Anda di halaman 1dari 26

BAB I

PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Dalam kajian kitab ilmu kalam, kita akan menemukan bahwa tema terakhir
akan dikaji masalah imama atau kepemimpinan. Sebagaimana telah dibincangkan
sebelumnya bahwa Syiah menganggap persoalan kepemimpinan ini, bagian dari
persoalan keagamaan. Mereka memasukkan kepemimpinan dalam bahasan ilmu
kalam.
Syiah menganggap bahwa pemimpin negara yang mengatur urusan agama dan
dunia, ditentukan Allah dengan mengutus rasul-Nya. Setelah itu, Rasulullah saw akan
memberikan wasiat kepada orang yang kelak akan menggantikan posisi beliau.
Jika Syiah memasukkan pembahasan imamah dalam ilmu kalam karena
terkait dengan urusan akidah, namun mengapa Ahlu Sunnah, Khawaruij, Ibadhi dan
berbagai kelompok Islam juga memasukkan pembahasan kepemimpinan dalam ilmu
kalam? Bukankah bagi kelompok selain Syiah, kepemimpinan merupakan urusan
fikih dan bukan akidah? Benar, bahwa kelompok lain memang memandang urusan
kepemimpinan bagian dari fikih dan bukan akidah. Namun kelompok lain tersebut
ingin menanggapi pemikiran kepemimpinan Syiah dalam ilmu kalam. Mau tidak
mau, kelompok lain tadi mengkajinya dari ilmu kalam.
Jadi, kajian kepemimpinan dalam ilmu kalam, karena mereka berkeyakinan
persoalan kepemimpinan bagian dari urusan akidah, namun lebih karena kondisi dan
“keterpaksaan” yang menuntut mereka untuk mengkajinya di ilmu kalam. Karena
Syiah mengkajinya dalam bagian ilmu kalam, maka golongan lain pun ketika
menanggapi masuk dalam ranah kalam.

B. RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan latarbelakang masalah tersebut diatas,rumusan masalah dalam
makalah ini adalah :
1. Bagaimana kajian kepemimpinan dalam teologi islam ?
2.

1
C. TUJUAN

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. KAJIAN KEPEMIMPINAN DALAMTEOLOGI ISLAM PENGERTIAN,


KHILAFAH DAN IMAMAH
1. Teologi Islam
Istilah asing di luar Islam yang membahas ajaran-ajaran dasar dari suatu agama
disebut Teologi. Kata ini berasal dari kata latin theos yang artinya Tuhan dan
logos yang diartikan ilmu (science, study, discourse). Jadi teologi berarti Ilmu
tentang Tuhan atau Ilmu Ketuhanan atau ilmu yang membahas dan membicarakan
tentang zat Tuhan dari segala seginya dan hubungan-Nya dengan alam semesta,
sehingga seseorang yang mempelajari teologi akan memperoleh keyakinan
dengan landasan kuat, dan tidak mudah diombang-ambingkan oleh perubahan
zaman. Karena itu, kata teologi selalu berarti discourse atau pembicaraan tentang
Tuhan. Definisi ini memiliki pengertian yang sama dengan apa yang dijelaskan
dalam kamus New English Dictionary, sebagaimana dikutip Hanafi (1989: 11),
yang mengartikan teologi sebagai ilmu yang membicarakan kenyataan-kenyataan dan
gejala-gejala agama dan membicarakan hubungan Tuhan dan manusia (the science
which treats of the fact and phenomena of religion, and the relation between
God and men).

Pada mulanya teologi dianggap sebagai cabang filsafat, yaitu sebagai


lapangan khusus pencarian filsafat yang bertujuan untuk menentukan apa yang
diperbuat untuk Tuhan. Dalam perkembangannya pengertian teologi lebih
menyempit yang hanya memuat satu bidang agama atau topik permasalahan tertentu.
Dari kedua pengertian di atas, tampak teologi lebih terkesan bercorak agama,
atau dapat dikatakan sebagai refleksi sistematis tentang agama, atau uraian yang
bersifat pikiran tentang agama (the intellectual expression of religion). Namun,
teologi juga bisa tidak bercorak agama. Seorang teolog, dapat menjelaskan
penyelidikannya berdasarkan semangat penyelidikan bebas, tanpa menjadi

3
seorang beragama atau mempunyai pertalian tertentu dengan suatu agama.
Teologi bisa bercorak agama (revealed theology) dan bisa juga tidak bercorak
agama (natural theology atau philosopical theology). Karena itu, ia mengartikan
teologi sebagai ilmu yang membicarakan tentang Tuhan dan pertaliannya dengan
manusia, baik berdasarkan kebenaran wahyu maupun berdasarkan penyelidikan
akal murni.

Dalam perkembangan teologi yang berkaitan dan bercorak agama telah


mengembangkan disiplin ilmu ini, sehingga timbul teologi yang berlandaskan
kepada agama tertentu, seperti teologi Kristen, teologi Yahudi dan teologi Islam.
Perbedaan teologi yang bercorak agama terjadi dan timbul sebagai akibat dari
perbedaan pandangan terhadap objek material dan objek formal dari teologi.
Menurut Dister, sebagai ilmu yang mempelajari wahyu Allah, objek material
teologi adalah apa yang diwah yukan Allah. Namun, karena isi iman seseorang
tergantung pada agama yang dianut, tidaklah mengherankan bahwa teologi
berbeda-beda menurut agama yang dipeluk oleh orang yang mengadakan refleksi
ilmiah atas imannya itu. Persamaan antara teologi bercorak agama tersebut adalah
sama-sama merenungkan secara ilmiah wahyu Allah kepada manusia yang
diyakini oleh penganut agama tersebut. Dan perbedaannya terletak dalam sudut
pandang yang ditentukan oleh masing-masing agama. Sudut pandang itulah,
disebut sebagai objek formal teologi, yang membedakan teologi yang bercorak
agama. Dengan demikian, teologi Kristen sebagai contoh, berdasarkan perbedaan
objek formal tadi, dapat didefinisikan sebagai refleksi ilmiah umat Kristiani atas iman
yang mereka hayati sebagai orang yang beragama Kristen.

