Anda di halaman 1dari 29

LAPORAN KASUS

GANGGUAN CAMPURAN CEMAS DEPRESI

Diajukan sebagai salah satu tugas P3D Bagian Ilmu Kedokteran Jiwa

Pembimbing:
Dr. Arlisa Wulandari, dr., SpKJ., M.Kes.

Disusun Oleh:

Aulia Dewi P (4151171470)


Faras Silmy Surya (4151171471)
Muhamad Lutfi H (4151171494)
Ayu Saras Suci (4151171485)

BAGIAN ILMU KEDOKTERAN JIWA


UNIVERSITAS JENDERAL ACHMAD YANI
FAKULTAS KEDOKTERAN
PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI DOKTER
CIMAHI
2020
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kehadirat Allah SWT karena atas berkat rahmat-Nya penulis
dapat menyelesaikan laporan kasus yang berjudul “Gangguan Campuran Cemas
Depresi”. Laporan kasus ini merupakan salah satu syarat tugas kepaniteraan Ilmu
Kedokteran Jiwa Rumah Sakit Tk. II Dr. Dustira Cimahi Universitas Jenderal
Achmad Yani.
Laporan kasus ini telah kami susun dengan bantuan dari berbagai pihak
sehingga dapat memperlancar pembuatan makalah ini. Penulis ingin mengucapkan
terima kasih dan penghargaan sebesar besarnya kepada semua pihak yang telah
berkontribusi dalam pembuatan makalah ini.
Dengan segala kerendahan hati penulis menyadari bahwa masih terdapat
kekurangan dalam penyusunan laporan kasus ini. Untuk itu, penulis
mengharapkan kritik dan saran yang membangun guna kesempurnaan laporan
kasus ini.

Cimahi, Februari 2020

Penulis

2
3

DAFTAR ISI

Halaman
KATA PENGANTAR................................................................................i
DAFTAR ISI...............................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN...........................................................................1
BAB II DASAR TEORI.............................................................................13
2.1 Definisi Gangguan Campuran Cemas dan Depresi...............................13
2.2 Kriteria Diagnosis Gangguan Campuran Cemas dan Depresi..............14
2.3 Etiologi..................................................................................................14
......................................................................................................................
2.3.1 Etiologi Gangguan Depresi..........................................................................14
......................................................................................................................
2.3.2 Etiologi Gangguan Cemas............................................................................16
2.4 Epidemiologi.........................................................................................18
2.4.1 Epidemiologi Gangguan Depresi................................................18
2.4.2 Epidemiologi Gangguan Cemas.................................................19
2.5 Tatalaksana............................................................................................19
2.5.1 Tatalaksana Gangguan Depresi...................................................19
2.5.2 Tatalaksana Gangguan Cemas....................................................24
2.6 Prognosis...............................................................................................25
DAFTAR PUSTAKA.................................................................................26
LAMPIRAN................................................................................................27
4

CASE REPORT SESSION


GANGGUAN CAMPURAN ANXIETAS DAN DEPRESI

IDENTITAS PASIEN
Nama Lengkap : Nn. Alya Noer
Nama Kecil : Alya
No. Med Rec : 602484
Jenis Kelamin : Perempuan
Umur : 21 tahun
Alamat : Jl. Ibu sangkit RT 01/13 Cibeber Cimahi Selatan
Status Perkawinan : Belum menikah
Pendidikan : SMA
Agama : Islam
Suku : Sunda
Pekerjaan : Belum bekerja
Penghasilan/bulan :-
Tanggal Pemeriksaan : 05 January 1999

IDENTITAS PENANGGUNG JAWAB PASIEN


Nama : Tn. Agus Saparudin
Hubungan : Ayah
Alamat : Jl. Ibu sangkit RT 01/13 Cibeber Cimahi Selatan
Pekerjaan :PNS
Penghasilan :-
5

Hasil Wawancara Simptom


Keluhan Utama: Cemas

Riwayat Penyakit Sekarang :


Insight
Pasien datang sendiri ke poli jiwa RS Dustira mengeluh
of illness baik
cemas yang sudah lama dirasakan sejak kurang lebih 6
bulan yang lalu. Keluhan cemas dirasakan pasien terutama
Onset
semenjak kedua orang tua pasien menjadi lebih sering
bertengkar. Pasien mengkhawatirkan kedua orang tuanya akan
Faktor
berpisah. Pasien juga mengaku sering mengkhawatirkan tugas
pencetus
skripsinya yang tak kunjung selsai. Pasien mengaku kesulitan
untuk mengatasi rasa cemasnya. Keluhan cemas dirasakan
memberat terutama pada malam hari saat pasien menjelang tdiur
Insomnia
sehingga pasien merasa gelisah dan sulit untuk tertidur. Pasien
juga mengaku sering terbangun saat tertidur karena mimpi buruk
dan sulit untuk tertidur kembali. Pasien mengeluhkan sering
Hiperaktivitas
berdebar-debar dan mudah berkeringat. Akhir-akhir ini pasien
otonom
juga sering mengeluhkan nyeri kepala seperti diikat dan mudah
Ketegangan
lelah yang dirasakan hampir setiap hari. Pasien juga mengaku
motoric
mudah tersinggung dan marah kepada teman-temannya di
kampus ketika diajak bercanda, sehingga terkadang pasien lebih
Iritabilitas
memilih untuk menyendiri dari pada berbaur dan berinteraksi
Hendaya
dengan teman-temannya.
Sosial
Karena pasien sering melihat kedua orang tuanya bertengkar
setiap hari, membandingkan dengan kondisi rumah tangga orang
Mood
lain yang terlihat lebih harmonis pasien juga mengeluhkan sering
terdepresi
merasa sedih. Pasien juga mengaku 2 bulan yang lalu baru saju
putus dengan pacarnya yang menambah beban pikiran pasien.
Pasien menjadi kehilangan minat dan sulit untuk konsentrasi di
kampus sehingga perkuliahan dan pembuatan skripsinya
dirasakan terganggu. Terkadang pasien menangis saat berada
dikamar sendirian saat memikirkan masalah yang ada. Karena
6

