Jelajahi eBook
Kategori
Jelajahi Buku audio
Kategori
Jelajahi Majalah
Kategori
Jelajahi Dokumen
Kategori
Dosen:
Prof. Dr. Ir. Hj. Yuyun Yuwariah, MS.
Dr. Ir. Hj. Anne Nuraini, M.P.
Muhamad Kadapi, S.P., M.Agr.Sc., Ph.D.
Anggota Kelompok 3:
Iis Nurmalasari 150510180020
Vina Khoerunnisa 150510180043
Risti Riana 150510180051
Iqnatus Michael Yegori 150510180145
Aziz Prasetyo Nugroho 150510180148
Zachra Aghnia Faza 150510180192
Vania Hanaka 150510180216
2020
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Mahakuasa karena telah memberikan kesempatan
pada penulis untuk menyelesaikan makalah ini. Atas rahmat dan hidayah-Nya lah kami dapat
menyelesaikan makalah tepat waktu.
Penulis mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada Bapak/Ibu selaku dosen
mata kuliah Sistem Pertanian Berkelanjutan. Tugas yang telah diberikan ini dapat menambah
pengetahuan dan wawasan terkait bidang pertanian. Kami juga mengucapkan terima kasih
pada semua pihak yang telah membantu proses penyusunan makalah ini.
Penulis menyadari makalah ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu, kritik
dan saran yang membangun akan penulis terima demi kesempurnaan makalah ini.
Penulis
I
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR…………………………………………………………. I
DAFTAR ISI…………………………………………………………………… II
RESUME MODUL V………………………………………………………….. 1
STUDI KASUS…………………………………………………………………. 14
DAFTAR PUSTAKA…………………………………………………………... 19
II
RESUME MODUL V
PENGEMBANGAN TEKNOLOGI OLEH PETANI
1.
1.2 Sistem Pertanian, Praktek, dan Pengetahuan Lokal Setempat: Beberapa Contoh
Contoh-contoh praktek lokal setempat berikut ini mengambarkan bagaimana petani di daerah
tropis telah belajar dengan baik untuk memanipulasi dan mengambil manfaat sumber daya
dan proses alami setempat, dengan menerapkan prinsip-prinsip agroekoteknologi tanpa
mengetahui bahwa prinsip agroekologi itu sebenarnya ada.
a. Kebun hutan
Ternak merupakan komponen penting dalam sistem hutan ini – khususnya unggas, namun
juga kambing, baik yang digembala lepas maupun yang dikandangkan dan diberi makanan
yang dikumpulkan dari vegetasi sekitar, ternak-ternak ini memiliki peranan penting dalam
daur ulang unsur hara. Proses alami daur dari air dan bahan organik tetap dipertahankan;
daun-daun dan ranting-ranting yang berguguran dibiarkan membusuk hingga tetap menjaga
lapisan atas tanah dengan seresah dan humus sebagai tempat daur ulang unsur hara.
b. Ladang berpindah
Ladang berpindah mencakup suatu pergiliran antara tanaman musiman dan masa bera
panjang dengan hutan. Praktek-praktek ladang berpindah di seluruh dunia sangatlah beragam
namun pada dasarnya ada dua sistem sebagai berikut.
Sistem parsial, yang berkembang khususnya di mana kepentingan ekonomi
produsen tinggi, misalnya dalam bentuk pertanian dengan tanaman dagang,
transmigrasi maupun penempatan lahan secara liar.
Sistem integral, yang berasal dari cara hidup yang lebih tradisional yang
menjamin keberlangsungan sepanjang tahun.
c. Penggembalaan berpindah
Ternak digembalakan pada daerah dengan perbedaan musim yang besar, khususnya
perbedaan curah hujan dan suhu, maka bentuk pengelolaan yang rasional dengan input luar
rendah adalah dengan memindahkan ternak pada pergantian musim. Kawasan ternak ini
menjadi sumber pupuk yang penting bagi lahan-lahan pertanian.
