HIPERTENSI
Disusun Oleh
Silvia Fakhrunnisa (1806254730)
Syabilila Indraswari (1806254825)
PROGRAM STUDI
ILMU KESEHATAN MASYARAKAT
FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT
UNIVERSITAS INDONESIA
2018
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Hipertensi dikenal secara luas sebagai penyakit kardiovaskular. Diperkirakan telah
menyebabkan 4.5% dari beban penyakit secara global, dan prevalensinya hampir sama
besar di negara berkembang maupun di negara maju. Hipertensi merupakan salah satu
faktor risiko utama gangguan jantung. Selain mengakibatkan gagal jantung, hipertensi
dapat berakibat terjadinya gagal ginjal maupun penyakit serebrovaskular.
Hipertensi telah menjadi masalah kesehatan masyarakat yang utama di negara-
negara maju serta di beberapa negara-negara berkembang. Indonesia sebagai salah satu
negara berkembang juga menghadapi masalah ini. Semakin meningkatnya arus
globalisasi di segala bidang, telah membawa banyak perubahan pada perilaku dan gaya
hidup masyarakat di Indonesia, termasuk dalam pola konsumsi makanan keluarga.
Perubahan tersebut tanpa disadari telah memberi pengaruh terhadap meningkatnya
kasus-kasus hipertensi di Indonesia. Pada kebanyakan kasus, hipertensi terdeteksi saat
pemeriksaan fisik karena alasan penyakit tertentu, sehingga sering disebut sebagai “silent
killer”. Tanpa disadari penderita mengalami komplikasi pada organ-organ vital seperti
jantung, otak ataupun ginjal. (Depkes RI, 2002)
Di Amerika, menurut National Health and Nutrition Examination Survey (NHNES
III); paling sedikit 30% pasien hipertensi tidak menyadari kondisi mereka, dan hanya
31% pasien yang diobati mencapai target tekanan darah yang diinginkan dibawah 140/90
mmHg.
Hipertensi dilihat dari segi klinis, merupakan penyakit yang umum, asimptomatis,
mudah dideteksi dan mudah ditangani jika dikenali secara dini. Namun, hipertensi dapat
menyebabkan komplikasi-komplikasi yang mematikan jika tidak ditangani. (Fisher,
2005)
BAB II
PEMBAHASAN
A. Definisi
Hipertensi adalah gangguang Regulasi Blood Preassure yang dihasilkan dari
peningkatan curah jantung atau peningkatan resistansi pembuluh darah perifer total.
(Runge, 2010)
Secara umum, seseorang akan dikatakan hipertensi bila memiliki tekanan darah
sistolik ≥ 140 dan atau tekanan darah diastolik ≥ 90 yang diukur dengan satuan
millimeter air raksa atau mmHg (Guyton, 2006).
Tekanan darah sistolik merupakan pengukuran utama yang menjadi dasar penentuan
diagnosis hipertensi. Tekanan darah sistol merupakan tekanan darah terhadap dinding
arteri ketika jantung sedang berkontraksi memompa darah. Angka kedua yang lebih kecil
nilainya, menunjukkan tekanan darah diastol. Tekanan darah diastol merupakan tekanan
darah terhadap dinding arteri ketika jantung sedang berelaksasi di antara dua kontraksi.
Tekanan darah diastol juga menggambarkan keadaan elastisitas dinding arteri
Definisi hipertensi ditetapkan berdasarkan kesepakatan yang mempertimbangkan
risiko komplikasi penyakit kardiovaskular pada beberapa tingkat tekanan darah. Tekanan
darah sistol/diastol sebesar 120/80 ditetapkan sebagai batas tekanan darah yang normal.
Hal ini didapatkan dengan mempertimbangkan bahwa kenaikan risiko penyakit
kardiovaskular pada orang-orang bertekanan darah di bawah 115/75 mmHg tidak terlalu
signifikan dibandingkan dengan orang-orang bertekanan darah di atas nilai tersebut.
(Bonow,2012)
Terdapat empat sistem yang secara langsung bertanggung jawab pada tekanan darah
yaitu jantung yang memompa tekanan, Blood Vessel Tone yang mementukan resistensi
sistemik, Ginjal yang mengatur volume intravaskuler dan hormon yang memodulasi tida
fungsi sistem lainnya (Lilly, 2011).
Sumber : Lilly, 2011
b. Angiotensinogen
Angiotensinogen disebut juga substrat renin, di sirkulasi dijumpai dalam
fraksi a2-globulin plasma. Angiotensinogen disintesa dalam hati, mengandung
sekitar 13% karbohidrat dan di bentuk dari 453 residu asam amino. Kadar
angiotensinogen dalam sirkulasi meningkat oleh glukokortikoid, hormon tiroid,
estrogen, beberapa sitokin, dan angiotensin II.
c. Angiotensin-Converting Enzyme (ACE)
Angiotensin-Converting Enzyme adalah dipeptidil karboksipeptidase yang
membagi histidil-leusin dari angiotensin I inaktif, membentuk angiotensin II
oktapeptida. Lokasi enzim ini di sirkulasi adalah dalam sel-sel endotel. Sebagian
besar konversi angiotensin I menjadi angiotensin II oleh ACE terjadi saat darah
melewati paru-paru. Hal ini mungkin disebabkan luasnya endotel paru, sebagai
lokasi strategis di mana terjadi penerimaan curah jantung dari darah vena, dan
mungkin yang paling penting karena angiotensin II dapat melewati sirkulasi paru
tanpa ekstraksi.
d. Angiotensin II
Angiotensin II adalah hormon peptida yang bekerja di kelenjar adrenal, otot
polos pembuluh darah, dan ginjal. Reseptor untuk angiotensin II berlokasi pada
membran plasma dari sel-sel target pada jaringan-jaringan tersebut. Angiotensin
II sangat cepat dimetabolisme, waktu paruhnya dalam sirkulasi sekitar 1-2
menit. Hormon ini dimetabolisme oleh berbagai peptida. Aminopeptida
mengeluarkan residu asam aspartat dari amino terminal peptida ini, menghasilkan
heptapetida yang disebut angiotensin III. Pengambilan residu amino terminal
yang kedua dari angiotensin III menghasilkan heksapeptida yang disebut
angiotensin IV. Biasanya peptida-peptida yang terbentuk ini tidak/kurang aktif
dibandingkan dengan angiotensin II.
