Anda di halaman 1dari 17

BAHAN BACAAN PEKAN III

KEBIJAKAN SOSIAL (SOCIAL POLICY)

1. Defenisi Luas dan Terbatas


Tidak ada defenisi kebijakan sosial yang diterima secara universal. Dalam
pendekatan yang netral dan konsensual, kebijakan sosial dipahami sebagai intervensi
publik yang disengaja dalam dalam mekanisme ekonomi pasar dalam rangka
mempromosikan kesejahteraan sosial. Setiap komponen dari pendekatan di atas dapat
diinterepretasikan dengan cara-cara yang berbeda. Terdapat pandangan yang saling
bertentangan tentang tujuan, cakupan, dan metode intervensi publik. dalam hal tujuan,
pada satu titik ektrem tujuannya kebijakan sosial dibatasi hanya untuk mengurangi
kemiskinan ekstrem dari orang-orang yang tak bisa membantu dirinya sendiri, dan negara
dianggap hanya berperan sebagai jalan terakhir jika semua cara telah gagal. Pada titik
ekstrim lainnya kebijakan sosial adalah instrumen untuk meningkatkan kualitas
masyrakat, menghapus kemiskinan, mengurangi ketimpangan kesempatan sosial dan fisik,
mempromosikan keadilan dan integrasi sosial. (Back, et al., 1997) dalam (Outhwaite 2008)
2. Pendekatan Deskriptif
Kebijakan sosial mengacu pada disiplin akademik dan apa-apa yang dilakukan
kebijakan sosial. Deskripsi aktivitas mengikuti logika administratif. Area utama kebijakan
sosial di mana redistribusi publik pelan-pelan mendapat peran penting adalah antara lain
program pemeliharaan pendapatan, kesehatanm pendidikan, perumahan dan layanan sosial
personal. Menyamakan kebijakan sosial dengan divisi adminstrasi formal dari layanan
negara merupakan tradisi yang dominan di adminsitrasi sosial Inggris dan sering
dikualifikasikan sebagai “text-book defenition” kebijakan sosial. Deskripsi statis dan
fragmentaris ini banyak dikritik, dan kemudian banyak yang mengusulkan deskripsi yang
lebih fleksibel dan menyeluruh. Dikatakan bahwa kebijakan sosial seharusnya melibatkan
legal (misalnya perlakuan atass tindak kejahatan bantuan hukum), kebijakan pasar tenaga
kerja (misalnya penciptaan pekerjaan), beberapa aspek kebijakan ekonomi (misalnya
regulasi harga). Kebijakan sosial dikaitkan dengan kebijakan fiskal melalui sentralisasi
dan redistribusi sumber daya, atau melalui pajak yang meningkatkan pengeluaran
kesejahteraan secara nayata (Kvist dan Sinfield, 1997) dalam (Outhwaite 2008). Lebij
jauh, kebijakan sosial tradisional selalu fokus pada kebutuhan individu dan kesejahteraan
individu, sedangkan kualitas kehidupan komunitas juga dipengaruhi oleh intervensi publik
seperti pelayanan komuna atau perlindungan dan pembentukan lingkungan.
3. Pendekatan Fungsionalis
Pendekatan fungsionalis fokus pada problem yang pada waktu tertentu
mengganggu kelancaran refroduksi sistem sosial, terutama sejak datangnya kapitalisme.
Menurut George dan Wilding (1976, hlm. 7) dalam (Outhwaite 2008), “Perubahan dalam
sistem industri menggoyahkan ekuilibrium di antara berbagai bagian sistem sosial dan
ekonomi yang menyebabkan perlunya kebijakan sosial untuk memulihkan stabilitas dan
keseimbangan.” Kelemahan dalam pendekatan ini adalah asumsi dasar yang menyatakan
bahwa keadaan normal adalah ekuilibrium sosial, dan bahwa ketidakstabilan dan
ketidakseimbangan adalah tanda-tanda disorganisasi dan penyimpangan sosial. Tetapi ada
gunanya memandang kebijakan sosial sebagai elemen sistemis yang beroperasi di dalam
konteks reproduksi sosia dan ekonomi, dan menunjukkan bahwa semua masyarakat punya
“problem sosial” dan karenanya mereka semua punya kebijakan sosial masing-masing.
4. Periode Historis
Kebijakan sosial di masyarakat prakapitalis di Eropa belum dipelajari secara
sistematis, namun banyak analisis bermanfaat mengenai institusi sosial yang berbeda-beda
seperti gereja Katolik (Troletsch, 1992) dalam (Outhwaite 2008) atau institusi feodal
(Bloch, 1940) dalam (Outhwaite 2008) atau perlakuan atas kemiskinan secara umum
(Mollat, 1978) dalam (Outhwaite 2008). Ada lebih banyak persamaan pendapat pada masa
perkembangan setelah kedatangan masyarakat pasar. Secara umum disepakati bahwa
negara mulai mengintervensi setelah diistintegrasi jaringan feodal dan lokal, dan bahwa
intervensinya secara stimultan sebagai kebijakan dan bantuan. Bertambahnya migran dan
gelandangan membutuhkan bantuan resmi terutama kasus mereka yang dianggap “layak”
dibantu (orang sakit, cacat, uzur). Jumlah mereka terus bertambah dan sering dikaitkan
dengan bertambahnya kejahatan (Geremek, 1987) dalam (Outhwaite 2008).
Politik Poverty ini masih dianggap dominan hingga kurang lebih pertengahan abad
ke-19. Urbanisasi, industrialisasu dan perkembangan perdagangan membutuhkan aksi
publik yag proaktif. Bahanya penyebaran penduduk di kota-kota membutuhkan setidaknya
kebijakan kesehatan publik, kebutuhan industri dan adminsitrasi yang lebih kompleks
memunculkan kebutuhan pendidikan pubik (Swaan, 1988) dalam (Outhwaite 2008). Di
sepertiga terakhir abad ke-19 para buruh mulai mendirikan organisasi. Gerakan politik dan
sosial menolak bantuan tradisional, dan mendesak dilakukannya tindakan pubik untuk
mengatasi penderitaan dan ketidakpastian. Institusi kesejahteraan terpenting yang
dibentuk pada saat itu (pertama di Jerman di bawah Bismarck) adalah asuransi sosial, yang
