0 penilaian0% menganggap dokumen ini bermanfaat (0 suara)
66 tayangan6 halaman
Dokumen tersebut membahas tentang pengenaan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) atas perdagangan melalui sistem elektronik, termasuk kriteria produk digital impor yang dikenakan pajak seperti berdasarkan nilai transaksi tertentu dan pengusaha digital dapat mengklaim pajak masukan. Pemerintah mulai menerapkan kebijakan ini pada 1 Juli 2020.
Dokumen tersebut membahas tentang pengenaan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) atas perdagangan melalui sistem elektronik, termasuk kriteria produk digital impor yang dikenakan pajak seperti berdasarkan nilai transaksi tertentu dan pengusaha digital dapat mengklaim pajak masukan. Pemerintah mulai menerapkan kebijakan ini pada 1 Juli 2020.
Dokumen tersebut membahas tentang pengenaan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) atas perdagangan melalui sistem elektronik, termasuk kriteria produk digital impor yang dikenakan pajak seperti berdasarkan nilai transaksi tertentu dan pengusaha digital dapat mengklaim pajak masukan. Pemerintah mulai menerapkan kebijakan ini pada 1 Juli 2020.
Pajak Pertambahan Nilai atau PPN adalah pungutan yang dikenakan atas kegiatan transaksi jual-beli barang dan jasa yang dilakukan oleh wajib pajak pribadi atau wajib pajak badan yang telah menjadi Pengusaha Kena Pajak (PKP). Menurut pasal 4 ayat (1) UU PPN disebutkan Pajak Pertambahan Nilai dikenakan atas : a. penyerahan Barang Kena Pajak di dalam Daerah Pabean yang dilakukan oleh pengusaha; b. impor Barang Kena Pajak; c. penyerahan Jasa Kena Pajak di dalam Daerah Pabean yang dilakukan oleh pengusaha; d. pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean; e. pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean; f. ekspor Barang Kena Pajak Berwujud oleh Pengusaha Kena Pajak; g. ekspor Barang Kena Pajak Tidak Berwujud oleh Pengusaha Kena Pajak; dan h. ekspor Jasa Kena Pajak oleh Pengusaha Kena Pajak Dengan perkembangan zaman yang semakin cepat mulai muncul jenis Barang Kena Pajak,Barang Kena Pajak Tidak Berwujud, dan Jasa Kena Pajak dalam bentuk digital yang belum ada sebelumnya seperti game online,situs streaming film, streaming musng sehingga pengenaan PPN bagi Barang Kena Pajak, Barang Kena Pajak Tidak Berwujud,dan juga Jasa Kena Pajak harus diperbarui seiring perkembangan zaman. Untuk meningkatkan penerimaan Negara apalagi disaat pandemi COVID-19 yang menyebabkan keuangan negara defisit maka Direktorat Jenderal Pajak akan mengenakan PPN dengan tarif 10% atas pembelian produk dan jasa digital dari pedagang atau penyelenggara perdagangan melalui system elektronik (PSME). Apalagi dengan banyak masukknya produk digital asing yang masuk ke dalam daerah pabean sehingga berpeluang untuk meningkatkan penerimaan negara. Berdasarkan keterangan resmi Kementrian Keuangan,Pengenaan pajak untuk poduk digital berlaku untuk pemanfaatan atau impor produk dan jasa dari luar negeri , yang telah mencapai nilai transaksi atau jumlah traffic dan pengakses tertentu dalam kurun waktu 12 bulan. Kebijakan ini adalah tindakan pemerintah untuk menciptakan keadilan dan kesetaraan untuk semua pelaku usaha,di dalam maupun luar negeri, baik konvensional maupun digital. Selain itu,kebijakan ini untuk melaksanakan Pasal 6 ayat 13a Perpu No 1 tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan COVID 19 sehingga pemerintah menetapkan PMK ( Peraturan Menteri Keuangan) Nomor 48/PMK.02/2020 sebagai turunannya. Menurut PMK tersebut, Barang digital sesuai Pasal 1 ayat 6 yang berbunyi adalah setiap barang tidak berwujud yang berbentuk informasi elektronik atau digital