merasa kesal dengan rasa sedih dan sakit hatinya terkadang Gejala
pasien sering memukul mukuli dada kirinya dengan tujuan untuk depresi
menghilangkan rasa sakitnya, namun keinginan untuk bunuh diri
disangkal oleh pasien. Pasien menyangkal sebelumnya ada
riwayat dimana pasien merasa bersemangat dan gembira Bukan
berlebih. gangguan
Keluhan tidak disertai adanya keluhan seperti bipolar
mengerjakan sesuatu terus-menerus dan apabila tidak dikerjakan Gejala OCD
merasa gelisah. Keluhan tidak disertai mendengar suara bisikan (-)
maupun melihat bayangan hitam. Gejala
Psikosis (-)

Riwayat Penyakit Dahulu


Pada saat awal kuliah pasien memiliki keluhan serupa berupa Riwayat gejala
cemas dan sering berdebar-debar terutama pada saat masa sebelumnya
orientasi.
Pasien belum pernah mengobati keluhan sebelumnya.

Riwayat Keluarga :

No Nama L/ Kesehatan Hubungan Usia Status


P (tahun Marital
)
1 Tn. A L Sehat Ayah 47 Menikah
kandung
2 Ny. P Sehat Ibu 45 Menikah
N kandung
3 AN P Sehat Pasien 21 Belum
Menikah
4 LM L Sehat Adik 17 Belum
7

Menikah
Riwayat
Pasien merupakan anak pertama dari dua bersaudara, tinggal
penyakit
bersama kedua orangtua dan juga adiknya. Status ekonomi
serupa pada
keluarga termasuk menengah keatas. Pasien cindering pendiam
keluarga tidak
dirumah, tidak dekat dengan ayah namun dekat dengan ibu dan
ada.
adik laki-lakinya. Keluhan serupa pada keluarga disangkal
Kepribadian
introvert
Genogram :
Faktor

Tn. A Pencetus
Ny.
N

LM
AN

4 tahun

Keterangan
= Laki-laki

= Perempuan

= Meninggal

Riwayat penggunaan alkohol dan zat psikoaktif


8

Pasien tidak pernah menggunakan obat-obatan dan alkohol Menyingkirkan


PGZ
Riwayat Hidup Penderita :
 Masa dikandung dan sekitar persalinan
Paisen dikandung dengan usia kehamilan normal, tidak
prematur. Pasien lahir secara spontan ditolong oleh bidan dengan
keadaan normal.
 Masa bayi
Pasien tidak mengingat bagaimana perkembangannya selama
bayi.
 Masa pra sekolah
Keadaan pasien baik. Pasien termasuk anak yang pendiam Kepribadian
dan sulit bersosialisasi dengan lingkungan sekitar. Prestasi di introvert
sekolah cukup baik. Pasien memulai sekolah dasar pada usia 6
tahun, selalu naik kelas dan lulus tepat waktu pada usia 12 tahun.
Pasien tidak memiliki teman bermain
 Masa pubertas
Pasien memiliki sifat pendiam dan mampu Faktor
tidak
bersosialisasi dengan lingkungan sekitar. Keluhan mulai muncul Pencetus
saat pasien SMP saat pasien melihat kedua orangtuanya
bertengkar dan bertambah buruk saat awal kuliah. Pasien
mengatakan hal tersebut karena stress kuliah dan tugas yang
banyak saat kuliah.
 Masa dewasa
Pasien belum memasuki masa dewasa.
 Masa tua
Pasien belum memasuki masa tua.

Riwayat Pendidikan
Pendidikan terakhir yaitu SMA.
9

Riwayat Pekerjaan
Pasien belum bekerja

Riwayat Perkawinan
Pasien belum menikah.

Kepribadian Sebelum Sakit


Pasien merupakan orang yang pendiam dan tidak memiliki
teman dekat untuk berbagi masalah yang dimilikinya.
 Kegiatan intelektual dan kegemaran
Pasien gemar membaca buku dan menulis diari.
 Kehidupan fantasi
Tidak ada
 Kehidupan psikoseksual
Tidak ada keterangan
 Kehidupan emosional
Pasien termasuk orang yang pendiam dan jarang
membicarakan masalahnya.
 Konsep dan konsekuensi
Moral: pasien taat terhadap norma yang ada
Agama : pasien taat menjalankan ibadah
Materi : pasien tidak mengeluhkan masalah ekonomi
Ambisi: pasien memiliki keinginan untuk cepat lulus
kuliah dan bekerja.

Hubungan sosial
Semenjak sakit, pasien menjadi lebih kesulitan untuk
berinteraksi dengan orang lain.

Kebiasaan dan kesenangan


10

Pasien makan 3 kali sehari dengan nafsu makan baik.


Pasien tidak memiliki kebiasaan merokok. Pasien tidak
mengkonsumsi alkohol dan obat-obatan.