2.
d. Pertanian terpadu akuakultur
Petani telah mentransformasikan sawah menjadi kolam-kolam yang yang dipisah oleh
guludan yang bisa ditanami. Sebelum diisi dengan air sungai atau air hujan, kolam disiapkan
terlebih dahulu untuk membesarkan ikan dengan membersihkan, menyehatkan, dan
memupuk dengan input setempat berupa kapur, batang biji teh dan pupuk kandang. Ikan-ikan
yang dibesarkan di kolam itu terdiri dari berbagai macam jenis, seperti ikan gurame, yang
bisa untuk konsumsi rumah tangga ataupun untuk dijual. Murbai ditanam pada pematang dan
dipupuk dengan lumpur kolam dan disirami dengan air kolam yang kaya unsur hara.
e. Praktek pengelolaan kesuburan tanah
Petani lokal setempat telah mengembangkan berbagai teknik untuk memperbaiki atau
mempertahankan kesuburan tanah. Di Sinegal, sistem agrosilvopastoral lokal setempat
mendapatkan manfaat ganda dari pohon akasia (Faidherbia albida). Pohon ini menggugurkan
daunnya pada awal musim hujan sehingga memungkinkan cukup cahaya masuk untuk
pertumbuhan cantel dan meski juga cukup naungan untuk mengurangi efek panas yang
menyengat. Di musim kemarau, akarnya yang panjang menyerap unsur hara yang tidak
mungkin dijangkau tanaman lain; unsur hara ini disimpan dalam buah dan daun. Pohon ini
juga mengikat nitrogen dari udara sehingga menyuburkan tanah dan meningkatkan hasil
panen tanaman. Di musim hujan, daun-daun yang berguguran membentuk mulsa yang
memperkaya lapisan tanah bagian atas, juga menjadi pakan ternak yang bergizi.
f. Praktek pengendalian hama
Dalam sistem tradisional yang tak terhitung banyaknya, tempat hidup dan tempat berlindung
musuh alami hama tanaman dipertahankan melalui pelestarian bagian lingkungan alami.
Pohon-pohon besar dan bedengan tinggi dengan semak-semak secara tradisional dibiarkan
tumbuh di sekitar hamparan sawah dan tempat perontokan padi sebagai tempat sarang dan
istirahat burung. Burung-burung ini oleh petani setempat dianggap sebagai pengendalian
utama terhadap serangga hama. Ketika burung mencoba untuk hinggap, makanan di atas
potongan batang pisang itu akan jatuh. Burung akan mengejar makan yang jatuh, kemudian
akan melihat ulat-ulat pada padi dan memakannya.
3.
g. Praktek penyiangan
Petani memahami bahwa jika gulma dibiarkan tumbuh maka akan menutupi tanah yang akan
mencegah panas dari terik matahari atau kekeringan yang hebat. Keadaan ini menimbulkan
persaingan positif yang akan merangsang pertumbuhan tanaman dan mengurangi erosi
selama hujan turun. Setelah beberapa waktu, ketika petani menganggap persaingan gulma itu
mulai berdampak negatif bagi pertumbuhan tanaman, mereka mencangkul permukaan tanah
secara dangkal. Mereka membiarkan gulma itu di atas permukaan tanah sebagai mulsa
pelindung, untuk mendaur ulang unsur hara dan untuk memungkinkan asimilasi nitrogen
melalui penguraian tumbuhan oleh bakteri.
h. Pengelolaan sumber daya genetic
Pertanian tradisional bercirikan besarnya keanekaragaman sumber daya genetik. Banyak
sekali petani LEIA yang ahli dalam mengelola keanekaragaman ini untuk menjamin sistem
pertanian berkelanjutan. Bukan hanya varietas tanaman lokal, namun juga banyak jenis
keturunan ternak lokal yang telah membuktikan keahlian peternak tradisional dalam
mengelola sumber daya genetik. Keturunan lokal sebagian merupakan hasil dari seleksi
alami, namun juga dari seleksi khusus untuk mendapatkan sifat-sifat tertentu, terutama untuk
jenis hewan yang bisa bertahan hidup dan memberikan hasil dalam kondisi LEIA.
i. Praktek pengelolaan iklim mikro
Iklim setempat memainkan peran yang dominan dalam hidup dan nasib petani di manapun
juga. Petani di daerah tropis telah mengembangkan beberapa cara untuk mempengaruhi iklim
mikro untuk memperbaiki kondisi di mana tanaman dan hewan bisa hidup. Petani
mempengaruhi iklim mikro dengan mempertahankan dan menanam pohon yang akan
mengurangi suhu, kecepatan angin, penguapan, dan pemaparan terhadap sengatan matahari
langsung.
j. Klasifikasi setempat atas pemanfaatan tanah dan lahan
Hampir sebagian besar petani lokal setempat dapat dengan cepat mengidentifikasi jenis dan
sifat-sifat utama tanah menurut ciri-ciri, seperti warna dan tekstur. Penilaian petani tentang
sifat-sifat tanah seringkali melampaui kesuburan dan mencakup suatu penilaian terhadap bisa
tidaknya dikerjakan dan respon terhadap perubahan. Juga faktor ekonomis dan geologis,
seperti jarak dengan desa, kemiringan, kemampuan untuk menahan air, keberadaan batu-
batuan dan air irigasi, bisa dijadikan bahan pertimbangan.
