KELOMPOK 7
XII IPA 3
Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha
Panyayang, Kami panjatkan puja dan puji syukur atas kehadirat-Nya, yang telah
melimpahkan rahmat, hidayah, dan inayah-Nya kepada kami, sehingga kami
dapat menyelesaikan makalah ilmiah tentang limbah dan manfaatnya untuk
masyarakat.
A. Latar Belakang
Pada masa kolonial Belanda, rakyat Indonesia sangat menderita. Penderitaan rakyat
tersebut diakibatkan oleh kebijakan-kebijakan kolonial yang merugikan rakyat. Sebagai
rakyat kecil yang ditindas oleh penjajah, tentu rakyat Indonesia ingin memberontak, demikian
pula para mahasiswa dan pemuda masa itu. Khususnya mahasiswa STOVIA yang berusaha
mengadakan perlawanan dengan cara halus mengingat pertempuran fisik selalu mengalami
kegagalan. Berangkat dari kesadaran dan kemauan untuk melawan, maka mulai muncul
berbagai organisasi pergerakan. Meskipun masing-masing organisasi memiliki asas dan cara
perjuangan yang berbeda beda, mereka tetap mempunyai satu tujuan yaitu mencapai
kemerdekaan.
C. TUJUAN
Agar mengetahui bagaimana pergerakan pemuda masa kolonial belanda.
MANFAAT
Dari penelitian ini, penulis berharap pembaca dapat mengetahui bagaimana
pergerakan pemuda masa kolonial belanda. Dan diharapkan juga agar nilai-nilai yang
terkandung dalam karya tulis ini melalui pergerakan pemuda indonesia.
BAB II
PEMBAHASAN
Peranan pemuda dalam perubahan selalu tercatat dalam sejarah setiap negeri. Termasuk
di Indonesia, peran dan semangat pemuda telah muncul bahkan ketika jaman penjajahan
Belanda. Ada banyak alas an yang melatarbelakangi munculnya pergerakan melawan
Pemerintahan Hindia Belanda. Khususnya pergerakan pemuda pada masa Hindia Belanda
dalam melawan Pemerintahan Hindia Belanda yang menyiksa dan merampas hak rakyat
pribumi.
Kongsi dagang ini awalnya didirikan untuk menyaingi Portugis dan Spanyol yang telah
lebih dulu bercokol di nusantara. Namun, dengan hak octroi yang dimiliki VOC, lambat laun
VOC seolah menjadi Negara yang berdiri di bawah Negara induknya, Belanda. Hal ini
berimbas pada perilaku pemerintahan VOC yang semena-mena melakukan perluasan
kekuasaan dengan mengadu domba penguasa local. Kekuasaan VOC menjadi awal
kolonialisme di Indonesia.
Fase kedua, adalah kolonialisasi konservatif tahun 1800 sampai 1811. Kolonialisme
konservatif adalah masa setelah keruntuhan VOC, ketika pemerintahan diambil alih oleh
Belanda. Di masa ini kita mengenal istilah kerja rodi atau kerja paksa yang dipopulerkan oleh
pemerintahan Daendels. Proyek jalan Anyer – Panarukan, menjadi saksi kekejaman Belanda
masa itu.
Fase ketiga, adalah masa tanam paksa antara tahun 1816 sampai 1869. System
tanam paksa merupakan system baru pemerintah Hindia Belanda untuk menutup kerugian
financial negeri Belanda yang luar biasa parah akibat perang. Pada masa ini Hindia Belanda
dipimpin oleh Ven Den Bosch. System tanam paksa merupakan ekspolitasi besar-besaran
yang dilakukan pemerintahan Hindia Belanda. Tanah mereka direbut secara paksa, rakyat
jelata ditekan untuk bekerja dengan upah yang minim, bahkan juga tanpa upah.
Terlebih untuk kegiatan ekspor, rakyat pula yang mendapat beban pajaknya. Fase
keempat, adalah system colonial liberal liberal yang diterapkan tahun 1870 sampai 1900. Di
masa ini muncul pemikiran Trias Van Deventer yang meningingkan adanya politik balas budi
untuk bangsa pribumi. Salah satu hal yang ditekankan adalah masalah pendidikan peribumi.