STATUS FISIKUS
Status Generalis
Kesadaran : Compos Mantis
Kesan Sakit : Sakit ringan
Tanda Vital:
Tensi : 110/80 mmHg
Nadi : 72x/menit
Respirasi : 18x/menit
Suhu : 36,6ºC
Status Gizi : Cukup
Kepala dan Leher : Normochepal
Mata : Konjungtiva anemis -/-, Sklera ikterik -/-
Hidung : Tidak ada kelainan
Leher : KGB tidak teraba
Thoraks : Bentuk dan gerak simetrik
Cor dan Pulmo tidak ada kelainan
Abdomen : Bising Usus + normal
Hepatosplenomegali -
Ekstremitas : CRT <2 detik, akral hangat, motorik tidak ada kelainan.
Susunan saraf:
Saraf otak : Tidak ada kelainan
11

Sensibilitas : Tidak ada kelainan


Motoris : Tidak ada kelainan
Vegetatif : Tidak ada kelainan
Refleks fisiologis : Tidak ada kelainan
Refleks patologis : Tidak ada

STATUS PSIKIATRIKUS
Penampilan : Roman Muka: Murung
Sikap : Kooperatif
Dekorum : Pakaian, Kebersihan, dan Sopan
santun baik
Kontak : Ada dan kooperatif
Rapport : Adekuat
Cara bicara : Suara : Jelas
Volume : Sedang
Artikulasi : Jelas
Tingkah Laku/Psikomotor : Hipoaktif
Mood & Afek : Mood : Depresif
Afek : Murung
Pikiran&Persepsi : Bentuk : Realistik
Isi : Waham (-)
Jalan : Koheren
Persepsi : Halusinasi auditorik (-)
Halusinasi visual (-)
Ilusi (-)
Kognisi : Kesadaran : Compos mentis
Konsentrasi : Kurang
12

Orientasi : Tempat, waktu, dan orang baik


Memori : Baik
Kalkulasi : Baik
Intelegensi : Sesuai dengan tingkat pendidikan
Penilaian abstrak: Baik
Tilikan Penyakit : Derajat 6

USUL PEMERIKSAAN
1. Tes kimia darah
2. Elektrokardiografi
3. Ct-scan

DIAGNOSIS MULTI-AKSIAL
Aksis – 1 : Gangguan klinis-Psikiatrik : Gangguan campuran cemas depresi
Diagnosis banding : Gangguan cemas menyeluruh
Kondisi lain yg menjadi fokus perhatian : Tidak ada
Aksis – 2 : Gangguan Kepribadian : Tidak ada diagnosis
Retardasi Mental : Tidak ada diagnosis
Aksis – 3 : Kondisi Medis Umum : Tidak ada diagnosis
Aksis – 4 : Masalah Psikososial&Lingkungan : Hubungan kedua orang tua
tidak harmonis dan stres
kuliah
Aksis – 5 : Penilaian fungsi secara global (GAF Scale): 80-71

TERAPI
Farmakologi:
Anti anxietas : Alprazolam 0,5 mg 1-0-1
13

Anti Depresan : Fluoxetin 20 mg 1-0-0

Non farmakologi:

1. Menjelaskan kepada pasien bahwa kedua orang tua pasien memiliki urusannya
masing-masing sebagai orang yang sudah dewasa. Penyelsaian masalah orang tua
diluar kemampuan pasien.
2. Menjelaskan bahwa kedua orang tua sebenarnya masih menyayangi pasien
sebagai anaknya dengan bukti bahwa pasien masih tetap disekolahkan dan
dibiayayai kehidupan sehari-harinya. Bila kedua orang tua berpisah, itu urusan
mereka sebagai orang dewasa, selama mereka masih bertanggung jawab untuk
mengurusi pasien dan adiknya.
3. Memberikan empati kepada pasien bahwa kehilangan seseorang yang dicintai
memang sangat menyakitkan. Tidak apa untuk merasa sedih, karena itu adalah hal
yang manusiawi.
4. Memberi pengertian kepada pasien bahwa seseorang dalam hidup ini pasti ada
yang datang dan ada yang pergi, jadikan itu sebagai pengalaman hidup yang
berharga. Pasien diberitahu agar perlahan-lahan memaafkan dan mengihklaskan
segala sesuatu yang pernah terjadi, untuk ketenangan batin dirinya sendiri.
5. Memberi tahu pasien bahwa pasien sudah sangat hebat bisa melewati hari-
harinya yang terasa berat, sehingga pasien diharapkan mampu menyayangi
tubuhnya yang sudah berjuang keras agar tidak disakiti secara fisik oleh diri
sendiri.
6. Perbanyak berkegiatan untuk mengisi waktu luang, seperti membaca novel,
menulis cerita, sesuai dengan kegiatan yang pasien senangi.
7. Pasien disarankan untuk berinteraksi kembali dengan orang-orang, setidaknya
berinteraksi dengan beberpa orang yang dia percaya saja terlebih dahulu.

Edukasi Keluarga:
14

1. Menjelaskan bahwa pasien sedang sakit kondisi batinnya, sehingga diharapkan


keluarga ikut berperan dalam proses penyembuhan pasien dengan cara tidak
bertengkar di depan anaknya.
2. Mengajak pasien rekreasi

PROGNOSIS
Quo Ad Vitam : Ad Bonam
Quo Ad Functionam : Dubia Ad Bonam

PSIKODINAMIKA
Premorbid:
Sebelum sakit, pasien termasuk pribadi yang pendiam dan sulit bersosialisasi
dengan orang sekitar. Jika pasien memiliki masalah, pasien tidak menceritakan
masalah tersebut ke orang lain, pasien hanya memendam masalahnya sendiri.
Mental mekanisme yang digunakan represi.

Durante morbid:
Pasien menjadi sering cemas, berdebar-debar, mudah lelah, dada berdebar-
debar, dan sulit berkonsentrasi. Pasien juga merasa khawatir akan masa depannya
setelah kedua orang tua pasien bercerai. Keluhan awalnya karena pasien melihat
kedua orangtuanya bertengkar. Pasien mengetahui bahwa dirinya sakit

Status present:
15

Saat diperiksa pasien tampak sedih dan gelisah, cara bicara pasien normal,

akan tetapi kontak dan rapport pasien cukup baik. Mood dan afek tampak serasi,

pasien lebih banyak menarik diri.