Adapun istilah kajian ini di dalam Islam sendiri disebut dengan ilmu
kalam. Kata kalam, secara etimologis, berarti pembicaraan. Kata itu terinspirasi dan
merupakan terjemahan dari kata dan istilah Hellenisme Yunani (manq) yang juga
berarti logika atau pembicaraan. Tetapi sebagai istilah, kalam tidak dimaksudkan
pembicaraan dalam pengertian kita sehari-hari, melainkan dalam pengertian
pembicaraan yang bernalar dengan menggunakan logika. Karena itu ciri utama

4
ilmu kalam adalah rasionalitas atau logika. Dengan demikian, ilmu kalam
adalah ilmu yang memperkuat akidah agama dengan berbagai argumen rasional.
Sebagai suatu ilmu, kalam merupakan hasil pemikiran para mutakallim³n, yaitu ahli
debat yang pintar memakai kata-kata. Perkembangan ilmu ini telah dimulai
semenjak abad kedua Hijriah dan bibit pertumbuhannya sudah ada sebelum itu.
Adapun penggunaan istilah kalam, yang makna harfiyahnya pembicaraan atau
kata-kata, dan yang paling menonjol dibicarakan adalah masalah ―kalam‖
sebagai salah satu sifat Tuhan atau sabda-Nya berupa al- Quran yang pernah
menimbulkan pertentang keras di kalangan umat Islam di abad kesembilan dan
kesepuluh Masehi, sehingga timbul penganiayaan dan pembunuhan terhadap
sesama muslim di waktu itu.

Nama lain dari ilmu kalam adalah Ilm Usul al- din, karena topic
pembahasannya mengenai pokok-pokok ajaran agama. Juga ia dinamakan ‗Ilm
alNa§r wa al- Istidlal (ilmu pembahasan dan penyimpulan rasional) dan juga
disebut Ilmu Tawhid, karena ia bertugas untuk mengukuhkan kemahaesaan Allah.
Bagi Abduh (1366 H: 7), ilmu Tawhid adalah ilmu yang membahas tentang wujud
Allah, sifat-sifat yang wajib dan boleh ditetapkan bagi-Nya, dan apa yang wajib
dinafikan dari-Nya, serta membahas juga tentang rasul-rasul, untuk membuktikan
kebenaran tugas kerasulan mereka, dan apa yang wajib ada pada mereka serta apa
yang boleh dinisbahkan kepada mereka. Adapun penggunaan istilah teologi Islam
dan ilmu kalam setidaknya didasarkan pada asumsi bahwa keduanya mengarahkan
pembahasannya pada segisegi mengenai Tuhan dan berbagai derivasinya. Hanya saja
jika digunakan istilah teologi sebagaimana dipahami dalam pengertian Teologi
Kristen, ilmu fiqh akan termasuk dalam pembahasan teologi. Tetapi dalam
Teologi Islam hanya membicarakan persoalan akidah, dasar-dasar agama,
sementara ilmu fiqh membicarakan persoalan furuiyah, yaitu yang bertalian dengan
perbuatan. Karena itu untuk menunjukkan ciri khasnya, ilmu kalam
diterjemahkan sebagai teologi dialektis atau teologi rasional.

5
2. PENGERTIAN KHILAFAH DAN IMAMAH

Khilafah dan Imamah Pembicaraan mengenai kepemimpinan dalam literatur


Arab disinonimkan dengan istilah khilafah dan imamah.Kedua istilah ini
merupakan termasuk tema kalam yang hangat diperdebatkan di kalangan
mutakallim³n, seperti di kalangan Syi‘ah, Mu‘tazilah dan al- Asy‘ariah.

Dalam pandangan sekilas tampak bahwa persoalan khilafah dan imamah


ini lebih mendominasi persolan politik pada awal kemunculan Islam. Namun pada
gilirannya ia memunculkan kecendrungan-kecendrungan teologis dan melahirkan
berbagai aliran. Hal ini dikarenakan bahwa sejak munculnya perbedaan pada masa
awal Islam yang berkaitan dengan kepentingan keagamaan, berbagai aliran telah
mengembangkan versi Islam yang berbeda dan membentuk perkumpulan
keagamaan yang berbeda pula dalam masyarakat Islam secara umum. Dalam konteks
ini, menurut Syamsuddin (2001:93) yang mengutip pandangan Hamid Enayat,
khilafah yang merupakan salah satu pemikiran politik Islam menjadi subordinat dan
bagian dari teologi dan jurisprudensi Islam yang dalam kenyataan dapat dilihat
bahwa masalah politik tidak dibicarakan secara Terma khilafah umumnya banyak
digunakan oleh kalangan ahl al- sunnah wa al- jama’ah.

Terma imamah banyak dikemukakan oleh aliran Syi’ah yang mempunyai


makna sama dengan khilafah. Hanya saja, kata Imam digunakan untuk
keteladanan, karena ia terambil dari kata yang mengandung arti “depan” dan
berbeda dari khal³fah yang terambil dari kata “belakang”. Dalam al- Quran,
kata Imam terulang sebanyak tujuh kali dengan makna yang berbeda-beda.
Namun, kesemuanya bertumpu pada arti “sesuatu yang dituju dan atau
diteladani”. Kalangan Syi‘ah berbeda konsep dari al- Asy‘ariah, menempatkan
permasalahan imamah kepada persoalan yang pertama dan terpenting dari akidah dan
keyakinan mereka. Bagi mereka rukun iman ada lima, yakni :

a. Tauhid, yaitu percaya kepada Tuhan Yang Maha Esa

6
b. Al- Nubuwwah, yaitu percaya kepada kenabian Nabi Muhammad
c. Al- Ma‘ad, yaitu keimanan akan hari kebangkitan, percaya bahwa setiap
orang akan hidup dalam alam yang akan datang. Di sana perbuatan
manusia akan ditimbang dan diberi ganjaran sesuai dengan amalannya.
d. Al-Adl yaitu keimanan kepada keadilan Allah. Allah itu adil dalam
membimbing semua makhluk di atas bumi ini ke arah kesempurnaan dengan
caracara tertentu, sehingga segala sesuatu itu adalah baik pada tempatnya
masingmasing. Akal manusia dapat menjangkau keadilan Tuhan.
e. imam, yaitu percaya kepada imam.

Bagi kalangan Mu‘tazilah memandang bahwa al- amr bi al- ma‘ruf wa


alnahy an al- munkar, sebagaimana dikemukakan al- Jabbar, tidak dapat berjalan dan
terlaksana tanpa adanya al- aimmah (pemimpin-pemimpin).

Kata Syi’ah adalah akar kata dari syi’a atau syayya’a, tasyiya’a yang
berarti pihak, partai dan kelompok, dan telah dikenal sebelum datangnya ajaran
Islam dan kata ini juga tercantum dalam al- Quran, seperti dalam surat
Maryam ayat 69 dan al- Qa¡a¡ ayat 15. Namun kata ini dalam sejarah Islam
lebih tertuju kepada Syi’ah Ali, yaitu pengikut suatu aliran yang mencintai
keturunan Nabi Muhammad dan menaati pemimpin-pemimpin yang diangkat dari
keluarga dan keturunan Nabi (ahl al- bait). Pengertian pengikut yang memihak Ali,
menurut al- Nubakhti, telah dikenal semasa Nabi masih hidup.

