Anda di halaman 1dari 26

LAPORAN KASUS

OD CENTRAL RETINA ARTERY OCLUSION (CRAO) dan OS RETINOPATI


HIPERTENSI

Oleh :

Iin Nurmutmainah

21601101042

Pembimbing:

dr. Fenti Kusumawardhani Hidayah, Sp.M

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ISLAM MALANG

2020
BAB I

PENDAHULUAN

Retinopati adalah suatu proses yang bersumber dari degenerasi atau kelaianan lain dari
retina, yang secara umum disebabkan oleh gangguan pemberian nutrisi atau vaskularisasi dan
pemberian oksigen dari darah kurang mencukupi untuk kebutuhan jaringan. Retinopati anatara lain
disebabkan oleh hipertensi, aretiosklerosis, anemia, diabetes mellitus, dan leukemia. Hipertensi
merupakan salah satu penyebab morbiditas dan mortalitas paling sering di seluruh dunia. Kelainan
pembuluh darah ini dapat berdampak langsung atau tidak langsung terhadap sistem organ tubuh
(Wong and Mitchell, 2004).
Hipertensi retinopati merupakan merupakan kelainan pada pembuluh darah retina yang
disebabkan oleh tekanan darah yang tinggi. Tekanan darah tinggi akan menyebabkan pembuluh
darah mengalami kerusakan berupa sclerosis, penebalan dinding pembuluh darah ataupun
kebocoran plasma (Ilyas, 2014). Beberapa penelitian epidemiologi menunjukkan bahwa kelainan
ini sering ditemukan pada usia 40 tahun keatas karena arteriolar retina lebih sempit pada orang-
orang yang lebih tua, dimana dinding arteri akan mengalami penebalan oleh karena adanya
penumpukan zat kolagen pada lapisan otot, sehingga pembuluh darah semakin menyempit dan
kaku (Wong and Mitchell, 2004).
Penatalaksanaan hipertensi retinopati bertujuan untuk untuk membatasi kerusakan dan
menghindari komplikasi pada retina. Penatalaksanaan yang diberikan berdasarkan tingkat
kerusakan retina, berupa konservatif dan laser fotokoagulasi. Prognosis visual ini tergantung pada
kontrol tekanan darah. Komplikasi yang dapat terjadi meliputi oklusi cabang vena atau arteri
sentral, edema macula, dan vitreoretinopati proliferative, yang dapat menyebabkan penurunan
ketajaman penglihatan sampai kebutaan (AAO, 2012).
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi dan Histologi Retina