BAB II
DASAR TEORI

2.1 Definisi Gangguan Campuran Cemas dan Depresi


Ansietas merupakan satu keadaan yang ditandai oleh rasa khawatir disertai
dengan gejala somatik yang menandakan suatu kegiatan berlebihan dari susunan
saraf autonomik (SSA). Ansietas merupakan gejala yang umum tetapi non-
spesifik yang sering merupakan satu fungsi emosi. Ansietas yang patologik
biasanya merupkan kondisi yang melampaui batas normal terhadap satu ancaman
yang sungguh-sungguh dan maladaptif. Kecemasan (anxietas) adalah gangguan
alam perasaan yang ditandai dengan perasaan ketakutan atau kekhawatiran yang
mendalam dan berkelanjutan, tidak mengalami gangguan dalam menilai realitas,
kepribadian masih tetap utuh, perilaku dapat terganggu tetapi masih dalam batas
normal.
Depresi adalah gangguan alam perasaan yang ditandai dengan kemurungan
dan kesedihan yang mendalam dan berkelanjutan sehingga hilangnya kegairahan
hidup, tidak mengalami gangguan dalam menilai realitas, kepribadian tetap utuh,
prilaku dapat terganggu tetapi dalam batas-batas normal. Depresi merupakan satu
masa terganggunya fungsi manusia yang berkaitan dengan alam perasaan yang
16

sedih dan gejala penyertanya, termasuk perubahan pada pola tidur dan nafsu
makan, psikomotor, konsentrasi, anhedonia, kelelahan, rasa putus asa dan tak
berdaya, serta gagasan bunuh diri.
Gangguan campuran kecemasan dan depresi merupakan gejala kecemasan dan
depresi yang bermakna secara klinistetapi tidak memenuhi kriteria untuk
gangguan mood spesifik atau gangguan kecemasan spesifik. Gangguan campuran
kecemasan dan depresi melingkupi pasien yang memiliki gejala kecemasan dan
depresi tetapi tidak memenuhi kriteria diagnosis untuk suatu gangguan mood.
Kombinasi gejala depresi dan kecemasan menyebabkan gangguan fungsional
yang bermakna pada orang yang terkena. Kondisi mungkin cukup menonjol pada
praktek pelayanan primer dan klinik kesehatan mental rawat jalan.

2.2 Kriteria Diagnosis Gangguan Campuran Anxietas dan Deresi


Kriteria berdasarkan PPDGJ III:
1. Terdapat gejala-gejala anxietas maupun depresi, dimana masing-masing tidak
menunjukkan rangkaian gejala yang cukup berat untuk menegakkan diagnosis
tersendiri. Untuk anxietas, beberapa gejala otonomik harus ditemukan
walaupun tidak terus menerus, disamping rasa cemas atau kekhawatiran
berlebihan.
2. Bila ditemukan anxietas berat disertai depresi yang lebih ringan, maka harus
dipertimbangkan kategori gangguan anxietas lainnya atau gangguan anxietas
fobik.
3. Bila ditemukan sindrom dpresi dan axietas yang cukup berat untuk
menegakkan masing-masing diagnosis, maka kedua diagnosis tersebut harus
dikemukakan, dan diagnosis campuran tidak dapat digunakan. Jika Karena
suatu hal hanya dapat dikemukakan satu diagnosis maka gangguan depresif
harus diutamakan.
4. Bila gejala-gejala tersebut saling berkaitan erat dengan stres kehidupan yang
jelas, maka harus digunakan katgori F43.2 gangguan penyesuaian.

2.3 Etiologi
17

2.3.1 Etiologi Gangguan Depresi


1. Faktor Organobiologik
Dilaporkan terdapat kelainan atau disregulasi pada metabolit amin biogenik
seperti asam 5-hydroxyindoleacetic (5-HHIA), Asam Homovanilic (HVA), dan 3-
methoxy-4-hydroxyphenil-glycol (MPHG) di dalam darah, urin dan cairan
serebrospinal pasien dengan gangguan mood.
2. Amin Biogenik
Norephinephrin dan serotonin adalah neurotransmiter yang paling terlibat
patofisiologi gangguan mood. Penurunan resegulasi reseptor beta adrenergik dan
respon klinis anti-depresi mungkin merpakan peran langsung sistem
noradrenergik pada depresi. Bukti lain juga melibatkan reseptor b2-presinaptik
pada depresi yaitu aktifnya reseptor yang menyebabka pengurangan jumlah
pelepasan norepinefrin. Reseptor b2-presinaptik juga terletak pada neuron
serotonergik dan mengatur jumlah pelepasan serotonin.
Aktivitas dopamin mungkin berkurang pada depresi. Penemuan subtipe baru
reseptor dopamin dan meningkatnya pengertian fungsi regulasi presinaptik dan
pascasinaptik dopamin memperkaya hubungan antara dopamin dengan ganguan
mood. Dua teori terbaru tentang dopamin dan depresi adalah jalur dopamin
mesolimbik mungkin mengalami disfungsi pada depresi dan reseptor dompamin
D1 mungkin hipoaktif pada depresi.
Aktivitas serotonin berkurang pada depresi. Serotonin bertanggung jawab
untuk kontrol regulasi afek,agresi, tidur dan nafsu makan. Pada beberapa
penelitian ditemukan jumlah Serotonin yang berkurang di celah sinaps dikatakan
bertanggung jawab untuk terjadinya depresi.
3. Faktor Genetik
Genetik merupakan faktor penting dalam perkembangan gangguan mood,
tetapi jalur penurunan sangat kompleks. Sulit untuk mengabaikan faktor
psikososial, dan juga faktor nongenetik kemungkinan berperan sebagai penyebab
berkembangnya gangguan mood pada beberapa orang. Pada anak kembar
dizigotik gangguan depresi berat terdapat sebanyak 13-28%, sedangkan pada
kembar monozigotik 53-69%.
18

