Pada tanggal 1 Januari 1995 WTO (Organisasi Perdagangan Dunia) secara resmi berdiri.
WTO adalah organisasi perdagangan dunia penerus GATT 1947. Perbedaan GATT dengan
WTO adalah bahwa GATT hanya merupakan sekumpulan peraturan perdagangan yang
apabila terjadi persengketaan antar anggota maka GATT tidak dimungkinkan untuk dapat
menyelesaikannya karena dalam GATT tidak terdapat lembaga penyelesaian sengketa.
Sedangkan pada WTO selain sebagai forum negosiasi bagi anggota juga terdapat lembaga
penyelesaian sengketa. Lembaga ini berfungsi untuk menyelesaikan sengketa perdagangan
antar anggota WTO. Sementara itu prinsip GATT dan WTO adalah sama yaitu prinsip Non-
discrimination dan MFN Treatment yaitu perlakuan sama bagi setiap anggota WTO.
Dalam menjembatani tingkat pembangunan ekonomi diantara anggota WTO yang berbeda
maka diadakan suatu Perlakuan khusus dan berbeda (S&D treatment) bagi negara
berkembang. Perlakuan khusus dan berbeda ini dimaksudkan memberikan kesempatan
kepada negara berkembang dalam rangka implementasi persetujuan WTO. Perlakuan khusus
tersebut misalnya mengenai masa transisi penerapan ketentuan WTO dalam peraturan
perundang-undangan nasional mereka dan juga penyediaan bantuan teknis dari anggota
negara maju serta peningkatan kapasitas bagi para pejabat untuk meningkatkan pemahaman
tentang WTO dan implikasinya.
Dalam persetujuan WTO terdapat juga pengecualian bagi negara anggota dalam hal
implementasi yaitu adanya pemberian preferensi baik dari anggota negara maju kepada
negara berkembang juga antar negara berkembang. Selain itu juga mendapatkan kesempatan
untuk melaksanakan ketentuan waiver.
Dalam kaitannya dengan Free Trade Area, Persetujuan WTO membolehkan anggota untuk
membentuk perjanjian antar pemerintah untuk mendirikan customs union (CU), Free Trade
Area/RTA (Regional Trade Agreement), interim agreement menuju ke pembentukan CU dan
FTA dan Perjanjian Integrasi Ekonomi (EIA).
Dalam membentuk RTA tersebut dijelaskan bahwa masa waktu untuk menotifikasin
pembentukannya tidak lebih dari 10 tahun. RTA dewasa ini tidak saja meliputi Perdagangan
Barang tetapi juga mencakup perdagangan jasa. Dasar dari pembentukan RTAs dimaksud
adalah artikel 24 GATT 1994 untuk perdagangan barang dan artikle V GATS untuk
perdagangan jasa yang menjelaskan bahwa article V memberikan anggota WTO dengan
perlindungan hukum untuk membentuk EIA.
BAB II
PEMBAHASAN
a. GATT sebagai suatu persetujuan internasional, yaitu suatu dokumen yang memuat
ketentuan untuk mengatur perdagangan internasional.
b. GATT sebagai suatu organisasi internasional yang diciptakan lebih lanjut untuk mendukung
persetujuan tersebut. Teks persetujuan GATT dapat disetarakan sebagai undang – undang,
organisasi GATT seperti parlemen dan pengadilan yang digabungkan ke dalam suatu
lembaga.
GATT sebagai suatu persetujuan, masih tetap eksis dan telah diperbarui, tetapi tidak
lagi menjadi bagian utama aturan perdagangan internasional. GATT selalu berkaitan dengan
perdagangan barang dan masih tetap berlaku. GATT telah diubah dan dimasukkan ke dalam
persetujuan WTO yang baru. Walaupun GATT tidak ada lagi sebagai organisasi internasional,
persetujuan GATT masih tetap berlaku. Teks lama dikenal dengan GATT 1947 dan versi
terbaru dikenal dengan GATT 1994. Persetujuan GATT yang baru tersebut berdampingan
dengan GATS (General Agreement on Trade in Services) dan TRIPs (Agreement on Trade
Related Aspect of Intellectual Property Rights). WTO mencakup ketiga persetujuan tersebut
dalam satu organisasi, atau aturan dan satu sistem untuk penyelesaian sengketa.