Mulai masa ini pribumi diijinkan mengeyam bangku pendidikan. Meski demikian, hanya
orang-orang tertentu saja yang mampu melanjutkan hingga ke tingkat yang lebih tinggi. Fase
kelima, adalah masa antara 1900 – 1942. Pada masa ini perusahaan-perusahaan di Indonesia
dengan bebas berkembang sehingga ada system administrasi yagn digagas untuk
pembangunan departemen-departemen. Dalam pemerintahan peran pejabat pribumi-pribumi
mengalami banyak peningkatan.
a. Boedi Oetomo
Budi Utomo berdiri pada tahun 1908 yang pada awal mula berdirinya merupakan
organisasi pelajar yang ruang lingkupnya masih kedaerahan, namun pada perkembangannya
berubah menjadi organisasi perkumpulan pemuda nasional.
Budi Utomo lahir dari inspirasi yang dikemukakan oleh Wahidin Soediro Husodo
disaat beliau sedang berkeliling ke setiap sekolah untuk menyebarkan beasiswa, salah
satunya STOVIA. Sejak saat itu, mahasiswa STOVIA mulai terbuka pikirannya dan mereka
mulai mengadakan pertemuan-pertemuan dan diskusi yang sering dilakukan di perpustakaan
STOVIA oleh beberapa mahasiswa, antara lain Soetomo, Goenawan Mangoenkoesoemo,
Goembrek, Saleh, dan Soeleman. Mereka memikirkan nasib bangsa yang sangat buruk dan
selalu dianggap bodoh dan tidak bermartabat oleh bangsa lain (Belanda), serta bagaimana
cara memperbaiki keadaan yang amat buruk dan tidak adil itu. Para pejabat pangreh
praja (sekarang pamong praja) kebanyakan hanya memikirkan kepentingan sendiri dan
jabatan. Dalam praktik mereka pun tampak menindas rakyat dan bangsa sendiri, misalnya
dengan menarik pajak sebanyak-banyaknya untuk menyenangkan hati atasan dan para
penguasa Belanda.
Para pemuda mahasiswa itu juga menyadari bahwa mereka membutuhkan sebuah
organisasi untuk mewadahi mereka, seperti halnya golongan-golongan lain yang mendirikan
perkumpulan hanya untuk golongan mereka seperti Tionh Hwa Hwee Kwan untuk orang
Tionghoa dan Indische Bond untuk orang Indo-Belanda. Pemerintah Hindia Belanda jelas
juga tidak bisa diharapkan mau menolong dan memperbaiki nasib rakyat kecil kaum Pribumi,
bahkan sebaliknya, merekalah yang selama ini menyengsarakan kaum pribumi dengan
mengeluarkan peraturan-peraturan yang sangat merugikan rakyat kecil.
Para pemuda itu akhirnya berkesimpulan bahwa merekalah yang harus mengambil
prakarsa menolong rakyatnya sendiri. Pada waktu itulah muncul gagasan Soetomo untuk
mendirikan sebuah perkumpulan yang akan mempersatukan semua orang Jawa, Sunda, dan
Madura yang diharapkan bisa dan bersedia memikirkan serta memperbaiki nasib bangsanya.
Perkumpulan ini tidak bersifat eksklusif tetapi terbuka untuk siapa saja tanpa melihat
kedudukan, kekayaan, atau pendidikannya.
Pada awalnya, para pemuda itu berjuang untuk penduduk yang tinggal di Pulau Jawa
dan Madura, yang untuk mudahnya disebut saja suku bangsa Jawa. Mereka mengakui bahwa
mereka belum mengetahui nasib, aspirasi, dan keinginan suku-suku bangsa lain di luar Pulau
Jawa, terutama Sumatera, Sulawesi, dan Maluku. Apa yang diketahui adalah bahwa Belanda
menguasai suatu wilayah yang disebut Hindia (Timur) Belanda (Nederlandsch Oost-Indie),
tetapi sejarah penjajahan dan nasib suku-suku bangsa yang ada di wilayah itu bermacam-
macam, begitu pula kebudayaannya. Dengan demikian, sekali lagi pada awalnya Budi Utomo
memang memusatkan perhatiannya pada penduduk yang mendiami Pulau Jawa dan Madura
saja karena, menurut anggapan para pemuda itu, penduduk Pulau Jawa dan Madura terikat
oleh kebudayaan yang sama.
