Anda di halaman 1dari 14

5

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1 Definisi

Kanker leher rahim (serviks) atau karsinoma serviks uteri adalah tumbuhnya sel-

sel abnormal pada jaringan leher rahim (serviks), di mana sel – sel permukaan

(epitel) tersebut mengalami penggandaan dan berubah sifat tidak seperti sel yang

normal (American Cancer Society, 2013).

2.2 Epidemiologi

Sekitar 500.000 kasus baru dijumpai di seluruh dunia tiap tahunnya, dan

menyebabkan sekitar 274.000 kematian. Kanker serviks merupakan penyebab

ketiga tertinggi kematian wanita di seluruh dunia. Tingkat mortalitasnya kanker

serviks di negara berkembang sepuluh kali lebih tinggi (80%), dibandingkan

dengan di negara maju (Haie-Meder et al, 2010).

Kanker serviks merupakan kanker ginekologi tersering pada wanita dan

merupakan penyebab kematian nomor 1 di negara berkembang (Suryapratama

SA, 2012). Tiap tahunnya, sekitar 11.000 wanita di Amerika Serikat mengalami

kanker serviks invasif, dan sekitar 4.000 kematian karenanya (Pollard, 2012).

Menurut data Yayasan Kanker Indonesia, kanker serviks menempati urutan

pertama dengan persentase 16% dari jenis kanker yang banyak menyerang

perempuan Indonesia (Fitriana NA et al, 2012). Pada tahun 2006 di Provinsi Jawa

Tengah, kasus penyakit kanker yang ditemukan sebanyak 22.857 kasus (7,13 per

1.000 penduduk), dan kasus kanker serviks tercatat sebanyak 2,08 per 1.000
6

penduduk. Kasus kanker serviks tertinggi di Jawa tengah terdapat di Kota

Semarang yaitu 4.132 kasus (Romadhoni et al, 2012).

2.3 Etiologi

Banyak bukti menunjukkan bahwa onkoprotein Human Papilloma Virus (HPV)

menjadi komponen penting dari proliferasi sel kanker (Schorge, 2008). Seiring

berkembangnya kemajuan di bidang biologi molekuler dan epidemiologi tentang

HPV, kanker serviks disebabkan oleh infeksi HPV yang merangsang perubahan

perilaku sel epitel serviks. Banyak penelitian dengan studi kasus kontrol dan

kohort didapatkan Risiko Relatif (RR) hubungan antara infeksi HPV dan kanker

serviks antara 20 sampai 70 (Kampono, 2011). Terdapat dua kelompok tipe HPV

dalam hubungannya dengan kanker serviks, yaitu (American Cancer Society,

2013):

1) Kelompok risiko rendah, meliputi HPV tipe 6 dan11, di mana

jarang berhubungan dengan kanker.

2) Kelompok risiko tinggi meliputi HPV 16, HPV 18, HPV 31, HPV

33, dan HPV 45, di mana tipe ini berhubungan kuat dengan kanker.

2.4 Patogenesis dan Patofisiologi

Karsinoma serviks biasa timbul di daerah yang disebut squamo-columnar junction

(SJC) atau sambungan skuamo-kolumnar (SSK), yaitu batas antara epitel yang

melapisi ektoserviks (porsio) dan endoserviks kanalis serviks, di mana secara

histologik terjadi perubahan dari epitel ektoserviks yaitu epitel skuamosa berlapis

pipih dengan epitel endoserviks berbentuk kuboid/kolumnar pendek selapis dan

bersilia. Letak SSK dipengaruhi oleh faktor usia, aktivitas seksual, dan jumlah

paritas. Pada wanita muda, SSK berada di luar ostinum uteri eksternum,
7

sedangkan pada wanita berusia di atas 35 tahun SSK berada di dalam kanalis

serviks. Oleh karena itu pada wanita muda, SSK rentan terhadap faktor luar

berupa mutagen yang akan memicu displasia dari SSK tersebut. Pada wanita

dengan aktivitas seksual tinggi, SSK terletak di ostium eksternum karena trauma

atau retraksi otot oleh prostaglandin (American Cancer Society, 2013).