C. Sejarah WTO
a. Proses terbentuknya WTO
Pada tahun-tahun awal, Putaran Perdagangan GATT mengkonsentrasikan negosiasi pada
upaya pengurangan tariff. Pada Putaran Kennedy (pertengahan tahun 1960-an) dibahas
mengenai tariff dan Persetujuan Anti Dumping (Anti Dumping Agreement).
Putaran Tokyo (1973-1979) meneruskan upaya GATT mengurangi tariff secara progresif.
Hasil yang diperoleh rata-rata mencakup sepertiga pemotongan dari bea impor/ekspor
terhadap 9 negara industri utama, yang mengakibatkan tariff rata-rata atas produk industri
turun menjadi 4,7%. Pengurangan tariff, yang berlangsung selama 8 tahun, mencakup unsur
“harmonisasi” – yakni semakin tinggi tariff, semakin luas pemotongannya secara
proporsional. Dalam isu lainnya, Putaran Tokyo gagal menyelesaikan masalah produk utama
yang berkaitan dengan perdagangan produk pertanian dan penetapan persetujuan baru
mengenai “safeguards” (emergency import measures). Meskipun demikian, serangkaian
persetujuan mengenai hambatan non tariff telah muncul di berbagai perundingan, yang dalam
beberapa kasus menginterpretasikan peraturan GATT yang sudah ada.
Selanjutnya adalah Putaran Uruguay (1986-1994) yang mengarah kepada pembentukan
WTO. Putaran Uruguay memakan waktu 7,5 tahun. Putaran tersebut hampir mencakup semua
bidang perdagangan. Pada saat itu putaran tersebut nampaknya akan berakhir dengan
kegagalan. Tetapi pada akhirnya Putaran Uruguay membawa perubahan besar bagi sistem
perdagangan dunia sejak diciptakannya GATT pada akhir Perang Dunia II. Meskipun
mengalami kesulitan dalam permulaan pembahasan, Putaran Uruguay memberikan hasil yang
nyata. Hanya dalam waktu 2 tahun, para peserta telah menyetujui suatu paket pemotongan
atas bea masuk terhadap produk-produk tropis dari negara berkembang, penyelesaian
sengketa, dan menyepakati agar para anggota memberikan laporan reguler mengenai
kebijakan perdagangan. Hal ini merupakan langkah penting bagi peningkatan transparansi
aturan perdagangan di seluruh dunia.
b. Tujuan WTO
Tujuan WTO meningkatkan taraf hidup dan kesejahteraan, menambah lapangan pekerjaan,
meningkatkan produksi dan perdagangan, juga memanfaatkan SDA. Dari tujuan WTO
tersebut, banyak negara-negara berkembang yang sampai sekarang taraf hidup dan
kesejahteraannya masih dibawah maksimum, sama dengan lapangan pekerjaan. Padahal
tujuan WTO memang harus menciptakan perdagangan yang fair.
D. Peran WTO
Pada tahun 1994, perundingan perdagangan dunia Uruguay Round akhirnya dapat
diselesaikan dan berbagai perjanjian telah disepakati dalam bentuk General Agreement On
Tariff and Trade (GATT). Dimana waktu itu GATT sendiri bertujuan mengatur jalannya
perdagangan internasional pada masa itu, yang meliputi perdagangan dan tarif harga. GATT
sendiri awal berdirinya ketika berakhirnya Perang Dunia II tahun 1947, di mana terjadi krisis
ekonomi besar-besaran di dunia oleh negara-negara yang kalah perang di Perang Dunia II.
Peminjaman uang atas kerusakan infrastruktur dan struktur dilakukan oleh negara-negara
yang tidak mempunyai sukup dana untuk membiayai negaranya sendiri. Oleh karena itu,
mereka meminjam uang kepada Amerika Serikat yang waktu itu memilik modal yang lebih
dari cukup dengan bunga yang sangat tinggi pula. Dalam pembaharuan GATT 1994 yang
sekarang berkaitan dengan Uruguay Round (1986-1994) : Perdagangan internasional
mengalami distorsi (kondisi produk di negara berkembang dilakukan secara monopoli), jadi
pemerintah menerapkan pajak barang mewah. Lalu muncullah sektor-sektor investasi asing di
negara berkembang karena negara maju meminta negara berkembang untuk membuka
investasi asing karena negara maju tidak mampu membayar upah buruh.
Waktu dari pembentukan WTO, hambatan perdagangan internasional masih tetap tinggi.
Produk industri di 42 negara industri maju dan berkembang, rata-rata masih memberlakukan
tarif antara 18 sampai 59 persen.