4.
Padi gogorancah ditanam di NTB dan Lombok. Petani lahan kering seperti di NTB
dan Lombok dapat menentukan waktu tanam padi gogo pada awal musim hujan untuk
menghindari kekurangan air pada masa reproduktif. Petani mengandalkan indra penciuman
dan indra peraba untuk mengetahui lengas tanah. Awal musim hujan untuk waktu penanaman
ditandai dengan ketika hujan pertama turun, tanah masih bau lemah wangi. Ketika terlalu
basah (lemah anyep) perkecambahan tidak berhasil.
Pengairan padi gogo yang dilakukan oleh petani NTB dan NTT adalah dengan
menggunaka cekungan pada hamparan tanah untuk dibuat penampung air hujan, dan air
limpasan permukaan (run-off water). Pada akhir musim hujan, air embung dapat digunakan
untuk mengairi tanaman palawija dan sayur- sayuran pada musim kemarau.
Padi gogo dalam budidayanya memiliki banyak kendala sehingga tingkat
keberlanjutannya paling rendah. Peningkatan keberlanjutan padi gogo dengan cara
Pemupukan, mengintroduksikan beberapa pola tanam dengan sistem tumpangsari ataupun
rotasi tanaman, dan pengembangan agropasteural dengan mengintroduksi ternak ruminasia
kecil. Tumpangsari dan rotasi tanaman berfungsi sebagai peningkatan hasil produk yang
dapat dihasilkan di satu lahan. Pola tanam yang diintroduksikan berupa tumpangsari karena
hasil produk yang dihasilkan di satu lahan dalam satu waktu lebih tinggi dibandingkan padi
gogo dengan tumpang gilir (relay cropping).
Padi Pasang Surut
Tabat Batang Pisang
Padi pasang surut memiliki keberlanjutan yang rendah karena lahan gambut memiliki lapisan
pirit yang masam. Lapisan pirit harus dalam keadaan reduktif atau tergenang air untuk
ditanami. Petani membuat bendungan pada saluran air kecil (cacing) dengan batang pisang
untuk menahan air agar sawah selalu tergenang, dan lapisan pirit bisa dinetralkan. Saluran
dengan tabat pisang menetralkan pH menjadi 4-5 dengan hasil padi mencapai 4-5 t/ha.
10.
Lintas Ekosistem
Pemupukan Baluma
Petani Minangkabau memiliki praktek pemupukan baluma (dilumuri). Proses pemupukan
baluma dengan mencelupkan akar bibit padi yang sudah dicuci, dicelupkan ke pupuk
tradisional (kotoran ternak, abu dapur, dan abu sekam) dicampur, kemudian diaduk lagi
dengan lumpur. Unsur hara yang dicairan akan melekat ke bibit karena lumpur, sehingga
merangsang pertumbuhan tanaman.
11.
Misalnya, dalam satu desa petani membandingkan petak-petak dengan tanaman baru
berdasarkan apakah gandum ini ditaburkan atau ditanam menurut baris, sedangkan alasan
pokok untuk perbedaan pertumbuhan tanaman adalah jumlah air irigasi yang berlebihan.
Rancangan uji coba yang lemah
Petani yang melakukan uji coba kadangkala tidak merancang unit-unit yang sebanding.
Ketika mereka mencoba suatu teknik baru, dasar perbandingnnya adalah apa yang mereka
kerjakan pada musim yang lalu atau apa yang ada di lahan sebelah, mungkin pada jenis tanah
yang berbeda atau sistem pengelolaan yang akan mengakibatkan kesimpulan yang keliru.