b. Tri Koro Dharmo
Trikoro Dharmo adalah sebuah perkumpulan pemuda yang berasal dari Jawa pada
tahun
1915 di gedung kebangkitan nasional. Organisasi ini kemudian mengubah nama menjadi
Jong
Jawa pada kongres di Solo. Arti definisi / pengertian dari tri koro dharmo adalah Tiga
Tujuan
Mulia. Para pelajar Jawa waktu itu diwajibkan mengenakan jarik (kain) dan udheng (ikat
kepala). Di atas udheng itu dikena-kan topi berlambang kedokteran. Suatu pemandangan
yang
menggelikan, karenanya calon-calon dokter yang biasanya berasal dari kalangan priyayi itu
dicemoohkan orang sebagai "kondektur trem".Satiman berjuang agar para pelajar dapat
mengenakan "pakaian bebas". Dalam praktek itu berarti hak untuk berpakaian sebagai orang
Barat.Sesudah lama dipertim-bangkan, akhirnya direktur STOVIA memutuskan untuk
meluluskan permohonan itu, terutama karena ternyata pakaian Barat agak lebih murah
daripada
pakaian Jawa. Dengan sendirinya waktu itulah kaum elit yang baru muncul dan
berpendidikan
baik itu di masa studi dan sesudahnya mulai membedakan diri secara lahiriah dari orang-
orang
setanah airnya dengan menggunakan gaya pakaian si penjajah. Para pelajar STOVIA itu
adalah orang-orang yang sadar akan kelas dan statusnya, dan antara sesamanya mereka
berbicara Belanda. Ini tidak berarti bahwa rnereka mencampakkan budaya Jawa.Satiman
justru
ingin menghidupkan kembali budaya itu. Tang-gal 7 Maret 1915 bersama dengan Kadarman
dan Soenardi ia mendirikan Tri Koro Dharmo (Tiga Tujuan Mulia) yang menjadi pendahulu
Jong Java. Yang menjadi anggota pertamanya adalah lima puluh pelajar STOVIA,
Kweekschool (Sekolah Guru) Gunung Sari (Weltevreden), dan Koningin Wilhelmina School
(KWS).
Sebagai realisasi dari keinginan mereka itu, pada tanggal 7 Maret 1915 sejumlah
pemuda berkumpul di Gedung Budi Utomo Gedung Stovia Jakarta. Mereka sepakat untuk
mendirikan suatu organisasi pemuda yang berfungsi sebagai tempat latihan bagi calon-calon
pemimpin bangsa atas dasar kecintaan pada tanah airnya. Dan memang akhirnya mereka
berhasil mendirikan sebuah perkumpulan pemuda yang diberi nama Tri Koro Dharmo yang
berarti Tiga Tujuan Mulia. Pada saat itu yang terpilih sebagai ketua utama adalah Satiman
Wiryosanjoyo dan Soenardi, yang kemudian dikenal sebagai Mr.Wongsonegoro menjadi
wakil ketua. Sementara itu pemuda Soetomo yang dahulu menjembatani lahirnya Budi
Utomo terpilih menjadi sekertaris. Anggota pengurus lainnya diantaranya adalah Muslich,
Musodo dan Abdul Rachman.
Meskipun Tri Koro Dharmo bersifat nasional, dalam arti bahwa organisasi ini memiliki
kesadaran Indonesia, anggotanya masih terbatas dalam etnisitasnya saja, yakni murid-murid
sekolah menengah yang berasal dari Jawa Tengan dan Jawa Timur saja. Jadi organisasi ini
masih bersifat Jawasentris. Itulah sebabnya muncul reaksi dari para pemuda yang berasal
dari etnis lain,misalnya pemuda Sunda dan Bali. Mereka tidak mau masuk dalm organisasi
ini.
Pada tanggal 12 Juni 1918 Tri Koro Dharmo mengadakan kongresnya di Solo. Pada
saat itu, Satiman Wiryosanjoyo sudah tidak menjadi ketua lagi, kerena sejak tahun 1917,
kedudukannya telah diganti oleh Sutardiaryodirejo. Satiamn kemudian diangkat menjadi
ketua kehormatan. Kongres ini menghasilkan dua keputusan penting yaitu tentang ruang
lingkup keanggotaan dan nam organisasi serta mengenai kepengurusan.
