Anda di halaman 1dari 4

Dakwah Persis ala A.

Hassan: Sebarkan Islam lewat Debat &


Publikasi
Penulis: Aqwam Fiazmi Hanifan
15 Mei 2019

tirto.id - Nama Ahmad Hassan tentu kalah populer ketimbang pendiri Muhammadiyah
K.H. Ahmad Dahlan atau Rais Akbar NU K.H. Hasyim Asy'ari.

Sosok yang akrab disapa A. Hassan atau Hassan Bandung atau Hassan Bangil ini
begitu melekat di Persatuan Islam (Persis) yang didirikan di Bandung pada 12
September 1923. Ada idiom bahwa A. Hassan dan Persis adalah dwitunggal—identik
dan tak dapat dipisahkan.

Tetapi, berbeda dengan K.H. Ahmad Dahlan dan K.H. Hasyim Asy'ari yang berstatus
pendiri, A. Hassan bukan pendiri Persis. Ia mulai bersentuhan dengan Persis saat
organisasi itu sudah berumur satu setengah tahun.

Saat itu ia pergi ke Bandung untuk berniaga dan indekos di rumah K.H. M. Yunus,
pendiri Persis. Pada 1925 A. Hassan hendak pulang ke Surabaya, namun kecerdasan
dan kedalaman ilmu agamanya membuat tokoh-tokoh Persis memintanya untuk
tinggal di Bandung. Sejak itulah kiprah besar A. Hassan dalam perkembangan Persis
dimulai.

Lahir di Singapura pada 1887, A. Hassan berasal dari keluarga campuran Indonesia
dan India. Ayahnya, Sinna Vappu Maricar, adalah seorang penulis, jurnalis, dan
ulama terkenal di Singapura. Maricar pernah menjadi redaktur di majalah Nur Al
Islam.

Teologi yang diajarkan Persis pada umumnya berasal dari ajaran A. Hassan. Profesor
di Australian National University, M.B. Hooker, dalam Islam Mazhab Indonesia:
Fatwa dan perubahan Sosial (2002) menyebut A. Hassan adalah seorang literalis
murni. Dalam pandangan keyakinan dan perjuangan Persis, ajaran teologi islam tidak
dapat ditegakkan tanpa membasmi syirik, sunah tidak mungkin dihidupkan tanpa
memberantas bidah, dan ruhul intiqad tidak dapat dihidupkan tanpa memberantas
taklid (hlm. 78).

Sifat puritan inilah yang membuat Deliar Noer dalam Gerakan Modern Islam di
Indonesia 1900-1942 (1973) menarik kesimpulan bahwa dibanding organisasi Islam
awal abad ke-20 lain yang lebih mengutamakan penyebaran pemikiran baru secara
lunak dan tenang, Persis seakan-akan lebih gembira dengan polemik dan perdebatan.

Sementara itu Dadan Wildan dalam Sejarah Perjuangan Persis 1923-1983 (1995)
mengatakan gerakan pemurnian Islam memang awalnya perlu dilakukan dengan isu-
isu kontroversial yang bersifat gebrakan (shock therapy), polemik, dan mengundang
perdebatan.

Menurut sosok yang juga pengurus PP Persis ini, strategi Persis dan A. Hassan di
masa lampau malah memunculkan kesan revolusioner. “Ini membuat kedudukan dan
peran Persis terasa unik.”
Baca juga: Si Raja Debat yang Gigih Membela Islam

Doktrin Debat Cara Persis

Kebiasaan berdebat yang dilakukan A. Hassan menjadi ciri utama Persis saat itu.
Selain menjadi sarana dakwah, kegiatan tersebut juga digunakan A. Hassan sebagai
daya tarik bagi para pelajar.

Deliar Noer menyebut Persis sering kali menantang orang-orang yang berseberangan
untuk berdebat. Perdebatan yang ramai dibincangkan di antaranya debat dengan
organisasi tradisional seperti Al Ittihadul Islamiya di Sukabumi, Majlis Ahli Sunnah
di Bandung, dan Nahdlatul Ulama di Ciledug pada 1936. Saat bersua NU, A. Hassan
bahkan beradu argumen langsung dengan ketua NU saat itu, K.H. Abdul Wahab
Hasbullah.

Baca juga: K.H. Wahab Hasbullah, Playmaker Politik Nahdlatul Ulama

Sering kali ia pun mengabulkan tawaran debat dari kelompok ateis, Ahmadiyah, atau
Kristen. Perdebatan dengan kelompok ateis dinarasikan ulang oleh Buya Hamka
dalam buku berjudul Teguran Suci dan Jujur Terhadap Mufti Johor (1958: 35).

Ada seorang pemuda mengaku murtad. Nama pemuda itu Suradal. Dia menantang
ulama-ulama Islam bermuhabalah dan berdebat. Kata Hamka, tak satu pun ulama
kaum tua mau melayani. Mereka hanya cukup meresponnya dengan perkataan
“Suradal Kafir” dan memandangnya sebagai orang yang miring otaknya.

“Tapi Tuan Hassan Bandung menjawabnya dengan dengan forum debat terbuka di
Jakarta, dihadiri oleh seribu orang lebih. Maka dengan gagah dan congkak pemuda itu
mengeluarkan segala pokok dan taruhannya mula-mula seakan-akan dia yang benar,
tetapi setelah segala tentangan itu ditangkis Almarhum Tuan Hassan dengan mantiq
yang lebih tinggi, habislah pokok taruhan pemuda itu, tidak dapat berkutik lagi,” tulis
Hamka.

Yang sangat mencolok dari A. Hassan adalah sikap kerasnya yang kukuh terhadap
apa yang dia yakini. Sikap Persis dan A. Hassan di zaman itu begitu keras hingga
membuat organisasi itu tak begitu disukai dan disamakan dengan Wahabi—kelompok
puritan dari Arab Saudi yang digagas Muhammad bin Abdul Wahab.

