Anda di halaman 1dari 17

See discussions, stats, and author profiles for this publication at: https://www.researchgate.

net/publication/337656138

METODOLOGI PENELITIAN NOENG MUHAJIR

Preprint · December 2017


DOI: 10.13140/RG.2.2.20452.73607

CITATIONS READS
0 1,655

8 authors, including:

Ali Geno Berutu


IAIN SALATIGA
53 PUBLICATIONS   1 CITATION   

SEE PROFILE

Some of the authors of this publication are also working on these related projects:

antropologi David N Gellner View project

pure and applied View project

All content following this page was uploaded by Ali Geno Berutu on 01 December 2019.

The user has requested enhancement of the downloaded file.


BAGIAN PENDAHULUAN:
ORIENTASI UMUM METODOLOGI PENELITIAN KUALITATIF

Oleh:
Ali Geno Berutu
Sekolah Pascasarjana UIN syarif Hidayatullah Jakarta

A. Metoda dan Metodologi Penelitian


Metodologi Penelitian membahas konsep toeritik berbagai metoda,
kelebihan dan kelemahanya, yang dalam karya ilmiah dilanjutkan dengan pemilihan
metoda yang digunakan. Sedangkan metoda penelitian mengemukakan secara
tekhnis tentang metoda-metoda yang digunakan dalam penelitiannya.
Dari pengertian Metoda dan Metodologi di atas, maka para peneliti harus
tahu dia menggunakan landasan filsafat ilmu yang mana untuk metodologi
penelitian yang digunakannya; sehingga yang bersangkutan sadar dalam beberapa
hal, pertama: Sadar filsafati, artinya dia sadar menggunakan filsafat ilmu yang
mana; kedua: sadar teoritik, artinya dia sadar teori penelitian atau model mana yang
dia gunakan; dan ketiga: sadar teksnis, artinya dia mampu memilih teknik penelitian
yang tepat.
B. Fisafat Ilmu dan Metodologi Penelitian
Filosafik, metodologi penelitian merupakan bagian dari ilmu pengetahuan
yang mempelajari bagaimana prosedur kerja mencari kebenaran. Prosedur kerja
mencari kebenaran sebagai filsafat dikenal sebagai filsafat epistimologi. Kualitas
kebenaran yang diperoleh dalam berilmu pengetahuan terkait langsung dengan
kualitas prosedur kerjanya. Dengan prosedur kerja yang baik, kualitaas kebenaran
yang diperoleh sejauh kebenaran epistemologik; dan ilmu pengetahuan hanya akan
mampu menjangkau kebenaran epistimologik. Kebenaran epistimologik tampil
dalam wujud kebenaran tesis dan lebih jauh berupa kebenaran teori, yang pada
gilirannya akan disanggah oleh tesis lain atau teori lain.
Kebenaran ilmiah dibangun dari sejumlah banyak kenyataan atau fakta.
Kenyataan atau fakta dapat dibedakan menjadi empat yaitu, (1) kenyataan empirik
sensual, (2) kenyataan empirik logik, (3) kenyataan empirik etik, dan (4) kenyataan
empirik transenden.Positivisme hanya mengakui kenyataan empirik sensual saja
sebagai fakta. Bagi positivisme kenyataan empirik logik harus di dukung oleh
kenyataan empirik sensual.
C. Metodologi Penelitian dan Logika
Metologi Penelitian merupakan ilmu yang mempelajari tentang metoda-metoda
penelitian, ilmu tentang alat-alat dalam penelitian. Di lingkungan filsafat, logika
dikenal sebagai ilmu tentang alat untuk mencari kebenaran, bila ditata dalam
sitematika, maka metodologi penelitian merupakan bagian dari logika.
Ada delapan model logika yang kita kenal, (1) logika formil Aristoteles, (2) logika
matematik deduktif, (3) logika matematik induktif, (4) logika matematik
probabilistik, (5) logika inguistik, (6) logika kualitatif, (7) logika reflektif, (8) logika
parakonsiste. Kedelapan model tersebut menggunakan cara membuktikan
kebenaran yang berbeda-beda sebagai berikut:

Ali Geno Berutu, Metodologi Penelitian Kualitatif Prof. Noeng Muhadjir |1


1. Logika formil Aristoteles berupaya menyususn struktur hubungan antara
sejumlah proposisi. Untuk membuat generalisasi, logika Aristoteles
mengaksentuasikan pada prinsip-prinsip relasi formal antar proposisi
(logika tradisional kategorik);
2. Logika matematik deduktif membangun kontruksi pembuktian kebenaran
dengan mendasarkan diri pada proposisi-proposisi kategorik seperti logika
tradisional Aristoteles. Bedanya, logika Aristoteles mendasarkan pada
kebenaran formalnya, sedangkan logika matematik deduktif mendasarkan
kepada kebenaran materiil. Logika matematik deduktif menguji kebenaran
materiil kasus berdasarkan dalil, hukum, teori atau proposisi universal
lainnya. Logika Aristoteles menuntut dipenuhinya syarat formil, sedangkan
logika matematik deduktif melihat kebenaran materiil;
3. Logika matematik induktif dapat dibedakan menjadi dua, yaitu (1)
kategorik dan (2) probabilistik. Logika matematik induktif probabilistiklah
yang digunakan oleh metodologi penelitian kuantitatif statistik;
4. Logika reflektif yaitu berfikir dalam proses mondar-mandir ssecara sangat
cepat antara induksi dan deduksi, antara abstraksi dan penjabaran. Dalam
logika reflektif, proses berfikir membuat abtraksi dan prose berfikri
membuat penjabaran berlangsung cepat, dan yang lebih penting adalah
produk membuat abstrak dan penjabaran berlangsung cepat menjadi
ekstensif ataupun menjadi intensif dengan kualitas produk rasional yang
tinggi mutunya.
D. Perintis Sistem Logika Moderen dan Postmodern
Dengan berkembangnya ilmu pengetahuan alam yang empirik induktif,
logika formal Aristoteles telah tumbang dan digantikan dengan logika yang
dikembangkan oleh Leibniz, Mill, dan Russel. Tiga tokoh yang hidup pada abad ke-
17, ke-19 dan ke-20.
Leibniz membedakan tiga kemampuan kongnitif, yaitu (1) indria, yaitu
meberi persepsi sensual tentang obyek, (2) imajinasi, oleh Libniz disebut indria
internal yang menyajikan common sense yang menyajikan materi indrawi bagi
matemati, dan (3) argumentasi, merupakan berfungsinya kesadaran fikri manusia,
meskipun mungkin tanpa materi idriawi. Tonggak utama teori ilmu Leibniz adalah
perbedaannya antara kebenaran faktual dan kebenaran argumentatif. Materi
kebenaran faktual diangkat dari pengamatan indriawi, sedangkan kebenaran
argumentatif meruapakan kebenaran paling dalam.
John Stuart Mill dengan sistem logikanya mengetengahkan tesisnya bahwa
argumentasi disyaratkan berdasar pengalaman empirik, menentang tesis lama bahwa
argumentasi fikir kita atau kontrukksi alam semesta. Suatu pernyataan mungkin saja
mengandung eksistensi faktual atau mendukung relasi, koeksistensi, keruntunan,
keterhimpunan, atau kausalitas antar fakta. Namun kebenaran harus diuji
berdasarkan realsitas yang kita amati atau berdasarkan argumentasi induktif,
kebenaran harus kita uji secara iinduktif dari yangg khusus ke umum.
Bertrand Russel semula adalah penganut filsafat idealisme, dalam
perkembangannya fisafat Russel berubah menjadi pluralisme ekstrim. Dalam
pandangannya dunia bukan merupakan suatu sistem yang rasional, melainkan
merupakan kumppulan fakta dan kejadian. Kajadian-kejadian itu nampaknya