Namun Mahmud Subhiy berpendapat bahwa pertumbuhan aliran Syi’ah


muncul sesudah wafatnya Nabi Muhammad dan hasil konsensus para sahabat
Nabi pada ¤aq³fah Bani Saidah, dimana Ali menolak pembaiatan terhadap Abu
Bakar. Pendapat lain menyebutkan munculnya setelah terjadinya kekacauan
(fitnah) di masa U£man yang berakhir dengan kematiannya. Adapula yang
mengatakan setelah perang Siff³n dan setelah pembunuhan Husain. Syi’ah yang
lahir sejak wafatnya Nabi disebut sebagai Syi’atu Aliyyin yang mengambil
bentuk sebagai kekuatan politik dan lambat laun berkembang menjadi persoalan
akidah

7
Bagi kalangan ahl al- sunnah wa al- jama‘ah (al- Asy‘ariah) yang bertolak

belakang dengan kalangan Syi‘ah, persoalan imamah bukan termasuk keimanan dan
bukan pula salah satu dari beberapa kaidah yang dibangun oleh Islam. Bagi mereka,
ada dua pertimbangan yang berkaitan dengan persoalan ini.

Pertama, bahwa bangunan pertama yang terpenting dalam Islam adalah al-
syahadah yang menjadi dasar pertama seseorang menjadi muslim. Kedua, bahwa
Rasulullah SAW belum pernah mengingatkan persoalan imamah ini ketika ia
menyeru manusia ke dalam Islam. Ia hanya menyeru manusia kepada al-
syahadah saja, karena selama kehidupannya, Rasulullah merupakan pemimpin
kaum muslimin, sehingga pada masa itu belum tampak kebutuhan umat Islam
kepada imamah tersebut. Seandainya persoalan imamah merupakan dasar terpenting
dalam u¡-l al d³n, maka layaklah persoalan ini dijelaskan oleh al- Quran,
sebagaima ia menjelaskan persoalan al- farai« (warisan dalam Islam). Namun pada
hakekatnya, dalam pandangan mereka, imamah bukan persoalan penting (asyraf
al- masail).

Secara bahasa, pada mulanya kata khalifah berarti sesuatu di belakang


dan sering pula diartikan sebagai pengganti (karena yang menggantikan selalu berada
atau datang dari belakang, sesudah yang digantikannya), sehingga orang yang
menggantikan seseorang berarti melaksanakan sesuatu atas nama yang
digantikan, baik bersama yang digantikannya maupun sesudahnya. Al- Isfahani
menjelaskan bahwa kekhalifahan dapat terlaksana karena ketiadaan (yang
digantikan) di tempat, kematian, ketidakmampuan yang digantikan dan juga
akibat penghormatan yang diberikan kepada yang menggantikan. Selanjutnya
dalam perkembangan arti kata khilafah mempunyai makna pemerintahan,
sehingga kata ini mempunyai arti kepala negara atau pemimpin negara. Dengan
demikian, secara khusus, menurut Thabaliah, khalifah dipergunakan untuk arti
kepala atau pemimpin negara, dan secara umum, dipergunakan untuk Adam dan
Benih awal perbedaan pandangan dalam persoalan ini dalam sejarah
menimbulkan tiga golongan politik, yakni (1) golongan Ali Ibn Abi Thalib

8
yang kemudian dikenal dengan nama Syi’ah, (2) golongan yang keluar dari barisan
Ali yang dikenal dengan Khawarij, dan (3) golongan Mu’awiyah, yang kemudian
membentuk Dinasti Bani Umayyah dan membawa sistem kerajaan dalam Islam.

Adapun Imamah, menurut Shihab, mempunyai makna yang sama dengan


khilafah. Hanya saja, secara bahasa, kata Imam digunakan untuk keteladanan,
karena ia terambil dari kata yang mengandung arti depan yang berbeda dari
khalifah yang terambil dari kata belakang. Bagi Abd al- Wahhab Khalaf, kata
Imam Kubra, Khalifah dan Amr al Mukminn merupakan sinonim dengan satu
arti dan makna, yaitu orang yang, secara umum, memegang pimpinan dalam
(urusan) agama dan dunia, untuk menegakkan kemashlahatan dan mengatur
berbagai permasalahan umat serta menjaga kesucian agama dan kestabilan politik.

Suatu hal yang pasti dan jelas bahwa dalam sejarah pemikiran Islam
Klasik, persoalan khilafah dan imamah merupakan persoalan pertama yang timbul
setelah Nabi Muhammad SAW wafat, sehingga mengakibatkan umat Islam
berbeda pandangan menjadi dua golongan dan keyakinan. Pertama, menurut kaum
Anshar, yang berhak mengantikan kedudukan Nabi Muhammad SAW. Sebagai
pemimpin dunia, adalah dari kalangan mereka dengan mengangkat Sa‘d Ibn
Ubadah sebagai pemimpin. Kedua, menurut kaum Muhajirin bahwa yang berhak
mengantikan kedudukannya adalah dari kalangan mereka sendiri. Perbedaan
pandangan ini berakhir dengan kesepakatan untuk mengangkat Abu Bakar al Siddiq
sebagai khalifah.

3. PANDANGAN TEOLOG MUSLIM KLASIK

Dalam kaitan ini perlu dikemukakan pula secara ringkas konsep


kepemimpinan atau khilafah menurut aliran yang ada tersebut. Keperluan ini
semakin terasa, karena dalam masing-masing aliran kalam mempunyai pandangan
yang berbeda dari pandangan aliran kalam lainnya.Menurut aliran Mu‘tazilah, ada
lima pokok pembahasan dalam membicarakan persoalan imamah tersebut. Pertama,

9
hakekat Imam. Kedua, untuk apakah kebutuhan terhadapnya. Ketiga, sifat-sifat atau
syaratnya. Keempat, cara dan jalan menuju imamah, dan Kelima, penentuan Imam.

Dalam persoalan pertama, yakni hakekat imam, secara bahasa al- imam adalah
orang yang berada di depan (al- muqaddam), baik ia berhak untuk berada di depan,
maupun ia tidak mempunyai hak untuk itu. Adapun secara terminologi syariat, ia
merupakan sebuah nama bagi orang yang mempunyai kekuasaan terhadap umat
dan bekerja untuk kepentingan mereka dalam berbagai bentuk, yang tidak ada
kekuasaan seorangpun berada di atas kekuasaannya.

Berkaitan dengan persoalan kedua, kebutuhan terhadap Imam, sebagian


ada yang berpendapat bahwa dalam keadaan dan di manapun, setiap pemerintahan
mesti ada pemimpin (imam). Dan sebagian lagi berpendapat bahwa seorang
pemimpin tidak dibutuhkan bila manusia telah bebas dari tindakan dan kondisi
kezaliman.Perbedaan pandangan timbul dalam kewajiban (mendirikan) pemerintahan
(al- imamah) dan kewajiban mencari seorang pemimpin (imam) dalamnya.
Menurut al- Bağdadi tokoh al- Asy‘ariah, seperti pendapat kalangan Syiah dan
Khawarij dan sebagian besar ulama Mu‘tazilah, melihat kewajiban membentuk
pemerintahan, dan dengan demikian menimbulkan kewajiban bagi kaum
Muslimin menentukan seorang imam (pemimpin) untuk menjalankan hukum dan
hud-d, memimpin tentara dalam peperangan serta menjalankan roda
pemerintahan.

