Anda di halaman 1dari 13

Korupsi atau rasuah (bahasa Latin: corruptio dari kata kerja corrumpere yang bermakna busuk, rusak,

menggoyahkan, memutarbalik, menyogok) adalah tindakan pejabat publik, baik politisi maupun pegawai
negeri, serta pihak lain yang terlibat dalam tindakan itu yang secara tidak wajar dan tidak legal
menyalahgunakan kepercayaan publik yang dikuasakan kepada mereka untuk mendapatkan keuntungan
sepihak[1].

Dari sudut pandang hukum, tindak pidana korupsi secara garis besar memenuhi unsur-unsur sebagai
berikut:

perbuatan melawan hukum,

penyalahgunaan kewenangan, kesempatan, atau sarana,

memperkaya diri sendiri, orang lain, atau korporasi, dan

merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.

Jenis tindak pidana korupsi di antaranya, namun bukan semuanya, adalah

memberi atau menerima hadiah atau janji (penyuapan),

penggelapan dalam jabatan,

pemerasan dalam jabatan,

ikut serta dalam pengadaan (bagi pegawai negeri/penyelenggara negara), dan

menerima gratifikasi (bagi pegawai negeri/penyelenggara negara).

Dalam arti yang luas, korupsi atau korupsi politis adalah penyalahgunaan jabatan resmi untuk
keuntungan pribadi. Semua bentuk pemerintah|pemerintahan rentan korupsi dalam praktiknya.
Beratnya korupsi berbeda-beda, dari yang paling ringan dalam bentuk penggunaan pengaruh dan
dukungan untuk memberi dan menerima pertolongan, sampai dengan korupsi berat yang diresmikan,
dan sebagainya. Titik ujung korupsi adalah kleptokrasi, yang arti harafiahnya pemerintahan oleh para
pencuri, di mana pura-pura bertindak jujur pun tidak ada sama sekali.

Korupsi yang muncul di bidang politik dan birokrasi bisa berbentuk sepele atau berat, terorganisasi atau
tidak. Walau korupsi sering memudahkan kegiatan kriminal seperti penjualan narkotika, pencucian uang,
dan prostitusi, korupsi itu sendiri tidak terbatas dalam hal-hal ini saja. Untuk mempelajari masalah ini
dan membuat solusinya, sangat penting untuk membedakan antara korupsi dan kejahatan.
Tergantung dari negaranya atau wilayah hukumnya, ada perbedaan antara yang dianggap korupsi atau
tidak. Sebagai contoh, pendanaan partai politik ada yang legal di satu tempat namun ada juga yang tidak
legal di tempat lain.

Kondisi yang mendukung munculnya korupsi Sunting

Konsentrasi kekuasaan di pengambil keputusan yang tidak bertanggung jawab langsung kepada rakyat,
seperti yang sering terlihat di rezim-rezim yang bukan demokratik.

Kurangnya transparansi di pengambilan keputusan pemerintah

Kampanye-kampanye politik yang mahal, dengan pengeluaran lebih besar dari pendanaan politik yang
normal.

Proyek yang melibatkan uang rakyat dalam jumlah besar.

Lingkungan tertutup yang mementingkan diri sendiri dan jaringan "teman lama".

Lemahnya ketertiban hukum.

Lemahnya profesi hukum.

Kurangnya kebebasan berpendapat atau kebebasan media massa.

Gaji pegawai pemerintah yang sangat kecil.

