Anda di halaman 1dari 14

MAKALAH FARMAKOTERAPI TERAPAN

“PENYAKIT NYERI’’

OLEH :

ANDI NAILAH (D1A120066)

CORNELIA TOMBILAYUK (D1A120078)

DIAN PERTIWI SAMAD (D1A120067)

SUWAINAH SYAFRUDDIN (D1A120102)

UNIVERSITAS MEGAREZKY

MAKASSAR

2020
BAB 1

PENDAHULUAN

Nyeri merupakan bagian dari pengalaman hidup sehari-hari. Nyeri mempunyai sifat

yang unik, karena di satu sisi nyeri menimbulkan derita bagi yang bersangkutan, tetapi

disisi lain nyeri juga menunjukkan suatu manfaat. Nyeri bukan hanya merupakan modalitas

sensori tetapi juga merupakan suatu pengalaman. Menurut The International Association

for the Study of Pain (IASP), nyeri didefinisikan sebagai suatu pengalaman sensorik dan

emosional yang tidak menyenangkan yang berhubungan dengan adanya atau potensi

rusaknya jaringan atau keadaan yang menggambarkan kerusakan jaringan tersebut.

Berdasarkan definisi tersebut nyeri merupakan suatu gabungan dari komponen

objektif (aspek fisiologi sensorik nyeri) dan komponen subjektif (aspek emosional dan

psikologis).

Nyeri akut merupakan sensibel nyeri yang mempunyai manfaat. Adapun yang

menjadi manfaatnya antara lain : manfaat berupa mekanisme proteksi, mekanisme

defensif, dan membantu menegakkan diagnosis suatu penyakit. Di lain pihak, nyeri

tetaplah merupakan derita belaka bagi siapapun, dan semestinya ditanggulangi oleh

karena menimbulkan perubahan biokimia, metabolisme dan fungsi sistem organ. Bila tidak

teratasi dengan baik nyeri dapat mempengaruhi aspek psikologis dan aspek fisik dari

penderita. Aspek psikologis meliputi kecemasan, takut, perubahan kepribadian dan

perilaku,gangguan tidur dan gangguan kehidupan sosial. Sedangkan dari aspek fisik, nyeri

mempengaruhi peningkatan angka morbiditas dan mortalitas.

Nyeri sering dilukiskan sebagai suatu yang berbahaya (noksius, protofatik) atau

yang tidak berbahaya (nonnoksius, epikritik) misalnya sentuhan ringan, kehangatan,

tekanan ringan. Nyeri dapat dirasakan/terjadi secara akut, dapat pula dirasakan secara

kronik oleh penderita. Nyeri akut akan disertai heperaktifitas saraf otonum dan umumnya
mereda dan hilang sesuai dengan laju proses penyembuhan. Pemahaman tentang

patofisiologi terjadinya nyeri sangatlah penting sebagai landasan menanggulangi nyeri

yang diderita oleh penderita. Bila pengelolaan nyeri dan penyebab nyeri akut tidak

dilaksanakan dengan baik, nyeri itu dapat berkembang menjadi nyeri kronik.

Nyeri sampai saat ini merupakan masalah dalam dunia kedokteran.

Nyeri bukan hanya berkaitan dengan kerusakan struktural dari sistem saraf dan jaringan

saja, tetapi juga menyangkut kelainan transmiter yang berfungsi dalam proses

penghantaran impuls saraf. Di lain pihak, nyeri juga sangat mempengaruhi morbiditas,

mortilitas, dan mutu kehidupan.


BAB II

PEMBAHASAN

A. ETIOLOGI NYERI

Penyebab nyeri dapat diklasifikasikan kedalam dua golongan yaitu penyebab yang

berhubungan dengan fisik dan psikis. Secara fisik misalnya, penyebab nyeri adalah

trauma (baik trauma mekanik, termis, kimiawi, maupun elektrik), neoplasma

peradangan, dan gangguan sirkulasi darah. Secara psikis, penyakit nyeri dapat

terjadi oleh karena adanya trauma psikologis. Nyeri yang disebabkan oleh factor

psikis berkaitan dengan terganggunya serabut saraf reseptor nyeri. Serabut saraf

reseptor nyeri ini terletak dan tersebar pada lapisan kulit dan pada jaringan –

jaringan tertentu yang terletak lebih dalam. Sedangkan nyeri yang disebabkan oleh

factor psikologis merupakan nyeri yang dirasakan bukan karena penyebab organic

melainkan akibat trauma psikologis.

