Anda di halaman 1dari 28

LAPORAN IKGM-P 2

MANAJEMEN SISTEM PEMBIAYAAN KESEHATAN

Oleh :

 Wowor Stephanie Gracia (190141030302)


 Ihsan Mamonto (190141030301)
 Fenti Hanifah (18014103021)
 Febrina Gladys Wotulo (18014103020)
 Nurul Annisa Suni (18014103037)
 Didiet S. Dendhana (18014103031)

Dosen Pembimbing :
drg. Vonny N. S. Wowor, M.Kes

UNIVERSITAS SAM RATULANGI MANADO


2020
BAB I

PENDAHULUAN

1.1  Latar Belakang

Kesehatan merupakan investasi untuk mendukung pembangunan


ekonomi serta memiliki peran penting dalam upaya penanggulangan kemiskinan.
Pembangunan kesehatan harus dipandang sebagai suatu investasi untuk
meningkatkan kualitas sumber daya manusia. Dalam pengukuran Indeks
Pembangunan Manusia (IPM), kesehatan adalah salah satu komponen utama selain
pendidikan dan pendapatan Dalam Undang-undang Nomor 23 tahun 1992 tentang
Kesehatan ditetapkan bahwa kesehatan adalah keadaan sejahtera dari badan, jiwa
dan sosial yang memungkinkan setiap orang hidup produktif secara sosial dan
ekonomi.
Kesehatan adalah unsur vital dan merupakan elemen konstitutif dalam
proses kehidupan seseorang. Tanpa adanya kesehatan yang baik maka tidak akan
ada masyarakat yang produktif. Dalam kehidupan berbangsa, pembangunan
kesehatan merupakan suatu hal yang bernilai sangat insentif. Nilai investasinya
terletak pada tersedianya sumber daya yang senantiasa “siap pakai” dan terhindar
dari ancaman penyakit. Di Indonesia sendiri tak bisa dipungkiri bahwa trend
pembangunan kesehatan bergulir mengikuti pola rezim penguasa. Ketika pemerintah
negeri ini hanya memandang sebelah mata pada pembangunan kesehatan, maka
kualitas hidup dan derajat kesehatan masyarakat akan menjadi sangat
memprihatinkan.
Salah satu sub sistem kesehatan nasional adalah subsistem pembiayaan
kesehatan. Jika ditinjau dari dari defenisi sehat, sebagaimana yang dimaksud oleh
WHO, maka pembiayaan pembangunan perumahan dan atau pembiayaan pengadaan
pangan, yang karena juga memiliki dampak terhadap derajat kesehatan, seharusnya
turut pula diperhitungkan. Pada akhir akhir ini, dengan makin kompleksnya
pelayanan kesehatan serta makin langkanya sumber dana yang tersedia, maka
perhatian terhadap sub sistem pembiayaan kesehatan makin meningkat. Pembahasan

1
tentang subsistem pembiayaan kesehatan ini tercakup dalam suatu cabang ilmu
khusus yang dikenal dengan nama ekonomi kesehatan.

1.2  Rumusan Masalah

Adapun rumusan masalah yang akan dibahas dalam makalah ini antara lain sebagai
berikut :

a) Apa definisi pembiayaan kesehatan?

b) Mengapa perlunya sistem pembiayaan kesehatan?

c) Apa saja macam sistem pembiayaan kesehatan nasional?

d) Dari mana saja sumber biaya kesehatan?

e) Apa saja macam biaya kesehatan?

f) Bagaimana pengalokasian biaya kesehatan?

g) Bagaimana sistem asuransi dan system rujukan kesehatan berdasarkan era JKN?

h) Bagaimana sistem pembiayaan kesehatan gigi mulut dalam BPJS?

i) Apakah syarat pokok dan fungsi pembiayaan kesehatan?

j) Apa saja permasalahan asuransi kesehatan di Indonesia (BPJS) dan Upaya


Pemerintah dalam Penanganannya?

1.3  Tujuan

Tujuan dari penulisan laporan ini adalah :

a) Untuk mengetahui definisi pembiayaan kesehatan

b) Untuk mengetahui perlunya sistem pembiayaan kesehatan

c) Untuk mengetahui macam sistem pembiayaan kesehatan nasional

2
d) Untuk mengetahui sumber biaya kesehatan

e) Untuk mengetahui apa saja macam biaya kesehatan

f) Untuk mengetahui pengalokasian biaya kesehatan

g) Untuk mengetahui sistem asuransi dan sistem rujukan kesehatan berdasarkan era
JKN

h) Untuk mengetahui sistem pembiayaan kesehatan gigi mulut dalam BPJS

i) Untuk mengetahui syarat pokok dan fungsi pembiayaan kesehatan

j) Untuk mengetahui Permasalahan asuransi kesehatan di Indonesia (BPJS) dan


Upaya Pemerintah dalam Penanganannya?

3
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Definisi Pembiayaan Kesehatan

Sub sistem pembiayaan kesehatan merupakan salah satu bidang ilmu dari ekonomi
kesehatan (health economy). Yang dimaksud dengan biaya kesehatan adalah besarnya
dana yang harus disediakan untuk menyelenggarakan dan atau memanfaatkan berbagai
upaya kesehatan yang diperlukan oleh perorangan, keluarga, kelompok dan
masyarakat. Dari batasan ini segera terlihat bahwa biaya kesehatan dapat ditinjau dari
dua sudut yakni :
1)        Penyedia Pelayanan Kesehatan
Yang dimaksud dengan biaya kesehatan dari sudut penyedia pelayanan (health
provider) adalah besarnya dana yang harus disediakan untuk dapat menyelenggarakan
upaya kesehatan. Dengan pengertian yang seperti ini tampak bahwa kesehatan dari
sudut penyedia pelayanan adalah persoalan utama pemerintah dan atau pun pihak
swasta, yakni pihak-pihak yang akan menyelenggarakan upaya kesehatan.
2)        Pemakai Jasa Pelayanan
Yang dimaksud dengan biaya kesehatan dari sudut pemakai jasa pelayanan (health
consumer) adalah besarnya dana yang harus disediakan untuk dapat memanfaatkan jasa
pelayanan. Berbeda dengan pengertian pertama, maka biaya kesehatan di sini menjadi
persoalan utama para pemakai jasa pelayanan. Dalam batas-batas tertentu, pemerintah
juga turut mempersoalkannya, yakni dalam rangka terjaminnya pemenuhan kebutuhan
pelayanan kesehatan bagi masyarakat yang membutuhkannya.
Dari batasan biaya kesehatan yang seperti ini segera dipahami bahwa pengertian biaya
kesehatan tidaklah sama antara penyedia pelayanan kesehatan (health provider) dengan
pemakai jasa pelayanan kesehatan (health consumer). Bagi penyedia pelayanan
kesehatan, pengertian biaya kesehatan lebih menunjuk pada dana yang harus
disediakan untuk dapat menyelenggarakan upaya kesehatan. Sedangkan bagi pemakai
jasa pelayanan kesehatan, pengertian biaya kesehatan lebih menunjuk pada dana yang
harus disediakan untuk dapat memanfaatkan upaya kesehatan. Sesuai dengan