Gambar 2.1 Anatomi Bola Mata


Retina adalah selembar membrane tipis jaringan saraf yang semitransparan dan melapisi
bagian dalam dua per tiga posterior dinding bola mata. Retina membentang ke depan hampir sama
jauhnya dengan korpus siliar dan akhirnya di tepi ora serrata. Permukaan luar retina sensorik
bertumpuk dengan membran bruch, koroid, dan sklera. Di tengah-tengah retina posterior terdapat
makula. Secara klinis makula didefinisikan sebagai daerah pigmentasi kekuningnan yang
disebabkan oleh pigmen luteal (xantofil). Di tengan makula, sekita 3,5 mm di sebelah lateral diskus
optikus, terdapat fovea yang secara klinis merupakan suatu cekungan yang merupakan pantulan
khusus bila dilihat dengan opthalmoskop. Fovea merupakan jaringan avascular di retina pada
angiografi flourosensi. Secara histologis, fovea ditandai dengan menipisnya lapisan parenkim
akson-akson sel fotorespetor, berjalan oblik dan pergeseran secara sentrifugal lapisan retina lebih
dekat ke permukaan dalam retina. Foveola adalah bagian paling tengah pada fovea,
fotoreseptornya adalah sel kerucut dan bagian reyina yang paling tipis (Vaughan et al., 2000).
Lapisan dalam retina mendapat suplai darah dari arteri retina sentralis. Arteri ini berasal
dari arteri oftalmikus yang masuk ke mata bersama-sama dengan nervus optikus dan bercabang
pada permukaan dalam retina (Lang, 2000). Arteri sentralis merupakan arteri utuh dengan diameter
kurang lebih 0,1 mm, tanpa anastomose dan membagi menjadi empat cabang utama. Sementara
itu, lapisan luar retina tidak mempunyai vaskularisasi. Bagian ini mendapatkan nutrisinya melalui
proses difusi dari lapisan koroid. Arteri retina biasanya berwarna merah cerah, tanpa disertai
pulsasi sedangkan vena retina berwarna merah gelap dengan pulsasi spontan pada diskus optikus
(Pavan et al., 2008).
Secara histologis, lapisan-lapisan retina terdiri dari 10 lapisan, mulai dari sisi dalam adalah
sebgai berikut (Vaughan et al., 2000):
1. Membran limitan interna, merupakan membran hialin antara retina dan badan kaca
2. Lapisan serabut saraf, mengandung akson-akson sel ganglion yang berjalan menuju Nervus
Optikus. Di dalam lapisan-lapisan ini terletak sebagian besar pembuluh darah retina.
3. Lapisan sel ganglion, merupakan lapisan badan sel dari N. Optikus
4. Lapisan pleksiform interna, mengandung sambungan-sambungan sel ganglion dalam sel
amakrin dan sel bipolar
5. Lapisan nukleus interna, merupakan badan sel bipolar, amakrin dan sel horizontal. Lapisan
ini mendapat nutrisi dari arteri retina sentral.
6. Lapisan pleksiform eksterna, mengandung sambungan-sambungan sel bipolar dan sel
horizontal dengan fotoreseptor
7. Lapisan nukleus eksterna, merupakan susunan lapisan nukleus, sel kerucut dan sel batang.
Ketiga lapisan ini bersifat avaskuler dan mendapat nutrisi dari kapiler koroid
8. Membran limitan eksterna, merupakan membran ilusi
9. Lapisan fotoreseptor, merupakan lapisan terluar retina terdiri atas sel batang yang
mempunyai bentuk ramping dan sel kerucut
10. Epitelium pigmen retina
Gambar 2.2 Histologi Lapisan Retina
2.2 Fisiologi Retina
Retina adalah jaringan paling kompleks di mata. Untuk melihat, mata harus berfungsi
sebagai alat optik, sebagai suatu reseptor kompleks, dan sebagai suatu tranduser yang elektif. Sel-
sel batang dan kerucut di lapisan fotoreseptor mampu mengubah rangsangan cahaya menjadi suatu
impuls saraf yang dihantarkan oleh lapisan serat saraf melalui saraf optikus dan pan akhirnya ke
korteks penglihatan (Vaughan et al., 2000).
Makula bertanggung jawab untuk ketajaman penglihatan yang terbaik, untuk penglihatan
warna, dan sebagian besar selnya adalah sel kerucut. Di fovea sentrralis terdapat hubungan hampir
1:1 antara fotoreseptor kerucut, sel ganglionnya serta serat saraf yang keluar, dan hal ini menjamin
penglihatan yang paling tajam. Di retina perifer, banyak fotoreseptor dihubungkan ke sel ganglion
yang sama, dan diperlukan sistem pemancar yang lebih kompleks. Akibat dari susunan seperti itu
makula digunakan terutama untuk penglihatan sentral dan warna (penglihatan fototopik),