Setelah Perang Dunia II digunakanlah alat pembangunan internasional yaitu dollar melalui
IMF dan Bank Dunia. Dulunya melalui perdagangan commodity, sekarang melalui service
atau jasa. Di WTO sendiri terdapat fair trade dan market oriented. Fair trade dikhususkan
untuk negara maju dan negara berkembang.
Untuk negara berkembang sendiri, WTO belum dirasakan cukup membantu dalam
perekonomian internasionalnya. Seperti kebijakan anti dumping lebih banyak dimanfaatkan
oleh negara-negara maju, khususnya untuk produk industri. Export subsidies mempunyai
peranan penting bagi negara berkembang atau industri baru dalam mengurangi ledakan
tenaga kerja
Hasil dari Putaran Uruguay berupa the Legal Text terdiri dari sekitar 60 persetujuan, lampiran
(annexes), keputusan dan kesepakatan. Persetujuan-persetujuan dalam WTO mencakup
barang, jasa, dan kekayaaan intelektual yang mengandung prinsip-prinsip utama liberalisasi.
a) Pertanian
b) Sanitary and Phytosanitary/ SPS
c) Badan Pemantau Tekstil (Textiles and Clothing)
d) Standar Produk
e) Tindakan investasi yang terkait dengan perdagangan (TRIMs)
f) Tindakan anti-dumping
g) Penilaian Pabean (Customs Valuation Methods)
h) Pemeriksaan sebelum pengapalan (Preshipment Inspection)
i) Ketentuan asal barang (Rules of Origin)
j) Lisensi Impor (Imports Licencing)
k) Subsidi dan Tindakan Imbalan (Subsidies and Countervailing Measures)
l) Tindakan Pengamanan (safe guards)
Untuk jasa (dalam Annex GATS) :
a. MFN (Most-Favoured Nation): Perlakuan yang sama terhadap semua mitra dagang.Dengan
berdasarkan prinsip MFN, negara-negara anggota tidak dapat begitu saja mendiskriminasikan
mitra-mitra dagangnya. Keinginan tarif impor yang diberikan pada produk suatu negara harus
diberikan pula kepada produk impor dari mitra dagang negara anggota lainnya.
b. Perlakuan Nasional (National Treatment) Negara anggota diwajibkan untuk memberikan
perlakuan sama atas barang-barang impor dan lokal- paling tidak setelah barang impor
memasuki pasar domestik.
c. Transparansi (Transparency) Negara anggota diwajibkan untuk bersikap terbuka/transparan
terhadap berbagai kebijakan perdagangannya sehingga memudahkan para pelaku usaha untuk
melakukan kegiatan perdagangan.
G. Deklarasi Doha
Sejak terbentuknya WTO awal tahun 1995 telah diselenggarakan lima kali Konferensi
Tingkat Menteri (KTM) yang merupakan forum pengambil kebijakan tertinggi dalam WTO.
KTM-WTO pertama kali diselenggarakan di Singapura tahun 1996, kedua di Jenewa tahun
1998, ketiga di Seatlle tahun 1999 dan KTM keempat di Doha, Qatar tahun 2001. Sementara
itu KTM kelima diselenggarakan di Cancun, Mexico tahun 2003.
KTM ke-4 (9-14 Nopember 2001) yang dihadiri oleh 142 negara, menghasilkan dokumen
utama berupa Deklarasi Menteri (Deklarasi Doha) yang menandai diluncurkannya putaran
perundingan baru mengenai perdagangan jasa, produk pertanian, tarif industri, lingkungan,
isu-isu implementasi, Hak Atas Kekayaan Intelektual (HAKI), penyelesaian sengketa dan
peraturan WTO. Deklarasi Doha juga memuat mandat untuk meneliti program-program kerja
mengenai electronic commerce, negara-negara kecil (small economies), serta hubungan
antara perdagangan, hutang dan alih teknologi, dan memberikan mandat kepada anggota
WTO untuk melakukan negosiasi di berbagai bidang, termasuk isu-isu yang berkaitan dengan
pelaksanaan persetujuan yang ada.
Deklarasi Doha mencanangkan segera dimulainya perundingan lebih lanjut mengenai
beberapa bidang spesifik, antara lain di bidang pertanian. Perundingan di bidang pertanian
telah dimulai sejak bulan sejak bulan Maret 2000. Sudah 126 anggota (85% dari 148 anggota)
telah menyampaikan 45 proposal dan 4 dokumen teknis mengenai bagaimana perundingan
seharusnya dijalankan. Salah satu keberhasilan besar negara-negara berkembang dan negara
eksportir produk pertanian adalah dimuatnya mandat mengenai ”pengurangan, dengan
kemungkinan penghapusan, sebagai bentuk subsidi ekspor”.
