Anda di halaman 1dari 35

1. Ir.

Soekarno

Dr.(H.C.) Ir. H. Soekarno1 (ER, EYD: Sukarno, nama lahir: Koesno Sosrodihardjo)


(lahir di Surabaya, Jawa Timur, 6 Juni 1901 – meninggal di Jakarta, 21 Juni 1970 pada
umur 69 tahun) adalah Presiden pertama Republik Indonesia yang menjabat pada
periode 1945–1967. Ia memainkan peranan penting dalam memerdekakan bangsa
Indonesia dari penjajahan Belanda. Ia adalah Proklamator Kemerdekaan Indonesia
(bersama dengan Mohammad Hatta) yang terjadi pada tanggal 17 Agustus 1945.
Soekarno adalah yang pertama kali mencetuskan konsep mengenai Pancasilasebagai
dasar negara Indonesia dan ia sendiri yang menamainya.
 Kehidupan
Masa kecil dan remaja
Soekarno dilahirkan dengan seorang ayah yang bernama Raden Soekemi
Sosrodihardjodan ibunya yaitu Ida Ayu Nyoman Rai. Keduanya bertemu ketika Raden
Soekemi yang merupakan seorang guru ditempatkan di Sekolah Dasar Pribumi
di Singaraja, Bali. Nyoman Rai merupakan keturunan bangsawan dari Bali dan
beragama Hindu, sedangkan Raden Soekemi sendiri beragama Islam. Mereka telah
memiliki seorang putri yang bernama Sukarmini sebelum Soekarno lahir. Ketika kecil
Soekarno tinggal bersama kakeknya, Raden Hardjokromo di Tulung Agung, Jawa
Timur.
Ia bersekolah pertama kali di Tulung Agung hingga akhirnya ia pindah ke Mojokerto,
mengikuti orangtuanya yang ditugaskan di kota tersebut. Di Mojokerto, ayahnya
memasukan Soekarno ke Eerste Inlandse School, sekolah tempat ia bekerja.
Kemudian pada Juni 1911 Soekarno dipindahkan ke Europeesche Lagere
School(ELS) untuk memudahkannya diterima di Hogere Burger School (HBS).
[5] Pada tahun 1915, Soekarno telah menyelesaikan pendidikannya di ELS dan
berhasil melanjutkan ke HBS di Surabaya, Jawa Timur. Ia dapat diterima di HBS atas
bantuan seorang kawan bapaknya yang bernama H.O.S.
Tjokroaminoto.]Tjokroaminoto bahkan memberi tempat tinggal bagi Soekarno di
pondokan kediamannya. Di Surabaya, Soekarno banyak bertemu dengan para
pemimpin Sarekat Islam, organisasi yang dipimpin Tjokroaminoto saat itu,
seperti Alimin, Musso, Darsono, Haji Agus Salim, dan Abdul Muis. Soekarno
kemudian aktif dalam kegiatan organisasi pemuda Tri Koro Dharmo yang dibentuk
sebagai organisasi dari Budi Utomo. Nama organisasi tersebut kemudian ia ganti
menjadi Jong Java (Pemuda Jawa) pada 1918. Selain itu, Soekarno juga aktif menulis
di harian "Oetoesan Hindia" yang dipimpin oleh Tjokroaminoto.