mengombinasikan prinsip jaminan dengan solidaritas. Undang-undang sosial dan mburuh
mengubah sumbangan menjadi hak (Castel, 1995) dalam (Outhwaite 2008). Provisi
kebijakan sosial menyebar ke hampir semua negara Eropa (Flora, 1987) dalam (Outhwaite
2008). Perang Dunia II memcah belah Eropa, Welfare State mengimplementasikan proyek
Beveridge yang dikembangkan dalam ekonomi pasar Barat. Ia mengubah banyak provisi
kesejahteraan korporatif atau selektif sebelumnya menjadi pelayanan universal. Sistem
kesehatan publik dan pendidikan publik menggantikan solusi pasar. Masyarakat menerima
hak minimum sosial. Pada 1970-an pertumbuhan ekonomi menrurun dan penangguran
menjadi problem utama. Persaingan global semakin sengit, dan konsensus kesejahteraan
tampak melemah. Krisis negara kesejahteraan dan krisis kebijakan sosial tradisional
tampak mulai membanyangi. Konsekuensinya antara lain, di banyak negara, pemotongan
anggaran kesejahteraan, pengetatatan akses untuk mendapatkan tunjangan sosial dan
layanan sosial, privatisasi dan pemasaran pelayanan. Solusi quasi-market muncul pada
skala besar. “Jalan Ketiga” yang mengakui keunggulan pasar dan tendensi global mulai
didukung. Jalan ini karenanya menggunakan instrumen pasar dalam
mengimplementasikan tujuan publik. Ia juga menekankan keseimbangan hak dan
kewajiban, mendukung biaya kerja sebagai sayarat hak kesejahteraan sosial. Tetapi
dukungan publik terhadap kebijakan sosial negara masih kuat. Sampai akhir 1990-an
setidaknya tidak ada pengurangan signifikan dalam pengeluaran sosial di negara-negara
OECD. Mereka mengeluarkan 23 sampai 35 persen dari produk domestik brutonya untuk
kesejahteraan sosial.
Di Eropa Timur dan Eropa Tengah di negra “sosialis” autokratik kebijakan sosial
umumnya ada di dalam operasi ekonomi mellaui full employment formal, subsidi harga
dan sebagainya. Provisi sosial diperluas. Kebijakan sosial berperan penting dalam
mengurangi kemiskinan masif pra perang dan dalam memastikan keamanan bagi banyak
orang. Namun tidak adanya legitimasi demokratik menyebabkan tatanan kesejahteraan
sosial ini menjadi rawan. Perubahan sistem pada 1989 membantu terciptanya sistem politik
demokratis, aturan hukum dan ekonomi pasar. Akan tetapi ambruknya sosialisme negara
berbarengan dengan bangkitnya neoliberalisme. Transformasi ini diikuti dengan krisis
ekonomi, penurunan GDP secara signifikan dan penurunan pendapatan personal,
pertambahan pengangguran dan kemiskinan, dan juga agenda sosial baru. Penarikan diri
negara, pemotongan pengeluaran sosial, privatisasi dan markerisasi layanan ppubik,
pelemahan universalisme dan jaminan sosial, penyebaran bantuan sosial berdasarkan
sasaran yang tampak muncul di mana-mana mulai berkembang cepat di banyak negara.
Sebabnya bukan hanya kelangkaan ekonomi, tetapi juga desakan agen moneter
supranasional, perubahan struktural, tidak adanya legitimasi demokratik dan kelemahan
masyarakat sipil.
5. Konstruk Ideologis dan Teoritis
Nilai-nilai dan ideologi-ideologi yang saling bertentangan ikut membentuk
persepsi tentang kebijakan sosial dan basis institusionalnya. Pada 1990-an label demokrasi
liberal, konservatif dan sosial dipakai secara luas untuk mebedakan tipe-tipe rezim negara
kesejahteraan (Espong-Anderses, 1990) dalam (Outhwaite 2008). Tipe-tipe ini
menjelaskan kekuatan historis dan struktural yang membentuk hasil kebijakan sosial.
Sebuah rezim liberal dikarakteristikkan oleh dominasi bantuan untuk kalangan miskin dan
lemah seacara sosial. Tipe rezim “konsrevatif” dideskripsikan sebagai rezim yang ditandai
oleh warisan statis-korporatis, oleh kurangnya penekanan pada pada hak, dan oleh
komitmen konservatif kepada Gereja, keluarga tradisional dan peran wanita tradisional.
Kebijakan sosial “demokratik sosial” didasarkan pada prinsip universalisme yang
memperluas hak-hak sosial untuk semua warga negara, dam berdasarkan prinsip
dekomodifikasi. Tujuannya bukan memastikan standar minimal untuk kaum yang
membutuhkan, tetapi memberikan layanan yang pantas untuk semua orang.
Dari perspektif tanggung jawab publik ada perbedaan klasik yang di oleh
Wilesnsky da Lebeaux antara “dua konsep kesejahteraan sosial … residual dan
isntitusional. Yang pertama berpendapat bahwa institusi kesejahteraan sosial seharusnya
berperan hanya ketika struktur spulai normal mengalami gangguan. Kedua, sebaliknya,
memandang layanan kesejahteraan sebagai sesuatu yang normal, fungsi “garis depan” dari
masyarakat industri modern” (1965, hlm. 138) dalam (Outhwaite 2008). Kebijakan
kesejahteraan dalam teks Amerika ini dipahami sebagai kebijakan sosial: dua sitilah itu
menjadi dapat dipertukarkan. Rochard Titmuss (1974) dalam (Outhwaite 2008)
mendefenisikan ulang dan melengkapi tipe kebijakan sosial tersebut di atas. Dia
membedakan model residual, yang dicirikan oleh tanggung jawab publik yang amat
terbatas dengan bantuan sebagai instrumen intinya, model capaian industri yang
memperkenalkan hak berdasarkan kerja dan kontribusi, dan menciptkan institusi asuransi
sosial, dan terakhir tipe redistributuf institusional, yang didefenisikan sebagai model yang
didasarkan pada hak warga negara.
6. Isu dan Debat
Salah satu debat penting adalah tentang hubungan antara kebijakan sosial dan