Dan sebahagian dari kalangan Mu‘tazilah lainnya, melihat kewajiban


adanya pemerintahan tersebut sebagai kebutuhan untuk menegakkan
hukumhukum syariat, seperti pandangan yang diberikan al- Jabbar. Ia menyatakan
bahwa kewajiban dan kebutuhan terhadap imam adalah untuk menjalankan
hukum syariat, seperti menegakkan hukum Islam, menjaga dan memelihara
kesucian negeri Islam. Persoalan ini tidak dapat dijalankan kecuali dengan adanya
Imam-imam dengan dalil ijma‘ ahl al- bait. Sedangkan bagi al- Asy‘ariah,
sebagaimana dikemukakan al- Asy‘ari sendiri, melihatnya bahwa sesungguhnya
pemerintahan (al- imamah) tersebut merupakan salah satu dari bermacam-macam

10
syariat yang dapat diketahui kebutuhan terhadapnya melalui akal rasio dan dapat pula
diketahui kewajibannya melalui al- sam‘ (wahyu).

Adapun menurut kalangan Maturidiah Bukhara bahwa kewajiban manusia


memilih seorang pemimpin dalam pemerintahan, seperti dikemukakan
alBazdawi kewajiban kifayah. Pendapat kalangan terakhir ini didasarkan
kepada sebahagian Sahabat Nabi yang menyibukkan diri dalam menentukan
seorang pemimpin setelah Rasulullah wafat dan menyatakan bahwa
kepemimpinan merupakan salah satu dari berbagai kewajiban, seperti kewajiban
memerangi orang kafir dan mencari rezeki.

Namun demikian, terdapat pula perbedaan pandangan dari pandangan


yang dikemukakan di atas. Pandangan yang dimaksud diberikan oleh Abu
Bakr al- Ajam, salah seorang tokoh Mu‘tazilah, dan Hisyam al- Fawiy yang
berketetapan bahwa bila manusia telah bebas dari kezaliman dan kekacauan,
maka pemimpin tidak dibutuhkan lagi keberadaannya.

Adapun persoalan ketiga, yakni sifat atau syarat yang dimiliki


seseorang sehingga ia layak menjadi pemimpin (Imam), menurut al- Jabbar
dari kalangan Mu‘tazilah, adalah (1) mempunyai nasab khusus dengan dasar
Ijma‘. Sesungguhnya Abu Bakr, ketika menyampaikan di hadapan umat
bahwa pemimpin-pemimpin itu berasal dari nasab Quraisy, tidak ada seorang pun
yang membantahnya. (2) ia seorang yang = Alim (mengetahui). Dengan
dasar ini dan sesuai dengan kedudukan Imam, memungkinkannya untuk
menegakkan hukumhukum syariat. (3) Pemaaf dan wara‘. (4) Pemberani dan
mempunyai kemantapan hati.

Dan bagi mayoritas kalangan Mu‘tazilah lainnya melihat seorang


pemimpin (imam) wajib orang yang bertakwa dan mempunyai pengetahuan
tentang Kitab Allah, dan tidak wajib ia berasal dari suku Quraisy. Alasan mereka
adalah dalil na¡ surat al- Hujurat 13. Dengan demikian, bagi orang yang

11
lebih bertakwa, ia lah yang lebih mulia di sisi Tuhan, dan dengan
demikian, ia pula yang lebih utama dan terbaik untuk memegang kepemimpinan.

Berkenaan dengan syarat-syarat seorang menjadi Imam (pemimpin)


dari kalangan al- Asy‘ariah diberikan oleh pendapat al- Bağdadi. Ia berkata
bahwa seseorang sah dan pantas untuk memegang kepemimpinan dengan
memenuhi empat syarat atau sifat. Yakni, pertama, mempunyai ilmu
pengetahuan dan minimal ia menempati posisi sebagai seorang Mujtahid
dalam keseluruhan hukum-hukum Islam. Kedua, wara‘. Minimal kesaksiannya
(syahadah) diterima oleh ulama lain. Ketiga, cakap dalam strategi (politik) dan
ahli dan baik dalam manajemen dan ahli pula dalam strategi perperangan.
Keempat, Keturunan (nasab) Quraisy. Kalangan Syi‘ah menambahkannya dengan
syarat al-ijmah.

Sedangkan menurut al- Bazdawi (1963: 187) dari aliran Maturidiah


Bukhara, seorang pemimpin wajib terbaik intektual (‗ilm), takwa, keberanian
(alsyaja‘ah), dan keturunannya (nasab), serta memiliki pandangan dan
manajemen (tadbr) yang lebih baik dari orang lain. Dan wajib pula ia
berasal dari suku Quraisy dengan dasar riwayat

Berkaitan dengan hadist Nabi kepemimpinan (berasal) dari kalangan suku


Quraisy di atas, menimbulkan perbedaan pandangan aliran teologi. Bagi
kalangan sebagian Mu‘tazilah dan Khawarij memboleh kepemimpinan dipegang
oleh orang yang bukan keturunan dari suku Quraisy. Dan sebagian lagi dari
kalangan Mu‘tazilah tidak membolehkan pemimpin kecuali ia berasal dari
suku Quraisy.

Menurut al- Jabbar, seorang pemimpin berasal dari nasab (keturunan)


tertentu, yaitu Quraisy. Pendapatnya di atas berdasarkan kepada ijma bahwa tidak
ada seorang sahabat pun yang membantah riwayat yang disampaikan Abu
Bakr bahwasanya al- aimmah min quraisyn. Sedangkan menurut al-
Asy‘ariah, sebagaimana dikemukakan al- Bağdadi yang melihat bahwa syara‘

12
telah menetapkan akan kekhususan kaum Quraisy untuk memegang
kepemimpinan.

Jenis dan nasab pemimpin ini didasarkan kepada syariat bahwa


kaum Quraisy tidak sepi dari orang yang pantas untuk memimpin, sehingga
tidak boleh penentuan seorang imam bagi manusia tanpa berasal dari
keturunannya.Berbeda dari pandangan di atas, sebahagian kalangan Khawarij
berpendapat bahwa kepemimpinan dapat dipegang oleh setiap suku manusia.
Hanya saja kepemimpinan tersebut untuk kemaslahatan yang dapat memperbaiki
penegakan pemerintahan.