4
terdapatnya perbedaan pengertian yang seperti ini, tentu mudah diperkirakan bahwa
besarnya dana yang dihitung sebagai biaya kesehatan tidaklah sama antara pemakai
jasa pelayanan dengan penyedia pelayanan kesehatan. Besarnya dana bagi penyedia
pelayanan lebih menunjuk padaa seluruh biaya investasi (investment cost) serta seluruh
biaya operasional (operational cost) yang harus disediakan untuk menyelenggarakan
upaya kesehatan. Sedangkan besarnnya dana bagi pemakai jasa pelayanan lebih
menunjuk pada jumlah uang yang harus dikeluarkan (out of pocket) untuk dapat
memanfaatka suatu upaya kesehatan.
Secara umum disebutkan apabila total dana yang dikeluarkan oleh seluruh pemakai jasa
pelayanan, dan arena itu merupakan pemasukan bagi penyedia pelayan kesehatan
(income) adalah lebih besar daripada yang dikeluarkan oleh penyedia pelayanan
kesehatan (expenses), maka berarti penyelenggaraan upaya kesehatan tersebut
mengalami keuntungan (profit). Tetapi apabila sebaliknya, maka berarti
penyelenggaraan upaya kesehatan tersebut mengalami kerugian (loss).
Perhitungan total biaya kesehatan satu negara sangat tergantung dari besarnya dana
yang dikeluarkan oleh kedua belah pihakk tersebut. Hanya saja, karena pada umumnya
pihak penyedia pelayanan kesehatan terutama yang diselenggrakan oleh ihak swasta
tidak ingin mengalami kerugian, dan karena itu setiap pengeluaran telah diperhitungkan
terhadap jasa pelayanan yang akan diselenggarakan, maka perhitungan total biaya
kesehatan akhirnya lebih banyak didasarkan pada jumlah dana yang dikeluarkan oleh
para pemakai jasa pelayanan kesehatan saja.
Di samping itu, karena di setiap negara selalu ditemukan peranan pemerintah, maka
dalam memperhitungkan jumlah dana yang beredar di sektor pemerintah. Tetapi karena
pada upaya kesehatan pemerintah selalu ditemukan adanya subsidi, maka cara
perhitungan yang dipergunakan tidaklah sama. Total biaya kesehatan dari sektor
pemerintah tidak dihitung dari besarnya dana yang dikeluarkan oleh para pemakai jasa,
dan karena itu merupakan pendapatan (income) pemerintah, melainkan dari besarnya
dana yang dikeluarkan oleh pemerintah (expenses) untuk menyelenggarakan pelayanan
kesehatan.

5
Dari uraian ini menjadi jelaslah untuk dapat menghitung besarnya total biaya kesehatan
yang berlaku di suatu negara, ada dua pedoman yang dipakai. Pertama, besarnya dana
yang dikeluarkan oleh para pemakai jasa pelayanan untuk sektor swasta. Kedua,
besarnya dana yang dikeluarkan oleh para pemakai jasa pelayanan kesehatan untuk
sektor pemerintah. Total biaya kesehatan adalah hasil dari penjumlahan dari kedua
pengeluaran tersebut.

2.2 Perlunya Sistem Pembiayaan Kesehatan


Sistem pembiayaan kesehatan merupakan bagian dari sistem kesehatan sesuai
dengan Perpres no. 72 tahun 2012 tentang Sistem Kesehatan Nasional. Sistem
pembiayaan kesehatan adalah pengelolaan berbagai upaya penggalian, pengalokasian,
dan pembelanjaan dana kesehatan untuk mendukung penyelenggaraan pembangunan
kesehatan guna mencapai derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya.
Sistem pembiayaan kesehatan diselenggarakan guna menghasilkan ketersediaan
pembiayaan kesehatan dengan jumlah yang mencukupi, teralokasi secara adil, dan
termanfaatkan secara berhasil guna dan berdaya guna untuk terselenggaranya upaya
kesehatan secara merata, terjangkau, dan bermutu bagi seluruh masyarakat.
Tersedianya pembiayaan yang memadai juga akan menunjang terselenggaranya
subsistem upaya kesehatan, subsistem penelitian dan pengembangan kesehatan,
subsistem sumber daya manusia kesehatan, subsistem sediaan farmasi, alat kesehatan,
dan makanan, subsistem manajemen, informasi, dan regulasi kesehatan, serta subsistem
pemberdayaan masyarakat.
Tujuan dari penyelenggaraan subsistem pembiayaan kesehatan adalah
tersedianya dana kesehatan dalam jumlah yang mencukupi, teralokasi secara adil,
merata, dan termanfaatkan secara berhasil guna dan berdaya guna, tersalurkan sesuai
peruntukannya untuk menjamin terselenggaranya pembangunan kesehatan guna
meningkatkan derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya.
Berdasarkan Perpres no. 72 tahun 2012 tentang Sistem Kesehatan Nasional,
pembiayaan pelayanan kesehatan masyarakat merupakan barang publik (public good)
yang menjadi tanggung jawab pemerintah, sedangkan untuk pelayanan kesehatan

6
perorangan pembiayaannya bersifat privat, kecuali pembiayaan untuk masyarakat
miskin dan tidak mampu menjadi tanggung jawab pemerintah.
Pembiayaan pelayanan kesehatan perorangan diselenggarakan melalui jaminan
pemeliharaan kesehatan dengan mekanisme asuransi sosial yang pada waktunya
diharapkan akan mencapai universal health coverage sesuai dengan Undang-Undang
Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) dan Undang-
Undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial.

2.3 Macam-macam Sistem Pembiayaan Kesehatan Nasional

Sistem pembiayaan kesehatan Indonesia secara umum terbagi dalam 2 sistem


yaitu:

1. Fee for Service ( Out of Pocket )

Sistem ini secara singkat diartikan sebagai sistem pembayaran berdasarkan layanan,
dimana pencari layanan kesehatan berobat lalu membayar kepada pemberi pelayanan
kesehatan (PPK). PPK (dokter atau rumah sakit) mendapatkan pendapatan
berdasarkan atas pelayanan yang diberikan, semakin banyak yang dilayani, semakin
banyak pula pendapatan yang diterima.
Sebagian besar masyarakat Indonesia saat ini masih bergantung pada sistem
pembiayaan kesehatan secara Fee for Service ini. Dari laporan World Health
Organization di tahun 2006 sebagian besar (70%) masyarakat Indonesia masih
bergantung pada sistem Fee for Service dan hanya 8,4% yang dapat mengikuti sistem
Health Insurance (WHO, 2009). Kelemahan sistem Fee for Service adalah
terbukanya peluang bagi pihak pemberi pelayanan kesehatan (PPK) untuk
memanfaatkan hubungan Agency Relationship, dimana PPK mendapat imbalan
berupa uang jasa medik untuk pelayanan yang diberikannya kepada pasien yang
besar-kecilnya ditentukan dari negosiasi. Semakin banyak jumlah pasien yang
ditangani, semakin besar pula imbalan yang akan didapat dari jasa medik yang
ditagihkan ke pasien. Dengan demikian, secara tidak langsung PPK didorong untuk

7
meningkatkan volume pelayanannya pada pasien untuk mendapatkan imbalan jasa
yang lebih banyak.

