Anda di halaman 1dari 14

UJIAN AKHIR SEMESTER

TAKE HOME ASSIGNMENT


HEALTH TECHNOLOGY ASSESSMENT

EDUKASI SELF MANAGEMENT


PADA PASIEN DIABETES MELLITUS TIPE 2 DEWASA

Oleh :
ADOLFINA VITRIA NILASARI
13/255586/PKU/13989

PROGRAM PASCASARJANA
KEDOKTERAN KLINIS MINAT KEDOKTERAN KELUARGA
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS GADJAH MADA
2014

0
BAB I. PENDAHULUAN

A. Latar belakang
Diabetes tipe II merupakan salah satu penyakit kronis yang banyak terjadi di dunia maupun
di Indonesia. Jumlah penderita ini semakin lama semakin tinggi. Dalam Diabetes Atlas kedua tahun
2003 yang diterbitkan oleh IDF, prevalensi diabetes di Indonesia pada tahun 2000 adalah 1,9 % dan
toleransi glukosa terganggu (TGT) 9,7% dengan prediksi bahwa di tahun 2025 berturut turut akan
menjadi 2,8% diabetesi dan 11,2% dengan TGT. Menurut hasil Riset Kesehatan Dasar tahun 2007,
diketahui bahwa 10,2% responden termasuk TGT, dengan 5,6% merupakan Diabetes. Menurut IDF
(International Diabetes Federation) tahun 2012, prevalensi diabetes di Indonesia adalah 4,8%. Di
puskesmas Bantul II, diabetes tipe II termasuk dalam 10 besar penyakit [ CITATION Dep08 \l 1057 \m
Bad08 \m Soe13].
Tatalaksana diabetes melitus mengacu pada 4 pilar, yaitu edukasi, terapi gizi medis, latihan
jasmani dan intervensi farmakologis. Edukasi merupakan pilar pertama dalam tatalaksana Diabetes
mellitus tipe II. Edukasi merupakan langkah pertama yang dilakukan oleh klnisi sebelum memberi
tambahan terapi lain untuk pasien. Edukasi menurut Depkes (2008) adalah meliputi pemahanan
mengenai pengertian, penatalaksanaan secara umum, perencanaan makan, aktivitas fisik yang perlu
dilakukan, obat-obatan untuk mengendalikan kadar glukosa darah, pemantauan glukosa darah,
komplikasi, serta perawatan kaki maupun aktivitas sehari-hari pada orang dengan DM. [ CITATION
Dep08 \l 1057 ]
WHO menekankan pentingnya edukasi bagi penyakit kronik. Salah satu rekomendasi WHO
untuk menangani pasien DM adalah dengan menyusun strategi yang efektif yang terintegrasi,
berbasis masyarakat melalui kerjasama lintas program dan lintas sektor termasuk swasta. Sehingga
pengembangan kemitraan dengan berbagai unsur di masyarakat dan lintas sektor yang terkait
dengan DM di setiap wilayah merupakan kegiatan yang penting dilakukan. Terapi edukasi kepada
pasien merupakan bentuk edukasi untuk menolong pasien (atau sekelompok pasien dan
keluarganya) untuk mengelola terapi mereka dan mencegah komplikasi yang dapat dicegah,
sekaligus meningkatkan kualitas hidup. Saat ini telah dibentuk suatu edukasi manajemen mandiri
diabetes (diabetes self-management education/DSME), merupakan bentuk edukasi yang ditekankan
pada kedekatan antara pasien dengan yang merawatnya. Terdapat beberapa standar atau pedoman
DSME ini. International Diabetes Federation telah mempublikasikan International Curiculum for
Diabetes Health Profesional Education. Meski telah terdapat beberapa pedoman, tetapi tidak ada
deskripsi yang telah distandarkan, sehingga program ini seringkali disebut sebagai intervensi yang
kompleks, bentuk kerja nya selalu berubah, tergantung dari model pendekatan yang digunakan,
ketrampilan edukator, latar belakang pasien dan sebagainya. [ CITATION Ste12 \l 1057 ]

B. Permasalahan

1
Berbagai jurnal dari luar negeri telah banyak membahas mengenai DSME ini, bahkan HTA
untuk model ini sudah dilakukan. Di Indonesia, pedoman untuk edukasi ini masih sebatas
memberikan pemahaman kepada pasien mengenai DM, terapi maupun komplikasinya. Dalam
paparan mengenai gambaran pengobatan DM di Indonesia, diketahui hanya 21% pasien yang
ditangani dengan merubah gaya hidup[ CITATION Soe11 \l 1057 ]. Prosedur pendekatan kepada pasien
belum terintegrasi seperti DSME, sehingga klinisi masih banyak yang tidak memperhatikan betapa
pentingnya edukasi semacam DSME.