Nama organisasi Trikooro Dharmo diganti dengan Jong Java. Dengan perubahan nama
itu diharapkan pemuda Sunda, Madura, Bali, dan Lombok dapat ikut memasuki organisasi
ini. Tujuan organisasi diubah dengan hasrat membangun persatuan Jawa Raya. Hal itu bias
dicapai dengan jalan mengadakan suatu ikatan yang baik diantara murid-murid sekolah
menengah, berusaha meningkatkan kepandaian anggota dan menimbulakan cinta akan
budaya sendiri. Perubahan nama dari Trikoro Dharmo ke Jong Java ternyata tidak banyak
membawa perubahan wajah organisasi ini. Hal itu dikarenakan asas budaya Jawa Raya lebih
banyak di samakan dengan membangun budaya Jawa Tengah. Dalam kongres itu dipilih
ketua Sukiman Wiryosanjoyo, seorang tokoh muda yang kemudian terpilih sebagai
Perhimpunan Indonesia di negeri Belanda.
Sampai pada kongresnya yang terakhir di Semarang pada tanggal 23 Desember 1929,
Jong Java berhasil mengadakan kongres sebanyak sepuluh kali. Dalam kongres-kongresnya
itu telah berhasil diambil sejumlah keputusan penting yang bermanfaat bagi perjuangan
pemuda Indonesia pada masa selanjutnya. Keputusan-keputusan itu yaitu pertama,
disetujuinya seorang perempuan duduk dalam pengurus besar dan anggota redaksi dalam
majalah Jong Java, serta usaha untuk menerjemahkan surat-surat yang pernah di tulis oleh
Kartini. Keputusan itu merupakan indicator adanya pengakuan bahwa hak wanita sama
denagn pria sebagai kelanjutan usaha emansipasi wanita. Kedua, dalam kongresnya yang
ketiga, bahasa-bahasa daerah seperti Jawa, Sunda, Bali, dan Makasar dapat digunakan asal
disertai terjemahan dalam bahasa Belanda. Ketiga, adanya cita-cita untuk membangun Jawa
Raya, yakni dengan jalan membina persatuan diantara golongan-golongan di Jawa dan
Madura untuk mencapi kemakmuran bersama. Sekalipun masih terbatas pada Jawa, hal itu
merupakan bibit awal bagi terbentuknya integrasi bangsa. Ikatan-ikatan suku di Jawa mulai
dipersatukan dengan ikatan territorial, yaitu pulau Jawa.
Sejak berdirinya organisasinya ini, jika dilihat dari tujuan dan aktifitasnya organisasi ini
bukanlah organisasi politik. Ada juga keinginan beberapa anggotanya untuk memperluas
tujuan dan ruang gerak organisasi ini agar tidak hanya dalam masalah social budaya saja
melainkan juga bergerak dalam bidang politik. Namun demikian, dalam kongresnya pada
bulan Mei 1922 dan kongres luar biasa bulan Desember tahun yang sama dipertegaslah garis
perjuangannya, bahwa Jong Java tidak akan mencampuri aksi atau propaganda politik. Jong
Java hanya mengadakan hubungan antara murid-murid sekolah menengah, mempertinggi
perasaan untuk budaya sendiri, menambah pengetahuan umum dari anggotanya dan
menggiatkan olah raga.
Usul aktivitas Jong Java untuk bergerak dalam politik terlihat dalam Kongres IV di
Yogyakarta pada tahun 1924. Pada saat itu Agus Salim, seorang tokoh Serikat Islam
berpidato dengan judul Islam dan Jong Java. Disebabkan oleh pidato itu, ketua Jong Java
Samsurijal (Raden Sam) mengajukan dua usul penting yaitu agar anggota-anggota yang
berumur lebih dari 18 tahun diijinkan dalam aksi-aksi politik,dan perlu memasukkan program
memajukan Islam dalam organisasi Jong Java. Kedua usul tersebut ditolak,dan kongres
kemudian memutuskan Jong Java tetap tidak berpolitik dan netral terhadap agama. Akibat
ditolak usul-usulnya, Raden Sam kemudian menyatakan diri keluar dari Jong Java dan
mendirikan organisasi pemuda lain yakni Jong Islamiaeten Bond.