2. Health Insurance

Sistem ini diartikan sebagai sistem pembayaran yang dilakukan oleh pihak ketiga
atau pihak asuransi setelah pencari layanan kesehatan berobat. Sistem health
insurance ini dapat berupa system kapitasi dan system Diagnose Related Group
(DRG system).

Sistem kapitasi merupakan metode pembayaran untuk jasa pelayanan kesehatan


dimana PPK menerima sejumlah tetap penghasilan per peserta untuk pelayanan yang
telah ditentukkan per periode waktu. Pembayaran bagi PPK dengan system kapitasi
adalah pembayaran yang dilakukan oleh suatu lembaga kepada PPK atas jasa
pelayanan kesehatan dengan pembayaran di muka sejumlah dana sebesar perkalian
anggota dengan satuan biaya (unit cost) tertentu. Salah satu lembaga di Indonesia
adalah Badan Penyelenggara JPKM (Jaminan Pemeliharaan Kesehatan Masyarakat).
Sistem kedua yaitu DRG (Diagnose Related Group) tidak berbeda jauh dengan
system kapitasi di atas. Pada system ini, pembayaran dilakukan dengan melihat
diagnosis penyakit yang dialami pasien. PPK telah mendapat dana dalam penanganan
pasien dengan diagnosis tertentu dengan jumlah dana yang berbeda pula tiap
diagnosis penyakit. Jumlah dana yang diberikan ini, jika dapat dioptimalkan
penggunaannya demi kesehatan pasien, sisa dana akan menjadi pemasukan bagi PPK.

Kelemahan dari system Health Insurance adalah dapat terjadinya underutilization


dimana dapat terjadi penurunan kualitas dan fasilitas yang diberikan kepada pasien
untuk memperoleh keuntungan sebesar-besarnya. Selain itu, jika peserta tidak banyak
bergabung dalam system ini, maka resiko kerugian tidak dapat terhindarkan. Namun
dibalik kelemahan, terdapat kelebihan system ini berupa PPK mendapat jaminan
adanya pasien (captive market), mendapat kepastian dana di tiap awal periode waktu
tertentu, PPK taat prosedur sehingga mengurangi terjadinya multidrug dan

8
multidiagnose. Dan sistem ini akan membuat PPK lebih kearah preventif dan
promotif kesehatan.

Ikatan Dokter Indonesia (IDI) menilai, pembiayaan kesehatan dengan sistem


kapitasi dinilai lebih efektif dan efisien menurunkan angka kesakitan dibandingkan
sistem pembayaran berdasarkan layanan (Fee for Service) yang selama ini berlaku.
Hal ini belum dapat dilakukan sepenuhnya oleh Indonesia. Tentu saja karena masih
ada hambatan dan tantangan, salah satunya adalah sistem kapitasi yang belum dapat
memberikan asuransi kesehatan bagi seluruh rakyat tanpa terkecuali seperti yang
disebutkan dalam UU No. 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional
(SJSN). Sampai saat ini, perusahaan asuransi masih banyak memilah peserta asuransi
dimana peserta dengan resiko penyakit tinggi dan atau kemampuan bayar rendah
tidaklah menjadi target anggota asuransi. Untuk mencapai terjadinya pemerataan,
dapat dilakukan universal coverage yang bersifat wajib dimana penduduk yang
mempunyai resiko kesehatan rendah akan membantu mereka yang beresiko tinggi dan
penduduk yang mempunyai kemampuan membayar lebih akan membantu mereka
yang lemah dalam pembayaran. Hal inilah yang masih menjadi pekerjaan rumah bagi
sistem kesehatan Indonesia. Memang harus kita akui, bahwa tidak ada sistem
kesehatan terutama dalam pembiayaan pelayanan kesehatan yang sempurna, setiap
sistem yang ada pasti memiliki kelebihan dan kekurangannya masing-masing. Namun
sistem pembayaran pelayanan kesehatan ini harus bergerak dengan pengawasan dan
aturan dalam suatu sistem kesehatan yang komprehensif, yang dapat mengurangi
dampak buruk bagi pemberi dan pencari pelayanan kesehatan sehingga dapat
terwujud sistem yang lebih efektif dan efisien bagi pelayanan kesehatan di Indonesia.
Contoh health insurance yang di berada dibawah naungan Badan Penyelenggara
Jaminan Sosial diantaranya :

1. Askes
2. Jamkesmas
3. ASBRI
4. Taspen
5. Jamsostek

9
6. Dan lain sebagainya.

2.4 Sumber Biaya Kesehatan


Telah kita ketahui bersama bahwa sumber pembiayaan untuk penyediaan fasilitas-
fasilitas kesehatan melibatkan dua pihak utama yaitu pemerintah (public) dan swasta
(private). Kini masih diperdebatkan apakah kesehatan itu sebenarnya barang public
atau private mengingat bahwa fasilitas-fasilitas kesehatan yang dipegang oleh pihak
swasta (private) cenderung bersifat komersil. Di sebagian besar wilayah Indonesia,
sektor swasta mendominasi penyediaan fasilitas kesehatan, lebih dari setengah rumah
sakit yang tersedia merupakan rumah sakit swasta, dan sekitar 30-50 persen segala
bentuk pelayanan kesehatan diberikan oleh pihak swasta (satu dekade yang lalu hanya
sekitar 10 persen). Hal ini tentunya akan menjadi kendala terutama bagi masyarakat
golongan menengah ke bawah. Tingginya biaya kesehatan yang harus dikeluarkan jika
menggunakan fasilitas-fasilitas kesehatan swasta tidak sebanding dengan kemampuan
ekonomi sebagian besar masyarakat Indonesia yang tergolong menengah ke bawah.
Sumber biaya kesehatan tidaklah sama antara satu negara dengan negara lain.
Secara umum sumber biaya kesehatan dapat dibedakan sebagai berikut :
1. Bersumber dari anggaran pemerintah
Pada sistem ini, biaya dan penyelenggaraan pelayanan kesehatan sepenuhnya
ditanggung oleh pemerintah. Pelayanannya diberikan secara cuma-cuma oleh
pemerintah sehingga sangat jarang penyelenggaraan pelayanan kesehatan disediakan
oleh pihak swasta. Untuk negara yang kondisi keuangannya belum baik, sistem ini sulit
dilaksanakan karena memerlukan dana yang sangat besar. Contohnya dana dari
pemerintah pusat dan provinsi.
2. Bersumber dari anggaran masyarakat
Dapat berasal dari individual ataupun perusahaan. Sistem ini mengharapkan agar
masyarakat (swasta) berperan aktif secara mandiri dalam penyelenggaraan maupun
pemanfaatannya. Hal ini memberikan dampak adanya pelayanan-pelayanan kesehatan
yang dilakukan oleh pihak swasta, dengan fasilitas dan penggunaan alat-alat
berteknologi tinggi disertai peningkatan biaya pemanfaatan atau penggunaannya oleh
pihak pemakai jasa layanan kesehatan tersebut. Contohnya CSR atau Corporate Social

