Lapsus C1
Lapsus C1
Diajukan sebagai salah satu tugas P3D Bagian Ilmu Kedokteran Jiwa
Pembimbing:
Dr. Arlisa Wulandari, dr., SpKJ., M.Kes.
Disusun Oleh:
Puji dan syukur kehadirat Allah SWT karena atas berkat rahmat-Nya penulis
dapat menyelesaikan laporan kasus yang berjudul “Gangguan Campuran Cemas
Depresi”. Laporan kasus ini merupakan salah satu syarat tugas kepaniteraan Ilmu
Kedokteran Jiwa Rumah Sakit Tk. II Dr. Dustira Cimahi Universitas Jenderal
Achmad Yani.
Laporan kasus ini telah kami susun dengan bantuan dari berbagai pihak
sehingga dapat memperlancar pembuatan makalah ini. Penulis ingin mengucapkan
terima kasih dan penghargaan sebesar besarnya kepada semua pihak yang telah
berkontribusi dalam pembuatan makalah ini.
Dengan segala kerendahan hati penulis menyadari bahwa masih terdapat
kekurangan dalam penyusunan laporan kasus ini. Untuk itu, penulis
mengharapkan kritik dan saran yang membangun guna kesempurnaan laporan
kasus ini.
Penulis
2
3
DAFTAR ISI
Halaman
KATA PENGANTAR................................................................................i
DAFTAR ISI...............................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN...........................................................................1
BAB II DASAR TEORI.............................................................................13
2.1 Definisi Gangguan Campuran Cemas dan Depresi...............................13
2.2 Kriteria Diagnosis Gangguan Campuran Cemas dan Depresi..............14
2.3 Etiologi..................................................................................................14
......................................................................................................................
2.3.1 Etiologi Gangguan Depresi..........................................................................14
......................................................................................................................
2.3.2 Etiologi Gangguan Cemas............................................................................16
2.4 Epidemiologi.........................................................................................18
2.4.1 Epidemiologi Gangguan Depresi................................................18
2.4.2 Epidemiologi Gangguan Cemas.................................................19
2.5 Tatalaksana............................................................................................19
2.5.1 Tatalaksana Gangguan Depresi...................................................19
2.5.2 Tatalaksana Gangguan Cemas....................................................24
2.6 Prognosis...............................................................................................25
DAFTAR PUSTAKA.................................................................................26
LAMPIRAN................................................................................................27
4
IDENTITAS PASIEN
Nama Lengkap : Nn. Alya Noer
Nama Kecil : Alya
No. Med Rec : 602484
Jenis Kelamin : Perempuan
Umur : 21 tahun
Alamat : Jl. Ibu sangkit RT 01/13 Cibeber Cimahi Selatan
Status Perkawinan : Belum menikah
Pendidikan : SMA
Agama : Islam
Suku : Sunda
Pekerjaan : Belum bekerja
Penghasilan/bulan :-
Tanggal Pemeriksaan : 05 January 1999
merasa kesal dengan rasa sedih dan sakit hatinya terkadang Gejala
pasien sering memukul mukuli dada kirinya dengan tujuan untuk depresi
menghilangkan rasa sakitnya, namun keinginan untuk bunuh diri
disangkal oleh pasien. Pasien menyangkal sebelumnya ada
riwayat dimana pasien merasa bersemangat dan gembira Bukan
berlebih. gangguan
Keluhan tidak disertai adanya keluhan seperti bipolar
mengerjakan sesuatu terus-menerus dan apabila tidak dikerjakan Gejala OCD
merasa gelisah. Keluhan tidak disertai mendengar suara bisikan (-)
maupun melihat bayangan hitam. Gejala
Psikosis (-)
Riwayat Keluarga :
Menikah
Riwayat
Pasien merupakan anak pertama dari dua bersaudara, tinggal
penyakit
bersama kedua orangtua dan juga adiknya. Status ekonomi
serupa pada
keluarga termasuk menengah keatas. Pasien cindering pendiam
keluarga tidak
dirumah, tidak dekat dengan ayah namun dekat dengan ibu dan
ada.
adik laki-lakinya. Keluhan serupa pada keluarga disangkal
Kepribadian
introvert
Genogram :
Faktor
Tn. A Pencetus
Ny.
