BARU LP Kelompok Jiwa
BARU LP Kelompok Jiwa
OLEH:
BANYUWANGI
2020
LEMBAR PENGESAHAN
Laporan Pendahuluan dan Asuhan Keperawatan ini telah disetujui dan disahkan pada:
Hari :
Tanggal :
Mahasiswa
Mengetahui,
Skizofrenia paranoid yaitu pada tipe ini adanya pikiran-pikiran yang absurd (tidak ada
pegangannya) tidak logis, dan delusi yang berganti-ganti. Sering diikuti halusinasi dengan
akibat kelemahan penilaian kritis (critical judgement)nya dan aneh tidak menentu, tidak
dapat diduga, dan kadang-kadang berperilaku yang berbahaya. Orang-0rang dengan tipe ini
memiliki halusinasi dan delusi yang sangat mencolok,yang melibatkan tema-tema tentang
penyiksaan dan kebesaran (Susan Nolen Hoeksema, 2019).
Skizofrenia merupakan kelompok gangguan psikosis atau psikotik yang ditandai oleh
distorsi-distorsi mengenai realitas, adanya perilaku menarik diri dari interaksi social serta
disorganisasi dan fragmentasi dalam hal persepsi, pikiran dan kognisi (Carson dan Butcher,
2019).
Menurut Maramis, 2018 skizofrenia paranoid sedikit berlainan dari jenis-jenis yang
lain dalam jalan penyakit. Hebrefenia dan Katatonia sering lama-kelamaan Hebrefenia dan
Katatonia bercampuran. Tidal demikian dengan skizofrenia paranoid yang jalannya agak
konstan. Gejala-gejala yang mencolok ialah waham primer, disertai waham-waham skunder,
dan Halusinasi. Baru dengan pemeriksaan yang teliti ternyata adanya gangguan proses
berfikir dan adanya gangguan afek berfikir.
1.2 Etiologi
a. Faktor Biologis
1) Herediter ( Pengaruh Gen terhadap Skizofrenia)
Studi terhadap keluarga, anak kembar dan anak adopsi melengkapi bukti-bukti
bahwa gen terlibat dalam transmisi (penyebaran) skizofrenia (Liohtermann, Karbe &
Maier, 2016). Beberapa peneliti berpendapat bahwa banyak gen (polygenic) model
tambahan, yang membentuk jumlah dan konfigurasi gen abnormal untuk membentuk
skizofrenia (Gottensman, 1991, Gottansman & Erlenmyer-kimling, 2017). Adanya
lebih banyak gen yang terganggu meningkatkan kemungkinan berkembangnya
skizofrenia dan menungkatakan kerumitan gangguan tersebut. Individu yang lahir
dengan beberapa gen tetapi tidak cukup untuk menunjukkan simtom-simtom bertaraf
sedang atau ringan skizofrenia, seperti keganjilan dalam pola bicara atau proses
berpikir dan keyakinan-keyakinan yang aneh.
Anak-anak yang memiliki kedua orang tuanya menderita skizofrenia dan anak-
anak kembar identik atau dari satu zigot (monozigot) dari orangtua dengan
skizofrenia, mendapat sejumlah besar gen skizofrenia, memiliki resiko sangat besar
mendapatkan skizofrenia. Sebaliknya penurunan kesamaan gen dengan orang-orang
skizofrenia, menurunkan resiko individu mengembangkan gangguan ini.
Jika aman dari orang skizofrenia mengembangkan gangguan ini, tidak berarti
bahwa hal itu dikirimkan atau diwariskan secara genetic. Tumbuh bersama orangtua
skizofrenia dan secara khusus bersama dengan kedua orangtua dengan gangguan
tersebut, kemungkinan besar berarri tumbuh berkembang dalam suasana yang penuh
stress. Jika orangtua psikotik, anak dapa terbuka untuk pemikiran-pemikiran yang
tidak logis, perubahan suasana hati dan perilaku yang kacau.