Pada masa kehidupan wanita terjadi perubahan fisiologis pada epitel

serviks, epitel kolumnar akan digantikan oleh epitel skuamosa yang diduga

berasal dari cadangan epitel kolumnar. Proses pergantian epitel kolumnar menjadi

epitel skuamosa disebut proses metaplasia dan terjadi akibat pengarruh pH vagina

yang rendah. Aktivitas metaplasia yang tinggi sering dijumpai pada masa

pubertas. Akibat proses metaplasia ini, maka secara morfogenetik terdapat 2 SJC,

yaitu SJC asli dan SJC baru yang menjadi tempat pertemuan antara epitel

skuamosa baru dengan epitel kolumnar. Daerah di antara kedua SSK ini disebut

daerah transformasi (American Cancer Society, 2013).

Pada proses karsinogenesis asam nukleat virus dapat bersatu ke dalam gen

dan DNA sel host sehingga menyebabkan terjadinya mutasi sel. Sel yang

mengalami mutasi tersebut dapat berkembang menjadi sel displastik sehingga

terjadi kelainan epitel yang disebut displasia. Dimulai dari displasia ringan,

displasia sedang, displasia berat dan karsinoma in-situ dan kemudian berkembang

menjadi karsinoma invasif. Tingkat displasia dan karsinoma in-situ dikenal juga

sebagai tingkat pra-kanker. Pada tahap awal infeksi, sebelum menjadi kanker

didahului oleh adanya lesi prakanker yang disebut Cervical Intraepthelial

Neoplasia (CIN) atau Neoplasia Intraepitel Serviks (NIS). Lesi prakanker ini

berlangsung cukup lama yaitu memakan waktu antara 10 -20 tahun. Dalam
8

perjalanannya CIN I (NIS I) akan berkembang menjadi CIN II (NIS II) kemudian

menjadi CIN III (NIS III) yang bila penyakit berlanjut maka akan berkembang

menjadi kanker serviks. Konsep regresi spontan serta lesi yang persiten

menyatakan bahwa tidak semua lesi pra kanker akan berkembang menjadi lesi

invasif atau kanker serviks, sehingga diakui masih banyak faktor yang

mempengaruhi. CIN I (NIS I) hanya 12% saja yang berkembang ke derajat yang

lebih berat, sedangkan CIN II (NIS II) dan CIN III (NIS III) mempunyai risiko

berkembang menjadi kanker invasif bila tidak mendapatkan penanganan (Zarchi,

et al, 2009).

2.5 Faktor Risiko

Berhubungan dan disebabkan oleh infeksi Human Papilloma Virus (HPV)

khususnya tipe 16,18, 31, 33 dan 45. Faktor risiko lain yang berhubungan dengan

kanker serviks adalah sebagai berikut:

1) Usia

Kanker serviks cenderung terjadi pada usia pertengahan.

Kebanyakan kasus ditemukan pada wanita di bawah 50 tahun.

Kasus ini jarang terjadi pada wanita di bawah dari 20 tahun.

Banyak wanita yang lebih tua tidak menyadari bahwa risiko

terjadinya kanker serviks masih ada dengan bertambahnya usia

mereka. Lebih dari 20% kasus kanker serviks ditemukan pada

wanita di atas 65 tahun. Namun kanker ini jarang terjadi pada

wanita yang melakukan tes skrining rutin untuk kanker serviks

sebelum mereka berusia 65 tahun (American Cancer Society,

2013).
9

2) Paritas

Kanker serviks sering terjadi pada wanita yang sering melahirkan.

Semakin sering melahirkan, semakin besar risiko mendapatkan

kanker serviks. Paritas dapat meningkatkan insiden kanker serviks,

lebih banyak merupakan refleksi dari aktivitas seksual dan saat

mulai kontak seksual pertama kali daripada akibat trauma

persalinan. Pada wanita dengan paritas 5 atau lebih mempunyai

risiko terjadinya kanker serviks 2,5 kali lebih besar dibandingkan

dengan wanita dengan paritas 3 kurang (Fitriana, et al, 2012).