N
LM
AN
4 tahun
Keterangan
= Laki-laki
= Perempuan
= Meninggal
Riwayat Pendidikan
Pendidikan terakhir yaitu SMA.
9
Riwayat Pekerjaan
Pasien belum bekerja
Riwayat Perkawinan
Pasien belum menikah.
Hubungan sosial
Semenjak sakit, pasien menjadi lebih kesulitan untuk
berinteraksi dengan orang lain.
STATUS FISIKUS
Status Generalis
Kesadaran : Compos Mantis
Kesan Sakit : Sakit ringan
Tanda Vital:
Tensi : 110/80 mmHg
Nadi : 72x/menit
Respirasi : 18x/menit
Suhu : 36,6ºC
Status Gizi : Cukup
Kepala dan Leher : Normochepal
Mata : Konjungtiva anemis -/-, Sklera ikterik -/-
Hidung : Tidak ada kelainan
Leher : KGB tidak teraba
Thoraks : Bentuk dan gerak simetrik
Cor dan Pulmo tidak ada kelainan
Abdomen : Bising Usus + normal
Hepatosplenomegali -
Ekstremitas : CRT <2 detik, akral hangat, motorik tidak ada kelainan.
Susunan saraf:
Saraf otak : Tidak ada kelainan
11
STATUS PSIKIATRIKUS
Penampilan : Roman Muka: Murung
Sikap : Kooperatif
Dekorum : Pakaian, Kebersihan, dan Sopan
santun baik
Kontak : Ada dan kooperatif
Rapport : Adekuat
Cara bicara : Suara : Jelas
Volume : Sedang
Artikulasi : Jelas
Tingkah Laku/Psikomotor : Hipoaktif
Mood & Afek : Mood : Depresif
Afek : Murung
Pikiran&Persepsi : Bentuk : Realistik
Isi : Waham (-)
Jalan : Koheren
Persepsi : Halusinasi auditorik (-)
Halusinasi visual (-)
Ilusi (-)
Kognisi : Kesadaran : Compos mentis
Konsentrasi : Kurang
12
USUL PEMERIKSAAN
1. Tes kimia darah
2. Elektrokardiografi
3. Ct-scan
DIAGNOSIS MULTI-AKSIAL
Aksis – 1 : Gangguan klinis-Psikiatrik : Gangguan campuran cemas depresi
Diagnosis banding : Gangguan cemas menyeluruh
Kondisi lain yg menjadi fokus perhatian : Tidak ada
Aksis – 2 : Gangguan Kepribadian : Tidak ada diagnosis
Retardasi Mental : Tidak ada diagnosis
Aksis – 3 : Kondisi Medis Umum : Tidak ada diagnosis
Aksis – 4 : Masalah Psikososial&Lingkungan : Hubungan kedua orang tua
tidak harmonis dan stres
kuliah
Aksis – 5 : Penilaian fungsi secara global (GAF Scale): 80-71
TERAPI
Farmakologi:
Anti anxietas : Alprazolam 0,5 mg 1-0-1
13
Non farmakologi:
1. Menjelaskan kepada pasien bahwa kedua orang tua pasien memiliki urusannya
masing-masing sebagai orang yang sudah dewasa. Penyelsaian masalah orang tua
diluar kemampuan pasien.
2. Menjelaskan bahwa kedua orang tua sebenarnya masih menyayangi pasien
sebagai anaknya dengan bukti bahwa pasien masih tetap disekolahkan dan
dibiayayai kehidupan sehari-harinya. Bila kedua orang tua berpisah, itu urusan
mereka sebagai orang dewasa, selama mereka masih bertanggung jawab untuk
mengurusi pasien dan adiknya.
3. Memberikan empati kepada pasien bahwa kehilangan seseorang yang dicintai
memang sangat menyakitkan. Tidak apa untuk merasa sedih, karena itu adalah hal
yang manusiawi.
4. Memberi pengertian kepada pasien bahwa seseorang dalam hidup ini pasti ada
yang datang dan ada yang pergi, jadikan itu sebagai pengalaman hidup yang
berharga. Pasien diberitahu agar perlahan-lahan memaafkan dan mengihklaskan
segala sesuatu yang pernah terjadi, untuk ketenangan batin dirinya sendiri.
5. Memberi tahu pasien bahwa pasien sudah sangat hebat bisa melewati hari-
harinya yang terasa berat, sehingga pasien diharapkan mampu menyayangi
tubuhnya yang sudah berjuang keras agar tidak disakiti secara fisik oleh diri
sendiri.
