Anda di halaman 1dari 33

LAPORAN PRAKTIKUM

HANDLING SITOSTATIKA

OLEH : KELOMPOK III

NI KADEK DWIK PURNAMAYANTI 181012/IIA

PUTU YANTHI PRADNYA DEWI 181013/IIA

KADEK ARI PURWITA LESTARI 181014/IIA

NI PUTU ERA KUMALA DEWI 181015/IIA

YENI CENDANA 181016/IIA

NI KADEK AYU RESTULIANI 181017/IIA

PRODI DIPLOMA III FARMASI

FAKULTAS FARMASI

UNIVERSITAS MAHASARASWATI DENPASAR

2020
I. TUJUAN
1. Memahami proses pencampuran obat sitostatika dengan teknik aseptik.
2. Melakukan proses pencampuran obat sitostatika dengan teknik aseptik.
3. Mempelajari proses pencampuran obat sitostatika dengan teknik aseptik
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi Sitostatika
Sitostatika atau onkolitica adalah zat-zat yang dapat menghentikan
pertumbuhan pesat dari sel-sel ganas, pengertian lain dari sitostatika adalah
suatu pengobatan untuk mematikan sel-sel secara fraksional (fraksi tertentu
mati), sehingga 90% berhasil dan 10% tidak berhasil. Bahan sitostatika adalah
zat/ obat yang merusak dan membunuh sel normal dan sel kanker, serta
digunakan untuk menghambat pertumbuhan tumor malignan (Tjay dan
Kirana , 2007).
Sitostatika tergolong obat beresiko tinggi karena mempunyai efek toksik
yang tinggi terhadap sel, terutama dalam reproduksi sel sehingga bersifat
karsinogenik (sifat bahan penyebab sel kanker yaitu sel liar yang dapat
merusak jaringan tubuh), mutagenik (sifat bahan yang dapat menyebabkan
perubahan kromosom yang dapat merubah genetika) dan teratogenik (sifat
bahan yang dapat mempengaruhi pembentukan dan pertumbuhan embrio)
(Pedoman Binfar,2009).
2.2 Penanganan Sediaan Sitostatika
Pada proses pencampuran sediaan steril harus memperhatikan
perlindungan produk dari kontaminasi mikroorganisme, sedangkan untuk
penanganan sediaan sitostatika selain kontaminasi juga memperhatikan
perlindungan terhadap petugas, produk dan lingkungan. Penanganan sediaan
sitostatika yang aman perlu dilakukan secara disiplin dan hati-hati untuk
mencegah risiko yang tidak diinginkan, karena sebagian besar sediaan
sitostatika bersifat :
a. Karsinogenik yang berarti dapat menyebabkan kanker.
b. Mutagenik yang berarti dapat menyebabkan mutasi genetik.
c. Teratogenik yang berarti dapat membahayakan janin.
Kemungkinan pemaparan yang berulang terhadap sejumlah kecil obat-
obat kanker akan mempunyai efek karsinogenik, mutagenik dan teratogenik
yang tertunda lama terhadap petugas yang menyiapkan dan memberikan
obat-obat ini. Adapun mekanisme cara terpaparnya obat kanker ke dalam
tubuh adalah:

a. Inhalasi → Terhirup pada saat rekostitusi


b. Absorpsi → Masuk dalam kulit jika tertumpah
c. Ingesti → Kemungkinan masuk jika tertelan
Bahaya-bahaya akibat paparan obat sitostatika, dibuktikan melalui
penelitian yang dilakukan oleh Falck pada tahun 1970, dimana ditemukan
lebih banyak adanya substansi mutagenik dalam urine para perawat daripada
pekerja rumah sakit yang tidak terpapar oleh obat sitostatika. Selain itu
beberapa studi menunjukkan bahwa dampak buruk yang paling sering terjadi
pada organ reproduksi yaitu meningkatnya fetal loss (Selevan, 1985 ; Stucker,
1990), malformasi kongenital (Hemminki, 1985), berat badan bayi lahir
rendah, bayi abnormal (Peelen, 1999) dan infertilitas (Valanis, 1999) oleh
sebab itu sangat penting bagi para petugas kesehatan yang terlibat dalam
proses kemoterapi untuk bekerja secara hati-hati dan taat prosedur yan berlaku
untuk menghindari bahaya dari paparan obat-obat sitostatika.
Penanganan sediaan sitostatika merupakan penanganan obat kanker secara
aseptis dalam kemasan siap pakai sesuai kebutuhan pasien oleh tenaga farmasi
yang terlatih dengan pengendalian pada keamanan terhadap lingkungan,
petugas maupun sediaan obatnya dari efek toksik dan kontaminasi, dengan
menggunakan alat pelindung diri (APD) mengamankan pada saat
pencampuran, distribusi, maupun proses pemberian kepada pasien sampai
pembuangan limbahnya. Secara operasional dalam mempersiapkan dan
melakukan harus sesuai prosedur yang ditetapkan dengan alat pelindung diri
yang memadai. Kegiatan dalam penanganan sediaan sitostatik meliputi:
a. Melakukan perhitungan dosis secara akurat
b. Melarutkan sediaan obat kanker dengan pelarut yang sesuai
c. Mencampur sediaan obat kanker sesuai dengan protokol
pengobatan
d. Mengemas dalam kemasan tertentu
e. Membuang limbah sesuai prosedur yang berlaku

Faktor yang perlu diperhatikan:

a. Ruangan khusus yang dirancang dengan kondisi yang sesuai


b. Lemari pencampuran Biological Safety Cabinet
c. HEPA filter
d. Alat Pelindung Diri (APD)
e. Sumber daya manusia yang terlatih
f. Cara pemberian obat kanker
2.3 Denah Bagian Ruangan dan Fungsi
2.3.1 Tata Letak Ruangan Cytotoxic Handling