Mandat lain yang sama pentingnya adalah kemajuan dalam hal akses pasar,
pengurangan substansial dalam hal program dukungan/subsidi domestik yang mengganggu
perdagangan (trade-distorting domestic suport programs), serta memperbaiki perlakukan
khusus dan berbeda di bidang pertanian bagi negara-negara berkembang.
Konperensi Tingkat Menteri (KTM) V WTO berlangsung di Cancun, Meksiko tanggal 10-14
September 2003 tidak mengeluarkan Deklarasi yang rinci dan substantif, karena gagal
menyepakati secara konsensus, terutama terhadap draft teks pertanian, akses pasar produk
non pertanian (MANAP) dan Singapore issues yang mencakup isu-isu: investasi, kebijakan
kompetisi (competition policy), transparansi dalam pengadaan pemerintah (goverment
procurement), dan fasilitasi perdagangan.
Perundingan untuk isu pertanian diwarnai dengan munculnya joint paper AS-UE, proposal
Group 20 (yang menentang proposal gabungan AS-UE) dan proposal Group 33 (yang
memperjuangkan konsep special product dan special safeguard mechanism).
Joint paper AS-UE memuat proposal yang menghendaki adanya penurunan tarif yang cukup
signifikan di negara berkembang, tetapi tidak menginginkan adanya pengurangan subsidi dan
tidak secara tegas memuat komitmen untuk menurunkan tarif tinggi (tariff peak) di negara
maju.
Sebaliknya, negara berkembang yang tergabung dalam Group 20 menginginkan adanya
penurunan subsidi domestik (domestik support) dan penghapusan subsidi ekspor pertanian di
negara-negara maju, sebagaimana dimandatkan dalam Deklarasi Doha.
Sedangkan kelompok negara-negara berkembang lainnya yang tergabung dalam Group 33
(group yang dimotori Indonesia dan Filipina) mengajukan proposal yang menghendaki
adanya pengecualian dari penurunan tarif, dan subsidi untuk Special Products (SPs) serta
diberlakukannya Special Safeguard Mechanism (SSM) untuk negara-negara berkembang.
Setelah gagalnya KTM V WTO di Cancun, Meksiko pada tahun 2003, Sidang Dewan Umum
WTO tanggal 1 Agustus 2004 berhasil menyepakati Keputusan Dewan Umum tentang
Program Kerja Doha, yang juga sering disebut sebagai Paket Juli. Pada kesempatan tersebut
berhasil disepakati kerangka (framework) perundingan lebih lanjut untuk DDA (Doha
Development Agenda) bagi lima isu utama yaitu perundingan pertanian, akses pasar produk
non-pertanian (NAMA), isu-isu pembangunan dan impelementasi, jasa, serta Trade
Facilitation dan penanganan Singapore issues lainnya.
Keputusan untuk tiga pilar perundingan sektor pertanian (subsidi domestik, akses pasar dan
subsidi ekspor) adalah:
a. Subsidi domestik
1) Negara maju harus memotong 20% dari total subsidi domestiknya pada tahun pertama
implementasi perjanjian pertanian.
2) Pemberian subsidi untuk kategori blue box akan dibatasi sebesar 5% dari total produksi
pertanian pada tahun pertama implementasi.
3) Negara berkembang dibebaskan dari keharusan untuk menurunkan subsidi dalam kategori de
minimis jika subsidi tersebut ditujukan untuk membantu petani kecil dan miskin.
b. Subsidi ekspor
a. Semua subsidi ekspor akan dihapuskan dan dilakukan secara paralel dengan penghapusan
elemen subsidi program seperti kredit ekspor, garansi kredit ekspor atau program asuransi
yang mempunyai masa pembayaran melebihi 180 hari.
b. Memperketat ketentuan kredit ekspor, garansi kredit ekspor mempunyai masa pembayaran
180 hari atau kurang, yang mencakup pembayaran bunga, tingkat suku bunga minimum, dan
ketentuan premi minimum.
c. Implementasi penghapusan subsidi ekspor bagi negara berkembang yang lebih lama
dibandingkan dengan negara maju.
d. Hak monopoli perusahaan negara di negara berkembang tidak harus dihapuskan.
e. Aturan pemberian bantuan makanan (food aid) diperketat untuk menghindari
penyalahgunaannya untuk mengalihkan kelebihan produksi negara maju.
f. Aturan perlakuan khusus dan berbeda (S&D) untuk negara berkembang diperkuat.
c. Akses Pasar
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Indonesia telah menjadi anggota dari Organisasi Perdagangan Dunia atau WTO. Ada
manfaat yang dapat dirasakan oleh Indonesia sebagai anggota dari WTO dan adapula
kerugian mengikuti organisasi ini, terlebih Indonesia masih merupakan negara berkembang
yang belum kuat stabilitas perekonomiannya.
