Anda di halaman 1dari 11

TEXT BOOK READING

“POST STROKE DEPRESSION”

Pembimbing:
dr. Muttaqien Pramudigdo, Sp.S

Oleh:
Mia Octavia Medisa Panjaitan
G4A017048

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
SMF ILMU PENYAKIT SARAF
RSUD PROF. DR. MARGONO SOEKARJO
PURWOKERTO
2019
TEXT BOOK READING
POST STROKE DEPRESSION

Pada tanggal, April 2019

Diajukan untuk memenuhi salah satu prasyarat mengikuti ujian Kepaniteraan Klinik
Bagian SMF Ilmu Penyakit Saraf
RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo Purwokerto

Disusun Oleh :
Mia Octavia Medisa Panjaitan G4A017048

Mengetahui,
Pembimbing

dr. Muttaqien Pramudigdo, Sp.S


BAB I
PENDAHULUAN

Stroke merupakan gangguan aliran darah otak yang terjadi mendadak dan dapat
menyebabkan kerusakan jaringan permanen. Insidensi stroke terjadi pada 10-20 per
10.000 orang pada usia 55-64 tahun, dan meningkat menjadi 200 per 10.000 orang
diatas usia 85 tahun. Dari 700.000 kasus stroke terjadi angka kematian sebesar 163.000
menurut data American Heart Association (AHA).
Angka mordibitas pasca stroke cukup tinggi. Data literatur menunjukkan hanya
10% pasien stroke yang pulih total, berarti sebagian besar pasien stroke memiliki gejala
sisa. 25% kasus meninggalkan gejala sisa yang ringan dan 40% kasus dengan gejala sisa
yang berat. 10% kasus memerlukan perawatan rutin ke fasilitas kesehatan, dan 15%
kasus meninggal sesaat setelah stroke.
Salah satu gejala sisa dalam neuropsikologi stroke adalah gangguan mood depresi.
Depresi pasca stroke terjadi pada 30% kasus stroke dan dapat terjadi hingga 3-6 bulan
pasca stroke. Depresi merupakan gejala sisa yang sering terjadi pada kasus stroke.
Gejala depresi pasca stroke dapat berupa depresi mayor dan depresi minor. Besarnya
insidensi depresi pasca stroke menuntut setiap klinisi untuk melakukan skrining depresi
pada pasien stroke. Selain itu depresi pasca stroke juga berhubungan dengan kualitas
hidup yang rendah, dan memperburuk keadaan pasca stroke. Berdasarkan besarnya
kasus dan efek negatif depresi pasca stroke, penulis tertarik untuk menulis referat
depresi pasca stroke.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. DEPRESI (Hasler, 2010)


a) Definisi
Diagnostic of Statical and Mental Disorder V (DSM V) mendefinisikan
depresi sebagai gangguan mood yang serius dalam waktu 2 minggu dan dapat
menunjukkan 5 gejala atau lebih, yakni :
1. Suasana hati yang tertekan (depressed mood)
2. Hilangnya ketertarikan dalam melakukan suatu aktivitas
3. Penurunan atau kenaikan berat badan yang signifikan tanpa pengaruh
diet yang terencana
4. Fatique atau kehilangan energy hampir di setiap hari
5. Penurunan dari proses berpikir dan aktivitas fisik
6. Merasa tidak berharga
7. Sulit berkonsentrasi
8. Timbul keinginan untuk mengakhiri hidup

Depresi setidaknya menunjukkan satu dari gejala Suasana hati yang tertekan
(depressed mood) atau hilangnya ketertarikan dalam melakukan suatu aktivitas