Klasifikasi Nyeri

1. Menurut Tempat Nyeri.

 Periferal Pain. Periferal pain ini terbagi menjadi 3 yaitu  nyeri permukaan

(superfisial pain), nyeri dalam (deep pain), nyeri alihan (reffered pain). Nyeri alihan

ini maksudnya adalah nyeri yang dirasakan pada area yang bukan merupakan

sumber nyerinya.

 Central Pain. Nyeri ini terjadi karena perangsangan pada susunan saraf pusat,

spinal cord, batang otak.

 Psychogenic Pain. Nyeri ini dirasakan tanpa adanya penyebab organik, tetapi akibat

dari trauma psikologis.


 Phantom Pain. Phantom Pain ini merupakan perasaan pada bagian tubuh yang

sudah tak ada lagi, contohnya pada amputasi. Phantom pain timbul akibat dari

stimulasi dendrit yang berat dibandingkan dengan stimulasi reseptor biasanya. Oleh

karena itu, orang tersebut akan merasa nyeri pada area yang telah diangkat.

 Radiating Pain. Nyeri yang dirasakan pada sumbernya yang meluas ke jaringan

sekitar

2. Menurut Sifat Nyeri.

 Insidentil. Yaitu sifat nyeri yang timbul sewaktu-waktu dan kemudian menghilang.

 Steady. Yaitu sifat nyeri yang timbul menetap dan dirasakan dalam waktu yang

lama.

 Paroxysmal. Yaitu nyeri yang dirasakan berintensitas tinggi dan kuat sekali dan

biasanya menetap selama 10 – 15 menit, lalu menghilang dan kemudian timbul

kembali.

 Intractable Pain. Yaitu sifat nyeri yang resisten dengan diobati atau dikurangi.

Contoh pada arthritis, pemberian analgetik narkotik merupakan kontraindikasi akibat

dari lamanya penyakit yang dapat mengakibatkan kecanduan.

3. Menurut Berat Ringannya Nyeri.

 Nyeri Ringan yaitu nyeri yang berada dalam intensitas yang rendah.

 Nyeri Sedang yaitu nyeri yang menimbulkan suatu reaksi fisiologis dan juga reaksi

psikologis.

 Nyeri Berat yaitu nyeri yang berada dalam intensitas yang tinggi.

4. Menurut Waktu Serangan.

 Nyeri Akut. Nyeri akut biasanya berlangsung singkat, misalnya nyeri pada fraktur.

Klien yang mengalami nyeri akut pada umumnya akan menunjukkan gejala-gejala

antara lain : respirasi meningkat, Denyut jantung dan Tekanan darah meningkat,

dan pallor.
 Nyeri Kronis. Nyeri kronis berkembang lebih lambat dan terjadi dalam waktu lebih

lama dan pada umumnya penderita sering sulit mengingat sejak kapan nyeri mulai

dirasakan.

Tabel 1. Perbedaan nyeri akut dan kronik

Karakteristik Nyeri akut Nyeri kronik

Peredaan  nyeri Sangat diinginkan Sangat diinginkan

Sumber Sebab eksternal atau Tidak diketahui atau

penyakit dari dalam pengobatan yang terlalu lama

Serangan Mendadak Bisa mendadak, berkembang

dan terselubung.

Waktu Sampai 6 bulan Lebih dari 6 bulan sampai

bertahun-tahun

Pernyataan nyeri Daerah nyeri tidak diketahui Daerah nyeri sulit dibedakan

dengan pasti intensitasnya, sehingga sulit

dievaluasi (perubahan

perasaan)

Gejala klinis Pola respon yang khas Pola respon yang bervariasi

dengan gejala yang lebih dengan sedikit gejala

jelas (adaptasi)

Pola Terbatas Berlangsung terus, dapat

bervariasiPenderitaan

meningkat setelah beberapa


Perjalanan Biasanya berkurang setelah
saat.
beberapa saat

  Faktor Resiko
Faktor resiko dari nyeri antara lain:

 Faktor Psikologi ;

 Seks

 Umur

 Kognitive level

 Previous pain

 Family learning

 Culture

 Faktor Situasi

 Expectation

 Control

 Relevanc

Faktor Emosional

 Takut

 Marah

 Prustasi

B. Fatofisiologi Penyakit Nyeri

Rangsangan nyeri diterima oleh nociceptor pada kulit bisa intensistas tinggi maupun

rendah seperti perenggangan dan suhu serta oleh lesi jaringan. Sel yang

mengalami nekrotik akan merilis K+ dan protein intraseluler. Peningkatan kadar K+

ekstraseluler akan menyebabkan depolarisasi nociceptor,sedangkan protein pada

beberapa keadaan akan menginfiltrasi/inflamasi. Akibtanya, mediator nyeri

dilepaskan seperti leukotrin,prostaglandin E2,dan histamin yang akan merangsang

nosiseptor sehingga rangsangan berbahaya dan tidak berbahaya dapat

menyebabkan nyeri ( hipergalgesia atau alldodynia). Selain itu lesi juga

mengaktifkan factor pembekuan darah sehingga bradykinin dan serotonin akan


testimulasi dan merangsang nosiseptor. Jika terjadi oklusi pembuluh darah maka

akan terjadi iskemia yang akan menyebabkan akumulasi K+ ekstraseluler dan H+

yang selanjutnya mengaktifkan nosiseptor. Histamin, bradykinin,dan prostaglandin

E2 memiliki efek vasodilator dan meningkatkan permeabilitas pembuluh darah. Hal

ini menyebabkan edema local, tekanan jaringan meningkat dan juga terjadi

perangsangan nosispeto,bila nosiseptor terangsan maka mereka melepaskan

substansi peptide P (SP) dan kalsitonin gen terkait peptide (CGRP),yang akan

merangsang proses inflamasi dan juga menghasilkan vasodilatasi dan

meningkatkan permeabilitas pembuluh dara. Vasokontroksi ( oleh serotonin ), diikuti

oleh vasodilatasi, mungkin juga bertanggung jawab untuk serangan migrain.

Perangsangan nosiseptor inilah yang menyebabkan nyeri ( silbernagl dan lang ,

2000)

C. TERAPI FARMAKOLOGI NON FARMAKOLOGI

Terapi Farmakologi.

1. Agen Nonopioid

Analgesik yang pertama digunakan yaitu yang paling efektif dan memiliki efek

samping paling sedikit, seperti acetaminophen, asam asetil salisilat (aspirin), dan

NSAID sering lebih disukai daripada opiat dalam pengobatan sakit ringan

sampai sedang. Obat-obat ini (dengan pengecualian acetaminophen) mencegah

pembentukan produksi prostaglandin dalam menanggapi rangsangan

berbahaya, sehingga mengurangi jumlah impuls nyeri yang diterima oleh CNS. [1]
2. Agen Opioid

Opioid seringkali digunakan sebagai langkah terapi dalam pengelolaan rasa

sakit akut dan nyeri kronis terkait kanker. Opioid juga efektif sebagai pilihan

pengobatan dalam pengelolaan nyeri noncancer kronis. Pilihan opioid harus

didasarkan pada penerimaan pasien, efektivitas analgesik, dan profil

farmakokinetik, farmakodinamik dan efek samping. Aktivitas farmakologi opioid

tergantung pada afinitas reseptor opioid. Terapi dan efek samping tergantung

dari agen tersebut seperti agonis opioid (misalnya morfin), antagonis opioid

(misalnya nalokson), sebagian agonis dan antagonis (misalnya pentazocine ) 


Efek dari analgesik opioid relatif selektif. Pada konsentrasi terapeutik normal agen ini tidak

mempengaruhi modalitas sensorik lainnya, seperti sensitivitas terhadap sentuhan,

penglihatan, pendengaran. Ketika opioid diberikan nyeri tidak dihilangkan, tapi mengurangi

rasa tidak nyaman. Cara pemberian tergantung pada individu pasien yang membutuhkan.