ekonomian. Kebijakan sosial bisa dibeda-bedakan dari ekonomi, atau bisa diintegrasikan
dengan ekonomi (Mishra, 1981) dalam (Outhwaite 2008). Dalam kasus ini, “embedded
ekonomy” mungkin memastikan prevalensi kepentingan sosial. Akan tetapi, ekonomi
substantif yang terutama berurusan dengan pemenuhan kebutuhan hingga saat ini masih
hanya kemungkinan teoretis (Polany, 1944) dalam (Outhwaite 2008). Dalam masyarakat
pasar kepentingan sosial dan ekonomi saling membatasi satu sama lain, seperti dalam
kasus negara kesejahteraan. Atau kepentingan ekonomi mungkin yag lebih dominan.
Menjelang abad ke-21 otoritas supranasional memiliki kekuasaan untuk mengintervensi
transaksi pasar global atau memberlakukan pajak. Hal ini mengurangi kemampuan negara
untuk membentuk kebijakan mereka sendiri.
Negara kesejahteraan tradisional kurang memerhatikan kepentingan perempuan,
minoritas etnis atau minoritas lainnya. Ada banyak usaha untuk merekonseptualisasikan
dan membentuk ulang kebijakan sosial ke arash ini. Kesadaran akan bahaya baru,
kemunculan masyrakat beresiko (Beck, 1986) dalam (Outhwaite 2008) menawarkan
tantangan baru bagi kebijakan sosial. Soal apakah resiko sosial baru, resiko lingkungan
dan teknologi dapat dan hatus ditangani sendiri-sendiri masih merupakan bahaya
perdebatan.
Pluralisasi kesejahteraan sering kali menimbulkan isu baru. Ada banyak argumen
yang mendukung dan menentang penggantian negara kesejahteraan denga negara pasar
atau quasi-pasar, dengan sektor nonpemerintah atau sukarela, atau dengan keluarga.
Ketimpangan global dan nasional yang makin melebar sebagai akibat
meningkatnya kemiskinan dan penyingkiran sosial kini menjadi perhatian utama. Ada
upaya mencari instrumen kebijakan sosial untuk mengatasi berbagai bentuk eksklusi
sosial. Sala satu solusinyaa adalah “pendapatan dasar,” sebuah tunjangan universal yang
dijamin untuk semua orang (van Parijs, 1995) dalam (Outhwaite 2008).
Pendekatan pragmatis dan fungsionalis umumnya mengabaikan pertimbangan
proses sosial yang memicu perubahan kebijakan sosial selalu dibentuk oleh perjuangan
sosial (Miller dan Riessman, 1968). Konflik ada di setiap fase pembuatan kebijakan sosial.
Ada konflik mengenai defenisi resiko yang mesti dihadapi; mengenai defenisi individu
dan/atau kelompk yang mendapat tunjangan dari reditribusi publik; tentang mode dan
cakupan pengeluaran sumber daya (perpajakan); tentang level pemuasan kebutuan, apakah
level itu harus minimum atau mencukupi. Ada pertikaian dalam soal instrumen kebijakan
sosial (tunai, bantuan atau jasa; tunjangan selektif, terkait pekerjaan atau universal) dan
tentang defenisi syarat-syarat akses ke beragam tunjangan. Semua perdebatan ini bisa
dikatakan bertujuan memperluas cakupan kebijakan sosial ke kebijakan sosietal untuk
meningkatkan kualitas masyarakat (Ferge, 1979) dalam (Outhwaite 2008).
Karena neoliberalisme telah menjadi ideoloi dominan maka peluang kebijakan
sosietal menyusut drastis. Relasi kekuasaan terus berubah dan lebih menguntungkan
kekuatan pasar. Privatisasi amat memengaruhi kapasitas negara dalam menarik pajak.
“Sejauh mana kebijakan kesejahteraan di abad ke-21 akan sukses dalam memenuhi
kebutuhan warga sebagian akan ditentukan oleh pengaruh dari persaingan kepentingan,
pasar tenaga kerja dan pertumbuhan ekonomi terhadap agenda kebijakan” (Taylor-Gooby
dalam Baldock et al., 1999, hlm. 559) dalam (Outhwaite 2008).
7. Latar Belakang Kebijakan Sosial di Indonesia
Kesejahteraan Sosial adalah kondisi terpenuhinya kebutuhan material, spiritual,
dan sosial Warga Negara agar dapat hidup layak dan mampu mengembangkan diri,
sehingga dapat melaksanakan fungsi sosialnya. Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial
merupakan perwujudan dari upaya mencapai kesejahteraan rakyat yang diamanatkan
dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Sila ke lima
Pancasila menyatakan bahwa keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, dan
Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
mengamanatkan Negara untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah
darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan
ikut melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan
keadilan sosial
Dengan demikian Kesejahteraan Sosial dapat berarti : Kesejahteraan sebuah masyarakat.
Dalam ekonomi, pendayagunaan orang yang dianggap dalam sebuah kesatuan.
Penyediaan pelayanan sosial di berbagai bidang, untuk keuntungan masyarakat individu.
Penggunaan ini memiliki gagasan yang mirip dengan negara sejahtera. Di Indonesia,
Kesejahteraan Sosial juga digunakan sebagai nama disiplin akademik, yaitu sisi terapan
dari ilmu sosiologi. Kesejahteraan Sosial merupakan keadaan di mana seseorang merasa
nyaman, tenteram, bahagia, serta dapat memenuhi kebutuhan hidupnya.
Sedangkan penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial bertujuan untuk :
a. Meningkatkan taraf kesejahteraan, kualitas, dan kelangsungan hidup;
b. Memulihkan fungsi sosial dalam rangka mencapai kemandirian;
c. Meningkatkan ketahanan sosial masyarakat dalam mencegah dan menangani
masalah Kesejahteraan Sosial;
d. Meningkatkan kemampuan, kepedulian dan tanggungjawab sosial dunia usaha