Penanganan sitostatika memerlukan ruangan khusus dan terkontrol. Letak


ruangan diusahakan tidak untuk lalu lintas orang. Ruangan ini terdiri dari:
a. Ruang persiapan
Ruangan yang digunakan untuk administrasi dan penyiapan alat
kesehatan dan bahan obat (etiket, pelabelan, penghitungan dosis dan
volume cairan)
b. Ruang persiapan
Sebelum masuk ke ruang antara, petugas harus mencuci tangan dan
mengenakan alat pelindung diri (APD) (Departemen Kesehatan
Republik Indonesia, 2009). Penyekat udara sebaiknya dipasang di
antara mesin atau bak cuci dan drainase. Ruang ganti pakaian hanya
digunakan untuk personil dan tidak digunakan untuk lalu lintas bahan,
wadah dan peralatan. Ruang ganti pakaian sebaiknya didesain seperti
ruang penyangga udara dan digunakan sebagai pembatas fisik untuk
berbagai tahap penggantian pakaian agar dapat memperkecil cemaran
mikroba dan partikulat terhadap pakaian pelindung
c. Ruang antara
Petugas yang akan masuk ke ruang steril melalui suatu ruang
antara.
d. Ruang bersih (clean room)
LAFC harus diletakkan di sebuah clean room (ruang bersih). Clean
room merupakan ruangan khusus yang dibuat dengan pengendalian
terhadap ukuran dan jumlah partikel. Ruangan ini dirancang untuk
mencegah partikel masuk dan tertahan dalam ruangan, pengendalian
juga dilakukan terhadap suhu, kelembaban, dan tekanan udara. Ruang
bersih (clean room) dirancang agar memiliki tekanan positif (10-15
Pascal) dan aliran udara mengelilingi seluruh ruangan dengan
kecepatan yang rendah untuk menghindari kontaminasi produk.
Pergantian/perputaran udara di dalam ruangan dibutuhkan minimal 20
kali dalam satu jam. Semakin banyak jumlah partikel yang diijinkan
dalam suatu ruangan, maka perputaran udara per jam harus semakin
ditingkatkan. Agar udara yang masuk ke dalam ruangan adalah udara
steril/ bebas partikel, maka digunakan HEPA Exhaust filter. HEPA
filter biasanya diletakkan pada jarak dua meter dari tepi ruangan
(dinding ruangan). Rentang temperatur pada clean room adalah 18-
22oC. Kelembapan udara yang diharapkan berada pada rentang 30%-
70%
2.4 Fasilitas dan Persyaratan yang Diperlukan
Adapun fasilitas yang diperlukan dalam cytotoxic clean room antara lain:
a. Kelengkapan alat pelindung diri (APD) :
1. Baju Pelindung
Baju Pelindung ini sebaiknya terbuat dari bahan yang
impermeable (tidak tembus cairan), tidak melepaskan serat
kain, dengan lengan panjang, bermanset dan tertutup di bagian
depan
2. Sarung tangan
Sarung tangan yang dipilih harus memiliki permeabilitas yang
minimal sehingga dapat memaksimalkan perlindungan bagi
petugas dan cukup panjang untuk menutup pergelangan tangan.
Sarung tangan terbuat dari latex dan tidak berbedak (powder
free). Khusus untuk penanganan sediaan sitostatika harus
menggunakan dua lapis
3. Kacamata pelindung
Hanya digunakan pada saat penanganan sediaan sitostatika
b. Pass Box
Jendela antara ruang administrasi dan ruang aseptik berfungsi
untuk keluar masuknya obat ke dalam ruang aseptik
c. Laminar Air Flow (LAF)
Mempunyai sistem penyaringan ganda yang memiliki efisiensi
tingkat tinggi, sehingga dapat berfungsi sebagai :
a. Penyaring bakteri dan bahan-bahan eksogen di udara.
b. Menjaga aliran udara yang konstan diluar lingkungan.
c. Mencegah masuknya kontaminan ke dalam LAF.
Terdapat dua tipe LAF yang digunakan pada pencampuran
sediaan steril:
a. Aliran Udara Horizontal (Horizontal Air Flow).
Aliran udara langsung menuju ke depan, sehingga petugas
tidak terlindungi dari partikel ataupun uap yang berasal dari ampul
atau vial. Alat ini digunakan untuk pencampuran obat steril non
sitostatika.
b. Aliran Udara Vertikal (Vertical Air Flow).
Aliran udara langsung mengalir kebawah dan jauh dari
petugas sehingga memberikan lingkungan kerja yang lebih aman.
Untuk penanganan sediaan sitostatika menggunakan LAF vertikal
Biological Safety Cabinet (BSC) kelas II dengan syarat tekanan
udara di dalam BSC harus lebih negatif dari pada tekanan udara di
ruangan.
2.5 Alat Pelindung Diri (APD) yang Diperlukan untuk Cytotoxic Handling
Alat pelindung diri harus disediakan untuk setiap personil yang
terlibat didalam persiapan dan pecampuran obat sitotoksik. Ada beberapa
alat pelindung diri (APD) yang diperlukan dalam pembuatan obat
sitotoksik, antara lain :
a. Gowns
Gowns membantu meminimalkan paparan obat berbahaya
pada petugas kesehatan dan digunakan sebagai penghalang
fisik dari partikel asing yang dihasilkan selama proses
peracikan untuk mengurangi resiko kontak kulit langsung
dengan obat-obatan berbahaya (SA Health, 2012).
b. Pelindung Kepala (Headwear)
Pelindung kepala digunakan untuk melindungi rambut dan
meminimalkan kontaminasi obat-obatan berbahaya. Penutup
