Anda di halaman 1dari 37

MAKALAH PRAGMATIK

Tentang

Tindak Tutur Lokusi beserta Contoh Penerapannya dan Tindak Tutur Ilokusi
beserta Contoh Penerapannya

Disusun Oleh

Kelompok 2 E

Feren Sefiyanti 17129209

Lea Rosna Fatmawati

Novelia Iswara

Novia Dwi Rafelma

Novia Wulandari Kamil

Yulia Ratni Sari

Dosen Pengampu: Dr. Taufina,M.Pd

PENDIDIKAN GURU SEKOLAH DASAR

FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS NEGERI PADANG

2020
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis ucapkan kehadirat Allah SWT, yang telah
menjadikan manusia sebagai makhluk sempurna yang dilengkapi dengan akal
pikiran, supaya manusia mampu memanfaatkannya untuk memenuhi kebutuhan
hidup. Kemudian shalawat beserta salam penulis sampaikan kepada Nabi
Muhammad SAW selaku utusan Allah SWT yang bertugas untuk menyampaikan
risalah-Nya sebagai petunjuk dan peringatan untuk manusia.

Penulisan makalah ini menjadi suatu bahan bagi penulis untuk memenuhi
salah satu tugas mata kuliah Psikolinguistik. Secara khusus akan membahas
mengenai “Tindak Tutur Lokusi beserta Contoh Penerapannya dan Tindak Tutur
Ilokusi beserta Contoh Penerapannya”. Penulis telah berusaha maksimal untuk
membuat makalah ini, walaupun masih ada beberapa kekurangan. Pada
kesempatan ini, penulis tidak lupa menyampaikan rasa terima kasih kepada pihak
yang telah berkontribusi baik langsung maupun tidak langsung dalam
penyelesaian makalah ini terutama kepada:

1. Dr. Taufina., M.Pd. selaku dosen pembimbing yang telah memberikan


arahan dalam proses perkuliahan.
2. Teman-teman dalam kelompok yang sudah bekerja keras mengerjakan
tugas ini serta pihak-pihak lain yang tidak dapat disebutkan satu persatu.

Penulis mengharapkan kritik dan saran demi kemajuan penulis dimasa


mendatang. Semoga makalah ini dapat memberikan manfaat kepada semua pihak,
baik yang terkait secara langsung maupun tidak langsung.

Akhir kata, semoga Allah SWT selalu memberikan kekuatan dan memberkahi
semua amal baik yang telah kita perbuat. Amin.

Padang, 12 September 2020

Tim Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PEGANTAR ............................................................................. i


DAFTAR ISI ......................................................................................... ii

I PENDAHULUAN
a. Latar Belakang .................................................................
b. Rumusan Masalah .................................................................
c. Tujuan Penulisan .................................................................

II PEMBAHASAN
A. Tindak Tutur Lokusi beserta Contoh Penerapannya ..................
B. Tindak Tutur Ilokusi beserta Contoh Penerapannya...................

III PENUTUP
A. Kesimpulan .................................................................................
B. Saran ...........................................................................................

DAFTAR RUJUKAN …………………………………………….......

ii
BAB I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Bahasa merupakan alat interaksi sosial atau alat komunikasi. Dalam setiap
komunikasi manusia saling menyampaikan informasi. Bahasa biasanya selalu
muncul dalam bentuk tindakan atau tingkah tutur seseorang. Karena itu setiap
telaah struktur bahasa harus dimulai dari pengkajian tindak tutur. Tindak tutur
merupakan perwujudan konkret fungsi-fungsi bahasa yang merupakan pijakan
analisis pragmatik.
Dalam tindak tutur ini terdapat beberapa hal yang harus diketahui yaitu
tindak tutur lokusi, tindak tutur ilokusi dan tindak tutur perlokusi. Namun dalam
makalah ini kami hanya akan menjabarkan tindak tutur lokusi dan tindak tutur
ilokusi saja. Untuk lebih jelasnya penulis akan menjabarkannya dalam makalah
yang telah penulis buat.

B. Rumusan Permasalahan 
1. Bagaimana Tindak Tutur Lokusi beserta Contoh Penerapannya?
2. Bagaimana Tindak Tutur Ilokusi beserta Contoh Penerapannya?

C. Tujuan
1. Untuk mengetahui tindak tutur lokusi beserta contoh penerapannya.
2. Untuk mengetahui tindak tutur ilokusi beserta contoh penerapannya.

1
BAB II. PEMBAHASAN

A. Tindak Tutur Lokusi beserta Contoh Penerapannya


1. Tindak Tutur Lokusi

Bahasa memainkan peran penting dalam bagaimana kita berpikir


tentang makna, yang abstrak sekalipun. Bahasa adalah sesuatu yang
terstruktur sedemikian rupa hingga memungkinkan kita mengutarakan hal
yang abstrak. Disiplin ilmu linguistic, bersama dengan psikologi, filsafat dan
ilmu computer membentuk suatu subdisiplin dalam ilmu kognitif. Kalimat
dalam sebuah bahasa adalah alat bagaimana kita dapat mengekspresikan
proses berpikir abstrak. Telaah tentang kalimat merupakan fondasi atau batu
loncatan untuk memahami bagaimana orang berkomunikasi dan berinteraksi
satu sama lain (Hidayat, 2018).

Menurut Djardjowidjojo (2012:283) “Bahasa adalah sebuah sistem


simbol lisan yang arbitrer yang dipakai oleh anggota suatu masyarakat bahasa
untuk berkomunikasi dan berinteraksi antar sesamanya, berlandaskan pada
budaya yang mereka miliki bersama.” Sejalan dengan pendapat tersebut Chaer
(2010:2003) menyatakan bahwa bahasa adalah sebuah sistem artinya bahasa
itu dibentuk oleh sejumlah komponen yang berpola secara tetap dan dapat
dikaidahkan.

Menurut Amri (2015:2) “Bahasa adalah alat komunikasi yang


digunakan sesama manusia dalam berinteraksi melalui pertukaran simbol-
simbol linguistik baik verbal maupun nonverbal.” Bahasa sebagai media
komunikasi agar lebih mudah dipahami oleh pihak lain karena dapat
mentransmisikan informasi dengan menggunakan simbol-simbol bahasa/

Dalam berbagai pengertian tentang bahasa tersebut dapat diuraikan


pengertian bahasa menjadi beberapa poin yang mengacu pada makna bahasa,
yakni:

2
a. Bahasa adalah sebuah sistem dalam artian bahwa bahasa itu bukanlah
sejumlah unsur yang terkumpul secaratak beraturan unsure bahasa
diatur seperti pola-pola yang berulang yang membentuk suatu makna.
Sifat tersebut dapat dijabarkan lebih jauh lagi dengan mengatakan
bahwa itu sistemis dan sistematis.
b. Bahasa merupakan system tanda dan sistem bunyi. Tanda adalah
halatau benda yang mewakili sesuatu atau hal yang menimbulkan
reaksi yang sama bila orang menanggapi apa yang diwakilinya
tersebut.
c. Bahasa bersifat produktif dan unik, produktif disini berartibahwa
bahasa sebagai suatu system dari unsur- unsur yang jumlahnya terbatas
tetapi dapat dipakai secara tidak terbatas oleh pemakainya.
d. Bahasa bersifat universal. Hal tersebut dikarenakan adanya persamaan
sifat-sifat bahasa
e. Bahasa merupakan sarana untuk komunikasi dan bekerjasama. Bahasa
merupakan sarana berkomunikasi antar manusia, tanpa bahasa tiada
komunikasi dan sebagai sarana komunikasi makasegala yang berkaitan
dengan komunikasi tidak lepas dari bahasa. Dengan kemampuan
kebahasaan akan terbentang luas cakrawala berfikir manusia dan tiada
batas dunia baginya.
f. Bahasa adalah alat untuk mengidentifikasikan dirinya dalam suatu
kelompok sosial. Bagi kelompok sosial bahasa tidak hanya sekedar
merupakan sistem tanda melainkan sebagai lambang identitas sosial
dan bahasa merupakan ciri pembeda yang paling menonjol, karena
dengan bahasa tiap kelompok sosial merasa dirinya sebagai kesatuan
yang berbeda dari kelompok yang lain, misalnya: bahasa hindi dan
urdu sebenarnya merupakan suatu bahasa tetapi oleh pemakainya
dianggap dua bahasa yang menandai dua kelompok yang berbeda.