dalam penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial secara melembaga dan
berkelanjutan;
e. Meningkatkan kemampuan dan kepedulian masyarakat dalam penyelenggaraan
Kesejahteraan Sosial secara melembaga dan berkelanjutan; dan
f. Meningkatkan kualitas manajemen penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial.
Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial dilakukan berdasarkan asas :
a. Kesetiakawanan.
Yang dimaksud dengan “asas kesetiakawanan” adalah dalam penyelenggaraan
Kesejahteraan Sosial harus dilandasi oleh kepedulian sosial untuk membantu orang
yang membutuhkan pertolongan dengan empati dan kasih sayang (Tat Twam Asi).
b. Keadilan.
Yang dimaksud dengan “asas keadilan” adalah dalam penyelenggaraan
Kesejahteraan Sosial harus menekankan pada aspek pemerataan, tidak diskriminatif
dan keseimbangan antara hak dan kewajiban.
c. Kemanfaatan.
Yang dimaksud dengan “asas kemanfaatan” adalah dalam penyelenggaraan
Kesejahteraan Sosial harus memberi manfaat bagi peningkatan kualitas hidup
warga negara
d. Keterpaduan.
Yang dimaksud dengan “asas keterpaduan” adalah dalam penyelenggaraan
Kesejahteraan Sosial harus mengintegrasikan berbagai komponen yang terkait
sehingga dapat berjalan secara terkoordinir dan sinergis.
e. Kemitraan.
Yang dimaksud dengan “asas kemitraan” adalah dalam menangani masalah
Kesejahteraan Sosial diperlukan kemitraan antara Pemerintah dan masyarakat,
Pemerintah sebagai penanggung jawab dan masyarakat sebagai mitra Pemerintah
dalam menangani permasalahan Kesejahteraan Sosial dan peningkatan
Kesejahteraan Sosial.
f. Keterbukaan.
Yang dimaksud dengan “asas keterbukaan” adalah memberikan akses yang seluas-
luasnya kepada masyarakat untuk mendapatkan informasi yang terkait dengan
penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial.
g. Akuntabilitas.
Yang dimaksud dengan “asas akuntabilitas” adalah dalam setiap penyelenggaraan
Kesejahteraan Sosial harus dapat dipertanggungjawabkan sesuai dengan ketentuan
Peraturan Perundang-undangan
h. Partisipasi.
Yang dimaksud dengan “asas partisipasi” adalah dalam setiap penyelenggaraan
Kesejahteraan Sosial harus melibatkan seluruh komponen masyarakat.
i. Profesionalitas.
Yang dimaksud dengan “asas profesionalitas” adalah dalam setiap penyelenggaraan
Kesejahteraan Sosial kepada masyarakat agar dilandasi dengan profesionalisme
sesuai dengan lingkup tugasnya dan dilaksanakan seoptimal mungkin.
j. Keberlanjutan.
Yang dimaksud dengan “asas keberlanjutan” adalah dalam menyelenggarakan
Kesejahteraan Sosial dilaksanakan secara berkesinambungan, sehingga tercapai
kemandirian.
Masalah kesejahteraan sosial yang berkembang dewasa ini menunjukkan bahwa ada warga
negara yang belum terpenuhi hak atas kebutuhan dasarnya secara layak karena belum
memperoleh pelayanan sosial dari negara. Akibatnya, masih ada warga negara yang
mengalami hambatan pelaksanaan fungsi sosial sehingga tidak dapat menjalani kehidupan
secara layak dan bermartabat. Untuk memecahkan masalah tersebut serta mempermudah
dan meningkatkan kesejahteraan sosial masyarakat, maka dibutuhkan kebijakan sosial.
Kebijakan sosial senantiasa berorientasi kepada pencapaian tujuan sosial. Tujuan sosial ini
mengandung dua pengertian yang saling terkait, yakni: memecahkan masalah sosial dan
memenuhi kebutuhan sosial.
8. Kebijakan Sosial
Kebijakan sosial adalah salah satu bentuk dari kebijakan publik yang merupakan ketetapan
Pemerintah yang dibuat untuk merespon isu-isu yang bersifat publik, yakni mengatasi
masalah sosial atau memenuhi kebutuhan masyarakat banyak. Kebijakan sosial juga
adalah ketetapan yang dirancang secara kolektif untuk mencegah terjadinya masalah sosial
(fungsi preventif), mengatasi masalah sosial (fungsi kuratif) dan mempromosikan
kesejahteraan (fungsi pengembangan) sebagai wujud kewajiban Negara (state obligation)
dalam memenuhi hak warga negaranya. Dalam hal lainnya, kebijakan sosial dapat
dikatakan sebagai sebuah aspek sosial, yaitu sesuatu yang berkaitan dengan bidang
kesejahteraan sosial. Kebijakan sosial adalah prinsip-prinsip, prosedur, dan tata cara dari
Undang-undang yang telah ada, sebagai panduan administrasi dan regulasi pada lembaga
yang mempengaruhi kesejahteraan masyarakat.
Kebijakan sosial memiliki sejumlah dimensi, yaitu :
a. Sebagai suatu proses, kebijakan sosial dipandang sebagai dinamika perumusan
kebijakan dalam kaitannya dengan variabel-variabel sosio-politik dan teknik-
metodologi. Kebijakan sosial merupakan suatu proses tahapan atau pengembangan
rencana tindak (plan action).
b. Sebagai suatu produk, kebijakan sosial dipandang sebagai hasil akhir dari proses
perumusan kebijakan atau perencanaan sosial.
c. Sebagai suatu kinerja atau performance atau pencapaian tujuan, kebijakan sosial
merupakan deskripsi atau evaluasi terhadap hasil-hasil implementasi produk kebijakan
sosial.
Kebijakan sosial hadir sebagai cara untuk memecahkan masalah sosial dan memenuhi
kebutuhan sosial bagi semua golongan masyarakat yang mempermudah dan meningkatkan
kemampuan mereka dalam menanggapi perubahan sosial. Kebijakan sosial senantiasa
berorientasi kepada pencapaian tujuan sosial. Tujuan sosial ini mengandung dua