Angiotensin II yang disebut juga hipertensin atau angiotonin, menghasilkan
konstriksi arteri dan peningkatan tekanan darah sistolik maupun diastolik. Di
dalam sel otot polos pembuluh darah, angiotensin II berikatan dengan reseptor G-
protein-coupled AT1A, mengaktifkan fosfolipase C, meningkatkan Ca2+ dan
menyebabkan kontraksi. Hormon ini merupakan salah satu vasokonstriktor kuat,
empat hingga delapan kali lebih aktif daripada norepinefrin pada individu normal,
namun kadar plasma angiotensin II tidak cukup untuk menyebabkan
vasokonstriksi sistemik. Sebaliknya angiotensin II berperan dalam kardovaskuler
bila terjadi kehilangan darah, olahraga dan keadaan serupa yang mengurangi
aliran darah ke ginjal.
Efek penting dari angiotensin II terhadap pengaturan tekanan darah antara
lain:
Meningkatkan kontraktilitas jantung
Mengurangi aliran plasma ke ginjal, dengan demikian meningkatkan
reabsorpsi Na+ di ginjal
Bersama angiotensin III merangsang korteks adrenal melepaskan aldosteron
Menstimulasi rasa haus dan memicu pelepasan vasokonstriktor lain yaitu
arginin vasopresin (AVP)
Memfasilitasi pelepasan norepinefrin dari pasca-ganglion saraf simpatik.
e. Aldosteron
Pengaruh lain angiotensin II adalah perangsangan kelenjar adrenal, yaitu
organ yang terletak diatas ginjal, yang membebaskan hormon aldosteron. Hormon
aldosteron bekerja pada tubular distal nefron. (Campbell, et al. 2004). terbebasnya
hormon aldosteron akan merangsang tubular distal ginjal untuk menahan lebih
banyak ion Na+ (ion Natrium). Natrium sendiri bersifat mengikat cairan artinya
ketika jumlah ekskresi (pengeluaran lewat Urin) Natrium di batasi maka sekresi
airpun akan di batasi juga karena sifat natrium yang mengikat cairan. denga
demikian Volume darah akan meningkat dan otomatsi tekanan darah juga akan
meningkat. ini menjadi sebab juga kenapa pada orang hipertensi agar membatasi
atau mengurangi makan makanan yang asin (mengandung lebih banyak Natrium).
Efek peningkatan aktivitas simpatis pada kelenjar adrenal dan tekanan darah.
C. Patofisiologi
Mekanisme yang mengontrol konnstriksi dan relaksasi pembuluh darah terletak
dipusat vasomotor, pada medulla diotak. Dari pusat vasomotor ini bermula jaras saraf
simpatis, yang berlanjut ke bawah ke korda spinalis dan keluar dari kolumna medulla
spinalis ganglia simpatis di toraks dan abdomen. Rangsangan pusat vasomotor
dihantarkan dalam bentuk impuls yang bergerak ke bawah melalui system saraf simpatis
ke ganglia simpatis. Pada titik ini, neuron preganglion melepaskan asetilkolin, yang akan
merangsang serabut saraf pasca ganglion ke pembuluh darah, dimana dengan
dilepaskannya noreepineprin mengakibatkan konstriksi pembuluh darah. Berbagai faktor
seperti kecemasan dan ketakutan dapat mempengaruhirespon pembuluh darah terhadap
rangsang vasokonstriksi. Individu dengan hipertensi sangat sensitive terhadap
norepinefrin, meskipun tidak diketahui dengan jelas mengapa hal tersebut bisa terjadi
(Corwin,2001)
Pada saat bersamaan dimana system saraf simpatis merangsang pembuluh darah
sebagai respons rangsang emosi, kelenjar adrenal juga terangsang, mengakibatkan
tambahan aktivitas vasokonstriksi. Medulla adrenal mensekresi epinefrin, yang
menyebabkan vasokonstriksi. Korteks adrenal mensekresi kortisol dan steroid lainnya,
yang dapat memperkuat respons vasokonstriktor pembuluh darah. Vasokonstriksi yang
mengakibatkan penurunan aliran ke ginjal, menyebabkan pelepasan rennin. Rennin
merangsang pembentukan angiotensin I yang kemudian diubah menjadi angiotensin II,
suatu vasokonstriktor kuat, yang pada gilirannya merangsang sekresi aldosteron oleh
korteks adrenal. Hormon ini menyebabkan retensi natrium dan air oleh tubulus ginjal,
menyebabkan peningkatan volume intra vaskuler. Semua factor ini cenderung
mencetuskan keadaan hipertensi ( Dekker, 1996 )
Perubahan structural dan fungsional pada system pembuluh perifer
bertanggungjawab pada perubahan tekanan darah yang terjadi pada usia lanjut.