3
2. Hakikat Pikiran
Pikiran berasal dari kata dasar pikir. Menurut Kamus Besar Bahasa
Indonesia pikir  artinya akal budi ; ingatan; angan-angan; kata dalam hati;
kira, kemudian mendapat sufiks –an menjadi kata pikiran. Berpikir adalah
aktivitas mental manusia. Dalam proses berpikir kita merangkai-rangkaikan
sebab akibat, menganalisinya dari hal-hal yang khusus atau atau kita
menganalisisnya dari hal-hal yang khusus ke yang umum. Berpikir berarti
merangkai konsep-konsep. Kridalaksana (dalam Aditawarman,2019:23)
Pikiran adalah proses pengolahan stimulus yang berlangsung dalam domain
representasi utama.
Proses berpikir dilalui dengan tiga langkah yaitu:
a. Pembentukan pikiran. Pada pembentukan inilah manusia
menganalisis ciri-ciri dari sejumlah objek.
b. Pembentukan pendapat. Pada pembentukan pendapat ini seseorang
meletakkan hubungan antara dua buah pengertian atau lebih yang
dinyatakan dalam bentuk bahasa yang disebut kalimat.
Pembentukan pendapat dibedakan menjadi tiga bagian, yaitu
pendapat positif (pendapat yang mengiakan sesuatu), pendapat
negatif (pendapat yang tidak menyetujui sesuatu) dan pendapat
modalitas (pendapat yang memungkinkan sesuatu).
c. Penarikan kesimpulan. Penarikan kesimpulan meliputi: kesimpulan
induktif, deduktif, dan analogis (perbandingan).

3. Hubungan Bahasa dengan Pikiran


Pikiran manusia pada hakikatnya selalu mencari dan berusaha untuk
memperoleh kebenaran. Karena itu pikiran merupakan suatu proses. Dalam
proses tersebut haruslah diperhatikan kebenaran untuk dapat berpikir logis.
Kebenaran ini hanya menyatakan serta mengandalkan adanya jalan, cara,
teknik serta hukum-hukum yang perlu diikuti. Semua itu dirumuskan dalam
logika.

4
Ada beberapa teori yang menjelaskan tentang hubungan bahasa dan
berpikir, di antaranya (Chaer, 2003: 51):
a. Teori Wihelm van Humboldt Wilhelm van Humboldt
Sarjana Jerman abad ke-15 menekankan adanya
ketergantungan pemikiran manusia pada bahasa. Maksudnya,
pandangan hidup dan budaya suatu masyarakat ditentukan oleh
bahasa masyarakat itu sendiri. Anggota-anggota masyarakat itu
sendiri tiada dapat menyimpang dari garis-garis yang telah
ditentukan oleh bahasanya itu. Kalau salah seorang dari anggota
masyarakat ingin mengubah pandangan hidupnya, maka dia harus
mempelajari dulu satu bahasa lain itu. Maka dengan demikian dia
akan menganut cara berpikir dan juga budaya masyarakat lain.
Mengenai bahasa itu sendiri, Wilhelm van Humboldt
berpendapat bahwa substansi bahasa terdiri dari dua bagian.
Bagian pertama berupa bunyi-bunyi, dan bagian lainnya berupa
pikiran-pikiran yang belum terbentuk. Bunyi-bunyi dibentuk oleh
lautformdan pikiran-pikiran dibentuk oleh ideenform atau
innereform. Jadi bahasa menurut Wilhelm van Humboldt
merupakan sintesa dari bunyi (lautform) dan pikiran (ideenform).
Dari keterangan di atas dapat disimpulkan bahwa bunyi
bahasa merupakan bentuk luar, sedang pikiran adalah bentuk
dalam. Bentuk luar bahasa itulah yang kita dengar, sedangkan
bentuk dalam bahasa berada dalam otak. Kedua bentuk inilah yang
membelenggu manusia, dan menentukan cara berpikirnya. Dengan
kata lain Wilhelm Van Humboldt berpendapat bahwa struktur
suatu bahasa menyatakan kehidupan dalam otak dan pemikiran
penutur bahasa itu sendiri.

5
b. Teori Sapir-Whorf Edward Sapir (1884-1939)
Linguis Amerika memiliki pendapat yang hampir sama
dengan Van Humboldt. Sapir mengatakan bahwa manusia hidup di
dunia ini di bawah belas kasih bahasanya yang telah menjadi alat
pengantar dalam kehidupan bermasyarakat. Menurutnya, telah
menjadi fakta bahwa kehidupan suatu masyarakat “didirikan” di
atas tabiat-tabiat dan sifat-sifat bahasa itu. Karena itulah tidak ada
dua bahasa yang sama sehingga bisa mewakili satu masyarakat
yang sama. Setiap Bahasa satu masyarakat telah mendirikan satu
dunia tersendiri untuk penutur bahasa itu. Jadi, berapa banyak
manusia yang hidup di dunia ini sama dengan banyaknya jumlah
bahasa yang ada di dunia ini. Dengan demikian, Sapir menegaskan
bahwa apa yang kita dengar, kita lihat, kita alami dan kita perbuat
saat ini adalah disebabkan oleh sifat-sifat/tabiat-tabiat bahasa yang
ada terlebih dahulu.
Menurut Benjamin Lee Worf (1897-1941), murid Sapir,
sistem tata bahasa bukan hanya alat untuk menyuarakan ide-ide,
tetapi juga sebagai pembentuk ide-ide itu, program kegiatan mental
dan penentu struktur mental seseorang. Dengan kata lain,
bahasalah yang menentukan jalan pikiran seseorang. Sesudah
meneliti bahasa Hopi, salah satu bahasa Indian di California
Amerika Serikat, dengan mendalam Whorf mengajukan satu
hipotesa yang lazim disebut Hipotesa Whorf (atau Hipotesa Sapir-
Whorf) mengenai relativitas bahasa. Menurut hipotesa ini, bahasa-
bahasa yang berbeda membongkar alam ini dengan cara yang
berbeda, sehingga terciptalah konsep relativitas sistem-sistem
konsep yang tergantung kepada bahasa yang beragam itu. Tata
bahasa itu bukan alat untuk mengeluarkan ide-ide, tetapi
merupakan pembentuk ide-ide itu. Tata bahasalah yang
menentukan jalan pikiran seseorang. Berdasarkan hipotesis Sapir-

6
Whorf itu dapatlah dikatakan bahwa pandangan hidup bangsa-
bangsa di Asia (Indonesia, Malaysia, Singapura, Thailand, dan
lain-lain) adalah sama karena bahasa-bahasa mereka memiliki
struktur bahasa yang sama. Sedangkan pandangan hidup bangsa-
bangsa lain seperti China, Jepang, Amerika, Eropa, Afrika,
Perancis, Brazil adalah berlainan karena struktur bahasanya
berlainan. Untuk menjelaskan hal itu Whorf membandingkan
kebudayaan Hopi dan kebudayaan Eropa. Kebudayaan Hopi
diorganisasi oleh peristiwa-peristiwa (event), sedangkan
kebudayaan Eropa diorganisasi oleh ruang (space) dan waktu
(time). Menurut kebudayaan Hopi kalau satu bibit ditanam maka
bibit itu akan tumbuh, jarak waktu dan tempat tumbuhnya tidaklah
penting, yang penting adalah peristiwa menanamnya dan
tumbuhnya bibit itu, sedangkan menurut kebudayaan Eropa jangka
wakatu itulah yang penting. Menurut Whorf, inilah bukti bahwa
bahasa mereka telah menggariskan realitas hidup dengan cara yang
berlainan (Chaer, 2003: 51).

