Anda di halaman 1dari 22

LAPORAN PENDAHULUAN

Masalah Psikososial Pada Klien Skizofrenia Dengan Resiko Bunuh Diri

Disusun Untuk Memenuhi Tugas Praktek Profesi Ners

Keperawatan Jiwa Psikososial

OLEH:

Madinatus Syukria (2019.04.038)

Rifa Wahyu Hidayah (2019.04.060)

Shindy Herawati Mochiko Dewi (2019.04.070)

Thendi Saputra Sakti (2019.04.073)

Ulfa Mar’atus Solekhah (2019.04.075)

PROGRAM STUDI PROFESI NERS

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN BANYUWANGI

BANYUWANGI

2020
LEMBAR PENGESAHAN

LAPORAN PENDAHULUAN DAN ASUHAN KEPERAWATAN


SKIZOFRENIA DENGAN RESIKO BUNUH DIRI

Laporan Pendahuluan dan Asuhan Keperawatan ini telah disetujui dan disahkan pada:
Hari :
Tanggal :
Mahasiswa

Mengetahui,

Dosen Pembimbing Stase Jiwa

( Ns. Ahmad Badrul Munif, M.Kep )


BAB 1
KONSEP SKIZOFRENIA

1.1 Definisi Skizofrenia


Skizofrenia berasal dari dua kata, yaitu “ Skizo “ yang artinya retak atau pecah (split),
dan “ frenia “ yang artinya jiwa. Dengan demikian seseorang yang menderita skizofrenia
adalah seseorang yang mengalami keretakan jiwa atau keretakan kepribadian ( Hawari,
2018).
Skizofrenia merupakan gangguan  psikotik yang merusak yang dapat melibatkan
gangguan yang khas dalam berpikir (delusi), persepsi (halusinasi), pembicaraan, emosi dan
perilaku. Keyakinan irasional tentang dirinya atau isi pikiran yang menunjukkan kecurigaan
tanpa sebab yang jelas, seperti bahwa orang lain bermaksud buruk atau bermaksud
mencelakainya (Raboch, 2017).

Skizofrenia paranoid yaitu pada tipe ini adanya pikiran-pikiran yang absurd (tidak ada
pegangannya) tidak logis, dan delusi yang berganti-ganti. Sering diikuti halusinasi dengan
akibat kelemahan penilaian kritis (critical judgement)nya dan aneh tidak menentu, tidak
dapat diduga, dan kadang-kadang berperilaku yang berbahaya. Orang-0rang dengan tipe ini
memiliki halusinasi dan delusi yang sangat mencolok,yang melibatkan tema-tema tentang
penyiksaan dan kebesaran (Susan Nolen Hoeksema, 2019).
Skizofrenia merupakan kelompok gangguan psikosis atau psikotik yang ditandai oleh
distorsi-distorsi mengenai realitas, adanya perilaku menarik diri dari interaksi social serta
disorganisasi dan fragmentasi dalam hal persepsi, pikiran dan kognisi (Carson dan Butcher,
2019).
Menurut Maramis, 2018 skizofrenia paranoid sedikit berlainan dari jenis-jenis yang
lain dalam jalan penyakit. Hebrefenia dan Katatonia sering lama-kelamaan Hebrefenia dan
Katatonia bercampuran. Tidal demikian dengan skizofrenia paranoid yang jalannya agak
konstan. Gejala-gejala yang mencolok ialah waham primer, disertai waham-waham skunder,
dan Halusinasi. Baru dengan pemeriksaan yang teliti ternyata adanya gangguan proses
berfikir dan adanya gangguan afek berfikir.