meliputi barang yang merupakan hasil konversi atau barang yang pengalihwujudan baik secara aslinya berbentuk elektronik,termasuk kecuali tak terbatas pada piranti lunak,multimedia, dan/atau data elektronik. Sedangkan yang dimaksud jasa digital yang dikenakan PPN sesuai Pasal 1 ayat 7 yang berbunyi Jasa Digital adalah jasa yang dikirim melalui internet atau jaringan elektronik,bersifat otomatis atau hanya melibatkan sedikit campur tangan manusia, dan tidak mungkin untuk memastikannya tanpa adanya teknologi informasi,termasuk tetapi tidak terbatas pada pelayanan jasa berbasis piranti lunak. Dengan peraturan ini maka produk digital yang memiliki potensi ekonomi yang signifikan dan telah mengambil manfaat ekonomi dari Indonesia melalui transaksi perdagangan akan dikenakan Pajak Pertambahan Nilai. Dengan ini berarti produk digital seperti Netflix, Zoom, Steam, Spotify, Aplikasi game dan lainnya akan dikenakan pajak tersebut. Direktur Penyuluhan Pelayanan dan Hubungan Masyarakat Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan Hestu Yoga Saksama mengatakan, ketentuan ini membuat produk digital serta jasa daring dari luar negeri akan diperlakukan sama seperti produk konvensional maupun produk digital sejenis produksi pengusaha dalam negeri. Hal ini bertujuan untuk meningkatkan pendapatan Negara dalam rangka mengatasi dampak wabah pandemic COVID 19 dan menjaga kredibilitas anggaran Negara serta stabilitas perekonomian Negara dimasa krisis global seperti ini. Implementasi pengenaan Pajak Pertambahan Nilai untuk produk perdagangan melalui sistem elektronik saat ini merupakan waktu yang sangat tepat. Traffict digital di Indonesia pasti meningkat karena adanya kebijakan work from home (WFH). Pemerintah dalam hal ini harus berhati-hati dalam menerapkan pungutan pajak digital, termasuk mengenai skema pungutan dan nominal yang dipakai. Sebab, kebijakan ini merupakan langkah sepihak yang dilakukan pemerintah . Apabila pajak atas produk digital ini diterapkan, Indonesia sudah dapat dipastikan bisa menambah sengketa perpajakan internasional. Pihak-pihak yang bersengketa menggunakan dasar hukum yang berbeda yaitu ketentuan hukum domestik dan Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda (P3B). Pemerintah harus bisa menekankan kemitraan dengan pelaku usaha yang terkait agar pengenaan pajak digital berjalan efektif. Kebijakan pengenaan PPN ini akan mencakup para penyedia layanan over the top dari luar negeri seperti Google Asia Pasifik. Kerja sama yang baik antara pemerintah dengan perusahaan tersebut menjadi kunci. Karena penyedia layanan kebanyakan berada di luar negeri, jadi enforcement akan menjadi lebih sulit. Pemerintah harus membuat aturan teknis yang mengakomodasi kemudahan administrasi bagi perusahaan terkait. Direktorat Jenderal Pajak (DJP) dapat mengambil contoh dari ketentuan negara lain yang sudah berjalan efektif baik bagi negaranya maupun Subjek Pajak Luar Negeri (SPLN). Pemerintah harus dapat memberlakukan sistem hukuman yang tegas dapat membuat efek jera bagi para pelanggar aturan karena kalau tidak ada hukuman mereka tidak akan patuh. Perumusan kebijakan ini perlu memperhatikan hal-hal terbaik yang dilakukan negara lain untuk menyesuaikan dengan kondisi perekonomian di Indonesia. Hal yang harus dicermati dalam memajaki PMSE ini adalah yang pertama yaitu netralitas, dan yang kedua kemudahan dan efisiensi dari administrasi. Netralitas dalam pajak ini sangat penting. Pajak tidak boleh mendistorsi keputusan wajib pajak sehingga lebih memilih satu sistem perdagangan ketimbang yang lain. Oleh karena itu, negara lain melakukan penerapan tarif PPN yang sama untuk transaksi