3) Pola hubungan seksual

Berbagai penelitian menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang

bermakna antara lesi pra kanker dan kanker serviks dengan

aktivitas seksual pada usia dini, khususnya sebelum umur 16 tahun.

Hal ini diduga ada hubungan dengan belum matangnya daerah

transformasi pada usia tersebut bila sering terekspos. Frekuensi

hubungan seksual berpengaruh terhadap tingginya risiko pada usia

muda, tetapi tidak pada kelompok usia lebih tua. Jumlah pasangan

seksual menimbulkan konsep pria berisiko tinggi sebagai vektor

yang dapat menimbulkan infeksi yang berkaitan dengan penyakit

hubungan seksual. Terdapat analisis bahwa akan terjadi perubahan

pada sel leher rahim pada wanita yang sering berganti-ganti

pasangan, penyebabnya adalah sering terendamnya sperma dengan

kadar pH yang berbeda-beda sehingga dapat mengakibatkan

perubahan dari displasia menjadi kanker (Fatimah, 2009).


10

4) Wanita Perokok

Dilihat dari segi epidemiologinya, perokok aktif dan pasif

berkontribusi pada perkembangan kanker serviks yaitu 2 kali

sampai 5 kali lebih besar dibandingkan dengan yang bukan

perokok. Pada wanita perokok terdapat nikotin yang bersifat ko-

karsinogen di cairan serviksnya sehingga dapat mendorong

terjadinya pertumbuhan kanker (Trimble, 2005).

5) Pemakaian kontrasepsi oral

Kontrasepsi oral yang dipakai dalam jangka panjang yaitu lebih

dari 5 tahun dapat meningkatkan risiko kanker serviks hingga dua

kali. World Health Organization (WHO) melaporkan risiko relatif

pada pemakaian kontrasepsi oral sebesar 1,19 kali dan meningkat

sesuai dengan lamanya pemakaian (American Cancer Society,

2013).

6) Status gizi, sosial, ekonomi, dan kultural

Terdapat sebuah analisis terjadinya peningkatan displasia ringan

dan sedang yang berhubungan dengan defisiensi zat gizi seperti

beta karotene, vitamin A dan asam folat. Banyak mengkonsumsi

sayuran dan buah-buahan yang mengandung bahan-bahan

antioksidan seperti alpukat, brokoli, kol, wortel, jeruk, anggur,

bawang, bayam, dan tomat berkhasiat untuk mencegah terjadinya

kanker. Dari beberapa penelitian melaporkan bahwa defisiensi

asam folat, vitamin C, vitamin E, dan beta karotene atau retinol

dihubungkan dengan peningkatan risiko kanker serviks. Pernyataan


11

tersebut diperkuat dengan adanya penelitian yang menunjukkan

bahwa infeksi HPV lebih prevalen pada wanita dangan tingkat

pendidikan dan pendapatan yang rendah. Adanya kaitan yang erat

antara status sosial ekonomi rendah dengan status gizi karena

status gizi berhubungan dengan daya tahan tubuh baik terhadap

infeksi maupun kemampuan untuk melawan keganasan (Fatimah,

2009).

7) Status imunitas rendah

Status imunitas yang rendah, contohnya pada kasus HIV/AIDS

merusak sistem kekebalan tubuh dan menempatkan perempuan

pada risiko tinggi untuk infeksi HPV. Sistem kekebalan tubuh

penting dalam menghancurkan sel-sel kanker dan memperlambat

pertumbuhan dan penyebaran mereka. Pada wanita dengan HIV,

pra-kanker serviks bisa berkembang menjadi kanker invasif lebih

cepat dari biasanya (Goodrich, 2007).

8) Infeksi klamidia

Klamidia adalah jenis bakteri yang dapat menginfeksi sistem

reproduksi. itu yang ditularkan melalui hubungan seksual. Infeksi

klamidia dapat menyebabkan peradangan panggul, yang

menyebabkan infertilitas. Beberapa studi menyatakan bahwa risiko

kanker serviks lebih tinggi pada wanita dengan hasil tes infeksi

klamidia positif dibandingkan dengan wanita yang memiliki hasil

tes normal (American Cancer Society, 2013).