1.2 Etiologi
a. Faktor Biologis
1) Herediter ( Pengaruh Gen terhadap Skizofrenia)
Studi terhadap keluarga, anak kembar dan anak adopsi melengkapi bukti-bukti
bahwa gen terlibat dalam transmisi (penyebaran) skizofrenia (Liohtermann, Karbe &
Maier, 2016). Beberapa peneliti berpendapat bahwa banyak gen (polygenic) model
tambahan, yang membentuk jumlah dan konfigurasi gen abnormal untuk membentuk
skizofrenia (Gottensman, 1991, Gottansman & Erlenmyer-kimling, 2017). Adanya
lebih banyak gen yang terganggu meningkatkan kemungkinan berkembangnya
skizofrenia dan menungkatakan kerumitan gangguan tersebut. Individu yang lahir
dengan beberapa gen tetapi tidak cukup untuk menunjukkan simtom-simtom bertaraf
sedang atau ringan skizofrenia, seperti keganjilan dalam pola bicara atau proses
berpikir dan keyakinan-keyakinan yang aneh.
Anak-anak yang memiliki kedua orang tuanya menderita skizofrenia dan anak-
anak kembar identik atau dari satu zigot (monozigot) dari orangtua dengan
skizofrenia, mendapat sejumlah besar gen skizofrenia, memiliki resiko sangat besar
mendapatkan skizofrenia. Sebaliknya penurunan kesamaan gen dengan orang-orang
skizofrenia, menurunkan resiko individu mengembangkan gangguan ini.
Jika aman dari orang skizofrenia mengembangkan gangguan ini, tidak berarti
bahwa hal itu dikirimkan atau diwariskan secara genetic. Tumbuh bersama orangtua
skizofrenia dan secara khusus bersama dengan kedua orangtua dengan gangguan
tersebut, kemungkinan besar berarri tumbuh berkembang dalam suasana yang penuh
stress. Jika orangtua psikotik, anak dapa terbuka untuk pemikiran-pemikiran yang
tidak logis, perubahan suasana hati dan perilaku yang kacau.
Bahkan jika orangtua bukanlah psikotik akut, sisa-sisa simtom negative akut
skizofrenia, kurangnya motivasi, dan disorganisasi mungkin mengganggu
kamampuan orangtua untuk peduli terhadap anak. Studi adopsi yang dilakukan
Leonard Heston di Amerika Serikat dan Kanada menunjukkan bahwa anak-anak
yang hidup bersama orangtua skizofrenia yang diadopsi jauh dari ibu, mempunyai
tingkat pengembangan skizofrenia yang lebih rendah.
2) Pembesaran Ventrikel
Struktur utama otak yang abnormal sesuai dengan skizofrenia adalah pembesaran
ventrikel. Ventrikel adalah ruang besar yang berisi cairan dalam otak. Perluasan
mendukung atropi (berhentinya pertumbuhan), deteriorasi di jaringan otak lainnya.
Orang-orang skizofrenia dengan pembesaran ventricular cenderung menunjukkan
penirinan secara social, ekonomi, perilaku, lama sebelum mereka mengembangkan
simtom utama atau inti dati skizofrenia. Mereka juga cenderung untuk memiliki
simtom yang lebih kuat dari pada orang skizofrenialainnya dan kurang responsive
terhadap pengobatan karena dianggap sebagai pergantian yang buruk dalam
pemfungsian otak, yang sulit untuk ditangani/dikurangi melalui treatment. Perbedaan
jenis kelamin mungkin juga berhubungan dengan ukuran ventricular. Beberapa studi
menemukan bahwa laki-laki dengan skizofrenia memiliki pelebaran ventrikel yang
lebih kuat.
3) Faktor Anatomis Neuron
Abnormalitas neuron secara otomatis pada skizofrenia memiliki beberapa
penyebab, termasuk abnormalitas gen yang spesifik (khas), cedera otak berkaitan
dengan cedera waktu kelahiran, cedera kepala, infeksi virus defisiensi (penurunan)
dalam nutrisi dan defisiensi dalam stimulus kognitif (Conklin & Lacono, 2017).
4) Komplikasi Kehamilan
Komplikasi serius selama prenatal dan masalah-masalah berkaitan dengan
kandungan pada saat kelahiran merupakan hal yang lebih sering dalam sejarah orang-
orang dengan skizofrenia dan mungkin berperan dalam membuat kesulitan-kesulitan
secara neurologist. Komplikasi dalam pelepasan berkombinasi dengan keluarga
beresiko terhadap terjadinya karena menambah derajad pembesaran ventricle.
Penelitian epidemiologi telah menunjukkan angka yang tinggi dari skizofrenia
dikalangan orang-orang yang memiliki ibu terjangkit virus influenza ketika hamil.
Selain itu, apabila ada gangguan pada perkembangan otak janin selama
kehamilan(epigenetic faktor), maka interaksi antara gen yang abnormal yang sudah
ada sebelumnya dengan faktor epigenetik tersebut dapat memunculkan gejala
skizofrenia. (Dadang Hawari, 2017)
5) Neurotransmiter
Neurotransmiter dopamine dianggap memainkan peran dalam skizpfrenia ( Coklin
& Lacono, 2016 ). Teori awal dari dopamine menyatakan bahwa simtom-simton
skizofrenia disebabkan oleh kelebihan jumlah dopamine di otak, khususnya di frontal
labus dan system limbic. Aktivitas dopamine yang berlebihan / tinggi dalam system
mesolimbik dapat memunculkan simtom positif skizofrenia : halusinasi, delusi, dan
gangguan berfikir. Karena atipikal antipsikotis bekerja mereduksi simtom-simtom
skizofrenia dengan mengikat kepada reseptor D4 dalam system mesolimbik.
Sebaliknya jika aktivitas dopamine yang rendah dapat mendorong lahirnya simtom
negative seperti hilangnya motivasi, kemampuan untuk peduli pada diri sendiri
dalam aktivitas sehari-hari. Dan tidak adanya responsivitas emosional. Hal ini
menjelaskan bahwa phenothiazines, yang mereduksi aktivitas dopamine, tidak
meredakan atau mengurangi simtom.
Dalam penelitian lain bahwa taraf abnormalitas nuotansmiter glutamate dan
gamma aminobutyric acid ( GABA ) tampak pada orang-orang dengan skizofrenia
(Goff & Coyle, 2015, Tsai & Coyle, 2016 ). Glutamate dan GABA terbesar di otak
manusia dan defisiensi pada neurotransmitter akan memberikan kontribusi terhadap
simtom-simtom kognitif dan emosioanal. Neuro glutamate merupakan pembangkit
jalan kecil yang menghubungkan kekortek, system limbic dan thalamus bagian otak
yang membangkitkan tingkah laku abnormal pada orang-orang dengan skizofrenia.
b. Faktor Psikososial
1) Teori Psikodinamika
Menurut Kohut & Wolf, ahli-ahli teori psikodinamika berpendapat bahwa
skizofrenia merupakan hasil dari paksaan atau tekanan kekuetan biologis yang
mencegah atau menghalangi individu untuk mengembangkan dan mengintegrasikan
persaan atau pemahaman atas dirinya. Freud(2019) berargumen bahwa jika ibu
secara ekstrim atau berlebihan kasar dan terus-menerus mendominasi, anak akan
mengalami taraf regresi dan kembali ke taraf perkembangan bayi dalam hal
pemfungsiannya, sehingga ego akan kehilangan kemampuannya dalam membedakan
realita.
Menurut Dadang Hawari, dalam teori homeostatis-deskriptif, diuraikan gambaran
gejala-gejala dari suatu gangguan jiwa yang menjelaskan terjadinya gangguan
keseimbangan atau homeostatis pada diri seorang, sebelum dan seseudah terjadinya
gangguan jiwa tersebut. Sedangkan dalam teori Fasilitatif etiologik, diuraikan faktor
yang memudahkan penyebab suatu penyakit itu muncul, bagaimana perjalanan
mekanisme psikologis dari penyakit yang bersangkutan. Sebagai contoh misalnya
menurut Melanie Klein (2019), bahwa skizofrenia muncul karena terjadi fiksasi pada
fase paranoid-schizoid pada awal perkembangan masa bayi.
2) Pola-Pola Komunikasi
Menurur Gregory Bateson & koleganya bahwa orangtua (khususnya ibu) pada
anak-anak sklizofrenia menempatkan anak mereka dalam situasi ikatan ganda
(double binds) yang secara terus menerus mengkomunikasikan pesan-pesan yang
bertentangan pada anak-anak. Yang dimaksud ikatan ganda adalah pemberian
pendidikan dan informasi yang nilainya saling bertentangan. Dalam teori doble-bind
tentang pola-pola komunikasi dalam keluarga orang-orang dengan skizofrenia,
menampakkan keganjilan. Keganjilan-keganjilan itu membentuk lingkungan yang
penuh ketegangan yang membuat lebih besar kemungkinan seorang anak memiliki
kerawanan secara biologis terhadap skizofrenia.
Selain itu, anak dalam berbicara sering tidak mneyambung atau kacau atau tidak
jelas arah pembicaraan, serta dalm berbicara disertai emosi yang tinggi dan suara
yang keras.
3) Stres dan Kekambuhan
Keadaan sekitar atau lingkungan yang penuh stress (stresfull) mungkin
tidak menyebabkan seseorang terjangkit skizofrenia, tetapi keadaan tersebut dapat
memicu episode baru pada orang-orang yang mudah terkena serangan atau rawan
terhadap skizofrenia. Berdasarkan penelitian bahwa lebih dari 50 % orang yang
mengalami kekambuhan skizofrenia adalah mereka yang dalam kehidupannya telah
mengalami kejadian-kejadian buruk sebelum mereka kambuh.
Menurut danang Hawari, stresor yang menyebabkan stres atau
kekambuhan skizofrenia paranoid adalah perkawinan, masalah orang tua, hubungan
interpersonal, pekerjaan, lingkungan hidup, keuangan dan hukum.
4) Faktor Kesalahan Belajar
Yang dimaksud kesalahan belajar adalah tidak tepatnya mempelajari yang
benar atau dengan tepat mempelajari yang tidak benar. Dalam hal ini penderita
mempelajari dengan baik perilaku orang-orang skizofrenia atau perilaku yang baik
dengan cara yang tidak baik (Wiramaharja, 2015)