c. Teori Jean Piaget


Untuk menentukan apakah bahasa terkait dengan pikiran,
Piaget berpendapat bahwa ada dua macam modus pikiran, yaitu
pikiran terarah (directed) atau pikiran intelegen (Intelegent) dan
pikiran tak terarah atau autistik (autistic) (Dardjowidjojo, 2012).
Piaget yang mengembangkan teori pertumbuhan kognisi
menyatakan jika seorang anak bisa menggolong-golongkan
sekumpulan benda dengan cara yang berlainan, sebelum
menggunakan kata- kata yang serupa dengan benda tersebut, maka
perkembangan kognisi dapat diterangkan telah terjadi sebelum dia
dapat berbahasa. Menurut teori ini mempelajari segala sesuatu
mengenai dunia adalah melalui tindakan-tindakan dan perilakunya

7
dan setelah itu melalui bahasa. Perilaku kanak-kanak itu
merupakan manipulasi dunia pada satu waktu dan tempat tertentu
dan bahasa merupakan alat untuk memberikan kemampuan kepada
kanak-kanak untuk beranjak ke arah yang lebih jauh dari waktu
dan tempat tertentu.
Mengenai Hubungan Bahasa dengan kegiatan intelek
(berpikir), Piaget menemukan dua hal penting, yaitu:
1) Sumber kegiatan intelek tidak terdapat dalam bahasa tetapi
dalam periode sensomotorik, yaitu satu sistem skema yang
dikembangkan secara penuh dan membuat lebih dahulu
gambaran-gambaran dari aspek-aspek struktur dan bentuk-
bentuk dasar penyimpanan dan oprasi pemakaian kembali.
2) Pembentukan pikiran yang tepat dikemukakan dan
terbentuk terjadi bersamaan dengan waktu pemerolehan
bahasa. Keduanya milik proses yang lebih umum, yaitu
konstitusi fungsi lambang pada umumnya. Awal terjadinya
fungsi lambang ini ditandai oleh bermacam-macam
perilaku yang terjadi serentak perkembangannya. Piaget
juga menegaskan bahwa kegiatan intelek (berpikir)
sebenarnya adalah aksi atau perilaku yang telah
dinuranikan dalam kegiatan-kegiatan sensomotorik
termasuk juga perilaku bahasa (Chaer, 2003: 55).

d. Teori L.S Vgotsky Vgotsky


Berpendapat bahwa adanya satu tahap perkembangan
bahasa adalah sebelum adanya pikiran dan adanya satu tahap
perkembangan pikiran adalah sebelum adanya bahasa. Kemudian
kedua garis perkembangan ini saling bertemu, maka terjadilah
secara serentak pikiran berbahasa dan bahasa berpikir. Dengan
kata lain, pikiran dan bahasa pada tahap permulaan berkembang

8
secara terpisah dan tidak saling mempengaruhi. Begitulah kanak-
kanak berpikir dengan menggunakan bahasa dan berbahasa dengan
menggunakan pikiran.
Menurutnya pikiran berbahasa (verbal thought)
berkembang melalui beberapa tahap. Mula-mula kanak-kanak
harus mengucapkan kata-kata untuk dipahami kemudian bergerak
ke arah kemampuan mengerti atau berpikir tanpa mengucapkan
kata-kata itu, lalu ia bisa memisahkan kata-kata yang berarti dan
yang tidak berarti. Selanjutnya Vgotsky menjelaskan hubungan
antara pikiran dan bahasa bukanlah suatu benda, melainkan
merupakan suatu proses, satu gerak yang terus menerus dari
pikiran ke kata (bahasa) dan dari kata ke pikiran.
Menurutnya juga dalam mengkaji gerak pikiran ini kita
harus mengkaji dua bagian ucapan yaitu ucapan dalam mempunyai
arti yang merupakan aspek semantik ucapan, dan ucapan luar yang
merupakan aspek fonetik (bunyi ucapan). Penyatuan dua bagian
atau aspek ini, sangat rumit dan kompleks. Dalam perkembangan
bahasa kedua bahagian ini masing-masing bergerak bebas. Oleh
karena itu, kita harus membedakan antara aspek fonetik dan aspek
semantik. Keduanya bergerak dalam arah yang bertentangan dan
perkembangan keduanya sudah terjadi pada waktu dan dengan cara
yang sama. Namun, bukan berarti keduanya tidak saling
bergantung. Satu pikiran kanak-kanak pada mulanya merupakan
satu keseluruhan yang tidak samar dan harus mencari ekspresinya
dalam bentuk satu kata. Setelah pikiran kana-kanak itu mulai
terarah dan meningkat, maka dia mulai kurang cenderung untuk
menyampaikan pikiran itu yang mulai membentuk satu kalimat
lengkap. Sebaliknya, ucapan bergerak dari satu keseluruhan
kalimat lengkap, hal ini menolong pikiran kanak-kanak untuk
bergerak dari satu keseluruhan kepada bagian-bagian yang

9
bermakna. Pikiran dan kata menurut Vgotsky tidak dipotong dari
satu pola. Struktur ucapan tidak hanya mencerminkan tetapi juga
mengubahnya setelah pikiran beerubah menjadi ucapan. Karena
itulah kata-kata tidak dapat dipakai oleh pikiran seperti memakai
baju yang sudah siap. Pikiran tidak hanya mencari ekspresinya
dalam ucapan tetapi juga mendapatkan realitas dan bentuknya
dalam ucapan itu.

e. Teori Noam Chomsky


Mengenai hubungan berbahasa dan berpikir Noam
Chomsky mengajukan kembali teori klasik yang disebut hipotesis
nurani. Sebenarnya, teori ini tidak secara langsung membicarakan
gabungan bahasa dengan berpikir, tetapi kita dapat menarik
kesimpulan mengenai hal ini, karena Chomsky sendiri menegaskan
bahwa pengkajian bahasa membukakan perspektif yang baik dalam
pengkajian proses mental manusia. Hipotesis nurani mengatakan
bahwa struktur bahasa-bahasa dalam adalah nurani. Artinya,
rumus-rumus itu dibawa sejak lahir. Pada waktu seorang kanak-
kanak mulai mempelajari bahasa ibu dia telah dilengkapi sejak
lahir dengan satu peralatan konsep, yaitu dengan struktur bahasa
dalam yang bersifat universal. Peralatan konsep ini tidak ada
hubungannya dengan belajar atau pembelajaran.
Menurut Chomsky bahasa-bahasa yang ada di dunia ini
adalah sama karena didasari oleh satu sistem yang universal,
hanyalah pada tingkat dalamnya saja yang disebut struktur dalam
(deep structure). Pada tingkat luar (surface structure) bahasa-
bahasa itu berbeda-beda. Pada tingkat dalam, bahasa-bahasa itu
terdapat rumus-rumus tata bahasa yang mengatur proses-proses
untuk memungkinkan aspek-aspek kreatif bahasa bekerja.
Chomsky mengistilahkan dengan dengan inti prooses generative

10
bahasa (aspek kreatif) terdapat pada tingkat dalam ini. Inti proses
generative inilah yang merupakan alat semantik untuk
menciptakan kalimat-kalimat baru yang tidak terbatas jumlahnya.
Hipotesis ini juga berpendapat bahwa struktur-struktur dalam
bahasa adalah sama. Struktur dalam setiap bahasa bersifat otonom
dan karena itu tidak ada hubungannya dengan sistem kognisi
(pemikiran dan kecerdasan).

f. Teori Eric Lenneberrg


Berkenaan dengan masalah hubungan berbahasa dan
berpikir, Eric Lenneberrg mengajukan teori yang disebut teori
kemampuan bahasa khusus. Menurutnya, banyak bukti yang
menunjukkan bahwa manusia menerima warisan biologis asli
berupa kemampuan berkomunikasi dengan menggunakan bahasa
khusus untuk manusia dan yang tidak ada hubungannya dengan
kecerdasan dan pemikiran. Kanak-kanak menurutnya telah
mempunyai biologi utnuk berbahasa pada waktu mereka masih
berada pada tingkat kemampuan berpikir yang rendah, kemampuan
bercakap, dan memahami kalimat yang mempunayi korelasi
rendah dengan IQ manusia.
Penelitian yang dilakukan oleh Lenneberrg telah
menunjukkan bahwa bahasa-bahasa berkembang dengan cara yang
sama pada kanak-kanak yang cacat mental dan kanak-kanak yang
normal. Umpamanya kanak-kanak yang mempunyai IQ hanya 50
ketika berusia 12 tahun dan lebih kurah 30 ketika berumur 20
tahun juga mampu menguasai bahasa dengan baik, kecuali sesekali
terjadi kesalahucapan dan kesalahan tata bahasa. Menurutnya,
adanya cacat kecerdasan yang parah tidak berarti akan terjadi pula
kerusakan bahasa. Sebaliknya adanya kerusakan bahasa tidak
berarti akan menimbulkan kemampuan kognitif yang rendah. Bukti