C. Tujuan
C. 1. Tujuan umum
Terwujudnya kajian ilmiah sebagai dasar kebijakan penerapan teknologi DSME di
Indonesia.
C. 2. Tujuan khusus
Mengkaji pelaksanaan DSME berdasarkan bukti ilmu kedokteran yang mutakhir dan sahih
(Evidence Based Medicine) dilihat dari the technical properties, clinical safety, efficacy or effectiveness,
economic atributes or impact, social, legal, ethical or political impact of a medical technology.

BAB II. METODOLOGI PENILAIAN

2
A. Strategi penelusuran kepustakaan
Penelusuran artikel dilakukan secara manual dan melalui kepustakaan elektronik: Pubmed,
Cochrane Library, google cendekia serta i-library UGM
Kata kunci yang digunakan adalah DSME, education self management, diabetes
B. Hierarchy of Evidence dan Derajat Rekomendasi
Setiap makalah ilmiah yang didapat dinilai berdasarkan evidence based medicine,
ditentukan hierarchy of evidence dan derajat rekomendasi. Hierarchy of evidence dan derajat
rekomendasi diklasifikasikan berdasarkan definisi dari Scottish Intercollegiate Guidelines Network,
sesuai dengan definisi yang dinyatakan oleh US Agency for Health Care Policy and Research.
Hierarchy of evidence:
Ia. Meta-analysis of randomised controlled trials.
Ib. Minimal satu randomised controlled trials.
IIa. Minimal penelitian non-randomised controlled trials.
IIb. Cohort dan Case control studies
IIIa. Cross-sectional studies
IIIb. Case series dan case report
IV. Konsensus dan pendapat ahli
Derajat rekomendasi :
A. Evidence yang termasuk dalam level Ia dan Ib.
B. Evidence yang termasuk dalam level IIa dan II b.
C. Evidence yang termasuk dalam level IIIa, IIIb dan IV
C. Ruang lingkup
Kajian mengenai teknologi DSME ini dibatasi pada tatalaksana DSME. Aspek yang akan
dikaji antara lain the technical properties, clinical safety, efficacy or effectiveness, economic
atributes or impact, social, legal, ethical or political impact of a medical technology.

BAB III. KAJIAN ASPEK


3
A. The technical properties
DSME (Diabetes Self Management Education) merupakan program self-management yang
dapat mendorong pasien menggunakan sumber daya yang ada untuk mengelola gejala yang
dialaminya terutama pada pasien dengan penyakit kronis. Self-management memfasilitasi pasien
dalam aktivitas pencegahan dan pengobatan dan perlu adanya kerjasama dengan tenaga kesehatan
yang lain. Edukasi ini merupakan program pendidikan kesehatan yang mendorong kemandirian
pasien sehingga mampu mengelola kesehatannya secara mandiri. DSME menggunakan metode
pedoman, konseling, dan intervensi perilaku untuk meningkatkan pengetahuan mengenai diabetes
dan meningkatkan ketrampilan individu dan keluarga dalam mengelola penyakit DM. Tujuan
DSME secara umum adalah untuk mendukung pengambilan keputusan, perilaku self-care, problem
solving, dan kolaborasi aktif dengan tim perawatan kesehatan dan untuk meningkatkan hasil klinis,
status kesehatan dan kualitas hidup. Dalam DSME tidak hanya memfasilitasi transfer pengetahuan,
namun juga memfasiltasi pasien untuk belajar ketrampilan dan kemampuan perawatan mandiri (self
care) yang sangat dibutuhkan oleh penderita diabetes.
Metode ini sangat kompleks. Dibutuhkan pemahanan edukator atas pasien yang meliputi
budaya, coping behaviour dalam keluarga, maupun tingkat pendidikan pasien dan keluarganya. Di
Indonesia belum terdapat standar ini. Standar nasional Amerika untuk DSME pada tahun 2007
meliputi 10 standar, yaitu[ CITATION Fun09 \l 1057 ]
Struktur
Standar 1. Paguyuban DSME mempunyai dokumentasi struktur organisasionalnya, pernyataan misi
dan tujuan dan akan mengenali dan mendukung kualitas DSME sebagai suatu komponen
integral perawatan diabetes.
Standar 2. Paguyuban DSME akan menujuk kelompok penasehat untuk mendorong kualitas.
Kelompok ini terdiri dari profesional kesehatanm orang dengan diabetesm komunitas dan
stakeholder.
Standar 3. Paguyuban DSME akan menentukan edukasional diabetes yang dibutuhkan oleh populasi
target dan mengidentifikasi sumber-sumber yang diperlukan untuk memenuhi kebutuhannya
Standar 4. Seorang koordinator akan membentuk rencana pengawasan, implementasi, dan evaluasi
untuk DSME. Koordinator ini sebaiknya mempunyai cukup pendidikan dan eksperimental
dalam menangani perawatan dan edukasi penyakit kronis dan pada manajemen program
Proses
Standar 5. DSME akan diberikan satu atau lebih instruktur. Instruktur ini mempunyai cukup
pendidikan dan pengalaman dalam manajemen edukasi dan diabetes atau mempunyai
sertifikat edukator diabetes. Instruktor akan menangani edukasi berlanjut dan regular di
lapangan. Setidaknya salah satu instruktur merupakan perawat, ahli gizi, atau ahli farmasi.
Harus ada suatu mekanisme untuk memastikan bahwa kebutuhan partisipan terpenuhi jika
kebutuhan tersebut ternyata diluar pengetahuan maupun pendidikan instruktur.