Perubahan tersebut meliputi aterosklerosis, hilangnya elastisitas jaringan ikat dan
penurunan dalam relaksasi otot polos pembuluh darah, yang pada gilirannya menurunkan
kemampuan distensi dan daya regang pembuluh darah. Konsekuensinya, aorta dan arteri
besar berkurang kemampuannya dalam mengakomodasi volume darah yang dipompa
oleh jantung ( volume sekuncup ), mengakibatkan penurunan curang jantung dan
peningkatan tahanan perifer ( Brunner & Suddarth, 2002 ).
Berdasarkan penyebabnya, dikenal dua jenis hipertensi yaitu Hipertensi primer
(essensial) dan Hipertensi sekunder. Hipertensi primer (esensial) Adalah suatu
peningkatan persisten tekanan arteri yang dihasilkan oleh ketidakteraturan mekanisme
kontrol homeostatik normal, Hipertensi ini tidak diketahui penyebabnya dan mencakup
+ 90% dari kasus hipertensi, sedangkan Hipertensi sekunder adalah hipertensi persisten
akibat kelainan dasar kedua selain hipertensi esensial. Hipertensi ini penyebabnya
diketahui dan ini menyangkut + 10% dari kasus-kasus hipertensi (Wibowo, 1999).
1. Hipertensi Primer
Sekitar 90% pasien hipertensi mengalami peningkatan tekanan darah tanpa
diketahi alasannya, kondisi ini disebut hipertensi primer atau essensial (Lilly, 2011).
Hipertensi Primer atau hipertensi esensial adalah hipertensi yang penyebabnya tidak
diketahui secara pasti. Kesulitan dalam menemukan mekanisme yang bertanggung
jawab atas terjadinya hipertensi primer adalah banyaknya sistem yang terlibat dalam
pengaturan tekanan darah. Sistem saraf adrenergik baik sentral maupun perifer, sistem
pengaturan ginjal, sistem pengaturan hormon dan pembuluh darah adalah sistem-
sistem yang mempengaruhi tekanan darah. Sistem-sistem ini saling mempengaruhi
dengan susunan yang kompleks dan dipengaruhi oleh gen-gen tertentu (Fisher, 2005).
Faktor faktor yang diasumsumsikan memiliki pengaruh terhadap hipertensi
primer dibahas sebagai berikut :
b. Protein
Studi terpbaru, baik uji coba maupun uji klinis telah menunjukkan bahwa
peningkatan asupan proten terutama dari tanaman dapat menurunkan tekanan
darah
- Histidin
Arginin adalah prekursor dari dari nitric oxide dimana merubah Nitric oxide
sytase menjadi Nitric oxide . Nitric oxide merupakan vasodilator kuat yang
bekerja pada endothelium
- Taurin
c. Serat
d. Obesitas
- Lemak Jenuh
Asam lemak jenuh tidak memiliki ikatan rangkap pada atom karbon. Hal ini
berarti asam lemak jenuh tidak peka terhadap oksidasi dan permbentukan
radikal bebas seperti halnya asam lemak tidak jenuh (Sartika, 2008). Namun,
asam lemak jenuh memiliki peran dalam peningkatan kolesterol total dan
LDL (Sartika, 2008).Asam lemak jenuh banyak ditemukan pada lemak
hewani (daging berlemak, keju, susu, dan mentega), juga terdapat pada
minyak kelapa, kelapa sawit serta minyak jelantah, meskipun pada mulanya
adalah asam lemak tak jenuh. Minyak kelapa dan kelapa sawit banyak
mengandung asam lemak jenuh (palmitat), tetapi jenis minyak ini tidak
menyebabkan peningkatan kadar kolesterol darah. Hasil penelitian
menyebutkan bahwa asupan asam lemak jenuh rantai panjang (LCFA)
menyebabkan peningkatan kadar kolesterol darah yang berbeda daripada
asam lemak jenuh rantai medium (MCFA).
Saturated FA mengerahkan tenaga efek aterogenik dan trombogenik mereka
melalui peningkatan produksi partikel Very Low Lipoprotein Densitas
(VLDL) dan Apo A1, dengan penurunan aktivitas spesifik reseptor LDL, dan
peningkatan agregasi trombosit.Berdasarkan (Milanski, 2009), asam lemak
jenuh (SFA)dapat mengaktifkan signal TLR2 dan TLR4 (Toll seperti
reseptor) dan stress retikulum endoplasma di hipotalamus. Sinyal terbesar
dikirimkan melalui TLR4, yang menentukan induksi pada stres retikulum
endoplasma. Pensinyalan TLR4 fungsional diperlukan untuk pengembangan
obesitas dan hiperlipidemia. TLR4 adalah mediator penting dari disfungsi
hipotalamus selama perkembangan obesitas.