12

2.6 Tipe Histologi

2.6.1 Tipe karsinoma sel skuamosa (epidermoid)

Sekitar 80% dari kanker serviks adalah tipe karsinoma sel skuamosa. Kanker ini

berkembang dalam sel-sel skuamosa yang menutupi permukaan ektoserviks

tersebut. Di bawah mikroskop, kanker jenis ini terdiri dari sel-sel yang seperti sel-

sel skuamosa. Karsinoma sel skuamosa paling sering dimulai di mana ektoserviks

bergabung endoserviks. (Schorge, 2008).

Gambar 2.1. Kanker serviks sel skuamosa

(Schorge, 2008)

2.6.2 Tipe adenokarsinoma

Sekitar 15% kanker serviks lainnya adalah adenokarsinoma. Kasus

adenokarsinoma serviks tampaknya meningkat dalam 20 sampai 30 tahun

terakhir. Adenokarsinoma serviks berkembang dari sel-sel kelenjar penghasil

mukus dari endoserviks (Schorge, 2008).


13

Gambar 2.1. Adenokarsinoma Serviks

(Schorge, 2008)

2.6.3 Tipe campuran

Terdapat juga tipe lain kanker serviks yang memiliki fitur dari kedua karsinoma

sel skuamosa dan adenokarsinoma. Ini disebut karsinoma adenoskuamosa atau

karsinoma campuran. Prevalensinya kurang umum, yaitu sekitar 5% (Schorge,

2008).

2.7 Stadium Klinik

Penentuan stadium / staging menurut FIGO dinilai berdasarkan pemeriksaan

klinis. The FIGO Staging Guidelines terakhir kali diperbaharui tahun 2009.

Stadium 0 tidak lagi dimasukkan dalam penentuan stadium FIGO (Wiebe, 2012).
14

Tabel 2.1 Stadium Klinik

SK Deskripsi

I Kanker leher rahim hanya terdapat pada daerah leher rahim (serviks).

IA Kanker invasif didiagnosis melalui mikroskopik (menggunakan mikroskop), dengan penyebaran

sel tumor mencapai lapisan stroma tidak lebih dari kedalaman 5 mm dan lebar 7mm.

IA1 Invasi lapisan stroma sedalam 3 mm atau kurang dengan lebar 7 mm atau kurang.

IA2 Invasi stroma antara 3- 5 mm dalamnya dan dengan lebar 7 mm atau kurang.

IB Tumor yang terlihat hanya terdapat pada leher rahim atau dengan pemeriksaan mikroskop lebih

dalam dari 5 mm dengan lebar 7 mm.

IB1 Tumor yang terlihat sepanjang 4 cm atau kurang.

IB2 Tumor yang terlihat lebih panjang dari 4 cm.

II Kanker meluas keluar dari leher rahim namun tidak mencapai dinding pelvis. Penyebaran

melibatkan vagina 2/3 bagian atas.

IIA Menyebar ke vagina 2/3 bagian atas. Tidak terlihat penyebaran jelas di parametrium.

IIA1 Tumor yang tampak berukuran ≤4cm

IIA2 Tumor yang tampak berukuran >4cm

IIB Menyebar ke parametrium tetapi tidak sampai ke dinding pelvis

III Kanker meluas sampai ke dinding samping pelvis dan melibatkan 1/3 vagina bagian bawah.

Stadium III mencakup kanker yang menghambat proses berkemih sehingga menyebabkan

timbunan air seni di ginjal dan berakibat gangguan ginjal.

IIIA Kanker melibatkan 1/3 bagian bawah vagina namun tidak meluas sampai dinding pelvis.

IIIB Kanker meluas sampai dinding pelvis yang menyebabkan gangguan berkemih sehingga berakibat

gangguan ginjal.

IV Tumor menyebar sampai ke kandung kemih atau rectum, atau meluas melampaui pelvis.