digital dan nondigital baik lintas negara maupun dalam negeri. Jika pada ketentuan PPN saat ini menetapkan Pengusaha Kena Pajak (PKP) yang wajib memungut PPN adalah yang memiliki peredaran bruto di atas Rp4,8 miliar setahun, maka seharusnya batasan ini yang digunakan untuk menentukan kriteria pemungut PPN PMSE. Apabila dalam menetapkan treshold ini pemerintah mempertimbangkan faktor lain seperti jumlah traffic atau pengakses PMSE, maka sebaiknya ketentuan threshold peredaran bruto Rp4,8 miliar tetap menjadi faktor pertimbangan yang diutamakan. Kemudahan dan efisiensi administrasi merupakan faktor kedua yang penting juga untuk diterapkan. Namun demikian di beberapa negara, kewajiban mengumpulkan sejumlah informasi transaksi dan data pelanggan menjadi hal yang memberatkan, bahkan beberapa kasus dapat melanggar undang-undang privasi yang mengatur rahasia dagang. Dengan demikian, pemerintah perlu mengembangkan kerjasama yang kuat untuk membangun basis data PMSE dengan pemungut di luar negeri ataupun pihak ketiga yang secara langsung memfasilitasi pemanfaatan barang/jasa kena pajak tidak berwujud melalui PMSE. Kriteria produk digital impor yang kena pajak adalah 1. Pemungutan pajak berdasarkan besaran nilai transaksi Dengan kriteria tersebut, maka penunjukan pemungut PPN didasarkan pada atas besaran nilai transaksi dengan pembeli di Indonesia, atau jumlah traffic atau pengakses dari Indonesia tanpa melihat domisili tempat kedudukan pengusaha. Pengusaha yang telah ditunjuk sebagai pemungut PPN wajib mulai melakukan pemungutan PPN pada bulan berikutnya setelah keputusan penunjukan diterbitkan. 2. Pengusaha yang membeli barang/jasa digital dapat melakukan pengkreditan pajak masukan Pengusaha kena pajak yang melakukan pembelian barang dan jasa digital untuk kegiatan usaha dapat melakukan pengkreditan pajak masukan. Hal ini dapat dilaksanakan sepanjang bukti pungut PPN telah memenuhi syarat sebagai dokumen yang dipersamakan dengan faktur pajak yaitu mencantumkan nama dan NPWP pembeli, atau alamat email yang terdaftar pada sistem Direktorat Jenderal Pajak. Pengaturan selengkapnya mengenai persyaratan dan tata cara penunjukan, pemungutan, penyetoran dan pelaporan PPN dapat dilihat pada Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-12/PJ/2020. 3. Pemungutan pajak resmi berlaku 1 Juli 2020 Sebagai informasi, pemungutan, penyetoran, dan pelaporan PPN atas produk digital yang berasal dari luar negeri tersebut akan diberlakukan mulai 1 Juli 2020. Proses ini juga akan dilakukan oleh pelaku usaha perdagangan melalui sistem elektronik (PMSE) yaitu pedagang/penyedia jasa luar negeri, penyelenggara PMSE luar negeri, atau penyelenggara PMSE dalam negeri yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan melalui Direktur Jenderal Pajak. Pemungutan,penyetoran,dan pelaporan PPN terhadap produk digital dan jasa digital yang berasasl dari luar negeri tersebut akan dilakukan oleh pelaku usaha Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PMSE), yaitu : a. Pedagang/penyedia jasa luar negeri b. Penyelenggara PMSE luar negeri c. Penyelenggara PMSE dalam negeri Ketentuan dan kriteria pelaku usaha PMSE yang memungut PPN produk digital dan jasa digital impor adalah : a. Nilai transaksi melebihi jumlah Rp600 juta dalam satu tahun atau Rp50 juta dalam satu bulan b. Jumlah traffic atau pengakses melebihi jumlah 12 ribu dalam satu tahun atau seribu dalam satu bulan c. Pelaku usaha yang telah memenuhi kriteria tetapi belum ditunjuk sebagai pemungut PPN, dapat menyampaikan pemberitahuan secara online kepada Direktorat Jenderal Pajak (DJP) d. Nilai transaksi dan jumlah traffic yang harus dikenakan PPN