pengertian yang saling terkait, yakni: memecahkan masalah sosial dan memenuhi
kebutuhan sosial.
9. Batasan Kebijakan Sosial
Kebijakan sosial adalah seperangkat tindakan (course of action), kerangka kerja
(framework), petunjuk (guidline), rencana (plan), peta (map) atau strategi yang dirancang
untuk menterjemahkan visi politis pemerintah atau lembaga pemerintah ke dalam program
dan tindakan untuk mencapai tujuan tertentu di bidang kesejahteraan sosial senantiasa
menyangkut orang banyak, maka kebijakan sosial seringkali diidentikkan dengan
kebijakan publik (Suharto, 2005a) dalam (Suharto 2005).
Di negara-negara Barat, kebijakan sosial sebagian besar menjadi tanggungjawab
pemerintah. Ini dikarenakan sebagian besar dana untuk kebijakan sosial dihimpun dari
masyarakat (publik0 melalui pajak. Di negara-negara Skandinavia seperti Denmark,
Swedia, dan Norwegia serta negara-negara Eropa Barat seperti Belanda, Jerman, Inggris,
dan Prancis, pelayanan-pelayanan sosial menjadi bagian integral dari sistem “negara
kesejahteraan” (welfare state) yang berfungsi dalam memenuhi kebutuhan dasar di bidang
sosial dan medis untuk segala kelompok usia (anak-anak, remaja, lanjut usia) dan status
sosial ekonomi (orang kaya maupun miskin).
Namu demikian, seperti ditunjukkan oleh Tabel, 3.1, terjadinya pergesaran paradigma
dalam ketatnegaraan dan kebijakan publik dari government (pemerintah) ke governance
(tatakelola pemerintahan), kebijakan sosial dipandang bukan lagi sebagai dominasi
pemerintah. Maka publik juga bergeseser dari “penguasa banyak orang” yang
dididentikkan dengan pemerintah, ke “bagi kepentingan orang banyak” yang identik
dengan istilah stakeholder atau pemangku kepentingan. Para analis kebijakan dan
kelompok pemikir yang independent kemudian muncul sebagai profesi baru yang banyak
berperan mengkritisi beroperasinya kebijakan sosial dan kemudian mengajukan saran-
saran perbaikannya demi terwujudnya good governance sejalan dengan menguatnya
semangat demokratisasi, civil society dan transparansi.
Tabel 3.1 : Pergeseran Paradigma dalam Kebijakan Sosial
Aspek Government Governance
Proses Perumusan Pemerintah § Pemerintah
Kebijakan § Stakeholder
§ Analis Kebijakan
§ Independent ThinkThank
Penetapan Kebijakan Pemerintah Pemerintah
Analisis Kebijakan § Pemerintah § Stakeholder
§ Publik Contractor § Analis Kebijakan
§ Governmant § Independent ThinkThank
ThinkThank
Sumber : Suharto (2005a: 13) dalam (Suharto 2005)
Karena memuat kata “sosial”, kebijakan sosial mencakup bidang-bidang kemasyarakatan
yang umumnya dikategorikan sebagai “bidang sosial” yang luas yang mencakup
kesehatan, pendidikan, perumahan, atau bahkan makanan. Namun demikian, kebijakan
sosial memiliki makna dan bidang garapannya sendiri yang relatif berbeda dengan bidang
kemasyarakatan pada umumnya. Spicker (1995: 5) dalam (Suharto 2005) membantu
memperluas substansi kebijakan sosial dengan menyajikan tiga karektristik atau atas
pendefenisi kebijakan sosial.
a. Soscail policy is about policy. Kebijakan sosial adalah tentang “kebijakan”. Artinya,
meskipun kebijakan sosial bersentuhan dengan bidang makanan, pendidikan, dan
kesehatan, ia memiliki fokus dan urusannya sendiri, yakni menyangkut urusan
“kebijakan”. Elemen utama “kebijakan” adalah tujuan, proses implementasi dan
pencapaian hasil suatu inisiatif atau keputusan kolektif yang dibuat oleh, misalnya
departemen-departemen pemerintah (pada tingkat makro) atau lembaga-lembaga
pelayanan sosial (pada skala mikro). Karenanya, meskipun kebijakan sosial tidakk
jarang berhubungan “makanan’, ia tidak mempelajari atau mengurusi soal makanan itu
sendiri, melainkan dengan regulasi dan distribusi makanan tersebut. Kebijakan sosial
tidak secara langsung berhubungan dengan perkembangan anak (child development),
tetapi dengan pendidikan dan pelayanan sosial untuk membantu mengatasi kesulitasn
anak-anak tumbuh dan berkembang. Kebijakan-kebijakan untuk mempromosikan
kesehatan dan pemberian perawatan kesehatan, khususnya yang menyangkut jaminan
sosial kesehatan (di AS disebut Medicare dan Medicaid).
b. Social policy is concerned with issues that are social. Kebijakan sosial berurusan
dengan isu-isu yang bersifat sosial. Namun, seperti dijelaskan di muka, arti sosial di
sini tidak bersifar luas. Melainkan merujuk pada beragam respon kolektof yang dibuat
guna mengatasi masalah sosial yang dirasakan oleh publik. istilah sosial menunjuk
pada “… some kind of collective social response made to perceived problems,”
demikian kata Spicker.
c. Social policy is about welfere. Secara luas, welfare dapat diartikan sebagai “well-
being” atau “kondisi sejahtera”. Namun, welfare juga berarti “The provision of social
services provided by the state” dan sebagai “Certaintypes of benefit, especially means-
tested social security, aimed at poor people”.
10. Tujuan Kebijakan Sosial
Dalam konteks pembangunan sosial, kebijakan sosial merupakan suatu perangkat,
mekanisme, dan sistem yang dapat mengarahkan dan menterjemahkan tujuan-tujuan
pembangunan. Kebijakan sosial senantiasa berorintasi kepada pencapaian tujuan sosial.
Tujuan sosial ini mengandung dua pengertian yang saling terkait, yakni: memecahkan
masalah sosial dan memenuhi kebutuhan sosial (Gambar 3.1)