Ali Geno Berutu, Metodologi Penelitian Kualitatif Prof. Noeng Muhadjir |2


mengikuti hukum-hukum tertentu, dan menjadi tugas ilmu untuk menemukannya;
tetapi untuk menemukan hukum yang universal nampaknya tak ada harapan.
Sistem logika postmodern memiliki ciri utama sebagai produk kreatif
cerdas yang mungkin kontroversial dan paradox. Sebagian besar kita mengkritik
mereka-mereka yang sebenarnya sangat cerdas, tetapi dicap sebagai orang yang
tidak konsisten; sedangkan itulah salah satu ciri postmodern. Bukannya tidak
konsisten pemikirannya, melainkan cerdas kreatif membuat titik-titik yang terbukti
kemudian menghasilka konstruksi kebenaran atau pemahaman yang luar biasa tak
terduga. Adapun tokoh posmo antara lain adalah Lyotard.
E. Metodologi Penelitian dan Positivisme
Metologi penelitian kuantitatif statistik bersumber dari filsafat positivisme
Comte, yang menolak metaphisik dan teologik atau setidak-tidaknya mendudukkan
metaphisik dan teologik sebagai primitif. Metologi penelitian kuantitaif dimulai
dengan penetapan objek studi yang spesifik, dieliminasikan dari totalitas atau
konteks besarnya, sehingga eksplisit jelas objek studinya. Dari situ ditolerankan
hipotesis atau problematik penelitian, instrumentasi pengumpulan data, dan teknik
sampling serta teknik analisisnya, juga ranangan metodologik lain, seperti:
pemdekatan batas signifikansi, teknik-teknik penyesuaian bila ada kekurangan atau
kekeliruan dalam hal data, administrasi, analisis dan semacamnya. Dengan kata
lain, semua dirancang masak sebelum terjun kelapangan untuk meneliti.
Positivisme logik lebih jauh mengembangkan metodologi aksiomatisasi
teori ilmu kedalam logika matematik, dan dikembangkan lebih jauh lagi kedalam
logika induktif, yaitu ilmu itu bergerak naik dari fakta-fakta khusus phenoomenal ke
generalisasi teoretik. Menurut positivisme, ilmu yang valid adalah ilmu yang
dibagun dari empirik.
F. Metodologi Penelitian dan Rasionalisme
Metodologi penelitian kualitatif berlandaskan filsafat rasionalisme terdapat tiga
argumen. Pertama, dilihat secara ontologik, positivisme lemah dalam hal
membangun konsep teoreik, dengan kosekuensi konseptualisasi teretik ilmu yang
dikembangkan dengan metodologi yang melandaskan pada positivisme menjadi
tidak jelas, atau dapat dikatakan tidak urunan dalam membangun teori, sehingga
ilmu-ilmu yang dikembangkan dengan metodologi yang berlandaskan positivisme
menjadi semakin miskin koseptualisasi teoretiknya, tidak ada teori-teori baru yang
mendasar muncul.
Kedua, dilihat dari segi aksiologi, kebenaran empirik (yang sensual) telah
mendegradasikan harkat manusianya manusia. Kenaran tidak hanya dapat diukur
dengan indra kita, ada kebenaran yang ditangkap dari pemaknaan manusia atas
empiri sensual; kemampuan manusia untuk mengungkapkan fikir dan akal budi
memaknai empiri sensual itu lebih membberi arti daripada empiri sensual itu
sendiri.
Ketiga, dari segi ontologi dan aksiologi terdapat perbedaan mendasar antara
metodologi penelitian kualitatif yang mendasarkan positivisme dengan yang
melandaskan rasionalisme. Tapi dari segi epistemologik ada kesamaan mendasar
antara keduanya yaitu, berusaha memilah natara subjek peneliti dengan objeknya.
Produk ilmunya juga sama , yaitu menjangkau ilmu yang nomothetik, membuat
prediksi dan membuat hukum-hukum.

Ali Geno Berutu, Metodologi Penelitian Kualitatif Prof. Noeng Muhadjir |3


G. Metodologi Penelitian dan Postpositivisme Phenomologi Interpretif
Phenomologi Edmund Husserl mengemukakan bahwa objek ilmu itu tidak
terbatas pada yang empirik (sensual), melainkan mencakup phenomena yang tidak
lain daripada persepsi, pemikiran, kemauan, dan keyakinan subjek tentang sesuatu
diluar subjek, ada sesuatu yang transenden disamping yang aposteriorik.
Ontologik, metodologi penelitian kualitatif berlandaskan phenomenologi
sama dengan yang berlandaskan rasionalisme dan berbeda dengan yang
berlandaskan positivisme. Metodologi penelitian kualitatif berlandaskan
phenomenologi menuntut pendekatan holistik, mendudukan objek penelitian dalam
suatu konstruksi ganda, melihat objeknya dalam suuatu konteks natural bukan
parsial. Beda dengan positivisme yang menuntut rumusan objek sespesifik mungkin
tetapi dekat dengan rasionalisme yang menuntut kontruksi teoretik yang lebih
mencakup. Perbedaan yang sama juga berlaku terhadap Epistimologik, sedangkan
aksiologik memiliki kesamaan antara yang phenomonologik dengan yang
rasionalistik, yaitu kedua mengakui kebenaran etik.
H. Teori Ilmu, Weltanschauunh dan Realisme
Reichenbach (1938), mengemukakan bahwa tugas filsafat ilmu adalah
pembangunan teori ilmu bertlak dari Weltanschauunh atau Lebenswelt. Toulimin
(1953) mengemukakan bahwa fungsi ilmu adalah membangun sistem ide-ide
tentang semeste sebagai realitas, dan sitem tersebut menyajikan teknik-teknik yang
bukan hanya ajeg dalam memprose data, tetapi lebih dari itu harus dapat diterima
(sesuai dengan Weltanschauunh-nya). Teori-teori ilmu menurut Toulmin terdiri atas
hukum-hukum, hipotesis-hipotesis dan ide-ide tentang smesta yang tertata hirakik.
Menurut Toulminteori-teori bersifat instrumentalsitik, teori hanyalah hukum-hukum
untuk membuat inferensi.
Karl popper (1935) tujuan ilmu adalah untuk menemukan teori atau
deskripsi semesta ini (menemukan keteraturan atau hukum-hukumnya). Teori yang
baik mampu menyajikan esensi atau realitas. Feyeraben (1965) menolak pluralisme
teoretik dan menuntut agar sesuatu teori yang telah sangat teruji dipertahankan
samapai tertolak atau termodofikasi oleh fakta-fakta baru. Dia mengetengahkan dua
kondisi untuk berteori, yaitu: kondisi yang ajeg dan kondisi yang keragaman makna.
I. Metodologi Penelitian Posmodern
Tradisi berfikir linear pada positivistik, telah dikoreksi dengan ragam
alternatif berfikir yang divergen, horizontal dan lainnya oleh tata fikir rasionalistik.
Logika yang digunakan adalah logika kebenaran, meskipun dengan jalan yang
berbeda dan dengan ditemukannya taraf kebenaran yang berbeda pula. Postmodern
menempuh jalan berfikir yang berbeda. Logika yang biasa digunakan tidak akan
mampu menemukan kebenaran yang semakin kompleks. Lebih lanjut, posmo
berpendapat bahwa kebenaran itu tak terbayangkan, karena kita sendiri yang secara
aktif perlu membangun kebenaran itu sendiri.
BAGIAN PERTAMA:
PENDEKATAN POSITIVISTIK
A. STUDI CROSS SECTIONAL
1. Studi Cros Sectional dan Studi Longitudinal
Dalam metodologi penelitian positivistik dikenal studi yang sifatnya
berkelanjutan untuk jangka waktu yang relatif panjang, mengikuti proses interaktif