mengenai kurangnya gaji atau pendapatan pegawai negeri dibanding dengan kebutuhan hidup yang
makin hari makin meningkat pernah di kupas oleh B Soedarsono yang menyatakan antara lain " pada
umumnya orang menghubung-hubungkan tumbuh suburnya korupsi sebab yang paling gampang
dihubungkan adalah kurangnya gaji pejabat-pejabat....." namun B Soedarsono juga sadar bahwa hal
tersebut tidaklah mutlak karena banyaknya faktor yang bekerja dan saling memengaruhi satu sama lain.
Kurangnya gaji bukanlah faktor yang paling menentukan, orang-orang yang berkecukupan banyak yang
melakukan korupsi. Namun kurangnya gaji dan pendapatan pegawai negeri memang faktor yang paling
menonjol dalam arti merata dan meluasnya korupsi di Indonesia, hal ini dikemukakan oleh Guy J Parker
dalam tulisannya berjudul "Indonesia 1979: The Record of three decades (Asia Survey Vol. XX No. 2,
1980 : 123). Begitu pula J.W Schoorl mengatakan bahwa " di Indonesia di bagian pertama tahun 1960
situasi begitu merosot sehingga untuk sebagian besar golongan dari pegawai, gaji sebulan hanya sekadar
cukup untuk makan selama dua minggu. Dapat dipahami bahwa dalam situasi demikian memaksa para
Pengertian korupsi dan faktor penyebab korupsi

1.Pengertian Korupsi

Korupsi adalah tindakan seseorang yang menyalahgunakan kepercayaan dalam suatu masalah atau
organisasi untuk mendapatkan keuntungan. Tindakan korupsi ini terjadi karena beberapa faktor faktor
yang terjadi di dalam kalangan masyarakat.

2.Faktor penyebab korupsi

Faktor penyebab korupsi itu ada 2 yaitu:

A. faktor internal

B. faktor eksternal

A. faktor internal

Faktor internal merupakan sebuah sifat yang berasal dari diri kita sendiri.

Terdapat beberapa faktor yang ada dalam faktor internal ini, antara lain ialah:

1. Sifat Tamak
Sifat tamak merupakan sifat yang dimiliki manusia, di setiap harinya pasti manusia meinginkan
kebutuhan yang lebih, dan selalu kurang akan sesuatu yang di dapatkan. Akhirnya munculah sifat tamak
ini di dalam diri seseorang untuk memiliki sesuatu yang lebih dengan cara korupsi.

2. Gaya hidup konsumtif

Gaya hidup konsumtif ini dirasakan oleh manusia manusia di dunia, dimana manusia pasti memiliki
kebutuhan masing masing dan untuk memenuhi kebutuhan tersebut manusia harus mengonsumsi
kebutuhan tersebut,dengan perilaku tersebut tidak bisa di imbangi dengan pendapat yang diperoleh
yang akhirnya terjadilah tindak korupsi

B. Faktor eksternal

Secara umum penyebab korupsi banyak juga dari faktor eksternal, faktor faktor tersebut antara lain :

1. faktor politik

Faktor politik ini adalah salah satu faktor eksternal dalam terjadinya tindak korupsi. Di dalam sebuah
politik akan ada terjadinya suatu persaingan dalam mendapatkan kekuasaan. Setiap manusia bersaing
untuk mendapat kekuasaan lebih tinggi, dengan berbagai cara mereka lakukan untuk menduduki posisi
tersebut. Akhirnya munculah tindak korupsi atau suap menyuap dalam mendapatkan kekuasaan.

2. faktor hukum

Faktor hukum ini adalah salah satu faktor eksternal dalam terjadinya tindak korupsi. Dapat kita ketahui
di negara kita sendiri bahwa hukum sekarang tumpul ke atas lancip kebawah. Di hukum sendiri banyak
kelemahan dalam mengatasi suatu masalah. Sudah di terbukti bahwa banyak praktek praktek suap
menyuap lembaga hukum terjadi dalam mengatasi suatu masalah. Sehingga dalam hal tersebut dapat
dilihat bahwa praktek korupsi sangatlah mungkin terjadi karena banyak nya kelemahan dalam sebuah
hukum yang mendiskriminasi sebuah masalah.
3. faktor ekonomi

Sangat jelas faktor ekonomi ini sebagai penyebab terjadinya tindak korupsi. Manusia hidup pasti
memerlukan kebutuhan apalagi dengan kebutuhan ekonomi itu sangatlah di pentingkan bagi manusia.
Bahkan pemimpin ataupun penguasa berkesempatan jika mereka memiliki kekuasaan sangat lah ingin
memenuhi kekayaan mereka. Di kasus lain banyak pegawai yang gajinya tidak sesuai dengan apa yang di
kerjakannya yang akhirnya ketika ada peluang, mereka di dorong untuk melakukan korupsi.