4
Standar 6. Suatu kurikulum yang tertulis mencerminkan bukti baru dan pedoman praktis, dengan
kriteria untuk mengevaluasi hasil, akan menjadi kerangka kerja bagi paguyuban DSME.
Penilaian yang diperlukan untuk pasien dengan prediabetes dan diabetes akan menentukan
daerah mana dari daftar berikut yang disediakan :
 Menjelaskan proses penyakit diabetes dan pilihan terapinya
 Menggabungkan manajemen nutrisi kedalam suatu gaya hidup
 Menggabungkan aktivitas fisik kedalam gaya hidup
 Menggungkan pengobatan secara aman dan untuk efektivitas maksimal terapi
 Memantau glukosa darah dan parameter lain dan mengintrepetasikan dan menggunakan
hasil untuk pengambilan keputusan self management
 Mencegah, mendeteksi dan menerapi komplikasi akut
 Mencegah, mendeteksi dan menerapi komplikasi kronik
 Menggambarkan strategi individu untuk mempromosikan kesehatan dan perubahan
perilaku
Standar 7. Suatu penilaian dan rencana edukasi individual akan dikembangkan secara bersama-sama
oleh partisipan dan instruktur untuk langsung memilih intervensi edukasional dan strategi
dukungan self management yang cocok. Rencana penilaian dan edukasi ini dan intervensi dan
hasil akan didokumentasikan dalam rekaman edukasi
Standar 8. Rencana follow up individual untuk dukungan self management yang sedang berjalan
akan dikembangkan secara bersama-sama oleh partisipan daninstruktur. Hasil pasien dan
tujuan dan rencana untuk dukungan self management yang sedang berjalan akan
dikomunikasikan kepada penyedia rujukan
Hasil
Standar 9. Paguyuban DSME akan mengukur pencapaian tujuan yang telah ditentukan oleh pasien
dan hasil pasien pada interval tertentu menggunakan teknik pengukuran yang cocok untuk
mengevluasi efektivitas intervensi edukasional
Standar 10. Paguyuban DSME akan menilai efektivitas proses edukasi dan menentukan
kemungkinan-kemungkinan untuk perkembangan menggunakan rencana perkebaikan kualitas
yang berkelanjutan yang menggambarkan dan mendokumentasikan sistematic review dari
proses dan hasil data dari paguyuban.
Di Indonesia, dalam Konsensus Pengelolaan Diabetes 2011 dijelaskan mengenai edukasi
yang perlu diberikan kepada pasien. Edukasi yang diperikan pekada pasien diupayakan untuk
merubah perilaku pasien. Edukasi ini dilakukan oleh tim edukator DM. Dalam menjalankan
tugasnya, tenaga kesehatan memerlukan landasan empati, yaitu kemampuan memahami apa yang
dirasakan oleh orang lain. Prinsip yang perlu diperhatikan pada proses edukasi diabetes
adalah[ CITATION Per11 \l 1057 ]:
 Memberikan dukungan dan nasehat yang positif serta hindari terjadinya kecemasan
 Memberikan informasi secara bertahap, dimulai dengan hal-hal yang sederhana