Pada penelitian perbandingan kadar leptin pada orang gemuk (IMT > 27) dan
orang dengan berat badan normal (IMT < 127) didapatkan kadar leptin pada
orang gemuk adalah lebih tinggi dibandingkan orang dengan berat badan
normal ( 31,3 + 24,1 ng/ml versus 7,5 + 9,3 ng/ml). Hiperleptinemia ini
mungkin terjadi karena adanya resistensi leptin. Beberapa teori menjelaskan
resistensi leptin ini telah dikemukakan, diantaranya adalah karena adanya
antibodi terhadap leptin, peningkatan protein pengikat leptin sehingga leptin
yang masuk ke otak berkurang, adanya kegagalan mekanisme transport pada
tingkat reseptor untuk melewati sawar darah otak dan kegagalan mekanisme
signal. Secara klinis efek resistensi leptin ini tergantung dari lokasi dan
derajat keparahan resistensi tersebut. Resistensi pada ginjal akan
menyebabkan gangguan diuresis dan natriuresis, menimbulkan retensi
natrium dan air serta berakibat meningkatnya volume plasma dan cardiac
output, selain itu adanya vasokonstriksi pembuluh darah ginjal perangsangan
saraf simpatis akan mengaktivasi jalur RAS dan menambah retensi natrium
dan air. Pada obesitas cenderung terjadi peningkatan volume plasma akan
meningkatkan curah jantung yang berakibat meningkatnya tekanan darah
(Makaritsis)
-
Sumber : Makaritsis
- Asam Lemak Trans
Asam lemak trans adalah asam lemak tak jenuh dengan setidaknya satu ikatan
ganda dalam konfigurasi trans, yang menghasilkan bentuk lebih lurus
daripada ikatan ganda dalam konfigurasi cis. Asam lemak trans dapat dibagi
dalam dua kelompok: asam lemak trans buatan (industri) dan asam lemak
trans alami (ruminansia). Meskipun asam lemak trans dapat terbentuk dari
asam lemak n-3 dan n-6, asam lemak trans tidak melayani fungsi vital dan
bukan asam lemak esensial. Asam lemak trans industri dibentuk oleh
hidrogenasi parsial (suatu proses yang mengubah minyak menjadi lemak
semi-padat) dari minyak nabati, contohnya seperti margarin, HVO,
shortening, juga produk lainnya seperti kue, biskuit. Asam lemak trans
ruminansia diproduksi dalam rumensia sapi dan domba dan ada dalam susu
dan daging.Dalam jumlah kecil, asam lemak trans terdapat secara alami pada
hewan ruminansia, oleh sebab itu asam lemak ini terdapat pada mentega, susu
full-cream, keju, telur dan daging. Trans fat menyebabkan peningkatan total
dan LDL kolesterol, serta lipoprotein yang sangat aterogenik dan tingkat HDL
kolesterl yang lebih rendah. Karena efek ini, TFA lebih atherogenik bila
dibandingkan dengan SFA (Sartika, 2008; Ibrahim, 2005).
Sintesis asam
Empedu
Ekskresi
kolesterol
melalui feses
Kolesterol
Aterosklerosis
PKV
e. Karbohidrat
Hubungan atara karbohidrat dan hipertensi berfokus pada gula sederhana, dengan
toleransi glukosa dan insulin resistance. Resistensi insulin adalah keadaan dimana
ada gangguan respon metabolik thd kerja insulin. Daerah utama terjadinya IR
adalah otot rangka dan sel hati. Kerusakan reseptor insulin ini menyebabkan
peningkatan sekresi insulin untuk mengatasi hiperglikemi, sehingga terjadi
keadaan hiperinsulinemia.
• Keadaan stresROS, TNF-α, TLRs menyebabkan JunKinase menghambat
IRS-Akt (penghambatan di jalur ini). pada jalur PI3K-Akt terjadi
penghambatan pada insulin reseptor dan penghambatan jalur PI3K-Akt
karena IL-6, TNF α, dan lain-lain yang menyebabkan pengurangan produksi
NO di endotel. Penurunan NO dapat terjadi akibat adanya penurunan
aktivitas enzim Nitric Oxide Synthase (NOS) Penurunan aktivitas eNOS
menyebabkan vasokonstriksi dan hipertensi, disfungsi endotelium.
• Resistensi insulin terjadi ketika adanya angiotensin II, peningkatan FFA dan
kadar glukosa, dan sitokin proinflamasi yang disebabkan oleh diabetes dan
resistensi insulin menstimulasi isoform PKC dan kinase stres lainnya untuk
memfosforilasi IRS1/2 dan hanya menghambat jalur IRS / PI3K / Akt, lalu
terjadi penurunan signaling PI3K.Sebaliknya, stimulasi insulin terhadap
SOS/GRB2/MAPKjalur kurang terpengaruh atau bahkan ditingkatkan karena
hiperinsulinemia.
• Stimuli terus-menerus pada jalur MAPK menyebabkan proliferasi pada sel
otot, pro-inflamasi sitokinateroskerosis.
f. Usia
Karakteristik hemodinamik tekanan darah elevasi pada Hipertensi primer
cenderung berubah seiring waktu. Tekanan sistolik meningkat kehidupan dewasa,
sementara tekanan diastolik meningkat sampai sekitar usia 50 kemudian menurun
sedikit sesudahny. Dengan demikian, hipertensi diastolic lebih sering terjadi pada
usia muda, sementara hipertensi sistolik lebih sering ditemukan pada usia diatas
50 tahun.
Pada orang yang lebih muda dengan hipertensi, meningkat tekanan darah
cenderung didorong oleh Cardiac output yang tinggi sementara Resistensi
vaskuler normal. Dengan bertambahnya usia, Cardiac output menurun, hal ini
mungkin dikarenakan perkembangan hipertrofi ventrikel kiri dan akibatnya
mengurangi diastolic filling yang pada gilirannya mengurangi Stroke Volume
dan Cardiac Output. Sebaliknya, resistensi vaskular meningkat seiring
bertambahnya usia karena hipertrofi medial saat pembuluh beradaptasi untuk
tekanan tekanan yang berkepanjangan. Sehingga hipertensi pada usia muda leuh
disebabkan karena cardiac output tinggi, sementara pasien yang lebih tua
cenderung memiliki TPR tinggi (Lilly, 2011).
h. Alkohol
Pengaruh alkohol terhadap kenaikan tekanan darah dikarenakan
i. Merokok
Zat-zat kimia beracun seperti nikotin dan karbon monoksida yang dihisap
melalui rokok yang masuk ke dalam aliran darah dapat merusak lapisan endotel
pembuluh darah arteri yang mengakibatkan proses artereosklerosis dan tekanan
darah tinggi. Pada studi autopsi, dibuktikan kaitan erat antara kebiasaan merokok
dengan adanya artereosklerosis pada seluruh pembuluh darah. Merokok juga
meningkatkan denyut jantung dan kebutuhan oksigen untuk disuplai ke otot-otot
jantung. Merokok pada penderita tekanan darah tinggi semakin meningkatkan
risiko kerusakan pada pembuluh darah arteri (Depkes, 2006b).