Connell (1990) menyimpulkan bahwa hasil pengembangan teknologi oleh petani tidak
terarah dan tidak menentu karena alasan-alasan tersebut di atas. Faktor pembatas dalam
ujicoba petani juga karena:
Kurangnya informasi tentang pilihan-pilihan potensial dalam mencari teknologi yang
lebih baik;
Kurangnya pemahaman ilmial tentang proses-proses yang berperan berlangsung di
dalam uji coba mereka;
Terlalu banyak variable dalam uji coba mereka yang mengakibatkan interpretasi
hasilnya sangat sukar;
Tidak memadainya metode pengukuran untuk mencapai kesimpulan yang logis
tentang apa yang ingin mereka teliti atau uji; isolasi ujicoba petani dari uji coba petani
lain, yang berarti bahwa mereka tidak bisa saling memanfaatkan gagasan, penemuan,
dan interpretasi.
Tantangan-tantangan pengembangan yang dihadapi dunia saat ini memerlukan dukungan kita
dalam mengembangkan kemampuan ini dengan cara seefektif mungkin. Caranya adalah
dengan membantu petani dalam memanfaatkan secara lebih pengetahuan mereka tentang
lingkungan dan masalah-masalah, serta peluang-peluangnya kemudian juga memperkuat
kemampuan uji coba dan kreatifitas mereka untuk mengembangkan solusi dan secara efektif
menggabungkannya dengan ilmuwan pertanian.
13.
STUDI KASUS
“Kearifan Lokal Masyarakat Suku Baduy dalam Mengendalikan Hama dan Penyakit
Padi”
PENDAHULUAN
Suku Baduy yang berada di wilayah Desa Kanekes Kecamatan Leuwi Damar Kabupaten
Lebak Provinsi Banten sangat memegang teguh adat istiadat (pikukuh) yang diturunkan oleh
para leluhurnya. Inti ajaran dari pikukuh tersebut adalah”tanpa perubahan apapun” (Permana,
2009). Kehidupan berjalan atas dasar pemberian alam yang dimanfaatkan sebatas kebutuhan
saja. Demikian halnya dalam memenuhi kebutuhan pangan, masyarakat Baduy bercocok
tanam padi di huma atau ladang yang tidak terlepas dari aturan kapan untuk menanam, tata
cara penanaman, dan tata cara pengendalian hama dan penyakit atau sering disebut
”ngubaran pare” atau ”mengobati padi” menggunakan berbagai racikan bahan tumbuhan
yang diaplikasikan pada fase-fase tertentu tanaman (samara pungpuhunan). Konsep yang
diterapkan masyarakat Baduy merupakan pengendalian alami yang mempertahankan
keberlanjutan ekosistem pertanian selalu pada dasar kesetimbangannya.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Bagi masyarakat Baduy, berladang atau ngahuma merupakan salah satu wujud ibadah dan
ritual yang suci berupa penghormatan bagi Nyi Pohaci Sanghyang Asri dalam agama mereka
yaitu Sunda Wiwitan (Senoaji, 2011). Waktu pelaksanaan tanam padi ditentukan oleh Puun
ditandai dengan berbagai ritual yang dipimpin oleh Puun Cikeusik. Beberapa tahapan dan
ritual yang dilakukan dalam bertanam padi yaitu:
1) Narawas yaitu mulai membuka lahan yang akan ditanami dengan ritual untuk menolak
bala.
2) Nyacar, yaitu membersihkan lahan dengan membabad semak belukar dilakukan pada
bulan kalima (Mei-Juni).
3) Ngahuru, yaitu membakar rumput dan sisa tumbuhan lainnya dilakukan pada bulan
kaanem (Juni-Juli) kemudian lahan disasap yaitu dibersihkan dengan parang terhadap
rumput-rumput yang kecil dan dibiarkan satu minggu sampai sisa rumput tersebut membusuk
dan bisa digunakan sebagai pupuk.
14.
4) Menanam pungpuhunan yaitu berbagai macam tumbuhan sebagai penolak bala dan
diantaranya dapat berfungsi sebagai pestisida nabati untuk mengendalikan hama dan
penyakit. Tumbuhan tersebut diantaranya adalah kiwura, sereh, jawer kotok, hanjuang,
seueul, bingbin, bangban, koneng, panglay, pacing, bambu tamiang.
5) Ngaseuk, yaitu menanam padi dilakukan pada bulan katujuh (Juli-Agustus) dengan cara
ditugal dengan jarak antar lubang sekitar 1 telapak kaki. Setiap lubang berisi 5-7 butir benih
dan dibiarkan tanpa ditutup oleh tanah.