5
 Lakukan pendekatan untuk mengatasi masalah dengan melakukan simulasi
 Diskusikan program pengobatan secara terbuka, perhatikan keinginan pasien.
Berikan penjelasan secara sederhana dan lengkap tentang program pengobatan yang
diperlukanoleh pasien dan diskusikan hasil pemeriksaan laboratorium
 Lakukan kompromi dan negosiasi agar tujuan pengobatan dapat diterima
 Berikan motivasi dengan memberikan penghargaan
 Libatkan keluarga/pendamping dalam proses edukasi
 Perhatikan kondisi jasmani dan psikologis serta tingkat pendidikan pasien dan keluarganya
 Gunakan alat bantu audio visual
Edukasi dengan tujuan promosi hidup sehat, perlu selalu di-lakukan sebagai bagian dari
upaya pencegahan dan merupa-kan bagian yang sangat penting dari pengelolaan DM secaraholistik.
Materi edukasi terdiri dari materi edukasi tingkat awaldan materi edukasi tingkat lanjutan.
Edukasi yang diberikan kepada pasien meliputi pemahaman tentang:
Materi edukasi pada tingkat awal adalah:
 Materi tentang perjalanan penyakit DM
 Makna dan perlunya pengendalian dan pemantauan DM se-cara berkelanjutan
 Penyulit DM dan risikonya
 Intervensi farmakologis dan non-farmakologis serta target pengobatan
 Interaksi antara asupan makanan, aktivitas fisik dan obathipoglikemik oral atau insulin serta
obat-obatan lain
 Cara pemantauan glukosa darah dan pemahaman hasil glukosa darah atau urin mandiri
(hanya jika pemantauan glukosa darah mandiri tidak tersedia)
 Mengatasi sementara keadaan gawat darurat seperti rasasakit, atau hipoglikemia
 Pentingnya latihan jasmani yang teratur 
 Masalah khusus yang dihadapi (contoh: hiperglikemia padakehamilan)
 Pentingnya perawatan kaki
 Cara mempergunakan fasilitas perawatan kesehatan.
Materi edukasi pada tingkat lanjut adalah :
 Mengenal dan mencegah penyulit akut DM
 Pengetahuan mengenai penyulit menahun DM
 Penatalaksanaan DM selama menderita penyakit lain
 Makan di luar rumah
 Rencana untuk kegiatan khusus
 Hasil penelitian dan pengetahuan masa kini dan teknologi mutakhir tentang DM
 Pemeliharaan/perawatan kaki

6
Edukasi dapat dilakukan secara individual dengan pendekatan berdasarkan penyelesaian
masalah. Seperti halnya dengan proses edukasi, perubahan perilaku memerlukan perencanaanyang
baik, implementasi, evaluasi, dan dokumentasi.
Hasanat dan Ningrum[ CITATION Has10 \l 1057 ] pernah membuat suatu materi untuk
edukasi penderita DM. Materi tersebut berupa
 Materi edukasi tentang aspek-aspek psikologi yang muncul selama pengobatan diabetes.
Materi ini diberikan dengan tujuan agar pasien mengenali dan menyadari adanya aspek
psikologik yang menyertai selama proses pengelolaan diabetes
 Latikan mindfullness dan petunjuknya. Latihan ini ditujukan supaya pasien dapat menyadari
dan menerima pikiran dan perasaan terkait dengan kondisi kesehatnnya. Pemberdayaan
pasien melalui diskusi kelompok, beserta petunjuk pelakasanaannya. Melalui pemberdayaan
ini diharapkan pasien mampu mengenali diri, mengidentifikasi permasalah ketika mengelola
diabetes, dan menentukan permasalahan yang ingin diperbaiki. Selanjutnya pasien dapat
merencanakan aksi untuk memperbaiki permasalah tersebut.
 Catatan harian penglolaan diabetes dan petunjuk pengisiannya. Catatan ini digunakan pasien
untuk mencatat hal-hal yang telah diidentifikasi pada materi pemberdayaan.
Dari beberapa referensi diatas, maka DSME sebaiknya dilakukan dalam suatu bentuk
organisasi. Organisasi ini untuk sekarang telah terbentuk berupa Tim edukator Diabetes. Untuk saat
ini tim tersebut hanya ada di rumah sakit, pada pelayanan primer semacam Puskesmas belum pernah
ada secara resmi. Tim ini terdiri dari dokter, perawat, ahli gizi, ahli farmasi dan psikolog.
[ CITATION Per11 \l 1057 ]

B. Clinical safety,
Keamanan klinis suatu teknologi merujuk pada efek samping penggunaan, atau efek yang
tidak diharapkan dari suatu teknologi. DSME merupakan teknologi program edukasi, sehingga
sampai saat ini tidak ada referensi yang menunjukkan adannya efek yang tidak diharapkan dari
program edukasi ini.

