Anda di halaman 1dari 17

UTS BK REMAJA

Penulis :

Miranda Putri 1713052041

P.S. : Bimbingan dan Konseling

Mata Kuliah : BK Remaja

Dosen : Diah Utaminingsih, S.Psi, MA., Psi.

Jurusan Ilmu Pendidikan

Fakultas Keguruan Dan Ilmu Pendidikan Universitas Lampung

Bandar Lampung

2019
Tugas:
1. Penyebab Kasus Kenakalan Remaja Semakin Bertambah, Analisis, Faktor-
Faktor yang Mempengaruhi Berdasarkan Teori
2. Bagaimana peran keluarga dalam mengatasi permasalahan ini?

Jawab:
Kasus:
- Membohongi Orang Tua
- Tidak Menaati Peraturan Sekolah
- Melawan Guru di Sekolah
- Bolos Sekolah
- Menonton Video Porno
- Pacaran Tidak Sehat
- Hotel Melati
- Sex Bebas
- Hamil di Luar Nikah
- Berkelahi Antar Teman Sepergaulan
Jika di kelompokan kasus-kasus tersebut dibagi dalam 3 Topik, yaitu:

- Masalah di dalam Keluarga : Membohongi Orang Tua


- Masalah di Sekolah / Sosialisasi :
o Tidak Menaati Peraturan Sekolah
o Melawan Guru di Sekolah
o Bolos Sekolah
o Berkelahi Antar Teman Sepergaulan
- Masalah Seksualitas :
o Menonton Video Porno
o Pacaran Tidak Sehat
o Hotel Melati
o Sex Bebas
o Hamil di Luar Nikah
Masa remaja adalah masa dimana terjadi peralihan dari masa kanak- kanak
menuju masa yang lebih dewasa. Fase remaja merupakan fase perkembangan
individu yang penting. Perkembangan disini tidak hanya perkembangan fisik
tetapi juga perkembangan psikisnya. Di masa ini lah mereka para remaja
memiliki dorongan untuk mencoba hal – hal baru dan mengetahui banyak yang
belum pernah mereka lakukan. Mayoritas dari remaja tidak mampu membedakan
mana hal yang benar dan mana hal yang salah untuk dilakukan. Oleh karena itu,
mereka akan lebih mudah terjerumus pada suatu masalah yang bisa disebut
sebagai kenakalan remaja
Kenakalan remaja sendiri adalah suatu perbuatan dimana melanggar suatu
norma , atauran dan hukum dalam suatu masyarakat yang pelakunya adalah
remaja. Kenakalan remaja meliputi semua perilaku yang menyimpang dari norma-
norma yang ada. Kenakalan remaja ini semakin diperparah dengan adanya
pergeseran nilai yang terjadi di tengah kehidupan suatu masyarakat. Para remaja
mengalami kemunduran dalam hal kebudayaan dimana mereka lebih menyukai
budaya luar ketimbang budaya yang dimiliki oleh negara sendiri.
Perilaku yang ditimbulkan karena kenakalan remaja ini tidak hanya
merugikan diri mereka sendiri tetapi juga berdampak pada lingkungan dan
kenyamanan orang di sekitarnya. Contoh kasusnya sendiri yaitu ada diatas, terbagi
dalam 3 topik yaitu di dalam ranah keluarga, sosial terutama di lingkungan
sekolah dan juga masalah seks bebas / seksualitas mereka.
Banyak faktor yang membuat kenakalan remaja ini timbul , yakni karena
sifat remaja yang masih labil sehingga akan mudah terpengaruh oleh hal hal yang
buruk , kurangnya kasih sayang yang mereka dapatkan dari orang-orang
disekelilingnya terutama kasih sayang dari orang tuanya, selain itu kenakalan
remaja juga terjadi karena tidak tersedianya atau tidak adanya tempat bagi mereka
menyalurkan hobi yang mereka punya sehingga mereka melakukan hal hal lain
yang membuat mereka senang. Kebanyakan dari orang tua berpikiran bahwa masa
depan anaknya diukur dari seberapa banyak kekayaan yang dimiliki.
Para orang tua akan cenderung lebih fokus pada kegiatan mereka diluar
rumah seperti bekerja hingga lupa memperhatikan perkembangan sang anak.
Tidak hanya itu, penanaman nilai agama yang kurang dari sejak dini mampu
menjadi faktor terjadinya kenakalan remaja. Mayoritas dari orang tua hanya
mengandalkan pelajaran tentang agama di sekolah.
Mereka kurang sadar bahwa bimbingan agama menjadi salah satu faktor
utama agar anak anak mampu menjaga diri dari hal negatif serta menjadi
pegangan hidup. Jika pengetahuan tentang agama yang dimiliki oleh remaja
dangkal , secara otomatis itu dapat mempermudah mereka masuk dan terjerat pada
hal hal negatif. Selain itu, hal yang paling berpengaruh terhadap terjadinya
kenakalan remaja adalah perkembangan IPTEK yang semakin meluas dan
berdampak negatif.
Perkembangan globalisasi yang bersifat negatif ini seperti mudahnya
mengakses hal yang berbau porno sehingga mampu dan menjadi pembelajaran
bagi remaja untuk melakukan pergaulan bebas hingga seks bebas. Jika seks bebas
ini terus berlanjut maka akan muncul permasalahan permasalahan baru yang
semakin menambah beban bagi suatu negara khusunya negara Indonesia. Selain
itu juga karena mudahnya mengakses film film luar negeri yang kontennya berisi
kekerasan sehingga menjadi salah satu inspirasi remaja untuk melakukan
kekerasan sehingga menyebabkan adanya tawuran pelajar.