4. faktor organisasi

Faktor organisasi ini adalah faktor eksternal dari penyebab terjadinya korupsi. Di suatu tempat pasti ada
sebuah organisasi yang berdiri, biasanya tindak korupsi yang terjadi dalam organisasi ini adalah
kelemahan struktur organisasi, aturan aturan yang dinyatakan kurang baik, kemudian kurang adanya
ketegasan dalam diri seorang pemimpin. Di dalam suatu struktur organisasi akan terjadi suatu tindak
korupsi jika di dalam struktur tersebut belum adanya kejujuran dan kesadaran diri dari setiap pengurus
maupun anggota
Apa Itu Korupsi?

Dikompilasi oleh: Urip Santoso

Adakah ketika seseorang menghujad orang lain korupsi, paham betul apa itu korupsi? Saya khawatir
mereka mencaci orang lain korupsi, tapi mereka sendiri tanpa sadar juga korupsi. Atau bisa jadi mereka
memaki orang lain korupsi untuk menyembunyikan dirinya. Nah, untuk itu ada baiknya kita memahami
apa itu korupsi. Saya coba mengkompilasi tentang korupsi dari berbagai sumber di internet.

Pengertian Korupsi

Korupsi dan koruptor berasal dari bahasa latin corruptus, yakni berubah dari kondisi yang adil, benar
dan jujur menjadi kondisi yang sebaliknya. Sedangkan kata corruptio berasal dari kata kerja corrumpere,
yang berarti busuk, rusak, menggoyahkan, memutar balik, menyogok, orang yang dirusak, dipikat, atau
disuap.

Korupsi adalah penyalahgunaan amanah untuk kepentingan pribadi. Dalam Kamus Lengkap Oxford (The
Oxford Unabridged Dictionary) korupsi didefinisikan sebagai penyimpangan atau perusakan integritas
dalam pelaksanaan tugas-tugas publik dengan penyuapan atau balas jasa. Sedangkan pengertian ringkas
yang dipergunakan World Bank, korupsi adalah penyalahgunaan jabatan publik untuk keuntungan
pribadi.

Definisi korupsi menurut Asian Development Bank (ADB) adalah korupsi melibatkan perilaku oleh
sebagian pegawai sektor publik dan swasta, dimana mereka dengan tidak pantas dan melawan hukum
memperkaya diri mereka sendiri dan atau orang-orang yang dekat dengan mereka, atau membujuk
orang lain untuk melakukan hal-hal tersebut, dengan menyalahgunakan jabatan dimana mereka
ditempatkan.

Dalam UU No. 20 Tahun 2001 terdapat pengertian bahwa korupsi adalah tindakan melawan hukum
dengan maksud memperkaya diri sendiri, orang lain, atau korporasi yang berakibat merugikan keuangan
negara atau perekonomian negara. Ada sembilan tindakan kategori korupsi dalam UU tersebut, yaitu:
suap, illegal profit, secret transaction, hadiah, hibah (pemberian), penggelapan, kolusi, nepotisme, dan
penyalahgunaan jabatan dan wewenang serta fasilitas negara.

Unsur-unsur Korupsi
Dari sudut pandang hukum, tindak pidana korupsi secara garis besar memenuhi unsur-unsur sebagai
berikut:

• perbuatan melawan hukum,

• penyalahgunaan kewenangan, kesempatan, atau sarana,

• memperkaya diri sendiri, orang lain, atau korporasi, dan

• merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.