10
Reponsibility) dan pengeluaran rumah tangga baik yang dibayarkan tunai atau melalui
sistem asuransi.
3. Bantuan biaya dari dalam dan luar negeri
Sumber pembiayaan kesehatan, khususnya untuk penatalaksanaan penyakit-penyakit
tertentu cukup sering diperoleh dari bantuan biaya pihak lain, misalnya oleh organisasi
sosial ataupun pemerintah negara lain. Misalnya bantuan dana dari luar negeri untuk
penanganan HIV dan virus H5N1 yang diberikan oleh WHO kepada negara-negara
berkembang (termasuk Indonesia).
4. Gabungan anggaran pemerintah dan masyarakat
Sistem ini banyak diadopsi oleh negara-negara di dunia karena dapat mengakomodasi
kelemahan-kelemahan yang timbul pada sumber pembiayaan kesehatan sebelumnya.
Tingginya biaya kesehatan yang dibutuhkan ditanggung sebagian oleh pemerintah
dengan menyediakan layanan kesehatan bersubsidi. Sistem ini juga menuntut peran
serta masyarakat dalam memenuhi biaya kesehatan yang dibutuhkan dengan
mengeluarkan biaya tambahan.
Dengan ikut sertanya masyarakat menyelenggarakan pelayanan kesehatan, maka
ditemukan pelayanan kesehatan swasta. Selanjutnya dengan diikutsertakannya
masyarakat membiayai pemanfaatan pelayanan kesehatan, maka pelayanan kesehatan
tidaklah cuma-cuma. Masyarakat diharuskan membayar pelayanan kesehatan yang
dimanfaatkannya. Sekalipun pada saat  ini makin banyak saja negara yang
mengikutsertakan masyarakat dalam pembiayaan kesehatan, namun tidak ditemukan
satu negara pun yang pemerintah sepenuhnya tidak ikut serta. Pada negara yang
peranan swastanya sangat dominan pun peranan pemerintah tetap ditemukan. Paling
tidak dalam membiayai upaya kesehatan masyarakat, dan ataupun  membiayai
pelayanan kedokteran yang menyangkut kepentingan masyarakat yang kurang mampu.

2.5  Macam Biaya Kesehatan


Biaya kesehatan banyak macamnya karena semuanya tergantung dari jenis dan
kompleksitas pelayanan kesehatan yang diselenggarakan dan atau dimanfaatkan. Hanya
saja disesuaikan dengan pembagian pelayanan kesehatan, maka biaya kesehatan
tersebut secara umum dapat dibedakan atas dua macam yakni :

11
1. Biaya pelayanan kedokteran
Biaya yang dimaksudkan di sini adalah biaya yang dibutuhkan untuk
menyelenggarakan dan atau memanfaatkan pelayanan kedokteran, yakni yang tujuan
utamanya untuk mengobati penyakit serta memulihkan kesehatan penderita.
2. Biaya pelayanan kesehatan masyarakat
Biaya yang dimaksudkan di sini adalah biaya yang dibutuhkan untuk
menyelenggarakan dan atau memanfaatkan pelayanan kesehatan masyarakat yakni yang
tujuan utamanya untuk memelihara dan meningkatkan kesehatan serta untuk mencegah
penyakit.
Sama halnya dengan biaya kesehatan secara keseluruhan, maka masing-masing biaya
kesehatan ini dapat pula ditinjau dari dua sudut yakni dari sudut penyelenggara
kesehatan (health provider) dan dari sudut pemakai jasa pelayanan kesehatan (health
consumer). 

2.6 Pengalokasian Pembiayaan Kesehatan


1. Pengalokasian dana yang dihimpun dan dilakukan oleh Pemerintah, Pemerintah
Daerah dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota dengan memperhatikan
pengutamaan upaya pembangunan kesehatan dengan prinsip yang berkelanjutan,
efektif dan efisien.
2. Alokasi dana yang berasal dari pemerintah dilakukan melalui penyusunan APBD,
serta Pemerintah Daerah dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota berkewajiban
mengalokasikan anggaran untuk kesehatan minimal 10% dari total APBD di luar
gaji dengan pembagian yang proporsional untuk upaya promotif, preventif, kuratif
dan rehabilitatif.
3. Anggaran kesehatan diprioritaskan untuk kepentingan pelayanan publik yang
besarannya paling sedikit 2/3 (dua per tiga) dari anggaran kesehatan dalam APBD.
4. Alokasi anggaran kesehatan untuk pelayanan publik terutama guna:

a. Pelayanan kesehatan masyarakat tingkat pertama dan pelayanan kesehatan


masyarakat tingkat kedua;

12
b. Pelayanan kesehatan perorangan bagi penduduk miskin, kelompok lanjut usia,
dan anak terlantar yang tidak terdaftar sebagai peserta Penerima Bantuan Iuran.

2.7 Sistem Asuransi Dan Sistem Rujukan Kesehatan Berdasarkan Era JKN

a. Jaminan Kesehatan Nasional

Ketersediaan asuransi kesehatan saja tidak cukup, diperlukan Asuransi


Kesehatan Sosial atau Jaminan Kesehatan Sosial (JKN). Hal tersebut karena premi
asuransi komersial relatif tinggi sehingga tidak terjangkau bagi sebagian besar
masyarakat, manfaat yang ditawarkan umumnya terbatas. Sebaliknya, asuransi
kesehatan sosial memberikan beberapa keuntungan; Pertama, memberikan manfaat
yang komprehensif dengan premi terjangkau. Kedua, asuransi kesehatan sosial
menerapkan prinsip kendali biaya dan mutu. Itu berarti peserta bisa mendapatkan
pelayanan bermutu memadai dengan biaya yang wajar dan terkendali, bukan
“terserah dokter” atau terserah “rumah sakit”. Ketiga, asuransi kesehatan sosial
menjamin sustainabilitas (kepastian pembiayaan pelayanan kesehatan yang
berkelanjutan). Keempat, asuransi kesehatan sosial memiliki portabilitas, sehingga
dapat digunakan di seluruh wilayah Indonesia. Oleh sebab itu, untuk melindungi
seluruh warga, kepesertaan asuransi kesehatan sosial/ JKN bersifat wajib.

Menurut definisinya, berdasarkan UU SJSN No 40. Tahun 2004, asuransi


sosial merupakan mekanisme pengumpulan iuran yang bersifat wajib dari peserta,
guna memberikan perlindungan kepada peserta atas risiko sosial ekonomi yang
menimpa mereka dan atau anggota keluarganya. Sementara itu, SJSN adalah tata
cara penyelenggaraan program Jaminan Sosial oleh Badan Penyelenggara Jaminan
Sosial (BPJS) Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan.

Asuransi sosial memiliki kelebihan dibandingkan dengan asuransi komersil,


diantaranya adalah: 1) kepesertaan bersifat wajib, 2) non profit, dan 3) mempunyai
manfaat yang komprehensif. Manfaat Jaminan Kesehatan Nasional mencakup
pelayanan promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif termasuk pelayanan obat
dan bahan medis habis pakai sesuai dengan kebutuhan medis.