sedangkan bagian retina lainnya, yang sebagian besar terdiri dari fotoreseptor batang, digunakan
terutama untuk penglihatan perofer dan malam (skotopik) (Vaughan et al., 2000).
Fotoreseptor batang dan kerucut terletak dilapisan terluar yang avascular pada retina
sensorik dan merupakan tempat berlangsungnya reaksi kimia yang mencetuskan proses
penglihatan. Setiap sel fotoreseptor kerucut mengandung rhodopsin, yang merupakan suatu pigmen
penglihatan fotosensitif. Rhodopsin adalah suatu glukolipid membran yang separuh terbenam di
lempeng membran lapis ganda pada segmen paling luar fotoreseptor. Penyerapan cahaya puncak
pada rhodopsin terjadi pada panjang gelombang sekitar 500 nm, yang terletak di daerah biru-hijau
spectrum cahaya (Vaughan et al., 2000).
Penglihatan skotopik seluruhnya diperantarai oleh fotoreseptor sel batang. Pada bentuk
penglihatan adaptasi gelap ini, terlihat bermacam-macam nuansa abu-abu, tetapi warna tidak dapat
dibedakan. Sewaktu retina telah beradaptasi sepenuhnya, sensitivitas spectral retina bergeser dari
puncak dominasi rhodopsin 500 nm ke sekitar 560 nm, dan muncul sensasi warna. Suatu benda
akan berwarna bila benda tersebut mengandung fotopigmen yang menyerap panjang gelombang
tertentu dan secara aktif memantulkan atau menyalurkan panjang gelombang tertentu di dalam
spectrum sinar tampak (400-700 nm). Penglihatan siang hari terutama oleh fotoreseptor kerucut,
sore atau senja diperentarai oleh kombinasi sel batang dan kerucut, dan penglihatan malam oleh
fotoreseptor batang (Vaughan et al., 2000).
2.3 Central Retinal Artery Occlusion (CRAO)
2.3.1 Definisi Dan Epidemiologi
Central Retinal Artery Occlusion (CRAO) adalah tersumbatnya arteri sentral retina yang
disebabkan oleh embolisasi spasme, dan diseksi aneurisma dalam arteri retina sentral. CRAO
merupakan kasus sangat darurat pada oftalmologi. CRAO pertama kali dideskripsikan oleh Von
Graefe pada tahun 1985. CRAO adalah suatu kejadian yang jarang terjadi. Penelitian dilakukan
oleh Jain dan Juang didapatkan 0.85% dari 100.000 orang pertahun menderita CRAO. Penelitian
Ducker menunjukkan rata-rata kejadian CRAO terjadi pada umur 60 tahun (AAO, 2012).
Prevalensi oklusi arteri retina terjadi 1-2% pada orang berusia diatas 40 tahun dan mengenai 16 juta
orang di seluruh dunia. Branch retinal artery occlusion (BRAO) empat kali lebih besar dari pada
CRAO. Studi di Amerika menunjukkan CRAO terjadi pada 1:10.000 orang. Bahkan, 1-2%
penderita CRAO dengan gangguan bilateral. Faktor risiko CRAO seperti hipertensi, diabetes,
cardiac valvular disease, hiperlipidemia, giant cell artritis, obesitas, dan penyakit kardiovaskular
(AAO, 2012).
2.3.2 Patofisiologi
CRAO sering disebabkan oleh arteri sklerosis yang berkaitan dengan trombosis yang terjadi
pada lamina kribrosa. Embolisasi menjadi penting dalam beberapa kasus, seperti perdarahan
dibawah plak arteri sklerotik, trombosis, spasme, dan diseksi aneurisma dalam arteri retina sentral.
Secara keseluruhan, emboli dapat terlihat dalam sistem arteri retina sekitar 20% dari mata yang
mengalami CRAO (AAO, 2012).
Giant cell arthritis menyumbang 1-2% kasus CRAO. Pada kasus tersebut, dapat terlihat
pembentukan erythrocyte sedimentation rate (ESR) pada kasus CRAO bila tidak terlihat adanya
emboli. Uji C-Reaktif protein sangat disarankan dan nilai normalnya lebih kecil serta tidak
berkaitan dengan usia. Nilai ESR dan C-Reaktif protein menunjukkan sensitivitas dan spesifisitas
diagnosa giant cell arthritis. Peningkatan jumlah platelet menunjukkan adanya giant cell arthritis
(AAO, 2012).
Kehilangan penglihatan secara mendadak, menyeluruh, dan tanpa rasa sakit pada satu mata
merupakan karaktekteristik dari CRAO. Retina menjadi opaque dan edematous. Hal tersebut
disebabkan hilangnya suplai darah pada inner layer retina.terutama di bagian posterior pada serat
nervus dan lapisan tebal sel ganglion. Reflek merah dari pembuluh darah koroid dibawah foveola
begitu kontras menonjol pada sekitar bagian neural retina yang mengalami keadaan opaque,
sehingga menimbulkan cherry-red spot (Gambar 2.3) (AAO, 2012)