4. Faktor Psikososial
Peristiwa kehidupan yang membuat seseorang merasa tertekan dapat
mencetuskan depresi. Episode pertama ini lebih ringan dibandingkan episode
berikutnya. Ada teori yang mengemukakan adanya stress sebelum episode
pertama menyebabkan perubahan biologik otak yang bertahan lama. Hal ini
menyebabkan perubahan berbagai neurotransmitter dan sistem sinyal intraneuron,
termasuk hilangnya beberapa neuron dan penurunan kontaksinaps. Dampaknya
seseorang individu berisiko tinggi mengalami episode berulang gangguan mood,
sekalipun tanpa stressor dari luar. Data paling mendukung sehubungan dengan
peristiwa kehidupan atau stressor lingkungan yang sering berkaitan dengan
depresi adalah kehilangan orang tua sebelum berusia 11 tahun dan kehilangan
pasangan. Kehilangan objek cinta pada masa perkembangan walaupun tidak
secara langsung dapat mencetuskan gangguan depresi, namun berpengaruh pada
ekspresi penyakit misalnya awitan timbulnya gangguan, episode yang lebih parah,
adanya gangguan kepribadian dan keinginan bunuh diri.
5. Faktor Kepribadian
Semua orang, apapun pola kepribadiannya dapat mengalami depresi sesuai
dengan situasinya. Orang dengan kepribadian obsesi kompulsi, historinik dan
ambang, berisiko tinggi untuk mengalami depresi dibandingkan dengan orang
yang memiliki gangguan kepribadia paranoid dan antisosial. Pasien dengan
gangguan distimik dan siklotimik berisiko mengalami gangguan depresi berat.
Peristiwa yang stressful merupahan prediktor terkuat untuk terjadinya episode
depresi. Riset menunjukkan bahwa pasien yang mengalami stressor akibat tidak
adanya kepercayaan diri lebih sering mengalami depresi.
2.3.2 Etiologi Gangguan Cemas
1. Teori Biologi
Area otak yang diduga terlibat pada timbulnya gangguan cemas menyeluruh
adalah lobus oksipitalis yang mempunyai reseptor benzodiazepine tertinggi di
otak. Basal ganglia, sistem limbik dan korteks frontal juga dihipotesiskan terlibat
pada etiologi timbulnya gangguan cemas menyeluruh. Pada pasien gangguan
cemas menyeluruh juga ditemukan sistem serotonergik yang abnormal.
19

Neurotransmitter yang berkaitan dengan penyakit ini adalah GABA, serotonin,


norepinefrin, glutamate, dan kolesistokinin. Pemeriksaan PET (positron Emission
Tomography) pada pasien ditemukan penurunan metabolisme di ganglia basal dan
massa putih otak.
2. Teori Genetik
Pada sebuah studi didapatkan bahwa terdapat hubungan genetik pasien
gangguan cemas menyeluruh dan gangguan depresi mayor pada pasien wanita.
Sekitar 25% dari keluarga tingkat pertama gangguan cemas menyeluruh juga
menderita gangguan yang sama. Sedangkan penelitian pada pasangan kembar
didapatkan angka 50% pada kembar monozigotik dan 15% pada kembar dizigotik.

3. Teori Psikoanalitik
Teori psikoanalitik menghipotesiskan bahwa gangguan cemas adalah gejala
dari konflik bawah sadar yang tidak terselesaikan. Pada tingkat yang paling
primitif, gangguan cemas dihubungkan dengan perpisahan dengan objek cinta.
Pada tingkat yang lebih matang lagi gangguan cemas dihubungkan dengan
kehilangan cinta dari objek yang penting. Gangguan cemas kastrasi berhubungan
dengan fase oedipal sedangkan gangguan cemas superego merupakan ketakutan
seseorang untuk mengecewakan nilai dan pandangannya sendiri (merupakan
gangguann cemas paling matang). Peran amigdala yang meningkatkan respons
takut tanpa rujukan apapun mengenai sistem memori, tujuan terapi pada pasien
gangguan cemas bukan lah untuk menghilangkan semua cemas tetapi
meningkatkan toleransi terhadap cemas yaitu, kemampuan mengalami cemas dan
menggunakannya sebagai sinyal untuk menyelidiki konflik dasar yang telah
menciptakannya. Gangguan cemas muncul sebagai respons terhadap berbagai
situasi selama siklus kehidupan, dan upaya menghilangkanya dengan cara
psikofarmakologis mungkin tidak berfungsi apapun dalam menyelesaikan situasi
yang mencetuskan keadaan cemas.
4. Teori Kognitif-Perilaku
20

Penderita gangguan cemas menyeluruh berespons secara salah dan tidak tepat
terhadap ancaman, disebabkan oleh perhatian yang selektif terhadap hal-hal
negatif pada lingkungan, adanya distorsi pada pemrosesan informasi dan
pandangan yang sangat negatif terhadap kemampuan diri untuk menghadapi
ancaman.Teori perilaku atau pembelajaran telah menghasilkan beberapa terapi
yang paling efektif untuk gangguan cemas. Menurut teori ini gangguan cemas
adalah respons yang dipelajari terhadap stimulus lingkungan spesifik.
5. Neurotransmiter
Tiga neurotransmitter utama yang terkait dengan gangguan cemas berdasarkan
studi hewan dan respons terhadap terapi obat adalah norepinefrin, serotonin dan
gamma-aminobutyric acid. Sistem saraf otonom pada sejumlah pasien dengan
gangguan cemas, terutama mereka dengan gangguan panik menunjukan
peningkatan tonus simpatik, beradaptasi lambat terhadap stimulus berulang dan
berespons berlebihan pada stimulus sedang.
Norepinefrin dalam gangguan cemas adalah bahwa pasien yang mengalami
gangguan cemas dapat memiliki sistem adrenergik yang diatur dengan buru dan
terjadi ledakan aktivitas kadang–kadang. Sel noradrenergik ini terletak apda locus
ceruleus di pars rostralis dan aksonya kearah korteks serebri, sistem limbik,
batang otak serta medulla spinalis. Eksperimen pada primata menunjukan bahwa
stimulasi pada locus ceruleus menghasilkan respon rasa takut pada hewan,
sedangkan ablasi pada area yang sama menghilangkan kemampuan hewan
membentuk respons takut.
Terdapat banyaknya reseptor serotonin dan diawali aktivitas antidepresan
serotonergik memiliki efek terapeutik pada sejumlah gangguan cemas
mengesankan bahwa kemungkinan hubungan serotonin dengan gangguan cemas.
Badan sel sebagian besar neuron serotonergik terletak di raphe nuclei di batang
otak pars rostralis dan menyalurkan impulsna ke korteks serebri, sistem limbik
(amigdala dan hipokampus), serta hipotalamus.
Gamma-aminobutyric acid atau GABA dalam gangguan cemas paling kuat di
dukung oleh efektivitas benzodiazepin yang tidak meragukan, yang meningkatkan
aktivitas GABA di reseptor GABA, di dalam terapi beberapa jenis gangguan
21