Ali Geno Berutu, Metodologi Penelitian Kualitatif Prof. Noeng Muhadjir |4


beragam variabel, dan studi yang sifatnya mengambil waktu, sampel perilaku,
sampel kejadian pada suat saat tertentu saja.

2. Variabel Penelitian
Peneliti harus mampu mmengeleminasikan sejumlah variabel yang diteliti
dengan mengeleminasikan sejumlah variabel-variabel yang lain yang tidak diteliti.
Adapun cara yang digunakan untuk mengadakan eliminasi variabel adalah;
eliminasi phisik, eliminasi dengan kontrol dan eliminasi statistik.
3. Hipotesis
Dua konsep atau lebih yang dibangun tata relasinya dapat ditampilkan
sesuatu sehingga dapat ditampilkan nomen yang mencakup berbagai sesuatu
tersebut disebut konsep dengan karakteristik umum atau esensial tertentu. Berbagai
sesuatu mmungkin kita beri nomen prestasi akademik, laki-laki, perempuan, status
sisial ekonomi dan lain sebagainya.
4. Desain Penelitian
Dengan desain penelitian yang akan kita bahas, kita memiliki petunjuk
tentang bagaimana kita berbuat untuk mencapai tujuan tersebut. Ada sejumlah
unsur-unsur yang kita perhatikan dalam desain penelitian yaitu, (1) tata kontruksi
variabel penelitian, (2) populasi sampel, (3) intrumentasi pengumpulan data atau
teknik perekaman data, (4) teknik analisi, (5) uji instrumen atau uji kualitas
rekaman, (6) makna internal hasil peneliitian, dan (7) makna eksternal hasil
penelitian.
5. Populasi dan Sampel
Dalam berfikri positivistik dikenal dua cara pengambilan sampel, yaitu
teknik random atau acak dan teknik purposive. Dalam metodologi penelitian
positivistik teknik purposive sampling digunakan bila peneliti menduga bawa
populasinya tidak homogen. Penelitian kualitatif umumnya mengambil sampel lebih
kecil, dan pengambilannya cenderung memilih yang purposive daripada acak.
Penelitian kualitatif lebih mengarah ke penelitian proses daripada produk, dan
biasanya membatasi pada satu kasus.
6. Data kualitatif dan Analisis Selama Pengumpulan Data
Data kualitatif adalah data yang disajikan dalam bentuk kata verbal bukan
dalam bentuk angka. Dalam bentuk kata verbal sering muncul dalam kata yang
berbeda dengan maksud yang sama atau sebaliknya. Data verbal yang beragam
tersebut perlu diolah agar menjadi ringkas dan sistematis. Olahan tersebut mulai
dari menuliskan hasil observasi, wawancara atau rekaman, mengedit,
mengklasifikasi, mereduksi dan menyajikan.
7. Penyajian Data
Miles dan Huberman membantu para peneliti kualitatif positivistik dengan
model-model penyajian data yang analog dengan model-model penyajian data
penelitian statistik, dengan menggunaka tabel, grafik, matriks dan semacamnya.
Bukan diisi dengan angka-angka melainkan dengan kata atau pharase verbal.
Dengan narasi verbal yang disajikan dalam 15 sampai 20 halaman dapat diringkas
menjadi 1 atau ½ halaman bentuk matriks.
8. Menarik Kesimpulan

Ali Geno Berutu, Metodologi Penelitian Kualitatif Prof. Noeng Muhadjir |5


Miles dan Huberm menyajikan 12 siasat untuk menarik kesimpulan dengan
menelaah sajian matriks, graphik dan semacamnya. Berikut adalah dua belas siasat
yang disajika Miles dan Huberm: Menghitung, temukan pola atau tema, nampak
cukup beralasan, mengklasterkan, membuat metaphor, memecah variabel, dari yang
spesifik cari ide generalisasinya, memfaktorkan, cari relasi antar variabel, cari
intervening variable, kontruksikan mata rantai logik antara berbagai evidensi dan
susunlah konsep atau teori yang koheren.
9. Konsep Kebenaran: Obyektivitas, Reliabilitas dan Validitas
Suatu penelitian dipandang obyektif bila siapapun dengan prosedur kerja
yang sama menghasilkan kesimpulan penelitian yang sama. Reliabilitas dapat
dibedakan menjadi dua: keajegan internal dan stabilitas atarkelompok. Dengan dua
random atau pengulanagn pengukuran antarwaktu kita menguji keajegan internal
atau consistency. Sedangkan denagn memperbandingkan frekuensi atau variansi
antarkelompok kita menguji stabilitas antarkkelompok atau stability. Consistency
dan stability adalah ragam presedur untuk menguji reliabilitas, sedangkan validitas
adalah kebenaran.
B. Studi Kasus Pendekatan Klinik dan Genetik
Studi kasus pendekat genetik berupaya mencari kebenaran ilmiah dengan
cara mempelajari secara mendalam dan dalam jangka waktu yang lama. Studi kasus
dilihat dari segi dimensi dapat pula disebut studi logitudinal diperlawankan dengan
studi cross sectional. Studi logitudinal berupaya mengobservasi objeknya dalam
jangka waktu yang lama dann terus menerus. Sedangkan cross sectional berupaya
mempersingkat waktu observasinya pada beberapa tahap atau tingkatan tertentu.
C. SURVEI: PROSEDUR PENGAMBILAN SAMPPEL
Ada dua macam jenis survei yaitu, survei memperoleh data dasar guna
memperoleh gambaran umum, dan survei yang digunakan untuk mengungkap
pendapat, sikap dan harapan publik. Konsep dasar pengambilan sampel dalam
survei adalah representativitas terhadap populasinya. Dasar pengambila sampel
survei setidaknya ada 4 yaitu: secara sistematik, acak, dengan kuota dan secara
purposive.
D. CONTENT ANALYSIS
Janis (1949), Bereslon (1952), Lindzey dan Aronson (1968) yang
menjelaskan tentang content analysis setidaknya memiliki tiga syarat, yaitu:
obyektivitas, pendekatan sistematis, dan generalisasi. Analisis harus berlandaskan
aturan yang dirumuskan secara eksplisit.
SUB BAGIAN II:
METODOLOGI PENELITIAN KUALITATIF POSITIVISME MODERN
A. Positivisme Modern
Positivisme modern mengadopsi analogi biologik dan analogi mekanikal
dalam studi tentang manusia, sehingga positivisme modern disebut sebagai
fungsionalist. Ungsionalistik umumnya berkembang berkembang di lingkungan
sosiologi.
B. Dari Struktur ke Fungsi
Auguste Comte membedakan antara social statics dengan social dynamics,
yang pertama merupakan dimesni struktur, yang kedua merupakan proses atau
fungsi. Menurut Comte ada dimensi kehidupan sosial yang bersifat statis, yaitu