1.3 Manifestasi Klinis


a. Gejala Primer
1. Gangguan proses pikiran (bentuk,langkah dan isi pikiran) yang terganggu terutama
aspek asosiasi, kadang-kadang suatu ide belum selesai diutarakan, sudah muncul ide
uang lain. Sering ditandai oleh : menggunakan arti simbolik, terdapat clang
association, jalan pikirannya tidak dapat dimengerti / inkoherensi, menyamakan hal-
hal. Terjadi bloking beberapa detik sampai beberapa hari, ada penderita yang
mengatakan bahwa seperti ada yang laindidalam dirinya yang berfikir dan tanda
sejenis lainnya.
2. Gangguan afek dan emosi
Dapat berupa :
a. Kedangkalan afek dan emosi, klien menjadi acuh tak acuh pada hal-hal yang
penting dalam hidupnya.
b. Parathimi ; merasa sedih atau marah yang seharusnya timbul rasa tenang dan
gembira.
c. Paramimi ; klien menangis padahal merasa senang dan bahagia.
d. Emosi, afek dan ekspresinya tidak mengalami kesatuan.
e. Emosi yang berlebih. Hilang kemampuan untuk mengandalkan hubungan emosi
yang baik.
f. Ambivalensi pada afek : dua hal yang bertentangan berada pada satu objek

3. Gangguan kemauan
Ditandai antara lain :
a. Tidak dapat mengambil keputusan
b. Tidak dapat bertindak dalam suatu keadaan
c. Melamun dalam waktu tertentu yang lama.
d. Negativisme ; perbuatan yang berlawanan dengan perlawanan
e. Ambivalensi kemauan ; menghendaki dua hal yang berlawanan pada waktu yang
sama
f. Otomatisme ; merasa kemauannya dipengaruhi oleh orang lain atau tenaga dari luar
sehingga ia berbuat otomatis.
4. Gangguan psikomotor
a. Stupor : tidak bergerak dalam waktu yang lama.
b. Hiperkinesa; terus bergerak dan tampak gelisah
c. Stereotipi ; berulang melakukan gerakan atau sikap
d. Verbigerasi ; stereotipi pembicaraan
e. Manerisme ; stereotipi tertentu pada pada skizofrenia, grimes pada muka atau
keanehan berjalan dan gaya.
f. Katalepsi ; posisi badan dipertahankan dalam waktu yang lama.
g. Fleksibilitas cerea ; bila anggota badan dibengkokkan terasa suatu tahanan seperti
lilin.
h. Negativisme ; menentang atau justru melakukan berlawan dengan apa yang disuruh.
i. Otomatisme komando ; kebalikan daari negativisme.
j. Echolalia; meniru kata-kata yang diucapkan orang lain.
b. Gejala Sekunder
1. Waham atau delusi
Keyakinan yang salah yang tidak dapat diubah dengan penalaran atau bujukan.
Sangat tidak logis dan kacau tetapi klien tidak menyadari hal tersebut dan menganggap
sebagai fakta dan tidak dapat diubah oleh siapapun.
Jenis-jenis waham mencakup :
a) kebesaran ; seseorang memiliki suatu perasaan berlebih dalam
kepentingan atau kekuasaan.
b) curiga ; seseorang merasa terancam dan yakin bahwa orang lain
bermaksud untuk membahayakan atau menncurigai dirinya.
c) Siar ; semua kejadian dalam, lingkungan sekitarnya diyakini merujuk /
terkait kepada dirinya.
d) kontrol ; seseorang percaya bahwa objek atau oang tertentu mengontrol
perilakunya.

2. Halusinasi
Istilah ini menggarbarkan persepsi sensori yang salah yang mungkin meliputi
salah satu dari kelima panca indra. Halusinasi pendengaran dan penglihatan yang
sering,halusinasi penciuman, perabaan, dan pengecapan juga dapat terjadi ( Towsend,
Mary S, 1998).
Tanda gangguan yang berlangsung secara terus menerus sedikitnya selama 6
bulan ( Stuard, 2016 )adalah :
a) Kecurigaan yang ekstrim terhadap orang lain.
b) Halusinasi
Modalitas sensori yang tercakup dalam halusinasi :
1. Pendengaran / auditorius
Mendengar suara atau bunyi, biasanya suara orang. Suara dapat berkisar dari
suara yang sederhana sampai suara orang bicara mengenai pasien, untuk
menyelesaikan percakapan antara dua orang atau lebih tentang pasien yang
berhalusinasi. Jenis lain termasuk pikiran yang dapat didengar pasien yaitu
pasien mendengar suara orang yang sedang membicarakan apa yang sedang
dipikirkan oleh pasien dan memerintahkan untuk melakukan sesuatu, kadang-
kadang hal yang berbahaya.
2. Penglihatan / visual

Stimulus penglihatan dalam bentuk pancaran cahaya, gambar geometris,


gambar kartun, dan gambar atau panorama yang luas dan kopleks. Penglihatan
dapat berupa sesuatu yang menyenangkan atau yang menakutkan ( seperti
melihat monster ).