cemas. Walaupun benzodiazepin potensi rendah paling efektif untuk gejala


gangguan cemas menyeluruh, benzodiazepin potensi tinggi seperti alprazolam
efektif dalam terapi gangguan panik. Pada studi menemukan bahwa gejala sistem
saraf otonom pada gangguan cemas dicetuskan ketiga agonis kebalikan
benzodiazepine beta-karbolin 3-asam karboksilat (BCCE) diberikan. Antagonis
benzodiazepine, flumazenil menyebabkan serangan panik berat yang sering pada
pasien dengan gangguan panik.

2.4 Epidemiologi
2.4.1 Epidemiologi Gangguan Depresi
Keadaan depresi adalah keadaan yang dialami sekitar 350 juta orang di dunia.
World Mental Health Survey menunjukkan bahwa rata-rata 1 dari 20 orang
menderita depresi di 17 negara. Keadaan depresi pada populasi di Amerika Serikat
dengan umur diatas 18 tahun sebanyak 7,9%. Keadaan depresi berat mempunyai
prevalensi seumur hidup kira-kira 15%. Direktur Jenderal Bina Upaya Kesehatan,
Kementrian Kesehatan, Supriyantoro pada tahun 2011 menyatakan bahwa ada
sekitar 11,6% atau 17,4 juta jiwa dari 150 juta penduduk Indonesia mengalami
gangguan mental emosional berupa gangguan kecemasan dan depresi. Sementara
Kepala Dinas Kesehatan DKI Jakarta Dien Emawati pada tahun 2011 menyatakan
bahwa jumlah penderita gangguan jiwa ringan hingga triwulan kedua tahun 2011
mencapai 306.621 orang.
2.4.2 Epidemiologi Gangguan Cemas
Keberadaan ganggguan depresif berat dan gangguan panik secara bersamaan
lazim ditemukan. Dua pertiga pasien dengan gejala depresif memiliki gejala
ansietas yang menonjol, dan dua pertiganya dapat memenuhi kriteria diagnostik
ganguan panik. Peneliti telah melaporkan bahwa 20 sampai 90 persen pasien
dengan ganggguan panik memiliki episode gangguan depresif berat. Data ini
mengesankan bahwa keberadaan gejala depresif dan ansietas secara bersamaan,
tidak ada di antaranya yang memenuhi kriteria diagnostik gangguan depresif atau
ansietas lain dapat lazim ditemukan. Meskipun demikian, sejunlah klinisi dan
peneliti memperkirakan bahwa pravelensi gangguan ini pada populasi umum
adalah 10 persen dan di klinik pelayanan primer sampai tertinggi 50 persen,
22

walaupun perkiraan konservatif mengesankanpravelensi sekitar 1 persen pada


populasi umum.

2.5 Tatalaksana
2.5.1 Tatalaksana Depresi
Pengobatan pasien dengan gangguan mood harus diamanahkan pada sejumlah
tujuan. Pertama, keamanan pasien harus terjamin. Kedua, pemeriksaan diagnostik
yang lengkap pada pasien harus dilakukan. Ketiga, suatu rencana pengobatan
harus dimulai yang menjawab bukan hanya gejala sementara tetapi juga kesehatan
pasien selanjutnya.
Dokter harus mengintegrasikan farmakoterapi dengan intervensi
psikoterapeutik. Jika dokter memandang gangguan mood pada dasarnya
berkembang dari masalah psikodinamika, ambivalensi mengenai kegunaan obat
dapat menyebabkan respons yang buruk, ketidakpatuhan, dan kemungkinan dosis
yang tidak adekuat untuk jangka waktu yang singkat. Sebaliknya, jika dokter
mengabaikan kebutuhan psikososial pasien, hasil dari farmakoterapi mungkin
terganggu.
1. Terapi Farmakologis
Antidepresan yang tersedia sekarang cukup bervariasi di dalam efek
farmakologisnya. Variasi tersebut merupakan dasar untuk pengamatan bahwa
pasien individual mungkin berespons terhadap antidepresan lainnya. Variasi
tersebut juga merupakan dasar untuk membedakan efek samping yang terlihat
pada antidepresan.
Pembedaan yang paling dasar diantara antidepresan adalah pada proses
farmakologis yang terjadi, dimana ada antidepresan yang memiliki efek
farmakodinamika jangka pendek utamanya pada tempat ambilan kembali
(reuptake sites) atau pada tingkat inhibisi enzim monoamine oksidasi. bekerja
untuk menormalkan neurotransmitter yang abnormal di otak khususnya epinefrin
dan norepinefrin. Antidepresan lain bekerja pada dopamin. Hal ini sesuai dengan
etiologi dari depresi yang kemungkinan diakibatkan dari abnormalitas dari sistem
neurotransmitter di otak. Obat antidepresan yang akan dibahas adalah antidepresi
23

