Penulis :
Bandar Lampung
2019
Tugas:
1. Penyebab Kasus Kenakalan Remaja Semakin Bertambah, Analisis, Faktor-
Faktor yang Mempengaruhi Berdasarkan Teori
2. Bagaimana peran keluarga dalam mengatasi permasalahan ini?
Jawab:
Kasus:
- Membohongi Orang Tua
- Tidak Menaati Peraturan Sekolah
- Melawan Guru di Sekolah
- Bolos Sekolah
- Menonton Video Porno
- Pacaran Tidak Sehat
- Hotel Melati
- Sex Bebas
- Hamil di Luar Nikah
- Berkelahi Antar Teman Sepergaulan
Jika di kelompokan kasus-kasus tersebut dibagi dalam 3 Topik, yaitu:
Sebuah studi menemukan bahwa hukuman justru membuat anak tidak mau
mengatakan kebenaran. Hal ini terjadi karena kekhawatiran anak ketika dia
mengatakan hal yang sebenarnya, mereka justru akan dihukum. Bahkan seringkali
anak berbohong karena ia takut kalau berkata jujur akan dimarahi atau
mendapatkan hukuman.
2. Ingin diperhatikan
Jika anak merasa tidak mampu untuk memenuhi tuntutan orangtua yang
terlalu tinggi, mereka akan berbohong untuk membahagiakan dan mendapatkan
penerimaan dari orangtua.
5. Melindungi teman
Kadang daya imajinasi yang sangat tinggi membuat anak tidak mampu
membedakan antara khayalan dan kenyataan. Ia pun kemudian mengatakan hal-
hal yang sebenarnya hanya khayalan belaka.
Anak berbohong pada usia dini, misalnya bayi 2 tahun yang mengatakan
popok mereka tidak kotor karena ingin menghindari popok yang harus diganti.
Kebohongan seperti ini mementingkan diri sendiri dan merupakan jenis yang
paling banyak dicoba oleh anak-anak kecil. Cara mereka berbohong biasanya
dengan menyangkal bahwa telah melakukan sesuatu. Namun, tentu saja tidak
masuk akal untuk menghukum balita karena mereka tidak mengerti bahwa apa
yang dilakukan itu salah
Akan tetapi, jika orang tua sudah merasa terganggu dengan hal ini, penting juga
untuk menjaga perspektif anak agar tidak terlalu terlewat batas fantasinya.
Namun, satu hal yang harus diingat bahwa apa yang tampak aneh bagi orang
dewasa mungkin sekadar cara anak memproses ide-ide baru.
Remaja
Pada usia ini, mereka mulai bisa mengembangkan gagasan konkret tentang
kebenaran dan kepalsuan, namun masih abu-abu sehingga dalam waktu relatif
sebentar, orang tua akan segera mengetahui apakah yang dikatakan olehnya benar
atau bohong. Sebab, terkadang mereka masih cenderung mengabaikan detail
cerita. Jangan kaget jika anak Anda terus diam tentang hal-hal yang akan ia
bagikan pada Anda
Faktor-faktor yang bersumber dari lingkungan sosial pelajar ini, antara lain
lingkungan keluarga, sekolah, dan teman sebaya.
Seks bebas pun ada sebab mengapa dilakukan oleh kalangan remaja. Beberapa
faktor penyebab seks antara lain:
3. Adanya pengaruh dari teman dekat ketika seseorang beranjak remaja, mereka
akan membutuhkan suatu hubungan, penerimaan, rasa aman, dan harga diri
selayaknya orang dewasa. Seorang remaja yang telah mengenal lawan jenis
biasanya akan bertindak nekat. Remaja tersebut akan rela melakukan apa saja
terhadap pasangannya tanpa memikirkan resikonya, termasuk melakukan
hubungan seks bebas.
4, Rasa penasaran terhadap seks. Pada usia ramaja keingintahuan atau penasaran
yang begitu besar terhadap seks. Mereka biasanya mendapatkan informasi dari
teman-temannya. Informasai yang mereka terima pun terkadang tidak jelas
sehingga menambah rasa penasaran. Rasa penasaran inilah yang dapat mendorong
mereka untuk melakukan berbagai macam percobaan yang menjurus kepada
perbuatan seks bebas.