11
bahwa manusia telah dipersiapkan secara biologis adalah sebagai
berikut:
1) Kemampuan berbahasa sangat erat hubungannya dengan
bagian-bagian anatomi dan fonologi manusia, seperti
bagian-bagian otak tertentu yang mendasari bahasa.
2) Jadwal perkembangan bahasa yang sama berlaku bagi
semua kanak-kanak normal. Semua kanak-kanak bisa
dikatakan mengikuti strategi dan waktu pemerolehan
bahasa yang sama, yaitu lebih dahulu menguasai prinsip-
prinsip pembagian dan pola persepsi.
3) Perkembangan bahasa tidak dapat dihambat meskipun pad
kanak-kanak yang mempunyai cacat tertentu seperti buta,
tuli atau memiliki orang tua pekak sejak lahir. Namun,
bahasa kanak-kanak ini dapat berkembang dengan hanya
sedikit keterlambatan.
4) Bahasa tidak dapat diajarkan pada makhluk lain.
5) Setiap bahasa didasarkan pada prinsip semantik, sintaksis
dan fonologi.

g. Teori Brunner
Berkenaan dengan masalah hubungan bahasa dan berpikir,
Brunner memperkenalkan teori yang disebutnya teori
instrumentalisme. Menurut teori ini, bahasa adalah alat pada
manusia untuk mengembangkan dan menyempurnakan pemikiran
itu. Dengan kata lain, bahasa dapat membantu pemikiran manusia
supaya dapat berpikir lebih sistematis. Brunner berpendapat bahwa
berbahasa dan berpikir berkembang dari sumber yang sama. Oleh
karena itu, keduanya mempunyai bentuk yang sangat serupa dan
saling membantu. Dalam bidang pendidikan, implikasi teori
Brunner ini sangat besar.

12
Chaer (2003: 59-60) menurut teori ini bahasa sebagai alat
untuk berpikir harus berhubungan langsung dengan perilaku atau
aksi serta dengan struktur pada tingkat permulaan. Lalu pada
peringkat selanjutnya bahasa ini harus berkembang kearah suatu
bentuk yang melibatkan keekplisitan yang besar dan ketidak
ketergantungan pada konteks, sehingga pikiran-pikiran atau
kalimat-kalimat dapat ditafsirkan atau dipahami tanpa pengetahuan
situasi sewaktu kalimat itu diucapkan, atau tanpa mengetahui
situasi yang mendasari maksud dan tujuan si penutur. Dengan
bahasa sebagai alat kita dapat melakukan aksi kearah yang lebih
jauh lagi sebelum aksi itu terjauh. Dengan cara yang sama pikiran
juga berguna untuk membantu terjadinya aksi karena pikiran juga
dapat membantu peta-peta kognitif mengarah kepada sesuatu yang
akan ditempuh untuk mencari tujuan.
Jadi, pada mulanya berbahasa dan berpikir muncul secara
bersamaan untuk mengatur aksi manusia. Selanjutnya keduanya
saling membantu. Dalam hal ini pikiran memakai elemen
hubungan-hubungan yang dapat digabungkan untuk membimbing
aksi yang sebenarnya, sedangkan bahasa menyediakan representasi
produser-produser untuk melaksanakan aksi-aksi itu. Di samping
adanya dua kecakapan yang melibatkan bahasa, yaitu kecakapan
linguistik dan kecakapan komunikasi, teori Bruner ini juga
memperkenalkan adanya kecakapan analisis yang dimiliki oleh
setiapa manusia yang berbahasa. Kecakapan analisis inilah yang
memungkinkan tercapainya peringkat abstrak yang berbeda-beda.
Misalnya, yang memungkinkan seorang anak beranjak lebih jauh
dari apa yang ada di hadapannya. Kecakapan analisis jugalah yang
memungkinkan seseorang untuk mengalihkan perhatian dari yang
satu kepada yang lainnya.

13
4. Proses Berbahasa

Bahasa merupakan salah satu prilaku dari kemampuan manusia,sama


dengan kemampuan dan prilaku untuk berfikir, bercakap-cakap,bersuara,
ataupun bersiul. Berbahasa ini merupakan kegiatan dan prosesmemahami
menggunakan isyarat komunikasi yang disebut bahasa.Berbahasa merupakan
gabungan berurutan antara dua proses yaitu prosesproses produktif dan
reseptif. Proses produktif berlangsung pada diripembicara yang menghasilkan
kode-kode bahasa yang bermakna danberguna. Sedangkan proses reseptif
berlangsung pada diri pendengaryang menerima kode-kode bahasa yang
bermakna dan berguna yangdisampaikan oleh pembicara melalui alat-alat
artikulasi dan diterimamelalui alat-alat pendengaran. Proses produksi disebut
encode sedangkan proses penerimaan, perekaman, dan pemahaman disebut
dekode.

Proses rancangan berbahasa produktif dimulai dengan encodesemantic


yaitu proses penyusunan konsep, ide, atau pengertian.Dilanjutkan dengan
encode gramatikal yaitu penyusunan konsep atauide tersebut dalam bentuk
satuan gramatikal. Selanjutnya diteruskandengan encode fonologi yaitu
penyusunan unsure bunyi dari kode tersebut. Proses encode tersebut terdapat
dalam otak pembicara kecuali representasi fonologi.

Kemudian proses dekode dimulai dengan dekode fonologi yaitu


penerimaan unsur-unsur bunyi melalui telinga pendengar.
Kemudiandilanjutkan dengan proses dekode gramatikal yaitu pemahaman
bunyiitu sebagai satuan gramatikal lalu diakhiri dengan proses dekode
semantic yaitu pemahaman akan kosep-konsep atau ide-ide yang dibawa oleh
kode-kode tersebut. Proses dekode ini terjadi dalam otak pendengar.
Prosesenkode dan proses dekode dari pesan, amanat, atau perasaan
tersebutterangkum dalam suatu konsep yang disebut proses komunikasi.
Proseskomunikasi itu sejatinya tidak akan terbentuk tanpa adanya kompetensi

14
komunikatif (communicative competence) dari setiap individu untuk
melakukan komunikasi. Karena bagaimanapun kompetensi komunikatif
tersebut merupakan unsur penting dalam kaitannya untuk bisamentransfer
pesan dari otak kemudian memaknainya untuk bisa digunakannya dalam
komunikasi sehingga dapat dipahami oleh orang lain dalam suatu interaksi
komunikatif.

Jadi, proses produktif dimulai dengan tahap memunculkan


ide,gagasan, perasaan, atau segala yang ada dalam pemikiran
seorangpembicara. Tahap awal ini disebut sebagai tahap idealisasi
yangdilanjutkan oleh tahap pemilikan bentuk-bentuk bahasa
untukmenampung gagasan, ide atau perasaan yang akan
disampaikan.Perencanaan ini meliputi komponen bahasa sitaksis, semantic,
danfonologi. Berikutnya adalah tahap pelaksanaan atau aplikasi yang
manapada tahap ini secara psikologis orang akan melahirkan kode-kode
verbalatau secara linguistic orang melahirkan arus ujaran.Sedangkan proses
reseptif dimulai dengan tahap recognisi atau pengenalan akan arus ujaran
yang disampaikan. Mengenal (recognisi) berarti menimbulkan kembali kesan
yang pernah ada. Tahapan inidilanjutkan dengan tahap identifikasi yaitu
proses mental yang dapat membedakan bunyi yang kontrastif, frase, kalimat,
teks, dan sebagainya.Setelah tahap identifikasi tersebut maka sampailah pada
tahappemakaian sebagai akhir dari proses berbahasa.