Dari beberapa definisi tersebut juga terdapat beberapa unsur yang melekat pada korupsi. Pertama,
tindakan mengambil, menyembunyikan, menggelapkan harta negara atau masyarakat. Kedua, melawan
norma-norma yang sah dan berlaku. Ketiga, penyalahgunaan kekuasaan atau wewenang atau amanah
yang ada pada dirinya. Keempat, demi kepentingan diri sendiri, keluarga, kerabat, korporasi atau
lembaga instansi tertentu. Kelima, merugikan pihak lain, baik masyarakat maupun negara.

Rincian Korupsi

Menurut UU No. 31 Tahun 1999 jo UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi, yang termasuk dalam Tindak Pidana Korupsi adalah sebagai berikut:

1. Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang
lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara (Pasal 2
UU No. 31 tahun 1999).

2. Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi,
menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau
kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara (Pasal 3 UU No. 31
tahun 1999).

3. Setiap orang atau pegawai negeri sipil/penyelenggara negara yang memberi atau menjanjikan sesuatu
kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dengan maksud supaya pegawai negeri atau
penyelenggara negara tersebut berbuat atau tidak berbuat sesuatu dalam jabatannya, yang
bertentangan dengan kewajibannya; atau memberi sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara
negara karena atau berhubungan dengan sesuatu yang bertentangan dengan kewajiban, dilakukan atau
tidak dilakukan dalam jabatannya (Pasal 5 UU No. 20 Tahun 2001).

4. Setiap orang yang memberi atau menjanjikan sesuatu kepada hakim dengan maksud untuk
mempengaruhi putusan perkara yang diserahkan kepadanya untuk diadili; atau. memberi atau
menjanjikan sesuatu kepada seseorang yang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan
ditentukan menjadi advokat untuk menghadiri sidang pengadilan dengan maksud untuk mempengaruhi
nasihat atau pendapat yang akan diberikan berhubung dengan perkara yang diserahkan kepada
pengadilan untuk diadili. (Pasal 6 UU No. 20 Tahun 2001).
5. Pasal 7 UU No. 20 Tahun 2001:

a. pemborong, ahli bangunan yang pada waktu membuat bangunan, atau penjual bahan bangunan yang
pada waktu menyerahkan bahan bangunan, melakukan perbuatan curang yang dapat membahayakan
keamanan orang atau barang, atau keselamatan negara dalam keadaan perang;

b. setiap orang yang bertugas mengawasi pembangunan atau penyerahan bahan bangunan, sengaja
membiarkan perbuatan curang yang dapat membahayakan keamanan orang atau barang, atau
keselamatan Negara dalam keadaan perang

c. setiap orang yang pada waktu menyerahkan barang keperluan Tentara Nasional Indonesia dan atau
Kepolisian Negara Republik Indonesia melakukan perbuatan curang yang dapat membahayakan
keselamatan negara dalam keadaan perang; atau

d. setiap orang yang bertugas mengawasi penyerahan barang keperluan Tentara Nasional Indonesia dan
atau Kepolisian Negara Republik Indonesia dengan sengaja membiarkan perbuatan curang yang dapat
membahayakan keselamatan negara dalam keadaan perang.

e. Bagi orang yang menerima penyerahan bahan bangunan atau orang yang menerima penyerahan
barang keperluan Tentara Nasional Indonesia dan atau Kepolisian Negara Republik Indonesia dan
membiarkan perbuatan curang yang dapat membahayakan keamanan orang atau barang, atau
keselamatan negara dalam keadaan perang atau yang dapat membahayakan keselamatan negara dalam
keadaan perang.

6. Pegawai negeri atau orang selain pegawai negeri yang ditugaskan menjalankan suatu jabatan umum
secara terus menerus atau untuk sementara waktu, dengan sengaja menggelapkan uang atau surat
berharga yang disimpan karena jabatannya, atau membiarkan uang atau surat berharga tersebut
diambil atau digelapkan oleh orang lain, atau membantu dalam melakukan perbuatan tersebut (Pasal 8
UU No. 20 tahun 2001).