b) Patofisiologi depresi

Corticotropin Releasing Hormone (CRH) disekresikan oleh hypothalamus


sebagai respon terhadap stress psikologis di region korteks cerebri. CRH akan
menginduksi sekresi hormone corticotrophin di pituitari, yang akan
menstimulasi kelenjar adrenal untuk menghasilkan hormone kortisol dan
melepaskannya ke plasma. Depresi dan gangguan mood lainnya berhubungan
dengan disfungsi hypothalamic-pituitary-adrenal axis (HPA).
HPA diregulasi oleh 2 reseptor, yakni reseptor mineralokortikoid dan
glukokortikoid. Pada kondisi depresi, terjadi penurunan fungsi resptor
glukokortikoid di sistem limbik dan peningkatan aktivitas reseptor
mineralokortikoid. Ketidakseimbangan reseptor akan menganggu feedback
negative dari peningkatan hormone kortisol di plasma, sehingga terjadi
hiperaktivitas dari HPA untuk menginduksi pituitary dan kelenjar adrenal.
Hiperkortisolemia sebagai hasil dari disfungsi HPA berhubungan signifikan
dengan kejadian depresi.
Kejadian depresi juga berhubungan dengan penurunan dari monoamine,
seperti serotonin, noradrenergic dan dopaminergik yang berlokasi di
mesencephalon dan batang otak. Penurunan serotonin berhubungan dengan
gangguan mood, gangguan memori, perubahan tingkah laku, dan penghambatan
proses afektif. Penurunan noradrenergic akan menyebabkan penurunan
norpehinepfrin yang berhubungan dengan proses metabolisme. Penurunan
dopaminergic berhubungan dengan penurunan performa dan sikap anhedonia.
Beberapa metanalisis terkait neuroimaging dari depresi menunjukkan
adanya aktivitas abnormal dari korteks lateral frontal dan temporal, insula dan
cerebellum. Terjadi penurunan aktivitas di region otak diatas saat terstimulasi
oleh emosi negative, dan terjadi peningkatan akivitas saat peningkatan reuptake
inhibitor serotonin. Metanalisis lain juga menyebutkan dapat terjadi pengurngan
volume dari korteks prefrontal lateral, hippocampus dan striatum pada
neuroimaging post-mortem individu dengan depresi.

B. POST STROKE DEPRESSION (PSD)


a) Definisi
PSD adalah komplikasi stroke yang lazim ditemukan. PSD terjadi pada
30-50% penderita stroke. Insidensi yang tinggi disebabkan kerancuan dalam
definisi, kriteria dan metode yang digunakan dalam menentukan PSD. DSM
V mengkategorikan PSD dalam gangguan mood terkait keadaan medis. PSD
memiliki dampak negatif terhadap proses rehabilitasi fase stroke, dan
menjadi faktor risiko rendahnya qualitas hidup dan tingginya mortalitas
pasca stroke (Robert et al., 2016)

b) Patofisiologi (Feng et al., 2014)


Sampai saat ini patofisiologi PSD masih belum diketahui secara pasti.
Beberapa studi menunjukkan adanya hubungan PSD dengan faktor
neurobiological, pola hidup dan faktor sosial. Namun pola hidup dan faktor
sosial berhubungan dengan semua jenis depresi. Perubahan neurobiologi
pasca stroke dinilai menjadi patofisiologi yang lebih spesifik untuk PSD.
Beberapa hipotesis terkait perubahan neurobiologik pada PSD :

1. Faktor Neuroanatomi
a. Lokasi lesi
Hipotesis terkait lokasi lesi yang menjadi risiko PSD telah
dikembangkan sejak 30 tahun terakhir. Hipotesis ini pertama kali
dikembangkan oleh Robitson et al., yang meneliti mengenai
lateralisasi, konsentrasi katekolamin dan perilaku tikus yang
diinduksi infark cerebri. Beberapa saat kemudian, dilaporkan bahwa
stroke pada hemisfer dekstra, terutama pada lobus frontal
berhubungan dengan kejadian PSD. Peneliti lain menyimpulkan
keterlibatan dua jaras : frontal subcortical circuits (FSC) dan limbic-
cortical-striatal-pallidal-thalamic circuits (LCSPTC) berkaitan dalam
pengaturan emosi subjek nonstroke, sehingga lesi pada kedua jaras
tersebut dapat menyebabkan terjadinya PSD.
b. Luas infark
Selain lokasi lesi, luas infark juga diperkirakan menjadi risiko
terjadinya dan keparahan PSD. Infark yang luas dapat memodulasi
perubahan biokimia dan perilaku emosional. Studi evaluasi terkait
luas infark menyatakan bahwa lesi di FSC pada penderita PSD lebih
luas dibandingkan lesi FSC penderitas stroke tanpa FSD.
c. Depresi vaskular
Terganggunya pembuluh darah otak terutama pembuluh darah kecil
telah lama dikenal dapat meningkatkan gejala depresi, dan dikenal
dengan depresi vaskular. Hipotesis ini masih diperdebatkan, ada yang
mengatakakn depresi vaskular merupakan bagian dari PSD
dikarenakan adanya hubungan PSD dengan kejadian hiperdensitas
pasien stroke. Namun di sisi lain, depresi vaskular juga terjadi pada
pasien geriatri yang mengalami degenerasi vaskular tanpa stroke,
sehingga dinilai tidak spesifik untuk PSD.

