Anda di halaman 1dari 5

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Penyakit ginjal kronis (PGK) merupakan masalah kesehatan masyarakat
global dengan prevalensi dan insidensi gagal ginjal yang meningkat dan memiliki
prognosis yang buruk. Prevalensi PGK meningkat seiring meningkatnya jumlah
penduduk, usia lanjut, kejadian penyakit diabetes melitus dan hipertensi. Sekitar
satu dari sepuluh populasi global mengalami PGK pada stadium tertentu.
Berdasarkan Systematic review dan meta analysis yang telah dilakukan oleh Hill
et al pada tahun 2016, prevalensi PGK secara global yaitu sebesar 13,4%.
Menurut hasil Global Burden of Disease pada tahun 2010, PGK merupakan
penyebab kematian peringkat ke-27 di dunia pada tahun 1990 dan meningkat
menjadi urutan ke-18 pada tahun 2010.1 Berdasarkan riset kesehatan dasar yang
dilakukan oleh Kementrian Kesehatan Republik Indonesia pada tahun 2018,
prevalensi penyakit ginjal kronis berdasarkan diagnosis dokter pada penduduk
usia ≥15 tahun di Indonesia yaitu sebesar 0,3% dan mengalami kenaikan dari 5
tahun terakhir yaitu sebesar 0,1%. Penyakit ginjal kronik di Indonesia meningkat
seiring bertambahnya usia. Peningkatan tersebut mengalami meningkat tajam
pada kelompok usia 35-44 tahun sebesar 0,3%, diikuti usia 45-54 tahun sebesar
0,5%, usia 55-64 tahun sebesar 0,7%, usia 65-74 sebesar 0,8%, dan kelompok usia
>75 tahun sebesar 0,7%. Prevalensi pada laki-laki sebesar 0,4%, perempuan
sebesar 0,3%, prevalensi lebih tinggi pada masyarakat perkotaan sebesar 0,3%,
pada pasien tidak berpendidikan 0,5% dan masyarakat yang tidak bekerja 0,4%.2
Perawatan penyakit ginjal kronis merupakan peringkat kedua pembiayaan terbesar
dari BPJS kesehatan setelah penyakit jantung.3
Penyakit ginjal kronik merupakan proses patofisiologi yang terjadi pada ginjal
dengan berbagai etiologi yang mengakibatkan penurunan fungsi ginjal secara
progresif, yang sering berakhir pada End-Stage Renal Disease (ESRD) atau Gagal
Ginjal Kronik (GGK). Gagal ginjal kronik disebabkan oleh hilangnya sejumlah
besar nefron fungsional yang progresif dan irreversible. Hilangnya nefron

1
2

fungsional akan menyebabkan terjadinya penurunan Laju Filtrasi Glomerulus


(LFG), penurunan pada ekskresi air dan zat terlarut oleh ginjal, serta penumpukan
produk buangan metabolisme, seperti ureum dan kreatinin. Pengaruh dari
gangguan fungsi ginjal antara lain isostenuria, uremia, asidosis, anemia, retensi
cairan, osteomalasia, dan hipertensi. Gangguan fungsi ginjal pada gagal ginjal
kronik bersifat irreversibel, maka penatalaksanaan gagal ginjal kronik dengan
melakukan transplantasi ginjal atau hemodialisis secara rutin 1 hingga 3 kali
dalam seminggu secara rutin.4,5,6
Donor ginjal untuk transplantasi sulit didapatkan, sehingga penatalaksanaan
yang umumnya dilakukan oleh pasien gagal ginjal kronik adalah hemodialisis.
Hemodialisis dapat didefinisikan sebagai suatu proses pengubahan komposisi zat
terlarut dalam darah oleh larutan lain (cairan dialisat) melalui membran semi
permeabel (dialysis membrane). Zat-zat terlarut dalam darah yang tidak
terekskresi dengan baik seperti ureum, kreatinin, dan elektrolit zat pelautnya yaitu
air atau serum darah dikeluarkan dari dalam darah.7 Dengan demikian
hemodialisis membantu pembersihan produk buangan yang toksik serta
pengembalian volume dan komposisi cairan tubuh ke keadaan normal. 4,5,6
Pasien GGK yang menjalani hemodialisis membutuhkan waktu 12 hingga 15
jam untuk dialisis setiap minggunya, atau paling sedikit 3 hingga 4 jam setiap kali
terapi. Penyesuaian diri terhadap kondisi sakit mengakibatkan terjadinya
perubahan dalam kehidupan pasien. Dampak psikologis pasien GGK yang
menjalani program terapi seperti hemodialisis dapat dimanifestasikan dalam
serangkaian perubahan perilaku antara lain menjadi pasif, ketergantungan, merasa
tidak aman, bingung dan menderita.8
Rutinitas pelaksanaan hemodialisis sendiri dapat mempengaruhi pasien dalam
kehidupan sehari-hari. Hal ini dapat dipengaruhi oleh keadaan finansial, lamanya
waktu pengobatan dan penurunan kualitas hidup. Pasien yang menjalani
hemodialisis dapat mengalami gangguan mood ringan sampai mengalami depresi.
Gejala-gejala depresi pada pasien hemodialisis dihubungkan dengan peningkatan
disabilitas, peningkatan kebutuhan perhatian dalam perawatan, penurunan
partisipasi dalam aktivitas, peningkatan laporan akan rasa sakit, bukti biokimia
3