7. Pegawai negeri atau orang selain pegawai negeri yang diberi tugas menjalankan suatu jabatan umum
secara terus menerus atau untuk sementara waktu, dengan sengaja memalsu buku-buku atau daftar-
daftar yang khusus untuk pemeriksaan administrasi (Pasal 9 UU No. 20 tahun 2001).

8. Pegawai negeri atau orang selain pegawai negeri yang diberi tugas menjalankan suatu jabatan umum
secara terus menerus atau untuk sementara waktu, dengan sengaja (Pasal 10 UU No. 20 Tahun 2001):

a. menggelapkan, menghancurkan, merusakkan, atau membuat tidak dapat dipakai barang, akta, surat,
atau daftar yang digunakan untuk meyakinkan atau membuktikan di muka pejabat yang berwenang,
yang dikuasai karena jabatannya; atau

b. membiarkan orang lain menghilangkan, menghancurkan, merusakkan, atau membuat tidak dapat
dipakai barang, akta, surat, atau daftar tersebut; atau
c. membantu orang lain menghilangkan, menghancurkan, merusakkan, atau membuat tidak dapat
dipakai barang, akta, surat, atau daftar tersebut.

9. Pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah atau janji padahal diketahui atau
patut diduga, bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan karena kekuasaan atau kewenangan yang
berhubungan dengan jabatannya, atau yang menurut pikiran orang yang memberikan hadiah atau janji
tersebut ada hubungan dengan jabatannya (Pasal 11 UU No. 20 Tahun 2001).

10. Pasal 12 UU No. 20 Tahun 2001 :

a. pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah atau janji, padahal diketahui atau
patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan untuk menggerakkan agar melakukan atau
tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan dengan kewajibannya;

b. pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah, padahal diketahui atau patut
diduga bahwa hadiah tersebut diberikan sebagai akibat atau disebabkan karena telah melakukan atau
tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya yang bertentangan dengan kewajibannya;

c. hakim yang menerima hadiah atau janji, padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah atau janji
tersebut diberikan untuk mempengaruhi putusan perkara yang diserahkan kepadanya untuk diadili;

d. seseorang yang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan ditentukan menjadi advokat


untuk menghadiri sidang pengadilan, menerima hadiah atau janji, padahal diketahui atau patut diduga
bahwa hadiah atau janji tersebut untuk mempengaruhi nasihat atau pendapat yang akan

diberikan, berhubung dengan perkara yang diserahkan kepada pengadilan untuk diadili;

e. pegawai negeri atau penyelenggara negara yang dengan maksud menguntungkan diri sendiri atau
orang lain secara melawan hukum, atau dengan menyalahgunakan kekuasaannya memaksa seseorang
memberikan sesuatu, membayar, atau menerima pembayaran dengan potongan, atau untuk
mengerjakan sesuatu bagi dirinya sendiri;

f. pegawai negeri atau penyelenggara negara yang pada waktu menjalankan tugas, meminta, menerima,
atau memotong pembayaran kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara yang lain atau kepada
kas umum, seolaholah pegawai negeri atau penyelenggara negara yang lain atau kas umum tersebut
mempunyai utang kepadanya, padahal diketahui bahwa hal tersebut bukan merupakan utang;

g. pegawai negeri atau penyelenggara negara yang pada waktu menjalankan tugas, meminta atau
menerima pekerjaan, atau penyerahan barang, seolaholah merupakan utang kepada dirinya, padahal
diketahui bahwa hal tersebut bukan merupakan utang;

h. pegawai negeri atau penyelenggara negara yang pada waktu menjalankan tugas, telah menggunakan
tanah negara yang di atasnya terdapat hak pakai, seolah-olah sesuai dengan peraturan
perundangundangan, telah merugikan orang yang berhak, padahal diketahuinya bahwa perbuatan
tersebut bertentangan dengan peraturan perundangundangan; atau
i. pegawai negeri atau penyelenggara negara baik langsung maupun tidak langsung dengan sengaja turut
serta dalam pemborongan, pengadaan, atau persewaan, yang pada saat dilakukan perbuatan, untuk
seluruh atau sebagian ditugaskan untuk mengurus atau mengawasinya.