Ali Geno Berutu, Metodologi Penelitian Kualitatif Prof. Noeng Muhadjir |6


strukturnya. Struktur sosial tidk berubah-ubah walaupun ada dinamika, tetapi
terbatas sebagai proses seuai dengan fungsi keseluruhan struktur tersebut.

C. Dari Mekanik ke Organik


Durkhei mengetengahkan adanya perubahan pandangan evolusioner dari
mekanik ke organik. Pembagian kerja yang selalu kaku mendetail menjadi lebih
luwes. Visi perubahan sosial instrumentatif yang lain adalah teori konflik yang
diajukan oleh Lewis Coser (1956) yang mengetengahkan konflik sebagai pendorong
perubahan sosial, konflik menurut Coser mempunyai fungsi positif dan negatif.
BAGIAN KEDUA:
PENDEKATAN POSTPOSITIVISTIK
Karakteristik utama postpositivistik adalah pencarian makna di balik data.
Ada empat postpositivistik: (1) postpositivisme rasionalistik, (2) postpositivisme
postpositivisme phenomologik-interpretif, (3) postpositivisme teori kritis dengan
Weltanschauung, dan (4) pragmatisme meta-etik.
A. Penelitian Rasionalistik
1. Desain Penelitian Dengan Pendekatan Rasionalistik
Desain penelitian rasionalistik bertolak dari kerangka teoritik yang
dibangun dari pemaknaan hasil penelitian terdahulu, teori-teori yang dikenal, buah-
buah pemikiran pakar dan inkontruksikan menjadi suatu yang mengandung
sejumlah roblematik yang perlu diteliti lebih lanjut. Kerangka teoritik tersebut
seidaknyan perlu tiga komponen.
Pertama, ada grand concep (s) yang melandasi seluruh pemikiran teoritik
dari penelitian tersebut. Kedua, untuk membangun kerangka teori adalah teori
subtantif. Teori konflik dalam sosiologi merupakan grand theory, teori
kepemimpinan monomorphik-polimorphik merupakan teori subtantif, teori tentang
reflek bersyarat dalam behaviorisme merupakan grand theory. Perilaku sterotype
merupakan teori subtantif; teori relativitas dan Einstein merupakan grand theory.
Kompenen ketiga dari perkerangkaan teori adalah hipotesis atau tesis yang hendak
diuji kebenarnnya secara empirik. Membangun kerangka teori dengan tiga
kompenan tersebut berlangsung reflektif, dapat dimulai dari komponen manapun
tetapi akhirnya harus menampilkan hipotesis yang layak dan mungkin diuji dengan
empiri.
2. Logik dan Etik
Dilihat dari sisi filsafat ilmu ada perbedaan mendasar antara pendekatan
positivistik dan rasionalistik disatu pihak dengan pendekatan phenomologik di
pihak lain. Pendekata dua yang pertama hanya mengakui hanya mengakui
kebenaran empirik sensual dan empirik logik. Artinya hanya mengakui sesuatu
sebagai kebenaran bila dapat dibuktikan secara empiril indriawi dan dalam konteks
kausalitas dapat dilacak dan dijelaskan. Ada dua pendekatan yang keduanya
mengakui kebenaran empirik etik yang memerlukan akal budi untuk melacak dan
menjelaskan serta berargumentasi.
3. Data Kualitatif
Dalam penelitian dengan pendekatan manapun dibedakan antara epiri
dengan data. Empiri yang relevan dengan objek penelitian yang dikumpulkan oleh

Ali Geno Berutu, Metodologi Penelitian Kualitatif Prof. Noeng Muhadjir |7


peneliti disebut data. Sesudah kita mengadakan observasi atau wawancara, kita
perlu membuat catatan. Catatan itu mempunyai peran yang sentral dalam
perekaman observasi partisipan ataupun dalam wawancara. Bogdan membedakan
catatan menjadi dua yaitu, deskriktif dan yang reflektif. Catatan deskriktif lebih
menyajikan rini kejadian daripada ringkasan dan bukan evaluasi. Catatn yang
reflektif lebih mengetengahkan kerangka fikiran idee dan perhatian dari peneliti.
Catatan reflektif berisi materi-materi seperti; pertama menghubungkan berbagai
data, menambahkan idee, pemikiran dan menampilkan kerangka fikir.
4. Analisis Data
Analisis data merupakan upaya mencari dan menata secara sistematis
catatan hasil observasi, wawancara dan lainnya, untuk meningkatkan pemahaman
peneliti tentang kasus yang diteliti dengan menyajikannya sebagai temuan bagi
orang lain. Langkah-langkah analisis selama dilapangan menurut Bogdan antara
lain adalah sebagai berikut: Pertama, usahakan mempersempit fokus studi; kedua,
tetapkan tipe studi anda; ketiga, megembangkan secara terus-menerus pertanyaan
analitik; keempat, tuliskan komentar peneliti sendiri (catatan reflektif); kelima,
upaya penjajagan ide dan tema penelitian pada subyek responden sebagai analisis
penjajagan; keenam, membaca kembali kepustakaanyang relevan selama
dilapangan; ketujuh adalah gunakan metaphora, analogi dan konsep-konsep.
B. Penelitian Naturalistik
Paradigma naturalistik disebut sebagai model yang telah menemukan
karakteristik kualitatif yang sempurna. Artinya bahwa kerangka pemikirannya,
filsafat yang melandasinya, ataupun operasionalisi metodologinya bukan reaktif
atau sekedar merespon dan bukan sekedar menggugat yang kuantitatif, melainkan
membangun sendiri kerangka pemikirannya, filsafatnya, dan operasionalisasi
metodologinya.
Guba mengetengahkan 14 karakteristik yang mempunyai hubungan
sinergistik, artinya bila salah satu karakter dipakai, karekter yang lain akan tampil
dengan profil yang berbeda-beda. Ada hubungan logik, interdepedensi, dan
koherensi. Karakteristik tersebuta adalah sebagai berikut: (1) konteks natural, (2)
instrumen human, (3) pemanfaatan pengetahuan tak terkatakan, (4) metoda
kualitatif, (5) pengambilan sampel secara purposive, (6) analisis data induktif, (7)
grounded theory, (8) desain sementara, (9) hasil yang disepakati, (10) modus
laporan studi kasus, (11) penafsiran idiographik, (12) aplikasi tentatif, (13) ikatan
konteks terfokus, (14) kriteria keterpercayaan.
1. Watak dan Konteks Naturalistik
Penelitian dengan paradigma naturalistik menuntut dilaksanakannya
penelitian dalam konteks naturalistik, dengan harapan makna yang diangkat dari
penelitian tersebut memang dari konteksnya, bukan dari prakonsep penelitiannya.
Pemaknaan hasil interview dan/atau observasi tidak dapat tidak terkait ke waktu dan
konsep tertentu.
Metoda kualitatif lebih diutamakan dalam paradigma naturalsitik, bukan
karena anti kuantitatif, melainkan karena metoda kualitatif lebih manusiawi bagi
manusia sebagai instrumen penelitian. Metode interview dan observasi, juga teknik-
teknik analisnya lebih merupakan ekstensi dari perilaku manusia, seperti