6) Ngubaran pare atau mengobati padi, yaitu aktivitas dalam memelihara tanaman terhadap
gangguan hama dan penyakit dilakukan pada berbagai fase tanaman.
7) Ngored, yaitu membersihkan gulma dilakukan saat tanaman padi berumur 3 bulan.
8) Ngetem, yaitu panen dengan menuai padi menggunakan ani-ani. Gabah yang masih
melekat pada tangkai malai kemudian diikat masing-masing sebesar lingkaran ibu jari dan
telunjuk disebut pocongan atau ranggeong. Selanjutnya malai tersebut dijemur dan siap untuk
disimpan di lumbung atau leuit.
9) Ritual penyimpanan padi di lumbung disebut kawalu yaitu membawa beberapa ranggeong
hasil padi yang ditanam sebagai syarat untuk didoakan oleh Puun selanjutnya dimasak dan
dimakan bersama oleh masyarakat Baduy. Kawalu berlangsung selama 3 bulan dan pada
masa tersebut, Baduy terlarang untuk dikunjungi oleh masyarakat luar.
Pengendalian Hama dan Penyakit Padi
Kegiatan bercocok tanam tidak lepas dari hadirnya hama dan penyakit tanaman. Begitu juga
dengan bercocok tanam komoditas padi. Masyarakat Baduy melakukan aktivitas ngubaran
pare (mengobati padi) menggunakan berbagai macan racikan bahan tumbuhan yang diyakini
dapat mengusir hama dan penyakit tanaman pada padi. Racikan tanaman tersebut dinamakan
samara pungpuhunan yang berfungsi sebagai pestisida nabati. Penggunaan samara
pungpuhunan juga dapat dibarengi dengan pengaturan waktu tanam dan penanaman
polikultur berupa tumpangsari dengan tanaman lain dan penanaman padi secara mix variety.
Pengaturan waktu dan pola tanam
Waktu tanam dilakukan secara serempak ditandai dengan ritual nukuh yaitu penanaman
pertama oleh Puun kemudian dilakukan secara serempak oleh masyarakat Baduy. Penanaman
padi tidak melebihi bulan kadalapan (Agustus-September) karena diyakini HPT mulai
berdatangan pada waktu itu. Lalu penanaman padi dalam satu areal dilakukan selama 5 tahun
dan selanjutnya dibiarkan bera selama 2-3 tahun.
15.
Ketentuan bertanam seperti ini akan memutus siklus hidup hama sehingga belum pernah
dilaporkan adanya ledakan serangan HPT di wilayah tersebut. Kemudian pada satu areal
pertanaman disekitarnya ditanami pula tanaman pisang, terung, cabai dan tanaman lainnya.
Kondisi tersebut disebut pola tanam polikultur dimana terdapat keragaman hayati yang
beragam. Keragaman yang tinggi dapat meningkatkan kestabilan dalam suatu ekosistem.
Pengaturan jenis padi yang ditanam
Masyarakat Baduy memiliki aturan bertanam padi, yaitu setiap kepala rumah tangga
berkewajiban menanam 5 jenis padi dalam satu areal pertanaman yang digarapnya. Dari 5
jenis padi yang ditanam terdapat 3 jenis yang wajib ditanam yaitu Pare Koneng, Pare Siang
Beureum dan Ketan Langgarsari. Adapun 2 jenis padi yang dibebaskan menanam jenis padi
yang mereka sukai. Tercatat di wilayah tersebut terdapat 89 jenis padi lokal terdiri dari
berbagai jenis padi beras putih, merah dan hitam; padi ketan putih dan hitam, padi dengan
ukuran gabah yang kecil (pare sabeulah); padi yang berumur kurang dari 6 bulan (pare
hawara) (Iskandar dan Ellen,
1999).
Tata letak penanaman 5 jenis
padi telah ditentukan oleh
aturan pikukuh, seperti
penanaman Pare Ketan tidak
boleh berhadapan dengan
Pare Siang Beureum dan Pare
Koneng, kemudian Pare Ketan
harus selalu ditanam di sebelah
barat (Senoaji, 2011).
Gambar ilustrasi tata letak penanaman padi oleh masyarakat Baduy (Iskandar dan
Ellen, 1999).
16.