Oleh karena itu, mereka berbai‘at kepada Nafi‘ Ibn al Arzaq, Qatari Ibn
al- Fuja‘ah, Najdah dan ‗Atiyah yang bukan keturunan Quraisy sebagai imam
mereka. Pandangan yang hampir sama dengan Khawarij, kalangan Al- Dirariyah
berpendapat bahwa kepemimpin boleh dipegang oleh yang bukan dari
Quraisy, meskipun ada golongan Quraisy yang pantas untuk itu.Sebahagian
kalangan Khawarij lainnya, lebih ekstrim, menyatakan pemimpin wajib
berasal bukan dari suku Quraisy. Dasar pandangan mereka adalah bahwa
pemimpin (al- Imam) kadang-kadang ia berbuat zalim dan tidak melarang
perbuatan maksiat, sehingga membutuhkan kepada pengasingannya.

Jika ia berasal dari suku Quraisy, tidak memungkinkan untuk


menjatuhkannya sehinga mengakibatkan terjadinya kerusakan di permukaan
bumi. Dengan demikian, orang yang bukan dari Quraisy wajib menjadi
pemimpin sehingga memungkinkan untuk penjatuhannya.Dan lebih ekstrim
lagi, kalangan Zaidiyah sekte Syi‘ah Rawafidah berkeyakinan bahwa hak
kepemimpinan, bukan saja berada pada suku Quraisy, tapi lebih dikhususkan
lagi hak tersebut untuk anak cucu Ali Ibn Abi Talib.

Adapun dalam persolan keempat, yakni jalan (pengangkatan) menuju


imamah. Termasuk dalam pembahasan ini adalah persoalan apakah imam tersebut
berdasarkan kepada na¡ atau berdasarkan kepada pemilihan (ikhtiyar). Dalam

13
jalan menuju imamah, ada yang berpandangan bahwa tidak terjadi suatu imamah
kecuali melalui adanya na¡ dari Allah. Dan dengan demikian, setiap imam dapat
menunjuk (yuna¡¡u) imam setelahnya yang ia merupakan na¡ dari Allah juga. Dan
sebagian lagi ada yang berpandangan bahwa jalan menuju imamah dapat
saja terjadi tanpa adanya naj, tetapi mesti ada aqd dari ahl al- aqd.

Menurut al- Jabbar dari aliran Mu‘tazilah, jalan menuju imamah


adalah dengan al- aqd (sumpah) dan pemilihan (al- ikhtiyar). Dan bagi al-
Jahid, sesungguhnya jalan untuk menuju imamah tersebut adalah dengan
banyak pengabdian (ka£rah al- a‘mal), dan seseorang diangkat untuk itu sebagai
balasan jasa (al- jaza‘) atas pengabdian tersebut. Adapun bagi kalangan
Khawarij, jalan tersebut adalah memenangkan pemilihan dengan mengantongi
nilai terbanyak (al -ğalabah). Bagi kalangan al- Abasiyah, jalan nya adalah
warisan (al- irs), sedangkan kalangan al- Imamiyah dan al- Bakriyah adalah
dengan jalan penunjukan (al- naj).Berkenaan dengan pemimpin setelah
Rasulullah, ada tiga pendapat aliran.

Pertama, Sebahagian ada yang berpendapat bahwa Abu Bakr lah yang
mendapat penunjukan (naj) pemimpin setelah Rasulullah. Kedua, Sebahagian
lain melihat Ali lah yang mendapatkan hak kepemimpinan, dan ketiga,
sebahagian lagi meliha al- Abbas lah yang memimpin setelah Rasulullah.
Bagi yang berpandangan kepada Abu Bakr yang menjadi pemimpin setelah
Rasululah berdasarkan kepada Ijma‘ umat Islam dan kesaksian (syahadah)
kepadanya, dan di dalamnya termasuk Ali Ibn Abi Talib dan al-Abbas yang
telah memberikan bay‘at mereka kepadanya.Nabi tidak menunjuk (na¡)
seseorang untuk menjadi pemimpin setelah dirinya, menurut Ibn Yusuf,
karena jika hal tersebut dilakukannya, maka telah jelas dan berkembang siapa
yang menjadi pemimpin. Dan bila ditetapkan bahwa kepemimpinan (al-
imamah) tidak ditentukan dengan na¡ bagi seseorang, menunjukkan bahwa ia
ditentukan dengan jalan pemilihan (ikhtiyar).

14
Hal ini terlihat kaum Muslimin sepakat dengan ijma dan membai‘at atas
kepemimpinan Abu Bakr tanpa ada perbedaan pandangan. Hal ini terus
berlangsung pada masa Umar, Usman dan Ali Ibn Abi Talib.Adapun dasar
kepemimpinan seorang Imam dengan na¡ atau ikhtiyar, menurut al- Bağdadi,
sama seperti yang dianut oleh kalangan Mu‘tazilah, Khawarij dan Najjariyah.
Ia berkata bahwa jalan untuk menetapkannya didasarkan kepada pemilihan
(ikhtiyar) oleh umat dengan disertai ijtihad ahl al- ijtihad dan kelompok terakhir
ini memilih satu di antara mereka siapa yang pantas dan boleh memegang
kepemimpinan tersebut. Dan boleh saja penetapan tersebut berdasarkan na¡,
namun juga sesungguhnya na¡ tidak mengemukakan jenis (ain) pemimpin di
dalamnya, sehingga umat dalam hal ini juga menuju kepada sistem pemilihan
(ikhtiyar).Pendapatnya di atas dengan dasar bahwa, jika penetapan pemimpin
(imam) dengan naj adalah wajib bagi Rasulullah untuk menjelaskannya, maka
niscaya ia menjelaskan dan menerangkannya sehingga diketahui oleh umat
dengan nyata dan jelas serta tidak terjadi perbedaan pendapat dalamnya.

Di samping itu, pengetahuan tentang kewajiban pimpinan (al- imamah)


mencakupi pengetahuan keseluruhan umat, seperti pengetahuan terhadap kiblat
dan bilangan raka‘at dalam shalat. Dan seandainya terdapat na¡ dalam hal ini,
niscaya umat mengikutinya dengan kesepakatan dan mengetahuinya dengan
kepastian, seperti kepastian yang terdapat dalam hadi£ mutawatir.

Sedangkan kalangan Imamiyah, Zaidiyah, dan Rawandiyah berkeyakinan


bahwa imamah (pemerintahan-kepemimpinan) didasarkan kepada
na¡ (penunjukan) dari Allah melalui sabda Rasulullah atas seorang Imam
dan seterusnya Imam tersebut memberi naj (penunjukan) kepada Imam
sesudahnya.

Dalam persoalan kelima, yakni penentuan seorang Imam (ta‘y³n


alImam), bagi kalangan mayoritas Mu‘tazilah dan al- Asy‘ariah, pemimpin
setelah Rasulullah SAW. adalah sahabat Abu Bakr, kemudian Umar Ibn al-
Khatab, kemudian Usman Ibn Affan, kemudian Ali Ibn Abi Talib dan

15
seterusnya orang dipilih oleh umat dan mereka berjanji untuk kepemimpinannya,
serta orang yang mempunyai akhlak dan kepribadian, seperti akhlak dan
kepribadian keempat sahabat di atas, sehingga mereka melihat dan
bersumpah serta mengakui kepemimpinan Umar Ibn Abd al- Aziz.).