Ali Geno Berutu, Metodologi Penelitian Kualitatif Prof. Noeng Muhadjir |8


mendengarkan, berbicara, melihat, berinteraksi, bertanya, minta penjelsan,
mengekspresikan kesungguhan dan menangkap yang tersirat.
2. Iterasi Empat Unsur Penelitian Naturalistik
Pertama, pengambilan sampel purposive yang langsung terasosiasi tentang
masalah representativitas. Dalam pengambilan sampel acak, positivisme bertolak
dari asumsi bahwa setiap unsur dalam populasi mempunyai peluang yang sama
untuk terpilih sebagai sampel. Kedua, analisi data induktif yakni, analisis atas data
spesifik dari lapangan menjadi unit-unit dilanjutkan dengan kategorisasi. Ketiga,
Grounded Theory, Elden mendeskripsikan Grounded Theory sebagai local theory.
Sampai batas-batass tertentu, naturalisasi juga mengakui bahwa hasil penelitian
dengan paradigma naturalistik tetap mungkin mebuat prediksi dan memproduk
hipotesis, juga dapat berperan untuk penelitian lanjuta. Keempat, desain sementara.
Naturalsime menuntut agar desain disusun sementara, yang akan diubah dan
dikembangkan sesuai konteksnya, tergantung pada interaksi peneliti dengan
konteksnya , semua itu sesuai dengan aksiomanya bahwa realitas itu ganda.
3. Kredibilitas
Ada lima teknik yang diapaki naturalis untuk menguji kredibiltas suatu
studi, yaitu: (1) menguji terpercayanya temuan, (2) pertemuan pengarahan dengan
kelompok peneliti untuk mengatasi ketidakjelasan, bias dan lain-lain, (3) analisi
kasus negatif yang fungsiya untuk merevisi hipotesis, (4) menguji hasil temuan
tentatif dan penafsiran dengan rekaman vidio, audio, foto dan semacamnya, dan (5)
menguji temuan pada kelompok-kelompok darimana kita memperoleh datanya.
SUB BAGIAN III:
POSTPOSITIVISME DENGAN TEORI KRITIS MEMBAGUN
WELTANSCHAUUNG
A. Membangun Teori Bertolak Dari Weltanschuung
Reichambach (1938) mengemukan bahwa tugas ilmu adalah membangun
teori ilmu bertolak dari Weltanschuung atau Lebenswelt. Toulmin (1953)
mengemukakan bahwa funsi ilmu adalah mebangun ide-ide tentang semesta sebagai
realitas dan sistem-sistem tersebut menyajikan teknik-teknik yang bukan hanya ajeg
dalam memproses data, melainkan tetap lebih dari itu harus dapat diterima. Karl
popper (1935) menunjuk bahwa cara kerja positivist yang mendasarkan teori-teori
pada hasil observasi ditolak, karena tidak mampu menjawab problem sentral ilmu,
yaitu pengembangan ilmu. Feyerabend (1965) menolak pluralisme teoretik dan
menuntut agar suatu teori yang telah teruji dipertahankan sampai tertolak atau
termodifikasi oleh fakta-fakta baru.
B. Teori Konflik dan Teori Kritis
Teori konflik yang dikembangkan oleh Dahrendorf bersifat multifaset,
artinya bahwa konflik dapat terjadi antar pribadi, antar kelompok dan dapat
berfungsi positif dan negatif. Marx mengungkapkan strategi perjuangan kelas yang
antargonistik, artinya konflik dijadikan sebgai strategi perjuangan, tidak mulifaset
seperti Dahrendorf, melainkan diangkat menjadi strategi mengkonflikkan sistemik
antara ploretar dan borjuis, dan sifatnya antagonistik, kelas proletar harus berjuang
memusnahkan kaum borjuis. Teori dua sosial tersebut ternyata tersanggah dengan
muncul kelas menengah diantara dua kelas yaitu; kelas menengah yang semakin

Ali Geno Berutu, Metodologi Penelitian Kualitatif Prof. Noeng Muhadjir |9


besar jumlahnya, dan semakin besar perannya. Juga tersanggah atas kenyataan
hidup sehat penuh simpasi lebih mensejahterakan daripada hidup saling berkonflik.
Dari sisi filsafat ilmu, teori konflik termasuk positivisme modern yang
menggunakan berfikir instrumental, sedangkan teori kritis termasuk postpositivisme
dengan Weltanschuung yang landasan filsafatnya sebagaian phenomologik, dan
sebagian yang lain realisme metaphisik. Perubahan peran akan mengubah perilaku
seseorang, demikianlah teori konflik. Dalam teori kritis, perilaku seseorang akan
mengubah makna konteks selanjutnya. Dilihat dari sisi filsafat ilmu, teori kritis
sudah bersifat aktif mencipta makna, bukan sekedar pasif menerima makna atas
perannya seperti pada teori konflik.
C. Teori Kritis Dalam Bidang Hukum
Kritisme pemikiran hukum Roberto Mangabeira Unger, guru besar
Universitas Harvard dalam bukunya “The Critical Legal Studie Movement” (1983)
menyangkut dua pokok, yaitu obyektivisme hukum dan formalisme hukum, dia
menentang obyektivisme dan formalisme. Hasil konstruktif atas kritikk formalisme
adalah dikemabngkannya expanded or deviationist doctrene. Rasionalitas dan versi
expanded doctrene adalah dengan cara memperluas cita-cita sosial yang semula
tidak dapat diterima. Secara internal dikembangkan cara argumen yang visioner,
berikutnya hasil konstruktif terhadap obyektivisme ada 3: pertma, dipilihnya teori
transformasi sosil; kedua, konsep cita kelembagaan; dan ketiga, konsep hubungan
hukum dengan masyarakat.
D. Menemukan Teori
Dari manakah kita berangkat untuk menemukan teori? Dalam upaya
mencari kebenaran model grounded dan model Popper keduanya sama, yaitu
mencari esensi secara holistik. Model grounded berangkat dari grass root empiri,
sedangkan model Popper berangkat dari terkaan-terkaan deduktif. Model grounded
mengembangkan teori subtantif menjadi teori formal. Tesis yang dikembangkan
berdasarkan pada spesifikasi lokal dikembangkan menjadi tesis yang dilepaskan
dari keterkaitan sosial.

