PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Dalam kajian kitab ilmu kalam, kita akan menemukan bahwa tema terakhir
akan dikaji masalah imama atau kepemimpinan. Sebagaimana telah dibincangkan
sebelumnya bahwa Syiah menganggap persoalan kepemimpinan ini, bagian dari
persoalan keagamaan. Mereka memasukkan kepemimpinan dalam bahasan ilmu
kalam.
Syiah menganggap bahwa pemimpin negara yang mengatur urusan agama dan
dunia, ditentukan Allah dengan mengutus rasul-Nya. Setelah itu, Rasulullah saw akan
memberikan wasiat kepada orang yang kelak akan menggantikan posisi beliau.
Jika Syiah memasukkan pembahasan imamah dalam ilmu kalam karena
terkait dengan urusan akidah, namun mengapa Ahlu Sunnah, Khawaruij, Ibadhi dan
berbagai kelompok Islam juga memasukkan pembahasan kepemimpinan dalam ilmu
kalam? Bukankah bagi kelompok selain Syiah, kepemimpinan merupakan urusan
fikih dan bukan akidah? Benar, bahwa kelompok lain memang memandang urusan
kepemimpinan bagian dari fikih dan bukan akidah. Namun kelompok lain tersebut
ingin menanggapi pemikiran kepemimpinan Syiah dalam ilmu kalam. Mau tidak
mau, kelompok lain tadi mengkajinya dari ilmu kalam.
Jadi, kajian kepemimpinan dalam ilmu kalam, karena mereka berkeyakinan
persoalan kepemimpinan bagian dari urusan akidah, namun lebih karena kondisi dan
“keterpaksaan” yang menuntut mereka untuk mengkajinya di ilmu kalam. Karena
Syiah mengkajinya dalam bagian ilmu kalam, maka golongan lain pun ketika
menanggapi masuk dalam ranah kalam.
B. RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan latarbelakang masalah tersebut diatas,rumusan masalah dalam
makalah ini adalah :
1. Bagaimana kajian kepemimpinan dalam teologi islam ?
2.
1
C. TUJUAN
2
BAB II
PEMBAHASAN
3
seorang beragama atau mempunyai pertalian tertentu dengan suatu agama.
Teologi bisa bercorak agama (revealed theology) dan bisa juga tidak bercorak
agama (natural theology atau philosopical theology). Karena itu, ia mengartikan
teologi sebagai ilmu yang membicarakan tentang Tuhan dan pertaliannya dengan
manusia, baik berdasarkan kebenaran wahyu maupun berdasarkan penyelidikan
akal murni.
Adapun istilah kajian ini di dalam Islam sendiri disebut dengan ilmu
kalam. Kata kalam, secara etimologis, berarti pembicaraan. Kata itu terinspirasi dan
merupakan terjemahan dari kata dan istilah Hellenisme Yunani (manq) yang juga
berarti logika atau pembicaraan. Tetapi sebagai istilah, kalam tidak dimaksudkan
pembicaraan dalam pengertian kita sehari-hari, melainkan dalam pengertian
pembicaraan yang bernalar dengan menggunakan logika. Karena itu ciri utama
4
ilmu kalam adalah rasionalitas atau logika. Dengan demikian, ilmu kalam
adalah ilmu yang memperkuat akidah agama dengan berbagai argumen rasional.
Sebagai suatu ilmu, kalam merupakan hasil pemikiran para mutakallim³n, yaitu ahli
debat yang pintar memakai kata-kata. Perkembangan ilmu ini telah dimulai
semenjak abad kedua Hijriah dan bibit pertumbuhannya sudah ada sebelum itu.
Adapun penggunaan istilah kalam, yang makna harfiyahnya pembicaraan atau
kata-kata, dan yang paling menonjol dibicarakan adalah masalah ―kalam‖
sebagai salah satu sifat Tuhan atau sabda-Nya berupa al- Quran yang pernah
menimbulkan pertentang keras di kalangan umat Islam di abad kesembilan dan
kesepuluh Masehi, sehingga timbul penganiayaan dan pembunuhan terhadap
sesama muslim di waktu itu.