Faktor terjadinya permasalahan di ranah keluarga: Membohongi orang tua


1. Takut dihukum

Sebuah studi menemukan bahwa hukuman justru membuat anak tidak mau
mengatakan kebenaran. Hal ini terjadi karena kekhawatiran anak ketika dia
mengatakan hal yang sebenarnya, mereka justru akan dihukum. Bahkan seringkali
anak berbohong karena ia takut kalau berkata jujur akan dimarahi atau
mendapatkan hukuman.

2. Ingin diperhatikan

Kebutuhan akan perhatian dan pujian membuat anak mengarang cerita


tentang dirinya, padahal hal tersebut tidak pernah terjadi. Misalnya, anak
mengatakan kepada teman-temannya bahwa dirinya baru dibelikan mainan baru
yang mahal, dan sebagainya.
4. Tuntutan orangtua yang terlalu tinggi

Jika anak merasa tidak mampu untuk memenuhi tuntutan orangtua yang
terlalu tinggi, mereka akan berbohong untuk membahagiakan dan mendapatkan
penerimaan dari orangtua.

5. Melindungi teman

Umumnya anak-anak akan selalu berusaha untuk menyenangkan,


membantu, atau melindungi temannya. Salah satu cara yang dilakukannya adalah
dengan berbohong. Keberadaan teman begitu penting buat anak.

6. Daya imajinasi yang sangat tinggi

Kadang daya imajinasi yang sangat tinggi membuat anak tidak mampu
membedakan antara khayalan dan kenyataan. Ia pun kemudian mengatakan hal-
hal yang sebenarnya hanya khayalan belaka.

Berdasarkan umur, anak-anak cenderung berbohong karena suatu hal, yaitu

Toddler (1-2 tahun)

Anak berbohong pada usia dini, misalnya bayi 2 tahun yang mengatakan
popok mereka tidak kotor karena ingin menghindari popok yang harus diganti.
Kebohongan seperti ini mementingkan diri sendiri dan merupakan jenis yang
paling banyak dicoba oleh anak-anak kecil. Cara mereka berbohong biasanya
dengan menyangkal bahwa telah melakukan sesuatu. Namun, tentu saja tidak
masuk akal untuk menghukum balita karena mereka tidak mengerti bahwa apa
yang dilakukan itu salah

Preschoolers (3-4 tahun)

Kisah-kisah dongeng yang sering ditontonnya sehari-hari memacu


fantasinya untuk berkata-kata yang tidak sesuai dengan kenyataannya. Misal,
seorang anak mengatakan pada ayahnya bahwa ia melihat pelangi berbicara
padanya, atau ada monster di dapur rumahnya. Anak usia preschool memang lekat
dengan khayalan yang dibangunnya. Sebenarnya, hal tersebut termasuk wajar
sebab akan meningkatkan pikiran dan kreativitas si anak.

Akan tetapi, jika orang tua sudah merasa terganggu dengan hal ini, penting juga
untuk menjaga perspektif anak agar tidak terlalu terlewat batas fantasinya.
Namun, satu hal yang harus diingat bahwa apa yang tampak aneh bagi orang
dewasa mungkin sekadar cara anak memproses ide-ide baru.