13
Prinsip JKN mengacu pada prinsip-prinsip SJSN, yaitu prinsip
kegotongroyongan, prinsip nirlaba atau bukan mencari laba, prinsip keterbukaan,
kehati-hatian, akuntabilitas, efisiensi, dan efektivitas, prinsip portabilitas, prinsip
kepesertaan bersifat wajib yang dimaksudkan agar seluruh rakyat menjadi peserta
sehingga dapat terlindungi, prinsip dana amanat dimana dana yang terkumpul dari
iuran peserta merupakan dana titipan kepada badan-badan penyelenggara untuk
dikelola sebaikbaiknya dalam rangka mengoptimalkan dana tersebut untuk
kesejahteraan peserta, dan prinsip hasil pengelolaan Dana Jaminan Sosial
dipergunakan seluruhnya untuk pengembangan program dan untuk sebesar-besar
kepentingan peserta.

Ada 2 (dua) jenis pelayanan yang akan diperoleh oleh Peserta JKN, yaitu
berupa pelayanan kesehatan (manfaat medis) serta akomodasi dan ambulans
(manfaat non medis). Ambulans hanya diberikan untuk pasien rujukan dari
Fasilitas Kesehatan dengan kondisi tertentu yang ditetapkan oleh BPJS Kesehatan.
Peserta yang memerlukan pelayanan kesehatan pertama-tama harus memperoleh
pelayanan kesehatan pada Fasilitas Kesehatan tingkat pertama. Bila Peserta
memerlukan pelayanan kesehatan tingkat lanjutan, maka hal itu harus dilakukan
melalui rujukan oleh Fasilitas Kesehatan tingkat pertama, kecuali dalam keadaan
kegawatdaruratan medis.

b. Sistem Rujukan Era JKN (BPJS)


Sistem rujukan pelayanan kesehatan dilaksanakan secara berjenjang sesuai
dengan kebutuhan medis. Pada pelayanan kesehatan tingkat pertama, peserta BPJS
Kesehatan dapat berobat ke fasilitas kesehatan primer seperti puskesmas, klinik,
atau dokter keluarga yang tercantum pada kartu peserta BPJS Kesehatan.
Sebagaimana yang tercantum dalam Peraturan Presiden Nomor 12 Tahun
2013 tentang Jaminan Kesehatan Pasal 21 Ayat 1, salah satu manfaat pelayanan
promotif preventif meliputi penyuluhan kesehatan perorangan, baik secara langsung
maupun tidak langsung. Untuk itu, diharapkan fungsi Fasilitas Kesehatan Tingkat
Pertama (FKTP) tidak hanya sebagai tempat berobat, namun juga sebagai tempat
masyarakat memperoleh edukasi kesehatan sebelum sakit.

14
“Penggencaran program promotif preventif ini penting dilakukan, sebab
dibutuhkan suatu program untuk menjaga peserta yang sehat tetap sehat, dan
peserta yang sakit tidak bertambah parah. Salah satu upaya yang kami lakukan
adalah dengan memberdayakan FKTP untuk lebih giat memberi edukasi dan
melakukan sosialisasi kepada peserta secara langsung mengenai pentingnya
memelihara kesehatan,” kata Direktur Pelayanan BPJS Kesehatan Fajriadinur
dalam acara Diskusi Media di BPJS Kesehatan Kantor Pusat, Kamis (26/3).
Program promotif preventif tersebut juga diharapkan dapat menekan angka
rujukan dari FKTP ke rumah sakit. Berdasarkan data BPJS Kesehatan per triwulan
Itahun 2015, tercatat hanya terdapat 2.236.379 rujukan FKTP ke rumah sakit, dari
total angka kunjungan peserta BPJS Kesehatan ke FKTP sebanyak 14.619.528
kunjungan.
Adapun per Februari 2015, jumlah FKTP yang bekerjasama dengan BPJS
Kesehatan adalah 18.856 FKTP, dengan rincian:
Dokter Praktik Perorangan sebanyak 4.143, Klinik Polri sebanyak 569, Klinik
Pratama sebanyak 2.569, Klinik TNI sebanyak 751, Dokter Gigi Praktik
Perorangan sebanyak 1.011, Puskesmas sebanyak 9.805, serta Rumah Sakit D
Pratama sebanyak delapan.
Apabila memerlukan pelayanan lanjutan oleh dokter spesialis, maka peserta
BPJS Kesehatan dapat dirujuk ke fasilitas kesehatan tingkat kedua atau fasilitas
kesehatan sekunder.Rujukan ini hanya diberikan jika peserta BPJS Kesehatan
membutuhkan pelayanan kesehatan spesialistik, atau jika fasilitas kesehatan primer
yang ditunjuk untuk melayani peserta tersebut, tidak dapat memberikan pelayanan
kesehatan karena keterbatasan fasilitas, pelayanan, dan atau tenaga medis.Jika
peserta masih belum dapat tertangani di fasilitas kesehatan sekunder, maka dapat
dirujuk ke fasilitas kesehatan tersier untuk ditangani oleh dokter sub-spesialis yang
menggunakan pengetahuan dan teknologi kesehatan sub-spesialistik.
Pelayanan rujukan bisa dilakukan secara horizontal maupun vertikal. Rujukan
horizontal adalah rujukan yang dilakukan antar pelayanan kesehatan dalam satu
tingkatan jika perujuk (fasilitas kesehatan) tidak dapat memberikan pelayanan
kesehatan sesuai dengan kebutuhan pasien karena keterbatasan fasilitas, peralatan,

15
dan atau ketenagaan yang sifatnya sementara atau menetap.Sedangkan rujukan
vertikal adalah rujukan yang dilakukan antar pelayanan kesehatan yang berbeda
tingkatan, dapat dilakukan dari tingkat pelayanan yang lebih rendah ke tingkat
pelayanan yang lebih tinggi, atau sebaliknya.
Peserta BPJS Kesehatan bisa dirujuk dari fasilitas kesehatan yang lebih rendah
jika:
a) Permasalahan kesehatan peserta dapat ditangani oleh tingkatan
fasilitaskesehatan yang lebih rendah sesuai dengan kompetensi dan
kewenangannya,
b) Kompetensi dan kewenangan fasilitas tingkat pertama atau tingkat kedua
lebih baik dalam menangani peserta
c) Peserta membutuhkan pelayanan lanjutan yang dapat ditangani oleh
fasilitas kesehatan yang lebih rendah dan untuk alasan kemudahan,
efisiensi, dan pelayanan jangka panjang,
d) Perujuk tidak dapat memberikan pelayanan kesehatan sesuai dengan
kebutuhan peserta karena keterbatasan sarana, prasarana, peralatan, dan
atau ketenagaan.
Sementara itu dalam hal mekanisme pembayaran, terdapat dua sistem
pembayaran yang dilakukan oleh BPJS Kesehatan kepada fasilitas kesehatan. Bagi
Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama (FKTP), sistem pembayaran yang diterapkan
adalah sistem kapitasi.