11. Setiap gratifikasi kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dianggap pemberian suap,
apabila berhubungan dengan jabatannya dan yang berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya. (Pasal
12B UU No. 20 Tahun 2001).

12. Setiap orang yang memberi hadiah atau janji kepada pegawai negeri dengan mengingat kekuasaan
atau wewenang yang melekat pada jabatan atau kedudukannya, atau oleh pemberi hadiah atau janji
dianggap melekat pada jabatan atau kedudukan (Pasal 13 UU No. 31 Tahun 1999).

13. Setiap orang yang melanggar ketentuan Undang-undang yang secara tegas menyatakan bahwa
pelanggaran terhadap ketentuan Undang-undang tersebut sebagai tindak pidana korupsi berlaku
ketentuan yang diatur dalam Undangundang ini (Pasal 14 UU No. 31 Tahun 1999).

Macam-macam Korupsi

Jenis tindak pidana korupsi di antaranya, namun bukan semuanya, adalah

• memberi atau menerima hadiah atau janji (penyuapan),

• penggelapan dalam jabatan,

• pemerasan dalam jabatan,

• ikut serta dalam pengadaan (bagi pegawai negeri/penyelenggara negara), dan

• menerima gratifikasi (bagi pegawai negeri/penyelenggara negara).

Berikut adalah penjelasan macam-macam korupsi:

1. Korupsi ekstartif adalah suap dari penguasa kepada penguasa untuk kemudahan usaha bisnisnya dan
agar memperoleh perllindungan.

2. Korupsi manipulatif adalah kejahatan yang dilakukan pengusaha untuk mendapatkan


kebijakan/aturan/keputusan, agar dapat mendatangkan keuntungan ekonomi bagi dirinya.

3. Korupsi nepotetik dan kroniisme adalah perlakuan istimewa yang dilakukan oleh penguasa kepada
sanak saudaranya atau kerabatnya (istri, anak, menantu, cucu, keponakan, ipar) dalam rekruitmen atau
pembagian aktivitas yang mendatangkan keuntungan social ekonomi maupun politik.

4. Korupsi subversif adalah pencurian kekayaan Negara oleh para penguasa atau penguasaha yang
merusak kehidupan ekonomi bangsa.

Jika dilihat berdasarkan motif perbuatannya, korupsi itu terdiri dari empat macam, yaitu:
• Corruption by Greed, motif ini terkait dengan keserakahan dan kerakusan para pelaku korupsi.

• Corruption by Opportunities, motif ini terkait dengan sistem yang memberi lubang terjadinya korupsi.

• Corruption by Need, motif ini Berhubungan dengan sikap mental yg tdk pernah cukup, penuh sikap
konsumerisme dan selalu sarat kebutuhan yg tidak pernah usai.

• Corruption by Exposures, motif ini berkaitan dengan hukuman para pelaku korupsi yg rendah.

Ada 30 jenis korupsi dalam UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi, yang dijabarkan dalam 13 pasal, korupsi dikelompokkan menjadi tujuh kelompok,
yakni:

1. Merugikan keuangan negara;

2. Suap-menyuap;

3. Penggelapan dalam jabatan;

4. Pemerasan;

5. Perbuatan curang;

6. Benturan kepentingan dalam pengadaan;

7. GRATIFIKASI.

Beberapa bentuk korupsi diantaranya adalah sebagai berikut:

1. Penyuapan (bribery) mencakup tindakan memberi dan menerima suap, baik berupa uang maupun
barang.

2. Embezzlement, merupakan tindakan penipuan dan pencurian sumber daya yang dilakukan oleh pihak-
pihak tertentu yang mengelola sumber daya tersebut, baik berupa dana publik atau sumber daya alam
tertentu.