Nama lain dari ilmu kalam adalah Ilm Usul al- din, karena topic
pembahasannya mengenai pokok-pokok ajaran agama. Juga ia dinamakan ‗Ilm
alNa§r wa al- Istidlal (ilmu pembahasan dan penyimpulan rasional) dan juga
disebut Ilmu Tawhid, karena ia bertugas untuk mengukuhkan kemahaesaan Allah.
Bagi Abduh (1366 H: 7), ilmu Tawhid adalah ilmu yang membahas tentang wujud
Allah, sifat-sifat yang wajib dan boleh ditetapkan bagi-Nya, dan apa yang wajib
dinafikan dari-Nya, serta membahas juga tentang rasul-rasul, untuk membuktikan
kebenaran tugas kerasulan mereka, dan apa yang wajib ada pada mereka serta apa
yang boleh dinisbahkan kepada mereka. Adapun penggunaan istilah teologi Islam
dan ilmu kalam setidaknya didasarkan pada asumsi bahwa keduanya mengarahkan
pembahasannya pada segisegi mengenai Tuhan dan berbagai derivasinya. Hanya saja
jika digunakan istilah teologi sebagaimana dipahami dalam pengertian Teologi
Kristen, ilmu fiqh akan termasuk dalam pembahasan teologi. Tetapi dalam
Teologi Islam hanya membicarakan persoalan akidah, dasar-dasar agama,
sementara ilmu fiqh membicarakan persoalan furuiyah, yaitu yang bertalian dengan
perbuatan. Karena itu untuk menunjukkan ciri khasnya, ilmu kalam
diterjemahkan sebagai teologi dialektis atau teologi rasional.
5
2. PENGERTIAN KHILAFAH DAN IMAMAH
6
b. Al- Nubuwwah, yaitu percaya kepada kenabian Nabi Muhammad
c. Al- Ma‘ad, yaitu keimanan akan hari kebangkitan, percaya bahwa setiap
orang akan hidup dalam alam yang akan datang. Di sana perbuatan
manusia akan ditimbang dan diberi ganjaran sesuai dengan amalannya.
d. Al-Adl yaitu keimanan kepada keadilan Allah. Allah itu adil dalam
membimbing semua makhluk di atas bumi ini ke arah kesempurnaan dengan
caracara tertentu, sehingga segala sesuatu itu adalah baik pada tempatnya
masingmasing. Akal manusia dapat menjangkau keadilan Tuhan.
e. imam, yaitu percaya kepada imam.
Kata Syi’ah adalah akar kata dari syi’a atau syayya’a, tasyiya’a yang
berarti pihak, partai dan kelompok, dan telah dikenal sebelum datangnya ajaran
Islam dan kata ini juga tercantum dalam al- Quran, seperti dalam surat
Maryam ayat 69 dan al- Qa¡a¡ ayat 15. Namun kata ini dalam sejarah Islam
lebih tertuju kepada Syi’ah Ali, yaitu pengikut suatu aliran yang mencintai
keturunan Nabi Muhammad dan menaati pemimpin-pemimpin yang diangkat dari
keluarga dan keturunan Nabi (ahl al- bait). Pengertian pengikut yang memihak Ali,
menurut al- Nubakhti, telah dikenal semasa Nabi masih hidup.
7
Bagi kalangan ahl al- sunnah wa al- jama‘ah (al- Asy‘ariah) yang bertolak
belakang dengan kalangan Syi‘ah, persoalan imamah bukan termasuk keimanan dan
bukan pula salah satu dari beberapa kaidah yang dibangun oleh Islam. Bagi mereka,
ada dua pertimbangan yang berkaitan dengan persoalan ini.