generasi pertama (Trisiklik dan MAOIs), antidepresi golongan kedua (SSRIs) dan
antidepresi golongan ketiga (SRNIs).
a. Trisiklik
Trisiklik merupakan antidepresan yang paling umum digunakan sebagai
pengobatan lini pertama untuk gangguan depresif berat. Golongan trisiklik ini
dapat dibagi menjadi beberapa golongan, yaitu trisiklik primer, tetrasiklik amin
sekunder (nortriptyline, desipramine) dan tetrasiklik tersier (imipramine,
amitriptlyne). Dari ketiga golongan obat tersebut, yang paling sering digunakan
adalah tetrasiklik amin sekunder karena mempunyai efek samping yang lebih
minimal. Obat golongan tetrasiklik sering dipilih karena tingkat kepuasan klinisi
dikarenakan harganya yang murah karena sebagian besar golongan dari obat ini
tersedia dalam formulasi generik.
Golongan obat trisiklik bekerja dengan menghambat reuptake
neurotransmitter di otak. Secara biokimia, obat amin sekunder diduga bekerja
sebagai penghambat reuptake norepinefrin, sedangkan amin tersier menghambat
reuptake serotonin pada sinaps neuron.hal ini mempunyai implikasi bahwa
depresi akibat kekurangan norepinefrin lebih responsive terhadap amin sekunder,
sedangkan depresi akibat kekurangan serotonin akan lebih responsive terhadap
amin tersier.
b. MAOIs (Monoamine Oxidase Inhibitors)
MAOIs telah digunakan sebagai antidepresan sejak 15 tahun yang lalu.
Golongan ini bekerja dalam proses penghambatan deaminasi oksidatif
katekolamin di mitokondria, akibatnya kadar einefrin, noreprinefrin dan 5-HT
dalam otak naik. Obat ini sekarang jarang digunakan sebagai lini pertama dalam
pengobatan depresi karena bersifat sangat toksik bagi tubuh. Selain karena dapat
menyebabkan krisis hipertensif akibat interaksi dengan tiramin yang berasal dari
makanan-makanan tertentu seperti keju, anggur dan acar, MAOIs juga dapat
menghambat enzim-enzim di hati terutama sitokrom P450 yang akhirnya akan
mengganggu metabolisme obat di hati.
c. SSRIs (Selective Serotonin Reuptake Inhibitors)
24

SSRIs adalah jenis pengobatan yang juga menjadi pilihan lini pertama pada
gangguan depresif berat seain golongan trisiklik. Obat golongan ini mencakup
fluoxetine, citalopram dan setraline. SSRIs sering dipilih oleh klinisi yang
pengalamannya mendukung data penelitian bahwa SSRIs sama manjurnya dengan
trisiklik dan jauh lebih baik ditoleransi oleh tubuh karena mempunyai efek
samping yang cukup minimal karena kurang memperlihatkan pengaruh terhadap
sistem kolinergik, adrenergik dan histaminergik. Interaksi farmakodinamik yang
berbahaya akan terjadi bila SSRIs dikombinasikan dengan MAOIs, karena akan
terjadi peningkatan efek serotonin secara berlebihan yang disebut sindrom
serotonin dengan gejala hipertermia, kejang, kolaps kardiovaskular dan gangguan
tanda vital.
d. SNRIs (Serotonin and Norepinephrine Inhibitors )
Golongan antidepresan SNRIs bekerja dengan mekanisme yang hampir sama
dengan golongan SSRIs, hanya saja pada SNRIs juga menghambat dari reuptake
norepinefrin. Selain dari golongan obat yang telah dibahas sebelumnya, masih ada
beberapa alternatif yang digunakan untuk terapi medikamentosa pada pasien
depresi dengan keadaan tertentu.
Dalam pengaturan dosis perlu mempertimbangkan onset efek primer (efek
klinis) sekitar 2-4 minggu, efek sekunder (efek samping) sekitar 12-24 jam, serta
waktu paruh sekitar 12-48 jam (pemberian 1-2 kali per hari). Ada 5 proses dalam
pengaturan dosis, yaitu:
 Initiating dosage (tes dosage), untuk mencapai dosis anjuran selama 1
minggu, misalnya amitriptylin 25 mg/hari pada hari 1-2,50 mg/hari pada hari
ke 3 dan ke 4, 100 mg/hari pada hari ke 5 dan ke 6.
 Titrating dosage (optimal dose), dimulai pada dosis anjuran sampai dosis
efektif, kemudian menjadi dosis optimal. Misalnya amitriptylin 150 mg/hari
selama hari ke 7-15 ( minggu II), kemudian minggu ke III 200 mg/hari dan
minggu ke IV 300 mg/hari.
 Stabilizing dosage (Stabilzation dose), dosis optimal dipertahankan selama 2-
3 bulan. Misalnya amitriptylin 300 mg/hari (dosis optimal) kemudian
diturunkan sampai dosis pemeliharaan.
25

 Maintaning dosage (maintanance dose), selama 3-6 bulan. Biasanya dosis


pemeliharaan ½ dosis optimal. Misalnya amitriptylin 150 mg/hari.
 Tapering dosage (tapering dose), selama 1 bulan, kebalikan dari proses
initialing dose. Misalnya amitriptylin 150 mg/hari  100 mg/hari selama 1
minggu. 100 mg  75 mg/hari selama 1 minggu, 75 mg  50 mg/hari selama
1 minggu, 50 mg/hari  25 mg/hari selama 1 minggu.
e. Terapi Elektrokonvulsan
Terapi ini merupakan terapi yang paling kontroversial dari pengobatan
biologis. ECT bekerja dengan aktivitas listrik yang akan dialirkan pada otak.
Elektroda-elektroda metal akan ditempelkan pada bagian kepala, dan diberikan
tegangan sekitar 70 sampai 130 volt dan dialirkan pada otak sekitarsatu setengah
menit. ECT paling sering digunakan pada pasien dengan gangguan depresi yang
tidak dapat sembuh dengan obat-obatan, dan ECT ini mengobati gangguan depresi
sekitar 50%-60% individu yang mengalami gangguan depresi.
2. Terapi Non Farmakologis
Tiga jenis psikoterapi jangka pendek yang digunakan dalam pengobatan
depresif berat adalah terapi kognitif, terapi interpersonal dan terapi perilaku telah
menemukan predictor respons terhadap berbagai pengobatan sebagai berikut ini :
(1) disfungsi sosial yang rendah menyatakan respons yang baik terhadap terapi
interpersonal, (2) disfungsi kognitif yang rendah menyatakan respons yang baik
terhadap terapi kognitif-perilaku dan farmakoterapi, (3) disfungsi kerja yang
tinggi mengarahkan respons yang baik terhadap farmakoterapi, (4) keparahan
depresi yang tinggi menyatakan respons yang baik terhadap terapi interpersonal
dan farmakoterapi.
Pada awalnya, terapi ini dikembangkan oleh Aaron Beck yang memusatkan
pada distorsi kognitif yang didalilkan ada pada gangguan depresi berat. Tujuan
terapi ini untuk menghilangkan episode depresif dan mencegah rekurennya
dengan membantu pasien mengidentifikasi dan uji kognitif negatif.
a. Terapi Kognitif
26