2.8 Sistem Pembiayaan Kesehatan Gigi Mulut Dalam BPJS

Pelayanan Kedokteran Gigi Primer adalah suatu pelayanan kesehatan dasar


paripurna dalam bidang kesehatan gigi dan mulut yang bertujuan untuk
meningkatkan status kesehatan gigi dan mulut setiap individu dalam keluarga
binaannya.
a. Prinsip Pelayanan

1. Kontak pertama/first contact

16
Dokter gigi sebagai pemberi pelayanan yang pertama kali ditemui oleh Pasien
dalam masalah kesehatan gigi dan mulut
2. Layanan bersifat pribadi/personal care
Adanya hubungan yang baik dengan pasien dan seluruh keluarganya member
peluang Dokter Gigi Keluarga untuk memahami masalah pasien secara lebih luas.
3. Pelayanan paripurna/comprehensive
Dengan cara memberikan pelayanan menyeluruh dengan pendekatan
pemeliharaan, peningkatan kesehatan (promotif), pencegahan penyakit (preventif),
penyembuhan (kuratif) dan pemulihan (rehabilitative) sesuai kebutuhan pasien.
Dengan demikian pelayanan kesehatan gigi keluarga berorientasi pada paradigma
sehat.
4. Paradigma sehat
Dokter Gigi mampu mendorong masyarakat untuk bersikap mandiri dalam
menjaga kesehatan mereka sendiri.
5. Pelayanan berkesinambungan/continous care
Prinsip ini melandasi hubungan jangka panjang antara Dokter Gigi dan pasien
dengan pelayanan kesehatan gigi dan mulut yang berkesinambungan dalam
beberapa tahap kehidupan pasien.
6. Koordinasi dan kolaborasi
Dalam upaya mengatasi masalah pasiennya, Dokter Gigi di Fasilitas Kesehatan
Tingkat Pertama perlu berkonsultasi dengan disiplin lain, merujuk ke spesialis dan
memberikan informasi yang sejelasjelasnya kepada pasien
7. Family and community oriented
Dalam mengatasi masalah pasiennya, Dokter Gigi di Fasilitas Kesehatan
Tingkat Pertama mempertimbangkan kondisi pasien terhadap keluarga tanpa
mengesampingkan pengaruh lingkungan social dan budaya setempat.

b. Pemberi Pelayanan

17
Peserta BPJS Kesehatan mendapatkan pelayanan gigi di Fasilitas Kesehatan
Tingkat Pertama maupun di Fasilitas Kesehatan Tingkat Lanjutan yang
bekerjasama dengan BPJS Kesehatan.
Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama :
1. Dokter Gigi di Puskesmas; atau
2. Dokter Gigi di Klinik; atau
3. Dokter Gigi Praktek Mandiri/Perorangan
Fasilitas Kesehatan Rujukan Tingkat Lanjutan:
Dokter Gigi Spesialis/Sub Spesialis

c. Pelayanan Gigi

Menurut BPJS Kesehatan No 1 Tahun 2014 Pasal 52 Ayat 1, perawatan gigi dan
mulut yang ditanggung oleh BPJS Kesehatan adalah sebagai berikut :

1. Administrasi pelayanan, meliputi biaya pendaftaran pasien dan juga biaya


administrasi lainnya yang terjadi selama proses perawatan atau pelayanan
kesehatan pasien.
2. Pemeriksaan, pengobatan dan konsultasi medis yang berhubungan dengan
kesehatan gigi.
3. Pramedikasi, pemberian obat-obatan yang dilakukan sebelum tindakan anastesi
atau pembiusan sebelum operasi.
4. Kegawatdaruratan oro-dental.
5. Pencabutan gigi sulung dengan anastesi topikal atau infiltrasi.
6. Pencabutan gigi permanen tanpa penyulit.
7. Obat-obatan pasca pencabutan gigi (ekstraksi).
8. Penambalan dengan bahan komposit atau GIC.
9. Pembersihan karang gigi atau scaling gigi setahun sekali.

d. Pelayanan Gigi yang Tidak Dijamin


1. pelayanan kesehatan yang dilakukan tanpa melalui prosedur sebagaimana diatur
dalam peraturan yang berlaku;

18
2. pelayanan kesehatan yang dilakukan di Fasilitas Kesehatan yang tidak bekerja
sama dengan BPJS Kesehatan, kecuali dalam keadaan darurat;
3. pelayanan kesehatan yang dilakukan di luar negeri;
4. pelayanan kesehatan untuk tujuan estetik;
5. pelayanan meratakan gigi (ortodonsi);
6. biaya pelayanan lainnya yang tidak ada hubungan dengan Manfaat Jaminan
Kesehatan yang diberikan.

e. Pembayaran
BPJS Kesehatan melakukan pembayaran ke Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama
melalui pola pembayaran kapitasi dengan ketentuan sebagai berikut :
a) Dokter Gigi Praktek Mandiri/Perorangan dibayarkan langsung ke Dokter Gigi
berdasarkan jumlah peserta terdaftar.
b) Dokter Gigi di Klinik/Puskesmas tidak dibayarkan langsung ke Dokter Gigi yang
menjadi jejaring melainkan melalui Klinik /Puskesmas sebagai Fasilitas Kesehatan
Tingkat Pertamanya.

2.9 Syarat Pokok dan Fungsi Pembiayaan Kesehatan

Suatu biaya kesehatan yang baik haruslah memenuhi beberapa syarat pokok yakni :

1)        Jumlah
Syarat utama dari biaya kesehatan haruslah tersedia dalam jumlah yang cukup. Yang
dimaksud cukup adalah dapat membiayai penyelenggaraan semua upaya kesehatan
yang dibutuhkan serta tidak menyulitkan masyarakat yang ingin memanfaatkannya.
2)        Penyebaran
Berupa penyebaran dana yang harus sesuai dengan kebutuhan. Jika dana yang tersedia
tidak dapat dialokasikan dengan baik, niscaya akan menyulitkan penyelenggaraan
setiap upaya kesehatan.
3)        Pemanfaatan
Sekalipun jumlah dan penyebaran dana baik, tetapi jika pemanfaatannya tidak
mendapat pengaturan yang optimal, niscaya akan banyak menimbulkan masalah, yang

19
jika berkelanjutan akan menyulitkan masyarakat yang membutuhkan pelayanan
kesehatan.

Untuk dapat melaksanakan syarat-syarat pokok tersebut maka perlu dilakukan beberapa
hal, yakni :

1)        Peningkatan Efektifitas


Peningkatan efektifitas dilakukan dengan mengubah penyebaran atau alokasi
penggunaan sumber dana. Berdasarkan pengalaman yang dimiliki, maka alokasi
tersebut lebih diutamakan pada upaya kesehatan yang menghasilkan dampak yang
lebih besar, misalnya mengutamakan upaya pencegahan, bukan pengobatan penyakit

2)        Peningkatan Efisiensi


Peningkatan efisiensi dilakukan dengan memperkenalkan berbagai mekanisme
pengawasan dan pengendalian. Mekanisme yang dimaksud untuk peningkatan efisiensi
antara lain:
a.       Standar minimal pelayanan. Tujuannya adalah menghindari pemborosan. Pada
dasarnya ada dua macam standar minimal yang sering dipergunakan yakni:
1) standar minimal sarana, misalnya standar minimal rumah sakit dan standar minimal
laboratorium.
2) standar minimal tindakan, misalnya tata cara pengobatan dan perawatan penderita,
dan daftar obat-obat esensial.
Dengan adanya standard minimal pelayanan ini, bukan saja pemborosan dapat
dihindari dan dengan demikian akan ditingkatkan efisiensinya, tetapi juga sekaligus
dapat pula dipakai sebagai pedoman dalam menilai mutu pelayanan.
b.      Kerjasama. Bentuk lain yang diperkenalkan untuk meningkatkan efisiensi ialah
memperkenalkan konsep kerjasama antar berbagai sarana pelayanan kesehatan.
Terdapat dua bentuk kerjasama yang dapat dilakukan yakni:
1) Kerjasama institusi, misalnya sepakat secara bersama-sama membeli peralatan
kedokteran yang mahal dan jarang dipergunakan. Dengan pembelian dan pemakaian
bersama ini dapat dihematkan dana yang tersedia serta dapat pula dihindari penggunaan
peralatan yang rendah. Dengan demikian efisiensi juga akan meningkat.