5. Pelampiasan Diri.faktor ini tidak hanya datang dari diri sendiri,tetapi dapat juga
dari luar.Misalnya,seorang remaja yang telah terlanjur melakukan hubungan seks
atau pernah dilecehkan secara seksual.Hal tersebut dapat membuat mereka
menjadi putus asa karena merasa sudah tidak ada lagi yang dapat dibanggakan
dalam dirinya.Rasa putus asa dan tidak adanya dukungan dari keluarga dan oranr-
orang terdekat akan mengakibatkan mereka mencari pelampiasan dengan semakin
terjerumus dalam pergaulan dan kehidupan seks bebas.
Pada masa remaja, Freud menyatakan bahwa seseorang berada pada tahap
genital. Tahap genital terjadi perubahan fisik yang sangat besar dan munculnya
dorongan seks. Energi libido atau seksual yang pada masa pra remaja bersifat
laten kini hidup kembali. Dorongan seks dicetuskan oleh hormon-hormon
androgen tertentu seperti testosteron yang selama masa remaja ini kadarnya
meningkat. Tidak jarang mereka melakukan masturbasi sebagai cara yang aman
untuk memuaskan dorongan seksualnya, kadang-kadang mereka melakukan
sublimasi terhadap dorongan seksualnya kearah aktifitas yang lebih bisa diterima,
misalnya kearah sastra, psikologi, olah raga atau kerja sukarela, sistem sosial yang
memadai sering membantu remaja menemukan cara-cara yang dapat menyalurkan
energi seksualnya pada aktivitas atau peran yang lebih bisa diterima (Sadock,
1997).
Menurut Erikson, tahap yang dialami individu pada masa remaja yaitu, tahap
identity versus confusion. Menurut Erikson, di masa ini individu harus
memutuskan siapakah dirinya, bagaimanakah dirinya, dan tujuan apa yang ingin
dicapainya. Walaupun identity formation merupakan proses yang panjang, namun
krisisnya terjadi pada masa remaja.
Di masa remaja, konsentrasi hormon-hormon tertentu dapat meningkat secara
drastis. Testosteron adalah hormon yang diasosiasikan dengan perkembangan
genital, bertambahnya tinggi tubuh, dan perubahan suara. Estradiol adalah hormon
yang diasosiasikan dengan perkembangan payudara, uterus, dan kerangka pada
perempuan. Gelombang hormon tersebut selain berpengaruh pada fisik,
berpengaruh juga terhadap perkembangan psikologis remaja.
Sebuah studi menyatakan bahwa laki-laki dengan kompetensi sosial yang lebih
tinggi memperlihatkan kadar hormon testosteron yang lebih tinggi pula
(Nottellman dkk., 1987). Namun, tingkah laku dan suasana hati juga dapat
mempengaruhi faktor hormonal (DeRose & Brooks-Gun, 2008). Stres, pola
makan, latihan, aktivitas seksual, ketegangan, dan depresi dapat mengaktifkan
atau menekan sejumlah aspek dari sistem hormonal. Singkatnya, kaitan antar
hormon dan tingkah laku bersifat sangat kompleks.
Pacaran dan Relasi Romantis
Tiga tahapan mencirikan perkembangan relasi romantis di masa remaja
(Connolly & McIsaac, 2009):
1. Mulai memasuki afiliasi dan atraksi romantis pada usia 11 hingga 13
tahun. Tahap awal ini dipicu oleh pubertas. Pada usia ini, remaja menjadi
sangat tertarik pada keromantisan. Remaja muda mungkin atau mungkin
tidak berinteraksi dengan individu yang disukainya tersebut. Namun ketika
kencan terjadi, biasanya berlangsung dalam setting kelompok.
2. Mengeksplorasi relasi romantis pada usia 14 hingga 16 tahun. Pada tahap
ini terjadi dua jenis keterlibatan romantis pada remaja: a) Casual dating,
terjadi di antara individu yang saling tertarik, terjadi hanya beberapa bulan
atau minggu saja, dan b) Dating in groups, biasa terjadi dan
mencerminkan keterkaitan dalam konteks kawan sebaya. Sahabat
seringkali berperan sebagai fasilitator dalam sebuah relasi romantis.