C. Efficacy or effectiveness,
Efektifitas DSME telah di teliti di Amerika. Suatu systemic review [ CITATION
Lov08 \l 1057 ] dilakukan Health Assesment DSME. Dalam sistemik review ini sudah dicantumkan
critical apraisal dari setiap jurnal yang digunakan. Jika jurnal dianggap tidak valid, maka tidak
disertakan dalam review.
Systemic review ini bertujuan untuk mengetahui efektivitas DSME dilihat dari berbaai
aspek, efek pada pengukuran kontrol diabetik, seperti HbA1, BMI atau kolesterol. Beberapa
penelitian menunjukkan adanya efek yang berbeda secara bermakna pada hasil HbA1, tetapi ada
pula yang tidak berbeda bermakna. Sejumlah penelitian menunjukkan perbedaan bermakna pada
penurunan berat badan tetapi sedikit yang siknifikan dalam penurunan BMI. Sedikit penelitian yang
menjunjukkan perbaikan pada profil lipid. Pada pengukuran komplikasi diabetik hanya sedikit

7
penilitian yang mengamati dalam waktu yang cukup lama tetapi beberapa yang meneliti cukup lama
menunjukkan tidak ada efek yang siknifikan. Jarang ada penelitian yang meneliti mengenai kualitas
hidup pasien setelah DSME. Hasil penelitian tersebut menunjukkan hasilnya berlawanan, tetapi
pengetahuan pasien menunjukkan ada perubahan akibat edukasi ini. Secara keseluruhan efek
intervensi edukasi ini pada pasien DM tipe 2 tidak dapat diintepretasikan; terdapat efek positif
intervensi pada setiap jenis hasil yang ditelitit, tetapi ada pula penelitian yang menunjukkan tidak
ada perbaikan yang siknifikan.
Kesimpulan dari systemic review ini adalah bahwa tidak ditemukan bukti yang
menunjukkan bahwa intervensi ini efektif seperti harapan nasional. Tetapi disebutkan dalam review
ini bahwa belum ada evaluasi edukator. Tidak adanya bukti efektifitas dimungkinkan karena
edukator yang ada tidak melakukan tugas dengan baik, atau ketrampilan edukator belum sesuai
standar. Kompleksitas program ini merupakan hal yang perlu menjadi perhatian. Sulit untuk menilai
apakah suatu tim edukator melakukan tugasnya dengan baik, sulit pula melakukan evaluasi apakah
proses edukasi berjalan sesuai standar.
Dalam satu systemic review yang dilakukan oleh Steinbeck [ CITATION Ste12 \l
1057 ] menunjukkan hasil adanya perbedaan yang bermakna antara kelompok intervensi DSME
dibandingkan kontrol. Perbedaan ini dilihat dari aspek klinis (kontrol glukosa darah), gaya hidup
(ketrampilan melakukan perawatan secara mandiri), dan psikososial.
Di Indonesia penelitian mengenai efektifitas DSME terhadap pasien DM tipe 2 belum
pernah dilakukan. Pelaksanaan DSME sampai saat ini belum dilaksanaan oleh semua rumah sakit
melaksanakan sepenuhnya, sehingga manfaatnya yang besar tidak selalu tampak, bahkan tidak
disadari adanya. Beberapa penelitian di Indonesia tidak langsung merujuk pada DSME. Beberapa
penelitian tersebut adalah “Hubungan Antara Pengetahuan Tentang Penyakit dan Komplikasi Pada
Penderita Diabetes Melitus dengan Tindakan Mengontrol Kadar Gula Darah di Wilayah Kerja
Puskesmas I Gatak Sukoharjo” (tidak dapat mengakses link), “Hubungan tingkat pengetahuan, sikap
dan praktik penderita Diabetes melitus mengenai pengelolaan Diabetes melitus dengan kendali
kadar glukosa darah”[ CITATION Jaz03 \l 1057 ], “Dukungan keluarga dan jadwal makan
sebelum edukasi berhubungan dengan kepatuhan jadwal makan pasien diabetes melitus (DM) tipe 2
rawat jalan yang mendapat konseling gizi di RSUD Kota Yogyakarta” [ CITATION Pur10 \l
1057 ], “Pengendalian status gizi, kadar glukosa darah, dan tekanan darah melalui terapi gizi medis
pada pasien diabetes mellitus (DM) tipe 2 rawat jalan di RSU Mataram NTB”[ CITATION
Suh10 \l 1057 ] dan “Pengaruh diabetes self management education dalam discharge planning
terhadap self care behavior pasien Diabetes Mellitus tipe 2” [ CITATION Ron12 \l 1057 ]
Penelitian “Pengendalian status gizi, kadar glukosa darah, dan tekanan darah melalui
terapi gizi medis pada pasien diabetes mellitus (DM) tipe 2 rawat jalan di RSU Mataram NTB”
merupakan RCT, dengan jumlah sampel 60 orang. Intervensi pada penelitian ini mengacu pada
DSME. Penelitian ini membandingkan antara TGM (terapi gizi medis) dengan konseling
konvensional, yaitu konseling tanpa pedoman, dilakukan seperti pola atau cara yang selama ini
biasa dilakukan sehari-hari di RSU Mataram. Outcome yang dinilai adalah zat gizi (energi, protein,