2. Faktor Neurobiokimia
a. Neurotransmiter
Hipotesis ini berkembang dari hipotesis lokasi lesi. Neurotransmitter
monoamine dapat terganggu dengan adanya lesi di otak. Lesi cerebral
akan mengganggu jaras ascenden dari mesecephalon dan batang otak
utuk menuju korteks cerebri dan mengakibatkan penurunan
neurotransmitter amin. Hal ini dibuktikan dalam penelitian Gao et
al., yang mengungkapkan adanya penurunan serotonin serum dan di
LCS 60 pasien dengan PSD. Selain neurotransmitter monomanin,
glutamate juga dinilai berkaitan dengan PSD, namun masih
diperdebatkan. Ada penelitian yang mengungkapkan pasien PSD
memiliki kadar glutamate yang lebih tinggi dibandingkan pasien
stroke tanpa PSD. Berbeda dengan monoamine, glutamat tidak
dipengaruhi oleh lesi.
b. Disfungsi imun
Proses imunologi telah diketahui berperan dalam pathogenesis stroke
infark. Peningkatan sitokin inflamasi seperti interleukin (IL), Tumor
Necroting Factor (TNF) dan interferon (IFN) berkaitan dengan
stroke dan juga depresi. Kesamaan inilah yang mendasari hipotesis
adanya disfungsi imun pada kejadian PSD. Pendapat lain
mengatakan, adanya kerusakan jaringan dan kematian sel menjadi
jembatan pathogenesis antara proses inflamasi dan PSD. Induksi
sitokin proinflamatorik pada hewan coba terbukti dapat memperluas
daerah infark dan berhubungan dengan gejala depresi.
c. Aktivasi HPA
Serangan stroke dinilai menjadi stressor yang dapat mengaktivasi
HPA. Hal ini dibuktikan dengan adanya peningkatan glukokortikoid
pasca stroke, yang salah satu efeknya dapat menyebabkan PSD.
Pendapat lain mengungkapkan peningkatan citokin inflamasi dapat
memicu aktivasi HPA. Glukokortikoid yang meningkat akan
menyebabkan hiperkotrisolemia dan disfungsi neurotransmitter
monoamine dan berperan dalam gangguan mood depresi.

3. Faktor Neurogenesis
Hipotesis ini baru berkembang beberapa tahun terakhir, dimana
pertumbuhan neuron baru pada area hippocampus dapat mendukung
pengendalian mood, dan juga pemberian obat anti depresan yang dapat
menambah neurogenesis. Pada hewan coba dengan model PSD
didapatkan adanya pengurangan laju neurogenesis pada area
hippocampus. Penurunan neurogenesis pada PSD diduga disebabkan oleh
hiperkortisolemia dan peningkatan mediator inflamasi.

c) Faktor Risiko (Toefighi et al., 2016)

Beberapa faktor risiko pada PSD :

1. Genetik
Modifikasi epigenetic dari gen 5-HTTLPR dan peningkatan metilisasi
berimplikasi dengan adanya PSD. Disamping itu, variasi genetik seperti
memiliki keluaraga dengan riwayat gangguan psikiatri juga menjadi
faktor risiko PSD pada pasien stroke.
2. Riwayat Penyakit
Risiko kardivaskular seperti hipertensi dan hiperkolesterolemia dinilai
tidak berhubungan dengan PSD. Riwayat depresi dan kecemasan dinilai
berpengaruh menjadi fakor risiko PSD, termasuk riwayat gangguan mood
pada keluarga.
3. Karakteristik stroke dan lokasi lesi
Stroke akut pada lobus frontal kanan dan ganglia basalis kanan
meningkatkan risiko PSD. Sedangkan untuk tipe stroke infark/hemoragik
masih menjadi perdebatan untuk menentukan risiko PSD.
4. Gangguan kognitif dan fungsional
Keparahan gangguan kongnitif dan fungsional berbanding lurus dengan
kejadian PSD.
5. Dukungan sosial
Minimnya dukungan sosial menjadi risiko terjadinya PSD, namun hal ini
belum memiliki bukti yang kuat dikarenakan beragamnya definisi dari
dukungan sosial.

d) Skrining PSD (Alajbegovic et al., 2014)

Beberapa instrument yangdigunakan dalam skrining PSD :