Setelah adanya kongres pemuda I tahun 1926, yang para anggota organisasi ini juga
ikut, paham persatuan dan kebangsaan Indonesia semakin meningkat dikalangan anggotanya.
Hal itu berakibat pada perubahan tujuan dan ruang gerak dari organisasi Jong Java ini pada
masa selanjutnya. Dalam kongres VII tanggal 27-31 Desember 1926 di Surakarta, dibawah
ketuanya Sunardi Djaksodipuro (Mr. Wongsonegoro) ditekankan mengenai perubahan tujuan
dan ruang gerak organisasi. Tujuan Jong Java seharusnya tidak hanya terbatas untuk
membangun cita-cita Jawa Raya saja, tetapi pada saatnya juga harus bercita-cita persatuan
dan Indonesia merdeka. Kongres kemudian mengambil keputusan bahwa anggotanya yang
berumur lebih dari 18 tahun boleh mengikuti rapat-rapat politik, sedangkan mereka yang
dibawah umur itu hanya boleh mengikuti kegiatan-kegiatan dalam seni, olah raga dan
kepanduan. Dengan demikian, sejak saat itu Jong Java telah memasuki babak baru, yakni
secara resmi memasuki gelanggang politik. Sikap Jong Java terhadap perlunya persatuan
khususnya dalam kalangan pemuda akan terlihat kemudian menjelang sumpah pemuda.
Kelahiran Jong Sumatera Bond pada mulanya banyak diragukan orang. Salah satu
diantaranya ialah redaktur surat kabar Tjaja Sumatra, Said Ali, yang mengatakan bahwa
Sumatra belum matang bagi sebuah politik dan umum. Tanpa menghiraukan suara-suara
Minangkabau menentang pergerakan yang dimotori oleh kaum muda ini. Mereka
menganggap gerakan modern Jong Sumatera Bond sebagai ancaman bagi adat Minang.
Surat kabar Jong Sumatra terbit pertama kali pada bulan Januari 1918. Dengan
jargon Organ van Den Jong Sumatranen Bond, surat kabar ini terbit secara berkala dan tidak
tetap, kadang bulanan, kadang triwulan, bahkan pernah terbit setahun sekali. Bahasa Belanda
merupakan bahasa mayoritas yang digunakan kendati ada juga artikel yang memakaibahasa
Melayu. Jong Sumatra dicetak di Weltevreden, Batavia, sekaligus pula kantor redaksi dan
administrasinya.
Mulanya, dewan redaksi Jong Sumatra juga merupakan pengurus (centraal hoofbestuur)
JSB. Mereka itu adalah Tengkoe Mansyur (ketua), A. Munir Nasution (wakil ketua),
Mohamad Anas (sekretaris I), Amir (sekretaris II), dan Marzoeki (bendahara), serta dibantu
beberapa nama lain. Keredaksian Jong Sumatra dipegang oleh Amir, sedangkan administrasi
ditangani Roeslie.Mereka ini rata-rata adalah siswa atau alumni STOVIA serta sekolah
dari kepengurusan Jong Sumatera Bond meski tetap ada garis koordinasi. Pemimpin redaksi
Surat kabar Jong Sumatra memainkan peranan penting sebagai media yang
menjembatani segala bentuk reaksi atas konflik yang terjadi. Dalam Jong Sumatra edisi 12, th
mengatakan dengan lantang bahwa bangsa Sumatra sudah mulai bangkit dari ketidurannya,
antaranya yang mengawali karier organisasinya melalui Jong Sumatera Bond, seperti
Padang 1916-1918. Kemudian ia menjadi pengurus Jong Sumatera Bond Batavia pada 1919
dan mulai mengurusi Jong Sumatra sejak 1920 hingga 1921. Selama di Jong Sumatra inilah
Hatta banyak menuangkan segenap alam pikirannya, salah satunya lewat karangan berjudul
Sedangkan Mohammad Yamin adalah salah satu putra Sumatra yang paling
dibanggakan.Karya-karyanya yang berupa esai ataupun sajak sempat merajai Jong Sumatra.Ia
memimpin Jong Sumatera Bond pada 1926-1928 dan dengan aktif mendorong pemikiran
tentang perlunya bahasa Indonesia digunakan sebagai bahasa persatuan. Kepekaan Yamin
meraba pentingnya bahasa identitas sudah mulai terlihat dalam tulisannya di Jong Sumatra no
nasional, dengan menjadi media yang pertama kali mempublikasikan gagasan Yamin,
Jong Celebes adalah organisasi pemuda yang menghimpun para pemuda pelajar yang
berasal dari Selebes atau Pulau Sulawesi. Maksud dan tujuannya ialah mempererat rasa
persatuan dari tali persasudaraan di kalangan pemuda pelajar yang berasal dari Pulau
Sulawesi. Tokoh-tokohnya misalnya Arnlod Monotutu, Waworuntu, dan Magdalena
Mokoginta (yang
kemudia dikenal dengan Ibu Sukanto, Kepala Kepolisian Wanita Negara RI pertama).