Alasan dan dalil yang diberikan oleh kalangan aliran yang


menyatakan bahwa Abu Bakr pemimpin setelah wafat Nabi tersebut adalah
riwayat dari Nabi SAW. bahwa ia menyuruh Abu Bakr ra. untuk menjadi
imam shalat ketika ia sakit. Makna peristiwa tersebut adalah ia
mengantikan posisi diri Nabi dalam urusan agama. Dan hal ini juga,
menurut mereka, menunjukkan pergantian diri Nabi kepada Abu Bakr dalam
masalah keduniaan.

Begitu pula ada riwayat dari Ali ra. yang berkata kepada Abu Bakr
ketika ia diminta oleh Sahabat untuk tampil sebagai pemimpin khilafah. Ia
berkata: Sesungguhnya Rasulullah telah merestuimu untuk (menjadi
pemimpin) dalam urusan keagamaan kita, maka apakah kita tidak
merestuimu pula dalam urusan keduniaan (khilafah). Dan ini menunjukkan ia
(Nabi) memilihnya (Abu Bakr) untuk pemimpin.Dalil lain yang mereka
kemukakan adalah ijma‘ al- ¡ahabah yang mana mereka berkumpul untuk
mengakui kepemimpinan Abu Bakr. Sesungguhnya Umar mengakui
(kepemimpinan ) Abu Bakr yang diikuti oleh Abu Ubaidah Ibn al- Jarrah dan
sahabat lainnya. Dengan demikian, ijma‘ Sahabat merupakan hujjah yang bisa
dijadikan dalil dan alasan kepemimpinan Abu Bakr tersebut.

Sedangkan menurut al- Bazdawi tokoh Maturidiah Bukhara, bahwa


pengakuan Umar terhadap Abu Bakr merupakan pengakuannya secara
sembunyi-sembunyi (sirr), bukan secara terang-terangan (alaniyah) sampai
wafatnya Fatimah. Ketika Fatimah wafat, ia pun mengakuinya secara terang-
terangan. Dasar pendapatnya tersebut adalah riwayat bahwa ia (Umar) berkata:

16
Bahkan, ia menambahkan bahwa ucapan Abu Bakr ٌketika ia dibay‘at
sebagai Khal³fah, menunjukkan bahwa ialah yang terbaik dari mereka (sahabat)
(Al- Asy‘ari, 1969: 44). Karena sesungguhnya manusia yang terbaik adalah
orang yang tidak melihat bahwa dirinyalah yang terbaik dari orang lain,
sebagaimana sabda Rasulullah:

Dalam pada itu, Al- Bazdawi menolak pandangan yang berpendapat bahwa
Ali sebagai khalifah setelah Rasulullah berdasarkan naj. Ia menyatakan bahwa jika
pengangkatan Ali berdasarkan na¡, maka tidak terjadi kesibukan dari kalangan kaum
Anshar dalam menentukan seorang pemimpin tersebut. Dan juga tidak terjadi pula
ijma sahabat untuk kepemimpinan Abu Bakr. Sebagaimana diketahui, ketika
Rasululah wafat, kaum Anshar mengangkat Sa‘ad Ibn ―Ubadah sebagai pemimpin
mereka dan berkata kepada kaum Muhajirin :

(dari golongan kaummu ada pemimpin dan dari kami ada pula pemimpin), sampai
mengemuka ucapan Abu Bakr bahwa Pemimpin-pemimpin itu berasal dari suku
Quraisy (Ibid).

Berbeda dari pandangan mayoritas tersebut, al- Jabbar melihat pemimpin


setelah Rasulullah adalah Ali Ibn Abi Talib, kemudian Hasan dan Husein dan
seterusnya oleh keturunannya. Sedangkan bagi kalangan al- Imamiyah, pemimpin
setelah Rasululah adalah Ali Ibn Abi Talib, kemudian Hasan, kemudian Husain,
sampai berjumlah dua belas orang.

Alasan yang dikemukakan oleh kalangan Rawafi«ah, salah satu sekte


Syi‘ah, bahwa Ali sebagai pemimpin setelah Nabi, adalah riwayat yang
disandarkan kepada Nabi bahwa ia bersabda (Ibn al-Hujjaj: 360): Antara engkau
(Ali) dan aku, seperti posisi Harun dan Musa. Hanya saja tidak ada nabi sesudah
diriku.

Riwayat di atas menunjukan dan membutuhkan pemahaman bahwa Ali


merupakan sekutu bagi Nabi dalam hal selain kenabian, karena Ali disamakan
dengan Harun di sisi Musa dalam selain kenabian, dan sesungguhnya ia teman

17
Musa dalam kenabian dan seluruh kekuasaan. Bila ia merupakan teman Musa
selain soal kenabian, maka ia lah penganti posisinya (Musa) sesudah kematiannya.
Begitu pula yang diriwayatkan dari Nabi bahwasanya ia bersabda (al-
Albaniy:330-339) :

Siapa yang mengakui aku sebagai pemimpinnya, maka Ali pemimpinnya


pula. Ya Allah berilah kekuasaan siapa yang Engkau beri kekuasaan dan
kembalikan (kekuasaan) siapa yang Engkau kembalikan kepadanya.
Dengan riwayat di atas, Nabi menjadikan Ali pemimpin bagi orang yang
mengakui Nabi sebagai pemimpinnya. Oleh karena itu, juga riwayat ini membuktikan
bahwa Ali mengantikan posisi Nabi selain soal kenabian, yakni mengantikan posisi
Nabi dalam kekuasaan duniawi (Al- Bazdawi, 1963: 179).

Dalam pada itu, Al- Bazdawi menolak pandangan yang berpendapat bahwa Ali
sebagai khalifah setelah Rasulullah berdasarkan naj. Ia menyatakan bahwa jika
pengangkatan Ali berdasarkan na¡, maka tidak terjadi kesibukan dari kalangan kaum
Anshar dalam menentukan seorang pemimpin tersebut. Dan juga tidak terjadi pula
ijma sahabat untuk kepemimpinan Abu Bakr. Sebagaimana diketahui, ketika
Rasululah wafat, kaum Anshar mengangkat Sa‘ad Ibn ―Ubadah sebagai pemimpin
mereka dan berkata kepada kaum Muhajirin : ‫ر ٍأى‬

ّ ٍْٗ‫ٌْن‬Zٍٍْ ‫ىر ٍأى‬

(dari golongan kaummu ada pemimpin dan dari kami ada pula pemimpin), sampai

16

mengemuka ucapan Abu Bakr bahwa Pemimpin-pemimpin itu berasal dari suku

Quraisy (Ibid).