Memecahkan
Masalah Sosial

Kebijakan Sosial Tujuan

Memenuhi
Kebutuhan Sosial

Gambar 3.1: Tujuan Kebijakan Sosial


Tujuan pemacahan masalah sosial mengandung arti mengusahakan atau mengadakan
perbaikan karena ada sesuatu keadaan yang tidak diharapkan (misalnya kemiskinan) atau
kejadian yang bersifat destruktif atau patologis yang mengganggu dan merusak tatanan
masyarakat (misalnya kenakalan remaja). Tujuan pemenuhan kebutuhan mengandung arti
menyediakan pelayanan-pelayanan sosial yang diperlukan, baik dikarenakan adanya
masalah maupun tidak ada masalah, dalam arti bersifat pencegahan (mencegah terjadinya
masalah, mencegah tidak terulang atau timbul lagi masalah, atau mecegah meluasnya
masalah) atau pengembangan (meningkatkan kualitas suatu kondisi agar lebih baik dari
keadaan sebelumnya). Secara luas, tujuan-tujuan kebijakan sosial adalah:
a. Mengantisipasi, mengurangi, atau mengatasi masalah-masalah sosial yang terjadi di
masyarakat.
b. Memenuhi kebutuhan-kebutuhan individu, keluarga, kelompok atau masyarakat yang
tidak dapat mereka penuhi secara sendiri-sendiri melainkan hatus melalui tindakan
kolektif.
c. Meningkatkan hubungan intrasosial manusia dengan mengurangi kedisfungsian sosial
individu atau kelompok yang disebabkan oleh faktor-faktor internal-personal maupun
eksternal-struktural.
d. Meningkatkan situasi dan lingkungan sosial ekonomi yang kondusif bagi upaya
pelaksanaan peran-peran sosial dan pencapaian kebutuhan masyrakat sesuai dengan
hak, harkat dan martabat kemanusiaan.
e. Menggali, mengalokasikan dan mengembangkan sumber-sumber kemasyarakatan
demi tercapainya kesejahteraan sosial dan keadilan sosial.
Menurut David Gil (19730 dalam (Suharto 2005), untuk mencapai tujuan-tujuan kebijakan
sosial, terdapat perangkat dan mekanisme kemasyarakatan yang perlu diubah, yaitu yang
menyangkut pengembangan sumber-sumber, pengaloksian status dan pendistribusian hak.
Ketiga aspek tersebut merupakan kerangka acuan dalam menentukan tujuan kebijakan
sosial. Di samping itu, kebijakan sosial harus memperhatikan distribusi barang dan
pelayanan, kesempatan, dan kekuasaan yang lebih luas, adail dan merata bagi segenap
warga masyarakat.
a. Pengembangan sumber-sumber. Meliputi pembuatan keputusan-keputusan
masyarakat dan penentuan pilihan-pilihan tindakan berkenaan dengan jenis, kualitas,
dan kuantitas semua barang-barang dan pelayanan-pelayanan yang ada dalam
masyarakat.
b. Pengalokasian status. Menyangkut peningkatan dan perluasan akses serta keterbukaan
kriteria dalam menentukan akses tersebut bagi seluruh anggota masyarakat. Kebijakan
sosial harus memiliki efek pada penghilangan segala bentuk diskrimnasi. Kebijakan
sosial haus mendorong bahwa semua anggota masyarakat memiliki kesempatan yang
sama untuk memperoleh pendidikan, pekerjaan yang layak, berserikat dan berkumpul
dalam organisasi sosial, tanpa mempertimbangkan usia, jenis kelamin, status sosial
ekonomi, ras, suku bangsa dan agama.
c. Pendistribusian hak. Menunjuk pada perluasan kesempatan individu dan kelompok
dalam mengontrol sumber-sumber material dan non-material. Apakah semua anggota
masyarakat memiliki kesempatan yang sama dalam berpartisipasi dan mempengaruhi
kebeijakan-kebijakan yang menyangkut kehidupan mereka? Sejauhmana individu dan
kelompok dapat mengontrol distribusi dan kesempatan dalam pengambilan keputusan-
keputusan penting dalam kehidupannya? Dengan kata lain, pendistribusian hak
berkaitan dengan pendistribusian kekuasaan atau penguasaan sumber-sumber yang
lebih adil. Selain itu, pendistribusian hak juga menunjuk pada usaha-usaha pemerataan
sumber-sumber dari golongan kaya ke golongan miskin.
11. Analisis Kebijakan Sosial
Mengacu pada defenisi kebijakan publik dari Dunn (1991) dalam (Suharto 2005), AKS
adalah ilmu sosial terapan yang menggunakan berbagai metode penelitian dan argumentasi
untuk menghasilkan informasi yang relevan dalam menganalisis masalah-masalah sosial
yang mungkin timbul akibat diterapkannya suatu kebijakan. Ruang lingkup dan metoda
analisis kebijakan umumnya bersifat deskriptif dan faktual mengenai sebab-sebab dan
akibat-akibat suatu kebijakan. AKS, merujuk Quade (1995) dalam (Suharto 2005), adalah
suatu jenis penelaahan yang menghasilkan informasi sedemikian rupa yang dapat
dijadikan dasar-dasar pertimbangan para pembuat kebijakan dalam memberikan penilaian-
penilaian terhadap penerapan kebijakan sehingga diperoleh alternatif-alternatif
perbaikannya. Kegiatan penganalisisan kebijakan dapat bersifat formal dan hati-hati yang
melibatkan penelitian mendalam terhadap isu-isu atau masalah-masalah yang berkaitan
dengan evaluasi suatu program yang akan maupun telah dilaksanakan. Namun demikian,
beberapa kegiatan analisis kebijakan dapat pula bersifat informal yang melibatkan tidak
lebih dari sekedar kegiatan berfikir secara cermat dan hati-hati mengenai dampak-dampak
kebijakan terhadap kehidupan masyarakat.
Dengan demikain, AKS dapat diartikan sebagai usaha yang terencana dan sistemis dalam
membuat analisis atau asesmen akurat mengenai konsekuensi-konsekuensi kebijakan
sosial, baik sebelum maupun sesudah kebijakan tersebut diimplementasikan (Suharto,
2004a; lihat Sheafor, Horejsi dan Horejsi, 2000) dalam (Suharto 2005).
12. Model Analisis Kebijakan
Menurut Dunn (1991: 51-54) dalam (Suharto 2005), ada tiga bentuk atau model analisis
kebijakan, yaitu model prospektif, model retrospektif dan model integratif. Gambar 3.2
memviasualkan model analisis kebijakan.

