Al-Asqalani mengupas thaun dan waba itu dalam karyanya Badzlul Maun Fi Fadhlit
Thaun
Sebaran wabah mematikan tercatat pernah menghampiri Hijaz. Itu terekam antara lain
dalam catatan ulama terkemuka abad pertengahan, al-Hafiz Ibnu Hajar al-Asqalani
(1372-1449). Ia menulis kitab berjudul Badzlu al Maun Fi Fadhli al Thaun.
Akademisi UIN Syarif Hidayatullah yang juga filolog Prof Oman Fathurahman
menjelaskan, karya tersebut ditulis Ibnu Hajar dengan rupa-rupa latar. Di antaranya,
permintaan koleganya yang ingin mendapatkan saran ihwal menghadapi dan
menyikapi penyakit menular. Alasan lainnya lebih bersifat personal. Sebab, ketiga
putri Ibnu Hajar sendiri meninggal dunia di tengah bencana wabah.
Ibnu Hajar al-Asqalani dalam kitabnya itu menerangkan tentang dua peristiwa wabah
dalam sejarah Islam. Pertama, yang terjadi pada sekitar masa Nabi Muhammad SAW.
Seperti diketahui, penyerangan Abrahah terhadap Ka’bah di Makkah gagal karena
jenderal Habasyah dan pasukannya itu didera wabah semacam cacar. Akan tetapi,
efek lanjutan wabah terus terjadi. Barulah pada abad kedelapan, dampak itu mulai
berkurang.
“Jadi pada masa lalu, pandemik wabah itu agak panjang akibatnya, tentu juga terkait
dengan perkembangan ilmu sains, kedokteran yang mungkin belum sampai tahap
modern seperti sekarang, sehingga pencegahannya itu tidak bisa secepat sekarang,”
jelas Kang Oman, panggilan akrab Prof Oman Fathurrahman, dalam pengajian
Ngariksa, Jumat (27/3) lalu.
Adapun peristiwa wabah kedua yang ditulis al-Asqalani berkaitan dengan the Black
Death. Wabah dalam rentang tahun 1346-1353 itu membunuh hingga dua pertiga
populasi Benua Eropa dan sekitarnya, termasuk pesisir Afrika Utara dan Asia Barat.
Ulama yang juga ahli hadis itu pun terkena dampaknya.
Sesuai dengan judulnya, kitab Badzlu berisi informasi tentang macam-macam
pertolongan yang dapat diberikan bagi para penderita sakit. Namun, lebih detail lagi,
karya tersebut memaparkan definisi penyakit penular. Ada dua istilah yang dipakai,
yakni tha’un dan waba’. Dalam membedakan kedua terminologi itu, Ibnu Hajar al-
Asqalani bersandar pada pendapat para ulama ahli bahasa maupun kedokteran,
semisal al-Khalil (pengarang kitab An-Nihayah), Abu Bakar Ibnu al-Arabi, Abul
Walid al-Baji, al-Mutawalli, al-Ghazali, dan Ibnu Sina.
“Apa bedanya tha’un dengan waba’? Tha’un itu lebih khusus ketimbang waba’,” ujar
Kang Oman menerangkan pemilahan menurut al-Asqalani.
Dalam bahasa kekinian, tha’un ialah wabah atau pandemi karena bisa menimpa dan
menulari begitu banyak orang—tak pandang jenis kelamin, usia, kebangsaan, atau
agama—dalam suatu wilayah atau bahkan meluas ke banyak wilayah. Adapun waba’
merujuk pada penyakit menular itu sendiri. Intinya, lanjut Kang Oman, setiap tha’un
adalah waba’. Tidak berlaku sebaliknya.
Durasi wabah
Kapan suatu tha’un akan mereda? Pertanyaan ini dapat dicari perkiraan jawabannya
dalam Badzlu. Dikatakan “perkiraan”, sebab kita pun mesti memperhatikan konteks
zaman Ibnu Hajar al-Asqalani. Artinya, wabah yang dicatat olehnya belum dapat
digeneralisasi untuk zaman setelahnya.
Dalam karyanya itu, al-Asqalani menulis, “Wabah yang terjadi di berbagai negeri
kaum Muslimin biasanya terjadi pada pertengahan musim bunga (semi) setelah keluar
dari musim dingin, dan akan berakhir pada awal musim panas.” Perinciannya, tha’un
yang dicatat al-Asqalani berlangsung sejak akhir Rabiul Awal. Sebarannya dirasakan
mulai berkurang pada akhir Rajab. Ketika masuk bulan Sya’ban, masyarakat yang
terdampak thaun semakin berkurang lagi.
