Anda di halaman 1dari 7

A STUDY ON THE ASSOCIATION BETWEEN ROLE STRESSOR AND JOB

SATISFACTION AMONG STAFF IN RECORD AND PENSION DIRECTORATE OF


MINISTRY OF DEFENCE

CHAPTER 1

1.1 Introduction

Perubahan lingkungan yang cepat, yang ditandai dengan kemajuan informasi, perubahan selera
pasar, perubahan demografi, fluktuasi ekonomi, dan kondisi dinamis lain menuntut organisasi untuk
merespon perubahan yang terjadi agar tetap eksis dalam persaingan global. Organisasi seringkali
harus merubah struktur dan bentuk organisasinya agar organisasi dapat merespon perubahan yang
terjadi. Perubahan organisasi tersebut akan membawa dampak terhadap setiap individu yang berada
dalam organisasi. Setiap individu yang menjadi bagian dari suatu organisasi dituntut untuk
mengembangkan dan merealisasikan kompetensinya secara penuh. Organisasi akan memanfaatkan
kompetensi yang dimiliki oleh individu dengan mengembangkan kesempatan bagi tiap individu
untuk mengembangkan karirnya. Perubahan kondisi lingkungan organisasi baik internal maupun
eksternal mendorong organisasi untuk merespon dengan cepat (responsive) dan beradaptasi
(adaptive) dengan lingkungan pasar yang penuh dengan persaingan. Organisasi harus semakin
fleksibel untuk menyesuaikan diri dalam lingkungan persaingan yang semakin kompetitif.
Fleksibilitas organisasi ditentukan oleh sumberdaya yang memiliki kemampuan dan keterampilan
yang tinggi (knowledge asset) yang menjadikan organisasi memiliki keunggulan kompetitif
(competitive advantage) sehingga dapat memenangkan persaingan. Dalam era globalisasi seperti
sekarang ini, persaingan dalam pasar akan semakin ketat. Agar dapat lebih unggul dalam persaingan
perusahaan harus memiliki kinerja yang 2 lebih baik, yang tergantung sampai seberapa keunggulan
perusahaan tersebut dikelola oleh para manajer dan para pengambil keputusan puncak. Untuk
mencapai kinerja yang lebih baik perusahaan harus dapat memanfaatkan resources yang ada
didalamnya termasuk memaksimalkan fungsi sumber daya manusia. Secara umum sumber daya
manusia bertujuan meningkatkan kinerja perusahaan melalui pembentukan sumber daya manusia
yang handal. Dalam hubungannya dengan sumber daya manusia, dari berbagai penelitian yang telah
dilakukan, perubahan kondisi lingkungan organisasi baik internal maupun eksternal secara langsung
maupun tidak langsung dapat mempengaruhi iklim organisasi dan tingkat stres karyawan yang dapat
menurunkan tingkat kepuasan kerja yang pada akhirnya dapat menimbulkan niat untuk pindah bagi
karyawan (turnover intention) yang pada akhirnya dapat menimbulkan turnover yang sebenarnya.