Gambae 2.3
Opasifikasi dan cherry-red spot pada foveola

Pada arteri retina sentral terbentuk rekanalisasi. Namun, penurunan ketajaman penglihatan
akibat CRAO bersifat permanen karena terjadi infark pada bagian dalam retina. Sebuah studi
menunjukkan bahwa 66% memiliki visus 20/400 dan hanya 18% memiliki visus ≥ 20/40. Sebagian
besar kasus dengan visus ≥ 20/40 terjadi pada arteri silioretina yang masih bisa mempertahankan
vaskularisasi ke sentral makula. Studi pada primata menunjukkan bahwa kerusakan retina
irreversibel terjadi setelah 90 menit pasca CRAO (AAO, 2012).
2.3.3 Gejala Klinis CRAO
Gejala utama pada oklusi arteri retina adalah kehilangan penglihatan, biasanya monokular,
kabur dalam beberapa menit, lalu terjadi penurunan total penglihatan. Pada CRAO, terjadi
kehilangan penglihatan terpusat dan menyeluruh. Tidak ada rasa nyeri juga menyertai sindrom
iskemik ocular.
Pada CRAO, tanda petama adalah defek aferen pupil pada salah satu sisi. Kemudian terjadi
opasifikasi, pembentukan cherry-red spotopt, ik disk menjadi pucat, terjadi revaskularisasi, dan
edem retina menyebabkan penebalan lapisan serabut saraf lapisan sel ganglion.
2.3.4 Penatalaksanaan CRAO
1. Vasodilator
a. Pentoxyphylline
Pentoxyphylline adalah derivatif xanthine yang bekerja dengan meningkatkan fleksibilitas
eritrosit, mengurangi viskositas darah, dan meningkatkan perfusi jaringan. Telah digunakan dalam
pengobatan penyakit pembuluh darah perifer.
b. Inhalasi Carbogen (Campuran 95% O2 and 5% CO2)
Carbogen adalah campuran dari 4-7% karbon dioksida dan 93-96% oksigen, digunakan
dalam pengobatan CRAO didasarkan pada asumsi bahwa karbon dioksida akan mencegah
vasokonstriksi yang diinduksi oksigen agar mempertahankan atau bahkan meningkatkan aliran
darah tetap mengoksigenasi retina.
c. Oksigen Hiperbarik
Tujuan oksigen hiperbarik pada penderita CRAO adalah meningkatnya tekanan parsial
pengiriman oksigen ke jaringan iskemik hingga terjadi reperfusi spontan maupun dengan bantuan.
d. Sublingual ISDN
Nitrogliserin menyebabkan relaksasi otot polos pembuluh darah dengan merangsang
Cyclic-Guanosine Monophosphate (C-GMP) intraseluler.
2. Pengurangan Tekanan Intra Okular (TIO)
Diharapkan dari TIO yang menurun dapat meningkatkan perfusi CRA atau membantu
mengeluarkan embolus. Seperti yang diketahui, tekanan perfusi CRA adalah selisih antara MAP
dan TIO, sehingga dilakukan pengurangan TIO agar dengan demikian terjadi peningkakan perfusi
ocular (Cugati, 2013).
a. Ocular Massage
Ocular massage meliputi kompresi secara global dengan lensa kontak tiga cermin
selama 10 detik, untuk mendapatkan denyut CRA atau tanda aliran berhenti jika denyut tidak
terlihat setelah 5 detik kompresi. Selain cara tersebut, pijat digital juga dapat diaplikasikan
secara global pada kelopak mata yang ditutup selama 15-20 menit. Kombinasi ocular massage
dan acetazolamide dapat menurunkan tekanan intraokular hingga 5 mmHg dalam waktu
singkat. Ocular massage menyebabkan dilatasi arteri retina dan fluktuasi besar dalam tekanan
intraokular (TIO). Terapi ini telah diteliti dapat secara mekanis menyebabkan terlepasnya
trombus, atau melepas embolus yang berdampak mengalir ke bagian yang lebih perifer dari
sirkulasi retina (Cugati, 2013).
b. Acetazolamide Intravena
Acetazolamide adalah inhibitor karbonik anhidrase yang mampu mengurangi produksi
humor aquos sehingga diharapkan mengurangi Tekanan Intraokular (TIO) dan pada akhirnya
meningkatkan perfusi retina (Cugati, 2013).
c. Mannitol Intravena
d. Obat Anti Glaukoma Topikal
Obat anti-glaukoma bertujuan untuk menurunkan tekanan intraokular dan
meningkatkan tekanan perfusi di CRA (Tekanan perfusi CRA=MAP-TIO). Obat ini bertindak
dengan cara mengurangi produksi humor aqueous (dengan beta-bloker atau inhibitor karbonik
anhidrase) atau meningkatkan aliran (dengan analog prostaglandin atau alpha-agonis). Namun,
onset kerja obat ini lebih lambat dibandingkan dengan acetazolamide intravena dan manitol
(Cugati, 2013).
3. Anti Edema Retina
a.Metilprednisolon Intravena
Dosis tunggal methyl rednisolone IV 1 g telah diteliti dalam serangkaian kasus yang
meliputi pasien buta yang gagal mengalami perbaikan visus setelah pengobatan konvensional
yang bertujuan mengurangi TIO. Mekanisme kerja Metilprednisolon diduga mengurangi
edema retina, sehingga bisa menyebabkan peningkatan penglihatan. Namun, pada pasien yang
lebih muda, kemungkinan besar bahwa pasien tersebut menderita CRAO sekunder daripada
CRAO yang diinduksi penyakit artherosklerotik (Cugati, 2013).
4.Terapi Trombolitik
a.Tissue plasminogen activator (tPA)
Tissue plasminogen activator (tPA) adalah agen fibrinolitik alami yang ditemukan
dalam sel-sel endotel pembuluh darah yang membuat clot lisis. Di lokasi trombus, pengikatan
tPA dan plasminogen ke permukaan fibrin menginduksi konversi plasminogen menjadi
plasmin dan menyebabkan clot menjadi terurai (Chen, 2011).
5. Invasif
Laser arteriotomi, embolektomi, dan lokal intraarterial trombolisis merupakan tindakan
invasive. Keberhasilan dalam prosedur invasif ditentukan oleh pengalaman dari dokter yang
melakukannya.
2.4 Retinoati Hipertensi
2.4.1 Definisi dan Klasifikasi
Retinopati hipertensi adalah kelainan atau perubahan vaskularisasi retina pada
penderita hipertensi. Hipertensi arteri sistemik merupakan tekanan diastolik > 90 mmHg dan
tekanan sistolik > 140 mmHg. Jika kelainan dari hipertensi tersebut menimbulkan komplikasi
pada retina maka terjadi retinopati hipertensi.
Klasifikasi Retinopati Hipertensi menurut stadiumnya antara lain:
Klasifikasi Scheie (1953)
Stadium Karakteristik
Stadium 0 Ada diagnosis hipertensi tanpa abnormalitas pada retina
Stadium I Penyempitan arteriolar difus, tidak ada konstriksi fokal,
pelebaran refleks arteriolar retina
Stadium II Penyempitan arteriolar yang lebih jelas disertai konstriksi
fokal, tanda penyilangan arteriovenous
Stadium III Penyempitan fokal dan difus disertai hemoragik, copper-wire
arteries
Stadium IV Edema retina, hard eksudat, papil edema, silver-wire arteries
Tabel 1.1 Klasifikasi Retinopati Hipertensi menurut Scheie (1953)
Stadium Karakterisitk
Stadium 0 Tidak ada perubahan
Stadium I Penyempitan arteriolar yang tidak terdeteksi
Stadium II Penyempitan yang jelas dengan kelainan fokal
Stadium III Stadium II + perdarahan retina dan/atau eksudat
Stadium IV Stadium III + papil edema
Table 2.2 Modifkasi klasifikasi Scheie oleh AAO

Adapaun klasifikasi Retinopati hipertensi berdasarkan tanda yang ditemui pada retina yaitu:

Retinopati Deskripsi Asosiasi sistemik


Mild Satu atau lebih dari tanda berikut : Asosiasi ringan dengan
Penyempitan arteioler menyeluruh penyakit stroke, penyakit
atau fokal, AV nicking, dinding jantung koroner dan
arterioler lebih padat (silver-wire) mortalitas kardiovaskuler
Moderate Retinopati mild dengan satu atau lebih Asosiasi berat dengan
tanda berikut : Perdarahan retina (blot, penyakit stroke, gagal
dot atau flame-shape), jantung, disfungsi renal dan
mikroaneurisma, cotton-wool, hard mortalitas kardiovaskuler
exudates
Accelerated Tanda-tanda retinopati moderate Asosiasi berat dengan
dengan edema papil dan dapat disertai mortalitas dan gagal ginjal
dengan kebutaan
Tabel 2.3 Klasifikasi Retinopati Hipertensi tergantung dari berat ringannya tanda – tanda
yang terlihat pada retina
2.4.2 Patofisiologi Retinopati Hipertensi
Peningkatan tekanan darah sistemik akan menyebabkan vasokonstriksi arteriol.
Vasokonstriksi terjadi karena adanya proses autoregulasi pada pembuluh darah. Hasil penelitian
wallow diketahui sel-sel perisit yang ada didinding pembuluh darah yang berperan pada proses
vasokonstriksi. Vasokontriksi biasanya terjadi secara merata (difus) di seluruh pembuluh darah
retina, tetapi bisa juga ditemukan pada sebagian pembuluh darah (segmental). Hipertensi yang
berlangsung lama atau kronik akan menyebabkan terjadinya perubahan dinding pembuluh darah
(arteriosklerosis dan aterosklerosis).
Arteriosklerosis adalah perubahan yang terjadi pada arteriol. Dinding arteriol secara
histologik terlihat menebal, karena pada tunika media terjadi hipertrofi jaringan otot. Tunika
intima mengalami proses hialinisasi, dan endotel kapiler mengalami proses hipertofi, sehingga
membentuk jaringan konsentrik yang berlapis-lapis seperti kulit bawang (union skin). Proses yang
terjadi diatas menyebabkan lumen pembuluh darah menjadi kecil.
Arteriosklerosis akan menyebabkan gangguan pada persilangan arteri dengan vena
(arteriovenous crossing). Dinding arteri yang kaku akan menekan dinding vena yang lebih lembut.
Dalam keadaan normal tidak terjadi penekanan dan elevasi pada persilangan arteri dan vena.
Penekanan pada vena oleh arteri yang sklerosis dapat terjadi dalam beberapa tahap, vena yang
berada di bawah arteri tidak terlihat karena arteri yang sklerosis maka vena seolah terputus dan
akan muncul lagi secara perlahan setelah melewati persilangan arteri (arteriovenous nicking). Hal
ini dikenal dengan nama Gunn’s phenomenon. Bentuknya bervariasi tergantung dari beratnya
sklerosis, bila sklerosis lebih berat menyebabkan vena menjadi defleksi pada daerah persilangan,
yang terlihat seperti huruf S atau Z (salus sign). Pada keadaan tertentu vena berada di atas arteri,
sehingga akan terlihat elevasi vena di atas arteri. Tahap selanjutnya akan terjadi stenosis vena di
bagian distal persilangan karena proses sklerosis arteri yang berat.
Lumen vena yang menyempit karena penekanan oleh arteri yang sklerosis, menyebabkan
aliran darah menjadi lebih cepat, dapat menimbulkan proliferasi endotel dan kadang-kadang
terbentuk trombus. Trombus menyebabkan tersumbatnya aliran darah, sehingga akan
menyebabkan timbulnya tanda-tanda oklusi vena retina sentral. Dalam keadaan normal dinding
arteriol tidak terlihat, yang terlihat adalah sel-sel darah merah di dalam lumen. Bertambahnya
ketebalan dinding arteriol karena proses arterioseklerosis maka terjadi perubahan refleks cahaya
arteriol. Pantulan cahaya dari permukaan dinding arteriol yang konveks terlihat seperti garis tipis
yang mengkilat di tengah kolom darah (refleks cahaya normal). Pada pembuluh darah yang
menebal, pantulan refleks cahaya normal hilang dan cahaya terlihat lebih luas dan buram. Hal ini
dianggap sebagai tanda awal terjadinya arteriosklerosis.
Pada funduskopi akan terlihat sebagian pembuluh darah seperti tembaga (copper wire),
karena meningkatnya ketebalan dinding dan lumen berkurang kemudian terjadi perubahan pada
refleks cahaya arteriol. Bila proses sklerosis berlanjut, dinding arteri semakin menebal dan lumen
mengecil yang akhirnya hampir tidak terlihat sehingga waktu penyinaran hanya berbentuk garis
putih saja, yang dikenal sebagai refleks kawat perak (silver wire reflex).
Perdarahan akan terjadi bila hipertensi berlangsung lama dan tidak terkontrol. Proses yang
kronik ini akan menyebabkan kerusak inner blood barrier, sehingga terjadi ekstravasasi plasam
dan sel darah merah ke retina (hard exudates). Perdarahan biasanya terjadi pada lapisan serabut
saraf retina, distribusinya mengikuti alur serabut saraf, sehingga terlihat seperti lidah api (flame
shape). Kerusakan ditingkat kapiler maka perdarahan terjadi pada lapisan inti dalam atau
pleksiform dalam, bentuknya lebih bulat (blot like appearance).
Iskemik fokal atau area non perfusi yang terjadi pada lapisan serabut saraf retina, maka
serabut saraf akan berdegenerasi menjadi bengkak dan secara histologi tampak seperti suatu
kelompok cystoid bodies. Kelainan ini dikenal dengan cotton wool spot (soft exudates), yang pada
pemeriksaan funduskopi terlihat sebagai area putih keabuan seperti kapas dengan batas yang tidak
tegas. Papil edema disebabkan oleh adanya iskemia didaerah papil yang akan menyebabkan
hambatan aliran axoplasma, sehingga terjadi pembengkakan axon di papil nervus optikus.
Ateroskelrosis adalah proses sklerosis yang terjadi pada pembuluh darah retina yang lebih
besar. Pada ateroskelrosis sering ditemukan fibrosis dan kalsifikasi pada tunika intima. Pada
keadaan hipertensi accelerated terjadi pembentukan plak yang besar di intra lumen yang akan
menyumbat pembuluh darah besar sehingga akan timbul komplikasi dalam bentuk oklusi cabang
retina sentralis (BRAO) atau arteri retina sentralis (CRAO).
2.4.3 Gejala Klinik dan Penegakkan Diagnosis
Retinopati hipertensi merupakan penyakit yang berjalan secara kronis sehingga gejala
penyakit awal sering tidak dirasakan. Penderita retinopati hipertensi biasanya akan mengeluhkan
sakit kepala dan nyeri pada mata. Penurunan penglihatan atau penglihatan kabur hanya terjadi pada
stadium III atau stadium IV oleh karena perubahan vaskularisasi akibat hipertensi seperti
perdarahan, cotton wool spot, telah mengenai makula.
Diagnosis retinopati hipertensi ditegakkan berdasarkan pada anamnesis (riwayat
hipertensi), pemeriksaan fisik (tekanan darah), pemeriksaan oftalmologi (funduskopi), dan
pemeriksaan penunjang dengan angiografi fluorosens. Pada anamnesis penglihatan yang menurun
merupakan keluhan utama yang sering diungkapkan oleh pasien. Pasien mengeluhkan buram dan
seperti berbayang apabila melihat sesuatu. Penglihatan biasanya turun secara perlahan sehingga
tidak disadari. Pemeriksaan tekanan darah didapatkan tekanan diastol > 90 mmHg dan tekanan
sistol > 140 mmHg , sudah mulai terjadi perubahan pada pembuluh darah retina.
Pemeriksaan tajam penglihatan dan funduskopi adalah pemeriksaan oftalmologi paling
mendasar untuk menegakkan diagnosis retinopti hipertensi. Melalui pemeriksaan funduskopi,
dapat ditemukan berbagai kelainan retina pada pasien retinopati hipertensi. Hasil pemeriksaan
dengan oftlamoskop, sebagai berikut:

Gambar 2.4 Funduskopi pada penderita hipertensi

Gambar 2. 5. Mild Hypertensive Retinopathy.


Ket : A. Nicking AV (panah putih) dan penyempitan arteriol lokal (panah hitam) dan B. Terlihat
AV nicking (panah hitam) dan gambaran copper wiring pada arteriol (panah putih).

Gambar 2.6. Moderate Hypertensive Retinopathy


Ket : A. AV nicking (panah putih) dan cotton wool spot (panah hitam) dan B. Perdarahan
retina (panah hitam) dan gambaran cotton wool spot (panah putih)

Gambar 2.7. Gambaran cotton wool spot dan perdarahan retina

Ket : Multipel cotton wool spot (panah putih) , perdarahan retina (panah hitam).
Gambar 2. 8. Hard exudate

Gambar 2.9. Gambaran Cotton wool spot , macula star figure disertai papil edema

Ket : Panah biru : Cotton wool spot ; Panah putih : perdarahan (blot shape) ; Panah hijau :
eksudasi retina dan macular star (star figure) ; panah hitam : papil edema
Gambar 2.10. Funduskopi sesuai stadium retinopati hipertensi
Pemeriksaaan penunjang yang dilakukan setelah pemeriksaan funduskopi adalah
angiografi fluoresein. Kontras berupa bahan fluoresein dimasukkan melalui vena di lengan.
Ketika kontras sudah mencapai pembuluh darah retina, gambaran pembuluh darah tersebut
difoto dengan kamera khusus yang menggunakan sinar biru. Pemeriksaan ini dapat
menentukan dengan tepat lokasi terjadinya neovaskularisasi dan kebocoran kapiler retina.
Gambar 2.11. Perbandingan foto retina dengan angiografi fluorosein

Pemeriksaan laboratorium juga penting untuk menyingkirkan penyebab lain retinopati selain
dari hipertensi. Untuk pemeriksaan laboratorium terutama diperiksa kadar gula darah, lemak darah
dan fungsi ginjal.
2.4.4 Penatalaksanaan
Penatalaksanaan retinopati hipertensi bertujuan untuk membatasi kerusakan yang sudah
terjadi serta menghindari terjadinya komplikasi, Mengobati faktor primer adalah sangat penting
jika ditemukan perubahan pada fundus akibat retinopati arterial. Tekanan darah harus diturunkan
dibawah 140/90 mmHg. Jika telah terjadi perubahan pada fundus akibat arteriosklerosis, maka
kelainan klinis yang terjadi tidak dapat diobati lagi tetapi dapat dicegah progresivitasnya. Beberapa
studi eksperimental dan percobaan klinik menunjukan bahwa tanda-tanda retinopati hipertensi
dapat berkurang dengan mengontrol kadar tekanan darah. Penggunaan obat ACEI (Angiotensin
Converting Enzyme Inhibitor) terbukti dapat mengurangi penebalan dinding arteri akibat
hipertrofi.
BAB III
LAPORAN KASUS

3.1 ANAMNESIS
3.1.1 IDENTITAS
Nama : Tn. F
Usia : 65 tahun
Status : Menikah
Pendidikan : Sarjana
Pekerjaan : Pensiunan
3.1.2 KELUHAN UTAMA
Penglihatan mata kanan buram mendadak 1 hari sebelum ke RS.
3.1.3 RIWAYAT PENYAKIT SEKARANG
Penglihatan buram mendadak pada mata kanan seperti gelap / hitam, awalnya seperti daerah
yang berwarna kehitaman pada lapang pandangan, makin lama makin meluas hingga gelap.
Riwayat trauma mata disangkal. Nyeri pada mata disangkal.
3.1.4 RIWAYAT PENYAKIT DAHULU
Belum pernah sakit seperti ini sebelumnya. DM + lebih dari 5 tahun, terkontrol dengan obat. HT
+ lebih dari 10 tahun, terkontrol dengan obat. Merokok +, alkohol -. Olahraga jalan pagi di
sekitar rumah.
3.1.5 RIWAYAT TERAPI
(-)
3.1.6 RIWAYAT PENYAKIT KELUARGA
Tidak ada keluarga yang pernah sakit seperti ini sebelumnya.