Bahkan jika orangtua bukanlah psikotik akut, sisa-sisa simtom negative akut
skizofrenia, kurangnya motivasi, dan disorganisasi mungkin mengganggu
kamampuan orangtua untuk peduli terhadap anak. Studi adopsi yang dilakukan
Leonard Heston di Amerika Serikat dan Kanada menunjukkan bahwa anak-anak
yang hidup bersama orangtua skizofrenia yang diadopsi jauh dari ibu, mempunyai
tingkat pengembangan skizofrenia yang lebih rendah.
2) Pembesaran Ventrikel
Struktur utama otak yang abnormal sesuai dengan skizofrenia adalah pembesaran
ventrikel. Ventrikel adalah ruang besar yang berisi cairan dalam otak. Perluasan
mendukung atropi (berhentinya pertumbuhan), deteriorasi di jaringan otak lainnya.
Orang-orang skizofrenia dengan pembesaran ventricular cenderung menunjukkan
penirinan secara social, ekonomi, perilaku, lama sebelum mereka mengembangkan
simtom utama atau inti dati skizofrenia. Mereka juga cenderung untuk memiliki
simtom yang lebih kuat dari pada orang skizofrenialainnya dan kurang responsive
terhadap pengobatan karena dianggap sebagai pergantian yang buruk dalam
pemfungsian otak, yang sulit untuk ditangani/dikurangi melalui treatment. Perbedaan
jenis kelamin mungkin juga berhubungan dengan ukuran ventricular. Beberapa studi
menemukan bahwa laki-laki dengan skizofrenia memiliki pelebaran ventrikel yang
lebih kuat.
3) Faktor Anatomis Neuron
Abnormalitas neuron secara otomatis pada skizofrenia memiliki beberapa
penyebab, termasuk abnormalitas gen yang spesifik (khas), cedera otak berkaitan
dengan cedera waktu kelahiran, cedera kepala, infeksi virus defisiensi (penurunan)
dalam nutrisi dan defisiensi dalam stimulus kognitif (Conklin & Lacono, 2017).
4) Komplikasi Kehamilan
Komplikasi serius selama prenatal dan masalah-masalah berkaitan dengan
kandungan pada saat kelahiran merupakan hal yang lebih sering dalam sejarah orang-
orang dengan skizofrenia dan mungkin berperan dalam membuat kesulitan-kesulitan
secara neurologist. Komplikasi dalam pelepasan berkombinasi dengan keluarga
beresiko terhadap terjadinya karena menambah derajad pembesaran ventricle.
Penelitian epidemiologi telah menunjukkan angka yang tinggi dari skizofrenia
dikalangan orang-orang yang memiliki ibu terjangkit virus influenza ketika hamil.
Selain itu, apabila ada gangguan pada perkembangan otak janin selama
kehamilan(epigenetic faktor), maka interaksi antara gen yang abnormal yang sudah
ada sebelumnya dengan faktor epigenetik tersebut dapat memunculkan gejala
skizofrenia. (Dadang Hawari, 2017)
5) Neurotransmiter
Neurotransmiter dopamine dianggap memainkan peran dalam skizpfrenia ( Coklin
& Lacono, 2016 ). Teori awal dari dopamine menyatakan bahwa simtom-simton
skizofrenia disebabkan oleh kelebihan jumlah dopamine di otak, khususnya di frontal
labus dan system limbic. Aktivitas dopamine yang berlebihan / tinggi dalam system
mesolimbik dapat memunculkan simtom positif skizofrenia : halusinasi, delusi, dan
gangguan berfikir. Karena atipikal antipsikotis bekerja mereduksi simtom-simtom
skizofrenia dengan mengikat kepada reseptor D4 dalam system mesolimbik.
Sebaliknya jika aktivitas dopamine yang rendah dapat mendorong lahirnya simtom
negative seperti hilangnya motivasi, kemampuan untuk peduli pada diri sendiri
dalam aktivitas sehari-hari. Dan tidak adanya responsivitas emosional. Hal ini
menjelaskan bahwa phenothiazines, yang mereduksi aktivitas dopamine, tidak
meredakan atau mengurangi simtom.