Pada gambar menunjukkan bahwa penanaman padi yang wajib ditanam yaitu Pare Koneng,
Pare Siang dan Ketan Langgasari tidak saling berhimpitan/berhadapan, dikarenakan untuk
menjaga kemurnian dari padi tersebut. Ketiga padi tersebut diwajibkan untuk ditanamn untuk
digunakan pada upacara keagamaan.
Penanaman dengan jenis padi yang beragam (mix variety) akan meningkatkan keragaman
genetik pada pola tanam monokultur. Semakin tinggi keragaman hayati dalam suatu
ekosistem, maka akan semakin stabil ekosistem tersebut (Untung, 1993).
Samara pungpuhunan
Dalam aktivitas ngubaran pare, samara pungpuhunan diberikan pada beberapa fase tanaman
padi dengan beragam bahan tumbuhan yang digunakan. Samara pungpuhunan sebelum
diaplikasikan pada tanaman padi, terlebih dahulu dibacakan doa/mantra melalui upacara adat
mantun. Pada upacara mantun tersebut dibacakan kisah perjalanan hidup orang Baduy dan
dongeng tentang Nyi Pohaci Sanghyang Asri atau Dewi Padi (Senoaji, 2011).Aplikasi
samara pungpuhunan dilakukan dalam beberapa fase, yaitu fase awal pertumbuhan (40
HST), fase anakan maksimum dan menjelang padi bunting (sekitar 60 HST), saat berbunga,
dan saat pemasakan.
1. Fase awal pertumbuhan, samara pungpuhunan yang digunakan terdiri dari 7 jenis
tumbuhan yang berfungsi untuk mengusir hama seperti penggerek padi, hama ulat,
wereng dan hama lainnya. Racikan ini diaplikasikan pada padi berumur 40 HST.
Ketujuh jenis tumbuhan tersebut terdiri dari: Bangban, Barahulu, Kihura, Hanjuang,
Bangle/Panglay, Pacing Tawa dan Bingbin.
2. Fase anakan maksimum menuju padi bunting, samara pungpuhunan digunakan
pada padi yang berumur 60 HST, racikannya terdiri dari daun mengkudu, umbi laja
(laos) dan buah jeruk bali.
3. Ngubaran pare saat padi bunting, menggunakan air kelapa yang disemburkan ke
tanaman padi. Air kelapa hijau banyak digunakan untuk bahan pembuatan pestisida
nabati untuk mengendalikan berbagai macam hama ulat pada tanaman padi maupun
sayuran.
17.
4. Pengendalian walang sangit (Leptoorisa ooratorius F.) dengan cara pengasapan yaitu
membakar daun walang (Achasma walang) di sore hari saat padi mulai keluar malai
hingga bulir padi/gabah mulai mengeras (fase pemasakan). Daun walang memiliki
bau seperti bau walang sangit jika daunnya diremas-remas. Rimpang dan batangnya
mengandung minyak astiri yaitu aldehida (Van Romburgh, 1938). Upaya
pengendalian hama lainnya adalah upaya mendatangkan musuh alami dari kelompok
parasitoid dengan membakar gula merah di lahan sawah. Parasitoid dari sejenis lebah
akan tertarik untuk datang ke lahan sawah dan sekaligus mencari musuh alaminya.
5. Aktivitas pengendalian hama dan penyakit terus berlanjut hingga pada penyimpanan
gabah di lumbung padi (leuit). Hasil padi setelah panen dijemur dan disimpan berupa
gabah yang masih melekat pada tangkai malainya kemudian diikat. Sebelum gabah
disimpan, leuit dialasi dengan daun Teureup, Kukuyaan dan Pacing Asri. Tanaman-
tanaman tersebut berfungsi sebagai pengusir hama gudang.
KESIMPULAN
Penggunaan Samara Pungpuhunan, pengaturan waktu dan pola tanam dan penanaman
beragam jenis padi dalam satu wilayah pengelolaan lahan merupakan upaya Suku
Baduy dalam mengendalikan hama dan penyakit padi. Kearifan budaya tersebut
merupakan wujud nyata dalam memelihara kelestarian lingkungan khususnya
pertanian. Hal ini memberikan peluang yang besar bagi para peneliti berbagai bidang
untuk mengkaji lebih jauh manfaat dari bahan-bahan tumbuhan tersebut sebagai
sumber genetik dalam pengembangan teknologi pertanian yang ramah lingkungan.
18.
DAFTAR PUSTAKA