Dari uraian diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa berbahasa dalam


arti komunikasi dimulai dengan membuat encodesemantic dan encode
gramatikal di dalam otak pembicara dilanjutkandengan membuat encode
fonologi, diteruskan dengan penyusunandecode fonologi, decode gramatikal,
dan decode semantic padapendengar yang terjadi di dalam otaknya. Dengan
kata lain berbahasaadalah penyampaian pikiran atau perasaan dari orang lain
yang berbicaramengenai masalah yang dihadapi dalam kehidupan budayanya.

15
B. Bahasa dalam Kajian Internal

Sebagai alat komunikasi dan alat interaksi yang hanya dimiliki oleh
manusia, bahasa dapat dikaji secara internal maupun eksternal. Kajian secara
internal, artinya, pengkajian terhadap bahasa hanya dilakukan pada struktur intern
bahasa itu saja, seperti struktur fonologisnya, struktur morfologisnya atau struktur
sintaksisnya. Kajian secara internal ini akan menghasilkan perian-perian
(penjelasan-penjelasan)  bahasa itu saja tanpa adanya kaitan dengan masalah lain
di luar bahasa.Kajian internal dilakukan dengan teori dan prosedur yang ada
dalam disiplin ilmu linguistik saja.

1. Fonologi
a. Pengertian fonologi
Secara etimologis fonologi berasal dari dua kata Yunani
yaitu phone yang berarti “bunyi” dan logos yang berarti “ilmu”.
Maka pengertian harfiah fonologi adalah “ilmu bunyi”. Fonologi
merupakan bagian dari ilmu bahasa yang mengkaji bunyi. Objek
kajian fonologi yang pertama adalah bunyi bahasa (fon) yang
disebut tata bunyi (fonetik) dan yang kedua mengkaji fonem yang
disebut tata fonem (fonemik). Kedudukan fonologi dalam studi
linguistik adalah sebagai tataran awal yang menjadi syarat mutlak
untuk dapat menguasai dengan baik tataran-tataran berikutnya.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa fonologi
adalah cabang ilmu bahasa (linguistik) yang mengkaji bunyi-bunyi
bahasa, proses terbentuknya dan perubahannya.

b. Fonetik dan Fonemik

Bunyi bahasa dibedakan menjadi dua yaitu, bunyi-bunyi


yang tidak membedakan makna yang disebut dengan fon dan
dikenal dengan sebutan fonetik. Dan bunyi-bunyi yang
membedakan makna yang disebut dengan fonem atau fonemik.

16
a) Fonetik
Chaer (2003:235) mendefinisikan bahwa fonetik adalah
cabang studi fonologi yang mempelajari bunyi bahasa tanpa
memperhatikan apakah bunyi-bunyi tersebut mempunyai
fungsi sebagai pembeda makna atau tidak. Menurut Muaffaq
(2012:75) fonetik adalah ilmu yang mengkaji bunyi bahasa,
yang mencakup produksi, tranmisi, dan presepsi terhadapnya,
tanpa memperhatikan fungsinya sebagai pembeda makna.
Berdasarkan definisi yang dikemukakan para ahli di
atas secara umum dapat dikatakan bahwa fonetik adalah bidang
linguistik yang mempelajari bunyi bahasa baik itu prosesi
terbentuknya, dan bagaimana bunyi diterima oleh telinga
pendengar, tanpa memperhatikan apakah bunyi tersebut
mempunyai fungsi sebagai pembeda makna atau tidak.
Chaer (2003:237) membagi urutan proses terjadinya
bunyi bahasa itu, menjadi tiga jenis fonetik, yaitu:
 Fonetik artikulatoris atau fonetik organis atau fonetik
fisiologi, mempelajari bagaimana mekanisme alat-alat
bicara manusia bekerja dalam menghasilkan bunyi
bahasa serta bagaimana bunyi-bunyi itu
diklasifikasikan.
 Fonetik akustik mempelajari bunyi bahasa sebagai
peristiwa fisis atau fenomena alam (bunyi-bunyi itu
diselidiki frekuensi getaranya, aplitudonya, dan
intensitasnya alam.
 Fonetik auditoris mempelajari bagaimana mekanisme
penerimaan bunyi bahasa itu oleh telinga kita.
Dari ketiga jenis fonetik tersebut yang paling berurusan
dengan dunia lingusitik adalah fonetik artikulatoris, sebab

17
fonetik inilah yang berkenaan dengan masalah bagaimana
bunyi-bunyi bahasa itu dihasilkan atau diucapkan manusia.

b) Fonemik
Menurut Chaer (2003:250-252) fonemik adalah cabang
studi fonologi yang mempelajari bunyi bahasa dengan
memperhatikan fungsi bunyi tersebut sebagai pembeda
makna.Menurut Ahmad Muaffaq bahwa fonemik adalah
cabang studi fonologi yang menyelidiki dan mempelajari bunyi
ujaran/bahasa atau sistem fonem suatu bahasa dalam fungsinya
sebagai pembeda arti.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa Istilah
fonemik dapat didefinisikan sebagai satuan bahasa terkecil
yang bersifat fungsional, artinya satuan fonem memiliki fungsi
untuk membedakan makna.

2. Morfologi
a. Pengertian Morfologi
Chalik (2011:225) mengatakan bahwa secara etimologi
kata morfologi berasal dari kata morf yang berarti bentuk dan
kata logi yang berarti ilmu. Jadi, secara harfiah kata morfologi
berarti ilmu mengenai bentuk. Di dalam kajian linguistik,
morfologi berarti cabang ilmu bahasa yang mengkaji seluk-
beluk bentuk kata dan perubahannya serta dampak dari
perubahan itu terhadap arti (makna). Pada kamus linguistik
pengertian morfologi adalah bidang linguistik yang
mempelajari morfem dan kombinasi-kombinasinya atau bagian
dari struktur bahasa yang mencakup kata dan bagian-bagian
kata yaitu morfem.

18
Berbagai pengertian morfologi tersebut dapat
definisikan arti morfologi yaitu sebagai bagian dari ilmu bahasa
yang mempelajari seluk-beluk kata meliputi pembentukan atau
perubahannya, yang mencakup kata dan bagian-bagian kata
atau morfem. Kajian morfologi merupakn kajian lanjutan
setelah fonologi. Kajian morfologi dapat dilakukan setelah
memahami fonologi dengan baik. Fonologi adalah kajian
bahasa dari bentuk kata. (Suhardi, 2013)
Dengan kata lain, morfologi membahas pembentukan
kata. Morfologi juga dijelaskan sebagai bidang linguistik yang
mempelajari morfem dan kombinasinya. Satuan bahasa dalam
tataran morfologi berupa bentuk-bentuk kebahasaan terkcil
yang lazim disebut morf dan abstraknya disebut morfem.
Konsep morf dan morfem mirip dengan konsep fondan fonem.
Perbedaannya adalah bahwa fondan fonem dalam lingkup bunyi
sedangkan morf dan morfem dalam lingkup bentuk kata.

b. Objek Kajian Morfologi


Objek kajian morfologi adalah satuan-satuan morfologi,
proses-proses morfologi, dan alat-alat dalam proses morfologi
itu. Satuan morfologi adalah morfem (akar atau afiks) dan kata.
Proses morfologi melibatkan komponen, antara lain: komponen
dasar atau bentuk dasar, alat pembentuk (afiks, duplikasi,
komposisi), dan makna gramatika (Chaer, 2003).
1) Satuan morfologi
Satuan morfologi berupa morfem (bebas dan afiks)
dan kata. Morfem adalah satuan gramatikal terkecil yang
bermakna, dapat berupa akar (dasar) dan dapat berupa
afiks. Bedanya, akar dapat menjadi dasar dalam
pembentukan kata, sedangkan afiks tidak dapat, akar

19
memiliki makna leksikal sedangkan afiks hanya menjadi
penyebab terjadinya makna gramatikal. Contoh satuan
morfologi yang berupa morfem dasar yaitu pasah. Adapun
contoh morfem yang berupa afiks yaitu N-, di-, na-, dll.
Kata adalah satuan gramatikal yang terjadi sebagai hasil
dari proses morfologis. Apabila dalam tataran morfologi,
kata merupakan satuan terbesar, akan tetapi dalam tataran
sintaksis merupakan satuan terkecil.