Menurut Depkes RI Pusat Promkes (2008), telah dibuktikan dalam penelitian
bahwa dalam satu batang rokok terkandung 4000 racun kimia berbahaya
termasuk 43 senyawa. Bahan utama rokok terdiri dari 3 zat, yaitu 1) Nikotin,
merupakan salah satu jenis obat perangsang yang dapat merusak jantung dan
sirkulasi darah dengan adanya penyempitan pembuluh darah, peningkatan denyut
jantung, pengerasan pembuluh darah dan penggumpalan darah. 2) Tar, dapat
mengakibatkan kerusakan sel paru-paru dan menyebabkan kanker. 3) Karbon
Monoksida (CO) merupakan gas beracun yang dapat menghasilkan berkurangnya
kemampuan darah membawa oksigen (Depkes, 2008b).
Merokok merupakan salah satu faktor yang dapat diubah, adapun hubungan
merokok dengan hipertensi adalah nikotin akan menyebabkan peningkatan tekana
darah karena nikotin akan diserap pembulu darah kecil dalam paru-paru dan
diedarkan oleh pembulu dadarah hingga ke otak, otak akan bereaksi terhadap nikotin
dengan member sinyal pada kelenjar adrenal untuk melepas efinefrin (Adrenalin).
Hormon yang kuat ini akan menyempitkan pembulu darah dan memaksa jantung
untuk bekerja lebih berat karena tekanan yang lebih tinggi.Selain itu, karbon
monoksida dalam asap rokokmenggantikan iksigen dalam darah. Hal ini akan
menagakibatkan tekana darah karena jantung dipaksa memompa untuk memasukkan
oksigen yang cukup kedalam orga dan jaringan tubuh ( Astawan, 2002 ).
k. Olah raga
Aktivitas fisik adalah gerakan yang dilakukan oleh otot tubuh dan sistem
penunjangnya. Selama melakukan aktivitas fisik, otot membutuhkan energi diluar
metabolisme untuk bergerak, sedangkan jantung dan paru-paru memerlukan
tambahan energi untuk mengantarkan zat-zat gizi dan oksigen ke seluruh tubuh
dan untuk mengeluarkan sisa-sisa dari tubuh.
Olahraga dapat menurunkan risiko penyakit jantung koroner melalui
mekanisme penurunan denyut jantung, tekanan darah, penurunan tonus simpatis,
meningkatkan diameter arteri koroner, sistem kolateralisasi pembuluh darah,
meningkatkan HDL (High Density Lipoprotein) dan menurunkan LDL (Low
Density Lipoprotein) darah. Melalui kegiatan olahraga, jantung dapat bekerja
secara lebih efisien. Frekuensi denyut nadi berkurang, namun kekuatan jantung
semakin kuat, penurunan kebutuhan oksigen jantung pada intensitas tertentu,
penurunan lemak badan dan berat badan serta menurunkan tekanan darah
(Cahyono, 2008). Olahraga yang teratur dapat membantu menurunkan tekanan
darah dan bermanfaat bagi penderita hipertensi ringan. Pada orang tertentu
dengan melakukan olahraga aerobik yang teratur dapat menurunkan tekanan
darah tanpa perlu sampai berat badan turun (Depkes, 2006b).
2. Hipertensi Sekunder
Seperti telah disebutkan sebelumnya, hipertensi sekunder merupakan hipertensi
dengan penyebab yang dapat diidentifikasi. Walaupun hipertensi sekunder lebih
sedikit, namun penyakit ini perlu mendapat perhatian lebih oleh karena :
(1) Terapi terhadap penyebab dapat menyembuhkan hipertensi
(2) Hipertensi sekunder dapat menjadi penghubung dalam memahami etiologi dari
hipertensi primer.
Penyebab-penyebab dari hipertensi sekunder adalah kelainan ginjal, kelainan
endokrin, koartasi aorta dan juga obat-obatan (Gambar 13). Penyebab-penyebab
tersebut akan dibicarakan pada bagian berikut.
a. Kelainan Ginjal
Hipertensi yang diakibatkan oleh kelainan ginjal dapat berasal dari perubahan
sekresi zat-zat vasoaktif yang menghasilkan perubahan tonus dinding pembuluh
darah atau berasal dari kekacauan dalam fungsi pengaturan cairan dan natrium
yang mengarah pada meningkatnya volume cairan intravaskular. Pembagian lebih
lanjut dari kelainan ginjal yang menyebabkan hipertensi adalah kelainan
renovaskular dan kelainan parenkim ginjal.
Kelainan renovaskular disebabkan oleh rendahnya perfusi dari jaringan ginjal
oleh karena stenosis yang terjadi pada arteri utama atau cabangnya yang utama.
Hal ini menyebabkan sistem renin-angiotensin teraktivasi. Angiotensin II yang
merupakan produk dari sistem renin-angiotensin, akan secara langsung
menyebabkan vasokonstriksi atau secara tidak langsung melalui aktivasi sistem
saraf adrenergik. Selain itu angiotensin II juga akan merangsang sekresi
aldosteron yang mengakibatkan terjadinya retensi natrium.