Pertama, bahwa bangunan pertama yang terpenting dalam Islam adalah al-
syahadah yang menjadi dasar pertama seseorang menjadi muslim. Kedua, bahwa
Rasulullah SAW belum pernah mengingatkan persoalan imamah ini ketika ia
menyeru manusia ke dalam Islam. Ia hanya menyeru manusia kepada al-
syahadah saja, karena selama kehidupannya, Rasulullah merupakan pemimpin
kaum muslimin, sehingga pada masa itu belum tampak kebutuhan umat Islam
kepada imamah tersebut. Seandainya persoalan imamah merupakan dasar terpenting
dalam u¡-l al d³n, maka layaklah persoalan ini dijelaskan oleh al- Quran,
sebagaima ia menjelaskan persoalan al- farai« (warisan dalam Islam). Namun pada
hakekatnya, dalam pandangan mereka, imamah bukan persoalan penting (asyraf
al- masail).
8
yang kemudian dikenal dengan nama Syi’ah, (2) golongan yang keluar dari barisan
Ali yang dikenal dengan Khawarij, dan (3) golongan Mu’awiyah, yang kemudian
membentuk Dinasti Bani Umayyah dan membawa sistem kerajaan dalam Islam.
Suatu hal yang pasti dan jelas bahwa dalam sejarah pemikiran Islam
Klasik, persoalan khilafah dan imamah merupakan persoalan pertama yang timbul
setelah Nabi Muhammad SAW wafat, sehingga mengakibatkan umat Islam
berbeda pandangan menjadi dua golongan dan keyakinan. Pertama, menurut kaum
Anshar, yang berhak mengantikan kedudukan Nabi Muhammad SAW. Sebagai
pemimpin dunia, adalah dari kalangan mereka dengan mengangkat Sa‘d Ibn
Ubadah sebagai pemimpin. Kedua, menurut kaum Muhajirin bahwa yang berhak
mengantikan kedudukannya adalah dari kalangan mereka sendiri. Perbedaan
pandangan ini berakhir dengan kesepakatan untuk mengangkat Abu Bakar al Siddiq
sebagai khalifah.
9
hakekat Imam. Kedua, untuk apakah kebutuhan terhadapnya. Ketiga, sifat-sifat atau
syaratnya. Keempat, cara dan jalan menuju imamah, dan Kelima, penentuan Imam.
Dalam persoalan pertama, yakni hakekat imam, secara bahasa al- imam adalah
orang yang berada di depan (al- muqaddam), baik ia berhak untuk berada di depan,
maupun ia tidak mempunyai hak untuk itu. Adapun secara terminologi syariat, ia
merupakan sebuah nama bagi orang yang mempunyai kekuasaan terhadap umat
dan bekerja untuk kepentingan mereka dalam berbagai bentuk, yang tidak ada
kekuasaan seorangpun berada di atas kekuasaannya.
10
syariat yang dapat diketahui kebutuhan terhadapnya melalui akal rasio dan dapat pula
diketahui kewajibannya melalui al- sam‘ (wahyu).
11
lebih bertakwa, ia lah yang lebih mulia di sisi Tuhan, dan dengan
demikian, ia pula yang lebih utama dan terbaik untuk memegang kepemimpinan.
12
telah menetapkan akan kekhususan kaum Quraisy untuk memegang
kepemimpinan.
Oleh karena itu, mereka berbai‘at kepada Nafi‘ Ibn al Arzaq, Qatari Ibn
al- Fuja‘ah, Najdah dan ‗Atiyah yang bukan keturunan Quraisy sebagai imam
mereka. Pandangan yang hampir sama dengan Khawarij, kalangan Al- Dirariyah
berpendapat bahwa kepemimpin boleh dipegang oleh yang bukan dari
Quraisy, meskipun ada golongan Quraisy yang pantas untuk itu.Sebahagian
kalangan Khawarij lainnya, lebih ekstrim, menyatakan pemimpin wajib
berasal bukan dari suku Quraisy. Dasar pandangan mereka adalah bahwa
pemimpin (al- Imam) kadang-kadang ia berbuat zalim dan tidak melarang
perbuatan maksiat, sehingga membutuhkan kepada pengasingannya.