6. Perbanyak berkegiatan untuk mengisi waktu luang, seperti membaca novel,
menulis cerita, sesuai dengan kegiatan yang pasien senangi.
7. Pasien disarankan untuk berinteraksi kembali dengan orang-orang, setidaknya
berinteraksi dengan beberpa orang yang dia percaya saja terlebih dahulu.
Edukasi Keluarga:
14
PROGNOSIS
Quo Ad Vitam : Ad Bonam
Quo Ad Functionam : Dubia Ad Bonam
PSIKODINAMIKA
Premorbid:
Sebelum sakit, pasien termasuk pribadi yang pendiam dan sulit bersosialisasi
dengan orang sekitar. Jika pasien memiliki masalah, pasien tidak menceritakan
masalah tersebut ke orang lain, pasien hanya memendam masalahnya sendiri.
Mental mekanisme yang digunakan represi.
Durante morbid:
Pasien menjadi sering cemas, berdebar-debar, mudah lelah, dada berdebar-
debar, dan sulit berkonsentrasi. Pasien juga merasa khawatir akan masa depannya
setelah kedua orang tua pasien bercerai. Keluhan awalnya karena pasien melihat
kedua orangtuanya bertengkar. Pasien mengetahui bahwa dirinya sakit
Status present:
15
Saat diperiksa pasien tampak sedih dan gelisah, cara bicara pasien normal,
akan tetapi kontak dan rapport pasien cukup baik. Mood dan afek tampak serasi,
BAB II
DASAR TEORI
sedih dan gejala penyertanya, termasuk perubahan pada pola tidur dan nafsu
makan, psikomotor, konsentrasi, anhedonia, kelelahan, rasa putus asa dan tak
berdaya, serta gagasan bunuh diri.
Gangguan campuran kecemasan dan depresi merupakan gejala kecemasan dan
depresi yang bermakna secara klinistetapi tidak memenuhi kriteria untuk
gangguan mood spesifik atau gangguan kecemasan spesifik. Gangguan campuran
kecemasan dan depresi melingkupi pasien yang memiliki gejala kecemasan dan
depresi tetapi tidak memenuhi kriteria diagnosis untuk suatu gangguan mood.
Kombinasi gejala depresi dan kecemasan menyebabkan gangguan fungsional
yang bermakna pada orang yang terkena. Kondisi mungkin cukup menonjol pada
praktek pelayanan primer dan klinik kesehatan mental rawat jalan.
2.3 Etiologi
17
4. Faktor Psikososial
Peristiwa kehidupan yang membuat seseorang merasa tertekan dapat
mencetuskan depresi. Episode pertama ini lebih ringan dibandingkan episode
berikutnya. Ada teori yang mengemukakan adanya stress sebelum episode
pertama menyebabkan perubahan biologik otak yang bertahan lama. Hal ini
menyebabkan perubahan berbagai neurotransmitter dan sistem sinyal intraneuron,
termasuk hilangnya beberapa neuron dan penurunan kontaksinaps. Dampaknya
seseorang individu berisiko tinggi mengalami episode berulang gangguan mood,
sekalipun tanpa stressor dari luar. Data paling mendukung sehubungan dengan
peristiwa kehidupan atau stressor lingkungan yang sering berkaitan dengan
depresi adalah kehilangan orang tua sebelum berusia 11 tahun dan kehilangan
pasangan. Kehilangan objek cinta pada masa perkembangan walaupun tidak
secara langsung dapat mencetuskan gangguan depresi, namun berpengaruh pada
ekspresi penyakit misalnya awitan timbulnya gangguan, episode yang lebih parah,
adanya gangguan kepribadian dan keinginan bunuh diri.
5. Faktor Kepribadian
Semua orang, apapun pola kepribadiannya dapat mengalami depresi sesuai
dengan situasinya. Orang dengan kepribadian obsesi kompulsi, historinik dan
ambang, berisiko tinggi untuk mengalami depresi dibandingkan dengan orang
yang memiliki gangguan kepribadia paranoid dan antisosial. Pasien dengan
gangguan distimik dan siklotimik berisiko mengalami gangguan depresi berat.