Baca juga: Kontroversi Makam Haji dan Destruksi Ajaran Wahabi

Benih sifat kritis A. Hassan memang sudah muncul sejak ia belia. Saat berumur 23
dan jadi reporter muda di surat kabar Utusan Melayu ia sering membuat kolom yang
kritis. Misalnya, tulisan yang mengkritik kadi (hakim) yang mengadili suatu perkara
dengan mengumpulkan lawan jenis dalam satu ruangan. Kritik ini amat langka,
karena tak pernah sebelumnya ada yang berani mengkritik kadi secara terang-terangan
di media massa.

A. Hassan pun pernah mengkritik budaya taqbil—mencium tangan seseorang yang


dianggap sayid (keturunan Nabi Muhammad). Kritik ini mendapat peringatan dari
pemerintah Singapura dan A. Hassan sempat dipanggil jaksa karena dituding
mencemarkan kaum sayid. Karena kelihaian berkelit, A. Hassan akhirnya dibebaskan.

Tak sekadar di dunia kalam, ketika naik podium agitasinya pun sering membuat kesal
kaum tradisionalis. Karena itu, oleh pemerintah Singapura ia tak diperbolehkan lagi
berpidato dan naik mimbar. Kondisi ini membuatnya pindah ke Surabaya pada 1921.

Menurut Tamir Djaja dalam Sejarah Hidup A. Hassan (1980: 15), oleh kawan dan
lawannya A. Hassan dianggap garang seperti singa, namun dalam pergaulan ia
dikenal ramah seperti domba. Apa yang terjadi di arena debat tak pernah dibawa ke
luar arena.

Bagi A. Hassan, perbedaan pendapat adalah hal biasa. Friksi itu mesti dibarengi
lapang dada. Tak perlu ada caci maki, tak perlu ada “teror” dari massa untuk mengusir
kelompok yang tak sepakat dengannya. Lawan hujah dengan hujah, lawan dalil
dengan dalil. Sikap lapang dada ini terlihat dari debat sengit antara A. Hassan dengan
para kiai NU seperti ditulis majalah Al-Lisaan milik Persis:

“Masing-masing berpisah dengan tjara persaudaraan jang baik. Mudah-mudahan tjara


jang begini didjadikan tjontoh buat lain kali di sini dan di tempat-tempat lain.”

Baca juga: Cara Nahdlatul Ulama Menghadapi Perbedaan

Infografik Al Ilmu Nuurun Ahmad Hassan

Produktif Menulis Buku

Sosok A. Hassan dikenal bukan hanya sebagai ahli debat, sebagai bekas jurnalis ia
juga dikenal sebagai penulis produktif. Selama hidupnya, ada 81 judul buku yang ia
tulis. Ini membuatnya jadi salah satu ulama Persis paling produktif menulis buku.
Karya terbesarnya adalah tafsir Quran Al Furqan yang terbit pada 1928.

Pada saat sebagian besar ulama di masa itu hanya berbicara agama dengan terus
mengacu kepada karya-karya keislaman klasik, A. Hassan justru berani membuat
“pustaka acuan baru” bagi pemikiran Islam. Nilai lebihnya, tafsir ini ia tulis dalam
bahasa Melayu. Poin inilah yang membedakan A. Hassan dengan ulama-ulama lain.

Doktrin A. Hassan ini memengaruhi metode dakwah Persis. Berbeda dengan


Muhammadiyah yang menekankan kegiatan sosial atau al-Irsyad yang eksklusif,
Persis punya kelebihan menonjol di bidang publikasi.

Di zaman pergerakan nasional A. Hassan, yang kebetulan berbisnis percetakan,


menerbitkan banyak majalah sebagai sarana dakwah seperti Pembela Islam, Al-Lisan,
At-Taqwa yang berbahasa Sunda, dan Al-Fatwa yang beraksara Jawi. Majalah-
majalah ini diedarkan hingga Sumatra, Sulawesi, Kalimantan, Malaysia, dan
Thailand.

Kecintaan A. Hassan pada dunia literasi ia teruskan hingga akhir hayat. Wartawan
Kompas M. Subhan S.D. dalam buku Ulama-ulama Oposan (2000: 110) menulis
kalimat penutup yang jitu:
"A. Hassan mewariskan berbagai pembaharuan islam yang tak tenilai, baik melalui
perdebatan dan pandangan kritis melalui buku-buku yang bisa dibaca oleh generasi
sesudahnya. Pada hari-hari terakhirnya, tumpukan buku masih terlihat di dekatnya.
Cara pandang kritisnya terhadap berbagai persoalan ibadah dan muamalah,
menyebabkan ia termasuk ulama yang langka."

A. Hassan, sosok yang enggan dipanggil kiai itu, meninggal pada 10 November 1958
di Bangil.

==========

Sepanjang Ramadan hingga lebaran, kami menyuguhkan artikel-artikel yang


mengetengahkan pemikiran para cendekiawan Muslim Indonesia di paruh pertama
abad ke-20. Kami percaya bahwa pemikiran mereka telah berjasa membentuk gagasan
tentang Indonesia dan berkontribusi penting bagi peradaban Islam. Artikel-artikel
tersebut ditayangkan dalam rubrik "Al-Ilmu Nuurun" atau "ilmu adalah cahaya".

Baca juga artikel terkait AL-ILMU NUURUN atau tulisan menarik lainnya Aqwam
Fiazmi Hanifan
(tirto.id - wam/ivn)

Penulis: Aqwam Fiazmi Hanifan


Editor: Ivan Aulia Ahsan

Anda mungkin juga menyukai