Anda di halaman 1dari 9

KEGIATAN BELAJAR 1:

INDIKATOR KOMPETENSI

1. Menjelaskan Konsep Tafsir, takwil, tarjamah, ayat-ayat muhkamat dan


mutasyabihat.
2. Menganalisis Penerapan Tafsir, takwil, terjamah, ayat-ayat muhkamat dan
mutasyabihat

URAIAN MATERI
1. Tafsir
Menurut bahasa kata tafsir diambil dari kata fassara-yufassiru- tafsiir yang berarti
menjelaskan. Pengertian tafsir menurut bahasa juga bermakna al-idhah (menjelaskan),al-
bayan(menerangkan), al-kasyf (mengungkapkan). Sedangkan secara terminology terdapat
beberapa pendapat, salah satunya menurut Dr. Shubhis Shaleh yang mendifinisikan tafsir
sebagai berikut :

ِ‫ان َمعَا ِني ِه َو ا ْس ِت ْخ َراج‬


ِ ‫لى نَبِ ِي ِه ُم َح َّم ٍد صلى هللا عليه و سلم َو َب َي‬
َ ‫ع‬َ ‫ب هللاِ ال ُمن ََّز ِل‬
ِ ‫ف ِب ِه فَ ْه ُم ِكتا‬ ُ ‫ِع ْل ٌم يُ ْع َر‬
‫ام ِه َو ِح َك ِم ِه‬ِ ‫أحْ َك‬
Artinya:
Sebuah disiplin yang digunakan untuk memahami kitabullah yang diturunkan kepada Nabi
Saw dan menerangkan makna-maknanya serta menggali hukum-hukum dan hikmah-
hikmahnya.

Definisi lain tentang tafsir dikemukakan oleh Ali al-Shabuniy bahwa tafsir adalah ilmu
yang membahas tentang al-Qur’an dari segi pengertiannya terhadap maksud Allah sesuai

1
dengan kemampuan manusia. Pendapat lain senada disampaikan oleh al-Kilabi bahwa tafsir
adalah menjelaskan al-Qur’an, menerangkan maknanya dan menjelaskan apa yang
dikehendaki dengan nashnya atau dengan isyaratnya atau tujuannya. Demikian juga menurut
Syekh al-Jazairi tafsir pada hakikatnya adalah menjelaskan lafadz yang sukar dipahami oleh
pendengar dengan mengemukakan lafadz sinonimnya atau makna yang mendekatinya, atau
dengan jalan mengemukakan salah satu dilalah lafadz tersebut.
Al Qur’an diturunkan adalah sebagai petunjuk dari Allah Swt sebagai pencipta bagi
segenap manusia; petunjuk hidup di dunia dan petunjuk untuk mendapat keselamatan dan
kebahagiaan di akherat. Petunjuk tersebut penting dipahami dan dijelaskan kepada manusia.
Untuk menjelaskan isi kandungan al Qur’an dibutuhkan sebuah alat yang disebut ilmu tafsir,
di mana merupakan perangkat yang diperlukan dalam memahami ayat-ayat pada setiap surat
dalam al-Qur’an.
Dalam melakukan penafsiran al Qur’an seorang mufassir dituntut untuk menjelaskan
maksud yang terkandung dari suatu ayat atau beberapa ayat atau surat di dalam al Qur’an.
Maksud dari suatu ayat atau surat tersebut dapat dipahami dari susunan bahasanya dan lafadz-
lafadz yang digunakannya serta seluk beluk yang berhubungan dengan ayat atau surat
tersebut, yaitu; kapan, di mana, ada peristiwa apa ketika ayat itu turun, berkenaan dengan apa
dan siapa, kondisi masyarakatnya bagaimana, dan bagaimana penjelasan Nabi Saw terhadap
ayat tersebut. Seluk beluk yang dimaksud adalah terkait dengan ulumu al Qur’an, di dalamnya
membahas tentang asbabun nuzul, makiyah dan madaniyah, ilmu qiraat, nasikh wa mansukh,
dst.
Asbabun nuzul yang menjadi latarbelakang turunnya ayat menjadi salah satu komponen
yang sangat penting bagi siapapun yang ingin memahami Al-Qur’an. Belum dianggap cukup
untuk memahami al Qur’an hanya berbekal bahasa arab saja, apalagi hanya membaca
terjemahnya saja. Di sini artinya memperhatikan asbabun nuzul menjadi suatu hal yang
penting, yang dikuatirkan akan terjadi kesalahan jika memahami al Qur’an tanpa
memperhatikan asbabun nuzul. Al Syathibi menegaskan bahwa seorang tidak diperkenankan
memahami al Qur’an hanya dari sisi teksnya saja tanpa memperhatikan konteks ayat ketika
turun. Namun Demikian perlu diketahui bahwa tidak seluruh ayat al Qur’an diketemukan
asbabun nuzulnya melalui riwayat.
Memahami makiyah dan madaniyah juga akan membatu seseorang ketika akan
memahami al Qur’an. Terdapat beberapa manfaat dalam memahami makiyah dan madaniyah,
apabila seseorang berupaya memahami ayat al Qur’an : a) Dapat membantu mempermudah
dalam menjelaskan ayat al-Qur’an, dikarenakan makiyah dan madaniyah terkait dengan