8
lemak dan karbohidrat), status gizi (berdasarkan IMT dan LP), kadar glukosa darah dan tekanan
darah. Kesimpulan dari jurnal ini adalah asupan zat gizi (energi, lemak, karbohidrat dan natrium),
pengendalian status gizi dan kadar glukosa darah pasien DM tipe 2 yang mendapat TGM lebih baik
dibandingkan yang mendapat konseling gizi konvensional. Adapun penurunan tekanan darah,
khususnya tekanan darah sistolik cenderung lebih baik pada pasien DM tipe 2 yang mendapat TGM
dibandingkan yang mendapat konseling gizi konvensional.[ CITATION Suh10 \l 1057 ]
Penelitian “Dukungan keluarga dan jadwal makan sebelum edukasi berhubungan
dengan kepatuhan jadwal makan pasien diabetes melitus (DM) tipe 2 rawat jalan yang mendapat
konseling gizi di RSUD Kota Yogyakarta” merupakan studi obersavional dengan metode cross
sectional. Subjek penelitian adalah semua populasi pasien DM tipe 2 yang memenuhi kriteria inklusi
selama periode bulan Oktober 2008, yang meliputi bersedia menjadi subjek, berumur 25-65 tahun,
pernah mendapatkan edukasi perencanaan makan dari ahli gizi, dan berdomisili di Yogyakarta.
Penelitian ini bertujuan untuk mengatahui hal-hal yang mempengaruhi kepatuhan makan pasien DM
tipe 2. Kesimpulan dari penelitian ini adalah kepatuhan jadwal makan pasien DM tidak
berhubungan dengan berapa lama pasien tersebut menderita DM, tidak berhubungan juga dengan
aktivitas pekerjaan yang dilakukan. Namun, berhubungan dengan dukungan yang diberikan oleh
keluarga dan karakteristik jadwal makan yang sama dengan anjuran ahli gizi sebelum diberikan
edukasi oleh ahli gizi.[ CITATION Pur10 \l 1057 ]
Penelitian “Hubungan tingkat pengetahuan, sikap dan praktik penderita Diabetes
melitus mengenai pengelolaan Diabetes melitus dengan kendali kadar glukosa darah” merupakan
penelitian observasional dengan metode case-control. Subjek penelitian ini adalah pasien DM yang
berobat jalan di RSUP dr Sarjito pada bulan Juli, Agustus dan September tahun 2001. Alat ukur
berupa kuisioner dan wawancara mendalam. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan
antara tingkat pengetahuan, sikap dan praktik penderita DM mengenai pengelolaan DM dengan
kendali kadar glukosa darah. Hasil penelitian ini adalah ada hubungan antara tingkat pengetahuan,
sikap dan praktik penderita DM mengenai pengelolaan DM dengan kendali kadar glukosa darah.
terdapat perbedaan bermakna antara pengetahuan, sikap dan praktik penderita DM dengan
pengelolaan DM pada responden dengan glukosa darah terkendali dengan yang tidak terkendali.
Faktor penentu yang paling beresiko terhadap kendali kadar glukosa darah adalah variabel praktik
dan variabel jarak. Tingkat pengetahuan dan sikap responden mengenai pengelolaan DM bukan
merupakan faktor penentuk terkendali tidaknya kadar glukosa darah. [ CITATION Jaz03 \l 1057 ]
Penelitian berjudul “Pengaruh diabetes self management education dalam discharge
planning terhadap self care behavior pasien Diabetes Mellitus tipe 2” merupakan penelitian quasi
experiment dengan pendekatan non randomized control group pretest-posttest design. Kelompok
perlakuan diberikan DSME dalam proses discharge planning saat pasien dirawat di rumah sakit.
Sampel penelitian ini adalah pasien DM tipe 2 yang sedang di rawat di di Ruang Paviliun
Bougenville RSU dr. H. Koesnadi Bondowoso pada 11 April sampai dengan 11 Juni 2011 yang
memenuhi criteria inklusi dan eksklusi sebanyak 30 orang (15 orang kelompok perlakuan dan 15
orang kelompok kontrol). Instrumen penelitian ini adalah kuesioner SDSCA (Summary of Diabetes