20
2)  Kerjasama sistem, misalnya sistem rujukan, yakni adanya hubungan kerjasama
timbal balik antara satu sarana kesehatan dengan sarana kesehatan lainnya.
Fungsi pembiayaan kesehatan antara lain :
a.       Penggalian dana
1)      Penggalian dana untuk Upaya Kesehatan Masyarakat (UKM). Sumber dana
untuk UKM terutama berasal dari pemerintah baik pusat maupun daerah, melalui pajak
umum, pajak khusus, bantuan dan pinjaman serta berbagai sumber lainnya. Sumber
dana lain untuk upaya kesehatan masyarakat adalah swasta serta masyarakat. Sumber
dari swasta dihimpun dengan menerapkan prinsip public-private patnership yang
didukung dengan pemberian insentif, misalnya keringanan pajak untuk setiap dana
yang disumbangkan. Sumber dana dari masyarakat dihimpun secara aktif oleh
masyarakat sendiri guna membiayai upaya kesehatan masyarakat, misalnya dalam
bentuk dana sehat atau dilakukan secara pasif yakni menambahkan aspek kesehatan
dalam rencana pengeluaran dari dana yang sudah terkumpul di masyarakat, contohnya
dana sosial keagamaan.
2)      Penggalian dana untuk Upaya Kesehatan Perorangan (UKP) berasal dari masing-
masing individu dalam satu kesatuan keluarga. Bagi masyarakat rentan dan keluarga
miskin, sumber dananya berasal dari pemerintah melalui mekanisme jaminan
pemeliharaan kesehatan wajib.
b.      Pengalokasian dana
1)      Alokasi dana dari pemerintah yakni alokasi dana yang berasal dari pemerintah
untuk UKM dan UKP dilakukan melalui penyusunan anggaran pendapatan dan belanja
baik pusat maupun daerah sekurang-kurangnya 5% dari PDB atau 15% dari total
anggaran pendapatan dan belanja setiap tahunnya.
2)      Alokasi dana dari masyarakat yakni alokasi dana dari masyarakat untuk UKM
dilaksanakan berdasarkan asas gotong royong sesuai dengan kemampuan. Sedangkan
untuk UKP dilakukan melalui kepesertaan dalam program jaminan pemeliharaan
kesehatan wajib dan atau sukarela.
c.       Pembelanjaan
1)      Pembiayaan kesehatan dari pemerintah dan public-private patnership
digunakan untuk membiayai UKM.

21
2)      Pembiayaan kesehatan yang terkumpul dari Dana Sehat dan Dana
Sosial Keagamaan digunakan untuk membiayai UKM dan UKP.
3)      Pembelajaan untuk pemeliharaan kesehatan masyarakat rentan dan
kesehatan keluarga miskin dilaksanakan melalui Jaminan Pemeliharaan
kesehatan wajib.
 
2.10 Permasalahan Asuransi Kesehatan Di Indonesia (BPJS) Dan Upaya
Pemerintah Dalam Penanganannya
Sebagai suatu sistem yang besar dan baru berlangsung dalam tempo yang masih
relatif singkat, implementasi BPJS terutama BPJS Kesehatan masih jauh dari
sempurna. Dalam monitoring dan evaluasi yang telah dilakukan oleh berbagai pihak,
khususnya DJSN (Dewan Jaminan Sosial Nasional) yang telah diberikan mandat oleh
konstitusi untuk melakukan monitoring dan evaluasi, banyak permasalahan BPJS di
lapangan.
Sejak dioperasionalkan 1 Januari 2014, BPJS Kesehatan memiliki beragam
permasalahan, banyak aspek yang belum matang dan menjadi persoalan. Kurangnya
sosialisasi dan perubahan struktur di dalam BPJS dinilai menjadi penyebab munculnya
permasalahan tersebut. BPJS Kesehatan seharusnya sangat dibutuhkan dan harus tetap
dilaksanakan. Berikut merupakan beberapa permasalahan BPJS.
a. Banyak masyarakat belum tahu teknis mendapatkan pelayanan sesuai dengan aturan
BPJS Kesehatan. Dengan diberlakukannya PBJS Kesehatan, masyarakat yang akan
berobat ke rumah sakit umum pemerintah dengan kartu BPJS harus mendapat rujukan
dari dokter, klnik/puskesmas, atau rumah sakit umum daerah. Hal ini sudah diatur
dalam Peraturan Menteri Kesehatan No. 001/2012 Tentang Sistem Rujukan
Pelayanan Kesehatan Perorangan (PMK).
b. Terjadi penumpukan pasien yang luar biasa di rumah sakit besar tertentu.
c. Ketidaksiapan tenaga kesehatan dan kurangnya fasilitas di layanan kesehatan primer.
Kasus yang seharusnya dapat ditangani di layanan primer/sekunder tetapi langsung
dirujuk ke rumah sakit tersier.
d. Ketidaktahuan mengenai sistem rujukan oleh perawat sebagai petugas garda depan
yang selalu menjadi tempat bertanya pasien atau masyarakat yang membutuhkan

22
e. Keluhan dari PNS yaitu dimana jika rujukan harus melalui puskesmas sementara
mereka harus bekerja, dan proses pengurusan tersebut menghabiskan jam kerja para
PNS.
f. Keluhan dari program JKN adalah mutasi peserta Jamsostek ke BPJS, seorang manila
gagal mendapat pelayanan perawatan kesehatannya karena salah satu rujukan
Jamsostek menolaknya.
g. Permasalahan di daerah Papua yaitu banyak daerah yang tidak bisa dijangkau oleh
kendaraan darat sehingga diperlukan heli-ambulance untuk mengangkut pasien gawat
atau pasien rujukan. Namun fasilitas ini tidak tersedia di BPJS.