Dalam penelitian lain bahwa taraf abnormalitas nuotansmiter glutamate dan
gamma aminobutyric acid ( GABA ) tampak pada orang-orang dengan skizofrenia
(Goff & Coyle, 2015, Tsai & Coyle, 2016 ). Glutamate dan GABA terbesar di otak
manusia dan defisiensi pada neurotransmitter akan memberikan kontribusi terhadap
simtom-simtom kognitif dan emosioanal. Neuro glutamate merupakan pembangkit
jalan kecil yang menghubungkan kekortek, system limbic dan thalamus bagian otak
yang membangkitkan tingkah laku abnormal pada orang-orang dengan skizofrenia.
b. Faktor Psikososial
1) Teori Psikodinamika
Menurut Kohut & Wolf, ahli-ahli teori psikodinamika berpendapat bahwa
skizofrenia merupakan hasil dari paksaan atau tekanan kekuetan biologis yang
mencegah atau menghalangi individu untuk mengembangkan dan mengintegrasikan
persaan atau pemahaman atas dirinya. Freud(2019) berargumen bahwa jika ibu
secara ekstrim atau berlebihan kasar dan terus-menerus mendominasi, anak akan
mengalami taraf regresi dan kembali ke taraf perkembangan bayi dalam hal
pemfungsiannya, sehingga ego akan kehilangan kemampuannya dalam membedakan
realita.
Menurut Dadang Hawari, dalam teori homeostatis-deskriptif, diuraikan gambaran
gejala-gejala dari suatu gangguan jiwa yang menjelaskan terjadinya gangguan
keseimbangan atau homeostatis pada diri seorang, sebelum dan seseudah terjadinya
gangguan jiwa tersebut. Sedangkan dalam teori Fasilitatif etiologik, diuraikan faktor
yang memudahkan penyebab suatu penyakit itu muncul, bagaimana perjalanan
mekanisme psikologis dari penyakit yang bersangkutan. Sebagai contoh misalnya
menurut Melanie Klein (2019), bahwa skizofrenia muncul karena terjadi fiksasi pada
fase paranoid-schizoid pada awal perkembangan masa bayi.
2) Pola-Pola Komunikasi
Menurur Gregory Bateson & koleganya bahwa orangtua (khususnya ibu) pada
anak-anak sklizofrenia menempatkan anak mereka dalam situasi ikatan ganda
(double binds) yang secara terus menerus mengkomunikasikan pesan-pesan yang
bertentangan pada anak-anak. Yang dimaksud ikatan ganda adalah pemberian
pendidikan dan informasi yang nilainya saling bertentangan. Dalam teori doble-bind
tentang pola-pola komunikasi dalam keluarga orang-orang dengan skizofrenia,
menampakkan keganjilan. Keganjilan-keganjilan itu membentuk lingkungan yang
penuh ketegangan yang membuat lebih besar kemungkinan seorang anak memiliki
kerawanan secara biologis terhadap skizofrenia.
Selain itu, anak dalam berbicara sering tidak mneyambung atau kacau atau tidak
jelas arah pembicaraan, serta dalm berbicara disertai emosi yang tinggi dan suara
yang keras.
3) Stres dan Kekambuhan
Keadaan sekitar atau lingkungan yang penuh stress (stresfull) mungkin
tidak menyebabkan seseorang terjangkit skizofrenia, tetapi keadaan tersebut dapat
memicu episode baru pada orang-orang yang mudah terkena serangan atau rawan
terhadap skizofrenia. Berdasarkan penelitian bahwa lebih dari 50 % orang yang
mengalami kekambuhan skizofrenia adalah mereka yang dalam kehidupannya telah
mengalami kejadian-kejadian buruk sebelum mereka kambuh.
Menurut danang Hawari, stresor yang menyebabkan stres atau
kekambuhan skizofrenia paranoid adalah perkawinan, masalah orang tua, hubungan
interpersonal, pekerjaan, lingkungan hidup, keuangan dan hukum.