13
jalan menuju imamah, ada yang berpandangan bahwa tidak terjadi suatu imamah
kecuali melalui adanya na¡ dari Allah. Dan dengan demikian, setiap imam dapat
menunjuk (yuna¡¡u) imam setelahnya yang ia merupakan na¡ dari Allah juga. Dan
sebagian lagi ada yang berpandangan bahwa jalan menuju imamah dapat
saja terjadi tanpa adanya naj, tetapi mesti ada aqd dari ahl al- aqd.
Pertama, Sebahagian ada yang berpendapat bahwa Abu Bakr lah yang
mendapat penunjukan (naj) pemimpin setelah Rasulullah. Kedua, Sebahagian
lain melihat Ali lah yang mendapatkan hak kepemimpinan, dan ketiga,
sebahagian lagi meliha al- Abbas lah yang memimpin setelah Rasulullah.
Bagi yang berpandangan kepada Abu Bakr yang menjadi pemimpin setelah
Rasululah berdasarkan kepada Ijma‘ umat Islam dan kesaksian (syahadah)
kepadanya, dan di dalamnya termasuk Ali Ibn Abi Talib dan al-Abbas yang
telah memberikan bay‘at mereka kepadanya.Nabi tidak menunjuk (na¡)
seseorang untuk menjadi pemimpin setelah dirinya, menurut Ibn Yusuf,
karena jika hal tersebut dilakukannya, maka telah jelas dan berkembang siapa
yang menjadi pemimpin. Dan bila ditetapkan bahwa kepemimpinan (al-
imamah) tidak ditentukan dengan na¡ bagi seseorang, menunjukkan bahwa ia
ditentukan dengan jalan pemilihan (ikhtiyar).
14
Hal ini terlihat kaum Muslimin sepakat dengan ijma dan membai‘at atas
kepemimpinan Abu Bakr tanpa ada perbedaan pandangan. Hal ini terus
berlangsung pada masa Umar, Usman dan Ali Ibn Abi Talib.Adapun dasar
kepemimpinan seorang Imam dengan na¡ atau ikhtiyar, menurut al- Bağdadi,
sama seperti yang dianut oleh kalangan Mu‘tazilah, Khawarij dan Najjariyah.
Ia berkata bahwa jalan untuk menetapkannya didasarkan kepada pemilihan
(ikhtiyar) oleh umat dengan disertai ijtihad ahl al- ijtihad dan kelompok terakhir
ini memilih satu di antara mereka siapa yang pantas dan boleh memegang
kepemimpinan tersebut. Dan boleh saja penetapan tersebut berdasarkan na¡,
namun juga sesungguhnya na¡ tidak mengemukakan jenis (ain) pemimpin di
dalamnya, sehingga umat dalam hal ini juga menuju kepada sistem pemilihan
(ikhtiyar).Pendapatnya di atas dengan dasar bahwa, jika penetapan pemimpin
(imam) dengan naj adalah wajib bagi Rasulullah untuk menjelaskannya, maka
niscaya ia menjelaskan dan menerangkannya sehingga diketahui oleh umat
dengan nyata dan jelas serta tidak terjadi perbedaan pendapat dalamnya.
15
seterusnya orang dipilih oleh umat dan mereka berjanji untuk kepemimpinannya,
serta orang yang mempunyai akhlak dan kepribadian, seperti akhlak dan
kepribadian keempat sahabat di atas, sehingga mereka melihat dan
bersumpah serta mengakui kepemimpinan Umar Ibn Abd al- Aziz.).