9
Self Care Activities). Kuesioner SDSCA digunakan untuk mengukur self care behavior. Hasilnya
menunjukkan bahwa penerapan diabetes self management education (DSME) di dalam discharge
planning memberikan pengaruh yang signifikan dalam peningkatan self care behvior pasien DM
tipe 2 dibandingkan dengan pemberian discharge planning yang tanpa menggunakan DSME.
[ CITATION Ron12 \l 1057 ]
Meski masih terdapat kontroversi mengenai efektivitas DSME, tetapi telah ada satu systemic
revies yang menilai DSME efektif. Berdasarkan bukti ilmiah mengenai efikasi DSME, maka terkait
efektivitas penggunaan DSME, hierarchy of evidence DSME termasuk Ib (minimal satu randomised
controlled trials) dengan derajat rekomendasi A (Evidence yang termasuk dalam level Ia dan Ib)

D. Economic atributes or impact,


Suatu jenis terapi untuk dapat diterima baik oleh pemberi layanan kesehatan, perencana
pelayanan kesehatan maupun oleh pihak ke tiga, harus terbukti efektif secara klinis dan cost-
effective dalam penanganan suatu penyakit.
Sampai saat ini belum ada penelitian mengenai biaya yang harus dikeluarkan untuk
melaksanakan DSME. Di Indonesia pernah diteliti mengenai biaya yang dikeluarkan pasien DM
yang berobat ke RS dr Sarjito pada tahun 2005. Hasilnya adalah Hasil penelitian menunjukkan
biaya terapi total setiap pasien berkisar antara Rp.208.500 sampai Rp.754.500 per bulan. Biaya
tertinggi adalah biaya obat (59,5%), diikuti biaya untuk mengatasi komplikasi (31%). Kontrol gula
darah dengan menggunakan terapi kombinasi, terbesar adalah pasien dengan sulfonilurea dan
biguanid (44,62%). Kombinasi biguanid, oc-glukosidase inhibitor, dan insulin menunjukkan biaya
obat terbesar, yaitu Rp.571.000.[ CITATION And06 \l 1057 ]
Di Indonesia belum ada studi yang menilai efektivitas DSME secara klinis dan cost-
effectiveness DSME. Pada kajian ini baru dapat disajikan data mengenai tarif konsultasi gizi di
Puskesmas Bantul. Tarif untuk satu kali konsultasi adalah Rp5.500,00. Biaya akan banyak
dikeluarkan dalam pembentukan Tim edukator diabetes, meliputi biaya untuk pelatihan, serta
koordinasi Tim. Tambahan biaya dikeluarkan untuk jika tim perlu melakukan kunjungan rumah. di
Puskesmas Bantul, kunjungan rumah memerlukan biaya transportasi sebesar Rp. 15.000,00 per
personil yang berkunjung per kunjungan.
Jika dikaitkan dengan sistem BPJS sekarang ini, maka tidak akan ada biaya yang perlu
dikeluarkan lagi oleh pihak BPJS, karena jika edukasi ini dilaksanakan di seting pelayanan primer,
maka biaya akan tercover dalam kapitasi (prepaid system).

E. Social, legal, ethical or political impact of a medical technology.


Secara sosial, teknologi ini belum terbiasa dilakukan di Indonesia. Masyarakat Indonesia
masih kurang kesadaran akan hidup sehat, sehingga untuk melakukan intervensi semacam ini
membutuhkan usaha yang luar biasa besar terutama dari edukator.
Secara kelegalan, teknologi ini tidak melawan hukum dan etika maupun memberi dampak
secara politik.