4) Faktor Kesalahan Belajar
Yang dimaksud kesalahan belajar adalah tidak tepatnya mempelajari yang
benar atau dengan tepat mempelajari yang tidak benar. Dalam hal ini penderita
mempelajari dengan baik perilaku orang-orang skizofrenia atau perilaku yang baik
dengan cara yang tidak baik (Wiramaharja, 2015)
3. Gangguan kemauan
Ditandai antara lain :
a. Tidak dapat mengambil keputusan
b. Tidak dapat bertindak dalam suatu keadaan
c. Melamun dalam waktu tertentu yang lama.
d. Negativisme ; perbuatan yang berlawanan dengan perlawanan
e. Ambivalensi kemauan ; menghendaki dua hal yang berlawanan pada waktu yang
sama
f. Otomatisme ; merasa kemauannya dipengaruhi oleh orang lain atau tenaga dari luar
sehingga ia berbuat otomatis.
4. Gangguan psikomotor
a. Stupor : tidak bergerak dalam waktu yang lama.
b. Hiperkinesa; terus bergerak dan tampak gelisah
c. Stereotipi ; berulang melakukan gerakan atau sikap
d. Verbigerasi ; stereotipi pembicaraan
e. Manerisme ; stereotipi tertentu pada pada skizofrenia, grimes pada muka atau
keanehan berjalan dan gaya.
f. Katalepsi ; posisi badan dipertahankan dalam waktu yang lama.
g. Fleksibilitas cerea ; bila anggota badan dibengkokkan terasa suatu tahanan seperti
lilin.
h. Negativisme ; menentang atau justru melakukan berlawan dengan apa yang disuruh.
i. Otomatisme komando ; kebalikan daari negativisme.
j. Echolalia; meniru kata-kata yang diucapkan orang lain.
b. Gejala Sekunder
1. Waham atau delusi
Keyakinan yang salah yang tidak dapat diubah dengan penalaran atau bujukan.
Sangat tidak logis dan kacau tetapi klien tidak menyadari hal tersebut dan menganggap
sebagai fakta dan tidak dapat diubah oleh siapapun.
Jenis-jenis waham mencakup :
a) kebesaran ; seseorang memiliki suatu perasaan berlebih dalam
kepentingan atau kekuasaan.
b) curiga ; seseorang merasa terancam dan yakin bahwa orang lain
bermaksud untuk membahayakan atau menncurigai dirinya.
c) Siar ; semua kejadian dalam, lingkungan sekitarnya diyakini merujuk /
terkait kepada dirinya.
d) kontrol ; seseorang percaya bahwa objek atau oang tertentu mengontrol
perilakunya.
2. Halusinasi
Istilah ini menggarbarkan persepsi sensori yang salah yang mungkin meliputi
salah satu dari kelima panca indra. Halusinasi pendengaran dan penglihatan yang
sering,halusinasi penciuman, perabaan, dan pengecapan juga dapat terjadi ( Towsend,
Mary S, 1998).
Tanda gangguan yang berlangsung secara terus menerus sedikitnya selama 6
bulan ( Stuard, 2016 )adalah :
a) Kecurigaan yang ekstrim terhadap orang lain.
b) Halusinasi
Modalitas sensori yang tercakup dalam halusinasi :
1. Pendengaran / auditorius
Mendengar suara atau bunyi, biasanya suara orang. Suara dapat berkisar dari
suara yang sederhana sampai suara orang bicara mengenai pasien, untuk
menyelesaikan percakapan antara dua orang atau lebih tentang pasien yang
berhalusinasi. Jenis lain termasuk pikiran yang dapat didengar pasien yaitu
pasien mendengar suara orang yang sedang membicarakan apa yang sedang
dipikirkan oleh pasien dan memerintahkan untuk melakukan sesuatu, kadang-
kadang hal yang berbahaya.
2. Penglihatan / visual
1.4 Komplikasi
Menurut Keliat (2019), dampak gangguan jiwa skizofrenia antara lain :
1. Aktifitas hidup sehari-hari
Klien tidak mampu melakukan fungsi dasar secara mandiri, misalnya kebersihan
diri, penampila dan sosialisasi.
2. Hubungan interpersonal
Klien digambarkan sebagai individu yang apatis, menarik diri, terisolasi dari
teman-teman dan keluarga. Keadaan ini merupakan proses adaptasi klien terhadap
lingkungan kehidupan yang kaku dan stimulus yang kurang.