Berbeda dari pandangan mayoritas tersebut, al- Jabbar melihat pemimpin

18
setelah Rasulullah adalah Ali Ibn Abi Talib, kemudian Hasan dan Husein dan

seterusnya oleh keturunannya. Sedangkan bagi kalangan al- Imamiyah, pemimpin

setelah Rasululah adalah Ali Ibn Abi Talib, kemudian Hasan, kemudian Husain,

sampai berjumlah dua belas orang.

ٙ‫ىتّأ‬Zٍ‫ى‬ْٚY ٍْٚ ‫ْز‬Zcَْ ‫ ٗ ُى ٕى ى‬Zٍٍِ‫٘صِى‬


ٍ ٍ٘Z ٚ‫ّٔأى ى‬Zّ‫ د ىيبّى ٔى‬Alasan yang dikemukakan oleh

kalangan Rawafi«ah, salah satu sekte Syi‘ah, bahwa Ali sebagai pemimpin setelah

Nabi, adalah riwayat yang disandarkan kepada Nabi bahwa ia bersabda (Ibn
alHujjaj: 360): Antara engkau (Ali) dan aku, seperti posisi Harun dan Musa. Hanya

saja tidak ada nabi sesudah diriku.

Riwayat di atas menunjukan dan membutuhkan pemahaman bahwa Ali

merupakan sekutu bagi Nabi dalam hal selain kenabian, karena Ali disamakan

dengan Harun di sisi Musa dalam selain kenabian, dan sesungguhnya ia teman

Musa dalam kenabian dan seluruh kekuasaan. Bila ia merupakan teman Musa

selain soal kenabian, maka ia lah penganti posisinya (Musa) sesudah kematiannya.

Begitu pula yang diriwayatkan dari Nabi bahwasanya ia bersabda (al- Albaniy:

330-339):

Zٍٍِ ‫ٍ٘ى ْت‬Zٍ ٘‫ى‬


ٓ ‫مِى‬ ٓ ‫ ي‬ٚ‫ٍ٘ى‬Zٍ ٘‫ى‬ ٓ ‫ى ٗا‬Zٍٍِ‫اِى‬
ٓ ‫ىه ٗ ٖىٌيى‬Zٍٍِ‫ى ِٗى‬

Siapa yang mengakui aku sebagai pemimpinnya, maka Ali

pemimpinnya pula. Ya Allah berilah kekuasaan siapa yang Engkau

beri kekuasaan dan kembalikan (kekuasaan) siapa yang Engkau

kembalikan kepadanya.

Dengan riwayat di atas, Nabi menjadikan Ali pemimpin bagi orang yang

19
mengakui Nabi sebagai pemimpinnya. Oleh karena itu, juga riwayat ini

membuktikan bahwa Ali mengantikan posisi Nabi selain soal kenabian, yakni

mengantikan posisi Nabi dalam kekuasaan duniawi (Al- Bazdawi, 1963: 179).

D. RELEVANSI DENGAN KEKINIAN

Dari pokok-pokok pendapat yang dikemukakan berbagai aliran di atas dan


menarik disimak dan dihubungkan dengan konteks kekinian adalah persoalan
syarat-syarat dan sifat serta nasab dari seorang pemimpin dan persoalan bay‘ah
yang dilakukan oleh yang dipimpin. Dapat disimpulkan dan disepakati bahwa
sifat atau syarat yang dimiliki seseorang sehingga ia layak menjadi pemimpin
(Imam) adalah :

1. Seorang yang alim , terbaik intektual. Dengan dasar ini dan sesuai dengan
kedudukan Imam, memungkinkannya untuk menegakkan berbagai
peraturan dan undang.
2. Pemaaf dan wara‘. Dalam sifat adil yang dimiliki seorang pemimpin
terlihat bahwa kestabilan hidup bermasyarakat dan bernegara
memerlukan tegaknya keadilan. Tiap sesuatu yang melukai rasa keadilan
masyarakat bisa mengakibatkan rusaknya kestabilan masyarakat secara
keseluruhan, karena rasa keadilan merupakan fitrah manusia. Untuk
menegakkan keadilan tersebut, hukum berdaulat atas semua unsur
masyarakat, dari yang lemah sampai pemimpin yang paling tinggi
sekali pun. Semuanya sama dihadapan hukum. Menurut penulis, dalam
menegakkan keadilan dan kebenaran, pemimpin tidak boleh pandang
bulu, bergantung kepada senang atau tidak senangnya. Keadilan bagi
orang bertakwa adalah berarti menegakkan keadilan atas dasardasar
yang objektif, bukan atas dasar kepentingan sesuatu golongan atau
keluarga. Ia mengemukakan dalil na¡ al- Quran surat al- Nisa ayat 135
untuk memperkuat pandangannya tersebut. Wahai orang-orang yang
beriman, jadilah kamu orang yang benar-benar penegak keadilan,

20
menjadi saksi karena Allah biarpun terhadap dirimu sendiri atau ibu
bapak dan kaum kerabatmu. Jika ia kaya ataupun miskin, maka Allah
lebih tahu kemashlahatannya. Maka janganlah kamu mengikuti hawa
nafsu karena ingin menyimpang dari kebenaran. Dan jika kamu
memutarbalikkan (kata-kata) atau enggan menjadi saksi, maka
sesungguhnya Allah adalahSebagaimana telah disinggung di atas,
kekuasaan yang berada di tangan pemimpin adalah kurnia Ilahi yang
diamanatkan kepadanya untuk dijalankan sesuai dengan norma-norma
yang telah digariskan Allah yang Maha Adil. Kekuasaan bukanlah
untuk semata-mata berkuasa, tapi untuk menegakkan hukum dan keadilan,
dan memberi hak kepada siapa saja yang berhak atasnya, sekalipun yang
berhak itu berada dalam posisi yang lemah. Allah mengingatkan
penguasa yang menuruti keinginan dan kemauan sendiri tanpa
mengambil pusing dengn norma-norma keadilan dan kebenaran dengan
kehancuran mereka, seperti dalam surat Ibrahim ayat 42.

―Dan janganlah sekali-kali kamu mengira, bahwa Allah lalai dari apa yang

diperbuat oleh orang-orang yang zalim. Sesungguhnya Allah memberi

tangguh kepada mereka sampai hari yang pada waktu itu mata (mereka)

terbelalak‖ (QS. Ibrahim: 42).

3). Pemberani dan mempunyai keberanian (al- syaja‘ah), dan kemantapan hati.

4). Cakap dalam strategi (politik) dan ahli dan baik dalam manajemen (Hasan altadbr)
dan ahli pula dalam strategi persaingan.

Seorang pemimpin harus berani dalam mencari terobosan-terobosan positif

untuk mencapai suatu keberhasilan. Keberanian merupakan kekuatan, karena

pemiliknya mampu melawan dan menundukkan kejahatan. Hal ini dibarengi

dengan keharmonisan hubungan antara pemimpin dengan yang dipimpin.