1.4 Komplikasi
Menurut Keliat (2019), dampak gangguan jiwa skizofrenia antara lain :
1.      Aktifitas hidup sehari-hari
Klien tidak mampu melakukan fungsi dasar secara mandiri, misalnya kebersihan
diri, penampila dan sosialisasi.
2.      Hubungan interpersonal
Klien digambarkan sebagai individu yang apatis, menarik diri, terisolasi dari
teman-teman dan keluarga. Keadaan ini merupakan proses adaptasi klien terhadap
lingkungan kehidupan yang kaku dan stimulus yang kurang.
3.       Sumber koping
Isolasi social, kurangnya system pendukung dan adanya gangguan fungsi pada
klien, menyebabkan kurangnya kesempatan menggunakan koping untuk menghadapi
stress.
4.      Harga diri rendah
Klien menganggap dirinya tidak mampu untuk mengatasi kekurangannya, tidak
ingin melakukan sesuatu untuk menghindari kegagalan (takut gagal) dan tidak berani
mencapai sukses.
5.      Kekuatan
Kekuatan adalah kemampuan, ketrampilan aatau interes yang dimiliki dan pernah
digunakan klien pada waktu yang lalu.
6.      Motivasi
 Klien mempunyai pengalaman gagal yang berulang.
7.      Kebutuhan terapi yang lama
Klien disebut gangguan jiwa kronis jika ia dirawat di rumah sakit satu periode
selama 6 bulan terus menerus dalam 5 tahun tau 2 kali lebih dirawat di rumah sakit dalam
1 tahun.

1.5 Penatalaksanaan
1.      Medis
Obat antipsikotik digunakan untuk mengatasi gejala psikotik (misalnya perubahan
perilaku, agitasi, agresif, sulit tidur, halusinasi, waham, proses piker kacau). Obat-obatan
untuk pasien skizophrenia yang umum diunakan adalah sebaga berikut :
a.  Pengobatan pada fase akut
1)  Dalam keadaan akut yang disertai agitasi dan hiperaktif diberikan injeksi :
a)      Haloperidol 3x5 mg (tiap 8 jam) intra muscular.
b)      Clorpromazin 25-50 mg diberikan intra muscular setiap 6-8 jam sampai
keadaan akut teratasi.
c)      Kombinsi haloperidol 5 mg intra muscular kemudian diazepam 10 mg intra
muscular dengan interval waktu 1-2 menit.
2) Dalam keadaan agitasi dan hiperaktif diberikan tablet :
a)  Haloperidol 2x1,5 – 2,5 mg per hari.
b)  Klorpromazin 2x100 mg per hari
c)   Triheksifenidil 2x2 mg per hari
b.  Pengobaan fase kronis
Diberikan dalam bentuk tablet :
1) Haloperidol 2x  0,5 – 1 mg perhari
2) Klorpromazin 1 x 50 mg sehari (malam)
3) Triheksifenidil 1- 2x 2 mg sehari
a)   Tingkatkan perlahan-lahan, beri kesempatan obat untuk bekerja, disamping itu
melakukan tindakan perawatan dan pendidikan kesehatan.
b)   Dosis maksimal
Haloperidol : 40 mg sehari (tablet) dan klorpromazin 600 mg sehari (tablet).
c.       Efek dan efek samping terapi
1)     Klorpromazine
Efek : mengurangi hiperaktif, agresif, agitasi
Efek samping : mulut kering, pandangan kabur, konstipasi, sedasi, hipotensi
ortostatik.
2)   Haloperidol
Efek : mengurangi halusinasi
Efek samping : mulut kering, pandangan kabur, konstipasi, sedasi, hipotensi
ortostatik.
2.   Tindakan keperawatan efek samping obat
a. Klorpromazine
1. Mulut kering  : berikan permen, es, minum air sedikit-sedikit dan membersihkan
mulut secara teratur.
2. Pandangan kabur : berikan bantuan untuk tugas yang membutuhkan ketajaman
penglihatan.
3. Konstipasi : makan makanan tinggi serat
4. Sedasi : tidak menyetir atau mengoperasikan peralatan ang berbahaya.
5. Hipoensi ortostatik : perlahan-lahan bangkit dari posisi baring atau duduk.
b. Haloperidol
1. Mulut kering  : berikan permen, es, minum air sedikit-sedikit dan membersihkan
mulut secara teratur.
2. Pandangan kabur : berikan bantuan untuk tugas yang membutuhkan ketajaman
penglihatan.
3.   Konstipasi : makan makanan tinggi serat
4. Sedasi : tidak menyetir atau mengoperasikan peralatan ang berbahaya.
5. Hipotensi ortostatik : perlahan-lahan bangkit dari posisi baring atau duduk
BAB 2
KONSEP RESIKO BUNUH DIRI