3. Sumber koping
Isolasi social, kurangnya system pendukung dan adanya gangguan fungsi pada
klien, menyebabkan kurangnya kesempatan menggunakan koping untuk menghadapi
stress.
4. Harga diri rendah
Klien menganggap dirinya tidak mampu untuk mengatasi kekurangannya, tidak
ingin melakukan sesuatu untuk menghindari kegagalan (takut gagal) dan tidak berani
mencapai sukses.
5. Kekuatan
Kekuatan adalah kemampuan, ketrampilan aatau interes yang dimiliki dan pernah
digunakan klien pada waktu yang lalu.
6. Motivasi
Klien mempunyai pengalaman gagal yang berulang.
7. Kebutuhan terapi yang lama
Klien disebut gangguan jiwa kronis jika ia dirawat di rumah sakit satu periode
selama 6 bulan terus menerus dalam 5 tahun tau 2 kali lebih dirawat di rumah sakit dalam
1 tahun.
1.5 Penatalaksanaan
1. Medis
Obat antipsikotik digunakan untuk mengatasi gejala psikotik (misalnya perubahan
perilaku, agitasi, agresif, sulit tidur, halusinasi, waham, proses piker kacau). Obat-obatan
untuk pasien skizophrenia yang umum diunakan adalah sebaga berikut :
a. Pengobatan pada fase akut
1) Dalam keadaan akut yang disertai agitasi dan hiperaktif diberikan injeksi :
a) Haloperidol 3x5 mg (tiap 8 jam) intra muscular.
b) Clorpromazin 25-50 mg diberikan intra muscular setiap 6-8 jam sampai
keadaan akut teratasi.
c) Kombinsi haloperidol 5 mg intra muscular kemudian diazepam 10 mg intra
muscular dengan interval waktu 1-2 menit.
2) Dalam keadaan agitasi dan hiperaktif diberikan tablet :
a) Haloperidol 2x1,5 – 2,5 mg per hari.
b) Klorpromazin 2x100 mg per hari
c) Triheksifenidil 2x2 mg per hari
b. Pengobaan fase kronis
Diberikan dalam bentuk tablet :
1) Haloperidol 2x 0,5 – 1 mg perhari
2) Klorpromazin 1 x 50 mg sehari (malam)
3) Triheksifenidil 1- 2x 2 mg sehari
a) Tingkatkan perlahan-lahan, beri kesempatan obat untuk bekerja, disamping itu
melakukan tindakan perawatan dan pendidikan kesehatan.
b) Dosis maksimal
Haloperidol : 40 mg sehari (tablet) dan klorpromazin 600 mg sehari (tablet).
c. Efek dan efek samping terapi
1) Klorpromazine
Efek : mengurangi hiperaktif, agresif, agitasi
Efek samping : mulut kering, pandangan kabur, konstipasi, sedasi, hipotensi
ortostatik.
2) Haloperidol
Efek : mengurangi halusinasi
Efek samping : mulut kering, pandangan kabur, konstipasi, sedasi, hipotensi
ortostatik.
2. Tindakan keperawatan efek samping obat
a. Klorpromazine
1. Mulut kering : berikan permen, es, minum air sedikit-sedikit dan membersihkan
mulut secara teratur.
2. Pandangan kabur : berikan bantuan untuk tugas yang membutuhkan ketajaman
penglihatan.
3. Konstipasi : makan makanan tinggi serat
4. Sedasi : tidak menyetir atau mengoperasikan peralatan ang berbahaya.
5. Hipoensi ortostatik : perlahan-lahan bangkit dari posisi baring atau duduk.
b. Haloperidol
1. Mulut kering : berikan permen, es, minum air sedikit-sedikit dan membersihkan
mulut secara teratur.
2. Pandangan kabur : berikan bantuan untuk tugas yang membutuhkan ketajaman
penglihatan.