Aktivasi sistem renin-angiotensin juga merupakan penjelasan dari hipertensi
yang diakibatkan kelainan parenkim ginjal. Perbedaannya adalah penurunan
perfusi jaringan ginjal pada kelainan parenkim ginjal disebabkan oleh peradangan
dan proses fibrosis yang mempengaruhi banyak pembuluh darah kecil di dalam
ginjal.
Selain itu Polykistik ginjal juga merupakan faktor penyebab hipertensi
sekunder dimana pada ginjal ditemukan tumbuhnya gelembung gelembung yang
berisi cairan yang memyebabkan iskemi segmental atau adanya obstruksi . Untuk
mempertahankan homestatis maka tubuh melakukan kompensasi dengan
mengaktifkan renin yang selanjutnya angiotensin I dan angiotensin II yang
merupakan agen vasokonstriktor
b. Kelainan Endokrin
Kelainan endokrin dapat menyebabkan hipertensi. Hal ini disebabkan banyak
hormon-hormon yang mempengaruhi tekanan darah. Beberapa kelainan endokrin
ini antara lain adalah :
1. Hiperaldosteronism
Hiperaldosteronisme adalah hipersekresi aldosteron mineralokortikoid
oleh korteks adrenal menyebabkan absorpsi natrium dan air secara berlebihan
dan ekskresi kalium oleh ginjal secara berlebihan. Secara garis besar
dibegakan menjadi dua yaitu hiperadosteron primer dan sekunder.
1.1. Hiperaldosteronism Primer
Hiperaldosteronisme primer adalah sindrom yang disebabkan oleh
hipersekresi aldosteron yang terkendali dan umumnya berasal dari
korteks adrenal. Sindrom ini disebut juga sebagai sindrom conn.
Hiperaldosteronisme Primer sebagian besar disebabkan karena
adenoma jinak pada adrenal yang memproduksi aldosteron
menghasilkan hormon aldostreon secara berlebihan. Peningkatan kadar
serum aldosteron akan merangsang penambahan jumlah saluran
Natrium yang terbuka pada sel prinsipal membran luminal dari dukstus
kolektikus bagian korteks ginjal. Akibat penambahan jumlah ini,
reabsobsi natrium mangalami peningkatan. Absorbsi natrium juga
membawa air sehingga tubuh menjadi cenderung hipervolemia. Sejlan
dengan itu, lumen duktus kolektikus ini berubah menjadi bermuatan
lebih negatif yang mengakibatkan keluarnya ion kalium dari sel duktus
kolektikus masuk ke dalam lumen tubuli melalui saluran kalium.
Akibat peningkatan ekskresi kalium urin, terjadi kadar kalium darah
berkurang. Peningkatan ekskresi kalium juga dipicu oleh peningkatan
aliran cairan menuju tubulus distal. Hal ini mengakibatkan tubuh
kekurangan kalium dan timbul gejala seperti lemas. Hipokalemi yang
terjadi akan merangsang peningkatan ekskresi ion H di tubulus
proksimla melalui pompa NH 3+, sehingga reabsorbsi bikarbonat
meningkat di tubulus proksimal dan ekmudian terjadi alkalosis
metabolik. Hipokalemi bersama dengan hiperaldosteron juga akan
merangsang pompa H-K-ATPase di tubulus distal yang mengakibatkan
peningkatan ekskresi ion H, selanjutnya akan memelihara keadaan
alkalosis metabolik pada pasien ini (Battegay,2005).
1.2. Hiperaldosteronism Sekunder
Gangguan ini disebabkan intravaskular yang rendah sehingga
menghasilkan overaktivasi renin angiotensin. Hiperaldosteronisme
sekunder paling sering disebabkan oleh stenosis arteri ginjal, termasuk
lainnya termasuk CFD, CHF, Sirosis, sindrom Nefrotik
(Battegay,2005).
2. Cushing syndrome
Sindrom Cushing adalah gangguan hormonal yang disebabkan kortisol
plasma berlebihan dalam tubuh (hiperkortisolisme), baik oleh pemberian
glukokortikoid jangka panjang dalam dosis farmakologik (iatrogen) atau oleh
sekresi kortisol yang berlebihan akibat gangguan aksis hipotalamus-hipofisis-
adrenal (spontan). Tingginya kortisol menyebabkakan meningkatnya produksi
vasokronstruktor agent diantaranya angiotensin dan menurunkan vasodilator
agent seperti nitric oxide dan prostaglandin, hal ini menyebabkan kenaikan
resistensi perifer yang berarti juga menaikan tekanan darah. Disamping itu,
kortisol juga meningkatkan reabsorbsi Natrium dan H2O yang menyebabkan
naiknya volume plasma dan menaikkan cardiac output yang pada akhirnya
berpengaruh pada tekanan darah. Efek lain dari tingginya kortisol adalah
meningkatnya ekskresi hydrogen dan kalium yang pada akhirnya
menyebabkan tubuk mengalami hipokalemi (Battegay,2005).
3. Pheochromocytoma
Pheochromocytoma adalah tumor langka yang berkembang dalam inti
kelenjar adrenal. Seseorang memiliki dua kelenjar adrenal, satu tepat di atas
masing-masing ginjal.
Pheochromocytoma, suatu penyebab hipertensi sekunder yang jarang
terjadi atau sangat langka, merupakan tumor medullar adrenal atau tumor
rantai simpatis (paraganglioma) yang melepaskan katekolamin dalam jumlah
besar (epineprin, norepineprin) secaraterus-menerus atau dengan jangka
waktu(Battegay,2005).