Sumber daya manusia merupakan asset yang paling penting bagi organisasi, dimana pada
hakekatnya berfungsi sebagai faktor penggerak bagi setiap kegiatan di dalam perusahaan. Suatu
organisasi dalam melakukan aktivitasnya untuk mencapai tujuan yang diinginkan perlu adanya
manajemen yang baik terutama sumber daya manusia, karena sumber daya manusia merupakan
modal utama dalam merencanakan, mengorganisir, mengarahkan serta menggerakkan faktor-faktor
yang ada dalam suatu organisasi. Berdasarkan hakikat kesetaraan dan keadilan gender terdapat
kesamaan kondisi bagi pria maupun wanita untuk memperoleh kesempatan serta hakhaknya sebagai
manusia, agar mampu berperan dan berpartisipasi dalam segala kegiatan pembangunan (Heryawan,
2009: 01). Hal ini berarti termasuk melaksanakan peran dan tanggungjawab sebagai karyawan
perusahaan sesuai dengan keadilan struktural di dalam organisasi. Interaksi karyawan dengan
pekerjaan dan lingkungan kerjanya menghasilkan barang atau jasa. Berdasarkan unjuk kerjanya,
karyawan mendapatkan imbalan yang berdampak pada motivasi dan kepuasan kerjanya. 2 Sebagai
hasil atau akibat lain dari proses bekerja, karyawan dapat mengalami stres, yang dapat berkembang
menjadikan karyawan sakit, fisik dan mental, sehingga tidak dapat bekerja lagi secara optimal
(Munandar, 2008: 371). Stres kerja dapat berakibat positif (eustress) yang diperlukan untuk
menghasilkan prestasi yang tinggi, namun pada umumnya stres kerja lebih banyak merugikan diri
karyawan maupun perusahaan (Munandar, 2008: 374). Dampak negatif yang ditimbulkan oleh stres
kerja dapat berupa gejala fisiologis, psikologis, dan perilaku (Robbins, 2007: 800). Gejala fisiologis
mengarah pada perubahan metabolisme, meningkatkan tekanan darah, menimbulkan sakit kepala,
dan menyebabkan serangan jantung sebagai akibat dari stres. Ditinjau dari gejala psikologis, stres
dapat menyebabkan ketidakpuasan. Stres yang berkaitan dengan pekerjaan dapat menimbulkan
ketidakpuasan yang berkaitan dengan pekerjaan, karena itulah “dampak psikologis yang paling
sederhana dan paling jelas” dari stres itu. Namun, stres muncul dalam keadaan psikologis lain,
misalnya ketegangan, kecemasan, mudah marah, kebosanan, dan suka menunda-nunda. Terbukti
bahwa bila orang ditempatkan dalam pekerjaan yang mempunyai tuntutan ganda dan berkonflik
atau di tempat yang tidak ada kejelasan mengenai tugas, wewenang, dan tanggungjawab pemikul
pekerjaan, stres dan ketidakpuasan akan meningkat. Sama halnya, makin sedikit kendali yang
dipegang orang atas kecepatan kerja mereka, makin besar stres dan ketidakpuasan. Walaupun 3
diperlukan lebih banyak riset untuk memperjelas hubungan itu, bukti mengemukakan bahwa
pekerjaan-pekerjaan yang memberikan keragaman, nilai penting, otonomi, umpan balik, dan
identitas pada tingkat yang rendah ke pemangku pekerjaan akan menciptakan stres dan mengurangi
kepuasan serta keterlibatan dalam pekerjaan itu. Sedangkan gejala perilaku mencakup perubahan
produktivitas, absensi, dan tingkat keluar masuknya karyawan, juga perubahan kebiasaan makan,
meningkatnya merokok, bicara cepat, gelisah, dan gangguan tidur. Stres kerja yang dialami oleh
karyawan dapat merugikan perusahaan karena tidak imbangnya antara produktivitas dengan biaya
yang dikeluarkan untuk membayar gaji, tunjangan, dan fasilitas lainnya. Banyak karyawan yang tidak
masuk kerja dengan berbagai alasan, atau pekerjaan tidak selesai pada waktunya entah karena
kelambanan ataupun karena banyaknya kesalahan yang berulang. Stres kerja merupakan fenomena
yang mempengaruhi karyawan secara berbeda, di dalam konteks kerja yang berbeda. Mempelajari
stres kerja di konteks yang berbeda akan memberikan pengertian yang mendalam terhadap
fenomena tersebut sebagai suatu keseluruhan dan bagaimana untuk meminimalisir pengaruh
negatif terhadap produktivitas karyawan, kepuasan, dan komitmen kerja karyawan (Michael et. al,
2009: 266). Menurut penelitian Hawthorne, 1981 (dalam Leila, 2002: 02), kepuasan kerja akan
mengarahkan 4 pekerja ke arah tampilan kerja yang lebih produktif. Pekerja yang puas dengan
pekerjaannya akan memiliki loyalitas yang tinggi kepada perusahaan. Stres kerja yang dialami oleh
karyawan pria dan wanita bisa jadi berbeda. Menurut Munandar (2008: 398), stres ditentukan pula
oleh individunya sendiri. Reaksi-reaksi psikologis, fisiologis dan/atau dalam bentuk perilaku terhadap
stres adalah hasil dari interaksi situasi dengan individunya, mencakup ciri-ciri kepribadian yang
khusus dan pola-pola perilaku yang didasarkan pada sikap, kebutuhan, nilai-nilai, pengalaman lalu,
keadaan kehidupan, dan kecakapan. Tuntutan peran ganda umumnya dialami oleh wanita yang
melibatkan diri dalam lingkungan organisasi, yaitu sebagai wanita karir dan ibu rumah tangga
sehingga lebih rentan mengalami stres yang dapat menyebabkan penderitaan psikis berupa
kecemasan dibandingkan dengan pria. Tuntutan pekerjaan, rumah tangga, dan ekonomi keluarga
sangat berpotensi menyebabkan wanita karir rentan mengalami stress.