SUBBAGIAN IV: PRAGMATISME META-ETIK


A. Keragaman Pragmatisme
Perkembangan pragmatisme dapat dibedakan menjadi dua, yaitu
pragmatisme era Pierce (1905), William James (1909), dan Jhon Dewey (1916).
Kedua, pragmatisme era era Rorty (1982), MacCarthy (1984), Dallmyr (1987) dan
Carey (1989). Pragmatisme pada era keuda bisa dibilang sebagai pragmatisme
meta-etik.
B. Ragam Applied Ethics
1. Aborsi
Dari sekian banyak problem moral dibidang medis, aborsi merupakan
problem paling kontropersial. Aspek legal aborsi setidaknya memiliki empatmodel
kebijakan, yaitu dilarang oleh undang-undang; diizinkan oleh undang-undang;
keputusan dokter dan undang-undang menetapkan sebagai privacy. Pandangan
Islam tentang aborsi dilandaskan pada al-Qur’an dan al-Hadis. Semua hakim
hukum Islam percaya bahwa fetus mendapat ruh dari Allah setelah berusia 4 bulan
dan aborsi dilarang setelah fetus mencapai usia tersebut.

Ali Geno Berutu, Metodologi Penelitian Kualitatif Prof. Noeng Muhadjir | 10


2. Pelecehan Terhadap Anak, Perempuan dan Lanjut Usia
Peleccehan terhadap istri atau suami dapat terjadi dalam wujud secara
sistematis menganiaya, mengancam, memanipulasi, memperkosa, menncoba
membunuh, mengembangkan rasa takut, atau perlakuan-perlakuan lain yang
berakibat kepada kehilangan harga diri, tidak percaya dan efek psikologis lainnya.
3. Eutanasia
Membunuh dengan sengaja orang yang bersalah itu salah, dan secara moral
tidak dapat ditolerir. Ketika muuncul masalah orang yang menderita karena sakit
yang tak tersembuhkan dan tidak mejalani kehidupan secara wajar dan yang
bersangkuta ingin mati, diskusi yang berkembang dibagi menjadi : petama, martabat
manusia tidak dapat dikorbankan dengan tindakan eutanasia; kedua, martabat
manusia adalah martabatnya orang yang dapat menjalannkan hidup layak, termasuk
bila perlu dengan sentuhan orang lain.

PENDEKATAN POSTMODERN
A. Era Postpositivistik dan Postmodern
Telah dijelaskan pada bagian 2 tuulisan ini.
B. Fokus Posmo
Posmo pertama kali muncul dilingkungan gerak arsitektur. Arsitektur
modern berorientasi pada fungsi struktur, sedangkan arsitek posmo mberupaya
menampilkan makna simbolik dari kontruksi dan ruang. Benang merah pola fikir
era modern yang rasionalistik, yang fungsionalis, yang interpretatif, dan yang teori
kritis yaitu: dominannya rasionalitas. Dalam komponen dapat dijumpai: yang
positivist membuat generalisasi di frekuensi dan variansi, yang interpretatif
membuat kesimpulan generative dari esensi; yang positivist menguji kebenaran
dengan validitas; yang interpretatif menguji truthworiness lewat triangula tradisi
ilmu sampai teori kritis masih mengejar grand theory. Logika yang dikembangkan
dalam berilmu pengetahuan masih dalam kerangka mencari kebenaran,
membuktikan kebenaran dan menginformasikan kebenaran.

BAGIAN KEEMPAT:
PERKEMBANGAN BERBAGAI CABANG ILMU
SUBBAGIAN I: PENELITIAN AGAMA DARI STUDI KLASIK SAMPAI
POSTMODERN
METODOLOGI PENELITIAN AGAMA: DARI STUDI KLASIK SAMPAI
STUDI INTERDISIPLINER
A. Metodologi Penelitian Agama
Metodologi penelitian agama sangat luas, ada yang berada dikawasan naqli
(wahyu) dan ada yang aqli (produk buatan manusia).
B. Studi Islam Klasik
Studi Islam klasik setidaknya mencakup enam cabang ilmu, yaitu: Ulumul
Qur’an, Ulumul Hadis, Ilmu Hukum, Ilmu Kalam/Teologi, Tasawuf dan Filsafat.
Ismail Al-Faruqi mensistematisasikan ulumul Qur’an menjadi lima yaitu: (1) studi
qira’ah atau resitasi, (2) studi tentang asbab al-nuzul, (3) studi tentang ayat-ayat
Makkiyah dan Madaniyah, (4) studi tentang Tafsir, dan (5) ilmu tentang istimbat al
ahkam. Ulumul Hadis mencakup: (1) riwayat hadis, (2) rijal al-Hadis, (3) al-jarh