10
BAB IV. KESIMPULAN

 DSME merupakan intervensi edukasi bagi penderita DM tipe 2 yang bertujuan untuk
memberikan edukasi dengan pendekatan holistik kepada pasien maupun keluarga pasien.
Diharapkan edukasi ini berhasil merubah perilaku hidup pasien dan meningkatkan kualitas
hidup.
 Bentuk edukasi yang membedakan dengan edukasi konvensional, adalah adanya kurikulum
yang dibuat oleh Tim Edukator.
 Pelaksana DSME adalah tim edukator yang terdiri dari dokter, perawat, ahli gizi, ahli
farmasi dan psikologi.
 Dari aspek clinical safety menyebutkan bahwa belum terdapat laporan mengenai efek yang
tidak diharapkan.
 Dari aspek efikasi atau efektivitas, satu systemic review menyebutkan bahwa efektivitas nya
lebih baik dari terapi rutin, sehingga teknologi ini dalam hierarchy of evidence termasuk Ib
(minimal satu randomised controlled trials) dengan derajat rekomendasi A (Evidence yang
termasuk dalam level Ia dan Ib)
 Dari aspek economic attributes or impact, belum terdapat studi yang membahas mengenai
cost effectivitas nya. Biaya untuk DSME diperlukan untuk pelatihan Tim Edukator,
koordinasi Tim Edukator, biaya konsultasi pasien dan biaya transportasi petugas jika
diperlukan kunjungan rumah. Jika mengunakan sistem BPJS maka biaya hanya dikeluarkan
untuk pelatihan Tim dan koordinasi Tim edukator.
 Dari segi sosial, legal, ethical atau political impact or medical technology, DSME tidak
melanggar hukum, etik maupun politik. Secara sosial terkait dengan tidak terbiasanya
masyarakat Indonesia dengan edukasi langsung dan kurangnya kesadaran untuk perlunya
hidup sehat.

11
DAFTAR PUSTAKA

Andayani, T. (2006). Analisis biaya terapi diabetes mellitus di Rumah Sakit Dr. Sardjito
Yogyakarta. Majalah Farmasi Indonesia , 17 (3), 130 -135.

Badan Penelitian & Pengembangan Kesehatan Depkes, RI. . (2008.). Laporan Nasional Riskesdas
2007. .

Depkes RI. (2008). Pedoman teknis penemuan dan tatalaksana penyakit Diabetes melitus. (Cetakan
II. ed.). Jakarta: DirPPTM, Dirjen pengendalian penyakit dan penyehatan lingkungan.

Funnell, M., Brown, T., Childs, B., Haas, B., Hosey, G., Jensen, B., et al. (2009). National
Standards for Diabetes Self-Management Education. . Diabetes Care , 32 (Supplement 1).

Hasanat, U., & Ningrum, R. (2010). Program Edukasi bagi Penderita Diabetes unutk
meningkatkan kualitas hidup. Disampaikan dalam Konferensi Nasional II Ikatan Psikologi Klinis - Himpsi,
UGM, Fakultas Psikologi , Yogyakarta.

Jazilah, Sujono, P., & Sudarso, T. (2003). Hubungan tingkat pengetahuan, sikap dan praktik
penderita Diabetes melitus mengenai pengelolaan Diabetes melitus dengan kendali kadar glukosa darah.
Sains Kesehatan , 16 (3), 413-422.

Loveman, E., Frampton, G., & AJ, C. (2008). The clinical effectiveness of diabetes education
models for Type 2 diabetes:a systematic review. Health Technology Assessment , 12 (9).

Perkumpulan Endokrinologi Indonesia. (2011). Konsensus Pengelolaan dan Pencegahan Diabetes


tipe 2 di Indonesia. Jakarta.

Purba, M., Rahayu, E., & Sinorita, H. (2010). Dukungan keluarga dan jadwal makan sebelum
edukasi berhubungan dengan kepatuhan jadwal makan pasien diabetes melitus (DM) tipe 2 rawat jalan yang
mendapat konseling gizi di RSUD Kota Yogyakarta. Jurnal Gizi Klinik Indonesia , 7 (2), 74-79.

Rondhianto. (2012). Pengaruh diabetes self management education dalam discharge planning
terhadap self care behavior pasien Diabetes Mellitus tipe 2. Jurnal Keperawatan Soedirman (The Soedirman
Journal of Nursing) , 7 (3).

Soewondo, P. (2011). Current Practice in the Management of Type 2 Diabetes in Indonesia: Results
from the International Diabetes Management Practices Study (IDMPS). J Indon Med Assoc , 61 (12).

Soewondo, P., Ferrario, A., & Tahapary, D. (2013). Challenges in diabetes management in
Indonesia: A literature review. Globalization and Health. , 9 (63).

Steinbekk, A., Rygg, L., Lisulo, M., Rise, M., & Fretheim, A. (2012). Group based diabetes self-
management education compared to routine treatment for people with type 2 diabetes mellitus. A systematic
review with meta-analysis. Health services research , 12 (213).

Suhaema, Asdie, A., & Pangastuti, R. (2010). Pengendalian status gizi, kadar glukosa darah, dan
tekanan darah melalui terapi gizi medis pada pasien diabetes mellitus (DM) tipe 2 rawat jalan di RSU
Mataram NTB. Jurnal Gizi Klinik Indonesia , 7 (2), 48-57.

12
13

Anda mungkin juga menyukai