Begitu pula ada riwayat dari Ali ra. yang berkata kepada Abu Bakr
ketika ia diminta oleh Sahabat untuk tampil sebagai pemimpin khilafah. Ia
berkata: Sesungguhnya Rasulullah telah merestuimu untuk (menjadi
pemimpin) dalam urusan keagamaan kita, maka apakah kita tidak
merestuimu pula dalam urusan keduniaan (khilafah). Dan ini menunjukkan ia
(Nabi) memilihnya (Abu Bakr) untuk pemimpin.Dalil lain yang mereka
kemukakan adalah ijma‘ al- ¡ahabah yang mana mereka berkumpul untuk
mengakui kepemimpinan Abu Bakr. Sesungguhnya Umar mengakui
(kepemimpinan ) Abu Bakr yang diikuti oleh Abu Ubaidah Ibn al- Jarrah dan
sahabat lainnya. Dengan demikian, ijma‘ Sahabat merupakan hujjah yang bisa
dijadikan dalil dan alasan kepemimpinan Abu Bakr tersebut.
16
Bahkan, ia menambahkan bahwa ucapan Abu Bakr ٌketika ia dibay‘at
sebagai Khal³fah, menunjukkan bahwa ialah yang terbaik dari mereka (sahabat)
(Al- Asy‘ari, 1969: 44). Karena sesungguhnya manusia yang terbaik adalah
orang yang tidak melihat bahwa dirinyalah yang terbaik dari orang lain,
sebagaimana sabda Rasulullah:
Dalam pada itu, Al- Bazdawi menolak pandangan yang berpendapat bahwa
Ali sebagai khalifah setelah Rasulullah berdasarkan naj. Ia menyatakan bahwa jika
pengangkatan Ali berdasarkan na¡, maka tidak terjadi kesibukan dari kalangan kaum
Anshar dalam menentukan seorang pemimpin tersebut. Dan juga tidak terjadi pula
ijma sahabat untuk kepemimpinan Abu Bakr. Sebagaimana diketahui, ketika
Rasululah wafat, kaum Anshar mengangkat Sa‘ad Ibn ―Ubadah sebagai pemimpin
mereka dan berkata kepada kaum Muhajirin :
(dari golongan kaummu ada pemimpin dan dari kami ada pula pemimpin), sampai
mengemuka ucapan Abu Bakr bahwa Pemimpin-pemimpin itu berasal dari suku
Quraisy (Ibid).
17
Musa dalam kenabian dan seluruh kekuasaan. Bila ia merupakan teman Musa
selain soal kenabian, maka ia lah penganti posisinya (Musa) sesudah kematiannya.
Begitu pula yang diriwayatkan dari Nabi bahwasanya ia bersabda (al-
Albaniy:330-339) :
Dalam pada itu, Al- Bazdawi menolak pandangan yang berpendapat bahwa Ali
sebagai khalifah setelah Rasulullah berdasarkan naj. Ia menyatakan bahwa jika
pengangkatan Ali berdasarkan na¡, maka tidak terjadi kesibukan dari kalangan kaum
Anshar dalam menentukan seorang pemimpin tersebut. Dan juga tidak terjadi pula
ijma sahabat untuk kepemimpinan Abu Bakr. Sebagaimana diketahui, ketika
Rasululah wafat, kaum Anshar mengangkat Sa‘ad Ibn ―Ubadah sebagai pemimpin
mereka dan berkata kepada kaum Muhajirin : ر ٍأى
(dari golongan kaummu ada pemimpin dan dari kami ada pula pemimpin), sampai
16
mengemuka ucapan Abu Bakr bahwa Pemimpin-pemimpin itu berasal dari suku
Quraisy (Ibid).