Berdasarkan jenisnya, morfem terbagi dalam dua


jenis yaitu morfem bebas dan morfem terikat.
a) Morfem Bebas
Morfem bebas adalah morfem yang tanpa
keterkaitannya dengan morfem lain dapat langsung
digunakan dalam pertuturan.Morfem bebas disebut juga
dengan morfem akar, yaitu morfem yang menjadi bentuk
dasar dalam pembentukan kata. Disebut bentuk dasar
karena belum mengalami perubahan secara morfemis.
b) Morfem Terikat
Morfem terikat adalah morfem yang harus terlebih
dahulu bergabung dengan morfem lain untuk dapat
digunakan dalam pertuturan. Morfem ikat disebut juga
morfem afiks. Berdasarkan pengertian tersebut maka
morfem terikat karena morfem ini tidak memiliki
kemampuan secara leksikal, akan tetapi merupakan
penyebab terjadinya makna gramatikal. Contoh morfem
ikat yang berupa afiks, yaitu: N-, di-, -na, -ake, dan lain-
lain. Penjelasan mengenai jenis morfem tersebut sejalan
dengan pendapat Verhaar (2009) yang menyatakan bahwa
morfem bebas secara morfemis adalah bentuk yang dapat

20
berdiri sendiri, artinya tidak membutuhkan bentuk lain yang
digabung maupun dipisah dalam tuturan. Morfem tersebut
telah memiliki makna leksikal. Berbeda dengan morfem
ikat, morfem ini tidak dapat berdiri sendiri dan hanya dapat
meleburkan diri pada morfem lain.

2) Proses Morfologi
Proses morfologi dikenal juga dengan sebutan
proses morfemis atau proses gramatikal. Pengertian dari
proses morfologi adalah pembentukan katadengan
afiks.Artinya, pembentukan kata dari sebuah bentuk dasar
melalui pembubuhan afiks (dalam proses afiksasi),
pengulangan atau reduplikasi, penggabungan atau proses
komposisi, serta pemendekan atau proses akronimisasi.
a) Proses afiksasi
Proses afiksasi (affixation) disebut juga dengan
proses pengimbuhan. Proses pengimbuhan terbagi
menjadi beberapa jenis, hal ini bergantung pada letak
atau di mana posisi afiks tersebut digabung dengan kata
yang dilekatinya. Kata dibentuk dengan mengimbuhkan
awalan (prefiks), sisipan (infiks), akhiran (sufiks), atau
gabungan dari imbuhan-imbuhan itu pada kata dasarnya
(konfiks).
b) Proses reduplikasi (pengulangan)
Pengulangan atau redupliksai adalah
pengulangan satuan gramatik, baik seluruh, maupun
sebagian, baik variasi fonem maupun tidak, hasil
pengulangan itu merupakan kata ulang, sedangkan
satuan yang diulang merupakan bentuk dasar. Misalnya,
rumah – rumah dari bentuk dasar rumah.

21
3. Sintaksis
a. Pengeritan Sintaksis
Kata sintaksis berasal dari bahasa Yunani, yaitu sun yang
berarti “dengan” dan kata tattein yang berarti “menempatkan”.
Jadi, secara etimologi berarti: menempatkan bersama-sama kata-
kata menjadi kelompok kata atau kalimat. Manaf (2009)
menjelaskan bahwa sintaksis adalah cabang linguistik yang
membahas struktur internal kalimat. Struktur internal kalimat yang
dibahas adalah frasa, klausa, dan kalimat. Chalik (2011)
mendefinisikan bahwa sintaksis adalah bagian dari tata bahasa
yang mengkaji struktur frasa dan kalimat.
Dari beberapa pernyataan yang telah dikemukakan dapat
disimpulkan bahwa sintaksis merupakan bagian dari ilmu bahasa
yang didalamnya mengkaji tentang kata dan kelompok kata yang
membentuk frasa, klausa, dan kalimat.

b. Ruang Lingkup Kajian Sintaksis


1) Frase
Frasa adalah suatu kelompok kata yang terdiri atas dua kata
atau lebih yang membentuk suatu kesatuan yang tidak melampui
batas subjek dan batas predikat. Frase terdiri dari dua kata atau
lebih yang membentuk suatu kesatuan dan dalam pembentukan ini
tidak terdapat ciri-ciri klausa dan juga tidak melampui batas subjek
dan batas predikat.
Frase adalah suatu komponen yang berstruktur, yang dapat
membentuk klausa dan kalimat.Frase adalah gabungan dua kata
atau lebih yang bersifat nonpredikatif atau lazim juga disebut
gabungan kata yang mengisi salah satu fungsi sintaksis di dalam
kalimat (chaer 2003). Perhatikan contoh-contoh berikut. Satuan

22
bahasa bayi sehat, pisang goreng, baru datang, dan sedang
membaca adalah frasa karena satuan bahasa itu tidak membentuk
hubungan subjek dan predikat (Widjono ,2007)
Dari beberapa pernyataan yang telah dikemukakan diatas
dapat ditarik kesimpulan bahwa frasa merupakan gabungan atau
rangkaian kata yang tidak mempunyai batas subjek dan predikat,
yang biasanya rangkaian kata tersebut mempunyai satu makna
yang tidak bisa dipisahkan.
2) Klausa
Klausa adalah sebuah konstruksi yang di dalamnya terdapat
beberapa kata yang mengandung unsur predikatif. Klausa
berpotensi menjadi kalimat. Manaf (2009) menjelaskan bahwa
yang membedakan klausa dan kalimat adalah intonasi final di akhir
satuan bahasa itu. Kalimat diakhiri dengan intonasi final,
sedangkan klausa tidak diakhiri intonasi final. Intonasi final itu
dapat berupa intonasi berita, tanya, perintah, dan kagum.
Klausa adalah satuan gramatikal yang setidak-tidaknya
terdiri atas subjek dan predikat. Klausa berpotensi menjadi
kalimat. Klausa dapat dibedakan berdasarkan distribusi satuannya
dan berdasarkan fungsinya. Pada umumnya klausa, baik tunggal
maupun jamak, berpotensi menjadi kalimat. Klausa adalah satuan
sintaksis berupa runtunan kata-kata berkonstruksi predikatif
artinya, di dalam konstruksi itu ada komponen berupa kata atau
frase, yang berfungsi sebagai predikat, dan yang lain berfungsi
sebagai subjek, objek, dan sebagai keterangan. Fungsi yang
bersifat wajib pada konstruksi ini adalah subjek dan predikat
sedangkan yang lain tidak wajib.
3) Kalimat
Kalimat adalah tuturan yang mempunyai arti penuh dan
turunnya suara menjadi ciri sebagai batas keseluruhannya. Jadi,

23
kalimat adalah tuturan yang diakhiri dengan intonasi final.Kalimat
adalah suatu bentuk linguistik yang terdiri atas komponen kata-
kata, frase, atau klausa. Jika dilihat dari fungsinya, unsur-unsur
kalimat berupa subjek, predikat, objek, pelengkap, dan
keterangan. Menurut bentuknya, kalimat dibedakan menjadi
kalimat tunggal serta kalimat majemuk.
Manaf (2009) lebih menjelaskan dengan membedakan
kalimat menjadi bahasa lisan dan bahasa tulis. Dalam bahasa lisan,
kalimat adalah satuan bahasa yang mempunyai ciri sebagai
berikut: (1) satuan bahasa yang terbentuk atas gabungan kata
dengan kata, gabungan kata dengan frasa, atau gabungan frasa
dengan frasa, yang minimal berupa sebuah klausa bebas yang
mengandung satu subjek dan prediket, (2) satuan bahasa itu
didahului oleh suatu kesenyapan awal, diselingi atau tidak diselingi
oleh kesenyapan antara dan diakhiri dengan kesenyapan akhir yang
berupa intonasi final, yaitu intonasi berita, tanya, intonasi perintah,
dan intonasi kagum.
c. Fungsi Sintaksis
Yang dimaksud fungsi sintaksis tersebut adalah subjek (S),
predikat (P), objek (O), pelengkap (Pel), dan keterangan (K).
realisasinya dalam sebuah kalimat, kelima fungsi tersebut tidak
selalu hadir bersama-sama. Terkadang sebuah kalimat hanya
terdiri atas fungsi S dan P, S-P-O, S-P-Pel, S-P-K, S-P-OK, atau S-
P-Pel-K. akan tetapi bila dilihat dari sifat kehadiranya dalam
sebuah kalimat, kelima fungsi dapat dibedakan menjadi dua bagian
yaitu fungsi yang wajib hadir dan fungsi yag tidak wajib hadir.
Yang termasuk fungsi wajib hadir adalah subjek, predikat, objek,
dan pelengkap, sedangkan yang termasuk kedalam fungsi yang
tidak wajib hadir adalah keterangan.