Ali Geno Berutu, Metodologi Penelitian Kualitatif Prof. Noeng Muhadjir | 11


wal ta’dil, (4) ‘ilal Hadis, (5) mukhtalaf al-Hadis, (6) studi tentang hasil kerja enam
ahli hadis. Cabang ilmu yang ketiga dalam studi Islam kalsik adalah hukum Islam
atau ilmu hukum yang mengatur muamalah manusia yang dipilahkan menjadi ushul
fiqih atau dasar-dasar fiqih dan ilmu fiqih. Adapun yang menjadi sumber hukum
Islam ada empat: al-Qur’an, al-Hadis, Ijma’, Qiyas (analogi).
Ilmu Kalam merupakan cabang ilmu yang keempat dalam studi Islam klasik yang
mempelajari pemikiran filsafat atau pemikiran teologi Islam. Cabang yang kelima
adalah Ilmu Tasawuf yaitu ilmu yang mengajarkan manusia bagaimana
membersihkan jiwa dari pengaruh kebendaan, supaya mudah mendekatkan diri
kepada Allah. Kalau filsafat mengajarkan kita menggunakan akal maka tasawuf
mengajarkan kita menggunakan rasa. Cabang keenam adalah studi filsafat
hellenistik. Yaitu, ilmu yang mempelajari karya-karya ilmuan Islam yang berupaya
mendekati Islam secara filsafati yang menggunakan filsafat Yunani.
C. Studi Islam Orientalis
Studi Islam orientalis berangkat dari studi antropologik. Para orientalis
berangkat dari rekayasa persepsi barat. Kebencian mereka terhadap Islam dalam
perang Salib, menghasilkan sikap antipati terhadap Islam. Pendekatan orientalis
menundukkan agama sebagai gejala sosial dan gejala psikologik. Analisis
antropologik para orientalis menampilkan konsep teori revolusioner, bahwa
kepercayaan agama tumbuh dari rasa takut kepada kekuatan ghaib kerasa
terlindungi oleh yang maha pemurah dan pengassih. Mereka menampilkan konsep
bahwa kepercayaan tumbuh dari dinamisme-dinamisme ke poloteisme menjadi
monoteisme. Studi Islam orientalis menggunakan pendekatan positivistik.
D. Historisisme Kritis
Akar dari historisisme kritis juga menggunakan pendekatan positivistik.
Historisisme kritis dalam pendekatan agama menggunakan arti sejarah yang
berbeda, yaitu mencari sebab atau asal-usul nabi Muhammad s.a.w. Telaahnya
banyak menggunakan psikonalisis. Dalam studi agma Islam, historisisme kritis
tampil dalam wujud menganalisis al-Qur’an dan juga rasulullah Muhammad s.a.w.
E. Studi Islam Phenomologik
Pendekatan Phenomologik dalam studi agama diketengahkan oleh Rudolf
Otto, Joachim Wach dan lain-lain. Studi Islam dengan pendekatan phenomologi ini
bisa disebut sebagai islomologi. Perintisnya adalah Goldziher dan Snouch
Hurgonje. Snouch menyarankan : (1) dalam bidang murni agama, pemeluk Islam
perlu menjamin kebebasan mutlaknya, (2) dalam bidang politik, kebebasan tersebut
dibatasi untuk kepentingan bersama, (3) dalam bidang hukum Islam, pemerintah
perlu menjauhi itervensi yang dipaksakan. Metodologi penelitian phenomologik
berbeda dengan metode penelitian positivistik. Metodologi penelitian positivistik
menekankan tentang pentingnya obyektivitas, ilmu perlu value free, perlu bebas
dari nilai apapun, kecuali obyektivitas; teknologi harus dikembangkan bebas dari
otoritas apapun, teknologi harus netral tidak memihak. Metodologi penelitia
phenomologik pada umumnya menolak pandangan demikian. Ilmu itu menurut
phenomologik harus value bound dan mempunyai hubungan dengan nilai.
Teknologi harus dilandaskan dan diorientasikan pada nilai-nilai kemanusiaan,
keadilan dan juga nilai efesiensi seta efektif.
F. Studi Islam Kontekstual

Ali Geno Berutu, Metodologi Penelitian Kualitatif Prof. Noeng Muhadjir | 12


Arti kontekstual setidaknya memiliki tiga arti, yaitu (1) kontekstual
diartikan sebagai upaya pemaknaan menanggapi masalah kini yang umumnya
mendesak. Sehingga arti kontekstual sama dengan kondisional, (2) pemaknaan
kontekstual berarti melihat keterkaitan masa lampau-kini-mendatang, (3)
pemaknaan kontekstual berarti mendudukkan keterkaitan antara yang sentral
dengan yang perifer. Bagi Mukti Ali, yang sentral adalah teks al-Qur’an dan yang
perifer adalah terapannya. Model yang dikembangkan oleh Mukti Ali disebutkan
ilmiah-cum-doktriner, pendekatan scientific-cum-suigeneris. Sedangkan metodenya
disebut metode sintetis yang dalam membahas masyarakat dan budayanya
digunakan metoda historik-sosiologik ditambah dengan metoda doktriner.
G. Studi Islam Multidisipliner dan Interdisipliner
1. Renaissance dan Agama di Eropa
Eropa pada zaman keemasan Islam dikuasai gereja. Titik kulminasi
kekuasaan gereja pada kehidupan negara dan masyarakat berwujud dilibatkannya
negara dan masyarakat untuk memerangi Islam yang dikenal dengan perang Salib
yang berlangsung sejak tahun 1096-1229 M. Eropa pada saat itu berada pada
kekisruhan kehidupan dan penderitaan karena perang Salib. Pada abad berikutnya,
yaitu pada abad ke-14 Eropa mulai bangkit dengan gerakan yang biasa disebut
renaissance (kelahiran kembali). Suatu gerakan untuk membangkitkan kembali
studi ilmu, seni dan sastra. Meniru Islam yang mencari ilmu ke Yunani, gerakan
Eropa mengadakan studi ke Yunani biasa disebut humanisme. Renaissance dan
humanisme berlangsung dari abad ke-14 samapai abad ke-16. Sosok renaissance
dan humanisme berkembang menjadi antagonistik terhadap gereja.
2. Zaman Keemasan Islam dan Ilmu
Penyebaran Islam dengan superioritas wahyu dengan didampingi budaya
arab jahiliyah memerlukan budaya yang lebih maju. Islam tidak harus memusuhi
teknologi, karena teknologi sebagai ilmu yang dikembangkan untuk kemanfaatan
tertentu lahir dari budaya Islam itu sendiri. Ilmu diorientasikan pada pengaturan
pemerintah, pembangunan masjid, pengaturan perdagangan, pendidikan dan
kesehatan bagi kemaslahatan umat manusia dan yang lainnya yang dilandaskan
kepada al-Qur’an dan al-Hadis, itulah teknologi Islam.
3. Kebangkitan Islam Abad ke-15 Hijriah
Pada perempat akhir abad ke-20 telah lahir pemikir-pemikir yang menolak
ilmu yang value free, menolak teknologi netral, dan menampilkan pemikiran bahwa
ilmu harus value bound, ilmu dan teknologi harus berorientasi pada nilai.
4. Studi Islam Multidisipliner/atau Interdisipliner
Studi Islam dibedakan menjadi dua, yaitu studi Islam teologik dan studi
Islam interdisipliner. Studi Islam teologik merupakan studi yang biasa kita kenal di
pondok pesantren tradisional, madrsah, lembaga pendidikan tinggi Islam tradisional,
menghasilkan ahli berpengetahuan agama Islam. Studi Islam interdisipliner (juga
multidisipliner) menghasilkan ahli hukum, ahli ekonomi, ahli pendidikan, ahli
tehnik, ahli fisika yang memiliki wawasan daar Islam. termasuk juga mampu
menampilkan konsep-konsep ekonomi yang islami, konsep hukum yang islami, juag
mengembangkan bioteknologi yang islami, sistem perbankan dan kedokteran yang
islami dan lain-lain.
5. Kebenaran dan “Kebenaran”