Ikhtiar ulama tersebut dalam mencantumkan (perkiraan) durasi wabah bukan dalam
kapasitas memastikan. Bagaimanapun, setiap peristiwa merupakan ketetapan Allah
Ta’ala. Wabah hendaknya menjadi momen untuk manusia merenungi penciptaan dan
tanggung jawab dirinya di dunia. Bagi kaum Muslimin, tha’un sudah sepantasnya
menjadi pengingat, bahwa selalu ada kesempatan taubat nasuha, memohon ampunan
kepada Allah SWT. Hal ini bisa diterapkan dengan memperbanyak ibadah, zikir, dan
munajat. Tentu saja, usaha-usaha juga dilakukan. Al-Asqalani sendiri menegaskan,
pentingnya menjauhi kerumunan kala wabah berlangsung.
“Jadi, ini satu karya yang bagi saya ada nilai spiritual, nilai empati yang luar biasa
tinggi,” kata Kang Oman mengomentari Badzlu.
Sejauh yang diteliti para ahli filologi, ada empat salinan manuskrip kitab Badzlu al
Maun Fi Fadhli al Thaun di seluruh dunia. Di antaranya terdapat di Istanbul (Turki)
dan Damaskus (Suriah).
Menurut Kang Oman, sebagai bahan perbandingan, di Nusantara sendiri juga ada
manuskrip yang membahas tentang tha’un di beberapa wilayah. Akan tetapi, ia
mengaku belum pernah mendengar tentang keberadaan manuskrip yang ditulis al-
Asqalani tersebut di Indonesia. “Keberadaan manuskrip itu di Nusantara sangat
penting untuk melihat transmisi ilmu atau pengaruh al-Asqalani terhadap masyarakat
kita,” ujarnya.
Dalam perspektif Islam, wabah penyakit adalah sebuah tanda peringatan dari Allah
Ta'ala untuk menguji hamba-hamba-Nya. Salah satu wabah penyakit paling masyhur
dan paling banyak menyebabkan kematian dalam peradaban Islam adalah wabah
Tho'un (sejenis penyakit kolera, ada yang menyebut penyakit kulit, wallahu a'lam).
Wabah Tho'un meski berbeda dengan wabah virus Corona (Covid-19), namun
kemiripannya sama-sama mematikan dan penyebarannya sangat cepat dan belum ada
obat yang bisa menyembuhkannya. Terkait wahab Tho'un ini, Nabi Muhammad SAW
pernah berpesan: "Jika kamu mendengar tentang Tho'un di suatu tempat, maka
janganlah kamu memasukinya (tempat itu). Apabila kamu (terlanjur) berada di tempat
yang terkena wabah itu, maka janganlah kamu keluar darinya (tempat itu)." (HR. At-
Turmuzi dari Sa'id).
Muncul pertanyaan, kapan wabah penyakit berakhir? Jawaban paling bijak tentu
hanya Allah Ta'ala saja yang mengetahuinya, karena semua bala musibah dan
penyakit terjadi atas izin dan kehendak-Nya.
Namun, dalam satu kitab klasik karya Al-Alim Ibnu Hajar Al-Asqalani (wafat 852 H)
dijelaskan tentang wabah ini. Ibnu Hajar, pengarang Kitab Fathul Baari fi Syarah
Shahih Bukhari dalam salah satu karyanya: "Badzlul Ma'un fi Fashlilth Thaun"
(pemberian bantuan kepada para penderita penyakit Tho'un) halaman 369
mengatakan:
عامة الطواعين التي وقعت في بلدان المسلمين على مر التاريخ إنما تقع أثنا فصل الربيع وبعد خروج الشتاء ثم
ترتفع في أول الصيف
"Wabah penyakit Tho'un (wabah yang disebabkan virus penyakit) yang menimpa
kaum muslimin sepanjang sejarah yang terjadi di pertengahan antara musim gugur
hingga usai musim hujan. Setelah tiba musim panas, maka wabah penyakit itu akan
segera hilang."