Peristiwa yang stressful merupahan prediktor terkuat untuk terjadinya episode
depresi. Riset menunjukkan bahwa pasien yang mengalami stressor akibat tidak
adanya kepercayaan diri lebih sering mengalami depresi.
2.3.2 Etiologi Gangguan Cemas
1. Teori Biologi
Area otak yang diduga terlibat pada timbulnya gangguan cemas menyeluruh
adalah lobus oksipitalis yang mempunyai reseptor benzodiazepine tertinggi di
otak. Basal ganglia, sistem limbik dan korteks frontal juga dihipotesiskan terlibat
pada etiologi timbulnya gangguan cemas menyeluruh. Pada pasien gangguan
cemas menyeluruh juga ditemukan sistem serotonergik yang abnormal.
19
3. Teori Psikoanalitik
Teori psikoanalitik menghipotesiskan bahwa gangguan cemas adalah gejala
dari konflik bawah sadar yang tidak terselesaikan. Pada tingkat yang paling
primitif, gangguan cemas dihubungkan dengan perpisahan dengan objek cinta.
Pada tingkat yang lebih matang lagi gangguan cemas dihubungkan dengan
kehilangan cinta dari objek yang penting. Gangguan cemas kastrasi berhubungan
dengan fase oedipal sedangkan gangguan cemas superego merupakan ketakutan
seseorang untuk mengecewakan nilai dan pandangannya sendiri (merupakan
gangguann cemas paling matang). Peran amigdala yang meningkatkan respons
takut tanpa rujukan apapun mengenai sistem memori, tujuan terapi pada pasien
gangguan cemas bukan lah untuk menghilangkan semua cemas tetapi
meningkatkan toleransi terhadap cemas yaitu, kemampuan mengalami cemas dan
menggunakannya sebagai sinyal untuk menyelidiki konflik dasar yang telah
menciptakannya. Gangguan cemas muncul sebagai respons terhadap berbagai
situasi selama siklus kehidupan, dan upaya menghilangkanya dengan cara
psikofarmakologis mungkin tidak berfungsi apapun dalam menyelesaikan situasi
yang mencetuskan keadaan cemas.
4. Teori Kognitif-Perilaku
20
Penderita gangguan cemas menyeluruh berespons secara salah dan tidak tepat
terhadap ancaman, disebabkan oleh perhatian yang selektif terhadap hal-hal
negatif pada lingkungan, adanya distorsi pada pemrosesan informasi dan
pandangan yang sangat negatif terhadap kemampuan diri untuk menghadapi
ancaman.Teori perilaku atau pembelajaran telah menghasilkan beberapa terapi
yang paling efektif untuk gangguan cemas. Menurut teori ini gangguan cemas
adalah respons yang dipelajari terhadap stimulus lingkungan spesifik.
5. Neurotransmiter
Tiga neurotransmitter utama yang terkait dengan gangguan cemas berdasarkan
studi hewan dan respons terhadap terapi obat adalah norepinefrin, serotonin dan
gamma-aminobutyric acid. Sistem saraf otonom pada sejumlah pasien dengan
gangguan cemas, terutama mereka dengan gangguan panik menunjukan
peningkatan tonus simpatik, beradaptasi lambat terhadap stimulus berulang dan
berespons berlebihan pada stimulus sedang.
Norepinefrin dalam gangguan cemas adalah bahwa pasien yang mengalami
gangguan cemas dapat memiliki sistem adrenergik yang diatur dengan buru dan
terjadi ledakan aktivitas kadang–kadang. Sel noradrenergik ini terletak apda locus
ceruleus di pars rostralis dan aksonya kearah korteks serebri, sistem limbik,
batang otak serta medulla spinalis. Eksperimen pada primata menunjukan bahwa
stimulasi pada locus ceruleus menghasilkan respon rasa takut pada hewan,
sedangkan ablasi pada area yang sama menghilangkan kemampuan hewan
membentuk respons takut.
Terdapat banyaknya reseptor serotonin dan diawali aktivitas antidepresan
serotonergik memiliki efek terapeutik pada sejumlah gangguan cemas
mengesankan bahwa kemungkinan hubungan serotonin dengan gangguan cemas.
Badan sel sebagian besar neuron serotonergik terletak di raphe nuclei di batang
otak pars rostralis dan menyalurkan impulsna ke korteks serebri, sistem limbik
(amigdala dan hipokampus), serta hipotalamus.