2
situasi dan kondisi masyarakat saat itu ketika ayat-ayat al Qur’an diturunkan. b) Melalui gaya
bahasa yang berbeda pada ayat makiyah dan madaniyah akan membatu dalam memahami
ayat al Qur’an, sekaligus memberikan indikasi perbedaan karakteristik masyarakat. c) Dengan
memahami makiyah dan madaniyah akan lebih mudah mengkaitkan dengan aspek sejarah
hidup Nabi Muhammad Saw .
Demikian juga penting memahami seluk beluk ilmu qiraat, di mana dimulai sejak para sahabat
membaca qiraat tersebut. Sebagaimana dalam hadist shohih diceritakan bahwa suatu ketika di masa
hidup Rasulullah saw , Umar bin Khattab sholat menjadi makmum dan mendengar bacaan Hisyam
bin Hakim membaca Surat al-Furqan dengan bacaan qira’ah yang bermacam-macam yang tidak sama
dengan bacaan Umar yang diajarkan Rasulullah Saw, sehingga hampir saja Umar menyeretnya ketika
dia sedang salat. Namun Umar berusaha bersabar menunggunya hingga selesai salam. Setelah Hisyam
selesai salat, Umar menarik selendangnya seraya berkata padanya, siapa yang membacakan surat
kepadamu denga bacaan seperti itu, kata Umar. Dia menjawab; Rasulullah Saw yang membacakan
kepadaku seperti itu. Bohong kamu, kata Umar” Sungguh Rasulullah Saw membacakan padaku Tidak
seperti apa yang kamu baca. Kemudian Umar membawanya untuk menghadap Rasul, di mana setelah
keduanya membaca surat al Furqan kemudian Rasulullah Swt membenarkan bacaan keduanya, sambil
bersabda “ Seperti itulah bacaan al Qur’an diturunkan.
Dalam hal qiraat tersebut tidak hanya berkutat dalam perbedaan bacaan al qur’an dari segi
dialek saja, namun terdapat juga perbedaan-perbedaan qira’at yang mempengaruhi terhadap perbedaan
makna lafadz , sehingga menjadi penting memahaminya bagi seorang mufassir. Di antara manfaat
memahami perbedaan qira’at yang mempengaruhi terhadap makna adalah ; a) Dapat mengetahui
adanya dua hukum yang berbeda. Misalnya pada surat Al-Baqarah: 222.
ْ َ‫َو ََل ت َ ْق َربُو ُه َّن َحت َّ ٰى ي‬
َ‫ط ُه ْرن‬
“Dan janganlah kamu mendekati mereka, sebelum mereka suci.”