2.1 Definisi Resiko Bunuh Diri


Resiko bunuh diri adalah resiko untuk mencederai diri sendiri yang dapat
mengancam kehidupan. Bunuh diri merupakan kedaruratan psikiatri karena
merupakan perilaku untuk mengakhiri kehidupannya. Perilaku bunuh diri
disebabkan karena stress yang tinggi dan berkepanjangan dimana individu gagal
dalam melakukan mekanisme koping yang digunakan dalam mengatasi masalah.
Beberapa alasan individu mengakhiri kehidupan adalah kegagalan untuk
beradaptasi, sehingga tidak dapat menghadapi stress, perasaan terisolasi, dapat
terjadi karena kehilangan hubungan interpersonal/gagal melakukan hubungan
yang berarti, perasaan marah/bermusuhan, bunuh diri dapat merupakan hukuman
pada diri sendiri, cara untuk mengakhiri keputusasaan (Stuart, 2016).
Bunuh diri adalah segala perbuatan dengan tujuan untuk membinasakan dirinya
sendiri dan yang dengan sengaja dilakukan oleh seseorang yang tahu akan
akibatnya yang mungkin pada waktu yang singkat. Menciderai diri adalah
tindakan agresif yang merusak diri sendiri dan dapat mengakhiri kehidupan.
Bunuh diri mungkin merupakan keputusanterakhir dari individu untuk
memecahkan masalah yang dihadapi (Captain, 2018).
Bunuh diri adalah tindakan agresif yang merusak diri sendiri dan dapat
mengakhiri kehidupan. Bunuh diri mungkin merupakan keputusan terkahir dari
individu untuk memecahkan masalah yang dihadapi (Keliat 1991 : 4). Risiko
bunuh diri dapat diartikan sebagai resiko individu untuk menyakitidiri sendiri,
mencederai diri, serta mengancam jiwa. (Nanda, 2015)
Menurut Beck (1994) dalam Keliat (2019) mengemukakan rentang
harapan- putus harapan merupakan rentang adaptif -maladaptif.Respon adaptif
merupakan respon yang dapat diterima oleh norma-norma sosial dan
kebudayaan yang secara umum berlaku, sedangkan respon maladaptif
merupakan respon yang dilakukan individu dalam menyelesaikan masalah
yang kurang dapat diterima oleh norma-norma sosial dan budaya setempat.
Prilaku destruktif diri yaitu setiap aktivitas yang jika tidak di cegah
dapatmengarah kepada kematian. Rentang respon protektif diri mempunyai
peningkatandiri sebagai respon paling adaptif, sementara perilaku destruktif diri,
pencederaan diri,dan bunuh diri merupakan respon maladaptif (Wiscarz dan
Sundeen, 2018). Pikiran bunuh diri biasanya muncul pada individu yang
mengalami gangguan mood, terutama depresi. Bunuh diri adalah tindakan yang
dilakukan dengan sengaja untuk membunuh diri sendiri (Videbeck, 2018).
Sehingga dari beberapa pendapat diatas, bunuh diri merupakan tindakan
yang sengaja dilakukan seseorang individu untuk mengakhiri hidupnya dengan
berbagai cara. Dan seseorang dengan gangguan psikologi tertentu atau
sedang depresi dapat pula beresiko melakukan bunuh diri. Banyak faktor yang
menyebabkan seseorang bunuh diri, dapat dari faktor eksternal seperti
lingkungan dan faktor internal seperti gangguan psikologi dalam dirinya.

Perilaku bunuh diri terbagi menjadi tiga kategori yaitu (Stuart, 2016):
1) Ancaman bunuh diri yaitu peringatan verbal atau nonverbal bahwa
seseorang tersebut mempertimbangkan untuk bunuh diri. Orang yang ingin bunuh
diri mungkin mengungkapkan secara verbal bahwa ia tidak akan berada di sekitar
kita lebih lama lagi atau mengomunikasikan secara non verbal.
2) Upaya bunuh diri yaitu semua tindakan terhadap diri sendiri yang dilakukan
oleh individu yang dapat menyebabkan kematian jika tidak dicegah.
3) Bunuh diri yaitu mungkin terjadi setelah tanda peringatan terlewatkan
atau diabaikan. Orang yang melakukan bunuh diri dan yang tidak bunuh diri akan
terjadi jika tidak ditemukan tepat pada waktunya.
Sementara itu, Yosep (2010) mengklasifikasikan terdapat tiga jenis bunuh diri,
meliputi:
1. Bunuh diri anomik adalah suatu perilaku bunuh diri yang didasari oleh
faktor lingkungan yang penuh tekanan (stressful) sehingga mendorong seseorang
untuk bunuh diri.
2. Bunuh diri altruistik adalah tindakan bunuh diri yang berkaitan dengan
kehormatan seseorang ketika gagal dalam melaksanakan tugasnya.
3. Bunuh diri egoistik adalah tindakan bunuh diri yang diakibatkan faktor dalam
diri seseorang seperti putus cinta atau putus harapan.
2.2 Etiologi Resiko Bunuh Diri

Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya resiko bunuh diri


ada dua faktor, yaitu factor predisposisi (factor risiko) dan factor presipitasi
(factor pencetus).
a. Faktor predisposisi
Stuart (2016) menyebutkan bahwa faktor predisposisi yang menunjang
perilaku resiko bunuh diri meliputi :
1) Diagnosis psikiatri
Tiga gangguan jiwa yang membuat klien berisiko untuk bunuh diri
yaitu gangguan alam perasaan, penyalahgunaan obat, dan skizofrenia.
2) Sifat kepribadian
Tiga aspek kepribadian yang berkaitan erat dengan peningkatan
resiko bunuh diri adalah rasa bermusuhan, impulsif, dan depresi.
3) Lingkungan psikososial
4) Baru mengalami kehilangan, perpisahan atau perceraian,kehilangan yang
dini, dan berkurangnya dukungan sosial merupakan faktor penting yang
berhubungan dengan bunuh diri.
4) Biologis
Banyak penelitian telah dilakukan untuk menemukan penjelasan biologis
yang tepat untuk perilaku bunuh diri. Beberapa peneliti percaya bahwa ada
gangguan pada level serotonin di otak, dimana serotonin diasosiasikan dengan
perilaku agresif dan kecemasan. Penelitian lain mengatakan bahwa perilaku
bunuh diri merupakan bawaan lahir, dimana orang yang suicidal mempunyai
keluarga yang juga menunjukkan kecenderungan yang sama. Walaupun
demikian, hingga saat ini belum ada faktor biologis yang ditemukan
berhubungan secara langsung dengan perilaku bunuh diri
5) Psikologis
Leenars (dalam Corr, Nabe, & Corr, 2016) mengidentifikasi tiga bentuk
penjelasan psikologis mengenai bunuh diri. Penjelasan yang pertama
didasarkan pada Freud yang menyatakan bahwa “suicide is murder turned
around 180 degrees”, dimana dia mengaitkan antara bunuh diri dengan
kehilangan seseorang atau objek yang diinginkan. Secara psikologis,
individu yang beresiko melakukan bunuh diri mengidentifikasi dirinya dengan
orang yang hilang tersebut. Dia merasa marah terhadap objek kasih sayang ini
dan berharap untuk menghukum atau bahkan membunuh orang yang hilang
tersebut. Meskipun individu mengidentifikasi dirinya dengan objek kasih
sayang, perasaan marah dan harapan untuk menghukum juga ditujukan pada
diri. Oleh karena itu, perilaku destruktif diri terjadi.
6) Sosiokultural
Penjelasan yang terbaik datang dari sosiolog Durkheim yang memandang
perilaku bunuh diri sebagai hasil dari hubungan individu dengan
masyarakatnya, yang menekankan apakah individu terintegrasi dan teratur
atau tidak dengan masyarakatnya
b. Faktor presipitasi
Stuart (2006) menjelaskan bahwa pencetus dapat berupa kejadian yang
memalukan, seperti masalah interpersonal, dipermalukan di depan
umum,kehilangan pekerjaan, atau ancaman pengurungan. Selain itu,
mengetahui seseorang yang mencoba atau melakukan bunuh diri atau
terpengaruh media untuk bunuh diri, juga membuat individu semakin rentan
untukmelakukan perilaku bunuh diri.
Faktor pencetus seseorang melakukan percobaan bunuh diri adalah
perasaan terisolasi karena kehilangan hubungan interpersonal/gagal
melakukan hubungan yang berarti, kegagalan beradaptasi sehingga tidak dapat
menghadapi stres, perasaan marah/bermusuhan dan bunuh diri sebagai
hukuman pada diri sendiri, serta cara utuk mengakhiri keputusasaan.
c. Respon terhadap stres
1. Kognitif: Klien yang mengalami stress dapat mengganggu proses
kognitifnya, seperti pikiran menjadi kacau, menurunnya daya konsentrasi,
pikiran berulang, dan pikiran tidak wajar.
2. Afektif: Respon ungkapan hati klien yang sudah terlihat jelas dan nyata
akibat adanya stressor dalam dirinya, seperti: cemas, sedih dan marah.
3. Fisiologis: Respons fisiologis terhadap stres dapat diidentifikasi menjadi
dua, yaitu Local Adaptation Syndrome (LAS) yang merupakan respons
lokal tubuh terhadap stresor (misal: kita menginjak paku maka secara
refleks kaki akan diangkat) dan Genital Adaptation Symdrome (GAS)
adalah reaksi menyeluruh terhadap stresor yang ada.
4. Perilaku: Klien dengan penyakit kronik atau penyakit yang
mengancam kehidupan dapat melakukan perilaku bunuh diri dan sering
kali orang ini secara sadar memilih untuk melakukan tindakan bunuh diri.
Perilaku bunuh diri berhubungan dengan banyak faktor, baik faktor social
maupun budaya.
5. Sosial: Struktur social dan kehidupan bersosial dapat menolong atau
bahkan mendorong klien melakukan perilaku bunuh diri. Isolasi social
dapat menyebabkan kesepian dan meningkatkan keinginan seseorang untuk
melakukan bunuh diri. Seseorang yang aktif dalam kegiatan masyarakat
lebih mampu menoleransi stress dan menurunkan angka bunuh diri. Aktif
dalam kegiatan keagamaan juga dapat mencegah seseorang melakukan
tindakan bunuh diri.
d. Kemampuan mengatasi masalah/ sumber
coping
1. Kemampuan personal: kemampuan yang diharapkan pada klien dengan
resiko bunuh diri yaitu kemampuan untuk mengatasi masalahnya.
2. Dukungan sosial: adalah dukungan untuk individu yang di dapat dari
keluarga, teman, kelompok, atau orang-orang disekitar klien dan dukungan
terbaik yang diperlukan oleh klien adalah dukungan keluarga.
3. Asset material: ketersediaan materi antara lain yaitu akses pelayanan
kesehatan, dana atau finansial yang memadai, asuransi, jaminan pelayanan
kesehatan dan lain-lain.
4. Keyakinan positif: merupakan keyakinan spiritual dan gambaran
positif seseorang sehingga dapat menjadi dasar dari harapan yang dapat
mempertahankan koping adaptif walaupun dalam kondisi penuh stressor.
Keyakinan yang harus dikuatkan pada klien resiko bunuh diri adalah
keyakinan bahwa klien mampu mengatas masalahnya.
e. Mekanisme coping
Klien dengan penyakit kronis, nyeri, atau penyakit yang mengancam
kehidupan dapat melakukan perilaku destruktif-diri. Sering kali klien secara
sadar memilih bunuh diri. Menurut Stuart (2006) mengungkapkan bahwa
mekanisme pertahanan ego yang berhubungan dengan perilaku destruktif diri
tidak langsung adalah penyangkalan, rasionalisasi, intelektualisasi, dan
regresi. Menurut Fitria (2012) mengemukakan rentang harapan-putus
harapan merupakan rentang adaptif-maladaptif.

Adaptif Maladaptif

Peningkatan Berisiko Destruktif diri Pencederaan Bunuh Diri


destruktif diri
diri tidak langsung

Keterangan:
a. Peningkatan diri: seseorang dapat meningkatkan proteksi atau pertahan diri
secara wajar terhadap situasional yang membutuhkan pertahan diri.
b. Beresiko destruktif: seseorang memiliki kecenderungan atau beresiko
mengalami perilaku destruktif atau menyalahkan diri sendiri terhadap situasi
yang seharusnya dapat mempertahankan diri, seperti seseorang merasa patah
semangat bekerja ketika dirinya dianggap tidak loyal terhadap pimpinan
padahal sudah melakukan pekerjaan secara optimal.
c. Destruktif diri tidak langsung: seseorang telahmengambil sikap yang
kurang tepat terhadap situasi yangmembutuhkan dirinya untuk
mempertahankan diri.
d. Pencederaan Diri: seseorang melakukan percobaan bunuh diri atau
pencederaan diri akibat hilangnya harapan terhadapsituasi yang ada.
e. Bunuh diri: seseorang telah melakukan kegiatan bunuh diri sampai dengan
nyawanya hilang.
Perilaku bunuh diri menunjukkan terjadinya kegagalan mekanisme
koping. Ancaman bunuh diri menunjukkan upaya terakhir untuk
mendapatkan pertolongan adgar untuk mengatasi masalah. Resiko yang
mungkin terjadi pada klien yang mengalami krisis bunuh diri adalah
mencederai diri dengan tujuan mengakhiri hidup. Perilaku yang muncul
meliputi isyarat, percobaan atau ancaman verbal untuk
melakukan tindakan yang mengakibatkan kematian perlukaan atau nyeri
pada diri sendiri.