f. Jong Paguyuban Pasundan
20 Juli 1913, sehingga menjadi salah satu organisasi tertua yang masih eksis sampai saat ini.
untuk melestarikan budaya Sunda dengan melibatkan bukan hanya orang Sunda tapi semua
Keputusan ini menegaskan cita-cita akan menjadi “tanah air Indonesia”, “rakyat
Indonesia”, dan “Indonesia”. Keputusan ini juga diharapkan dapat menjadi dasar untuk
“asosiasi kebangsaan Indonesia” dan bahwa “di semua surat kabar yang diterbitkan dan
dibaca
Sumpah Pemuda
Peristiwa sejarah Sumpah Pemuda merupakan pengakuan Pemuda Indonesia yang
berjanji satu negara, satu bangsa dan satu bahasa. Sumpah Pemuda dibacakan pada tanggal
28
Oktober 1928 hasil rumusan kerapatan Pemuda-Pemudi atau Kongres Pemuda Indonesia,
yang
Kongres Pemuda yang diadakan tiga sesi di tiga tempat berbeda oleh organisasi
Mahasiswa Indonesia Himpunan Mahasiswa (GN) yang terdiri dari mahasiswa dari seluruh
wilayah Indonesia. Kongres ini dihadiri oleh berbagai perwakilan organisasi pemuda.
Ide penyelenggaraan Kongres Pemuda Kedua berasal dari Perhimpunan Pelajar
Pelajar
Indonesia (PPPI), sebuah organisasi pemuda yang beranggota pelajar dari seluruh Indonesia.
Atas inisiatif PPPI, kongres dilaksanakan di tiga gedung yang berbeda dan dibagi menjadi
tiga
pertemuan.
Formulasi Kongres Sumpah Pemuda ditulis Moehammad Yamin pada secarik kertas
yang disajikan untuk Soegondo ketika Mr. Sunario tengah berpidato pada sesi terakhir
kongres (sebagai utusan kepanduan) berbisik ke Soegondo: Ik heb een eleganter formulering
voor de resolutie (saya memiliki formulasi yang lebih elegan untuk ini keputusan Kongres),
yang kemudian Soegondo memberi tanda tangan setuju pada selembar kertas, kemudian
diteruskan kepada orang lain untuk inisial setuju juga. sumpah tersebut dibacakan oleh
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Pergerakan pemuda masa kolonial belanda memiliki pengertian sebagai berikut :
Maksud dari kata “Pegerakan” disini meliputi segala macam aksi dengan menggunakan
organisasi untuk menentang penjajahan dan mencapai kemerdekaan. Dengan organisasi ini
menunjukan bahwa aksi tersebut disusun secara teratur, dalam arti ada pemimpinnya,
anggota, dasar dan tujuan yang ingin dicapai. Organisasi pemuda merupakan sekumpulan
organisasi yang berhasil didirikan oleh para pemuda, anggota organisasi pemuda biasanya
berasal dari kalangan siswa menengah atas.
Daftar Pustaka
https://www.google.com/search?
q=latar+belakang+pergerakan+pemuda+masa+kolonial+belanda&ie=
utf-8&oe=utf-8
https://www.google.com/search?
q=pergerakan+pemuda+masa+kolonial+belanda&ie=utf-8&oe=utf-8
buku paket sejarah indonesia kurikulum 2013 revisi
https://westbatavia.blogspot.com/2015/04/3-contoh-kata-pengantar-
makalah-yang-baik.html