3. Fraud, merupakan suatu tindakan kejahatan ekonomi yang melibatkan penipuan (trickery or swindle).
Termasuk didalamnya proses manipulasi atau mendistorsi informasi dan fakta dengan tujuan mengambil
keuntungan-keuntungan tertentu.

4. Extortion, tindakan meminta uang atau sumber daya lainnya dengan cara paksa atau disertai dengan
intimidasi-intimidasi tertentu oleh pihak yang memiliki kekuasaan. Lazimnya dilakukan oleh mafia-mafia
lokal dan regional.

5. Favouritism, adalah mekanisme penyalahgunaan kekuasaan yang berimplikasi pada tindakan


privatisasi sumber daya.

6. Melanggar hukum yang berlaku dan merugikan negara.


7. Serba kerahasiaan, meskipun dilakukan secara kolektif atau korupsi berjamaah.

Jenis korupsi yang lebih operasional diklasifikasikan oleh M. Amien Rais, yaitu:

1. Korupsi ekstortif, yakni berupa sogokan atau suap yang dilakukan pengusaha kepada penguasa.

2. Korupsi manipulatif, seperti permintaan seseorang yang memiliki kepentingan ekonomi kepada
eksekutif atau legislatif untuk membuat peraturan atau UU yang menguntungkan bagi usaha
ekonominya.

3. Korupsi nepotistik, yaitu terjadinya korupsi karena ada ikatan kekeluargaan, pertemanan, dan
sebagainya.

4. Korupsi subversif, yakni mereka yang merampok kekayaan negara secara sewenang-wenang untuk
dialihkan ke pihak asing dengan sejumlah keuntungan pribadi.

Jeremy Pope (2007: xxvi) mengutip dari Gerald E. Caiden dalam Toward a General Theory of Official
Corruption menguraikan secara rinci bentuk-bentuk korupsi yang umum dikenal, yaitu:

1. Berkhianat, subversif, transaksi luar negeri ilegal, penyelundupan.

2. Penggelapan barang milik lembaga, swastanisasi anggaran pemerintah, menipu dan mencuri.

3. Penggunaan uang yang tidak tepat, pemalsuan dokumen dan penggelapan uang, mengalirkan uang
lembaga ke rekening pribadi, menggelapkan pajak, menyalahgunakan dana.

4. Penyalahgunaan wewenang, intimidasi, menyiksa, penganiayaan, memberi ampun dan grasi tidak
pada tempatnya.

5. Menipu dan mengecoh, memberi kesan yang salah, mencurangi dan memperdaya, memeras.

6. Mengabaikan keadilan, melanggar hukum, memberikan kesaksian palsu, menahan secara tidak sah,
menjebak.

7. Tidak menjalankan tugas, desersi, hidup menempel pada orang lain seperti benalu.

8. Penyuapan dan penyogokan, memeras, mengutip pungutan, meminta komisi.

9. Menjegal pemilihan umum, memalsukan kartu suara, membagi-bagi wilayah pemilihan umum agar
bisa unggul.

10. Menggunakan informasi internal dan informasi rahasia untuk kepentingan pribadi; membuat laporan
palsu.

11. Menjual tanpa izin jabatan pemerintah, barang milik pemerintah, dan surat izin pemrintah.

12. Manipulasi peraturan, pembelian barang persediaan, kontrak, dan pinjaman uang.
13. Menghindari pajak, meraih laba berlebih-lebihan.

14. Menjual pengaruh, menawarkan jasa perantara, konflik kepentingan.

15. Menerima hadiah, uang jasa, uang pelicin dan hiburan, perjalanan yang tidak pada tempatnya.

16. Berhubungan dengan organisasi kejahatan, operasi pasar gelap.

17. Perkoncoan, menutupi kejahatan.

18. Memata-matai secara tidak sah, menyalahgunakan telekomunikasi dan pos.

19. Menyalahgunakan stempel dan kertas surat kantor, rumah jabatan, dan hak istimewa jabatan.

Anda mungkin juga menyukai