IVA Kanker menyebar ke kandung kemih atau rectum.

IVB Kanker menyebar ke organ yang jauh.

Sumber: FIGO Committee on Gynecologic Oncology (FIGO, 2009).


15

2.8 Kriteria Diagnosis

Kriteria diagnosis yang diterapkan di RSUP Sanglah menurut Buku Pedoman

Diagnosis, Terapi dan Bagan Alur Pelayanan Pasien tahun 2003 adalah sebagai

berikut:

2.8.1 Gejala klinis

Untuk menegakkan diagnosis, hal pertama yang dilakukan adalah anamnesis

keluhan pasien dengan memperhatikan faktor risiko. Tidak semua pasien

mengeluhkan hal yang sama, bahkan ada yang tanpa keluhan. Keluhan yang dapat

dicurigai sebagai faktor risiko kanker serviks adalah sebagai berikut:

 Keputihan,

 Perdarahan pervaginam abnormal,

 Perdarahan post koital,

 Perdarahan pasca menopause,

 Gangguan kencing dan defekasi,

 Nyeri daerah pelvis, pinggang/punggung, dan tungkai,

 Keluhan-keluhan lain sesuai dengan penyebaran penyakit.

2.8.2 Pemeriksaan fisik umum

Pada pemeriksaan fisik umum biasanya terdapat pembesaran kelenjar limfe supra

klavikula dan inguinal. Selain itu bisa juga terdapat pembesaran liver, ascites, dan

atau lain-lain sesuai dengan organ yang terkena.

2.8.3 Pemeriksaan ginekologi

Pemeriksaan Ginekologi dibagi menjadi 2, yaitu sebagai berikut:

1) Vaginal toucher
16

 Vagina: fluor, fluksus, dan tanda-tanda penyebaran/infiltrasi pada

vagina.

 Porsio: berdungkul, padat, rapuh, dengan ukuran bervariasi, eksofitik

atau endofitik.

 Korpus uteri: normal atau lebih besar, kalau diperlukan dilakukan

sondase untuk konfirmasi besar dan arah uterus apakah terjadi

piometra dan hematometra.

 Adneksa/ parametrium: tanda-tanda penyebaran, teraba kaku/ padat,

apakah terdapat tumor.

2) Rectal toucher

 Menilai penyebaran penyakit ke arah dinding pelvis yaitu Cancer

Free Space (CFS), yaitu merupakan daerah bebas antara tepi lateral

serviks dengan dinding pelvis dengan kriteria sebagai berikut:

o CFS 100% :belum ada tanda-tanda penyebaran.

o CFS 25-100% :penyebaran belum mencapai dinding pelvis.

o CFS 0% :penyebaran mencapai dinding pelvis.

2.8.4 Pemeriksaan penunjang

Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan adalah pap smear sebagai skrining,

biopsi dengan/tanpa tuntunan kolposkopi, konisasi, tes fungsi ginjal, hati, dan

organ lainnya. Selain itu dapat juga dilakukan pemeriksaan lain sesuai dengan

keperluan, seperti foto toraks, USG ginjal/abdomen, IVP, sistoskopi, CT scan, dan

rektoskopi.
17

2.9 Penatalaksanaan

Penatalaksanaan yang tercantum adalah penatalaksanaan kanker serviks di RSUP

Sanglah berdasarkan Buku Pedoman Diagnosis, Terapi dan Bagan Alur Pelayanan

Pasien tahun 2003.

Gambar 2.3 Skema Penatalaksanaan Kanker Serviks

(Buku Pedoman Diagnosis, Terapi dan Bagan Alur Pelayanan Pasien, 2003)
18

Catatan:

1) Terapi radiasi dapat diberikan pada setiap stadium

2) Paliatif anti nyeri selain untuk pasien stadium invasif-lanjut juga dapat

diberikan pada setiap stadium sesuai dengan keluhan.

3) Pada kanker serviks stadium IB ke atas dengan kehamilan diberikan

khemoterapi neo-adjuvant setelah dilakukan KIE kepada pasien, suami,

dan keluarga.

Anda mungkin juga menyukai