Gambar 3.2: Model Analisis Kebijakan

Sumber: Suharto (2005a: 86) dalam (Suharto 2005)


a. Model prospektif adalah bentuk analisi kebijakan yang mengarahkan kejiannya pada
konsekuensi-konsekuensi kebijakan “sebelum” suatu kebijakan diterapkan. Model ini
dapat disebut sebagai model prediktif, karena seringkali melibatkan teknik-teknik
peramalan (forecasting) untuk memprediksi kemungkinan-kemungkinan yang akan
akan timbul dari suatu kebijakan yang akan diusulkan.
b. Model retrospketi adalah analisis kebijakan yang dilakukn terhadap akibat-akibat
kebijakan “setelah” suatu kebijakan diimplementasikan. Model ini biasanya disebut
sebagai model model evaluatif, karena banyak melibatkan pendekatan evaluasi
terhadap dampak-dampak kebijakan yang sedang atau telah diterapkan.
c. Model integratif adalah model perpaduan antara kedua model di atas. Model ini kerap
disebut sebagai model komprehensif atau model holistik, karena analisis dilakukan
terhadap konsekuensi-konsekuensi kebijakan yang mungkin timbul, baik “sebelum”
maupun “sesudah” suatu kebijakan dioperasikan. Model analisis kebijakan ini
biasanya melibatkan teknik-teknik peramalan dan evaluasi terintegrasi.
13. Kerangka Analisis
Penelaahan terhadap kebijakan sosial, baik menggunakan model prospektif, retrospektif,
maupun integratif, didasari oleh prinsip-prinsip atau patokan-patokan umum yang
membentuk kerangka analisis. Kerangka analisis tersebut secara umum berpijak pada dua
pedoman, yaitu “fokus” dan “paremeter” analisis. Anlisis kebijakan dapat difokuskan ke
dalam berbagai aras. Namun, tiga fokus utama yang umumya dipilih dalam analisis
kebijakan sosial meliputi:
a. Defenisi masalah sosial. Perumusan atau pernyataan masalah sosial yang akan
direspon atau ingin ditanggulangi oleh kebijakan.
b. Implementasi kebijakan sosial. Pernyataan mengenai cara atau metoda dengan mana
kebijakan sosial tersebut diimplementasikan atau diterapkan. Implementasi kebijakan
juga mencakup pengoperasian alternatif kebijakan yang dipilih melalui beberapa
program atau kegiatan.
c. Akibat-akibat kebijakan sosial. Berbagai pertimbangan mengenai konsekuensi-
konsekuensi akibat-akibat yang mungkin timbul sebagai dampak diterapkannya suatu
kebijakan sosial. Konsekuensi atau dampak yang ditimbulkan oleh kebijakan bisa
bersifat positif (manfaat), maupun negatif (biaya). Akibat kebijakan bisa diprediksi
sebelum kebijakan diimplementasikan (model retrospektif), ataupun sebelum dan
sesudah diimplementasikan (model integratif).
Dalam menganalisis ketiga fokus tersebut, diperlukan pendekatan atau parameter analisis
yang dapat dijadikan basis bagi pengambian keputusan atas pilihan-pilihan kebijakan.
a. Penelitian dan rasionalisasi yang dilakukan untuk menjamin keilmiahan dari analisis
yang dilakukan. Penelitian dan rasionalisasi merupakan dua aspek yang berbeda,
namun saling terkait. Penelitian menunjuk pada pengetahuan yang diperoleh melalui
observasi dan eksperimen yang dapat membantu membuat pilihan-pilihan kebijakan.
Rasionalisasi menunjuk pada logika dan konsistensi internal. Misalnya, apakah
berbagai bagian kebijakan berkaitan secara rasional? Apakah kebijakan sudah bersifat
konsisten secara logis dan internal?
b. Orientasi nilai yan dijadikan patokan atau kriteria untuk menilai kebijakan sosial
tersebut berdasarkan nilai baik dan buruk. Nilai-nilai merupakan keyakinan dan opini
masyarakat mengenai baik dan buruk. Nilai juga merupakan sesuatu yang diharapkan
atau kriteria untuk membuat keputusan mengenai sesuatu yang diharapkan.
c. Pertimbangan politik yang umumnya dijadikan landasan untuk menjamin keamanan
dan stabilitas. Poltitik berkenaan dengan suatu cara bagaimana kebijakan-kebijakan
dirumuskan, dikembangkan dan diubah dalam konteks demokrasi. Lebih khusus lagi,
politik menunjuk pada individu-individu dan kelompok-kelompok kepentingan yang
berpartisipasi atau berusaha mempengaruhi proses perumusan dan pengembangan
kebijakan.
Kerangka analisis dari Quade (1995: 1722-173) dalam (Suharto 2005) yang disajikan
Tabel 3.1 memberikan pedoman dalam menelisik pendefenisian masalah sosial,
implementasi kebijakan sosia dan akibat-akibat kebijakan dilihat dari tiga paremeter:
penelitian, nilai dan politik.