subnutrisi, penurunan kemampuan konsentrasi dan kognitif, serta penolakan


menjalani pengobatan.9
Dua pertiga dari pasien yang mendapat terapi hemodialisis tidak pernah
kembali pada aktifitas atau pekerjaan seperti sedia kala. Pasien akan mengalami
kehilangan pekerjaan, penghasilan, kebebasan, harapan usia panjang dan fungsi
seksual sehingga dapat menimbulkan kemarahan yang akhirnya timbul suatu
keadaan depresi sekunder sebagai akibat dari penyakit sistemik yang
mendahuluinya.10
Dampak dari penyakit gagal ginjal kronis dan prosedur hemodialisis yang
harus dilakukan secara rutin menimbulkan suatu tekanan psikologis bagi pasien.
Tekanan psikologis yaitu pasien GGK harus menjalani hemodialisis 1 hingga 3
kali setiap minggunya dengan hidup yang tergantung pada mesin dialisis, diet
yang sangat ketat, komplikasi yang dapat timbul akibat hemodialisis dan
keterbatasan aktivitas. Dalam beberapa penelitian yang telah dilaksanakan,
ditemukan adanya gejala depresi pada pasien yang menjalani hemodialisis.11
Menurut Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders (DSMV),
Major Depressive Disorders (MDD) merupakan sindrom yang ditandai dengan
perasaan tertekan atau hilangnya ketertarikan atau perasaan senang dalam
kebanyakan aktivitas. Gejala lainnya berupa perasaan tidak berharga atau
bersalah, gagasan untuk bunuh diri, percobaan bunuh diri, agitasi psikomotor atau
kelambanan psikomotor, insomnia atau hypersomnia, penurunan atau peningkatan
berat badan, terganggunya konsentrasi, kesulitan berpikir, dan kehilangan
tenaga.12
Mengingat tingginya angka prevalensi pasien dengan gagal ginjal kronik yang
menjalani hemodialisis dihubungkan dengan banyaknya faktor resiko pada pasien
yang dapat menyebabkan terjadinya depresi selama menjalani hemodialisis,
penulis bermaksud untuk melakukan studi literatur mengenai gambaran
karakteristik dan tingkat depresi pada penyakit gangguan ginjal kronis yang
menjalani hemodialisis.
4

1.2 Rumusan Masalah


Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan, dapat dirumuskan
permasalahan sebagai berikut:
1. Bagaimanakah gambaran derajat depresi pasien gagal ginjal kronik yang
menjalani hemodialisis?
2. Bagaimana gambaran tingkat depresi berdasarkan karakteristik (usia, jenis
kelamin, tingkat pendidikan, pekerjaan, status sosial ekonomi, lama waktu
hemodialisis, dan komplikasi hemodialisis) pasien gagal ginjal kronik
yang menjalani hemodialisis?

1.3 Tujuan Penelitian


1.3.1 Tujuan Umum
Untuk mengetahui gambaran kejadian depresi pada pasien gagal ginjal kronik
yang menjalani hemodialysis.
2.5.4 Tujuan Khusus.

1. Mengetahui derajat depresi pada pasien gagal ginjal kronik yang menjalani
hemodialysis.
2. Mengetahui gambaran tingkat depresi berdasarkan karakteristik (usia, jenis
kelamin, tingkat pendidikan, pekerjaan, status sosial ekonomi, lama waktu
hemodialisis, dan komplikasi hemodialisis) pasien gagal ginjal kronik
yang menjalani hemodialysis.

1.4 Manfaat Penelitian


1.4.1 Manfaat Akademik
Manfaat akademis yang diharapkan adalah bahwa hasil studi literatur dapat
menjadi referensi bagi peneliti yang akan melakukan kajian mengenai depresi
pada pasien gagal ginjal kronik.
1.4.2 Manfaat Praktis
5

Manfaat praktis yang diharapkan adalah untuk memberikan data sehingga hasil
studi literatur ini diharapkan memberi gambaran depresi pada pasien gagal ginjal
kronik yang menjalani hemodialysis. Serta mengembangkan wawasan ilmu
pengetahuan kedokteran di bidang psikiatri, memperkaya wawasan berpikir, dan
pengalaman penelitian. Studi literatur ini juga dapat bermanfaat bagi Pelayanan
Kesehatan sebagai salah satu upaya untuk mendeteksi gejala secara dini depresi
pada pasien gagal ginjal kronis yang menjalani hemodialisis, sehingga upaya
pencegahan dan penatalaksanaan dapat dilakukan.

Anda mungkin juga menyukai