang dihadapi adalah apakah umur yang dilaporkan
tepat, apakah panjangnya interval didalam pengelompokan cukup untuk tidak menyembunyikan
peranan umur pada pola kesakitan atau kematian dan apakah pengelompokan umur dapat
dibandingkan dengan pengelompokan umur pada penelitian orang lain.
Didalam mendapatkan laporan umur yang tepat pada masyarakat pedesaan yang
kebanyakan masih buta huruf hendaknya memanfaatkan sumber informasi seperti catatan
petugas agama, guru, lurah dan sebagainya. Hal ini tentunya tidak menjadi soal yang berat dikala
mengumpulkan keterangan umur bagi mereka yang telah bersekolah.
1. Jenis Kelamin
Angka-angka dari luar negeri menunjukkan bahwa angka kesakitan lebih tinggi
dikalangan wanita sedangkan angka kematian lebih tinggi dikalangan pria, juga pada semua
golongan umur. Untuk Indonesia masih perlu dipelajari lebih lanjut. Perbedaan angka kematian
ini, dapat disebabkan oleh faktor-faktor intinsik.
Yang pertama diduga meliputi faktor keturunan yang terkait dengan jenis kelamin atau
perbedaan hormonal sedangkan yang kedua diduga oleh karena berperannya faktor-faktor
lingkungan (lebih banyak pria mengisap rokok, minum minuman keras, candu, bekerja berat,
berhadapan dengan pekerjaan-pekerjaan berbahaya, dan seterusnya).
Sebab-sebab adanya angka kesakitan yang lebih tinggi dikalangan wanita, di Amerika
Serikat dihubungkan dengan kemungkinan bahwa wanita lebih bebas untuk mencari perawatan.
Di Indonesia keadaan itu belum diketahui. Terdapat indikasi bahwa kecuali untuk beberapa
penyakit alat kelamin, angka kematian untuk berbagai penyakit lebih tinggi pada kalangan pria.
1. Kelas Sosial
Kelas sosial adalah variabel yang sering pula dilihat hubungannya dengan angka
kesakitan atau kematian, variabel ini menggambarkan tingkat kehidupan seseorang. Kelas sosial
ini ditentukan oleh unsur-unsur seperti pendidikan, pekerjaan, penghasilan dan banyak contoh
ditentukan pula oleh tempat tinggal. Karena hal-hal ini dapat
Masalah yang dihadapi dilapangan ialah bagaimana mendapatkan indikator tunggal bagi
kelas sosial. Di Inggris, penggolongan kelas sosial ini didasarkan atas dasar jenis pekerjaan
seseorang yakni I (profesional), II (menengah), III (tenaga terampil), IV (tenaga setengah
terampil) dan V (tidak mempunyai keterampilan).
Di Indonesia dewasa ini penggolongan seperti ini sulit oleh karena jenis pekerjaan tidak
memberi jaminan perbedaan dalam penghasilan. Hubungan antara kelas sosial dan angka
kesakitan atau kematian kita dapat mempelajari pula dalam hubungan dengan umur, dan jenis
kelamin.
1. Jenis Pekerjaan
Jenis pekerjaan dapat berperan didalam timbulnya penyakit melalui beberapa jalan yakni
a. Adanya faktor-faktor lingkungan yang langsung dapat menimbulkan kesakitan
seperti bahan-bahan kimia, gas-gas beracun, radiasi, benda-benda fisik yang dapat menimbulkan
kecelakaan dan sebagainya.
b. Situasi pekerjaan yang penuh dengan stress (yang telah dikenal sebagai faktor
yang berperan pada timbulnya hipertensi, ulkus lambung).
d. Karena berkerumun di satu tempat yang relatif sempit maka dapat terjadi proses
penularan penyakit antara para pekerja.
e. Penyakit karena cacing tambang telah lama diketahui terkait dengan pekerjaan
di tambang.
Penelitian mengenai hubungan jenis pekerjaan dan pola kesakitan banyak dikerjakan di
Indonesia terutama pola penyakit kronis misalnya penyakit jantung, tekanan darah tinggi, dan
kanker.Jenis pekerjaan apa saja yang hendak dipelajari hubungannya dengan suatu penyakit
dapat pula memperhitungkan pengaruh variabel umur dan jenis kelamin.