Pada pasien yang memiliki akses oral, oral lebih disukai. Namun, timbulnya efek analgesik

untuk obat oral sekitar 45 menit, dan efek puncak biasanya terjadi 1 sampai 2 jam setelah

konsumsi. Ketika dalam kondisi nyeri akut atau tidak mampu mengambil obat oral maka

rute intravaskular misalnya intravena lebih dianjurkan sebagai rute alternatif. Kebanyakan

reaksi opioid, seperti gatal atau ruam karena terkait pelepasan histamin dan degranulasi

sel mast.

3. Analgesik Adjuvant

Analgesik adjuvan adalah agen farmakologis yang berguna dalam pengelolaan nyeri tetapi

biasanya tidak diklasifikasikan sebagai analgesik. Contoh adjuvant analgesik termasuk

antidepresan dan antikonvulsan  [1].


Berikut algorithma untuk terapi nyeri: [1]
Terapi Non Farmakologi

1. Relaksasi dengan cara dipijat di bagian sekitar luka secara perlahan

2. Memberikan suasana tenang dan nyaman kepada pasien agar mengurangi tingkat

stress yang menimbulkan sugesti terhdapa rasa nyerinya yang tidak kunjung berkurang,

seperti mendengarkan musik atau mengajak berbicara dan menenangkannya

3. Minum air putih yang banyak

4. Selalu kondisikan ruangan sejuk karena apabila ruangan panas akan menyebabkan

pasien berkeringat dan akan membuat pasien tidak nyaman karena rasa perih

5. Mengurangi terjadinya gesekan di daerah kulit yang terbakar seperti menggunakan baju

yang longgar
PERMASALAHAN :

Interaksi paracetamol dan warfarin

Interaksi obat-obatan yang penting diketahui meliputi antibiotik, antikoagulan, agen

antiplatelet, dan obat anti-inflamasi non steroid (NSAID). NSAID yang digunakan untuk

efek analgesik dan tersedia tanpa resep dokter memiliki efek menghambat trombosit dan

mungkin memiliki efek gastrointestinal yang merugikan

Laporan Kasus

Sejumlah laporan kasus telah dipublikasikan dan menggambarkan pasien yang memakai

warfarin mengalami supratherapeutik Rasio normalisasi internasional (INR) dan kejadian

perdarahan setelah mengkonsumsi dosis tinggi parasetamol selama beberapa hari.

Kejadian perdarahan meliputi perdarahan gingiva, hematuria, hematoma retroperitoneal,

dan perdarahan gastrointestinal. INR berkisar antara 4,0 sampai 16,39 berdasarkan

penelitian, dengan satu studi melaporkan pasien yang memiliki waktu protrombin (PT) 96

detik.

INR menjadi normal antara 7 dan 10 hari setelah menghentikan kedua obat di 2 pasien,

sementara plasma beku segar dan / atau vitamin K diberikan untuk membalikkan efek

warfarin yang lainnya.


Pasien mengkonsumsi kisaran kira-kira dari 1 sampai 4 gram Parasetamol per hari selama

rentang 4 sampai 10 hari dalam laporan kasus. Dalam 2 laporan kasus, pasien diberi

asupan dengan Parasetamol setelah INR stabil; Dalam kedua kasus tersebut, INR

meningkat lagi.

Daftar Pustaka

[1]
DiPiro, Joseph T., Robert L. Talbert, Gary C. Yee, Gary R. Matzke, Barbara G. Wells dan

L. Michael Posey, 2008, Pharmacotherapy A Pathophysiologic Approach Seventh Edition,

New York:  The McGraw-Hill Companies, Inc

[2]
 Latief, S. A., 2001, Petunjuk Praktis Anestesiolog, Edisi II, Jakarta: Bag. Anestesiologi

dan Terapi Intensif FKUI.

[3]
 Nanda.2006. Panduan Diagnosa Keperawatan. Jakarta: Prima Medika

[4]
 Doengoes, M.E. 2000. Rencana Asuhan Keperawatan Pedoman Untuk Perencanaan

dan Pendokumentasian Perawatan Pasien, Edisi 3. Jakarta : EGC

[5] 
Hudak dan Gallo. 1994. Keperawatan Kritis, Pendekatan Holistik, Volume II. Jakarta

:EGC

Anda mungkin juga menyukai