3. Konstipasi : makan makanan tinggi serat
4. Sedasi : tidak menyetir atau mengoperasikan peralatan ang berbahaya.
5. Hipotensi ortostatik : perlahan-lahan bangkit dari posisi baring atau duduk
BAB 2
KONSEP RESIKO BUNUH DIRI
Perilaku bunuh diri terbagi menjadi tiga kategori yaitu (Stuart, 2016):
1) Ancaman bunuh diri yaitu peringatan verbal atau nonverbal bahwa
seseorang tersebut mempertimbangkan untuk bunuh diri. Orang yang ingin bunuh
diri mungkin mengungkapkan secara verbal bahwa ia tidak akan berada di sekitar
kita lebih lama lagi atau mengomunikasikan secara non verbal.
2) Upaya bunuh diri yaitu semua tindakan terhadap diri sendiri yang dilakukan
oleh individu yang dapat menyebabkan kematian jika tidak dicegah.
3) Bunuh diri yaitu mungkin terjadi setelah tanda peringatan terlewatkan
atau diabaikan. Orang yang melakukan bunuh diri dan yang tidak bunuh diri akan
terjadi jika tidak ditemukan tepat pada waktunya.
Sementara itu, Yosep (2010) mengklasifikasikan terdapat tiga jenis bunuh diri,
meliputi:
1. Bunuh diri anomik adalah suatu perilaku bunuh diri yang didasari oleh
faktor lingkungan yang penuh tekanan (stressful) sehingga mendorong seseorang
untuk bunuh diri.
2. Bunuh diri altruistik adalah tindakan bunuh diri yang berkaitan dengan
kehormatan seseorang ketika gagal dalam melaksanakan tugasnya.
3. Bunuh diri egoistik adalah tindakan bunuh diri yang diakibatkan faktor dalam
diri seseorang seperti putus cinta atau putus harapan.
2.2 Etiologi Resiko Bunuh Diri
Adaptif Maladaptif
Keterangan:
a. Peningkatan diri: seseorang dapat meningkatkan proteksi atau pertahan diri
secara wajar terhadap situasional yang membutuhkan pertahan diri.
b. Beresiko destruktif: seseorang memiliki kecenderungan atau beresiko
mengalami perilaku destruktif atau menyalahkan diri sendiri terhadap situasi
yang seharusnya dapat mempertahankan diri, seperti seseorang merasa patah
semangat bekerja ketika dirinya dianggap tidak loyal terhadap pimpinan
padahal sudah melakukan pekerjaan secara optimal.
c. Destruktif diri tidak langsung: seseorang telahmengambil sikap yang
kurang tepat terhadap situasi yangmembutuhkan dirinya untuk
mempertahankan diri.
d. Pencederaan Diri: seseorang melakukan percobaan bunuh diri atau
pencederaan diri akibat hilangnya harapan terhadapsituasi yang ada.
e. Bunuh diri: seseorang telah melakukan kegiatan bunuh diri sampai dengan
nyawanya hilang.
Perilaku bunuh diri menunjukkan terjadinya kegagalan mekanisme
koping. Ancaman bunuh diri menunjukkan upaya terakhir untuk
mendapatkan pertolongan adgar untuk mengatasi masalah. Resiko yang
mungkin terjadi pada klien yang mengalami krisis bunuh diri adalah
mencederai diri dengan tujuan mengakhiri hidup. Perilaku yang muncul
meliputi isyarat, percobaan atau ancaman verbal untuk
melakukan tindakan yang mengakibatkan kematian perlukaan atau nyeri
pada diri sendiri.
Pathway
Menarik Diri
Risiko Gangguan
Persepsi Sensori: Isolasi sosial
Halusinasi
Perilaku kekerasan
3.1Pengkajian
Data yang perlu dikumpulkan saat pengkajian :
1. Riwayat masa lalu :
a. Riwayat percobaan bunuh diri dan mutilasi diri
b. Riwayat keluarga terhadap bunuh diri
c. Riwayat gangguan mood, penyalahgunaan NAPZA dan skizofrenia
d. Riwayat penyakit fisik yang kronik, nyeri kronik.
e. Klien yang memiliki riwayat gangguan kepribadian boderline, paranoid, antisosial
f. Klien yang sedang mengalami kehilangan dan proses berduka
2. Peristiwa hidup yang menimbulkan stres dan kehilangan yang baru dialami.
3. Hasil dan alat pengkajian yang terstandarisasi untuk depresi.
4. Riwayat pengobatan.
5. Riwayat pendidikan dan pekerjaan.
6. Catat ciri-ciri respon psikologik, kognitif, emosional dan prilaku dari individu dengan
gangguan mood.