2.3 Manifestasi Klinis Resiko Bunuh Diri


Menurut Fitria, Nita (2009):
1. Mempunyai ide untuk bunuh diri.
2. Mengungkapkan keinginan untuk mati.
3. Mengungkapkan rasa bersalah dan keputusasaan.
4. Impulsif.
5. Menunjukkan perilaku yang mencurigakan (biasanya menjadi sangat patuh).
6. Memiliki riwayat percobaan bunuh diri.
7. Verbal terselubung (berbicara tentang kematian, menanyakan tentang obatdosis
mematikan).
8. Status emosional (harapan, penolakan, cemas meningkat, panic, marah dan mengasingkan
diri).
9. Kesehatan mental (secara klinis, klien terlihat sebagai orang yang depresi, psikosis dan
menyalahgunakan alcohol).
10. Kesehatan fisik (biasanya pada klien dengan penyakit kronis atau terminal).
11. Pengangguaran (tidak bekerja, kehilangan pekerjaan, atau mengalami kegagalan dalam
karier).
12. Umur 15-19 tahun atau di atas 45 tahun.
13. Status perkawinan (mengalami kegagalan dalam perkawinan).
14. Pekerjaan.
15. Konflik interpersonal.
16. Latar belakang keluarga.
17. Orientasi seksual.
18. Sumber-sumber personal.
19. Sumber-sumber social.
20. Menjadi korban perilaku kekerasan saat kecil.
2.4 Penatalaksanaan Klien Dengan Perilaku Bunuh Diri
Menurut Stuart dan Sundeen (1997, dalam Keliat, 2019:13)
mengidentifikasi intervensi utama pada klien untuk perilaku bunuh diri yaitu :
1) Melindungi
Merupakan intervensi yang paling penting untuk mencegah klien melukai
dirinya. Intervensi yang dapat dilakukan adalah tempatkan klien di tempat yang
aman, bukan diisolasi dan perlu dilakukan pengawasan, temani klien terus-
menerus sampai klien dapat dipindahkan ke tempat yang aman dan jauhkan klien
dari semua benda yang berbahaya.
2) Meningkatkan harga diri
Klien yang ingin bunuh diri mempunyai harga diri yang rendah. Bantu klien
mengekspresikan perasaan positif dan negatif. Berikan pujian pada hal yang
positif.
3) Menguatkan koping yang konstruktif/sehat
Perawat perlu mengkaji koping yang sering dipakai klien. Berikan pujian
penguatan untuk koping yang konstruktif. Untuk koping yang destruktif perlu
dimodifikasi atau dipelajari koping baru.
4) Menggali perasaan
Perawat membantu klien mengenal perasaananya. Bersama mencari faktor
predisposisi dan presipitasi yang mempengaruhi prilaku klien.
5) Menggerakkan dukungan sosial
Untuk itu perawat mempunyai peran menggerakkan sistem sosial klien, yaitu
keluarga, teman terdekat, atau lembaga pelayanan di masyarakat agar dapat
mengontrol prilaku klien.
a. Penatalaksanaan klien dengan resiko bunuh diri yaitu:
1) Mendiskusikan tentang cara mengatasi keinginan bunuh diri, yaitu
dengan meminta bantuan dari keluarga atau teman.
2) Meningkatkan harga diri klien, dengan cara:
a) Memberi kesempatan klien mengungkapkan
perasaannya.
b) Berikan pujian bila klien dapat mengatakan perasaan yang
positif.
c) Meyakinkan klien bahwa dirinya penting
d) Membicarakan tentang keadaan yang sepatutnya disyukuri oleh
klien
e) Merencanakan aktifitas yang dapat klien lakukan
3) Meningkatkan kemampuan menyelesaikan masalah, dengan cara:
a) Mendiskusikan dengan klien cara menyelesaikan masalahnya
b) Mendiskusikan dengan klien efektifitas masing-masing cara
penyelesaian masalah
c) Mendiskusikan dengan klien cara menyelesaikan masalah yang lebih baik

Pathway

Faktor Presipitasi Faktor Predisposisi

Sumber Koping <<<

Mekanisme Koping Maladaptif Ketidakefektifan


Koping Individu

Respon Konsep Diri Maladaptif

Gangguan Konsep Diri: Harga


Diri Rendah (HDR)

Malu, merasa bersalah

Menarik Diri

Risiko Gangguan
Persepsi Sensori: Isolasi sosial
Halusinasi

Perilaku kekerasan

Risiko membahayakan diri: Risiko


Bunuh Diri
BAB 3
KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN RESIKO BUNUH DIRI

3.1Pengkajian
Data yang perlu dikumpulkan saat pengkajian :
1. Riwayat masa lalu :
a. Riwayat percobaan bunuh diri dan mutilasi diri
b. Riwayat keluarga terhadap bunuh diri
c. Riwayat gangguan mood, penyalahgunaan NAPZA dan skizofrenia
d. Riwayat penyakit fisik yang kronik, nyeri kronik.
e. Klien yang memiliki riwayat gangguan kepribadian boderline, paranoid, antisosial
f. Klien yang sedang mengalami kehilangan dan proses berduka
2. Peristiwa hidup yang menimbulkan stres dan kehilangan yang baru dialami.
3. Hasil dan alat pengkajian yang terstandarisasi untuk depresi.
4. Riwayat pengobatan.
5. Riwayat pendidikan dan pekerjaan.
6. Catat ciri-ciri respon psikologik, kognitif, emosional dan prilaku dari individu dengan
gangguan mood.
7. Kaji adanya faktor resiko bunuh diri dan letalitas prilaku bunuh diri : 
1. Tujuan klien misalnya agar terlepas dari stres, solusi masalah yang sulit.
2. Rencana bunuh diri termasuk apakah klien memiliki rencana yang teratur dan cara-
cara melaksanakan rencana tersebut.
3. Keadaan jiwa klien (misalnya adanya gangguan pikiran, tingkat gelisah, keparahan
gangguan mood
4. Sistem pendukung yang ada.
5. Stressor saat ini yang mempengaruhi klien, termasuk penyakit lain (baik psikiatrik
maupun medik), kehilangan yang baru dialami dan riwayat penyalahgunaan zat.
6. Kaji sistem pendukung keluarga dan kaji pengetahuan dasar keluarga klien, atau
keluarga tentang gejala, meditasi dan rekomendasi pengobatan gangguan mood, tanda-
tanda kekambuhan dan tindakan perawatan diri.
7. Symptomyang menyertainya
Apakah klien mengalami :
1. Ide bunuh diri
2. Ancaman bunuh diri
3. Percobaan bunuh diri
4. Sindrome mencederai diri sendiri yang disengaja.