Remaja

Pada usia ini, mereka mulai bisa mengembangkan gagasan konkret tentang
kebenaran dan kepalsuan, namun masih abu-abu sehingga dalam waktu relatif
sebentar, orang tua akan segera mengetahui apakah yang dikatakan olehnya benar
atau bohong. Sebab, terkadang mereka masih cenderung mengabaikan detail
cerita. Jangan kaget jika anak Anda terus diam tentang hal-hal yang akan ia
bagikan pada Anda

Walau begitu kerahasiaan tak melulu sebuah ketidakjujuran atau tanda


bahwa anak Anda melakukan kesalahan. Itu mencerminkan kedewasaannya yang
tumbuh. Psikiater anak, Dr. Brody menyampaikan bahwa anak-anak yang
menceritakan segalanya kepada orang tua mereka pada usia 13 atau 14 tidak
tumbuh dewasa. Sehingga, dengan memiliki rahasia menandakan bahwa ia sudah
cukup mandiri.

Kebohongan yang dilakukan sesekali oleh hampir setiap orang mungkin


adalah hal yang wajar atau masih bisa dimaklumi, namun akan menjadi bahaya
jika orang yang melakukan kebohongan secara terus menerus (compulsive lying)
hampir di setiap perkataannya dan aspek hidupnya.

Berbohong digunakan sebagai bentuk pelarian dari tanggungjawab.


Perilaku berbohong dianggap lebih mudah atau lebih sedikit mendatangkan
konsekuensi negatif dibandingkan perilaku jujur. Berbohong digunakan untuk
meningkatkan image atau konsep diri seseorang. Biasanya pelaku justru memiliki
konsep diri yang buruk, sehingga mereka perlu terus menerus melakukan
kebohongan untuk membuat imej diri yang terlihat lebih positif di lingkungan
sosial. Misalkan, ia berbohong bahwa ia adalah seseorang yang populer dan
memiliki kenalan orang-orang terkenal dan penting, meski sesungguhnya orang-
orang yang disebutkan namanya tidak merasa mengenal dekat dirinya.

Berbohong merupakan mekanisme yang otomatis terjadi. Hal ini terjadi


karena telah merupakan suatu kebiasaan untuk meningkatkan perasaan berharga
diri sendiri, yang sesungguhnya adalah palsu. Seringkali subyek menyadari bahwa
ia berbohong namun tidak sanggup menghentikan kebiasaannya. Berbohong
dilakukan sebagai upaya untuk memperoleh pengakuan sosial atau membentuk
impresi dari orang lain. Subyek berharap memperoleh pengakuan sosial yang
lebih baik dibandingkan status sosial diri subyek yang sebenarnya. Subyek butuh
diakui sebagai orang yang hebat, pahlawan atau justru korban dari sebuah situasi.

Berbohong adalah suatu kebiasaan sebagai bentuk akibat dari pengalaman


masa kecil yang traumatis, contohnya sering ditakut-takuti oleh teman atau orang
tua atau dipukul dan dimarahi saat subyek mengatakan jujur.

Berbohong digunakan subyek sebagai bentuk pengesahan atas


keyakinannya, contohnya "Saya kuat" (meski sebenarnya tidak), dan melakukan
penyangkalan terhadap diri sendiri (denial).

Berbohong sebagai upaya untuk memperoleh penerimaan sosial,


contohnya agar diterima di kalangan status sosial ekonomi tertentu, atau agar
dianggap penting.

Faktor terjadinya kenakalan remaja di sekolah

Faktor utama perilaku bolos adalah kurangnya pengendalian diri (regulasi


diri) sehingga membentuk sikap tidak menyukai sekolah, faktor lainnya adalah di
luar diri seperti pengawasan orang tua lemah, kedua faktor itu menjelaskan
mengapa individu melakukan tindakan bolos atau memutuskan keluar dari
sekolah. Terbentuknya sikap tidak menyukai sekolah karena dalam mengobservasi
dirinya individu melihat performa yang sudah dilakukannya tidak sesuai dengan
tujuan yang ingin dicapai dan standar dirinya dan perbandingan standar dirinya
dengan orang lain, sehingga akan timbul rasa tidak puas dan kritik dalam diri
individu sehingga akhirnya melakukan perilaku bolos.