kepala juga harus menutup rambut yang terlihat seperti kumis
dan jenggot. Pelindung kepala dapat pula dikatakan sebagai
pelindung rambut (hair covering) karena pelindung kepala
melindung semua rambut yang terlihat pada kepala
c. Pelindung kaki (Footwear) dan Overshoes
Pelindung kaki (footwear) digunakan untuk melindungi
kaki dengan mempertimbangkan terhadap paparan sitotoksik,
tumpahan cairan, dan bahaya yang lainnya. Overshoes
digunakan untuk meminimalkan penyebaran kontaminasi
partikel dari sepatu yang dikenakan oleh operator.
d. Sarung Tangan (Gloves)
Penggunaan sarung tangan pada sitostatika handling sangat
penting. Sarung tangan digunakan untuk memberikan
perlindungan dengan cara mengurangi daya permeabilitas dan
meminimalkan paparan yang bersifat toksisitas. Dalam
penerapannya digunakan double. gloves untuk meningkatkan
perlindungan dan mencegah penembusan /perembesan obat
yang bersifat sitotoksik (SHPA, 2005). Double gloves
umumnya berbahan natural rubber latex karena natural rubber
latex memiliki elastisitas yang tinggi
e. Pelindung mata (Eye Protection)
Dianjurkan untuk memakai pelindung mata (kacamata
pelindung atau visor) setiap memproses obat sitotoksik atau
ketika membersihkan tumpahan yang mengandung obat
sitotoksik. Pelindung mata harus melindungi seluruh bagian
mata dari debu dan percikan saat pembuatan obat, dan harus
mudah dicuci dengan air setelah penggunaannya
f. Respiratory Protective Equipment dan Masker
Respiratory protection digunakan pada wajah untuk
menutupi hidung dan mulut yang tujuannya melindungi
saluran pernafasan dari bahan kimia beracun serta melindungi
dari tumpahan cairan serta melindungi saluran pernafasan dari
paparan obat sitotoksik maupun partikel gas dan zat yang
mudah menguap sehingga partikel tersebut tidak terhirup dan
tidak masuk saluran pernafasan (Coia et al., 2013). Masker
pelindung partikel harus digunakan ketika memperlakukan
bahan yang dapat menghasilkan uap. Dalam menggunakan
pelindung pernafasan harus memperhatikan pemilihan
pelindung mata agar letaknya sesuai. Masker digunakan untuk
melindungi saluran pernafasan dan mencegah masuknya
partikel–partikel yang ke dalam saluran nafas
2.6 Penyimpanan
Penyimpanan sediaan steril non sitostatika setelah dilakukan
penampuran tergantung pada stabilitas masing-masing obat. Kondisi
khusus penyimpanan (Depkes RI.,2009) :
1. Terlindung dari cahaya langsung, dengan menggunakan kertas
karbon/kantong plastic warna hitam atau aluminium foil.
2. Suhu Penyimpanan 2-8 0C disimpan di dalam lemari
pendingin (bukan freezer).
2.7 Distribusi
Proses distribusi dilakukan sesuai SOP pengiriman sediaan steril
yang telah dilakukan pencampuran harus terjamin sterilitas dan
stabilitasnya dengan persyaratan (Depkes RI., 2009) :
1. Wadah
a. Tertutup rapat dan terlindung cahaya
b. Untuk obat yang harus diperhatikan stabilitasnya pada suhu
tertentu dan ditempatkan dalam wadah yang mampu
menjaga konsistensi suhunya.
2. Waktu Pengiriman
Prioritas pengiriman untuk obat-obat yang waktu stabilitasnya
pendek
3. Rute Pengiriman
Pengiriman sediaan sitostatika sebainya tidak melalui jalur
umum/ramai untuk menghindari terjadinya tumpahan obat
yang akan membahayakan petugas dan lingkungannya
2.8 Contoh obat-obat sitostatika
1. Alkilator
Obat-obat ini merusak DNA sehingga mengganggu
replikasi sel tumor. Selain menimbulkan efek samping
yang umum dijumpai pada penggunaan obat sitotoksik,
penggunaan alkilator jangka panjang menimbulkan
masalah gametogenesis dan terutama jika dikombinasi
dengan iradiasi, penggunaan jangka panjang obat ini dapat
meningkatkan kejadian leukemia nonlimfositik. Pada anak
kecil, alkilator dapat menyebabkan retensi cairan yang
mengakibatkan udema dan hiponatremia, komplikasi ini
terjadi paling parah pada dua hari pertama terapi dan atau
jika diberikan secara bersamaan dengan alkaloid vinka.
Adapun contohnya :
a. Siklofosfamid. Banyak digunakan dalam terapi
leukemia limfositik kronik, limfoma, dan tumor solid.
Bentuk aktifnya adalah hasil metabolisme di hati.
Metabolit lain, akrolein, dapat menimbulkan sistitis
hemoragika, walaupun ini jarang terjadi, tetapi
merupakan komplikasi serius pada penggunaan
siklofosfamid. Untuk mencegah komplikasi ini asupan
cairan harus ditingkatkan selama 24-48 jam setelah
penyuntikan. Bila digunakan dosis tinggi (misalnya
lebih dari 2 gram intravena), atau pasien berisiko
mengalami sistitis (misalnya pasien yang mendapat
radiasi pelvik sebelumnya), sebagai pencegahan dapat
diberikan mesna intravena, yang dilanjutkan per oral.
b. Ifosfamid mirip dengan siklofosfamid, diberikan
intravena dan selalu bersama mesna untuk mencegah
toksisitas pada saluran kemih.