1. Center of Epidemiological Studie-Depression Scale (CES-D) yang terdiri


dari 20 item
2. Hamilton Depression Rating Scale (HDRS) yang terdiri dari 21 item
3. Patient Health Questionnare (PHQ) yang terdiri dari 9 item

Hingga saat ini belum ada rekomendasi mengenai tingkat efektivitas ketiga
instrument diatas. Beberapa penelitian menyimpulkan CES-D memiliki
tingkat prediksi yang lebih tinggi dibandingkan HDRS dan PHQ. Disisi lain,
PHQ dinilai kurang spesifik terhadap PSD, melainkan lebih sensitif dalam
menilai depresi yang general.

e) Tatalaksana PSD (Robert et al., 2016)

Antidepresan (AD) telah dikembangkan sejak beberapa dekade lalu


untuk pengobatan PSD, monoamine oxidase inhibitor (MAOIs), tricyclic
antidepressant (TCA), dan selective serotonin reuptake inhibitor (SSRI).
Saat ini belum ada obat yang spesifik selektif terhadap PSD. PSD
merupakan keadaan natural yang tak bisa dihindarkan dan dirasa tidak perlu
penanganan farmakologis khusus jika keadaannya tidak menimbulkan
bahaya bagi pasien dan lingkungan sekitar. Beberapa pendapat mengatakan
PSD akan membaik seiring membaiknya keadaan fisik.
Peresepan antidepresan tidak disarankan diberikan pada pasien geriatri
mengingat kondisi fisik terkait efek samping antidepressant yang dapat
meningkatkan komordibitas. Namun demikian, beberapa studi menunjukkan
pemberian antidepresan memperbaiki gejala depresi dibandingkan
pemberian plasebo.
Dua penelitian randomisasi acak terkontrol dilakukan untuk
menentukan antridepresan yang tepat digunakan pada PSD. Penelitian
pertama membuktikan bahwa nortriptilin (TCA) dosis 50-100mg/hari
memiliki pengaruh yang signifikan dalam mengurangi gejala depresi
dibandingkan pemberian plasebo. Namun demikian, TCA tidak disarankan
sebagai lini pertama pengobatan PSD dikarenakan TCA memiliki afinitas
terhadap beberapa reseptor seperti reseptor muskarinik kolinergik, dan
reseptor histaminergik.
Pada penelitian selanjutnya, dibuktukan pemberian citalopram (SSRI)
dosis 10-20 mg/hari memiliki pengaruh signifikan terhadap gejala depresi
dibandingkan pemerian plasebo. Berbeda dengan TCA, SSRI tidak memiliki
afinitas terhadap reseptor kolinergik dan histaminergik, sehingga tidak
menimbulkan efek samping kardiovaskular atau efek sedaptif. SSRI
memiliki efek samping gangguan gastrointestinal, nyeri kepala, disfungsi
seksual, dan insomnia.
DAFTAR PUSTAKA

Towfighi, Amytis., Chair., Burce Ovbiagiale., Vica Chair., Nada El., Marre L., et al.
2016. Post Stroke Depression : A Scientific Statement For Healtcare Proffesionals
From America Heart Association/America Stroke Association. AHA Journals.

Natural Institut of Mental Health (NIMH). 2012. Depression and Stroke.


(https://www.google.com/url?
sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=1&cad=rja&uact=8&ved=2ahUKEwilq
PfV9s7hAhUEWCsKHSOwAUUQFjAAegQIBBAC&url=http%3A%2F
%2Fwww.valueoptions.com%2Fmembers%2Ffiles%2FDepression-and-
Stroke.pdf&usg=AOvVaw0n1ULjLJsocsnkxVmyHQJ9, diakses pada tanggal 4
April 2019)

Feng, Chao., Min Fang., Xue Yuan Liu. 2014. The Neurobiological Pathogenesis of
Post Stroke Depression. The Sicientific World Journal

Robert G., Robinson., Ricardo., Jorge. 2016. Post Stroke Depression : A Review.
America Journal Psychiatry 17:3.

Alajbegovic, Azra., Jasminka., Salem Alajbegovic., Amina Nakivec., Ljubica


Todorovic., Merita Tiric. 2014. Post Stroke Depression. Medical Archive Journal
68(1).

Hasler, Gregor. 2010. Patophysiology of Depression : Do we Have Any Solid Evidence


of Interest To Clinicians?.World Psychiatry 9(3).

Anda mungkin juga menyukai