Berbagai faktor pemicu terjadinya tawuran antar pelajar tersebut, dapatn


dikategorikan menjadi dua, yakni faktor internal yang berasal dari dalam diri
pelajar dan faktor eksternal dari luar diri pelajar sebagai remaja. Faktor internal
dari dalam diri remaja ini berupa faktor-faktor psikologis sebagai manifestasi dari
aspek-aspek psikologis atau kondisi internal individu yang berlangsung melalui
proses internalisasi diri yang keliru dalam menanggapi nilai-nilai di sekitarnya.
Faktor ini di antaranya adalah:

1. Mengalami krisis identitas (identity crisis) Krisis identitas ini


menunjuk pada ketidakmampuan pelajar sebagai remaja dalam proses
pencarian identitas diri. Identitas diri yang dicari remaja adalah bentuk
pengalaman terhadap nilai-nilai yang akan mewarnai kepribadiannya.
Jika tidak mampu menginternalisasi nilai-nilai positif ke dalam
dirinya, serta tidak dapat mengidentifikasi dengan figur yang ideal,
maka akan berakibat buruk, yakni munculnya penyimpangan-
penyimpangan perilaku tersebut.
Identitas diri yang dicari remaja ini, perlu mendapat pengarahan
dan bimbingan yang benar, serta dukungan sosial yang cukup dari
lingkungan sosialnya. Jika hal itu terpenuhi, maka pencarian identitas
ini akan berlangsung baik. Akan tetapi sebaliknya, jika tidak, maka
remaja akan mencari identitas sesuai dengan standar dari trend yang
berkembang di kalangan teman sebayanya. Jika hal ini berlangsung
dengan teman sebaya yang kurang positif, maka akan berakibat
pengidntifikasian diri yang dilakukan akan mengarah pada hal-hal
yang negatif sesuai dengan apa yang diyakini oleh kelompok teman
sebayanya.
Pelajar sebagai seorang remaja sangat membutuhkan pengakuan
akan keberadaannya di lingkungan sosialnya. Pengakuan akan
keberadaannya ini merupakan kebutuhan psikologis remaja agar
eksistensinya diakui, yang kemudian menuntutnya untuk melakukan
sesuatu untuk mendapatkan perhatiandan dihargai oleh lingkungannya.
Rasa ingin dihargai ini timbul dan menjalar pada setiap individu dalam
kelompoknya. Kemudian rasa ingin diperhatikan, dalam hal ini ingin
mendapatkan perhatian lebih dari lingkungan sosialnya.Seperti dari
orang-orang dekatnya (significant others), lawan jenis, teman sebaya,
guru maupun orang tua. Biasanya pelajar mencoba mendapatkannya
melalui jalan pintas yang instan tanpa memikirkan risikonya, sehingga
tidak menyadari bahwa tindakannya tersebut dapat menimbulkan
tanggapan yang yang negatif, yang dianggap merugikan orang lain.
2. Memiliki kontrol diri yang lemah (weakness of self control)
Remaja kurang memiliki pengendalian diri dari dalam, sehingga
sulitmenampilkan sikap dan perilaku yang adaptif sesuai dengan
pengetahuannya atau tidak terintegrasi dengan baik. Akibatnya
mengalami ketidakstabilan emosi, mudah marah, frustrasi, dan kurang
peka terhadap lingkungan sosialnya.
Sehingga ketika menghadapi masalah, mereka cenderung
melarikan diri atau menghindarinya,bahkan lebih suka menyalahkan
orang lain, dan kalaupun berani menghadapinya,biasanya memlih
menggunakan cara yang paling instan atau tersingkat
untukmemecahkan masalahnya. Hal inilah yang seringkali dilakukan
remaja, sehingga tawuran dianggap sebagai sebuah solusi dari
permasalahannya.
3. Tidak mampu menyesuaikan diri (self mal adjustment)
Pelajar yang melakukan tawuran biasanya tidak mampu melakukan
penyesuaian dengan lingkungan yang kompleks, seperti
keanekaragaman pandangan, ekonomi, budaya dan berbagai perubahan
di berbagai kehidupan lainnya yang semakin lama semakin bermacam-
macam. Para remaja yang mengalami hal ini akan lebih tergesa-gesa
dalam memecahkan segala masalahnya tanpa berpikir terlebih dahulu
apakah akibat yang akan ditimbulkannya. Di samping faktor internal
atau faktor psikologis sebagai remaja, faktor lain yang juga dapat
menyebabkan remaja terlibat dalam tawuran adalah kondisi eksternal
(kondisi di luar diri remaja), yakni lingkungan sosialnya.