24
4. Semantik
Semantik adalah bagian dari struktur bahasa yang
berhubungan dengan makna ungkapan dan dengan struktur makna
suatu wicara. Definisi lain semantik adalah ilmu yang berkaitan
dengan makna atau arti kata (Suhardi, 2013). Pendapat lain
dikemukakan oleh Chaer (2009) yang menyatakan bahwa dalam
semantik yang dibicarakan adalah hubungan antara kata dengan
konsep atau makna dari kata tersebut, serta benda atau hal-hal yang
dirujuk oleh makna itu yang berada diluar bahasa. Makna dari sebuah
kata, ungkapan atau wacana ditentukan oleh konteks yang ada.
Berdasarkan beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan
bahwa semantic adalah ilmu yang menelaah lambang-lambang atau
tanda-tanda yang menyatakan makna, hubungan makna yang satu
dengan yang lain, serta hubungan antara kata dengan konsep atau
makna dari kata tersebut.
Makna kata merupakan bidang kajian yang dibahas dalam ilmu
semantik. Semantik berkedudukan sebagai salah satu cabang ilmu
linguistik yang mempelajari tentang makna suatu kata dalam bahasa.
Makna adalah maksud pembicaraan, pengaruh satuan bahasa dalam
pemahaman persepsi, serta perilaku manusia atau kelompok. (Suhardi,
2013)
Adapun Jenis-jenis makna, yakni sebagai berikut:
a. Makna Leksikal dan Makna Gramatikal
Dalam bukunya, Chaer (2009) mengungkapkan bahwa
‘leksikal’ adalah bentuk adjektif yang diturunkan dari bentuk
nomina ‘leksikon’ (vokabuler, kosa kata, perbendaharaan
kata). Satuan dari leksikon adalah ‘leksem’, yaitu satuan
bentuk bahasa yang bermakna. Kalau leksikon kita samakan
dengan kosakata atau perbendaharaan kata, maka leksem dapat
kita samakan dengan kata.

25
Dengan demikian, makna leksikal dapat diartikan
sebagai makna yang bersifat leksikon, bersifat leksem, atau
bersifat kata. Oleh sebab itu dapat disimpulkan bahwa makna
leksikal adalah makna yang sesuai dengan referennya, makna
yang sesuai dengan hasil observasi alat indra, atau makna yang
sungguh-sungguh ada dalam kehidupan kita.
Makna leksikal biasanya dipertentangkan atau
dioposisikan dengan makna gramatikal. Jika makna leksikal
berkenaan dengan makna leksem atau kata yang sesuai dengan
referennya, maka makna gramatikal adalah makna yang hadir
sebagai akibat dari adanya proses gramatika (seperti proses
afiksasi, proses reduplikasi dan proses komposisi). Oleh
karena makna sebuah kata, baik kata dasar maupun kata jadian,
sering tergantung pada konteks kalimat atau konteks situasi.
Maka makna gramatikal itu sering juga disebut ‘makna
kontekstual’ atau ‘makna situasional’. Selain itu bisa juga
disebut ‘makna struktural’ karena proses dan satuan-satuan
gramatikal itu selalu berkenaan dengan struktur kebahasaan.
b. Makna Referensial dan Nonreferensial
Perbedaan antara makna referensial dan makna
nonreferensial diketahui dari ada atau tidaknya referen dari
kata-kata itu. Bila kata-kata itu mempunyai referen, yaitu
sesuatu di luar bahasa yang diacu oleh kata itu, maka kata
tersebut disebut sebagai kata bermakna referensial. Namun,
jika kata-kata tersebut tidak mempunyai referen, maka kata itu
disebut kata bermakna nonreferensial. Sebagai contoh, kita
dapat menyebut ‘pensil’ dan ‘penggaris’ memiliki makna
referensial karena keduanya memiliki referen, yaitu sejenis
peralatan tulis. Sebaliknya kata ‘karena’ dan ‘dan’ tidak

26
mempunyai referen, oleh sebab itu dapat digolongkan dalam
kata yang bermakna nonreferensial. Karena kata-kata yang
termasuk preposisi dan konjungsi, juga kata tugas lainnya
tidak mempunyai referen, maka banyak orang mengambil
kesimpulan bahwa kata-kata tersebut tidak memiliki makna.
Kata-kata tersebut hanya memiliki fungsi atau tugas. Lalu,
karena hanya memiliki fungsi atau tugas lalu dinamailah kata-
kata tersebut dengan nama ‘kata fungsi’ atau ‘kata tugas’.
c. Makna Denotatif dan Makna Konotatif
Hal yang paling mencolok untuk dapat membedakan
makna denotatif dan makna konotatif adalah mengenai ada
atau tidaknya ‘nilai rasa’. Setiap kata itu (terutama yang
disebut kata penuh) mempunyai makna denotatif, tetapi tidak
setiap kata itu memiliki makna konotatif. Sebuah kata disebut
memiliki makna konotatif apabila kata itu mempunyai ‘nilai
rasa’, baik positif maupun negatif. Namun, jika suatu kata tidak
memiliki nilai rasa, maka dikatakan tidak memiliki konotasi.
Makna denotasi pada dasarnya sama dengan makna
referensial karena makna denotatif ini lazim diberi penjelasan
sebagai makna yang sesuai dengan hasil observasi menurut
pengelihatan, penciuman, pendengaran, perasaan atau
pengalaman lainnya. Jadi, makna denotatif ini menyangkut
informasi-informasi faktual objektif. Lalu karena itu maka
denotasi sering disebut sebagai ‘makna sebenarnya’.
Sedangkan makna konotatif memiliki keunikannya sendiri.
Makna konotasi sebuah bahasa dapat berbeda dari satu
kelompok masyarakat dengan kelompok masyarakat yang lain,
sesuai dengan pandangan hidup, dan normanorma penilain
kelompok masyarakat tesebut. Misalkan saja kata ‘babi’. Kata

27
tersebut memiliki konotasi negatif bagi komunitas-komunitas
agama yang menajiskannya, namun bisa saja di dalam
lingkungan masyarakat yang lain kata ini tidak memiiki
konotasi negatif.Oleh sebab itu, makna konotatif dapat juga
berubah dari waktu ke waktu.
d. Makna Kata dan Makna Istilah
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia ‘kata’
adalah unsur bahasa yang diucapkan atau dituliskan yang
merupakan perwujudan kesatuan perasaan dan pikiran yang
dapat digunakan dalam berbicara. Sedangkan ‘istilah’ adalah
kata atau gabungan kata yang dengan cermat mengungkapkan
makna konsep, proses, keadaan atau sifat yang khas dalam
bidang tertentu. Melihat hal ini, tentunya harus sangat
dibedakan mengenai makna kata dan makna istilah.
Perbedaan adanya makna kata dan makna istilah
didasarkan pada ketepatan makna itu dalam penggunaannya
secara umum dan secara khusus. Dalam penggunaan bahasa
secara umum acapkali kata-kata itu digunakan secara tidak
cermat sehingga maknanya bersifat umum. Tetapi dalam
penggunaan secara khusus, dalam bidang kegiatan tertentu,
katakata itu digunakan secara cermat sehingga maknanya pun
menjadi tepat. Makna sebuah kata walaupun secara sinkronis
tidak berubah, tetapi karena berbagai faktor dalam kehidupan,
dapat menjadi berifat umum. Makna kata itu baru menjadi jelas
kalau sudah digunakan dalam suatu kalimat maka kata itu
menjadi umum dan kabur.
Berbeda dengan kata yang maknanya masih bersifat
umum, maka istilah memiliki makna yang tetap dan pasti.
Ketetapan dan kepastian makna istilah itu karena istilah itu
hanya digunakan dalam bidang kegiatan atau keilmuan