ditentukan DJP e. Pemungut PPN PMSE ditentukan oleh DJP f. Pemungut PPN PMSE diberikan nomor identitas sebagai sarana administrasi perpajakan yang digunakan sebagai tanda pengenal diri atau identitas pemungut. Dengan kriteria tersebut di atas maka penunjukan pemungut PPN didasarkan semata-mata atas besaran nilai transaksi dengan pembeli di Indonesia, atau jumlah traffic atau pengakses dari Indonesia tanpa memandang domisili atau yurisdiksi tempat kedudukan pelaku usaha. Pemungut PPN PMSE harus membuat bukti pungut PPN, Sesuai Pasal 7 ayat (3) PMK No. 48/2020 tersebut, bukti pungut PPN merupakan dokumen yang kedudukannya dipersamakan dengan faktur pajak, dibuat berdasarkan pedoman yang diterbitkan oleh Direktorat Jenderal Pajak. Bukti pungut PPN produk dan jasa digital dari luar negeri ini dapat berupa commercial invoice, billing, order receipt, atau dokumen sejenis, yang menyebutkan pemungutan PPN dan telah dilakukan pembayaran. Sama seperti pemungut PPN dalam negeri, pelaku usaha (baik pribadi maupun badan) yang ditunjuk juga wajib menyetorkan dan melaporkan PPN PMSE dari produk dan jasa digital impor ini. Penyetoran PPN yang telah dipungut dari konsumen wajib dilakukan paling lama akhir bulan berikutnya. Sedangkan pelaporan PPN yang telah dipungut dan dibayarkan itu dilakukan secara triwulanan, paling lama akhir bulan berikutnya setelah periode triwulanan berakhir. Untuk setiap masanya, laporan paling sedikit memuat: a. jumlah Pembeli Barang dan/atau Penerima Jasa; b. jumlah pembayaran; c. jumlah PPN yang dipungut; dan d. jumlah PPN yang telah disetor. Semua pelaporan dilakukan melalui kanal daring (online). Menurut peraturan ini, pemungut PPN PMSE dapat menyetorkan PPN ke kas negara dengan rupiah, US Dollar, atau mata uang asing lainnya. Tetapi dalam prakteknya, setor pajak dalam nominal dollar tidak semua bank menerima. Hanya sedikit bank yang menerima. Apalagi selain US Dollar. Direktur Jenderal Pajak menunjuk enam perusahaan global yang memenuhi kriteria sebagai pemungut pajak pertambahan nilai (PPN) atas barang dan jasa digital yang dijual kepada pelanggan di Indonesia. Enam pelaku usaha yang telah menerima surat keterangan terdaftar dan nomor identitas perpajakan sebagai pemungut PPN pada gelombang pertama ini antara lain Amazon Web Services Inc., Google Asia Pacific Pte. Ltd., Google Ireland Ltd., Google LLC, Netflix International B.V., dan Spotify AB. Untuk dapat mengkreditkan pajak masukan, pengusaha kena pajak harus memberitahukan nama dan NPWP kepada pembeli untuk dicantumkan pada bukti pungut PPN agar memenuhi syarat sebagai dokumen yang dipersamakan dengan faktur pajak. Pengenaan pajak digital ini mendapatkan respons dari Amerika Serikat, yang muncul karena banyak perusahaan besar di sektor ekonomi digital dan teknologi asal AS yang beroperasi di Indonesia, contohnya Amazon, Netflix, dan Google. Kewajiban perusahaan-perusahaan tersebut untuk mematuhi peraturan mengenai pajak digital dikhawatirkan akan menghambat kegiatan bisnis mereka. Padahal, pengenaan pajak digital akan memberikan rasa keadilan karena perusahaan asing akan mendapatkan perlakuan yang sama dengan perusahaan dalam negeri yang memang memiliki kewajiban untuk membayar pajak. Hal ini sekaligus untuk menciptakan level playing field dan kompetisi yang sehat. Diperlukan analisis yang mendalam terhadap kemungkinan-kemungkinan negatif yang muncul dari dampak pengenaan pajak terhadap hubungan bisnis Indonesia dengan negara lain, di samping persiapan teknis pengambilan pajak perusahaan-perusahaan tersebut. PPN atas transaksi PMSE diatur secara teknis dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 48 Tahun 