Faktor-faktor yang bersumber dari lingkungan sosial pelajar ini, antara lain
lingkungan keluarga, sekolah, dan teman sebaya.

Faktor terjadinya seks bebas di kalangan pelajar

Seks bebas pun ada sebab mengapa dilakukan oleh kalangan remaja. Beberapa
faktor penyebab seks antara lain:

1. Akibat tontonan atau pengaruh mengomsumsi berbagai tontonan. Semua yang


ditonton, berhubungan erat dengan pembentukan perilaku kamu, terutama
tayangan film dan sinetron, baik film yang ditonton di televisi maupunfilm yang
ditonton dilayar lebar.

2. Faktor lingkungan, baik lingkungan keluarga maupun lingkungan pergaulan:

a. Lingkungan keluarga yang dimaksud adalah cukup tidaknya pendidikan agama


yang diberikan orangtua terhadap anak. Cukup tidaknya keteladanan yang
diterima anak dari orangtua dan lain sebagainya yang menjadi hak anak dari
orangtua.

b. Lingkungan pergaulan. Lingkungan dan tekanan dalam pergaulan remaja yang


kurang baik dapat berpengaruh kurang baik pula terhadap kehidupannya. Tekanan
dari teman yang telah melakukan hubungan seks kepada teman yang belum
melakukan sangatlah kuat. Hal inilah yang membuat banyak kalangan remaja
yang terlibat dalam pergaulan seks bebas.

3. Adanya pengaruh dari teman dekat ketika seseorang beranjak remaja, mereka
akan membutuhkan suatu hubungan, penerimaan, rasa aman, dan harga diri
selayaknya orang dewasa. Seorang remaja yang telah mengenal lawan jenis
biasanya akan bertindak nekat. Remaja tersebut akan rela melakukan apa saja
terhadap pasangannya tanpa memikirkan resikonya, termasuk melakukan
hubungan seks bebas.
4, Rasa penasaran terhadap seks. Pada usia ramaja keingintahuan atau penasaran
yang begitu besar terhadap seks. Mereka biasanya mendapatkan informasi dari
teman-temannya. Informasai yang mereka terima pun terkadang tidak jelas
sehingga menambah rasa penasaran. Rasa penasaran inilah yang dapat mendorong
mereka untuk melakukan berbagai macam percobaan yang menjurus kepada
perbuatan seks bebas.

5. Pelampiasan Diri.faktor ini tidak hanya datang dari diri sendiri,tetapi dapat juga
dari luar.Misalnya,seorang remaja yang telah terlanjur melakukan hubungan seks
atau pernah dilecehkan secara seksual.Hal tersebut dapat membuat mereka
menjadi putus asa karena merasa sudah tidak ada lagi yang dapat dibanggakan
dalam dirinya.Rasa putus asa dan tidak adanya dukungan dari keluarga dan oranr-
orang terdekat akan mengakibatkan mereka mencari pelampiasan dengan semakin
terjerumus dalam pergaulan dan kehidupan seks bebas.