ْ َ‫ ي‬berarti wanita
َّ ‫ ي‬. Kata َ‫ط ُه ْرن‬
Ayat ini oleh oleh beberapa imam qira’at dibaca َ‫ط َّه ْرن‬
َّ menunjukkan makna
haid boleh didekati apabila berhenti haidnya. Sedangkan bacaan َ‫يط َّه ْرن‬
bahwa wanita haid baru boleh didekati setelah mereka mandi. Dari dua qira’at ini dapat
dipahami bahwa wanita haid boleh didekati setelah berhenti haidnya dan telah mandi.
Demikian juga dalam memahami qira’at yang memiliki dua wajah seperti pada surat
Al Maidah: 6 dalam kaitannya dengan wudhu:
۟ ‫س ُح‬
ۚ ‫وا ِب ُر ُءو ِس ُك ْم َوأ َ ْر ُجلَ ُك ْم ِإلَى ْٱل َك ْعبَي ِْن‬ ۟ ُ‫فَٱ ْغ ِسل‬
ِ ‫وا ُو ُجو َه ُك ْم َوأ َ ْي ِد َي ُك ْم ِإلَى ْٱل َم َرا ِف‬
َ ‫ق َو ْٱم‬
“Maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan usaplah kepalamu dan
(basuhlah) kakimu sampai dengan kedua mata kaki”

3
Kata ‫(وأ َ ْر ُجلَ ُك ْم‬wa
َ arjulakum) yang dibaca fathah lamnya sebagian imam lain
membaca dengan mengasrah lam ‫( َوأَ ْر ُج ِل ُك ْم‬wa arjulikum) yang dari dua qira’at ini dapat
dipahami bahwa salah satu rukun wudhu adalah membasuh kaki, tetapi membasuh kaki dapat
dirubah dengan mengusapnya bagi orang yang memakai khufah (semacam sepatu pada zaman
dahulu) bagi orang yang sedang safar.
Pengetahuan seperti itu, tidak mungkin diketahui oleh seseorang yang tidak
mengenal tentang ilmu qira’at. Demikian juga pada sebagaian lafadz-lafadz lain yang
memiliki beberapa qira’at. Karena itu pengetahuan Ulumu al Qur’an tersebut digunakan
seorang mufassir dalam menjelaskan ayat-ayat al Qur’an agar di dalam penafsirannya dapat
terhindar dari kemungkinan terjadi kesalahan. Karena itu seseorang mufassir dalam
menafsirkan al Qur’an disyaratkan memiliki penguasaan di bidang ulumu al-Qur’an
sebagaimana dijelaskan oleh para ulama’ tentang syarat-syarat mufassir, yaitu penguasaan
bahasa arab beserta cabang-cabangnya dan penguasaan terhadap ulumu al Qur’an.

2. Takwil
Ta’wil menurut bahasa berasal dari kata awwala-yuauwilu-takwiil yang memiliki
makna al-ruju’ atau al’aud yang berarti kembali. Berkaitan dengan kata ini al Qur’an
beberapa kali menggunakan kata takwil dalam menjelaskan maksud dari sebuah pristiwa
atau kisah, misalnya pada kisah Nabi Yusuf as (QS:12;100) dalam menjelaskan pristiwa
tunduknya keluarga dan saudara-saudaranya kepadanya dinyatakan dengan kalimat
haadzaa takwiilu rukyaaya min qobl qod ja’ala robbii haqqo…( ini adalah takwil
mimpiku sebelumnya, sungguh Tuhan telah menjadikan mimpiku menjadi kenyataan).
Demikian juga pada surat al Kahfi (78) tentang kisah seorang hamba Allah yang diberi
ilmu dari sisi-Nya mengatakan kepada Nabi Musa as dengan kalimat sa unabbi uka
bitakwiili maalam tastathi’ alaihi sobro (aku akan menjelaskan takwil sesuatu yang
engkau tidak dapat bersikap sabar terhadapnya).
Memperhatikan penggunaan kata takwil di dalam al Qur’an, maka secara
terminologi al Jurjani dalam kitab al Ta’rifatnya memberikan definisi takwil sebagai
berikut:

‫سنَّة‬ ِ ‫إلى َم ْعنًى يَحْ ت َ ِملُهُ إذَا كانَ ال ُمحت َ ِم ُل الَ ِذي يَراه ُم َوافِقًا ِلل ِكتا‬
ُّ ‫ب وال‬ َ ‫ف اللَّ ْف ِظ‬
َ ‫ع ْن َم ْعنَاهُ الظا ِه ِر‬ ُ ‫ص ْر‬
َ
Memalingkan lafadz dari maknanya yang lahir kepada makna yang dikandung oleh
lafadz tersebut selama makna yang dimaksud tersebut dipandang sesuai dengan al
qur’an dan al sunnah.

4
Misalnya dalam memahami kalimat ‫( يخرج الحي من الميت‬mengeluarkan kehidupan dari
yang mati) misalnya, bisa dipahami dalam pengertian ―mengeluarkan seekor ayam yang
menetas dari telur. Makna tersebut adalah tafsir. Tetapi, ia bisa juga dipahami dengan jalan
takwil, yakni ―mengeluarkan seorang Mukmin dari kekafiran atau mengeluarkan yang
pandai dari kebodohan.1
Melihat penjelasan di atas dapat dipahami bahwa pada hakekatnya takwil dilakukan
dalam rangka memahami ayat yang berarti juga disebut tafsir. Makna takwil dalam teks
Alquran dan hadis sejak lama telah diperdebatkan di kalangan para ulama. Dalam tradisi
tafsir memahami Alquran bisa dilakukan dengan menggunakan tafsir dan juga dengan takwil
yang benar.

3. Terjemah
Terjemah diambil dari bahasa arab dari kata tarjamah. Bahasa arab sendiri
memungut kata tersebut dari bahasa Armenia yaitu turjuman2. Kata turjuman sebentuk
dengan kata tarjaman dan tarjuman yang berarti mengalihkan tuturan dari satu bahasa
ke bahasa lain.3 Terjemah menurut bahasa juga berarti salinan dari satu bahasa ke bahasa
lain, atau mengganti, menyalin, memindahkan kalimat dari suatu bahasa ke bahasa lain.
Secara etimologi berarti juga ‚memindahkan lafal dari suatu bahasa kedalam bahasa lain.
Dalam hal ini seperti memindahkan atau mengartikan ayat-ayat al-Qur’an yang berbahasa
Arab diartikan kedalam bahasa Indonesia.
Adapun secara terminologi didefinisikan sebagai berikut;

‫يع َمعَا ِني ِه َو‬


ِ ‫اء ِب َج ِم‬ َ ‫َلم ا َخ ٍر ِم ْن لُغَ ٍة ا ُ ْخ َرى َم َع‬
ِ َ‫الوف‬ ٍ ‫نى َك ََل ٍم ِفى لُغَ ٍة ِب َك‬
َ ‫ع ْن َم ْع‬
َ ‫ير‬ ُ ‫الت َ ْع ِب‬
‫قاصدِه‬
ِ ‫َم‬
Mengungkapkan makna tuturan suatu bahasa di dalam bahasa lain dengan
memenuhi seluruh makna dan maksud tuturan tersebut.