c. Klorambusil digunakan untuk leukemia limfositik


akut, penyakit Hodgkin, limfoma non-Hodgkin, dan
Waldenstrom’s macro-globulinemia. Selain depresi
sumsum tulang, jarang ada efek samping lainnya,
tetapi pada beberapa pasien dapat terjadi ruam kulit
yang menyebar dan berlanjut menjadi sindrom
Stevens-Johnson atau nekrolisis epidermal toksik.
Oleh karena itu bila timbul ruam kulit, segera hentikan
dan gantikan dengan siklofosfamid.
d. Melfalan digunakan pada pengobatan mieloma
multipel, adenokarsinoma ovarian lanjutan, kanker
payudara lanjutan, neuroblastoma pada anak-anak dan
polycythaemia vera. Melfalan juga digunakan pada
bagian ekstrimitas yang mengalami perfusi arterial
regional pada melanoma maligna lokal dan sarkoma
jaringan lunak lokal. Pneumonitis interstisial dan
fibrosis pulmoner yang mengancam jiwa juga
dihubungkan dengan penggunaan melfalan.
e. Busulfan hampir selalu digunakan hanya untuk
leukemia mieloid kronik dan diberikan per oral.
Pemberian busulfan yang diberikan intravena dan
diikuti dengan pemberian siklofosfamid digunakan
sebelum transplantasi haemapoeitic stem-cell pada
orang dewasa. Hitung darah tepi harus dilakukan
karena supresi mieloid yang berlebihan dapat
menyebabkan aplasia sumsum tulang yang permanen.
Hiperpigmentasi kulit sering terjadi pada pemberian
peroral; efek samping yang jarang adalah fibrosis paru.
f. Lomustin adalah nitrosourea yang larut lemak dan
diberikan peroral. Terutama digunakan untuk penyakit
Hodgkin dan beberapa tumor solid. Toksisitas sumsum
tulang lebih lambat terjadinya sehingga obat ini dapat
diberikan dengan interval 4-6 minggu. Kerusakan
sumsum tulang dapat menetap pada penggunaan lama.
Mual dan muntah sering terjadi dan cukup berat.
g. Karmustin diberikan secara intravena dan memiliki
aktivitas yang sama dengan lomustin, diberikan pada
pasien myeloma multipel, limfoma non-Hodgkin dan
tumor otak. Jumlah kerusakan ginjal dan penundaan
fibrosis pulmoner dapat terjadi pada pemberian
intravena.Implantasi karmustin digunakan untuk
intralesional pada pasien dewasa, untuk pengobatan
glioblastoma multiform sebagai tambahan pada
pembedahan. Implantasi karmustin juga digunakan
untuk glioma maligna grade tinggi sebagai tambahan
pada pembedahan dan radioterapi.
h. Tiotepa biasanya digunakan secara intrakavitas untuk
efusi malignan dan kanker di kandung kemih; kadang-
kadang juga digunakan untuk kanker payudara tetapi
secara parenteral.
i. Mitobronitol, biasanya digunakan untuk pengobatan
leukimia mieloid kronik.
2. Antibiotika Sitotoksik
Obat dalam kelompok ini digunakan secara luas.
Efek kelompok obat ini mirip dengan efek radioterapi
sehingga tidak boleh digunakan bersamaan karena dapat
meningkatkan toksisitas secara signifikan. Daunorubisin,
doksorubisin, epirubisin dan idarubisin merupakan
antibiotika antrasiklin. Mitoksantron (mitozantron) adalah
derifat antrasiklin.
a. Doksorubisin adalah yang paling banyak dipakai;
digunakan untuk leukemia akut, limfoma, dan
beberapa jenis tumor solid. Obat ini diberikan dalam
infus yang cepat dengan interval 21 hari. Dapat
menyebabkan nekrosis kulit pada tempat penyuntikan.
Efek toksik yang umum adalah mual, muntah,
mielosupresi, kebotakan dan mukositis. Obat ini
diekskresi melalui empedu; bila kadar bilirubin
meningkat, berarti dosis harus dikurangi. Beberapa
efek samping yang jarang antara lain takikardia
supraventrikel. Kardiomiopati berhubungan dengan
kumulasi obat dalam darah, sehingga biasanya total
kumulatif dosis dibatasi sampai 450 mg/m2 luas
permukaan tubuh, sebab di atas dosis ini biasanya
dapat terjadi gagal jantung fatal. Bagi pasien dengan
penyakit jantung, hipertensi, lansia dan yang telah
mendapat iradiasi miokard, obat sebaiknya diberikan
dengan hati-hati.Monitor jantung dilakukan untuk
menentukan dosis yang aman. Beberapa bukti
menunjukkan bahwa pemberian dosis mingguan yang
lebih rendah dapat mengurangi efek kardiotoksik.
Doksorubisin diberikan pada instilasi kandung kemih
untuk pengobatan karsinoma sel transisi, tumor
kandung kemih papiler dan karsinoma in-
situ.Formulasi liposom doksorubisin untuk
penggunaan intravena juga tersedia. Formulasi ini
dapat mengurangi kardiotoksisitas dan tejadinya
nekrosis lokal, tapi reaksi infus yang berat kadang
dapat terjadi. Hand-foot syndrome (rasa sakit, erupsi
kulit makular merah) dapat terjadi pada pemberian
liposom doksorubisin dan mungkin dapat dicegah
dengan pengurangan dosis. Hal ini dapat terjadi setelah
2-3 siklus pengobatan dan dapat dicegah dengan
mendinginkan tangan dan kaki dan menghindari kaus
kaki, sarung tangan yang ketat selama 4-7 hari setelah
pengobatan.Antibiotika antrasiklin, pada kondisi
normal, tidak boleh digunakan pada anak dengan
disfungsi ventrikel kiri. Epirubisin dan mitoksantron
diperkirakan kurang toksik sehingga sesuai untuk anak
yang telah menerima dosis kumulasi yang tinggi dari
antrasiklin lain.
b. Epirubisin juga mirip dengan doksorubisin dan
efektivitasnya terhadap kanker payudara juga setara.
Agar tidak timbul efek kardiotoksik, dosis maksimum
kumulatifnya adalah 0,9-1 g/m2. Seperti juga
doksorubisin, obat ini diberikan intravena dan
intrakavitas (misalnya instilasi kandung kemih).
c. Idarubisin sifatnya mirip doksorubisin. Umumnya
digunakan untuk keganasan pada darah. Dapat
diberikan melalui oral dan intravena.
d. Daunorubisin sifatnya mirip doksorubisin. Sebaiknya
diberikan secara intravena dan diindikasikan untuk
lekemia akut.
e. Mitoksantron secara struktur kimiawi mirip dengan
doksorubisin dan sama efektifnya untuk kanker
payudara. Mitoksantron juga digunakan untuk
pengobatan limfoma non- Hodgkin dan leukemia non-
limfositik pada dewasa. Diberikan intravena dan
cukup dapat diterima kecuali efek samping
mielosupresi dan kardiotoksik. Karena itu
pemeriksaan jantung diperlukan pada dosis kumulatif
160 mg/m2.
f. Bleomisin diberikan secara intravena atau
intramuskular untuk pengobatan kanker sel metastase
dan pada beberapa regimen, limfomanon-Hodgkin.
Obat ini dapat menimbulkan sedikit supresi sumsum
tulang, toksisitas dermatologi umum terjadi dan
peningkatan pigmentasi di lipatan kulit dan plak
sklerotik sub kutan bisa terjadi. Mukositis juga hal
yang biasa terjadi dan berhubungan dengan fenomena
Raynaud. Manifestasi reaksi hipersensitivitas dengan
demam dan menggigil biasa terjadi beberapa jam
setelah penggunaan dan dapat dicegah dengan
pemberian kortikosteroid secara bersamaan, misalnya
hidrokortison secara intavena. Masalah utama dalam
penggunaan bleomisin adalah fibrosis paru progresif
yang bersifat bergantung dosis; biasanya timbul pada
dosis lebih dari 300.000 unit (300 mg) dan pada lansia.
Bila ada krepitasi dan gambaran radiologi yang
mencurigakan, terapi harus dihentikan. Pasien yang
mendapat pengobatan ekstensif dengan bleomisin
(misalnya dosis kumulatif lebih dari 100.000 unit) juga
berisiko tinggi untuk mengalami gagal napas dalam
anestesi umum yang disertai oksigen kadar tinggi.
Spesialis anestesi perlu diperingatkan mengenai hal ini.
g. Daktinomisin digunakan untuk pengobatan kanker
pada anak-anak dan diberikan secara intravena. Efek
samping yang ditimbulkan sama dengan doksorubisin
kecuali toksisitas jantung yang tidak berat.
h. Mitomisin diberikan intravena untuk mengobati
kanker payudara dan kanker saluran cerna bagian atas;
diberikan juga secara intrakavitas pada tumor kandung
kemih superfisial. Toksisitas sumsum tulang lebih
lambat dan biasanya diberikan dengan interval 6
minggu. Penggunaan jangka lama dapat menyebabkan
kerusakan sumsum tulang menetap. Obat ini juga
dapat menyebabkan fibrosis paru dan kerusakan ginjal.