Tabel 3.1: Kerangka Analisis Kebijakan Sosial


Parameter
Fokus Penelitian dan
Nilai-nilai Politik
Rasionalisasi
DEFENISI § Apakah defenisi § Apakah ini § Apakah defenisi
KEBIJAKAN SOSIAL masalah sudah merupakan masalah masalah secara
§ Apa masalah rasional dan konsisten sosial yang penting? politik dapat
sosialnya dengan penelitian § Nilai-nilai apa yang diterima?
§ Faktor apa yang yang ada? penting dalam § Individu atau
mempengaruhi § Apakah defenisi melakukan seleksi kelompok mana
masalah tersebut kelompok sasaran kelompok sasaran? yang mendukung
§ Siapa yang pada tingkat Apakah nilai-nilai dan menentan
terpengaruh secara generalisasi tertentu tersebut sudah pendefensian
langsung oleh sudah sesuai dengan sesuai/tepat? kelompok sasaran?
masalah tersebut penelitian? § Nilai-nilai apa yang Apa akibatnya
§ Apakah kriteria yang penting dalam terhadap
digunakan untuk menentukan pendefenisian
menyeleksi kelompok penyebab masalah? masalah sosial?
sasaran didukung oleh Apakah nilai-nilai § Apa akibat
rasionalisasi dan tersebut tepat? penentuan penyebab
penelitian? masalah tersebut
§ Apakah penelitian terhadap individu
yang ada mendukung atau kelompok
penyebab masalah? sasaran?
IMPLEMENTASI § Apakah tujuan § Nilai-nilai apa yang § Seberapa besar
KEBIJAKAN SOSIAL kebijakan konsisten mempengaruhi tingkat kekuasaan
§ Apa tujuan kebijakan dengan penelitian dan tujuan kebijakan? yang menentang
sosial? pendefenisian Apakah nilai-nilai kebijakan?
§ Program dan masalah? tersebut sudah tepat? Bagaimana hal ini
pelayanan sosial apa § Apa bentuk pelayanan § Apakah ada mempengaruhi
yang diberikan? sosial yang diberikan? kebijakan kebijakan?
§ Bagaimana struktur Apakah penelitian memperlakukan § Adakah dukungan
organisasinya? mendukung pelayanan klien secara tepat yang memadai yang
§ Bagaimana kebijakan sosial yang dipilih? sesuai dengan dapat
tersebut didanai? § Apakah struktur kesamaan, memungkinkan
organisasi sudah kesetaraan, kebijakan
sesuai dengan kelayakan dan diterapkan?
kebijakannya? penentuan nasib § Individu dan
§ Apakah pendanaan sendiri klien? kelompok mana
memadai, teramalkan, § Apakah struktur yang akan
dan tersedia sesuai organisasi diuntungkan oleh
dengan penelitian dan mendukung kebiakan ini? Apa
rasionalisasi? efektifitas dan dampaknya bagi
efisiensi pemberian implementasi
pelayanan? kebijakan?
§ Apakah pendanaan § Apakah pendanaan
memadai, memadai,
teramalkan, dan teramalkan, dan
tersedia sejalan tersedia sejalan
dengan nilai? dengan politik?
KONSEKUENSI § Apakah keuntungan § Apakah keuntungan § Apakah keuntungan
KEBIJAKAN SOSIAL dan kerugian sejalan dan kerugian sejalan dan kerugian sejalan
§ Apa keuntungan dan dengan penelitian dan dengan nilai-nilai? dengan politik?
kerugian kebijakan rasionalisasi? § Apa konsekuensi § Bagaimana
sosial? § Apa konsekuensi yang yang diharapkan dan dukungan dan
§ Apa konsekuensi diharapkan dan tidak tidak diharapkan dari penentangan
kebijakan bagi klien, diharapkan dari kebijakan dalam terhadap kebijakan
sistem sosial, dan kebijakan dalam kaitannya dengan pada tingkat
sistem pelayanan kaitannya dengan nilai? masyarakat
sosial? penelitian dan mempengaruhi
rasionalisasi? pemberian
pelayanan?
Sumber: dikembangkan dari Quade (1995: 172-173) dalam (Suharto 2005)
14. Rangkuman
15. Tugas-tugas dan Latihan

16. References
Outhwaite, William, ed. 2008. Kamus Lengkap Pemikiran Sosial Modern. Jakarta: Kencana.

Suharto, Edi. 2005. Membangun Masyarakat Memberdayakan Rakyat Kajian Strategi Pembangunan
Kesejahteraan Sosial dan Pekerjaan Sosial. Bandung: Refika Aditama.

Conyers, Diana. 1991. Perencanaan Sosial di Dunia Ketiga, Suatu Pengantar. Yogyakarta: UGM Press.

2020. Maret 19. https://sipp.menpan.go.id/sektor/sosial/latar-belakang-kebijakan-sosial-di-


indonesia.

Suharto, Edi. 1997. Pembangunan, Kebijakan Sosial & Pekerjaan Sosial. Bandung: LSP STKS.

Ife, Jim, and Frank Tesoriero. 2006. Community Development: Alternatif Pengembangan Masyarakat
di Era Globalisasi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Anda mungkin juga menyukai