Dalam melakukan pengkajian klien resiko bunuh diri, perawat perlu memahami petunjuk
dalam melakukan wawancara dengan pasien dan keluarga untuk mendapatkan data yang
akurat. Hal – hal yang harus diperhatikan dalam melakukan wawancara adalah :
1. Tentukan tujuan secara jelas : Dalam melakukan wawancara, perawat tidak melakukan
diskusi secara acak, namun demikian perawat perlu melakukannya wawancara yang
fokus pada investigasi depresi dan pikiran yang berhubungan dengan bunuh diri.
2. Perhatikan signal / tanda yang tidak disampaikan namun mampu diobservasi dari
komunikasi non verbal. Hal ini perawat tetap memperhatikan indikasi terhadap
kecemasan dan distress yang berat serta topic dan ekspresi dari diri klien yang di hindari
atau diabaikan.
3. Kenali diri sendiri. Monitor dan kenali reaksi diri dalam merespon klien, karena hal ini
akan mempengaruhi penilaian profesional
4. Jangan terlalu tergesa – gesa dalam melakukan wawancara. Hal ini perlu membangun
hubungan terapeutik yang saling percaya antara perawat dan klien.
5. Jangan membuat asumsi tentang pengalaman masa lalu individu mempengaruhi
emosional klien
6. Jangan menghakimi, karena apabila membiarkan penilaian pribadi akan membuat kabur
penilaian profesional. 
3.2 Diagnosa Keperawatan

1. Resiko Bunuh Diri berhubungan dengan gangguan psikologi(D.0135)


3.3 Intervensi Keperawatan
Resiko Bunuh Diri berhubungan dengan gangguan psikologi(D.0135)
Faktor Resiko:
1. Gangguan perilaku
2. Demografi
3. Gangguan fisik
4. Masalah sosial
5. Gangguan Psikologi

Kriteria Hasil:

Menurun Cukup Sedang Cukup Meningkat


menurun meningkat
Verbalisasi 1 2 3 4 5
ancaman
kepada
orang lain
Verbalisasi 1 2 3 4 5
umpatan
Perilaku 1 2 3 4 5
menyerang
Perilaku 1 2 3 4 5
agresif
Suara keras 1 2 3 4 5
Bicara 1 2 3 4 5
ketus
Intervensi: Pencegahan Bunuh Diri
Observasi:
1. Identifikasi gejala resiko bunuh diri
2. Identifikasi fikiran dan rencana bunuh diri
3. Monitor adanya perubahan perilaku
Terapeutik:
1. Libatkan dalam perencanaan perawatan mandiri
2. Libatkan keluaraga dalam perencanaan perawatan
3. Berikan lingkungan dengan pengamanan ketat dan mudah dipantau
4. Tingkatkan pengawasan pada kondisi tertentu
5. Lakukan intervensi perlindungan
Edukasi:
1. Anjurkan mendiskusikan perasaan yang dialami kepada orang lain
2. Anjurkan menggunakan sumber pendukung
3. Jelaskan tindakan pencegahan bunuh diri kepada keluarga
4. Latih pencegahan resiko bunuh diri
Kolaborasi:
1. Kolaborasi pemberian obat ati ansietas
2. Kolaborasi tindakan keselamatan kepada PPA
3. Rujuk ke pelayanan kesehatan mental

3.4 Implementasi
Pelaksanaan Tindakan keperawatan yang dilakukan harus disesuaikan dengan
rencana keperawatan yang telah disusun. Sebelum melaksanakan tindakan yang telah
direncanakan, perawat perlu memvalidasi dengan singkat apakah rencana tindakan masih
sesuai dengan kebutuhannya saat ini (here and now). Perawat juga menilai diri sendiri,
apakah mempunyai kemampuan Resiko bunuh diri 20 interpersonal, intelektual, teknikal
sesuai dengan tindakan yang akan dilaksanakan. Dinilai kembali apakah aman bagi klien,
jika aman maka tindakan keperawatan boleh dilaksanakan.

3.5 Evaluasi
1. Ancaman terhadap integritas fisik atau sistem dari klien telah berkurang dalam sifat,
jumlah asal atau waktu.
2. Klien menggunakan koping yang adaptif.
3. Klien terlibat dalam aktivitas peningkatan diri.
4. Prilaku klien menunjukan kepedualiannya terhadap kesehatan fisik, psikologi dan
kesejahteraan sosial
19

DAFTAR PUSTAKA

Captain. 2008. Psikologi untuk Keperawatan. Jakarta: EGC.


Carpenito Moyet, Lynda Juall. 2006. Buku Saku Diagnosis Keperawatan. Alih bahasa oleh
Yasmin Asih. Jakarta: EGC.
Fitria, Nita. 2012. Prinsip Dasar Aplikasi Penulisan Laporan Pendahuluan dan Strategi
Pelaksanaan Tidakan Keperawatan (LP dan SP) revisi 2012. Jakarta: Salemba
Medika.
Keliat, B.A. 2006. Proses Keperawatan Kesehatan Jiwa Edisi 2. Jakarta: EGC.
Keliat, Budi Anna. 2009.Model Praktik Keperawatan Profesional Jiwa. Jakarta: EGC.
NANDA. (2012). Nursing Diagnoses: Definitions & Classification 2012-2014.
Philadelphia: NANDA International.
Stuart, G.W. & Sundeen, S.J. 2006. Buku Saku Keperawatan Jiwa. Jakarta: EGC.
Videbeck, Sheila L. 2008.Buku Ajar Keperawatan Jiwa. Jakarta: EGC.
Wilkinson, J.M., & Ahern N.R..2012. Buku Saku Diagnosis KeperawatanDiagnosa
NANDA Intervensi NIC Kriteria Hasil NOC Edisi kesembilan. Jakarta: EGC
Yosep, I. 2010.Keperawatan Jiwa. Bandung: Refika Aditama.
.

Anda mungkin juga menyukai