7. Kaji adanya faktor resiko bunuh diri dan letalitas prilaku bunuh diri :
1. Tujuan klien misalnya agar terlepas dari stres, solusi masalah yang sulit.
2. Rencana bunuh diri termasuk apakah klien memiliki rencana yang teratur dan cara-
cara melaksanakan rencana tersebut.
3. Keadaan jiwa klien (misalnya adanya gangguan pikiran, tingkat gelisah, keparahan
gangguan mood
4. Sistem pendukung yang ada.
5. Stressor saat ini yang mempengaruhi klien, termasuk penyakit lain (baik psikiatrik
maupun medik), kehilangan yang baru dialami dan riwayat penyalahgunaan zat.
6. Kaji sistem pendukung keluarga dan kaji pengetahuan dasar keluarga klien, atau
keluarga tentang gejala, meditasi dan rekomendasi pengobatan gangguan mood, tanda-
tanda kekambuhan dan tindakan perawatan diri.
7. Symptomyang menyertainya
Apakah klien mengalami :
1. Ide bunuh diri
2. Ancaman bunuh diri
3. Percobaan bunuh diri
4. Sindrome mencederai diri sendiri yang disengaja.
Dalam melakukan pengkajian klien resiko bunuh diri, perawat perlu memahami petunjuk
dalam melakukan wawancara dengan pasien dan keluarga untuk mendapatkan data yang
akurat. Hal – hal yang harus diperhatikan dalam melakukan wawancara adalah :
1. Tentukan tujuan secara jelas : Dalam melakukan wawancara, perawat tidak melakukan
diskusi secara acak, namun demikian perawat perlu melakukannya wawancara yang
fokus pada investigasi depresi dan pikiran yang berhubungan dengan bunuh diri.
2. Perhatikan signal / tanda yang tidak disampaikan namun mampu diobservasi dari
komunikasi non verbal. Hal ini perawat tetap memperhatikan indikasi terhadap
kecemasan dan distress yang berat serta topic dan ekspresi dari diri klien yang di hindari
atau diabaikan.
3. Kenali diri sendiri. Monitor dan kenali reaksi diri dalam merespon klien, karena hal ini
akan mempengaruhi penilaian profesional
4. Jangan terlalu tergesa – gesa dalam melakukan wawancara. Hal ini perlu membangun
hubungan terapeutik yang saling percaya antara perawat dan klien.
5. Jangan membuat asumsi tentang pengalaman masa lalu individu mempengaruhi
emosional klien
6. Jangan menghakimi, karena apabila membiarkan penilaian pribadi akan membuat kabur
penilaian profesional.
3.2 Diagnosa Keperawatan
Kriteria Hasil:
3.4 Implementasi
Pelaksanaan Tindakan keperawatan yang dilakukan harus disesuaikan dengan
rencana keperawatan yang telah disusun. Sebelum melaksanakan tindakan yang telah
direncanakan, perawat perlu memvalidasi dengan singkat apakah rencana tindakan masih
sesuai dengan kebutuhannya saat ini (here and now). Perawat juga menilai diri sendiri,
apakah mempunyai kemampuan Resiko bunuh diri 20 interpersonal, intelektual, teknikal
sesuai dengan tindakan yang akan dilaksanakan. Dinilai kembali apakah aman bagi klien,
jika aman maka tindakan keperawatan boleh dilaksanakan.
3.5 Evaluasi
1. Ancaman terhadap integritas fisik atau sistem dari klien telah berkurang dalam sifat,
jumlah asal atau waktu.
2. Klien menggunakan koping yang adaptif.
3. Klien terlibat dalam aktivitas peningkatan diri.
4. Prilaku klien menunjukan kepedualiannya terhadap kesehatan fisik, psikologi dan
kesejahteraan sosial
19
DAFTAR PUSTAKA