3. Mengonsolidasi keterikatan romantis dyadik pada usia sekitar 17 hingga
19 tahun. Pada akhir masa sekolah menengah atas, terbentuk relasi
romantis yang semakin serius. Relasi ini ditandai dengan ikatan emosi
yang kuat seperti pada orang dewasa. Ikatan emosi ini lebih stabil dan
tahan lama dibandingkan ikatan sebelumnya, dan biasanya berlangsung
satu tahun atau lebih.
Para peneliti telah mengaitkan remaja dan relasi romantis dengan berbagai
ukuran tentang seberapa baikkah remaja yang dapat menyesuaikan diri (Collins,
Welsh, & Furman, 2009; Connolly & McIsaac, 2009). Sebagai contoh, sebuah
penilitian terbaru terhadap 200 siswa kelas 10 mengungkap bahwa semakin
romantis pengalaman yang mereka miliki, semakin tinggi tingkat penerimaan
sosial, kompetensi persahabatan, dan kompetensi romantis; namun demikian, hal
ini juga terkait dengan tingkat penyalahgunaan obat terlarang yang tinggi,
kenakalan remaja, dan perilaku seksual (Furman, Loww, & Ho, 2009).
Seksualitas Remaja
Masa remaja dikatakan sebagai jembatan antara anak yang aseksual dengan
orang dewasa yang seksual. Remaja adalah masa eksplorasi dan eksperimen
seksual, masa fantasi dan realitas seksual, dan masa mengintegrasikan seksualitas
kedalam identitas seseorang. Remaja memiliki rasa ingin tahu dan seksualitas
yang hampir tidak dapat dipuaskan. Informasi mengenai seksualitas sangat mudah
dijangkau oleh remaja. Mereka mempelajari seks dari televisi, video, majalah,
lirik lagu, serta situs web (Epstein & Ward, 2008). Lebih lanjut lagi, penelitian
terbaru terhadap remaja perempuan selama 3 tahun mengungkapkan kaitan antara
menonton tayangan seks di televisi dan resiko kehamilan yang lebih tinggi
(Chandra, dkk 2008).
Menguasai perasaan seksual dan membentuk rasa identitas seksual merupakan
proses yang bersifat multiaspek dan panjang (Diamond & Savin-Williams, 2009).
Hal ini mencakup kemampuan belajar untuk mengelola perasaan seksual (seperti
ketergugahan dan ketertarikan seksual), mengembangkan bentuk intimasi yang
baru, serta mempelajari keterampilan untuk mengelola tingkah laku seksual agar
terhindar dari konsekuensi yang tidak diinginkan. Identitas seksual muncul dalam
konteks faktor fisik, sosial, budaya, dan kebanyakan lingkungan masyarakat
memberikan batasan terhadap perilaku seksual remaja.
Banyak remaja yang secara emosi tidak siap untuk mengatasi pengalaman
seksual. Selain melakukan hubungan seks di masa awal remaja, faktor-faktor
resiko lainnya untuk masalah seksual pada remaja meliputi faktor kontekstual
seperti, status sosioekonomi, pengasuhan orangtua, rekan sebaya, dan prestasi
akademik (Dupere, dkk., 2008; House dkk, 2010).
Seks Bebas
Pengertian seks bebas menurut Kartono (1977) merupakan perilaku yang
didorong oleh hasrat seksual, dimana kebutuhan tersebut menjadi lebih bebas jika
dibandingkan dengan sistem regulasi tradisional dan bertentangan dengan sistem
norma yang berlaku dalam masyarakat.
Sedangkan menurut Desmita (2005) pengertian seks bebas adalah segala cara
mengekspresikan dan melepaskan dorongan seksual yang berasal dari kematangan
organ seksual, seperti berkencan intim, bercumbu, sampai melakukan kontak
seksual, tetapi perilaku tersebut dinilai tidak sesuai dengan norma karena remaja
belum memiliki pengalaman tentang seksual.