Terapi kognitif merupakan terapi aktif, langsung, dan time limited yang
berfokus pada penanganan struktur mental seorang pasien. Struktur mental
tersebut terdiri ; cognitive triad, cognitive schemas, dan cognitive errors.
b. Terapi Perilaku
Terapi perilaku adalah terapi yang digunakan pada pasien dengan gangguan
depresi dengan cara membantu pasien untuk mengubah cara pikir dalam
berinteraksi denga lingkungan sekitar dan orang-orang sekitar. Terapi perilaku
dilakukan dalam jangka waktu yang singkat, sekitar 12 minggu.
c. Terapi Interpersonal
Terapi interpersonal dikembangkan oleh Gerald Klerman, memusatkan pada
satu atau dua masalah interpersonal pasien yang sedang dialami sekarang, dengan
menggunakan dua anggapan: pertama, masalah interpersonal sekarang
kemungkinan memiliki akar pada hubungan awal yang disfungsional. Kedua,
masalah interpersonal sekarang kemungkinan terlibat di dalam mencetuskan atau
memperberat gejala depresif sekarang. Terapi ini didasari oleh hal-hal yang
mempengaruhi hubungan interpersonal seorang individu, yang dapat memicu
terjadinya gangguan mood. Terapi ini berfungsi untuk mengetahui stressor pada
pasien yang mengalami gangguan, dan para terapis dan pasien saling bekerja sama
untuk menangani masalah interpersonal tersebut.
2.5.2 Tatalaksana Cemas
Benzodiazepin merupakan pilihan pertama pada pengobatan gangguan cemas
akut. Pemberian benzodiazepin dimulai dengan dosis terendah dan ditingkatkan
sampai mencapai respon terapi. Penggunaan sediaan dengan waktu paruh
menengah dan dosis terbagi dapat mencegah terjadinya efek yang tidak
diinginkan. Lama pengobatan rata-rata 2-6 minggu, dilanjutkan dengan masa
tapering off selama 1-2 minggu. Spektrum klinis benzodiazepin meliputi efek
anti-anxietas, antikonvulsan, anti-insomnia, dan premedikasi tindakan operatif.
Adapun obat-obat yang termasuk dalam golongan benzodiazepin antara lain:5
a. Diazepam dengan dosis anjuran oral 2-3 x 2-5 mg/hari dan injeksi 5-10 mg
i.m/i.v), broadspectrum.
b. Chlordiazepoxide, dosis anjuran 2-3 x 5-10 mg/hari, broadspectrum.
27

c. Lorazepam, dosis anjuran 2-3 x 1 mg/hari. Dosis anti-anxietas dan anti-


insomnia berjauhan (dose-related), lebih efektif sebagai anti-anxietas.
Biasanya diberikan untuk pasien-pasien dengan kelainan hati dan ginjal.
d. Clobazam, dosis anjuran 2-3 x 10 mg/hari. Dosis anti-anxietas dan anti-
insomnia berjauhan (dose-related), lebih efektif sebagai anti-anxietas.
Psychomotor performance paling kurang terpengaruh. Diberikan untuk pasien
dewasa dan usia lanjut yang masih ingin tetap aktif.
e. Bromazepam, dosis anjuran 3 x 1,5 mg/hari. Dosis anti-anxietas dan anti-
insomnia berjauhan (dose-related), lebih efektif sebagai anti-anxietas.
f. Alprazolam, dosis anjuran 3 x 0,25 – 0,5 mg/hari. Efektif untuk anxietas tipe
antisipatorik. Onset kerja lebih cepat dan mempunyai komponen efek anti-
depresi.

2.6 Prognosis
Berdasarkan data klinis sampai saat ini, pasien tampak sama besar
kemungkinannya untuk memiliki gejala anxietas yang menonjol, gejala depresif
yang menonjol, atau campuran dua gejala dengan besar yang sama saat awita.
Selama perjalanan penyakit, dominasi gejala anxietas dan depresif dapat
bergantian. Prognosisnya tidak dapat diketahui.
DAFTAR PUSTAKA

1. Kaplan, Harold I., Sadock, Benyamin J. 1998. Anxietas dan Depresi dalam
Ilmu Kedokteran Jiwa Darurat. Jakarta : Widya Medika. Hal. 145-154 dan 227-
232.
2. Kaplan, H., Sadock, Benjamin. 1997. Gangguan Kecemasan dalam Sinopsis
Psikiatri: Ilmu Pengetahuan Perilaku Psikiatri Klinis Edisi ke-7 Jilid 2. Jakarta:
Bina Rupa Aksara. Hal. 29-32.
3. Hawari, Dadang. 2011. Manajemen Stres, Cemas, dan Depresi. Jakarta:
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Hal. 3-11 dan 17-22.

28
29

Anda mungkin juga menyukai