Anda di halaman 1dari 3

Menggagas Pajak Emisi Kendaraan Bermotor

Oleh Joko Tri Haryanto, pegawai Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan RI*

Tahun 2009, Presiden SBY menyampaikan komitmen menurunkan emisi Gas Rumah Kaca (GRK)
hingga 26% dengan pendanaan domestik serta 41% jika mendapatkan bantuan pendanaan
internasional hingga tahun 2020. Komitmen tersebut kemudian diregulasikan dalam Peraturan
Presiden (Perpres) Nomor 61 Tahun 2011 tentang Rencana Aksi Nasional dan Daerah (RAN/RAD)
Penurunan Emisi GRK. Selain kewajiban pendanaan, regulasi tersebut juga menyebutkan sektor-
sektor utama penyumbang emisi di Indonesia yaitu kehutanan dan lahan gambut, energi,
transportasi, industri serta limbah. Di awal tahun 2015, target tersebut kemudian direvisi menjadi 29%
dan 41% dengan horison waktu 2030.

Komitmen penurunan emisi GRK secara nasional tersebut sekiranya menjadi sangat relevan jika
dikaitkan dengan kondisi sektor transportasi saat ini. Berbagai laporan dan review lembaga
menempatkan Jakarta sebagai salah satu kota dengan tingkat kemacetan terparah di dunia. Survei
yang dilakukan Castrol misalnya, menyebutkan bahwa Jakarta menjadi kota termacet di dunia
dengan fekuensi 33.240 kali mengerem dalam setahun, mengalahkan Istanbul, Meksiko City, St.
Petersburg, Moskow, Roma, Bangkok, Guadalajara serta Buenos Aires. Ironisnya, Kota Surabaya
juga tercatat sebagai kota termacet ke-4 di dunia dengan frekuensi mengerem 29.880 kali dalam
setahun.

Tak salah jika Pemda DKI Jakarta kemudian melakukan banyak terobosan dalam upaya
memecahkan penyakit kemacetan total di ibu kota ini. Selain pembangunan Mass Rapid
Transportation (MRT), dalam waktu yang bersamaan dilakukan perluasan elevated way untuk
TransJakarta, pembangunan Jalan Layang Non-Tol (JLNT) dan Light Rail Transit (LRT). Keseluruhan
upaya tersebut juga dibarengi dengan berbagai kebijakan dari sisi manajemen transportasi dan
pengenaan fiskal perpajakan daerah misalnya kebijakan plat nomor kendaraan bermotor ganjil
genap, Electronic Road Pricing (ERP) dan progresivitas untuk pengenaan pajak transportasi (Pajak
Kendaraan Bermotor, Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor).

Konsep pajak emisi kendaraan

Sayangnya hingga kini, industri otomotif masih menjadi salah satu penyumbang PDB terbesar di
Indonesia. Karenanya arah kebijakan pemerintah masih memberikan peluang untuk peningkatan
produksi kendaraan bermotor. Namun demikian, tanpa perlu mempertentangkan kebijakan tersebut,
peningkatan produksi kendaraan bermotor kedepannya wajib menjadikan indikator emisi sebagai
salah satu dasar pertimbangan utama. Dengan demikian, kualitas lingkungan dan udara masih dapat
dijaga bersamaan dengan upaya mengurangi tingkat kemacetan.

Peningkatan produksi kendaraan bermotor yang semakin concern dengan isu emisi lingkungan
menjadi urgent ketika pemerintah juga memberikan berbagai insentif kemudahan khususnya dari sisi
perpajakan. Pengembangan program Low Cost Green Car (LCGC) misalnya, pemerintah telah
memberikan banyak insentif pembebasan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah (PPnBM) yang
sangat signifikan. Berikutnya, pemerintah juga berencana untuk memberikan kebijakan yang sama
dalam pengembangan kebijakan produksi kendaraan bermotor rendah emisi/ Low Emission Carbon
(LEC) dengan menggunakan acuan konsumsi BBM.

Semakin irit konsumsi BBM-nya maka diskon PPnBM nya juga semakin besar. Kendaraan bermotor
dengan konsumsi BBM 1 liter untuk 18 – 20 km akan mendapatkan potongan sebesar 25% dari tarif
yang berlaku. Sementara konsumsi 1 liter untuk kendaraan hingga di atas 28 km, akan mendapatkan
diskon hingga 50% dari tarif berlaku. Kewajiban lainnya tentu terkait dengan produksi domestik serta
penggunaan komponen dalam negeri (TKDN).