UAS menjelaskan bahwa start musim panas itu tanggal 21 Juni 2020. Tidak
bermaksud mendahului ketetapan Allah, apa yang disampaikan Ibnu Hajar Al-
Asqalani dalam kitabnya itu bisa jadi hikmah dan iktibar bagi kita.
Yang terpenting adalah bagaimana umat kembali kepada Allah, taubat nashuha.
Memperbanyak ibadah, zikir dan berdoa apalagi saat ini masih berada di bulan yang
diagungkan Allah yaitu Rajab. Selain ikhtiar dan berdoa, umat Islam juga harus
menjauhi maksiat. Semoga Allah mengangkat bala dan musibah penyakit dari
Indonesia dan negeri lainnya. (rhs)
"Tetapi apa yang akhirnya membuat beliau menulis buku tentang pandemi ini, ketika
masyarakat di Mesir pada saat itu keluar rumah berkumpul di luar untuk melakukan
semacam pengajian atau sholat."
"Bagi Ibnu Hajar itu sesuatu yang tidak sesuai dengan ajaran Rasulullah dan tidak
sesuai juga dengan Al-quran," tutur Luqman.
"Disitulah saat Ibnu Hajar merasa perlu menyelesaikan bukunya itu," ungkap Luqman
dalam tayangan bersama Tribunnews ini.
Selain itu, Luqman pun membeberkan alasan mengapa dirinya menerbitkan buku
karangan Ibnu Hajar.
Sebab, ia mendapat sebuah kenyataan, apa yang menjadi anjuran pemerintah dalam
protokol kesehatan ini sudah dianjurkan pula oleh Ibnu Hajar dalam buku tersebut.
Seperti anjuran untuk menghindari kerumunan, yang artinya tetap ikhtiar untuk
melindungi diri dan sesama dalam menghadapi wabah.
Bahkan buku itu juga menganjurkan umat Islam untuk menjalani pola hidup sehat,
seperti yang juga dianjurkan oleh pemerintah.
"Salah satu yang menarik yang perlu kita tegaskan, sains atau ilmu pengetahuan itu
masih satu tarikan nafas dengan dogma Islam yang kita yakini."
"Jadi tidak perlu ada semacam pertentangan. Justru Islam dengan dogma-dogmanya
menjadi satu kekuatan bagi kita bagaimana menghadapi pandemi Covid-19," tuturnya.
Lebih lanjut, ketetapan hati Luqman untuk menerbitkan buku ini pun buntut dari
'keriuhan' dalam masyarakat.
Sebab, banyak masyarakat yang masih berpikir wabah Covid-19 ini sebuah konspirasi
belaka dan menggap tidak perlu dihiraukan.
"Karena kita melihat di masyarakat kita banyak yang berpikir Covid-19 ini konspirasi
dan rekayasa."
"Banyak juga mengabaikan dan menganggap angin lalu serta penyakit biasa."
"Saya rasa kita perlu meluruskan dan cara kami 'untuk memberikan pandangan' soal
pandemi ini melalui buku yang berisi pengalaman pandemi sekitar 591 tahun yang
lalu," paparnya.
Sementara, Penerjemah Kitab Wabah dan Taun dalam Islam Ustaz Fuad Saifudin juga
turut memberikan pandangannya terkait buku ini.
Menurutnya, buku tersebut bukan hanya berisi kompilasi kasus wabah di masa lalu
saja.
Tetapi juga memberikan solusi, saran dan kritik kepada umat Islam yang sering
mempertentangkan antara kepatuhan kepada Tuhan dengan ikhtiar atau usaha sebagai
manusia.
Ustaz Fuad menceritakan, dalam buku tersebut Ibnu Hajar juga menjelaskan asal
muasal terjadinya wabah secara rasional.
"Ibnu Hajar menjelaskan, bagaimana Allah menurunkan azab, kutukan atau wabah ini
tidak muncul secara ajaib. Tetapi ada wasilahnya, ada penjelasan rasionalnya."
"Makanya dikutip dari bukunya, Islam menjadi agama yang ketika wabah terjadi, itu
tidak terjadi karena kutukan atau gangguan setan".
"Tetapi itu bisa terjadi karena aktivitas udara yang buruk atau bisa jadi adanya zat
beracun," ujar Ustaz Fuad dalam kesempatan yang sama.
Selain itu, Ustaz Fuad pun menjelaskan, Ibnu Hajar sudah menuliskan, menghadapi
wabah tidak ada hubungannya dengan keimanan.