Ash-Shabuni mendefinisikan terjemah al Qur’an adalah memindahkan bahasa al-


Qur’an ke bahasa lain yang bukan bahasa ‘Arab kemudian mencetak terjemah ini ke beberapa
naskah agar dapat dibaca orang yang tidak mengerti bahasa ‘Arab, sehingga dapat memahami

1
. M. Quraish Shihab, Membumikan Al Qur‟an, Jilid 2, (Jakarta: Lentera Hati, 2011), 554.
2 . Didawi, M (1992). Ilmut Tarjamah bainan Nazhariyah wa al Tathbiq. Tunis: Darul Maarif li ath Thabaah wa al Nasyr.
Hal;37
3 . Manzhur, I.( 1300 H) Lisanul Arab. Beirut: Dar Shadir :66

5
kitab Allah SWt, dengan perantaraan terjemahan.
Penerjemahan dibagi menjadi dua; terjemah lafdziyah dan terjemah tafsiriyah.
Terjemah harfiyah, yaitu mengalihkan lafaz-lafaz dari satu bahasa ke dalam lafaz- lafaz yang
serupa dari bahasa lain sedemikian rupa sehingga susunan dan tertib bahasa kedua sesuai
dengan susunan dan tertib bahasa pertama. Terjemah tafsiriyah atau terjemah maknawiyah,
yaitu menjelaskan makna pembicaraan dengan bahasa lain tanpa terikat dengan tertib kata-
kata bahasa asal atau memperhatikan susunan kalimatnya.
Membaca terjemah sebuah ayat al Qur’an dapat membantu pembaca untuk memahami
maksud ayat tersebut, namun demikian membaca terjemah saja tanpa memahami seluk beluk
bahasa al Qur’an yakni bahasa arab seringkali menjadikan pemahaman terhadap ayat tersebut
kurang sempurna, atau bahkan dikuatirkan terjadi kesalahpahaman. Kesalahpahaman
terhadap pembacaan terjemah secara umum dapat disebabkan beberapa hal;
a. Tidak semua kata dalam suatu bahasa dapat diterjemah secara tepat atau utuh ke dalam
bahasa lain. Ini dikarenakan setiap bahasa memiliki batas-batas makna masing-masing.
Contoh kata; anta dan anti( mudzakkar dan muannats) tidak dapat diterjemah secara utuh
dengan kata kamu, anda atau engkau. Demikian juga misalnya kata insanun dan basyarun
tidak dapat secara utuh diwakili oleh terjemah kata manusia.
b. Keterbatasan seorang penerjemah dalam melakukan pilihan kata yang tepat dan
keterbatasan penerjemah dalam penguasaan struktur bahasa yang digunakan.
c. Latarbelakang budaya yang berbeda pada setiap bangsa akan membentuk karakteristik
bahasa yang berbeda, misalnya pada bahasa arab memiliki jumlah ismiyah dan jumlah
fi’liyah. Pola memiliki dua jumlah tersebut tidak dimiliki oleh bahasa Indonesia.
Karena itu apabila melihat berbagai kelemahan tersebut di atas, maka dalam
penterjemahan al Qur’an belum dapat dikatakan mampu mewakili seluruh maksud ayat-
ayatnya. Apalagi bahwa al Qur’an itu adalah kalamullah yang memiliki keagungan dalam
bahasa dan kandungannya, maka terasa tidak mungkin sebuah terjemahan al Qur’an mampu
menggambarkan secara utuh maksud-maksudnya. Namun demikian bukan berarti terjemah
al Qur’an tidak penting, akan tetapi adanya terjemah al-Qur’an sekedar membantu untuk
melakukan tadabbur (renungan) khususnya bagi bangsa ‘ajam (non arab) yang tidak
memiliki kemampuan bahasa arab secara baik. Selain itu, untuk mengurangi keterbatasan
bahasa maka dilakukan terjemah tafsiriyah atau maknawiyah sebagaimana telah dijelaskan
di atas.