Seseorang yang memiliki kepuasan kerja tinggi akan memperlihatkan sikap yang positif terhadap
pekerjaannya, sedangkan seseorang yang tidak puas akan memperlihatkan sikap yang negatif
terhadap pekerjaan itu sendiri (Robbins, 2003). Dalam penelitiannya, Gilmer (1985) dalam Desiana
dan Soetjipto (2006) menemukan bahwa terdapat sepuluh dimensi yang dapat mempengaruhi
kepuasan kerja seorang karyawan, yaitu keamanan, kesempatan untuk maju, perusahaan
(manajemen), upah, aspek intrinsik dan pekerjaan, supervisi, aspek sosial dan pekerjaan,
komunikasi, kondisi kerja dan benefit. Sedangkan Luthans (1992) membagi dimensi-dimensi
pekerjaan yang memiliki hubungan dengan kepuasan kerja yaitu pekerjaan itu sendiri, imbalan,
promosi, supervisi kelompok kerja dan juga kondisi kerja.
1.2 Background of the Study

Seorang karyawan akan merasakan nyaman dalam bekerja jika bekerja tanpa adanya tekanan-
tekanan atau bisa diartikan sebagai stres. Stres merupakan tekanan, ketegangan atau gangguan yang
tidak menyenangkan yang berasal dari luar diri seseorang. Tekanan-tekanan tersebut ketika tidak
mampu diatasi mengakibatkan individu mengalami ketidakpuasan atas kerja serta mengabaikan
komitmen yang pernah dibuat (Reed et. al., 1994 dalam Ardiansah dan Mas’ud, 2004).