3. Antimetabolit
Kelompok antimetabolit bekerja dengan cara
masuk ke dalam materi pembentuk inti sel baru atau
berikatan secara tetap dengan berbagai enzim vital di
dalam sel sehingga mencegah proses normal pembelahan
sel.
a. Metotreksat menghambat enzim dihidrofolat
reduktase yang penting untuk sintesis purin dan
pirimidin. Obat ini diberikan per oral, intravena,
intramuskular, atau intratekal untuk terapi penunjang
leukemia limfositik akut pada anak, koriokarsinoma,
limfoma non-Hodgkin, dan beberapa tumor solid.
Pemberian intratekal digunakan untuk pencegahan
SSP pada leukemia limfoblastik akut pada masa
kanak-kanak, dan untuk kanker atau limfoma
meningeal yang sudah menetap.Metotreksat
menyebabkan mielosupresi, mukositis, dan
pneumonitis tetapi jarang. Di ekskresi melalui ginjal
sehingga kontraindikasi pada gangguan fungsi ginjal
berat. Kontraindikasi lain adalah asites atau efusi
pleura karena obat ini akan terakumulasi dalam cairan
tersebut, di mana redistribusinya akan menimbulkan
mielosupresi. Dengan alasan akumulasi dan
redistribusi ini, hitung darah tepi sebaiknya dilakukan
pada pemberian intratekal.Pemberian asam folinat
oral atau parenteral dapat mencegah dan mempercepat
penyembuhan mukositis dan mielosupresi yang
disebabkan oleh
metotreksat.Kapesitabindimetabolisme menjadi
fluorourasil, diberikan secara oral. Digunakan sebagai
monoterapi pengobatan kanker metastatik kolorektal,
dan menunjukkan khasiat yang sama dengan
kombinasi fluorourasil dan asam folinat. Kapesitabin
juga digunakan untuk pengobatan tambahan pada
pembedahan kanker kolon. Kapesitabin juga
digunakan untuk pengobatan lini kedua kanker
payudara lanjutan atau metastatic dalam kombinasi
dengan dosetaksel (di mana pengobatan sebelumnya
menggunakan antrasiklin) atau sebagai pengobatan
tunggal (setelah kegagalan dengan pengobatan taksan
dan antrasiklin atau di mana pengobatan lebih lanjut
dengan antrasklin tidak diindikasikan).
b. Sitarabin mengganggu sintesis pirimidin dan
digunakan terutama untuk menimbulkan remisi
leukemia mioblastik akut. Obat ini diberikan subkutan,
intravena, atau intratekal. Obat ini juga suatu
mielosupresan kuat sehingga penggunaannya harus
diikuti dengan monitoring hematologi.
c. Fludarabin, digunakan untuk pengobatan awal
leukimia limfositik sel B kronik lanjutan (CLL) atau
setelah pengobatan lini pertama pada pasien dengan
cadangan sumsum tulang yang cukup, yang diberikan
secara oral atau injeksi intravena atau infus intravena.
Fludarabin biasanya ditoleransi dengan baik tapi dapat
menyebabkan mielosupresi yang dapat bersifat
kumulatif. Imunosupresi biasa terjadi dengan
kotrimoksazol yang digunakan untuk mencegah
infeksi pneumosistis. Anemia hemolitik,
trombositopenia dan neutropenia adalah efek samping
yang jarang terjadi.
d. Gemsitabin digunakan secara intravena, diberikan
tunggal untuk pengobatan paliatif atau dengan
sisplatin sebagai pilihan pertama pengobatan kanker
paru lanjutan atau metastatik (locally advanced or
metastatic non small cell lung cancer). Gemsitabin
juga digunakan untuk pengobatan kanker pankreas
lanjutan atau metastatik. Dikombinasi dengan
sisplatin, gemsitabin digunakan untuk pengobatan
kanker kandung kemih lanjutan. Gemsitabin
umumnya dapat ditoleransi dengan baik tapi dapat
menyebabkan efek samping saluran pencernaan
ringan dan ruam kulit; gangguan ginjal, toksisitas pada
paru dan gejala influenza (influenza like symptoms)
pernah dilaporkan. Haemolytic uraemic syndrome
jarang dilaporkan dan gemsitabin sebaiknya
dihentikan bila timbul gejala anemia hemolitik
mikroangiopatik.
e. Fluorourasil biasanya diberikan intravena tetapi
dapat diberikan juga per oral dan topikal untuk kanker
kulit. Obat ini digunakan untuk beberapa tumor solid
termasuk kanker payudara dan kanker saluran cerna.
Sering dikombinasi dengan asam folinat pada kanker
kolorektal lanjut. Toksisitasnya jarang, antara lain
berupa supresi mieloid, mukositis, dan gejala
serebelum. Pada pemberian infus dalam jangka
panjang, dapat menimbulkan sindroma desquamative
(pengelupasan) pada kaki dan tangan.
f. Merkaptopurin digunakan sebagai terapi
pemeliharaan untuk leukemia akut dan
penatalaksanaan penyakit Chron dan kolitis ulseratif.
Azatioprin yang dimetabolisme menjadi
merkaptopurin, umumnya digunakan sebagai
imunosupresan. Dosis sebaiknya dikurangi bila obat
ini digunakan bersamaan dengan alopurinol karena
metabolismenya terganggu oleh alopurinol.
g. Tegafur (dalam kombinasi dengan urasil) diberikan
secara oral, bersama dengan kalsium folinat untuk
pengobatan kanker kolorektal metastatik. Tegafur
adalah pro drug fluorourasil, urasil menghambat
proses degradasi fluorourasil. Tegafur (dengan urasil)
memiliki efek yang sama seperti kombinasi
fluorourasil dengan asam folinat untuk pengobatan
kanker kolorektal metastatik.
h. Penggunaan antimetabolit pada anak. Sitarabin,
fludarabin, merkaptopurin dan metotreksat dan
tioguanin biasa digunakan untuk kemoterapi pada
anak.
4. Alkaloid Vinka dan Etoposid
Alkaloid vinka yaitu vinkristin, vinblastin, dan
vindesin digunakan untuk mengobati leukemia akut,
limfoma, dan beberapa tumor padat seperti kanker
payudara dan kanker paru.
Vinorelbin adalah alkaloid vinka semisintetis,
diberikan secara intravena yang digunakan untuk kanker
payudara lanjutan dan non-small cell lung cancer lanjutan.
Sediaan oral vinorelbin juga diindikasikan untuk terapi
non-small cell lung cancer lanjutan. Neurotoksisitas,
biasanya sebagai neuropati perifer atau otonom, terjadi
pada semua pemberian alkaloid vinka dan merupakan efek
samping yang terjadi pada penggunaan vinkristin.
Sedangkan, pada vindesin, vinblastin, dan vinorelbin juga
terjadi namun lebih jarang. Pasien dengan neurotoksisitas
umumnya mengalami paraestesia perifer, kehilangan
refleks tendon dalam, nyeri abdomen dan konstipasi;
dilaporkan juga terjadinya ototoksisitas. Neurotoksisitas
juga terjadi pada anak. Jika terjadi gejala neurotoksisitas
yang berat, dosis sebaiknya dikurangi, namun pada
umumnya anak-anak dapat menerima vinkristin lebih baik
daripada orang dewasa. Kelemahan motorik dapat juga
terjadi dan jika semakin berat, penggunaan obat harus
dihentikan. Pemulihan total dari efek neurotoksik dapat
dicapai walaupun biasanya berlangsung lambat.
Mielosupresi merupakan efek samping dari
vinblastin, vindesin dan vinorelbin namun tergantung pada
dosisnya; vinkristin menyebabkan myelosupresi yang
dapat diabaikan. Alkaloid vinka dapat menyebabkan
alopesia reversibel. Menyebabkan iritasi lokal yang berat
dan harus dilakukan upaya untuk mencegah ekstravasasi.
Vinblastin, vinkristin, vindesin dan vinorelbin hanya dapat
digunakan untuk pemberian secara intravena. Pemberian
secara intratekal dapat menyebabkan efek neurotoksisitas
berat, yang biasanya fatal.
Vinorelbin merupakan terapi alternatif bila
regimen yang mengandung antrasiklin tidak sesuai atau
gagal mengatasi kanker payudara lanjut. Monoterapi
vinorelbin tidak direkomendasikan sebagai terapi lini
pertama kanker payudara lanjut. Tidak tersedia informasi
yang memadai untuk merekomendasikan penggunaan
rutin dari vinorelbin dalam kombinasi dengan terapi lain
untuk kanker payudara lanjut.
Etoposid efektif untuk karsinoma sel kecil di
bronkus, limfoma, dan kanker testikular. Efek toksiknya
antara lain alopesia, mielosupresi, mual, dan muntah. Obat
ini dapat diberikan per oral atau intravena dengan dosis
oral yang dua kali lipat dosis intravena. Umumnya
etoposid diberikan setiap hari selama 3-5 hari dan tidak
boleh diulang sebelum 21 hari kemudian.
5. Antineoplastik Lain