6
4. Muhkamat dan Mutasyabihat.
Kata Muhkam dari segi etimologi berasal dari akar kata hakama-yahkamu-hukman
berarti menetapkan, memutuskan, memisahkan. Kemudian dijadikan wazan af’ala menjadi
ahkama-yuhkimu-ihkaam yang berarti mencegah. Al-Hukmu artinya memisahkan antara dua
hal. Jika seseorang dikatakan hakim maka karena ia mencegah kezaliman dan memisahkan
antara dua orang yang berselisih, membedakan antara yang hak dan yang batil, antara benar
dan salah. Sedangakan kata mutasyabih berasal dari kata tasyabuh yang secara bahasa berarti
keserupaan dan kesamaan yang biasanya membawa kepada kesamaan antara dua hal.
Menurut Manna’ Al-Qaththan secara terminologi muhkam adalah ayat yang mudah
diketahui maksudnya, mengandung satu makna, dapat diketahui secara langsung tanpa
memerlukan keterangan lain. Sedang mutashâbih adalah ayat yang pada hakekatnya hanya
diketahui maksudnya oleh Allah sendiri, mengandung banyak makna, dan membutuhkan
penjelasan dengan merujuk pada ayat-ayat lain.4
Ayat al-Qur’an yang seringkali digunakan sebagai rujukan dalam pembahasan
muhkamat dan mutasyabihat tercantum pada surat ali Imran (QS 3:7) :

َ‫ب َوأُخ َُر ُمتَشَا ِب َهاتٌ ۖ فَأ َ َّما الَّذِين‬ ِ ‫اب ِم ْنهُ آ َياتٌ ُم ْح َك َماتٌ ُه َّن أ ُ ُّم ْال ِكتَا‬ َ َ ‫علَي َْك ْال ِكت‬ َ ‫ُه َو الَّذِي أ َ ْنزَ َل‬
َّ ‫ِفي قُلُو ِب ِه ْم زَ ْي ٌغ فَ َيت َّ ِبعُونَ َما تَشَا َب َه ِم ْنهُ ا ْب ِتغَا َء ْال ِفتْنَ ِة َوا ْب ِتغَا َء تَأ ْ ِوي ِل ِه ۗ َو َما َي ْعلَ ُم تَأ ْ ِوي َلهُ ِإ ََّل‬
ۗ ُ‫َّلل‬
ِ ‫الرا ِس ُخونَ فِي ْال ِع ْل ِم َيقُولُونَ آ َمنَّا ِب ِه ُك ٌّل ِم ْن ِع ْن ِد َر ِبنَا ۗ َو َما َيذَّ َّك ُر ِإ ََّل أُولُو ْاْل َ ْل َبا‬
‫ب‬ َّ ‫َو‬
Artinya:
Dialah yang menurunkan Al Kitab (Al Quran) kepada kamu. Di antara (isi)nya ada ayat-
ayat yang muhkamaat, itulah pokok-pokok isi Al qur’an dan yang lain (ayat-ayat)
mutasyaabihaat. Adapun orang-orang yang dalam hatinya condong kepada kesesatan,
maka mereka mengikuti sebahagian ayat-ayat yang mutasyaabihaat daripadanya untuk
menimbulkan fitnah untuk mencari-cari ta’wilnya, padahal tidak ada yang mengetahui
ta’wilnya melainkan Allah. Dan orang-orang yang mendalam ilmunya berkata: “Kami
beriman kepada ayat-ayat yang mutasyaabihaat, semuanya itu dari sisi Tuhan kami”.
Dan tidak dapat mengambil pelajaran (daripadanya) melainkan orang-orang yang
berakal.

Ayat Alquran tersebut menimbulkan perbedaan pemahaman tentang boleh tidaknya


takwil atas ayat-ayat mutasyabihaat itu5. Sebagian pendapat menyatakan bahwa semua ayat

4 . Manna’ Al-Qattan, Mabahith fi ‘Ulum ..., 208


5
. Nashr Hamid Abu Zaid, Menalar Firman Tuhan; Wacana Majas dalam Al-Qur‟an Menurut Mutazilah,