Keuntungan dalam sistem perdagangan WTO yang juga dapat dirasakan oleh Indonesia
antara lain dapat dikelompokkan dalam 10 hal penting, yaitu :
7. Prinsip – prinsip dasar sistem perdagangan WTO yang nondiskriminasi, bila secara konsisten
diterapkan akan mendorong perdagangan berjalan lebih efisien
8. Pemerintah negara – negara anggota akan terlindungi dari praktik – praktik persaingan
dagang antarnegara yang tidak sehat
DAFTAR PUSTAKA
http://ditjenkpi.kemendag.go.id/website_kpi/index.php?
module=news_detail&news_content_id=371&detail=true
http://id.wikipedia.org/wiki/Organisasi_Perdagangan_Dunia
http://rienie-daries.blogspot.com/2012/01/makalah-wto.html
http://binchoutan.files.wordpress.com/2008/05/wto-dan-pengaruhnya-terhadap-indonesia.pdf
BAB. I
PENGERTIAN
A. Pengertian Perjanjian Internasional
Dalam pengertian umum & luas, perjanjian internasional dalam bahasa Indonesia disebut
juga persetujuan, traktat, atau pun konvensi, dengan kata lain adalah :
“Kata sepakat antara 2 atau lebih subyek hukum internasional mengenai suatu obyek atau
masalah tertentu dengan maksud untuk membentuk hubungan hukum atau melahirkan hak &
kewajiban yang diatur oleh hukum .”
Maksudnya adalah :
1. Dalam definisi tersebut menyebutkan bahwa semua subyek hukum internasional dipandang
dapat mengadakan perjanjian internasional. Padahal dalam kenyataannya, tidaklah setiap
subyek hukum internasional dapat berkedudukan sebagai pihak dalam perjanjian internasional
atau tidak semua subyek hukum internasional itu dapat mengadakan perjanjian internasional.
Hingga kini, hanya negara, tahta suci, & organisasi internasional (tidak semuanya), kaum
belligerens, bangsa yang sedang memperjuangkan hak-haknya, yang dapat berkedudukan
sebagai pihak dalam suatu perjanjian internasional.
2. Dalam definisi tersebut juga disamping mencakup perjanjian internasional tertulis juga
mencakup perjanjian internasional yang berbentuk tidak tertulis, yang masing-masing memiliki
kharakter yang sangat berbeda, meskipun sama-sama merupakan perjanjian internasional.
Dengan kata lain, pengertian ini berguna sebagai titik tolak untuk mengklarifikasikan
perjanjian internasional dengan lebih mempersempit ruang lingkupnya, baik ruang lingkup
subyek hukumnya maupun ruang lingkup bentuknya.
B. Pengertian Perdagangan Bebas Atau Pasar Bebas
Dalam analisis mikroekonomi, perekonomian pasar bebas adalah pemerintah tidak
mempengaruhi kegiatan ekonomi. Dengan demikian kegiatan ekonomi hanya ditentukan oleh
interaksi di antara .
Perekonomian pasar bebas memiliki beberapa ciri yang baik, yaitu ;
1. Pasar memberi informasi yang lebih tepat,
2. Pasar merangsang kegiatan memproduksi,
3. Pasar menggalakkan masyarakat untuk mengembangkan keahliannya,
4. Pasar meningkatkan efisiensi penggunaan barang & faktor-faktor produksi, dan
5. Pasar memberikan kebebasan kepada masyarakat untuk menjalankan kegiatan yang
disukainya.