Pada masa remaja, Freud menyatakan bahwa seseorang berada pada tahap
genital. Tahap genital terjadi perubahan fisik yang sangat besar dan munculnya
dorongan seks.  Energi libido atau seksual yang pada masa pra remaja bersifat
laten kini hidup kembali. Dorongan seks dicetuskan oleh hormon-hormon
androgen tertentu seperti testosteron yang selama masa remaja ini kadarnya
meningkat. Tidak jarang mereka melakukan masturbasi sebagai cara yang aman
untuk memuaskan dorongan seksualnya, kadang-kadang mereka melakukan
sublimasi terhadap dorongan seksualnya kearah aktifitas yang lebih bisa diterima,
misalnya kearah sastra, psikologi, olah raga atau kerja sukarela, sistem sosial yang
memadai sering membantu remaja menemukan cara-cara yang dapat menyalurkan
energi seksualnya pada aktivitas atau peran yang lebih bisa diterima (Sadock,
1997).
Menurut Erikson, tahap yang dialami individu pada masa remaja yaitu, tahap
identity versus confusion. Menurut Erikson, di masa ini individu harus
memutuskan siapakah dirinya, bagaimanakah dirinya, dan tujuan apa yang ingin
dicapainya. Walaupun identity formation merupakan proses yang panjang, namun
krisisnya terjadi pada masa remaja.
Di masa remaja, konsentrasi hormon-hormon tertentu dapat meningkat secara
drastis. Testosteron adalah hormon yang diasosiasikan dengan perkembangan
genital, bertambahnya tinggi tubuh, dan perubahan suara. Estradiol adalah hormon
yang diasosiasikan dengan perkembangan payudara, uterus, dan kerangka pada
perempuan. Gelombang hormon tersebut selain berpengaruh pada fisik,
berpengaruh juga terhadap perkembangan psikologis remaja.
Sebuah studi menyatakan bahwa laki-laki dengan kompetensi sosial yang lebih
tinggi memperlihatkan kadar hormon testosteron yang lebih tinggi pula
(Nottellman dkk., 1987). Namun, tingkah laku dan suasana hati juga dapat
mempengaruhi faktor hormonal (DeRose & Brooks-Gun, 2008). Stres, pola
makan, latihan, aktivitas seksual, ketegangan, dan depresi dapat mengaktifkan
atau menekan sejumlah aspek dari sistem hormonal. Singkatnya, kaitan antar
hormon dan tingkah laku bersifat sangat kompleks.
Pacaran dan Relasi Romantis
Tiga tahapan mencirikan perkembangan relasi romantis di masa remaja
(Connolly & McIsaac, 2009):
1. Mulai memasuki afiliasi dan atraksi romantis pada usia 11 hingga 13
tahun. Tahap awal ini dipicu oleh pubertas. Pada usia ini, remaja menjadi
sangat tertarik pada keromantisan. Remaja muda mungkin atau mungkin
tidak berinteraksi dengan individu yang disukainya tersebut. Namun ketika
kencan terjadi, biasanya berlangsung dalam setting kelompok.
2. Mengeksplorasi relasi romantis pada usia 14 hingga 16 tahun. Pada tahap
ini terjadi dua jenis keterlibatan romantis pada remaja: a) Casual dating,
terjadi di antara individu yang saling tertarik, terjadi hanya beberapa bulan
atau minggu saja, dan b) Dating in groups, biasa terjadi dan
mencerminkan keterkaitan dalam konteks kawan sebaya. Sahabat
seringkali berperan sebagai fasilitator dalam sebuah relasi romantis.
3. Mengonsolidasi keterikatan romantis dyadik pada usia sekitar 17 hingga
19 tahun. Pada akhir masa sekolah menengah atas, terbentuk relasi
romantis yang semakin serius. Relasi ini ditandai dengan ikatan emosi
yang kuat seperti pada orang dewasa. Ikatan emosi ini lebih stabil dan
tahan lama dibandingkan ikatan sebelumnya, dan biasanya berlangsung
satu tahun atau lebih.
Para peneliti telah mengaitkan remaja dan relasi romantis dengan berbagai
ukuran tentang seberapa baikkah remaja yang dapat menyesuaikan diri (Collins,
Welsh, & Furman, 2009; Connolly & McIsaac, 2009). Sebagai contoh, sebuah
penilitian terbaru terhadap 200 siswa kelas 10 mengungkap bahwa semakin
romantis pengalaman yang mereka miliki, semakin tinggi tingkat penerimaan
sosial, kompetensi persahabatan, dan kompetensi romantis; namun demikian, hal
ini juga terkait dengan tingkat penyalahgunaan obat terlarang yang tinggi,
kenakalan remaja, dan perilaku seksual (Furman, Loww, & Ho, 2009).
Seksualitas Remaja