3.2 PEMERIKSAAN FISIK


3.2.1 Status Generalis
Keadaan Umum : baik
Kesadaran : compos mentis
Vital Sign : TD 130 / 90 mmHg, N 88 x/menit, RR 12 x/menit, T Ax 36,8C TB
165cm BB 85 kg
KEPALA/LEHER
Kepala : (mata di status lokalis), tidak didapatkan kelainan
Leher : tidak ada kelainan
THORAKS
Cor : ictus cordis 2cm mid clavicular line sinistra, batas jantung kanan parasternal line
sinistra, HR 88 x/menit reguler, bising (-)
Pulmo : simetris, stem fremitus D~S, sonor, vesikuler, ronkhi/wheezing (-)
ABDOMEN
: supel, hepar/lien tidak teraba, tidak teraba tumor, tidak nyeri tekan, tanda cairan bebas (-) BU 3-
6 x/menit
EKSTREMITAS SUPERIOR / INFERIOR
: simetris, hangat, anemis (-)
3.2.2 Status Lokalis Pemeriksaan Oftalmologis
Pemeriksaan dengan head loupe dan senter + oftalmoskop direk
1/300 AV 6/20 PH ttk
7 / 7,5 TIO 7 / 7,5
Kedudukan
Orthoforia
Pergerakan
Tenang P Tenang
Tenang CB Tenang
Jernih C Jernih
Dalam COA Dalam
Bulat, sentral, refleks cahaya + RAPD + I/P Bulat, sentral, refleks cahaya +
Jernih L Jernih
Jernih V Jernih
Papil bulat, batas tegas, CDR 0,3, arteri F Papil bulat, batas tegas, CDR 0,3,
kolaps, vena dilatasi, retina pucat, cherry aa/vv ¼, crossing phenomenon +,
red spot + silver wire +, RM +, retina
perdarahan dot + blot +
3.3 Resume
Tn.F 65 th datang dengan keluhan mata kanan buram mendadak 1 hari sebelum ke RS.
Penglihatan buram mendadak pada mata kanan seperti gelap/hitam, awalnya seperti daerah yang
berwarna kehitaman pada lapangan pandangan, makin lama makin meluas hingga gelap. Pasien
mengaku telah menderita DM lebih dari 5 tahun, terkontrol dengan obat. Hipertensi lebih dari 10
tahun terkontrol dengan obat. Pasien merupakan perokok aktif. Pemeriksaan fisik dalam batas
normal. Dari pemeriksaan funduskopi, didapatkan arteri kolaps, vena dilatasi, retina pucat, cherry
red spot (+) pada mata kanan. Pada mata kiri didapatkan crossing phenomenon (+), silver wire (+),
RM (+), retina perdarahan dot blot (+).
3.4 Diagnosis Banding
1. OD Oklusi Arteri Retina Sentral
Ditegakkan, karena pada anamnesis didapatkan penglihatan buram secara mendadak dan
sebelumnya didapatkan riwayat penglihatan buram seperti gelap/hitam pada lapang pandang
dan dari pemeriksaan funduskopi didapatkan arteri kolaps, cherry red spot (+), retina pucat.
Pasien juga berumur 65tahun dan mempunyai riwayat hipertensi dan DM yang merupakan
factor resiko terjadinya oklusi.
2. OD Oklusi Vena Retina Sentral
Disingkirkan, karena pada pemeriksaan tidak didapatkan vena berkelok-kelok, tidak
didapatkan perdarahan vitreous, dan tidak didapatkan rubeosis iridis.
3. OS Retinopati Hipertesi
Ditegakkan karena pasien memiliki riwayat hipertensi lebih dari 10 tahun dan dari pemeriksaan
didapatkan RM (+), silver wire sign (+), crossing phenomen (+), dan dot blot hemorrhage (+)
4. Retinopati Diabetika
Disingkirkan, karena pada pemeriksaan funduskopi tidak didapatkan cotton wool spot, tidak
didapatkan hard eksudat, tidak didapatkan NVD (neovascularisation of the disk) dan NVE
(Neovascularisation elsewhere), tidak didapatkan IRMAs (intraretinal microvascular
abnormalities), namun didapatkan dot dan blot haemorrhages
5. OD Ablasio Retina
Disingkirkan, karena pada pasien mengaku tidak ada riwayat melihat kilatan-kilatan cahaya
sebelumnya (fotofobia), tidak ada riwayat jika melihat seperti tertutup tirai yang bergerak ke
suatu arah, dan pada pemeriksaan funduskopi tidak ditemukan retinal fold, gambaran berkelok
maupun edema pada retina, tidak ditemukan pre-retinal dan subretinal haemorraghes, serta
tobacco dust appearance ataupun vitreus floaters tidak ditemukan.
3.5 Diagnosis Kerja
OD Oklusi Arteri Retina Sentral dan OS Retinopati Hipertensi
3.6 Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang yang diusulkan:
• Gula darah
• Profil lipid
• FFA (Fundal Flourescesin Angiography)
• ERG (Electro Retinography)
3.7 Penatalaksanaan
Retinopati hipertensi : Obat golongan ACE Inhibitor (Captopril) 50 mg 2 dd1
Oklusi Arteri Retina Central : Inhalasi Carbogen (campuran 95% O2 dan 5% CO2)
Rujuk Sp.M
3.8 Prognosis :
Ad vitam : malam
Ad functionam : malam
Ad sanationam : malam
BAB IV