Di samping melihat berbagai kebaikkan sistem pasar bebas, ahli-ahli ekonomi telah lama
menyadari berbagai kelemahan perekonomian pasar bebas, yaitu ;
1. Kebebasan yang tak terbatas menindas golongan tertentu,
2. Kegiatan ekonomi sangat tidak stabil,
3. Dapat menimbulkan ketidaksetaraan & monopoli,
4. Terdapat beberapa jenis barang yang tidak akan diproduksikan dalam sistem pasar bebas, dan
5. Kegiatan pasar dapat menimbulkan eksternalitas yang negatif.
Menyadari adanya beberapa kelemahan dari sistem pasar bebas, di berbagai negara
pemerintah (termasuk Indonesia) akan selalu campur tangan dalam kegiatan ekonomi & tujuan
campur tangan ini adalah untuk mengatasi kelemahan sistem pasar bebas. Campur tangan
pemerintah tersebut adalah :
1. Membuat peraturan-peraturan,
2. Menjalankan kegiatan ekonomi tertentu, dan
3. Menjalankan kebijakkan fiskal & moneter.
Sedangkan yang termasuk subyek hukum perdagangan adalah :
1. Negara.
2. Organisasi perdagangan internasional. Organisasi ini pun terbagi 2, yaitu :
a. Organisasi internasional antar pemerintah (publik) seperti organisasi perdagangan internasional
yang berada dibawah PBB, yaitu UNCITRAL (tahun 1966) atau organisasi perdagangan
internasional yang berada di luar keluarga PBB, yaitu GATT (tahun 1947).
b. Organisasi internasional nonpemerintah seperti NGO atau yang biasa disebut dengan LSM
internasional.
3. Individu, yaitu :
a. Perusahaan multinasinal atau multinasional corporation atau MNCs.
b. Bank dalam artian terbatas, maksudnya adalah :
Peran bank dalam perdagangan internasional dapat dikatakan sebagai kunci karena tanpa bank,
perdagangan internasional mungkin tidak dapat berjalan.
Bank menjembatani antara penjual & pembeli yang 1 sama lain mungkin saja tidak mengenal
karena mereka berada di negara yang berbeda. Perannya di sini adalah dalam memfasilitasi
pembayaran antara penjual & pembeli.
Bank berperan penting dalam menciptakan aturan-aturan hukum dalam perdagangan
internasional khususnya dalam mengembangkan hukum perbankan internasional. Salah 1
instrumen hukum yang bank telah kembangkan adalah sistem pembayaran dalam transaksi
perdagangan internasional seperti ‘kredit berdokumen’ atau biasa disebut documentary credit.
C. Pengertian Perjanjian Internasional Multilateral
Perjanjian internasional multilateral adalah :
1. Perjanjian internasional yang pihak-pihak atau negara-negara yang menjadi peserta pada
perjanjian itu lebih dari 2 .
2. Adalah suatu istilah hubungan internasional yang menunjukkan kerjasama antar
beberapa negara. Sebagian besar organisasi internasional, seperti PBB dan WTO, bersifat
multilateral.
Pendukung utama multilateralisme secara tradisional adalah negara-negara berkekuatan
menengah seperti Kanadadan negara-negara Nordik. Negara-negara besar sering bertindak
secara unilateral, sedangkan negara-negara kecil hanya memiliki sedikit kekuatan langsung
terhadap dalam urusan internasional, selain berpartisipasi di PBB, misalnya dengan
mengkonsolidasikan suara mereka dengan negara-negara lain dalam pemungutan suara yang
dilakukan di PBB. Dalam filosofi politis, lawan dari multilateralisme adalah unilateralisme.
Perjanjian internasional secara multilateral ada yang regional maupun cross regional.
D. Kesimpulan
Jadi pengertian dari perjanjian perdagangan bebas internasional secara multilateral adalah
“Kata sepakat antara lebih dari 2 subyek hukum internasional mengenai perekonomian pasar
bebas secara internasional dengan maksud untuk membentuk hubungan hukum atau
melahirkan hak & kewajiban yang diatur oleh hukum internasional”
BAB. II
PERATURAN-PERATURAN YANG MENGATUR
1. Dalam ruang lingkup Indonesia
Pasal 1 ayat 3 Undang-Undang Republik Indonesia No. 37 Thn. 1999 tentang
hubungan luar , mengatakan :
“Perjanjian Internasional adalah perjanjian dalam bentuk dan sebutan apa pun, yang diatur oleh
hukum internasional dan dibuat secara tertulis oleh Pemerintah Republik Indonesia dengan satu
atau lebih negara, organisasi internasional atau subyek hukum internasional lainnya, serta
menimbulkan hak dan kewajiban pada Pemerintah Republik Indonesia yang bersifat hukum
public”.