Organisasi sebagai sebuah institusi sosial telah membentuk perspektif terhadap peran yang
diterima oleh seorang individu. Teori peran (role theory) mengungkapkan bahwa peran adalah salah
satu bagian yang dimainkan dalam keseluruhan struktur kelompok, merupakan perilaku khusus yang
dikarakterkan seorang individu pada konteks sosial tertentu (Baron dan Greenberg, 1993 dalam
Ardiansah dan Mas’ud, 2004). Teori peran menekankan sifat individual sebagai pelaku sosial yang
mempelajari perilaku sesuai dengan posisi yang ditempatinya di lingkungan kerja dan masyarakat
(Khan, 1964 dalam Murtiasri dan Ghozali, 2006). Kantz dan Khan (1978) dalam Murtiasri dan
Ghozali (2006) menyatakan bahwa individu akan mengalami konflik dalam dirinya apabila terdapat
dua tekanan atau lebih yang terjadi secara bersamaan yang ditujukan pada diri seseorang.
Tekanan peran dalam pekerjaan (role stress) menunjukkan seberapa luas ekspektasi
serangkaian peran anggota organisasi menghadapi situasi yang mengandung tiga dimensi, yaitu
ketidakjelasan peran (ambiguity), ketidaksesuaian peran sehingga antar peran bertentangan satu sama
lainnya (conflict) dan beratnya tekanan dalam pekerjaan (overload) (Woelf & Snoek, 1962 dalam
Rahayu, 2002). Teori peran menyatakan bahwa individu yang berhadapan dengan tingkat konflik
peran dan ketidakjelasan peran yang tinggi akan mengalami kecemasan, menjadi lebih tidak puas dan
melakukan pekerjaan dengan kurang efektif dibanding dengan indivudu yang lain (Rizzo dkk., 1970).
Konsekuensi potensial adanya konflik peran dan ketidakjelasan peran yaitu menurunnya kepuasan
kerja seseorang (Khan dkk, 1964 dalam Rahayu, 2002). Kepuasan kerja merupakan jembatan bagi
perusahaan agar tujuan perusahaan dapat tercapai. Komitmen organisasi merupakan peran yang
diharapkan atas peran yang dilakukan oleh individu.
Stres kerja tidak selalu mengarah pada akibat yang negatif namun dapat juga menjadi kekuatan
yang positif bagi individu. Stres yang bisa berakibat positif karena bisa menghasilkan stres produktif
disebut juga eustress dan stres yang berakibat negatif karena dapat menyebabkan disfungsi peran
disebut juga distress. Eustress diperlukan untuk menghasilkan prestasi yang lebih baik, karena stres
dalam jumlah tertentu dapat mengarah pada lahirnya gagasan-gagasan baru yang inovatif. Sedangkan
distress merupakan stres dalam jumlah besar dan akan menyebabkan disfungsi peran. Perbedaan
dalam tingkat stres dapat disebabkan karena adanya perbedaan respon atau tanggapan dari individu
yang mengalaminya (Selye, 1983 dalam Munandar, 2001:374).
Stres diperlukan untuk menghasilkan prestasi yang tinggi. Hasil penelitian menunjukkan
adanya hubungan bentuk-U terbalik antara stres dan unjuk kerja pekerjaan. Kahn, Wolve, Snoeck &
Rosenthal (1964) dalam Murtiasri dan Ghozali (2006) menyatakan bahwa tekanan peran muncul
karena adanya dua kondisi yang sering dihadapi oleh auditor, yaitu ambiguitas peran (role ambiguity)
dan konflik peran (role conflict). Selain kedua faktor tersebut Schick, Gordon & Haka (1990) dalam
Murtiasri dan Ghozali (2006) menyatakan bahwa tekanan peran pada auditor juga disebabkan karena
beratnya beban pekerjaan yang menimbulkan kelebihan beban kerja (role overload). Beehr et. al.
(1976) menemukan bahwa role stessor terdiri dari role ambiguity, role conflict, dan role overload.
Dalam penelitian ini, role stressor terdiri dari tiga yaitu: role conflict, role ambiguity, dan role
overload.
Riset yang dilakukan oleh Rahayu (2002) menyatakan bahwa konflik peran berhubungan
negatif dengan kepuasan kerja. Hal ini tidak sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Ardiansah
dan Mas’ud (2004) yang menyatakan bahwa tidak terdapat hubungan antara role overload & inter
role conflict terhadap kepuasan kerja. Riset yang sejalan dengan riset yang dilakukan oleh Rahayu
adalah riset yang dilakukan oleh Jackson dan Schuller’s (1985) yang dinyatakan dalam Desiana dan
Soejtipto (2006) menyatakan bahwa role conflict dan role ambiguity memiliki kecenderungan negatif
dengan kepuasan kerja. Hal ini berarti semakin tinggi role stressor maka akan semakin rendah
kepuasan kerja seseorang, dan sebaliknya semakin rendah role stressor seseorang maka akan semakin
tinggi kepuasan kerja seseorang.
Konflik menjadi suatu masalah bila orang-orang yang terlibat dengan konflik tidak dapat me-manage
konflik secara efektif. Apabila konflik di-manage secara efektif, maka konflik tersebut akan menjadi
sebuah kekuatan yang membangun (constructive force) bagi organisasi (Thomas K. Capozzolli, 1995
dalam Suranta, 1998). Dalam penelitian yang dilakukan oleh Suranta (1998) pengaruh konflik tidak
hanya dapat menimbulkan konsekuensi emosi individu misalnya meningkatkan ketegangan
hubungan kerja dan menurunnya kepuasan kerja, tetapi juga akan berpengaruh terhadap komitmen
organisasi seseorang. Penelitian yang dilakukan oleh Mathieu dan Zajac (1990) dalam Desiana dan
Soejtipto (2006) menyatakan bahwa role ambiguity dan role overload memiliki hubungan yang
negatif dengan komitmen organisasi. Jika perusahaan ingin meningkatkan komitmen organisasi
karyawannya maka perusahaan harus memperkecil role stressor karyawannya.