18
setelah Rasulullah adalah Ali Ibn Abi Talib, kemudian Hasan dan Husein dan
setelah Rasululah adalah Ali Ibn Abi Talib, kemudian Hasan, kemudian Husain,
kalangan Rawafi«ah, salah satu sekte Syi‘ah, bahwa Ali sebagai pemimpin setelah
Nabi, adalah riwayat yang disandarkan kepada Nabi bahwa ia bersabda (Ibn
alHujjaj: 360): Antara engkau (Ali) dan aku, seperti posisi Harun dan Musa. Hanya
merupakan sekutu bagi Nabi dalam hal selain kenabian, karena Ali disamakan
dengan Harun di sisi Musa dalam selain kenabian, dan sesungguhnya ia teman
Musa dalam kenabian dan seluruh kekuasaan. Bila ia merupakan teman Musa
selain soal kenabian, maka ia lah penganti posisinya (Musa) sesudah kematiannya.
Begitu pula yang diriwayatkan dari Nabi bahwasanya ia bersabda (al- Albaniy:
330-339):
kembalikan kepadanya.
Dengan riwayat di atas, Nabi menjadikan Ali pemimpin bagi orang yang
19
mengakui Nabi sebagai pemimpinnya. Oleh karena itu, juga riwayat ini
membuktikan bahwa Ali mengantikan posisi Nabi selain soal kenabian, yakni
mengantikan posisi Nabi dalam kekuasaan duniawi (Al- Bazdawi, 1963: 179).
1. Seorang yang alim , terbaik intektual. Dengan dasar ini dan sesuai dengan
kedudukan Imam, memungkinkannya untuk menegakkan berbagai
peraturan dan undang.
2. Pemaaf dan wara‘. Dalam sifat adil yang dimiliki seorang pemimpin
terlihat bahwa kestabilan hidup bermasyarakat dan bernegara
memerlukan tegaknya keadilan. Tiap sesuatu yang melukai rasa keadilan
masyarakat bisa mengakibatkan rusaknya kestabilan masyarakat secara
keseluruhan, karena rasa keadilan merupakan fitrah manusia. Untuk
menegakkan keadilan tersebut, hukum berdaulat atas semua unsur
masyarakat, dari yang lemah sampai pemimpin yang paling tinggi
sekali pun. Semuanya sama dihadapan hukum. Menurut penulis, dalam
menegakkan keadilan dan kebenaran, pemimpin tidak boleh pandang
bulu, bergantung kepada senang atau tidak senangnya. Keadilan bagi
orang bertakwa adalah berarti menegakkan keadilan atas dasardasar
yang objektif, bukan atas dasar kepentingan sesuatu golongan atau
keluarga. Ia mengemukakan dalil na¡ al- Quran surat al- Nisa ayat 135
untuk memperkuat pandangannya tersebut. Wahai orang-orang yang
beriman, jadilah kamu orang yang benar-benar penegak keadilan,
20
menjadi saksi karena Allah biarpun terhadap dirimu sendiri atau ibu
bapak dan kaum kerabatmu. Jika ia kaya ataupun miskin, maka Allah
lebih tahu kemashlahatannya. Maka janganlah kamu mengikuti hawa
nafsu karena ingin menyimpang dari kebenaran. Dan jika kamu
memutarbalikkan (kata-kata) atau enggan menjadi saksi, maka
sesungguhnya Allah adalahSebagaimana telah disinggung di atas,
kekuasaan yang berada di tangan pemimpin adalah kurnia Ilahi yang
diamanatkan kepadanya untuk dijalankan sesuai dengan norma-norma
yang telah digariskan Allah yang Maha Adil. Kekuasaan bukanlah
untuk semata-mata berkuasa, tapi untuk menegakkan hukum dan keadilan,
dan memberi hak kepada siapa saja yang berhak atasnya, sekalipun yang
berhak itu berada dalam posisi yang lemah. Allah mengingatkan
penguasa yang menuruti keinginan dan kemauan sendiri tanpa
mengambil pusing dengn norma-norma keadilan dan kebenaran dengan
kehancuran mereka, seperti dalam surat Ibrahim ayat 42.