1. Penghasilan
Yang sering dilakukan ialah menilai hubungan antara tingkat penghasilan dengan
pemanfaatan pelayanan kesehatan maupun pencegahan. Seseorang kurang memanfaatkan
pelayanan kesehatan yang ada mungkin oleh karena tidak mempunyai cukup uang untuk
membeli obat, membayar transport, dan sebagainya.
1. Golongan Etnik
Berbagai golongan etnik dapat berbeda didalam kebiasaan makan, susunan genetika, gaya
hidup dan sebagainya yang dapat mengakibatkan perbedaan-perbedaan didalam angka kesakitan
atau kematian.
.
1. Status Perkawinan
Dari penelitian telah ditunjukkan bahwa terdapat hubungan antara angka kesakitan
maupun kematian dengan status kawin, tidak kawin, cerai dan janda; angka kematian karena
penyakit-penyakit tertentu maupun kematian karena semua sebab makin meninggi dalam urutan
tertentu.
Diduga bahwa sebab-sebab angka kematian lebih tinggi pada yang tidak kawin
dibandingkan dengan yang kawin ialah karena ada kecenderungan orang-orang yang tidak kawin
kurang sehat. Kecenderungan bagi orang-orang yang tidak kawin lebih sering berhadapan
dengan penyakit, atau karena adanya perbedaan-perbedaan dalam gaya hidup yang berhubungan
secara kausal dengan penyebab penyakit-penyakit tertentu.
1. Besarnya Keluarga
Didalam keluarga besar dan miskin, anak-anak dapat menderita oleh karena penghasilan
keluarga harus digunakan oleh banyak orang.
1. Struktur Keluarga
1. Paritas
Tingkat paritas telah menarik perhatian para peneliti dalam hubungan kesehatan si ibu
maupun anak. Dikatakan umpamanya bahwa terdapat kecenderungan kesehatan ibu yang
berparitas rendah lebih baik dari yang berparitas tinggi, terdapat asosiasi antara tingkat paritas
dan penyakit-penyakit tertentu seperti asma bronchiale, ulkus peptikum, pilorik stenosis dan
seterusnya. Tapi kesemuanya masih memerlukan penelitian lebih lanjut.
A. Tempat (Place)
Pengetahuan mengenai distribusi geografis dari suatu penyakit berguna untuk
perencanaan pelayanan kesehatan dan dapat memberikan penjelasan mengenai etiologi penyakit.
4. Negara-negara
5. Regional
Hal-hal yang memberikan kekhususan pola penyakit di suatu daerah dengan batas-batas
alam ialah : keadaan lingkungan yang khusus seperti temperatur, kelembaban, turun hujan,
ketinggian diatas permukaan laut, keadaan tanah, sumber air, derajat isolasi terhadap pengaruh
luar yang tergambar dalam tingkat kemajuan ekonomi, pendidikan, industri, pelayanan
kesehatan, bertahannya tradisi-tradisi yang merupakan hambatan-hambatan pembangunan,
faktor-faktor sosial budaya yang tidak menguntungkan kesehatan atau pengembangan kesehatan,
sifat-sifat lingkungan biologis (ada tidaknya vektor penyakit menular tertentu, reservoir penyakit
menular tertentu, dan susunan genetika), dan sebagainya.
Pentingnya peranan tempat didalam mempelajari etiologi suatu penyakit menular dapat
digambar dengan jelas pada penyelidikan suatu wabah, yang akan diuraikan nanti.
Didalam membicarakan perbedaan pola penyakit antara kota dan pedesaan, faktor-faktor
yang baru saja disebutkan diatas perlu pula diperhatikan. Hal lain yang perlu diperhatikan
selanjutnya ialah akibat migrasi ke kota atau ke desa terhadap pola penyakit, di kota maupun di
desa itu sendiri.
Migrasi antar desa tentunya dapat pula membawa akibat terhadap pola dan penyebaran
penyakit menular di desa-desa yang bersangkutan maupun desa-desa di sekitarnya.
Peranan migrasi atau mobilitas geografis didalam mengubah pola penyakit di berbagai
daerah menjadi lebih penting dengan makin lancarnya perhubungan darat, udara dan laut;
lihatlah umpamanya penyakit demam berdarah.