1.3 Problem Statement of the Study

Glisson et al (1988) menyatakan, kepuasan kerja mempunyai hubungan yang rapat dengan pelbagai
faktor dan hubungan antara pekerjaan dan merupakan satu faktor yang penting di dalam
meningkatkan produktiviti dan kualiti pekerjaan. Pekerja yang mendapat kepuasan kerja juga dilihat
akan terus kekal di dalam organisasi kerana ia sudah menjadi tujuan mereka untuk mendapatkan
kepuasan kerja semasa berada di dalam organisasi (Riaz et al, 2010). Isu-isu yang berkaitan dengan
kepuasan kerja sering menjadi tajuk utama di dalam media massa. PRNewswire, New York (2010)
melaporkan kajian terhadap 5,000 penduduk Amerika Syarikat untuk The Conference Board yang
jalankan oleh TNS mendapati bahawa hanya 45% responden berpuas hati dengan pekerjaan mereka
menurun dari 61.1% pada 1987 iaitu tahun pertama kajian dijalankan. Kompasiana, Indonesia
(2012), melaporkan bahawa Accenture, sebuah syarikat konsultan Amerika Syarikat melaporkan
hasil kajian pada 8 Mac 2012 menunjukkan bahawa hanya 18 % dari responden karyawan di
Indonesia berpuas hati dengan kualiti kehidupan serta kebahagiaan di tempat kerja. Sementara itu,
di Singapura terdapat 76 % responden mengaku tidak bahagia di tempat kerja. Sinar Harian (2012),
satu kaji selidik JobStreet.com mengenai Kepuasan Pekerjaan Warga Kerja di Malaysia telah
dijalankan dan hasil kajian menunjukkan bahawa 78% daripada responden tidak gembira dengan
pekerjaan semasa. Bertepatan dengan persoalan dan isu-isu tersebut, maka objektif kajian ini adalah
bertujuan untuk mendapatkan hubungan di antara latihan dan motivasi terhadap kepuasan kerja.

1.4 Research Objective


1.4.1 General Objective
1.4.2 Specific Objective
1.5 Research Question
1.6 Research Hypothesis

Hipotesis yang digunakan dalam penelitian ini yaitu: H1 H : Terdapat hubungan antara peran individu
dalam organisasi dengan kepuasan kerja karyawan pria. 2 H : Terdapat hubungan antara tuntutan
tugas dengan kepuasan kerja karyawan pria. 3 H : Terdapat hubungan antara hubungan dalam
organisasi dengan kepuasan kerja karyawan pria. 4 H : Terdapat hubungan antara faktor luar
organisasi dengan kepuasan kerja karyawan pria. 5 H : Terdapat hubungan antara peran individu
dalam organisasi dengan kepuasan kerja karyawan wanita. 6 H : Terdapat hubungan antara tuntutan
tugas dengan kepuasan kerja karyawan wanita. 7 H : Terdapat hubungan antara hubungan dalam
organisasi dengan kepuasan kerja karyawan wanita. 8: Terdapat hubungan antara faktor luar
organisasi dengan kepuasan kerja karyawan wanita

1.7 Significance of the Study


1.8 Scope of the Study
1.9 Conceptual Framework

INDEPENDENT VARIABLE DEPENDENT VARIABLE

ROLE STRESSOR

ROLE AMBIGUITY
JOB SATISFACTION
ROLE CONFLICT

ROLE OVERLOAD
1.10 Definition of Terms
1.10.1 Role Stressor
1.10.2 Role Ambiguity
1.10.3 Role Conflict
1.10.4 Role Overload
1.10.5 Job Satisfaction

Anda mungkin juga menyukai