Gamma-aminobutyric acid atau GABA dalam gangguan cemas paling kuat di
dukung oleh efektivitas benzodiazepin yang tidak meragukan, yang meningkatkan
aktivitas GABA di reseptor GABA, di dalam terapi beberapa jenis gangguan
21
2.4 Epidemiologi
2.4.1 Epidemiologi Gangguan Depresi
Keadaan depresi adalah keadaan yang dialami sekitar 350 juta orang di dunia.
World Mental Health Survey menunjukkan bahwa rata-rata 1 dari 20 orang
menderita depresi di 17 negara. Keadaan depresi pada populasi di Amerika Serikat
dengan umur diatas 18 tahun sebanyak 7,9%. Keadaan depresi berat mempunyai
prevalensi seumur hidup kira-kira 15%. Direktur Jenderal Bina Upaya Kesehatan,
Kementrian Kesehatan, Supriyantoro pada tahun 2011 menyatakan bahwa ada
sekitar 11,6% atau 17,4 juta jiwa dari 150 juta penduduk Indonesia mengalami
gangguan mental emosional berupa gangguan kecemasan dan depresi. Sementara
Kepala Dinas Kesehatan DKI Jakarta Dien Emawati pada tahun 2011 menyatakan
bahwa jumlah penderita gangguan jiwa ringan hingga triwulan kedua tahun 2011
mencapai 306.621 orang.
2.4.2 Epidemiologi Gangguan Cemas
Keberadaan ganggguan depresif berat dan gangguan panik secara bersamaan
lazim ditemukan. Dua pertiga pasien dengan gejala depresif memiliki gejala
ansietas yang menonjol, dan dua pertiganya dapat memenuhi kriteria diagnostik
ganguan panik. Peneliti telah melaporkan bahwa 20 sampai 90 persen pasien
dengan ganggguan panik memiliki episode gangguan depresif berat. Data ini
mengesankan bahwa keberadaan gejala depresif dan ansietas secara bersamaan,
tidak ada di antaranya yang memenuhi kriteria diagnostik gangguan depresif atau
ansietas lain dapat lazim ditemukan. Meskipun demikian, sejunlah klinisi dan
peneliti memperkirakan bahwa pravelensi gangguan ini pada populasi umum
adalah 10 persen dan di klinik pelayanan primer sampai tertinggi 50 persen,
22
2.5 Tatalaksana
2.5.1 Tatalaksana Depresi
Pengobatan pasien dengan gangguan mood harus diamanahkan pada sejumlah
tujuan. Pertama, keamanan pasien harus terjamin. Kedua, pemeriksaan diagnostik
yang lengkap pada pasien harus dilakukan. Ketiga, suatu rencana pengobatan
harus dimulai yang menjawab bukan hanya gejala sementara tetapi juga kesehatan
pasien selanjutnya.
Dokter harus mengintegrasikan farmakoterapi dengan intervensi
psikoterapeutik. Jika dokter memandang gangguan mood pada dasarnya
berkembang dari masalah psikodinamika, ambivalensi mengenai kegunaan obat
dapat menyebabkan respons yang buruk, ketidakpatuhan, dan kemungkinan dosis
yang tidak adekuat untuk jangka waktu yang singkat. Sebaliknya, jika dokter
mengabaikan kebutuhan psikososial pasien, hasil dari farmakoterapi mungkin
terganggu.
1. Terapi Farmakologis
Antidepresan yang tersedia sekarang cukup bervariasi di dalam efek
farmakologisnya. Variasi tersebut merupakan dasar untuk pengamatan bahwa
pasien individual mungkin berespons terhadap antidepresan lainnya. Variasi
tersebut juga merupakan dasar untuk membedakan efek samping yang terlihat
pada antidepresan.