a. AFATINIB
b. ASPARAGINASE
c. BORTEZOMIB
d. BEVACIZUMAB
e. DAKARBAZIN dan TEMOZOLOMID
f. EVEROLIMUS
g. HIDROKSIKARBAMID
h. PENGHAMBAT PROTEIN KINASE
i. RUKSOLITINIB
j. SENYAWA PLATINUM
k. SETUKSIMAB
l. TAKSAN
m. TEMSIROLIMUS
n. TOPOISOMERASE I INHIBITOR
o. TRASTUZUMAB
III. METODE
3.1 Metode mencuci tangan
1. Basahi tangan, gosok sabun pada telapak tangan kemudian usap dan
gosok kedua telapak tangan secara lembut dengan arah memutar
2. Usap dan gosok juga kedua punggung tangan secara bergantian
3. Gosok sela-sela jari tangan hingga bersih
4. Bersihkan ujung jari secara bergantian dengan posisi saling mengunci
5. Gosok dan putar kedua ibu jari secara bergantian
6. Letakkan ujung jari ke telapak tangan kemudian gosok perlahan. Bilas
dengan air bersih dan keringkan.
3.2 Metode menggunakan APD yang baik dan benar
3.2.1 Menurut WHO ada beberapa langkah yang harus dilakukan yaitu:
1. Kenali bahan – bahan yang akan digunakan (misalnya : obat
sitostatiska) dan siapkan alat pelindung diri yang diperlukan
(Gowns, Masks, Headwear, Footwear Over Shoes, Gloves,
Eyes Protection, Respiratory).
2. Digunakan celana panjang yang terbuat dari karet terlebih
dahulu sebelum menggunakan baju pelindung (Gowns)
kemudian dilanjutkan dengan memakai Footwear Over.
3. Setelah Gowns dan Footwear Over dipasang. Digunakan alat
pelindung diri yang selanjutnya yaitu masker (masks).
4. Setelah itu dilanjutkan dengan pemasangan peralatan
pelindung mata
5. seperti Eyes Protection. Setelah itu dipasang Headwear, alat
pelindung kepala (Headwear) dipasang setelah pelindung
mata Eyes Protection selesai dipasang.
6. Setelah semua prosedur pemasangan diatas selesai dilakukan
maka terakhir dilanjutkan dengan pemasangan sarung tangan
(Gloves).
7. Dalam melakukan pemasangan ini harus diperhatikan cara
pemakaian sarung tangan (Gloves) ini dimana sarung tangan
(Gloves) digunakan dengan cara menutupi ujung lengan baju
pelindung (Gowns).
3.2.2 Prosedur Tetap berganti pakaian dan penggunaan Alat Pelindung
Diri.
1. Memasuki ruangan steril harus melalui ruangan-ruangan
ganti pakaian dimana pakaian biasa diganti dengan pakaian
pelindung khusus untuk mengurangi pencemaran jasad renik
dan partikel
2. Pakaian steril hendaknya disimpan dan ditangani sedemikian
rupa setelah dicuci dan disterilkan untuk mengurangi
rekontaminasi dari jasad renik dan debu di sekitar ruangan
3. Ruangan ganti pakaian pertama\
a. Mula-mula pakaian biasa dilepaskan diruang ganti
pakaian pertama. Assesoris seperti arloji dan perhiasan
dilepaskan dan disimpan atau diserahkan kepada petugas
yang ditunjuk.
b. Pakaian dan sepatu hendaklah dilepas terlebih dahulu dan
disimpan pada tempat yang telah disediakan
4. Ruangan ganti pakaian kedua
a. Petugas hendaklah mencuci tangan dan lengan hingga
siku tangan dengan larutan sabun dan desinfektan (yang
setiap minggu diganti). Kaki hendaklah dicuci dengan
sabun dan air, kemudian dibasuh dengan larutan
desinfektan.
b. Tangan dan lengan dikeringkan dengan pengering tangan
listrik otomatis. Sepasang pakaian yang steril diambil dari
bungkusan dan dipakai dengan cara sesui SOP.
c. Penutup kepala hendaklah menutupi seluruh rambut dan
diselipkan ke dalamleher baju terusan. Penutup Mulut
hendaklah juga menutup janggut. Penutup kaki hendaklah
menyelubungi seluruh kaki dan ujung kaki.
d. Celana atau baju terusan diselipkan kedalam penutup kaki.
Penutup kaki diikat sehingga tidak turun waktu bekerja.
Ujung lengan baju hendaklah diselipkan ke dalam sarung
tangan. Kacamata pelindung dipakai pada tahap akhir
ganti pakaian.
e. Sarung tangan dibasahi dengan alcohol 70% atau larutan
desinfektan.
f. Saat membuka pintu untuk memasuki ruang penyangga
udara dan ruang steril hendaklah menggunakan siku
tangan dan pendorongnya.
g. Setiap selesai bekerja dan meninggalkan ruangan steril
petugas melepaskan sarung tangan dan meletakkannya
pada wadah yang ditentukan dan mengganti pakaian
sebelum keluar dengan urutan yang berlawanan ketika
memasuki ruangan steril.
3.2.3 Prosedur Tetap melepaskan Alat Pelindung Diri
1. Menanggalkan sarung tangan luar
a. Tempatkan jari-jari sarung tangan pada bagian luar
manset
b. Angkat bagian sarung tangan luar dengan menariknya kea
rah telapak tangan. Jari-jari sarung tangan luar tidak boleh
menyentuh sarung tangan dalam ataupun kulit.
c. Ulangi prosedur dengan tangan lainnya.
d. Angkat sarung tangan luar sehingga ujung-ujung jari
berada di bagian dalam sarung tangan.
e. Pegang sarung tangan yang diangkat dari dalanm sampai
seluruhnya terangkat.
f. Buang sarung tangan yang sudh terpakai tersebut ke
dalam kantong tertutup
2. Menanggalkan baju pelindung
Buka ikatan baju pelindung, tarik keluar dari bahu dan lipat
sehingga bagian luar terletak di dalam.Tempatkan dalam
kantong tertutup.
3. Tanggalkan tutup kepala dan buang dalam kantong tertutup
4. Tanggalkan sarung tangan dalam, bagian luar sarung tangan
tidak boleh sampai menyentuh kulit. Buang dalam kantong
tertutup.
5. Tempatkan kantong tersebut dalam container buangan sisa.
6. Cuci tangan dengan sabun atau desinfektan.
3.3 Metode Preparasi
3.3.1 Preparasi dari larutan yang memerlukan pelarut tambahan
sebelum digunakan
Contoh : Ranitidine, Amiodaron
➢ Keuntungan dari preparasi ini adalah: Sudah berbentuk
cairan, jadi tidak memerlukan proses rekonstitusi lagi
➢ Kekurangan dari preparasi ini adalah :
1. Waktu penggunaan untuk eliminasi dan persiapan
2. Mudah mengalami gangguan/ masalah pada vakum/
tekanan (untuk vial)
3. Dapat menyebabkan pecahan gelas (untuk ampul)
4. Menyebabkan risiko kontaminasi mikrobakteri
3.3.2 Preparasi tersedia (siap untuk digunakan) tanpa pelarut tambahan
Preparasi ini dapat berupa kantong atau ampul dengan
volume kecil yang dapat dibuat tanpa pelarut tambahan, tapi tetap
mengandung larutan obat untuk dieliminasi ke dalam syringe
untuk pembuatan, contoh : adenosine, gentamisin,
metoklopramid. Hal ini sesuai/ cocok untuk digunakan, namun
tetap memiliki kekurangan, antara lain:
1. Berbahaya (kontaminasi mikrobakterial)
2. Mudah mengalami gangguan/ masalah pad vakum/
tekanan (untuk vial)
3. Dapat menyebabkan pecahan gelas (untuk ampul)
3.3.3 Preparasi tersedia (siap untuk digunakan)
Preparasi ini termasuk kantong infus dan syringe yang
belum diisikan (pre-filled), contohnya: NaCl (Sodium Chloride)
0,9% 500 ml, morfin sulfat 60 mg dalam 60 ml PCA syringe.
Keuntungannya adalah :
1. Tidak ada risiko kontaminasi lingkungan
2. Kecilnya kontaminasi mikrobakteri
3. Mudah digunakan
4. Menghemat waktu
3.4 Metode Pencampuran (Penanganan Obat Sitostatika)
Menurut Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia dalam
Suatiti (2016), penanganan sediaan sitostatika merupakan penanganan
obat kanker secara aseptis dalam kemasan siap pakai sesuai kebutuhan
pasien oleh tenaga farmasi yang terlatih dengan pengendalian pada
keamanan terhadap lingkungan, petugas maupun sediaan obatnya dari
efek toksik dan kontaminasi, dengan menggunakan alat pelindung diri
(APD) mengamankan pada saat pencampuran, distribusi, maupun proses