Ali Geno Berutu, Metodologi Penelitian Kualitatif Prof. Noeng Muhadjir | 13


Penganut positivisme ilmu pengetahuan hanya menganut satu kebenaran,
yaitu indriawi atau sensual yang teramati dan terukur, dapat diulang-buktikan oleh
siapapun, di luar itu tidk diakuinya sebagai kebenaran. Sedangkan Rasionalisme
mengakui tiga kebenaran, yaitu: (1) kebenaran empiri sensual, (2) kebenaran empiri
logik, dan (3) kebenaran empiri etik. Bagi rasionalisme, yang pertama memiliki
peringkat terndah dan yang ketiga tertinggi.
6. Stratifiikasi Kebenaran
Pendekatan phenomologik mengakui bahwa kebenaran itu ganda. Sebagai
pemikir Islam ada yang menampilkan pemikiran bahwa kebenaran itu ganda,
terapannya: kebenaran Allah lain dengan kebenaran manusia; urusan ibadah lain
dengan urusan politik dan budaya. Kosekuensi lanjut akan menumbuhkan
kontradiksi eksteren yang kontradiksi antara kebenaran akidah dengan kebenaran
ilmiah. Ada konsekuensi aksiologik, bahwa kebenaran nilai sebagai kriteria
kebenaran dapat berbeda-beda, dan bukan mustahil akan menjurus ke relativisme
dalam nilai.
7. Hukum Islam
Ilmu hukum Barat telah bergerak dan berkutat pada dua rumpun besar yaitu
pada rumpun kontinental yang menggarap ilmunya secara deduktif atas asas
keadilan sebagai sesuatu yang universal perlu ditegakkan, dan hukum kasuistik
Anglo-Saxon yang menggarap ilmunya secara induktif. Sedangkan Hukum Islam
bersumber pada nash, wahyu yang Maha Tahu dan Maha Bijak yang bukan
bersumber pada akal manusia. Hukum Islam berfungsi mengontrol masyarakat dan
bersumber pada wahyu, bukan produk legal penguasa. Tuntutan hukum bersadar
nash adalah tatanan hukum supranatural, mengatasi keterbatasan akal manusia,
mengatasi otoritas penguasa dan lebih jauh lagi mengatasi keterbatasan ruang dan
waktu.
8. Ijtihad Jama’i
Ijtihad secara teknis berarti berupaya menemukan hukum dari sumbernya
dan Nash adalah sumber ijtihad. Ijtihad jama’i dibedakan menjadi dua, yaitu ijtihad
jama’i multidisipliner dan ijtihad jama’i interdisipliner. Letak perbedaan dari
keduanya adalah kalau objek telaah itu termasuk dalam suatu disiplin ilmu, maka
telaah yang dibuat adalah telaah multidisiplin, dimana ahli-ahli diluar ijtihad
memberi urunan ijtihadnya tapi pada akhirnya bermuara pada satu disiplin ilmu.
Kalau objek garapan termasuk hal garapan bersama dari berbagai disiplin ilmuu,
maka urunan ijtihad dari beragam ahli akan bermuara pada objek garapan bersama
tersebut.
SUBBAGIAN II:
PENELITIAN KARYA SASTRA: DARI STRUKTUR SAMPAI
POSTSTRUTURALISME
Dalam cakupannya yang sangat luas sebenarnya mencakup
Geisteswissenchaften, telaah ilmu-ilmu kemanusiaan yang pada dasarnya
membahas dan mengembangkan persepsi manusia tentang mmanusia dalam konteks
kehidupannya, upaya perstrukturan diri dan lingkungannya serta upaya pemanfaatan
lingkungannya. Geisteswissenchaften mencakup studi ilmu sosial dan humaniora,
filsafat, hukum, sampai ke karya sastra sebagai lawan dari Naturwissennschaften.

Ali Geno Berutu, Metodologi Penelitian Kualitatif Prof. Noeng Muhadjir | 14


Geisteswissenchaften mengadakan telaah teks dilanjutkan dengan uji
empirik, sedangkan sebagian mengadakan telaah teks tentang persepsi, tentang
upaya perstrukturan, serta pemanfaatan lingkungan yang merupakan olahan
filosofik dan teoretik daripada olahan validasi empirik. Tentang studi hukum yang
merupakan satu disiplin Geisteswissenchaften telaahnya lebih berdasarkan kepada
dua rumpun besar, yaitu: civil law dan common law, dan dudukan metodologi yang
tepat dikaitan dengan empat pendekatan yang telah diuraikan pada bagian pertam
sampai ketiga.
Studi Bahasa dan Karya Sastra dalam konteks lingkungan sosial disebut
sosiolinguistik dan psycholinguistik disatu sisi. Studi bahasa dan karya sastra
memfokuskan pada teks, khususnya karya sastra disebut pendekatan obyektif,
dimulai dengan telaah strukturalisme otonom, dan dikembangkan oleh kaum
formalis Rusia dan kaum kritis baru di Amerika Serikat (Terence Hawkes, 1978).
Termasuk dalam studi ini adalah kajian Hermeneutik yang arti katanya
berasal dari Yunani “Hermeneuin” yang berarti “menafsirkan”. Hermeneutik
menggunakan pendekatan logika linguistik dalam membuat telaah atas karya sastra.
Logika linguistik membuat penjelasan dan pemahaman dengan menggunakan
“makna kata” dan selanjutnya “makna bahasa” sebagai bahan dasar.
Kajian lanjut dari karya sastra adalah studi pustaka atua studi teks. Studi
teks dalam makna studi pustaka setidaknya dapat dibedakan: (1) studi pustaka yang
memerlukan olaha uji kebermaknaan empiri dilapangan dan (2) studi pustaka yang
lebih memerlukan olahan filosafik dan olahan teoretik dari pada uji empirik. Studi
pustaka pertama mempunyai kegunaan untuk membangun konsep teoretik yang
pada waktunya memerlukan uji kebermaknaan empirik di lapangan. Studi pustaka
dalam makna kedua yaitu studi disiplin ilmu-ilmu kemanusiaan yang hampir
seluruh subtansinya memerlukan olahan filosofik atau teoretik dan terkait pada
nilai.
BAGIAN KELIMA:
METODOLOGI PENULISAN DISERTASI
Keragaman positivistik, rasionalistik dan phenomologik pertama-tama akan
nampak pada sistematika penulisan . Sedangkan model bangunan realsime
metaphisik contoh terapannnya baru sampai kecontoh bangunan kritiknya.
Eksistensi pada penelitian teks baru dapat dicontohkan bangunan heuristik dan
hermeunetik dalam membuat telaah tematik. Model multi-cased an multi-site dalam
penelitian phenomologik juga diiberikan contohnya.
Sistematika penulisan berangkat dari pergerakan grand theory dan grand
concepts. Sistematika teori akan dipilih menjadi dua, yaitu kerangka teori yang
mampu mendudukkan objek atau variabel yang diteliti dalam satuan konsep yang
lebih besar dan kerangka teori yang menelaah konsef spesifik obyek atau variabel
yang diteliti.
Metodologi penelitian disertasi yang ditulis oleh Prof. Noeng Muhajir ini
mencoba menjelaskan berbagai model penulisan disertasi dengan berbagai
pendekatan disertai dengan contohnya, seperti : pola pikir paradigma kuantitaif;
pola pikir postpositivistik rasionalisti; pola pikir postpositivistik phenomologi
interpretif; pola pikir postpositivistik teori kritis; penjelajahan postmodern.

Ali Geno Berutu, Metodologi Penelitian Kualitatif Prof. Noeng Muhadjir | 15


Buku Resensi:
Noeng Muhadjir, Metodologi Penelitian Kualitatif, edisi IV (Yogyakarta: Rake
Sarasin, 2000).

Ali Geno Berutu, Metodologi Penelitian Kualitatif Prof. Noeng Muhadjir | 16

View publication stats

Anda mungkin juga menyukai