Pembedaan yang paling dasar diantara antidepresan adalah pada proses
farmakologis yang terjadi, dimana ada antidepresan yang memiliki efek
farmakodinamika jangka pendek utamanya pada tempat ambilan kembali
(reuptake sites) atau pada tingkat inhibisi enzim monoamine oksidasi. bekerja
untuk menormalkan neurotransmitter yang abnormal di otak khususnya epinefrin
dan norepinefrin. Antidepresan lain bekerja pada dopamin. Hal ini sesuai dengan
etiologi dari depresi yang kemungkinan diakibatkan dari abnormalitas dari sistem
neurotransmitter di otak. Obat antidepresan yang akan dibahas adalah antidepresi
23
generasi pertama (Trisiklik dan MAOIs), antidepresi golongan kedua (SSRIs) dan
antidepresi golongan ketiga (SRNIs).
a. Trisiklik
Trisiklik merupakan antidepresan yang paling umum digunakan sebagai
pengobatan lini pertama untuk gangguan depresif berat. Golongan trisiklik ini
dapat dibagi menjadi beberapa golongan, yaitu trisiklik primer, tetrasiklik amin
sekunder (nortriptyline, desipramine) dan tetrasiklik tersier (imipramine,
amitriptlyne). Dari ketiga golongan obat tersebut, yang paling sering digunakan
adalah tetrasiklik amin sekunder karena mempunyai efek samping yang lebih
minimal. Obat golongan tetrasiklik sering dipilih karena tingkat kepuasan klinisi
dikarenakan harganya yang murah karena sebagian besar golongan dari obat ini
tersedia dalam formulasi generik.
Golongan obat trisiklik bekerja dengan menghambat reuptake
neurotransmitter di otak. Secara biokimia, obat amin sekunder diduga bekerja
sebagai penghambat reuptake norepinefrin, sedangkan amin tersier menghambat
reuptake serotonin pada sinaps neuron.hal ini mempunyai implikasi bahwa
depresi akibat kekurangan norepinefrin lebih responsive terhadap amin sekunder,
sedangkan depresi akibat kekurangan serotonin akan lebih responsive terhadap
amin tersier.
b. MAOIs (Monoamine Oxidase Inhibitors)
MAOIs telah digunakan sebagai antidepresan sejak 15 tahun yang lalu.
Golongan ini bekerja dalam proses penghambatan deaminasi oksidatif
katekolamin di mitokondria, akibatnya kadar einefrin, noreprinefrin dan 5-HT
dalam otak naik. Obat ini sekarang jarang digunakan sebagai lini pertama dalam
pengobatan depresi karena bersifat sangat toksik bagi tubuh. Selain karena dapat
menyebabkan krisis hipertensif akibat interaksi dengan tiramin yang berasal dari
makanan-makanan tertentu seperti keju, anggur dan acar, MAOIs juga dapat
menghambat enzim-enzim di hati terutama sitokrom P450 yang akhirnya akan
mengganggu metabolisme obat di hati.
c. SSRIs (Selective Serotonin Reuptake Inhibitors)
24
SSRIs adalah jenis pengobatan yang juga menjadi pilihan lini pertama pada
gangguan depresif berat seain golongan trisiklik. Obat golongan ini mencakup
fluoxetine, citalopram dan setraline. SSRIs sering dipilih oleh klinisi yang
pengalamannya mendukung data penelitian bahwa SSRIs sama manjurnya dengan
trisiklik dan jauh lebih baik ditoleransi oleh tubuh karena mempunyai efek
samping yang cukup minimal karena kurang memperlihatkan pengaruh terhadap
sistem kolinergik, adrenergik dan histaminergik. Interaksi farmakodinamik yang
berbahaya akan terjadi bila SSRIs dikombinasikan dengan MAOIs, karena akan
terjadi peningkatan efek serotonin secara berlebihan yang disebut sindrom
serotonin dengan gejala hipertermia, kejang, kolaps kardiovaskular dan gangguan
tanda vital.
d. SNRIs (Serotonin and Norepinephrine Inhibitors )
Golongan antidepresan SNRIs bekerja dengan mekanisme yang hampir sama
dengan golongan SSRIs, hanya saja pada SNRIs juga menghambat dari reuptake
norepinefrin. Selain dari golongan obat yang telah dibahas sebelumnya, masih ada
beberapa alternatif yang digunakan untuk terapi medikamentosa pada pasien
depresi dengan keadaan tertentu.
Dalam pengaturan dosis perlu mempertimbangkan onset efek primer (efek
klinis) sekitar 2-4 minggu, efek sekunder (efek samping) sekitar 12-24 jam, serta
waktu paruh sekitar 12-48 jam (pemberian 1-2 kali per hari). Ada 5 proses dalam
pengaturan dosis, yaitu:
Initiating dosage (tes dosage), untuk mencapai dosis anjuran selama 1
minggu, misalnya amitriptylin 25 mg/hari pada hari 1-2,50 mg/hari pada hari
ke 3 dan ke 4, 100 mg/hari pada hari ke 5 dan ke 6.