2020 dan turunannya Peraturan Direktur Jenderal Pajak No. PER-12/PJ/2020 yang menetapkan besaran 10% untuk dikumpulkan dan disetorkan oleh perusahaan dengan sistem elektronik dengan kriteria tertentu mulai Agustus nanti. Dengan melihat potensi ekonomi yang besar dalam bisnis digital, banyak negara sedang mengkaji aturan baku mengenai pajak digital itu sendiri. Beberapa negara yang tergabung dalam OECD (Organization for Economic Cooperation and Development) selama ini mengalami kesulitan dalam memungut pajak dari pengusaha di bidang digital seperti Netflix,Zoom,Developer game online,dll. Dilihat dari konsepnya, banyak negara yang PPN ini memiliki persamaan yaitu sebagai pajak yang dikenakan kepada konsumen akhir untuk negara masing-masing. Namun akibat dari globalisasi, hal tersebut mendorong terjadinya transaksi perdagangan lintas negara. Adanya potensi bertambahnya risiko pajak berganda dan non-pajak menjadi pertimbangan OECD (Organization For Economic Co-Operation and Development) menetapkan arahan petunjuk dalam memajaki perdagangan internasional untuk PPN. OECD memberikan petunjuk mengenai pemajakan untuk PPN. Melihat pada petunjuk tersebut bahwa perdagangan internasional yang menggunakan destination principle atau prinsip tujuan yang menerangkan bahwa PPN dikenakan untuk Barang Kena Pajak (BKP) atau Jasa Kena Pajak (JKP) sesuai dengan dimana tempat pemanfaatannya. Perlu untuk diketahui bahwa terdapat pemajakan untuk PPN bagi perdagangan internasional lainnya menggunakan origin principle atau prinsip asal yaitu PPN dikenakan untuk Barang Kena Pajak (BKP) atau Jasa Kena Pajak (JKP) sesuai dengan dimana tempat itu berasal. Namun, hal ini sangat merugikan negara yang dimana produk tersebut mendapatkan manfaat ekonominya, karena tidak dapat dikenakan pajak untuk PPN. Kita harus untuk mengapresiasi langkah pemerintah ini dalam mengenakan perpajakan terhadap produk digital dan jasa online dari luar negeri karena pemajakan ini merupakan salah satu upaya pemerintah untuk menjunjung tinggi filosofi netralitas dari perpajakan. Konsep ini menerangkan bahwa perpajakan harus berusaha untuk berlaku netral dan adil untuk berbagai bentuk perdagangan. DAFTAR PUSTAKA Republik Indonesia. 1983. Undang-Undang No. 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai. Lembaran Negara RI Tahun 1983, No. 8. Sekretariat Negara. Jakarta. Perdana,Hana Adi. 2020. Gak Cuma Netflix, Ini Kriteria Produk Digital Impor yang Kena Pajak. https://www.idntimes.com/business/economy/hana-adi-perdana-1/gak-cuma-netflix-ini- kriteria-produk-digital-impor-yang-kena-pajak/3. Diakses 7 Agustus 2020. Fitriya. 2020. Daftar Produk Digital Luar Negeri Kena PPN. Netflix, Facebook hingga TikTok. https://klikpajak.id/blog/berita-regulasi/daftar-produk-digital-luar-negeri-kena-ppn- netflixfacebookhinggatiktok/#:~:text=Ketentuan%20dan%20kriteria%20pelaku %20usaha,tertentu%20dalam%20waktu%2012%20bulan&text=Nilai%20transaksi%20dan %20jumlah%20traffic%20yang%20harus%20dikenakan%20PPN%20ditentukan%20DJP. Diakses 7 Agustus 2020. Kementrian Keuangan. 2020. Peraturan Menteri Keuangan No. 48 Tahun 2020 tentang Tata Cara Penunjukan Pemungut, Pemungutan, dan Penyetoran, serta Pelaporan Pajak Pertambahan Nilai atas Pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dan/ atau Jasa Kena Pajak dari Luar Daerah Pabean di Dalam Daerah Pabean melalui Perdagangan melalui Sistem Elektronik. Kementrian Keuangan. Jakarta. Avisena,M Ilham Ramadhan. 2020.10 Perusahaan Ditunjuk Pungut PPN Produk Digital Luar Negeri. https://mediaindonesia.com/read/detail/334692-10-perusahaan-ditunjuk-pungut-ppn- produk-digital-luar-negeri. Diakses 7 Agustus 2020.