Naiknya hornon ephineprin atau adrenalin memicu naiknya heart rate
yang berakibat pada naiknya cardiac output dan tekanan darah. Disamping itu
adrenalin dan norepineprin juga menyebabkan konstriksi pherpheral artery
yang mengakibatkan peripheral resistance yang kemudian menyebabkan
naiknya tekanan darah (Battegay,2005).
4. Hipertiroid
Pada kondisi hipertiroid terjadi kenaikan pelepasan tiroid hormon yang
menyebka naiknya sesitivitas katekolamin sehingga memicu naiknya heart rate
yang berakibat pada naiknya cardiac output dan tekanan darah. Disamping itu
juga menyebabkan konstriksi pherpheral artery yang mengakibatkan
peripheral resistance yang kemudian menyebabkan naiknya tekanan darah
(Battegay,2005).
c. Koartasi Aorta
Aorta adalah pembuluh darah besar dari jantung yang bertugas mengalirkan
darah yang kaya akan oksogen ke seluruh tubuh. Koartasi aorta adalah suatu
keadaan dimana terjadi penyempitan aorta sehingga menyebabkan aliran darah
normal ke seluruh tubuh menjadi terhambat termasuk ke ginjal sehingga renin
disekresi yang selanjutnya merangsang angiotensin I dan angiotensin II yang
yang menyebabkan vasokronstriksi pada pembuluh darah yang pada akhirnya
akan menyebabkan kenaikan cardiac output dan tekanan darah. Disamping itu
angiotensin juga menyebabkan naiknya hormon aldosteron yang menyebabkan
naiknya reabsorbsi natrium dan cairan sehingga volume cairan ekstraselular naik
yang pada akhirnya akan menaikkan cardiac output dan tekanan darah
d. Aterosklerosis
Atherosklerosis adalah penyempitan dan penebalan arteri karena penumpukan
plak pada dinding arteri. Penumpukan plak pada dinding arteri menyebabkan
pembuluh darah menyempit sehingga resistensi perifer naik sehingga
menyebabkan naiknya tekanan darah.
E. Komplikasi Hipertensi
a. Ensefalopati Hipertensi
Hypertensive encephalopathy (HE) atau ensefalopati hipertensi adalah sindrom
klinik akut reversibel yang dipresipitasi oleh kenaikan tekanan darah tiba-tiba sehingga
melampaui batas otoregulasi otak. HE dapat terjadi pada normotensi yang tekanan
darahnya mendadak naik menjadi 160/100 mmHg. Sebaliknya mungkin belum terjadi
pada penderita hipertensi kronik meskipun tekanan arteri rata-rata mencapai 200 atau
225 mmHg.
Ensefalopati hipertensi terdiri dari gejala-gejala : hipertensi berat, gangguan
kesadaran, peningkatan tekanan intrakranial, retinopati dengan papiledem dan kejang.
Patogenesisnya tidak jelas tapi kemungkinan tidak berkaitan dengan spasme arterioler
atau udem serebri. Tanda- tanda fokal neurologik jarang ditemukan dan jikalau ada,
lebih dipikirkan suatu infark / perdarahan serebri atau transient ischemic attack.18,30
Ada 2 teori yang dapat menerangkan patofisiologi HE yaitu :
1. Reaksi otoregulasi yang berlebihan (The overregulation theory of hypertensive
encephalopathy).
Kenaikan tekanan darah yang mendadak menimbulkan reaksi vasospasme
arteriol yang hebat disertai penurunan aliran darah otak dan iskemi. Vasospasme
dan iskemi akan menyebabkan peningkatan permeabilitas kapiler, nekrosis
fibrinoid, dan perdarahan kapiler yang selanjutnya mengakibatkan kegagalan sawar
darah-otak sehingga dapat timbul edema otak.
Kelainan pembuluh darah juga dapat berupa penyempitan umum atau setempat,
percabangan pembuluh darah yang tajam, fenomena crossing atau sklerosis pembuluh
darah. Retinopati hipertensi dapat berupa perdarahan atau eksudat retina yang pada
daerah makula dapat memberikan gambaran seperti bintang (star figure).
Pada pemeriksaan funduskopi akan terlihat penyempitan arterioles retina secara
generalisata. Peningkatan tekanan darah secara persisten akan menyebabkan terjadinya
penebalan intima pembuluh darah, hiperplasia dinding tunika media dan degenerasi
hialin. Pada tahap ini akan terjadi penyempitan arteriolar yang lebih berat dan perubahan
pada persilangan arteri-vena yang dikenal sebagai ”arteriovenous nicking”. Terjadi juga
perubahan pada refleks cahaya arteriolar yaitu terjadi pelebaran dan aksentuasi dari
refleks cahaya sentral yang dikenal sebagai ”copper wiring”.
Apabila dinding arteriol diinfiltrasi oleh sel lemak dan kolesterol akan menjadi
sklerotik. Dinding pembuluh darah secara bertahap menjadi tidak transparan dan dapat
dilihat, dan refleksi cahaya yang tipis menjadi lebih lebar. Produk-produk lemak kuning
keabuan yang terdapat pada dinding pembuluh darah bercampur dengan warna merah
darah pada lumen pembuluh darah akan menghasilkan gambaran khas “copper- wire”.
Hal ini menandakan telah terjadi arteriosklerosis tingkat sedang. Apabila sklerosis
berlanjut, refleksi cahaya dinding pembuluh darah berbentuk “ silver-wire”.
Tahap pembentukan eksudat, akan menimbulkan kerusakan pada sawar darah-retina,
nekrosis otot polos dan sel-sel endotel, eksudasi darah dan lipid, dan iskemik retina.