Upaya pemerintah dalam penanganannya, yaitu:


a. Sosialisasi yang terus-menerus guna menanamkan kesadaran masyarakat tentang
sistem rujukan berjenjang. Masyarakat menilai sistem rujukan terkesan berbelit-belit
ini dipicu oleh keengganan masyarakat untuk antre di layanan primer seperti
Puskesmas.
b. Kebijakan sistem rujukan yang ditetapkan harus lebih komprehensif mencakup
jejaring yang melibatkan swasta, dan membuka seluas-luasnya kesempatan bagi
klinik yang mau bergabung dengan BPJS sehingga tidak terjadi antran yang panjang
di Puskesmas ataupun Rumah Sakit.
c. Pembenahan sarana dan prasarana yang memadai di setiap tingkat pelayanan
kesehatan sesuai dengan kebutuhan.
d. Meningkatkan dan menyetarakan kompetensi petugas kesehatan yang diperlukan
sehingga mampu menangani kasus sesuai dengan tingkat pelayanannya.
e. Meningkatkan peran perawat dalam sistem rujukan berjenjang sebagai petugas garda
depan yang selalu menjadi tempat bertanya pasien atau masyarakat yang
membutuhkan serta meningkatkan kompetensinya agar memberikan pelayanan
kesehatan secara profesional sesuai dengan yang dibutuhkan pasien.
f. Melakukan monitoring dan evaluasi pelaksanaan sistem rujukan secara terus menerus
oleh Pemerintah agar menjamin setiap masyarakat mendapat layanan kesehatan yang
sesuai dengan haknya

Permasalahan layanan BPJS saat pandemi Covid-19.

23
a. Pembebanan biaya tambahan untuk melakukan test Covid-19 sebesar Rp 750.000,
sedangkan pasien JKN tersebut tidak mampu membayar dan akhirnya tidak ditangani
sehingga menyebabkan pasien tersebut meninggal dunia. Hal ini sangat bertentangan
dengan Peraturan Presiden no. 82 tahun 2018 pasal 86, dimana disebutkan pasien
JKN tidak boleh diminta tambahan biaya lagi.
b. Rencana kenaikan iuran BPJS Kesehatan yang diterbitkan dalam Peraturan Presiden
nomor 64 tahun 2020 tentang Perubahan Kedua Atas Perpres Nomor 82 Tahun 2018
tentang Jaminan Kesehatan. Dalam aturan ini, pemerintah memutuskan menaikan
iuran untuk kelas I dan kelas II, sementara iuran kelas III akan naik pada tahun 2021.
Hal ini
menjadi beban masyarakat di tengah layanan yang kurang optimal bersamaan dengan
pandemi Covid-19 ini karena kenyataan di lapangan menunjukan seluruh elemen
masyarakat merasakan dampak penyebaran virus corona.
c. Tidak berjalannya pelayanan kesehatan gigi dan mulut pada beberapa faskes tingkat
primer. Beberapa faskes tingkat primer masih menolak untuk melakukan tindakan
perawatan kecuali tindakan yang darurat dikarenakan pandemi covid-19 ini. Namun
beberapa ada yang sudah menerima tindakan perawatan dengan syarat sudah
melakukan tindakan rapid test.
d. Kurangnya pengetahuan masyarakat tentang pelayanan kesehatan di tengah pandemi
Covid-19 melalui platform digital atau telemedicine. Pelayanan ini mencakup
konsultasi medis untuk mendiagnosas, mengobati, mencegah, dan mengevaluasi
kondisi kesehatan pasien sesuai dengan kompetensi dan kewenangannya. Namun
layanan ini juga dinilai banyak kekurangannya seperti saat sedang melakukan
konsultasi medis, komunikasi antara dokter dan pasien terganggu karena beberapa
faktor.

Terdapat beberapa permasalahan BPJS di tengah pandemi Covid-19, namun belum


semua permasalahan tersebut dapat diselesaikan oleh Pemerintah. Pihak pemerintah
masih mengupayakan jalan keluar atau solusi yang terbaik untuk para peserta BPJS dan
seluruh pihak yang bekerjasama dengan BPJS tersebut.

24
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

     Kesimpulan yang dapat ditarik dari hasil pembahasan makalah ini antara lain :

1.      Pembiayaan kesehatan merupakan salah satu bidang ilmu dari ekonomi kesehatan
(health economy). Yang dimaksud dengan biaya kesehatan adalah besarnya dana yang
harus disediakan untuk menyelenggarakan dan atau memanfaatkan berbagai upaya
kesehatan yang diperlukan oleh perorangan, keluarga, kelompok dan masyarakat.
2.      Sumber biaya kesehatan dapat berasal dari anggaran pemerintah, anggaran
masyarakat, bantuan dari dalam dan luar negeri, serta gabungan dari anggaran
pemerintah dan masyarakat.
3.      Secara umum biaya kesehatan dapat dibedakan menjadi dua, yakni biaya
pelayanan kedokteran dan biaya pelayanan kesehatan masyarakat.
4.      Syarat pokok pembiayaan kesehatan adalah jumlah, penyebaran dan pemanfaatan.
Sedangkan fungsi pembiayaan kesehatan adalah penggalian dana, pengalokasian dana
dan pembelanjaan.
5.      Masalah pokok pembiayaan kesehatan antara lain seperti kurangnya dana yang
tersedia, penyebaran dana yang tidak sesuai, pemanfaatan dana yang tidak tepat,
pengelolaan dana yang belum sempurna serta biaya kesehatan yang makin meningkat.
Sedangkan upaya penyelesaian yang dapat ditempuh seperti meningkatkan jumlah
dana, memperbaiki penyebaran, pemanfaatan dan pengelolaan dana, serta
mengendalikan biaya kesehatan.

25
DAFTAR PUSTAKA

 Depkes.2013.Fungsi-Pembiayaan-Kesehatan.
 Lucy Stefani, Delfi. 2013. Pembiayaan Kesehatan, (Online),
http://delfistefani.wordpress.com/2013/06/19/makalah-pembiayaan-kesehatan/,
diakses 7 Desember 2013 Undang Undang No. 23 Tahun 1992 Tentang :
Kesehatan
 Murti, Bhisma. 2010. Strategi untuk Mencapai Cakupan Universal Pelayanan
Kesehatan di Indonesia, (Online),http://www.google.com/url?
sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=2&cad=rja&ved=0CC4QFjAB&url
=http%3A%2F%2Ffk.uns.ac.id%2Findex.php%2Fdownload%2Ffile
%2F36&ei=OaqiUqGrGIiGrQex9YCACw&usg=AFQjCNHsop2zHgd_eULMn
AD_9nVr979Fsw diakses 18 September 2020
 Helda, 2011. Pembiayaan Kesehatan, (Online),
http://heldaupik.blogspot.com/2011/11/pembiayaan-kesehatan.html?m=1,
diakses pada 7 Desember 2013 Sulastomo, 2000.Manajemen Kesehatan. Jakarta
: PT Gramedia Pustaka Utama Aswar, Azrul. 1998.Administrasi Kesehatan.
Jakarta:Bina Aksara.
 Tanpa nama, 2010.Pertemuan Pembahasan Definisi Anggaran Kesehatan,
(Online),http://kgm.bappenas.go.id/index.php?hal=fi1&keyIdHead=36,diakses
20 September 2020
 Ghufron, Ali dkk.2008.Kesmas : Administrasi dan Praktik.Jakarta:EGC
 Panduan Praktis Pelayanan Gigi dan Prothesa Gigi Bagi Pesertya JKN (Online)
http://dental.id/wp-content/uploads/2017/07/Pelayanan-Gigi.pdf, diakses 20
September 2020

26
27

Anda mungkin juga menyukai