1. Susunan umur
2. Susunan kelamin
3. Kualitas data
Variasi geografis pada terjadinya beberapa penyakit atau keadaan lain mungkin
berhubungan dengan 1 atau lebih dari beberapa faktor sebagai berikut :
1. Lingkungan fisis, kemis, biologis, sosial dan ekonomi yang berbeda-beda dari
suatu tempat ke tempat lainnya.
2. Konstitusi genetis atau etnis dari penduduk yang berbeda, bervariasi seperti
karakteristik demografi.
Banyaknya penyakit hanya berpengaruh pada daerah tertentu. Misalnya penyakit demam
kuning, kebanyakan terdapat di Amerika Latin. Distribusinya disebabkan oleh adanya
“reservoir” infeksi (manusia atau kera), vektor (yaitu Aedes aegypty), penduduk yang rentan dan
keadaan iklim yang memungkinkan suburnya agen penyebab penyakit. Daerah dimana vektor
dan persyaratan iklim ditemukan tetapi tidak ada sumber infeksi disebut “receptive area” untuk
demam kuning.
A. Waktu (Time)
Mempelajari hubungan antara waktu dan penyakit merupakan kebutuhan dasar didalam
analisis epidemiologis, oleh karena perubahan-perubahan penyakit menurut waktu menunjukkan
adanya perubahan faktor-faktor etiologis. Melihat panjangnya waktu dimana terjadi perubahan
angka kesakitan, maka dibedakan :
Pola perubahan kesakitan ini terlihat pada epidemi umpamanya epidemi keracunan
makanan (beberapa jam), epidemi influensa (beberapa hari atau minggu), epidemi cacar
(beberapa bulan).
Perubahan secara siklus ini didapatkan pada keadaan dimana timbulnya dan
memuncaknya angka-angka kesakitan atau kematian terjadi berulang-ulang tiap beberapa bulan,
tiap tahun, atau tiap beberapa tahun. Peristiwa semacam ini dapat terjadi baik pada penyakit
infeksi maupun pada penyakit bukan infeksi.
Timbulnya atau memuncaknya angka kesakitan atau kematian suatu penyakit yang
ditularkan melalui vektor secara siklus ini adalah berhubungan dengan :
1. Ada tidaknya keadaan yang memungkinkan transmisi penyakit oleh vektor yang
bersangkutan, yakni apakah temperatur atau kelembaban memungkinkan
transmisi.
Sebagai salah satu sebab yang disebutkan ialah berkurangnya penduduk yang kebal
(meningkatnya kerentanan) dengan asumsi faktor-faktor lain tetap. Banyak penyakit-penyakit
yang belum diketahui etiologinya menunjukkan variasi angka kesakitan secara musiman.
Tentunya observasi ini dapat membantu didalam memulai dicarinya etiologi penyakit-
penyakit tersebut dengan catatan-catatan bahwa interpretasinya sulit karena banyak keadaan
yang berperan terhadap timbulnya penyakit juga ikut berubah pada perubahan musim, perubahan
populasi hewan, perubahan tumbuh-tumbuhan yang berperan tempat perkembangbiakan,
perubahan dalam susunan reservoir penyakit, perubahan dalam berbagai aspek perilaku manusia
seperti yang menyangkut pekerjaan, makanan, rekreasi dan sebagainya.
Variasi musiman ini telah dihubung-hubungkan dengan perubahan secara musiman dari
produksi, distribusi dan konsumsi dari bahan-bahan makanan yang mengandung bahan yang
dibutuhkan untuk pemeliharaan gizi maupun keadaan kesehatan individu-individu terutama
dalam hubungan dengan penyakit-penyakit infeksi dan sebagainya.
EPIDEMIOLOGI DALAM LAYANAN KEBIDANAN
PENGERTIAN
Epidemiologi dalam layanan kebidanan mengkaji distribusi serta determinan peristiwa
morbiditas dan mortalitas yang terjadi dalam layanan kebidanan.
Untuk menangani masalah kesehatan ibu Depkes dengan bantuan WHO,UNICEF dan
UNDP sejak th1990-1991 telah melaksanakan program safe motherhood,Upaya intervensi dalam
program tersebut dinamakan 4 pilar Safe motherhood adalah :
1. Keluarga berencana
2. Pelayanan ANC
3. Persalinan yang aman
4. Pelayanan kebidanan esensiall