pemberian kepada pasien sampai pembuangan limbahnya. Secara
operasional dalam mempersiapkan dan melakukan harus sesuai prosedur
yang ditetapkan dengan alat pelindung diri yang memadai
A. Proses pencampuran sediaan sitostatika
1. Memakai APD sesuai PROSEDUR TETAP
2. Mencuci tangan sesuai PROSEDUR TETAP
3. Menghidupkan biological safety cabinet (BSC) 5 menit sebelum
digunakan.
4. Melakukan dekontaminasi dan desinfeksi BSC sesuai
PROSEDUR TETAP
5. Menyiapkan meja BSC dengan memberi alas sediaan sitostatika.
6. Menyiapkan tempat buangan sampah khusus bekas sediaan
sitostatika.
7. Melakukan desinfeksi sarung tangan dengan menyemprot alkohol
70%.
8. Mengambil alat kesehatan dan bahan obat dari pass box.
9. Meletakkan alat kesehatan dan bahan obat yang akan dilarutkan di
atas meja BSC.
10. Melakukan pencampuran sediaan sitostatika secara aseptis.
11. Memberi label yang sesuai pada setiap infus dan spuit yang sudah
berisi sediaan sitostatika
12. Membungkus dengan kantong hitam atau aluminium foil untuk
obat-obat yang harus terlindung cahaya.
13. Membuang semua bekas pencampuran obat kedalam wadah
pembuangan khusus.
14. Memasukan infus untuk spuit yang telah berisi sediaan sitostatika
ke dalam wadah untuk pengiriman.
15. Mengeluarkan wadah untuk pengiriman yang telah berisi sediaan
jadi melalui pass box.
16. Menanggalkan APD sesuai prosedur tetap
B. Cara Pemberian
Cara pemberiaan sediaan sitostatika sama dengan cara pemberiaan
obat suntik kecuali intramuscular
3.5 Metode Penanganan Tumpahan Sitostatika dan Kecelakaan Kerja
A. Penanganan tumpahan
Membersihkan tumpahan dalam ruangan steril dapat dilakukan
petugas tersebut atau meminta pertolongan orang lain dengan
menggunakan chemotherapy spill kit yang terdiri dari:
a. Membersihkan tumpahan di luar BSC dalam ruang steril
1. Meminta pertolongan, jangan tinggalkan area sebelum
diizinkan.
2. Beri tanda peringatan di sekitar area.
3. Petugas penolong menggunakan Alat Pelindung Diri (APD)
4. Angkat partikel kaca dan pecahan-pecahan dengan
menggunakan alat seperti sendok dan tempatkan dalam
kantong buangan.
5. Serap tumpahan cair dengan kassa penyerap dan buang
dalam kantong tersebut.
6. Serap tumpahan serbuk dengan handuk basah dan buang
dalam kantong tersebut.
7. Cuci seluruh area dengan larutan detergent.
8. Bilas dengan aquadest.
9. Ulangi pencucian dan pembilasan sampai seluruh obat
terangkat.
10. Tanggalkan glove luar dan tutup kaki, tempatkan dalam
kantong pertama.
11. Tutup kantong dan tempatkan pada kantong kedua.
12. Tanggalkan pakaian pelindung lainnya dan sarung tangan
dalam, tempatkan dalam kantong kedua.
13. Ikat kantong secara aman dan masukan dalam tempat
penampung khusus untuk dimusnahkan dengan incenerator.
14. Cuci tangan
b. Membersihkan tumpahan di dalam BSC
1. Serap tumpahan dengan kassa untuk tumpahan cair atau
handuk basah untuk tumpahan serbuk.
2. Tanggalkan sarung tangan dan buang, lalu pakai 2 pasang
sarung tangan baru.
3. Angkat hati-hati pecahan tajam dan serpihan kaca
sekaligus dengan alas kerja/meja/penyerap dan tempatkan
dalam wadah buangan.
4. Cuci permukaan, dinding bagian dalam BSC dengan
detergent, bilas dengan aquadestilata menggunakan kassa.
Buang kassa dalam wadah pada buangan.
5. Ulangi pencucian 3 x.
6. Keringkan dengan kassa baru, buang dalam wadah
buangan.
7. Tutup wadah dan buang dalam wadah buangan akhir.
8. Tanggalkan APD dan buang sarung tangan, masker, dalam
wadah buangan akhir untuk dimusnahkan dengan
inscenerator.
9. Cuci tangan.
B. Penanganan kecelakaan kerja
Dekontaminasi akibat kontak dengan bagian tubuh
a. Kontak dengan kulit:
1. Tanggalkan sarung tangan
2. Bilas kulit dengan air hangat.
3. Cuci dengan sabun, bilas dengan air hangat.
4. Jika kulit tidak sobek, seka area dengan kassa yang dibasahi
dengan larutan Chlorin 5 % dan bilas dengan air hangat.
5. Jika kulit sobek pakai H2O2 3 %.
6. Catat jenis obatnya dan siapkan antidot khusus.
7. Tanggalkan seluruh pakaian alat pelindung diri (APD)
8. Laporkan ke supervisor.
9. Lengkapi format kecelakaan
b. Kontak dengan mata
1. Minta pertolongan.
2. Tanggalkan sarung tangan.
3. Bilas mata dengan air mengalir dan rendam dengan air
hangat selama 5 menit.
4. Letakkan tangan di sekitar mata dan cuci mata terbuka
dengan larutan NaCl 0,9%.
5. Aliri mata dengan larutan pencuci mata.
6. Tanggalkan seluruh pakaian pelindung
7. Catat jenis obat yang tumpah.
8. Laporkan ke supervisor.
9. Lengkapi format kecelakaan kerja.
c. Tertusuk jarum
1. Jangan segera mengangkat jarum. Tarik kembali plunger
untuk menghisap obat yang mungkin terinjeksi.
2. Angkat jarum dari kulit dan tutup jarum, kemudian buang.
3. Jika perlu gunakan spuit baru dan jarum bersih untuk
mengambil obat dalam jaringan yang tertusuk.
4. Tanggalkan sarung tangan, bilas bagian yang tertusuk
dengan air hangat.
5. Cuci bersih dengan sabun, bilas dengan air hangat.
6. Tanggalkan semua APD.
7. Catat jenis obat dan perkirakan berapa banyak yang terinjeksi.
8. Laporkan ke supervisor.
9. Lengkapi format kecelakaan kerja.
10. Segera konsultasikan ke dokter.
3.6 Metode Pengolahan Limbah Sitostatika
Pengelolaan limbah dari sisa buangan pencampuran sediaan
sitoatatika (seperti: bekas ampul,vial, spuit, needle,dll) harus dilakukan
sedemikian rupa hingga tidak menimbulkan bahaya pencemaran terhadap
lingkungan. Langkah – langkah yang perlu dilakukan adalah sebagai
berikut:
1. Gunakan Alat Pelindung Diri (APD).
2. Tempatkan limbah pada wadah buangan tertutup. Untuk
bendabenda tajam seperti spuit vial, ampul, tempatkan di
dalam wadah yang tidak tembus benda tajam, untuk limbah
lain tempatkan dalam kantong berwarna (standar internasional
warna ungu) dan berlogo sitostatika
3. Beri label peringatan (Gambar 2) pada bagian luar wadah.
4. Bawa limbah ke tempat pembuangan menggunakan troli
tertutup.
5. Musnahkan limbah dengan incenerator 1000ºC.
6. Cuci tangan.
IV. KESIMPULAN
Dalam mempersiapkan sebuah sediaan sitostatika perlu dipersiapkan
beberapa hal yang dapat menunjang kelangsungan persiapan sediaan
sitostatika tersebut, diantaranya: ruangan khusus untuk menjaga sterilitas
produk yang dihasilkan dan menjamin keselamatan petugas dan
lingkungannya; personel khusus dalam penanganan sitostatika mulai dari
persiapan, penanganan, pemberian kepada pasien termasuk transportasi,
penyimpanan dan pembersihan fasilitas sitostatika; serta penggunaan alat
perlindungan diri ( APD ) dalam hadling sediaan sitostatika. Proses penyiapan
sediaan sitostatika sama dengan proses penyiapan pencampuran obat suntik.
Hadling sediaan sitostatika adalah penanganan penggunaan obat
sitostatika, dimana hadling sediaan sitostatika ini penting untuk dilakukan
karena obat- obat golongan sitostatika dikenal sangat beracun untuk sel yang
dapat menyebabkan terjadinya karsinogen, mutagen atau teratogen. Adapun
hal- hal yang perlu diperhatikan dalam hadling sediaan sitostatika diantaranya:
proses pencampuran, proses pengiriman, penyimpanan, penanganan tumpah,
serta penanganan kecelakaan kerja
DAFTAR PUSTAKA