Perubahan-perubahan ini bermanifestasi pada retina sebagai gambaran mikroaneurisma,
hemoragik, hard exudate dan infark pada lapisan serat saraf yang dikenal sebagai cotton-
wool spot. Edema diskus optikus dapat terlihat pada tahap ini, dan biasanya merupakan
indikasi telah terjadi peningkatan tekanan darah yang sangat berat.
Hipertensi menyebabkan Edema
Volume yang berkurang dari darah yang dipompa keluar oleh jantung (cardiac output
yang berkurang) bertanggung jawab untuk aliran darah yang berkurang ke ginjal. Sebagai
akibatnya, ginjal merasakan bahwa ada pengurangan dari volume darah dalam tubuh. Hal ini
membuat ginjal merespon kehilangan cairan dengan cara menahan garam dan air.
Peningkatan cairan dapat berakibat pada penumpukan cairan didalam paru-paru, yang
menyebabkan sesak napas. Karena berkurangnya volume darah yang dipompa keluar oleh
jantung (cardiac output yang berkurang), volume darah dalam arteri juga berkurang,
meskipun ada peningkatan yang nyata dalam total volume cairan tubuh.
Peningkatan volume cairan pada pembuluh darah dari paru-paru menyebabkan sesak
napas karena kebocoran pada pembuluh darah paru-paru akhibat cairan yang berlebihan ke
dalam ruang udara (alveoli) dan interstitium pada paru-paru. Akumulasi cairan dalam paru-
paru ini disebut pulmonary edema.
Pada saat yang bersamaan, akumulasi cairan pada kaki (legs) menyebabkan pitting
edema. Edema ini terjadi karena penumpukan dari darah vena di kaki (legs) menyebabkan
kebocoran cairan dari kapialer kaki (pembuluh-pembuluh darah kecil) kedalam ruang-ruang
interstitial.
Sumber : http://epomedicine.com/clinical-medicine/physical-examination-edema/
DAFTAR PUSTAKA
Almatsier, S. 2006. Penuntun Diet Edisi Baru. PT Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.
Ambika Satija. 2012. Cardiovascular Benefit of Dietary Fiber.
https://link.springer.com/article/10.1007/s11883-012-0275-7. Acces 26 November 2018
Battegay, EJ. Lip, GYH. Bakris, GL. 2005. Hypertension Principles and Practice. Tailor &
Francis Group. USA
Bonow RO, Mann DL, Zipes DP, Libby P. 2012. Braunwald’s Heart Disease A Textbook of
Cahyono, S. 2008. Gaya Hidup dan Penyakit Modren. Kanisius. Jakarta.
Cardiovascular Medicine 9th Edition.Elsevier Saunders.USA
Corwin, E. 2005. Buku Saku Patofisiologi. EGC. Jakarta.
Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Profil Kesehatan Indonesia 2001. Jakarta : 2002.
Depkes RI. 2006a . Pharmaceutical Care untuk Penyakit Hipertensi. Direktorat Bina Farmasi
Komunitas dan Klinik. Departemen Kesehatan. Jakarta.
Depkes RI. 2006b . Pedoman Teknis Penemuan dan Tatalaksana Penyakit Hipertensi.
Direktorat Pengendalian Penyakit Tidak Menular. Jakarta.
Depkes RI. 2008a . Laporan Hasil Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) Indonesia Tahun
2007. Depkes RI. Jakarta.
Depkes RI. 2008b . Panduan Promosi Perilaku Tidak Merokok. Jakarta: Pusat Promosi
Kesehatan Depkes RI. Jakarta.
Ekmekcioglu, C. Elmadfa, I. Meyer, AL. Moeslinger, T. 2015. The Role of dietary
Pottasium in Hypertension and Diabetes.
https://link.springer.com/article/10.1007/s13105-015-0449-1 . Acces 26 November 2018.
Fauci, AS, Kasper Dl, Longo DL, Braunwald E, Hauser Sl, Jameson JL. 2008. Harrison’s
Principles of Internal Medicine 17thEdition. USA:McGraw-Hill.
Fisher NDL, Williams GH. Hypertensive vascular disease. In : Kasper DL, Fauci AS, Longo
DL, Braunwald E, Hauser SL, et all, editors. Harrison’s principle of internal medicine.
16th edition. New York : McGraw Hill; 2005. p. 1463-80.
Guyton AC, Hall JE. 2006.Textbook of Medical Physiology 11 th Edition. Elsevier Saunders.
USA.
Harrison’s Principles of Internal Medicine 16th Edition page 1653. The McGraw – Hill
Companies. 2005.
Kumar V, Abbas AK, Fausto N. 2004. Robbins and Cotran’s Pathologic Basis of Diesease.
7th edition. Boston: Elsevier B. V.
Lilly, LS. 2011. Pathophysiology of Heart Disease 5 th Edition. Lippincott William & Wilkins.
USA.
Makaritsis, KP. Manajemen of Hypertension in Obesity and Diabetes.
http://www.hasomed.gr/index.php/hasomed/abstracts/15o-etisio-synedrio/item/176-
management-of-hypertension-in-obesity-and-diabetes. Acces 18 November 2018.
Price, S.A., Wilson, L.M. 2005. Patofisiologi, Konsep Klinis dan Proses-Proses Penyakit
Edisi 6. EGC. Jakarta.
Runge MS, Patterson C, Stouffer GA. 2010. Netter’s Cardiology 2 nd Edition. Saunders,
Elsevier Inc. USA.
William, Gordon. 2005. Hypertensive Vascular Disease. In: Kasper, D.L., Fauci, A.S.,
Longo,D.L., Braunwald, E., Hauser, S.L., Jameson, J. L., eds. Harrison’s Principles of
Internal Medicine . 16 th ed. USA: McGraw-Hill