21
Keharmonisan hubungan melahirkan kemajuan dan perkembangan masyarakat.

Benar bahwa semakin kokoh hubungan dan interaksi keduanya dan semakin

dalam pengenalan terhadap kedua pihak, akan semakin banyak yang dapat

diperoleh dan dimanfaatkan melalui keduanya. Namun, bila hubungan keduanya

tidak harmonis, pastilah hasil lain yang dicapai hanyalah penderitaan dan

penindasan manusia atas manusia. Sebaliknya, semakin baik interaksi antar

19

keduanya, akan semakin banyak yang dapat dimanfaatkan darinya. Karena, ketika

itu mereka semua akan saling membantu dan bekerjasama.

5). Sedangkan berkaitan dengan nasab atau dalam bahasa kekinian dengan istilah

―putra daerah/pribumi‖ terdapat perbedaan pandangan antar golongan yang

ada.

Hanya saja mayoritas kelompok berpendapat bahwa kepemimpinan dapat

dipegang oleh setiap suku manusia. Kepemimpinan tersebut untuk kemaslahatan

yang dapat memperbaiki penegakan peraturan suatu institusi dan pemerintahan.

Berdasarkan analogi dari persoalan nasab quraisy ini, putra daerah atau pribumi

bukanlah jaminan dapat terlaksananya peraturan dan sebaliknya non putra daerah

tidak dapat menjalankannya. Yang terpenting bagi setiap golongan adalah seorang

pemimpin mempunyai syarat dan sifat yang telah dikemukakan di atas.

Dalam persolan jalan (pengangkatan) menjadi seorang pemimpin atau

imam dalam konteks kekinian, tampaknya, mayoritas ulama harus berdasarkan

kepada pemilihan (ikhtiyar) dan dengan al- aqd (sumpah). Jalan tersebut adalah

22
memenangkan pemilihan dengan mengantongi nilai terbanyak (al- ğalabah).

Namun kalangan minorotas ada yang melihatnya berdasarkan penunjukkan dari

pemimpin sebelumnya. Setiap pemimpin dapat menunjuk (yunau) imam

setelahnya yang ia merupakan na¡ dari Allah juga.

Hal ini menunjukkan adanya seleksi alam dari masyarakat terhadap

seorang pemimpin. Dengan bahasa lain, masyarakat mengadakan sistem

pemilihan (al- ikhtiyar) dalam menentukan seorang pemimpin yang akan

dijadikan sebagai pemimpin mereka dalam kehidupan perorangan dan sosial

kemasyarakatan.

Pandangan demikian nyata terlihat dalam sistem pemilihan umum yang

merupakan jalan (tujuan) menentukan seorang pemimpin. Sistem pemilihan

tersebut merupakan salah satu jalan yang diredai Tuhan dalam kehidupan

bermasyarakat dan bernegara.

20

Adapun dalam penentuan (ta‘y³n) seorang pemimpin bukan diukur dari

asal bangsa dan keturunannya (nasab). Yang nyata bahwa ―yang terpenting bagi

seseorang untuk menjadi pemimpin adalah berkenaan dengan sifat-sifat pada

dirinya dan pemenuhan hak dan kewajibannya serta bertanggung jawab kepada

negara dan rakyat. Bukan ia berhubungan dan terletak pada bangsa dan

keturunannya‖. Nilai bangsa dan kebangsaan itu bukanlah diukur dengan

kesombongan dan kebanggaan. Tetapi nilai bangsa dan kebangsaan itu adalah

diukur dengan banyaknya bakti terhadap bangsa, tanah air dan Tuhan.

23
Menurut penulis, seorang pemimpin negara, rakyat dan masyarakat harus

mendapat kepercayaan dari rakyatnya. Tentu saja disertai dengan adanya reputasi,

amal dan jasa pemimpin yang diketahui oleh masyarakatnya. Sebaliknya

masyarakat atau rakyat tidak memilih pemimpin yang belum menunjukkan amal

dan jasanya. Betapapun, menempatkan seseorang sebagai pemimpin berarti

menyerahkan sebagian haknya kepada orang yang dipilih sebagai pemimpin.

Sebagaimana diketahui bahwa kekuasaan yang berada pada pemimpin

merupakan anugerah Allah yang diberikan kepadanya. Peanugerahan ini

dilakukan melalui satu ikatan perjanjian. Ikatan ini terjalin antara sang pemimpin

dengan Allah SWT di satu pihak dan dengan masyarakatnya di pihak lain.

Perjanjian dengan Allah dinamakan dengan ahad dan perjanjian dengan

masyarakatnya dinamakan dengan bay‘ah.

Pengertian bay‘ah adalah suatu perjanjian suci antara ummat dengan

pemimpinnya dalam mempertahankan diri sampai tetesan darah terakhir. Hal ini

tampak dalam pandangannya bahwa pada masa hidup Rasulullah, sebelum terjadi

perjanjian Hudaibiyah, terjadi satu bay‘ah di saat kaum Muslimin sedang

terancam oleh kaum Quraisy yang hendak menyerbu umat Islam yang tidak

bersenjatakan dalam rangka melaksanakan umrah. Arti bay‘ah dalam peristiwa

tersebut adalah satu perjanjian yang sangat suci (serius) antara Rasulullah dengan

ummat, yakni hendak mempertahankan diri sampai tetesan darah terakhir.

BAB III

24
KESIMPULAN DAN SARAN

A. KESIMPULAN

Dari ungkapan di atas, menurut penulis, tampak bahwa dua macam bay‘ah
yang dilakukan, bay‘ah yang diucapkan oleh pemimpin (aqad) sebagai
sumpah dan janji dalam memimpin, dan bay‘ah yang dilakukan oleh
umat/rakyat melalui keikut sertaannya dalam pemilihan terhadap pemimpin. Hal
ini didasarkan kepada asal makna kata bay‘ah yang berarti menjual atau
memberikan sebagian hak pemilih kepada pemimpin, sebagaimana yang
dipahami Natsir –seorang tokoh Indonesia Kontemporer-- bahwa menempatkan
seseorang sebagai pemimpin oleh rakyat berarti menyerahkan sebagian haknya
kepada pemimpin tersebut diatas.

DAFTAR PUSTAKA

Dagobert D. Runes. Dictionary of Philosophy, Adam & Co, Totowa-New Yersey,

25
1977

M. Quraish Shihab. “Membumikan” al- Quran, Mizan, Bandung, 1993

Ahmad Mahmud Subhiy. Nariyah al- Imamah ladai Syi‟ah Ibnu „Asyariyah, Dar

al- Ma‘rif, Mesir. 1969

Harun Nasution. Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspeknya. Jilid I, UI Press,

Jakarta. 1985

26

Anda mungkin juga menyukai