Masa remaja dikatakan sebagai jembatan antara anak yang aseksual dengan
orang dewasa yang seksual. Remaja adalah masa eksplorasi dan eksperimen
seksual, masa fantasi dan realitas seksual, dan masa mengintegrasikan seksualitas
kedalam identitas seseorang. Remaja memiliki rasa ingin tahu dan seksualitas
yang hampir tidak dapat dipuaskan. Informasi mengenai seksualitas sangat mudah
dijangkau oleh remaja. Mereka mempelajari seks dari televisi, video, majalah,
lirik lagu, serta situs web (Epstein & Ward, 2008). Lebih lanjut lagi, penelitian
terbaru terhadap remaja perempuan selama 3 tahun mengungkapkan kaitan antara
menonton tayangan seks di televisi dan resiko kehamilan yang lebih tinggi
(Chandra, dkk 2008).
Menguasai perasaan seksual dan membentuk rasa identitas seksual merupakan
proses yang bersifat multiaspek dan panjang (Diamond & Savin-Williams, 2009).
Hal ini mencakup kemampuan belajar untuk mengelola perasaan seksual (seperti
ketergugahan dan ketertarikan seksual), mengembangkan bentuk intimasi yang
baru, serta mempelajari keterampilan untuk mengelola tingkah laku seksual agar
terhindar dari konsekuensi yang tidak diinginkan. Identitas seksual muncul dalam
konteks faktor fisik, sosial, budaya, dan kebanyakan lingkungan masyarakat
memberikan batasan terhadap perilaku seksual remaja.
Banyak remaja yang secara emosi tidak siap untuk mengatasi pengalaman
seksual. Selain melakukan hubungan seks di masa awal remaja, faktor-faktor
resiko lainnya untuk masalah seksual pada remaja meliputi faktor kontekstual
seperti, status sosioekonomi, pengasuhan orangtua, rekan sebaya, dan prestasi
akademik (Dupere, dkk., 2008; House dkk, 2010).
Seks Bebas
Pengertian seks bebas menurut Kartono (1977) merupakan perilaku yang
didorong oleh hasrat seksual, dimana kebutuhan tersebut menjadi lebih bebas jika
dibandingkan dengan sistem regulasi tradisional dan bertentangan dengan sistem
norma yang berlaku dalam masyarakat.
Sedangkan menurut Desmita (2005) pengertian seks bebas adalah segala cara
mengekspresikan dan melepaskan dorongan seksual yang berasal dari kematangan
organ seksual, seperti berkencan intim, bercumbu, sampai melakukan kontak
seksual, tetapi perilaku tersebut dinilai tidak sesuai dengan norma karena remaja
belum memiliki pengalaman tentang seksual.
Nevid dkk (1995) mengungkapkan bahwa perilaku seks pranikah adalah
hubungan seks antara pria dan wanita meskipun tanpa adanya ikatan selama ada
ketertarikan secara fisik. Maslow (dalam Hall & Lindzey, 1993) bahwa terdapat
kebutuhan-kebutuhan yang harus dipenuhi manusia, salah satunya adalah
kebutuhan fisiologis mencakup kebutuhan dasar manusia dalam bertahan hidup,
yaitu kebutuhan yang bersifat instinktif ini biasanya akan sukar untuk
dikendalikan atau ditahan oleh individu, terutama dorongan seks. Lebih lanjut
Cynthia (dalam Wicaksono, 2005) seks juga diartikan sebagai hubungan seksual
tanpa ikatan pada yang menyebabkan berganti-ganti pasangan.
Sedangkan menurut Sarwono (2003) menyatakan, bahwa seks bebas adalah
segala tingkah laku yang didorong oleh hasrat seksual baik dengan lawan jenis
maupun sesama jenis, mulai dari tingkah laku yang dilakukannya seperti
sentuhan, berciuman (kissing) berciuman belum sampai menempelkan alat
kelamin yang biasanya dilakukan dengan memegang payudara atau melalui oral
seks pada alat kelamin tetapi belum bersenggama (necking, dan bercumbuan
sampai menempelkan alat kelamin yaitu dengan saling menggesek-gesekan alat
kelamin dengan pasangan namun belum bersenggama (petting, dan yang sudah
bersenggama (intercourse), yang dilakukan diluar hubungan pernikahan.
Berdasarkan penjabaran definisi di atas maka dapat disimpulkan pengertian
seks bebas adalah segala tingkah laku yang didorong oleh hasrat seksual terhadap
lawan jenis maupun sesama jenis yang dilakukan di luar hubungan pernikahan
mulai dari necking, petting sampai intercourse dan bertentangan dengan norma-
norma tingkah laku seksual dalam masyarakat yang tidak bisa diterima secara
umum.