7
mutasyabihaat bisa ditakwil seluruhnya, tetapi sebagian lagi berpendapat bahwa sebagian
saja yang boleh ditakwil itu pun bila memenuhi persyaratan takwil termasuk siapa saja yang
berhak melakukannya. Karena takwil itu sesuatu yang sulit, maka diperlukan syarat keahlian
tertentu, antara lain pengetahuan mendalam tentang ilmu-ilmu keislaman termasuk kaidah
bahasa Arab.
Takwil dapat dilakukan dengan syarat tetap memperhatikan kaidah kebahasaan dan
tidak hanya mengandalkan akal (ra’yu) saja. Karena dengan takwil akan memudahkan dalam
mencerna dan mengamalkan ajaran Alquran sesuai dengan perkembangan zaman sekarang
dan akan datang. Menurut Al-Raghib al-Isfahani dalam kitab Mufrad fii alfaadzi al Qur’an
mengemukakan bahwa tafsir lebih umum dari pada takwil. Tafsir lebih banyak digunakan
dalam kata dan kosa katanya. Sedang takwil banyak digunakan dalam makna dan susunan
kalimatnya. Takwil lebih banyak digunakan dalam Alquran, sedang tafsir tidak saja
digunakan dalam Alquran tetapi juga dalam kitab-kitab lainnya.6
Penggunaan takwil bukan berarti tanpa kaidah dan dasar-dasar keilmuan dan juga
hanya diterapkan teks-teks ayat yang pernah ditakwilkan oleh ahli tafsir terdahulu. Takwil
bisa diterima selama kandungan yang ditentukan untuk memaknai susunan kata dalam suatu
ayat telah dikenal secara luas dalam masyarakat pengguna bahasa Arab pada masa turunnya
Alquran. Walaupun pada periode berikutnya, maksud kata ―dikenal secara luas bisa
dimaknai lain, yakni selama pesan yang digunakan untuk ayat yang ditakwil itu dipahami
dari akar kata redaksi bahasa ayat itu.
Muhammad ‘Abduh dalam tafsir Juz Amma-nya memahami kata Thayran (‫ )طيرا‬pada
surat al-Fiil (QS 105:3) yang berarti burung yang terambil dari kata thaara – yathiiru berarti
terbang kemudian beliau memahami kata tersebut dengan sejenis virus atau bakteri yang
beterbangan.
Pada ayat yang berbicara tentang dzat Allah yang tercantum pada surat al Nuur ‫هللا‬
‫( نورالسماوات واَلرض‬Allah adalah cahaya langit dan bumi) dengan tujuan agar dzat Allah itu
bisa diketahui. Pemahaman seperti ini merupakan takwil yang terlarang, karena tidak sesuai
dengan ayat: ‫ليس كمثله شيئ‬... (tidak ada sesuatu apapun yang menyerupainya) (QS. Asy-Syura
[42]: 11.
Pada penerapan takwil terhadap ayat mutasyabihat lainnya yang dilakukan Prof.
Quraish Shihab dalam menafsirkan kata kursi pada Q.S. Al-Baqarah/2: 225. Ia menakwilkan
kalimat kursi Allah meliputi langit dan bumi sebagaimana Al-Thabathaba’i dalam Tafsir

diterjemahkan oleh Abdurrahman dan Hamka Hasan (Bandung: Mizan, 2003), 209.
6
. M. Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur‟an (Bandung: Mizan, 1995), 91

8
Al - Mizan menakwilkannya sebagai kedudukan Ilahiyah untuk mengendalikan semua
makhluk-Nya. Luasnya kursi Allah memiliki makna ketakterhinggaan kekuasaan-Nya.
Karena itu makna kursi pada ayat tersebut adalah kedudukan ketuhanan yang mengendalikan
langit dan bumi beserta isinya. Juga mengisyaratkan bahwa semua benda itu terkontrol
dengan baik.Demikian juga makna keluasan yang dimaksud bahwa pengetahuan Allah
meliputi segala sesuatu di langit dan bumi.

Anda mungkin juga menyukai