Titrating dosage (optimal dose), dimulai pada dosis anjuran sampai dosis
efektif, kemudian menjadi dosis optimal. Misalnya amitriptylin 150 mg/hari
selama hari ke 7-15 ( minggu II), kemudian minggu ke III 200 mg/hari dan
minggu ke IV 300 mg/hari.
Stabilizing dosage (Stabilzation dose), dosis optimal dipertahankan selama 2-
3 bulan. Misalnya amitriptylin 300 mg/hari (dosis optimal) kemudian
diturunkan sampai dosis pemeliharaan.
25
Terapi kognitif merupakan terapi aktif, langsung, dan time limited yang
berfokus pada penanganan struktur mental seorang pasien. Struktur mental
tersebut terdiri ; cognitive triad, cognitive schemas, dan cognitive errors.
b. Terapi Perilaku
Terapi perilaku adalah terapi yang digunakan pada pasien dengan gangguan
depresi dengan cara membantu pasien untuk mengubah cara pikir dalam
berinteraksi denga lingkungan sekitar dan orang-orang sekitar. Terapi perilaku
dilakukan dalam jangka waktu yang singkat, sekitar 12 minggu.
c. Terapi Interpersonal
Terapi interpersonal dikembangkan oleh Gerald Klerman, memusatkan pada
satu atau dua masalah interpersonal pasien yang sedang dialami sekarang, dengan
menggunakan dua anggapan: pertama, masalah interpersonal sekarang
kemungkinan memiliki akar pada hubungan awal yang disfungsional. Kedua,
masalah interpersonal sekarang kemungkinan terlibat di dalam mencetuskan atau
memperberat gejala depresif sekarang. Terapi ini didasari oleh hal-hal yang
mempengaruhi hubungan interpersonal seorang individu, yang dapat memicu
terjadinya gangguan mood. Terapi ini berfungsi untuk mengetahui stressor pada
pasien yang mengalami gangguan, dan para terapis dan pasien saling bekerja sama
untuk menangani masalah interpersonal tersebut.
2.5.2 Tatalaksana Cemas
Benzodiazepin merupakan pilihan pertama pada pengobatan gangguan cemas
akut. Pemberian benzodiazepin dimulai dengan dosis terendah dan ditingkatkan
sampai mencapai respon terapi. Penggunaan sediaan dengan waktu paruh
menengah dan dosis terbagi dapat mencegah terjadinya efek yang tidak
diinginkan. Lama pengobatan rata-rata 2-6 minggu, dilanjutkan dengan masa
tapering off selama 1-2 minggu. Spektrum klinis benzodiazepin meliputi efek
anti-anxietas, antikonvulsan, anti-insomnia, dan premedikasi tindakan operatif.
Adapun obat-obat yang termasuk dalam golongan benzodiazepin antara lain:5
a. Diazepam dengan dosis anjuran oral 2-3 x 2-5 mg/hari dan injeksi 5-10 mg
i.m/i.v), broadspectrum.
b. Chlordiazepoxide, dosis anjuran 2-3 x 5-10 mg/hari, broadspectrum.
27
2.6 Prognosis
Berdasarkan data klinis sampai saat ini, pasien tampak sama besar
kemungkinannya untuk memiliki gejala anxietas yang menonjol, gejala depresif
yang menonjol, atau campuran dua gejala dengan besar yang sama saat awita.
Selama perjalanan penyakit, dominasi gejala anxietas dan depresif dapat
bergantian. Prognosisnya tidak dapat diketahui.
DAFTAR PUSTAKA
1. Kaplan, Harold I., Sadock, Benyamin J. 1998. Anxietas dan Depresi dalam
Ilmu Kedokteran Jiwa Darurat. Jakarta : Widya Medika. Hal. 145-154 dan 227-
232.
2. Kaplan, H., Sadock, Benjamin. 1997. Gangguan Kecemasan dalam Sinopsis
Psikiatri: Ilmu Pengetahuan Perilaku Psikiatri Klinis Edisi ke-7 Jilid 2. Jakarta:
Bina Rupa Aksara. Hal. 29-32.
3. Hawari, Dadang. 2011. Manajemen Stres, Cemas, dan Depresi. Jakarta:
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Hal. 3-11 dan 17-22.
28
29