Anggia Dwi Andila Putri, I. A. (2017). Pengetahuan Perawat Mengenai Kemoterapi


dan Risiko Kecelakaan Kerja dalam Pelayanan Proses Kemoterapi di RSUP
DR. Hasan Sadikin Kota Bandung . Sumedang, Jawa Barat: Universitas
Padjadjaran .
BPOM,RI. http://pionas.pom.go.id/ioni/bab-8-keganasan-dan-imunosupresi/81-
keganasan/814-alkaloid-vinka-dan-etoposid Diakses pada tanggal 31 Mei 2020

BPOM, RI. http://pionas.pom.go.id/ioni/bab-8-keganasan-dan-imunosupresi/81-


keganasan/811-alkilator Diakses pada tanggal 31 Mei 2020

BPOM,RI. http://pionas.pom.go.id/ioni/bab-8-keganasan-dan-imunosupresi/81-
keganasan/812-antibiotika-sitotoksik Diakses pada tanggal 31 Mei 2020

BPOM,RI. http://pionas.pom.go.id/ioni/bab-8-keganasan-dan-imunosupresi/81-
keganasan/813-antimetabolit Diakses pada tanggal 31 Mei 2020

BPOM, RI. http://pionas.pom.go.id/ioni/bab-8-keganasan-dan-imunosupresi/81-


keganasan/815-antineoplastik-lain Diakses pada tanggal 31 Mei 2020

Depkes, RI. (2009). Pedoman Dasar Dispensing Sediaan Steril.


Depkes, RI. (2009). Pedoman Pencampuran Obat Suntik dan Penanganan Sediaan
Sitostatika.
Dinar, d. (2015). MAKALAH MANAJEMEN FARMASI RUMAH SAKIT HANDLING
CYTOTOXIC. Kendari: Universitas Halu Oleo .
Fradita Nurita Ulfa, A. A. (2017). Uji Kesesuaian Aseptic Dispensing Berdasarkan
Pedoman Dasar Dispensing Sediaan Steril Departemen Kesehatan RI di ICU
dan NICU RSUD Dr. Saiful Anwar Malang. Malang, Jawa Timur: Fakultas
Kedokteran, Universitas Brawijaya.
Ifah desi yanti, dkk. 2017. PEDOMAN PENANGANAN OBAT KANKER. INSTALASI
FARMASI RUMAH SAKIT UMUM ISLAM HARAPAN ANDA. TEGAL
Kana Rizkiya, dkk. 2016. PENGETAHUAN PERAWAT TENTANG PENANGANAN
SITOTOKSIK DALAM PEMBERIAN KEMOTERAPI DI RSUD dr. ZAINOEL
ABIDIN. Mahasiswa Program Studi Ilmu Keperawatan Fakultas Keperawatan
Universitas Syiah Kuala Banda Aceh. Vol 1. No 1
Kementrian Kesehatan RI. https://covid19.kemkes.go.id/warta-infem/begini-cara-
mencuci-tangan-yang-benar/#.XtR6HW5uLRN . Diakses pada tanggal 31 Mei 2020
Lisnadiyanti, d. S. (2016). TINGKAT PENGETAHUAN PERAWAT TERHADAP
KEPATUHAN PERAWAT DALAM PENERAPAN STANDARD OPERATING
PROCEDURE (SOP) SAFE HANDLING PADA PEMBERIAN OBAT
SITOTOKSIK. Jakarta: STIKES Binawan .
Ni Made Riza Angelita Monica Samba, d. (2018). Tugas Terapi Parenteral Persiapan
dan Handling Sediaan Sitostatika. Jimbaran: Universitas Udayana.
Suastiti, N. N. (2016 ). EVALUASI PENANGANAN SEDIAAN SITOSTATIKA
PAKLITAKSEL – KARBOPLATIN UNTUK PASIEN KANKER SERVIKS DI
RUMAH SAKIT UMUM PUSAT SANGLAH DENPASAR . Denpasar: Fakultas
Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Udayana.
Suhul Raos Kumawula Ing Gustyas, d. J. (2018). EVALUASI PENANGANAN OBAT
SITOSTATIKA DI RUMAH SAKIT PANTI NIRMALA MALANG. Jawa Timur:
Akademi Farmasi Putra Indonesia Malang.
LAMPIRAN

Anda mungkin juga menyukai