Penulis sendiri mengingatkan pentingnya mekanisme insentif dan dis-insentif. Insentif sudah diobral
dalam bentuk diskon tarif PPnBM, maka perlu disusun skema dis-insentifnya. Di sinilah muncul
potensi pengenaan pajak emisi kendaran bermotor. Hingga saat ini, sebetulnya pemerintah sudah
menerapkan standar pengaturan emisi sebagai prasyarat di dalam perpanjangan Pajak Kendaraan
Bermotor (PKB) setiap tahunnya. Bahkan persyaratan mengenai emisi sudah menjadi aturan
tersendiri dalam Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2012 tentang Kendaraan. Dalam Pasal 64
paragraf 1 dikatakan bahwa emisi gas buang menjadi persyaratan laik jalan kendaraan bermotor.

Pasal 65 juga menyebutkan bahwa emisi kendaraan bermotor harus diukur berdasarkan kandungan
polutan yang dikeluarkan kendaraan bermotor serta wajib tidak melebihi ambang batas yang
ditetapkan. Penetapan ambang batas tersebut diselenggarakan oleh Menteri yang
menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang lingkungan hidup.

Berdasarkan besarnya dampak yang ditimbulkan, penulis menyarankan untuk mengkaji lebih dalam
kemungkinan pengenaan pajak emisi kendaraan bermotor berbarengan dengan pengenaan Pajak
Kendaraan Bermotor (PKB). Dengan pengenaan pajak emisi nantinya tidak akan menghilangkan
kewajiban pembayaran berbagai jenis PKB lainnya, namun ada sedikit penyesuaian di dalam sistem
pemungutannya. Untuk kendaraan bermotor yang melebihi ambang batas emisi, akan dikenakan tarif
pajak progresif, sebaliknya untuk kendaraan bermotor yang mampu mengelola emisi di bawah
ambang batas, akan memperoleh keringanan tarif pajak.

Pajak emisi tersebut nantinya akan dikenakan oleh Pemda dan dikelola oleh Provinsi, berbarengan
dengan pengenaan PKB di dalam STNK pemilik kendaraan bermotor. Pajak emisi kendaraan
bermotor juga wajib di-ear marking kepada pembangunan infrastruktur jalan, pemeliharaan jalan,
infrastruktur transportasi umum, pengembangan bahan bakar alternatif, pengujian emisi serta upaya
perbaikan kualitas udara yang tercemar. Pemda yang tidak menaati aturan penggunaan dapat
dikenakan sanksi dan hukuman misalnya tidak mendapatkan alokasi dana untuk periode selanjutnya.

Terkait ide tersebut, Indonesia dapat mencontoh Australia yang sudah terlebih dahulu menerapkan
mekanisme pajak emisi gas buang. Meskipun awalnya menuai banyak protes khususnya dari para
oposisi dan industriawan, pajak itu akan dikenakan pada polusi yang dihasilkan oleh korporasi.
Sekitar 350 perusahaan ‘produsen’ polusi utama harus membayar sebesar 23 dolar Australia atau
setara Rp220 ribu untuk setiap ton karbon yang mereka hasilkan. Sebagai gambaran, Australia
sendiri merupakan salah satu negara produsen polusi per kapita terparah di dunia.

Dengan skema tersebut, Pemerintah Australia berharap tahun 2020, polusi karbon Australia
setidaknya akan berkurang 159 juta ton/tahun dibandingkan dengan jika skema tidak diterapkan.
Pengurangan polusi ini sama dengan melenyapkan sekitar 45 juta mobil dari jalanan. Rencananya,
setelah 3 tahun berjalan, akan ada transisi dari pajak karbon ke skema perdagangan emisi berbasis
pasar.

Demi tujuan perbaikan bersama Jakarta yang kita cintai, rumusan di atas tentu bukan hal mutlak
yang tidak dapat diperdebatkan. Justru berbagai masukan yang konstruktif sangat dibutuhkan.
Namun semuanya harus bermuara pada satu tujuan bersama menciptakan transportasi Jakarta yang
bersahabat dan bermartabat.

*)Tulisan ini adalah pendapat pribadi dan tidak mencerminkan kebijakan institusi di mana penulis
bekerja

Anda mungkin juga menyukai