Salah satu keinginan terbesar saya ketika menulis buku "Muhammad Al-Fatih 1453",
adalah sujud di Masjid Hagia Sophia. Padahal saat itu, pergi ke Istanbul pun belum
pernah.
2013 awal, saat pertama kali menginjakkan kaki ke Hagia Sophia, saya dan
@ummualila (istri -red) menangis di depan pelatarannya, terkilas jelas upaya Sultan
Mehmed II membebaskannya.
Bagi kaum Muslim, Hagia Sophia bukan hanya masjid, ia simbol kebenaran sabda
Rasulullah Muhammad, ia adalah pengingat sekaligus penyemangat, "Kızıl Elma"
dalam keyakinan Utsmani, pencapaian dan penghargaan tertinggi secara kolektif.
Sejarah mencatat, ia memandang Hagia Sophia yang megah, turun dari kudanya,
melepas helm perangnya, lalu bersujud ke arah
kiblat, mengambil segenggam tanah Konstantinopel lalu menaburkan keatas
kepalanya. Simbol kerendahan hati, bahwa dia hanya tanah.
Hari itu, Selasa 29 Mei 1453, pagi hari saat matahari terbit, Konstantinopel dibuka,
perintah pertama Al-Fatih adalah fungsikan Hagia Sophia menjadi tempat shalat.
Maka hari yang sama, saat matahari mulai kehilangan sinarnya, waktu Ashar, janji itu
sempurna, adzan berkumandang di langit Konstantinopel. Isak tangis dan haru
menjadi pelengkapnya.
Namanya diperindah, Masjid Ayasofya. Tempat terindah di seluruh muka bumi itu,
arsitektur paling ternama yang pernah dibuat itu, disaat yang sama adalah tempat
untuk mengagungkan Allah.
Masjid Ayasofya tak henti melaksanakan tugasnya. Sampai tahun 1934, ketika
kabinet Turki memaksanya menjadi museum.