―Dan janganlah sekali-kali kamu mengira, bahwa Allah lalai dari apa yang
tangguh kepada mereka sampai hari yang pada waktu itu mata (mereka)
3). Pemberani dan mempunyai keberanian (al- syaja‘ah), dan kemantapan hati.
4). Cakap dalam strategi (politik) dan ahli dan baik dalam manajemen (Hasan altadbr)
dan ahli pula dalam strategi persaingan.
21
Keharmonisan hubungan melahirkan kemajuan dan perkembangan masyarakat.
Benar bahwa semakin kokoh hubungan dan interaksi keduanya dan semakin
dalam pengenalan terhadap kedua pihak, akan semakin banyak yang dapat
tidak harmonis, pastilah hasil lain yang dicapai hanyalah penderitaan dan
19
keduanya, akan semakin banyak yang dapat dimanfaatkan darinya. Karena, ketika
5). Sedangkan berkaitan dengan nasab atau dalam bahasa kekinian dengan istilah
ada.
Berdasarkan analogi dari persoalan nasab quraisy ini, putra daerah atau pribumi
bukanlah jaminan dapat terlaksananya peraturan dan sebaliknya non putra daerah
tidak dapat menjalankannya. Yang terpenting bagi setiap golongan adalah seorang
kepada pemilihan (ikhtiyar) dan dengan al- aqd (sumpah). Jalan tersebut adalah
22
memenangkan pemilihan dengan mengantongi nilai terbanyak (al- ğalabah).
kemasyarakatan.
tersebut merupakan salah satu jalan yang diredai Tuhan dalam kehidupan
20
asal bangsa dan keturunannya (nasab). Yang nyata bahwa ―yang terpenting bagi
dirinya dan pemenuhan hak dan kewajibannya serta bertanggung jawab kepada
negara dan rakyat. Bukan ia berhubungan dan terletak pada bangsa dan
kesombongan dan kebanggaan. Tetapi nilai bangsa dan kebangsaan itu adalah
diukur dengan banyaknya bakti terhadap bangsa, tanah air dan Tuhan.
23
Menurut penulis, seorang pemimpin negara, rakyat dan masyarakat harus
mendapat kepercayaan dari rakyatnya. Tentu saja disertai dengan adanya reputasi,
masyarakat atau rakyat tidak memilih pemimpin yang belum menunjukkan amal
dilakukan melalui satu ikatan perjanjian. Ikatan ini terjalin antara sang pemimpin
dengan Allah SWT di satu pihak dan dengan masyarakatnya di pihak lain.
pemimpinnya dalam mempertahankan diri sampai tetesan darah terakhir. Hal ini
tampak dalam pandangannya bahwa pada masa hidup Rasulullah, sebelum terjadi
terancam oleh kaum Quraisy yang hendak menyerbu umat Islam yang tidak
tersebut adalah satu perjanjian yang sangat suci (serius) antara Rasulullah dengan
BAB III
24
KESIMPULAN DAN SARAN
A. KESIMPULAN
Dari ungkapan di atas, menurut penulis, tampak bahwa dua macam bay‘ah
yang dilakukan, bay‘ah yang diucapkan oleh pemimpin (aqad) sebagai
sumpah dan janji dalam memimpin, dan bay‘ah yang dilakukan oleh
umat/rakyat melalui keikut sertaannya dalam pemilihan terhadap pemimpin. Hal
ini didasarkan kepada asal makna kata bay‘ah yang berarti menjual atau
memberikan sebagian hak pemilih kepada pemimpin, sebagaimana yang
dipahami Natsir –seorang tokoh Indonesia Kontemporer-- bahwa menempatkan
seseorang sebagai pemimpin oleh rakyat berarti menyerahkan sebagian haknya
kepada pemimpin tersebut diatas.
DAFTAR PUSTAKA
25
1977
Ahmad Mahmud Subhiy. Nariyah al- Imamah ladai Syi‟ah Ibnu „Asyariyah, Dar
Jakarta. 1985
26