PEMBAHASAN

Tn.F 65 th datang dengan keluhan mata kanan buram mendadak 1 hari sebelum ke RS.
Penglihatan buram mendadak pada mata kanan seperti gelap/hitam, awalnya seperti daerah yang
berwarna kehitaman pada lapangan pandangan, makin lama makin meluas hingga gelap. Pasien
mengaku telah menderita DM lebih dari 5 tahun, terkontrol dengan obat. Hipertensi lebih dari 10
tahun terkontrol dengan obat. Pasien merupakan perokok aktif. Menurut literature, pasien dengan
oklusi retina sentral mengalami penurunan tajam penglihatan secara tiba-tiba tanpa disertai rasa
sakit dan memburuk dalam waktu singkat. Hal ini sesuai dengan kasus dimana secara tiba-tiba
penglihatan kanan pasien buram mendadak, awalnya seperti daerah yang berwarna kehitaman dan
makin lama makin meluas hingga gelap. Selain itu, berdasarkan literature oklusi arteri retina
sentral juga dapat terjadi akibat komplikasi dari hipertensi maupun diabetes. Hal ini sesuai kasus,
dimana pasien memiliki riwayat hipertensi lebih dari 10 tahun.
Kemudian dari pemeriksaan oftalmologis pada kedua mata pasien, didapatkan bahwa pada
mata kanan visus 1/300, didapatkan arteri kolaps, retina pucat, cherry red spot (+) pada mata kanan.
Hal ini sesuai dengan literature yang menyebutkan bahwa pada pemeriksaan visus, 90% penderita
oklusi arteri retina sentral memiliki tajam penglihatan antara menghitung jari sampai dengan hanya
dapat melihat cahaya. Kemudian hasil pemeriksaan funduskopi pada pasien menunjukkan tanda
dari oklusi arteri retina sentral sesuai dengan literature. Selain itu, ada mata kiri pasien didapatkan
crossing phenomenon (+), silver wire (+), RM (+), retina perdarahan dot blot (+). Tanda tersebut
merupakan ciri dari retinopati hipertensi. Selain dari hasil pemeriksaan oftalmologis, penegakkan
diagnosis retinopati hipertensi juga berdasarkan adanya riwayat penyakit tekanan darah tinggi
yang diderita pasien lebih dari 10 tahun.
Terapi untuk penatalaksanaan kasus ini adalah dengan pemberian Obat golongan ACE
Inhibitor (Captopril) untuk mengontrol tekanan darah pasien serta mengurangi penebalan dinding
arteri. Sedangkan untuk penanganan oklusi arteri retina sentral pada pasien diberikan Inhalasi
Carbogen (campuran 95% O2 dan 5% CO2) sebagai vasodilator agar aliran darah mengoksigenasi
retina.
Prognosis pada kasus ini adalah buruk karena dapat menyebabkan penurunan tajam
penglihatan hingga menghitung jari bahkan lambaian tangan. Selain itu, prognosis yang buruk juga
disebabkanoleh karena kerusakan retina yang irreversibel hanya berlangsung dalam 90 menit.
BAB V
PENUTUP

Retinopati hipertensi adalah kelainan atau perubahan vaskularisasi retina pada penderita
hipertensi. Hipertensi arteri sistemik merupakan tekanan diastolik > 90 mmHg dan tekanan sistolik
> 140 mmHg. Jika kelainan dari hipertensi tersebut menimbulkan komplikasi pada retina maka
terjadilah retinopati hipertensi. Pada keadaan hipertensi, pembuluh darah retina akan mengalami
perubahan patofisiologis sebagai respon terhadap peningkatan tekanan darah. Pada hipertensi yang
tidak terkontrol, komplikasi yang dapat timbul, salah satunya adalah Central Retinal Artery
Occlusion (CRAO).
CRAO adalah salah satu gangguan obstruktif vaskular paling serius dari mata. CRAO
penyakit yang terjadi secara mendadak dan memerlukan penanganan yang sesegera mungkin
karena merupakan kasus keagawatdaruratan. Prognosis pada kelainan ini adalah buruk karena
dapat menurunkan tajam penglihatan.
DAFTAR PUSTAKA

American Academy of Opthalmology. 2012. Fundamentals and Principles of Ophthalmology.


Section 2. San Fransisco: MD Association.
Cugati, Sudha., Daniel D. Varma, Celia S. Chen, Andrew W. Lee. 2013. Treatment Options
For Central Retinal Artery Occlusion. Current Treatment Options in Neurology
15:63–77.
Ilyas, Sidarta. 2014 Ilmu Penyakit Mata. Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Jakarta
Wong TY, Mitchell P, editors. 2004. Current concept hypertensive retinopathy. The New England
Journal of Medicine
Vaughan DG, Asbury T, Riodan-Eva P. 2000. Oftalmologi Umum 14th ed.Penerbit Widya
Merdeka. Jakarta

Anda mungkin juga menyukai