28
tertentu. Jadi, tanpa konteks kalimatnya pun makna istilah itu
sudah pasti. Makna kata sebagai istilah memang dibuat setepat
mungkin untuk menghindari kesalahpahaman dalam bidang
ilmu atau kegiatan tertentu. Di luar bidang tertentu, istilah
sebenarnya dikenal juga adanya pembedaan kata dengan
makna umum dan kata dengan makna khusus atau makna yang
lebih terbatas.
e. Makna Konseptual dan Makna Asosiatif
Pembedaan makna konseptual dan makna asosiatif
didasarkan pada ada atau tidak adanya hubungan (asosiasi,
refleksi) makna sebuah kata dengan makna yang lain. Secara
garis besar tokoh semantik, Leech membedakan makna
menjadi makna asosiatif dan makna konseptual. Makna
konseptual adalah makna yang sesuai dengan konsepnya,
makna yang sesuai dengan referennya dan makna yang bebas
dari asosiasi atau hubungan apapun. Oleh sebab itu, sebenarnya
makna konseptual ini sama dengan makna referensial, makna
leksikal, dan makna denotatif. Sedangkan makna asosiatif
adalah makna yang dimiliki sebuah kata berkenaan dengan
adanya hubungan kata itu dengan keadaan di luar bahasa.
f. Makna Idiomatikal dan Peribahasa
Ada dua macam bentuk idiom dalam bahasa Indonesia,
yaitu: idiom penuh dan idiom sebagian. Idiom penuh adalah
idiom yang unsur-unsurnya secara keseluruhan sudah
merupakan satu kesatuan dengan satu makna. Contonya pada
idiom ‘membanting tulang’, ‘menjual gigi’, dan ‘meja hijau’.
Sedangkan pada idiom sebagian masih ada unsur yang masih
memiliki makna leksikalnya sendiri, misalnya ‘daftar hitam’
dan ‘koran kuning’.

29
C. Bahasa Dalam Kajian Eksternal

Menurut Setiady (2006:72) kajian secara eksternal berkaitan dengan


hubungan bahasa dengan faktor-faktor lain diluar bahasa tersebut seperti faktor
sosial, psikologi, lingkungan dan sebagainya.
Sedangkan menurut Gani (2018:63) kajian secara eksternal adalah
pengkajian yang dilakukan terhadap struktur yang berada di luar bahasa tersebut,
misalnya sosiolinguistik, psikolinguistik dan neurolinguistik
1. Sosiolinguistik
Sosiolinguistik menurut Chaer dan Agustina (dalam Evizariza,
2017:81) adalah cabang ilmu linguistik yang bersifat interdisipliner
dengan ilmu sosiologi, dengan objek penelitian hubungan antara
bahasa dengan faktor-faktor sosial di dalam suatu masyarakat tutur.

2. Psikolinguistik
Munurut Hasan (2018:6) psikolinguistik adalah ilmu yang
membahas tentang seluk beluk bahasa, hubungan antara bahasa dan
otak serta proses pemerolehan bahasa dan struktur kaedah bahasa
tersebut.
Sedangkan menurut Mutopas (2019:116) psikolinguistik adalah
ilmu yang mempelajari perilaku berbahasa. Perilaku yang tampak
dalam berbahasa adalah perilaku manusia ketika atau yang dibaca
sehingga menjadi sesuatu yang dimilikinya atau memproses sesuatu
yang akan diucapkan atau ditulisnya.
Jadi, dapat disimpulkan Psikolinguistik adalah disiplin ilmu
kombinasi antara psikoligi dan linguistik yang diorientasikan untuk
mengkaji proses psikologis yang terjadi pada orang yang berbahasa.

30
3. Neurolinguistik
Menurut Ahlsen (2006:3) neurolinguistik mengkaji hubungan
bahasa dan komunikasi pada aspek lain fungsi otak, dengan kata lain
mengekplorasi proses otak untuk produksi bahasa dan komunikasi.
Kajian ini melibatkan usaha untuk mengkombinasikan teori
neurologis/neurofisiologis (struktur otak dan fungsinya) dengan teori
linguistik (struktur bahasa dan fungsinya).
Sedangkan menurut Fernandez and Cairns (2011:81) memaparkan
neurolinguistik merupakan kajian representasi bahasa di otak dan
penemuan afasia merupakan kelahiran kajian interdisipliner ini.

31
BAB III. PENUTUP

A. KESIMPULAN

B. SARAN

Demikianlah makalah ini dibuat, semoga bermanfaat dan menambah


wawasan kita semu. Diharapkan setiap mahasiswa program studi Pendidikan
Guru Sekolah Dasar, khususnya bagi para calon guru, selalu berusaha
menambah wawasan tentang hakikat bahasa dalam pembelajaran bahasa
Indonesia.

32
DAFTAR RUJUKAN

Aditawarman, dkk. 2019. Variasi Bahasa Masyarakat. Padang: Lembaga Kajian Aset
Budaya Indonesia Tonggak Tuo.
Ahlsen, E. 2006. Introduction to Neurolinguistik. Amsterdam: John Benjamin
Publishing Company.
Chaer, Abdul. 2003. Linguistik Umum. Jakarta: Rineka Cipta.
. 2009. Pengantar Semantik Bahasa Indonesia. Jakarta: PT Rineka
Cipta.
Chalik, S, A. 2011. Analisis Linguistik dalam Bahasa Arab Al-Qur’an. Makassar:
Alauddin University Press.
Dardjowidjojo, dkk. 2012. Psikolinguistik Pengantar Pemahaman Bahasa Manusia.
Jakarta. Yayasan Pustaka Obor Indonesia.
Fernandez, E dan Cairns, H. 2011. Fundamentals of Psycholinguistik. Blackwell
Publishing
Gani, S dan Arsyad, B. 2018. Kajian Teoritis Struktural Internal Bahasa (Fonologi,
Morfologi, Sintaksis, dan Semantik). Jurnal Bahasa dan Sastra Arab. Vol.07,
No.1.
Hasan. 2018. Psikolinguistik: Urgensi dan manfaatnya pada Program Studi
Pendidikan Bahasa Arab. Jurnal Al Mi’yar Vol.1. No.2.
Hidayat, Rahayu. 2018. Hakikat Ilmu Pengetahuan Budaya. Jakarta: Yayasan Pustaka
Obor Indonesia.
Manaf, N. 2009. Sintaksis: Teori dan Terapannya dalam Bahasa Indonesia. Padang:
Sukabina Press.
Muaffaq, N, A. 2012. Fonologi Bahasa Indonessia. Cet. I. Makassar: Alauddin
University Press.
Mutopas, D, dkk. 2019. Penerapan Joyfull Learning dalam Pembelajaran Bahasa
Inggris (Tinjauan Psikolinguistik). Lisan: Jurnal Bahasa Indonesia. Vol. 8.
No.2:Hal.110-118. P-ISSN: 201874306.
Suhardi. 2013. Pengantar Linguistik Umum. Jokjakarta: Ar-Ruzz Media.

33
Setiyadi, A,C. 2006. Bahasa, Berbahasa, Sistem Bahasa dan Stuktur Bahasa. Jurnal
At-Ta’dib, Vol.4. No. 2, 167-189.
Verhaar. 2004. Asas-asas Linguistik Umum. Yokyakrta: Gadjah Mada University
Press.

34

Anda mungkin juga menyukai