Peran Orang Tua dalam Menangani Kasus Kenakalan Remaja

Sebagaimana dikemukakan di atas, bahwa banyak faktor yang


menyebabkan terjadinya kenakalan remaja, baik berasal dari dalam diri remaja
sendiri atau faktor yang datang dari luar dirinya. Namun yang jelas bagaimana
semua faktor ini menjadi pertimbangan bagi orang tua dalam menyelesaikan
masalah anak remajanya.

Hal ini menjadi landasan bagi ayah bunda dalam menyelesaikan masalah
remaja secara baik dan benar. Sering terjadi masalah kecil yang dihadapi anak
remaja, tidak mendapat perhatian orang tua hingga akhirnya menjadi masalah
besar yang sulit diatasi. Apabila masalah besar yang harus segera diatasi orang tua
namun tidak dilakukannya karena alasan tidak ada waktu atau kerja yang
menumpuk dapat menyebabkan masalah tersebut semakin besar dan berat serta
sangat sulit untuk mengatasinya.

Kenakalan remaja berawal dari tidak berjalannya fungsi dan peran


keluarga dalam mendidik remaja. Orang tua tidak menjalankan tugas dan
kewajibannya yang semestinya berkaitan dengan kehidupan anak remajanya.
Ayah bunda tidak bisa hanya mencukupi kebutuhan fisik anak remajanya semata,
memenuhi fasilitas hidup yang diinginkan bukan yang dibutuhkan,
memanjakannya anak remaja dengan alat komunikasi yang serba canggih.

Namun sejatinya orang tua harus juga memperhatikan kebutuhan mental


spritual anak remajanya sebagai benteng kokoh dalam diri anak dalam
menghadapi tantangan zaman yang semakin berat. Untuk itu ada beberapa peran
yang harus dilakukan oleh orang tua dalam menyelesaikan persoalan kenakalan
remaja.
Pertama, orang tua harus mampu berperan sebagai guru pertama dan
utama bagi anak remajanya. Orang tua sebagai orang yang paling dekat dengan
anak remajanya harus maksimal membimbing dan mendampinggi anak
remajanya. Ayah bunda harus dekat dengan anak remaja dan tidak boleh membuat
jarak dengan mereka. Pekerjaan yang padat jangan menjadi alasan untuk
mengabaikan anak remajanya. Orang tua harus mampu membagi waktu sehingga
hak anak tidak terabaikan. Memang sulit namun di situlah kecerdasan orang
dalam memenejnya sehingga pertemuan yang terbatas namun berkualitas.

Kedua, orang tua harus mampu menjadi sahabat bagi anak remajanya.
Ayah Ibu harus mampu menjadi tempat curhat bagi anak remajanya. Jangan
sampai anak remaja curhat pada teman sebayanya atau pada orang lain melalui
media sosial karena berakibat fatal. Orang tua harus mampu berkomunikasi dan
dapat mengambil hati anaknya sehingga anaknya tidak malu untuk menyampaikan
problemanya. Dengan memberikan perhatian yang besar dan penghargaan yang
luar biasa, anak remaja mempercayai orang tuanya untuk menyelesaikan masalah
yang melilit dirinya.

Ketiga, orang tua harus dapat berperan sebagai motivator dan inspirator
bagi anak remajanya. Orang tua yang hebat adalah orang tua yang mampu
memotivasi dan sebagai inspirasi bagi anak remaja untuk melakukan kebaikan.
Orang tua hendaknya dapat menjadi figur istimewa bagi anaknya dalam menapaki
kehidupan dan menentukan masa depannya. Dengan keteladanan yang inspiratif,
anak remaja terkondisi dalam suasana kebaikan dan bersemangat untuk berbagi
kebaikan. Kondisi inilah yang membentengi remaja dari tindakan yang tidak
terpuji dan yang mengarah pada kenakalan remaja.

Keempat, orang tua harus mampu berperan sebagai ulama atau tokoh
agama. Peran ini memang berat namun bukan berarti orang tua tidak bisa
memerankannya. Dengan berusaha maksimal mempelajari agama dan
mengamalkan dalam kehidupan sehari-hari menjadi modal utama bagi orang tua
dalam melaksanakan peran yang penting ini. Dalam hal ini, orang tua harus dapat
membimbing dan membina anaknya dengan pendekatan agama yang
menyejukkan.
Dengan nasehat yang lemah lembut dan tidak mudah menyalahkannya,
anak remaja akan dapat menerima kesalahannya dan akan berusaha memperbaiki
diri dari kenakalan yang tidak diingini oleh siapa saja termasuk dirinya sendiri.

Anda mungkin juga menyukai