Nevid dkk (1995) mengungkapkan bahwa perilaku seks pranikah adalah
hubungan seks antara pria dan wanita meskipun tanpa adanya ikatan selama ada
ketertarikan secara fisik. Maslow (dalam Hall & Lindzey, 1993) bahwa terdapat
kebutuhan-kebutuhan yang harus dipenuhi manusia, salah satunya adalah
kebutuhan fisiologis mencakup kebutuhan dasar manusia dalam bertahan hidup,
yaitu kebutuhan yang bersifat instinktif ini biasanya akan sukar untuk
dikendalikan atau ditahan oleh individu, terutama dorongan seks. Lebih lanjut
Cynthia (dalam Wicaksono, 2005) seks juga diartikan sebagai hubungan seksual
tanpa ikatan pada yang menyebabkan berganti-ganti pasangan.
Sedangkan menurut Sarwono (2003) menyatakan, bahwa seks bebas adalah
segala tingkah laku yang didorong oleh hasrat seksual baik dengan lawan jenis
maupun sesama jenis, mulai dari tingkah laku yang dilakukannya seperti
sentuhan, berciuman (kissing) berciuman belum sampai menempelkan alat
kelamin yang biasanya dilakukan dengan memegang payudara atau melalui oral
seks pada alat kelamin tetapi belum bersenggama (necking, dan bercumbuan
sampai menempelkan alat kelamin yaitu dengan saling menggesek-gesekan alat
kelamin dengan pasangan namun belum bersenggama (petting, dan yang sudah
bersenggama (intercourse), yang dilakukan diluar hubungan pernikahan.
Berdasarkan penjabaran definisi di atas maka dapat disimpulkan pengertian
seks bebas adalah segala tingkah laku yang didorong oleh hasrat seksual terhadap
lawan jenis maupun sesama jenis yang dilakukan di luar hubungan pernikahan
mulai dari necking, petting sampai intercourse dan bertentangan dengan norma-
norma tingkah laku seksual dalam masyarakat yang tidak bisa diterima secara
umum.
Hal ini menjadi landasan bagi ayah bunda dalam menyelesaikan masalah
remaja secara baik dan benar. Sering terjadi masalah kecil yang dihadapi anak
remaja, tidak mendapat perhatian orang tua hingga akhirnya menjadi masalah
besar yang sulit diatasi. Apabila masalah besar yang harus segera diatasi orang tua
namun tidak dilakukannya karena alasan tidak ada waktu atau kerja yang
menumpuk dapat menyebabkan masalah tersebut semakin besar dan berat serta
sangat sulit untuk mengatasinya.
Kedua, orang tua harus mampu menjadi sahabat bagi anak remajanya.
Ayah Ibu harus mampu menjadi tempat curhat bagi anak remajanya. Jangan
sampai anak remaja curhat pada teman sebayanya atau pada orang lain melalui
media sosial karena berakibat fatal. Orang tua harus mampu berkomunikasi dan
dapat mengambil hati anaknya sehingga anaknya tidak malu untuk menyampaikan
problemanya. Dengan memberikan perhatian yang besar dan penghargaan yang
luar biasa, anak remaja mempercayai orang tuanya untuk menyelesaikan masalah
yang melilit dirinya.
Ketiga, orang tua harus dapat berperan sebagai motivator dan inspirator
bagi anak remajanya. Orang tua yang hebat adalah orang tua yang mampu
memotivasi dan sebagai inspirasi bagi anak remaja untuk melakukan kebaikan.
Orang tua hendaknya dapat menjadi figur istimewa bagi anaknya dalam menapaki
kehidupan dan menentukan masa depannya. Dengan keteladanan yang inspiratif,
anak remaja terkondisi dalam suasana kebaikan dan bersemangat untuk berbagi
kebaikan. Kondisi inilah yang membentengi remaja dari tindakan yang tidak
terpuji dan yang mengarah pada kenakalan remaja.
Keempat, orang tua harus mampu berperan sebagai ulama atau tokoh
agama. Peran ini memang berat namun bukan berarti orang tua tidak bisa
memerankannya. Dengan berusaha maksimal mempelajari agama dan
mengamalkan dalam kehidupan sehari-hari menjadi modal utama bagi orang tua
dalam melaksanakan peran yang penting ini. Dalam hal ini, orang tua harus dapat
membimbing dan membina anaknya dengan pendekatan agama yang
menyejukkan.
Dengan nasehat yang lemah lembut dan tidak mudah menyalahkannya,
anak remaja akan dapat menerima kesalahannya dan akan berusaha memperbaiki
diri dari kenakalan yang tidak diingini oleh siapa saja termasuk dirinya sendiri.