Pasal 14 Undang-Undang Republik Indonesia No. 37 Thn. 1999 tentang hubungan luar ,
mengatakan :
“Pejabat lembaga pemerintah, baik departemen maupun nondepartemen, yang akan
menandatangani perjanjian internasional yang dibuat antara Pemerintah Republik Indonesia
dengan Pemerintah negara lain, organisasi internasional, atau subyek hukum internasional
lainnya, harus mendapat surat kuasa dari Menteri”.
Dan dalam penjelasannya mengatakan :
“Surat Kuasa (Full Powers) adalah surat yang dikeluarkan oleh Menteri atas nama Pemerintah
Republik Indonesia yang memberi kuasa kepada satu atau beberapa orang yang mewakili
Pemerintah atau Negara Republik Indonesia untuk menandatangani atau menerima naskah
perjanjian yang menyatakan persetujuan Pemerintah Negara Republik Indonesia untuk
mengikatkan diri pada suatu perjanjian internasional”.
Pasal 16 Undang-Undang Republik Indonesia No. 37 Thn. 1999 tentang
hubungan luar negeri, mengatakan :
“Pemberian kekebalan, hak istimewa, dan pembebasan dari kewajiban tertentu kepada
perwakilan diplomatik dan konsuler, misi khusus, perwakilan Perserikatan Bangsa-Bangsa,
perwakilan badan-badan khusus Perserikatan Bangsa-Bangsa, dan organisasi internasional
lainnya, dilakukan sesuai dengan peraturan perundang-undangan nasional serta hukum dan
kebiasaan internasional”.
Dan dalam penjelasannya mengatakan :
“Kekebalan, hak istimewa, dan pembebasan kewajiban tertentu hanya dapat diberikan kepada
pihak-pihak yang ditentukan oleh perjanjian-perjanjian internasional yang telah disahkan oleh
Indonesia atau sesuai dengan peraturan perundang-undangan nasional serta hukum dan
kebiasaan internasional”.
Pasal 17 ayat 1 Undang-Undang Republik Indonesia No. 37 Thn. 1999 tentang
hubungan luar negeri, mengatakan :
“Berdasarkan pertimbangan tertentu, Pemerintah Republik Indonesia dapat memberikan
pembebasan dari kewajiban tertentu kepada pihak-pihak yang tidak ditentukan dalam Pasal 16”.
Dan penjelasannya mengatakan :
“Pembebasan dari kewajiban tertentu kepada pihak-pihak yang tidak disebutkan dalam Pasal 16
hanya dapat diberikan oleh Pemerintah atas dasar kasus demi kasus, demi kepentingan
nasional, dan tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan nasional. Yang
dimaksud dengan "kewajiban tertentu" dalam Pasal ini antara lain pajak, bea masuk, dan
asuransi social”.
Penyelesaian :
Dalam tahap DSB (Dispute Settlement Body) yang merupakan penjelmaan dari Dewan Umum atau
General Council (GC), Panel yang terdiri dari para ahli yang bertugas menelaah kasus atau keputusan pada
tingkat banding, memutuskan agar Indonesia menyesuaikan peraturannya agar selaras dengan peraturan
WTO.
2. Kasus :
Indonesia juga memiliki pengalaman menjadi pihak ketiga (third party) bersama dengan beberapa anggota
WTO dalam sengketa antara Uni Eropa menghadapi Argentina (tergugat) dimana dalam kasus ini
Argentina dianggap melakukan diskriminasi dengan menetapkan tindakan safeguard berupa pembatasan
impor produk alas kaki (footwear) yang berasal dari beberapa negara anggota WTO 4, termasuk Indonesia
yang merupakan eksportir utama produk alas kaki ke Argentina merasa dirugikan karena dikenakan
tambah-an bea masuk (specific duty) sedang-kan negara-negara Mercosur (Brazil, Uruguay, Paraguay)
tidak dikenakan tindakan safeguard.
Penyelesaian :
Argentina akhirnya melakukan penyesuaian aturannya mengenai safeguard.
3. Kasus :
Di samping itu, Indonesia bersama-sama dengan beberapa anggota WTO lainnya yaitu Canada, Mexico,
Jepang, Brasil, India, Thailand, Chile, Korea Selatan dan European Union menggugat Amerika Serikat
dalam kasus US – Continued Dumping and Subsidy Offset Act of 2000” (US – CDSOA). Dalam kasus
tersebut Indonesia bersama dengan negara lainnya menganggap kebijakan yang diterapkan Amerika
Serikat dalam US – CDSOA bertentangan dengan prinsip-prinsip yang disepakati dalamAgreement WTO
tentang anti dumping (Anti Dumping Agreement/AD Agreement) dan anti subsidi (Subsidy and
Countervailing Measures Agreement/ASCM Agreement).
Penyelesaiaan :
Kasus ini kemudian dibawa ke sidang Panel pada tahun 2001. Dalam keputusannya Panel
merekomendasikan kepada DSB untuk meminta AS agar menyesuaikan peraturannya dengan persetujuan-
persetujuan WTO dengan cara mencabut kebijakan US – CDSOA. Terhadap keputusan Panel tersebut, AS
mengajukan banding ke Appelate Body. Dalam keputusannya di tahun 2003,Appelate Body juga
merekomendasikan AS agar melakukan penyesuaian dengan mengadakan perubahan kebijakan terkait
dengan US – CDSOA atau yang juga dikenal dengan Byrd Amendment agar konsisten dengan ketentuan
WTO. Hal ini dilakukan karena Appelate Body juga memutuskan bahwa Byrd Amendment tidak konsisten
dengan persetujuan-persetujuan WTO.
BAB. IV
PENUTUP
Berdasar uraian di atas, terdapat 3 contoh kasus menarik yang perlu mendapat perhatian kita semua.
Pertama adalah tumbuhnya minat banyak kalangan di dalam negeri mengenai perkembangan sistem
perdagangan internasional. Hal ini merupakan pertanda positif akan semakin kuatnya posisi runding
Indonesia dengan munculnya keterlibatan pemikiran strategis apabila kalangan akademisi dapat memberi
kontribusi mengenai berbagai issue dalam sistem perdagangan internasional.
Ke-2 adalah fakta masih terbatasnya pemahaman masyarakat, pejabat pemerintah di daerah dan
termasuk kalangan akademik atas sistem perdagangan internasional. Keadaan ini menjadi penyebab tidak
optimalnya pemanfaatan peluang
dan ketentuan perdagangan WTO sebagai sarana meningkatkan kesejahteraan bangsa. Peran aktif para
pemerhati WTO sangat diperlukan terutama untuk mempercepat dan memperluas sosialisasi hasil
perundingan dan pemahaman mengenai implementasi sistem perdagangan internasional terutama sebagai
penyedia informasi tertulis. Sebagaimana kita ketahui bahwa literatur berbahasa Indonesia mengenai
WTO, AFTA, maupun APEC masih sangat terbatas.
Ke--3 adalah fakta masih terbatasnya keterlibatan kalangan masyarakat di luar pemerintah sebagai
penyedia pemikiranalternative atau mitra dialog Pemerintah di dalam menghadapi perundingan
perdagangan internasional baik secara bilateral, regional, maupun multilateral. Keterbatasan ini perlu
segera di atasi melalui upaya mempercepat peningkatan wawasan dan reposisi kedudukan kalangan
akademik menjadi partner pemerintah dalammenanggapi perubahan internasional di bidang perdagangan.
Sebagai penutup kita semua perlu saling mengingatkan bahwa Indonesia telah meratifikasi Ketentuan
WTO melalui Undang-undang No. 7 tahun 1994 tentang Pengesahan Agreement Establishing The World
Trade Organization (Persetujuan Pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia) . Adanya ratifikasi tersebut
merupakan pernyataan bahwa Ketentuan dan Isi Persetujuan WTO menjadi bagian dari peraturan
perundangan nasional. Sudah saatnya, kita memanfaatkan seoptimal mungkin ketentuan WTO sebagai
instrumen peraturan perdagangan nasional. Oleh sebab itu, diskusi dalam tugas ini akan menjadi langkah
awal yang baik untuk mengamankan dan memajukan kesejahteraan bangsa melalui sarana perdagangan
internasional
DAFTAR PUSTAKA
BUKU
1. Parthiana, I Wayan, Hukum Perjanjian Internasional Bagian 1, Bandung, PT. Mandar Maju,
2002.
2. Sukirno, Sadono, Mikroekonomi Teori Pengantar, Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada, 1994,
Edisi Ke-3.
3. Adolf, Huala, Hukum Perdagangan Internasional, Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada, 2005.
INTERNET
4. www.kemlu.go.id
5. http://id.wikipedia.org/wiki/Multilateralisme
6. http://ditjenkpi.depdag.go.id/images/Bulletin/buletin%2044.pdf
7. www.asean.org
8. www.kepustakaan-presiden.pnri.go.id