Tamat HBS Soerabaja bulan Juli 1921, bersama Djoko Asmo rekan satu angkatan di


HBS, Soekarno melanjutkan ke Technische Hoogeschool te Bandoeng (sekarang ITB)
di Bandung dengan mengambil jurusan teknik sipil pada tahun 1921setelah dua bulan
dia meninggalkan kuliah, tetapi pada tahun 1922 mendaftar kembalidan tamat pada
tahun 1926.[  Soekarno dinyatakan lulus ujian insinyur pada tanggal 25 ki Mei 1926
dan pada Dies Natalis ke-6 TH Bandung tanggal 3 Juli 1926 dia diwisuda bersama
delapan belas insinyur lainnya. Prof. Jacob Clay selaku ketua fakultas pada saat itu
menyatakan "Terutama penting peristiwa itu bagi kita karena ada di antaranya 3 orang
insinyur orang JawaMereka adalah Soekarno, Anwari, dan Soetedjo, selain itu ada
seorang lagi dari Minahasa yaitu Johannes Alexander Henricus Ondang.
Saat di Bandung, Soekarno tinggal di kediaman Haji Sanusi yang merupakan
anggota Sarekat Islam dan sahabat karib Tjokroaminoto.  Di sana ia berinteraksi
dengan Ki Hajar Dewantara, Tjipto Mangunkusumo, dan Dr. Douwes Dekker, yang
saat itu merupakan pemimpin organisasi National Indische Partij.
Sebagai arsitek
Bung Karno adalah presiden pertama Indonesia yang juga dikenal
sebagai arsitekalumni dari Technische Hoogeschool te Bandoeng (sekarang ITB)
di Bandung dengan mengambil jurusan teknik sipil dan tamat pada tahun 1926. 
Pekerjaan
Ir. Soekarno pada tahun 1926 mendirikan biro insinyur bersama Ir. Anwari, banyak
mengerjakan rancang bangun bangunan. Selanjutnya bersama Ir. Rooseno juga
merancang dan membangun rumah-rumah dan jenis bangunan lainnya.
Ketika dibuang di Bengkulu menyempatkan merancang beberapa rumah dan
merenovasi total masjid Jami' di tengah kota.
Pengaruh terhadap karya arsitektur
Semasa menjabat sebagai presiden, ada beberapa karya arsitektur yang dipengaruhi
atau dicetuskan oleh Soekarno. Juga perjalanan secara maraton dari bulan Mei sampai
Juli pada tahun 1956 ke negara-negara Amerika Serikat, Kanada, Italia, Jerman Barat,
dan Swiss. Membuat cakrawala alam pikir Soekarno semakin kaya dalam menata
Indonesia secara holistik dan menampilkannya sebagai negara yang baru merdeka.[15]
Soekarno membidik Jakarta sebagai wajah (muka) Indonesia terkait beberapa kegiatan
berskala internasional yang diadakan di kota itu, namun juga merencanakan sebuah
kota sejak awal yang diharapkan sebagai pusat pemerintahan pada masa datang.
Beberapa karya dipengaruhi oleh Soekarno atau atas perintah dan koordinasinya
dengan beberapa arsitek seperti Frederich Silaban dan R.M. Soedarsono, dibantu
beberapa arsitek junior untuk visualisasi. Beberapa desain arsitektural juga dibuat
melalui sayembara.
- Masjid Istiqlal 1951
- Monumen Nasional 1960
- Gedung Conefo 
- Gedung Sarinah 
- Wisma Nusantara 
- Hotel Indonesia 1962 
- Tugu Selamat Datang
- Monumen Pembebasan Irian Barat
- Patung Dirgantara
Tahun 1955 Ir. Soekarno menunaikan ibadah haji ke Tanah Suci dan sebagai seorang
arsitek, Soekarno tergerak memberikan sumbangan ide arsitektural kepada
pemerintah Arab Saudi agar membuat bangunan untuk melakukan sa’imenjadi dua
jalur dalam bangunan dua lantai. Pemerintah Arab Saudi akhirnya melakukan
renovasi Masjidil Haram secara besar-besaran pada tahun 1966, termasuk pembuatan
lantai bertingkat bagi umat yang melaksanakan sa’i menjadi dua jalur dan lantai
bertingkat untuk melakukan tawaf 
Rancangan skema Tata Ruang Kota Palangkaraya yang diresmikan pada tahun 1957 
peranan ir.soekarno dalam proklamasi kemerdekaan RI yaitu:
 merumuskan teks proklamasi bersama dengan Ahmad Soebarjo dan Drs.
Mohammad Hatta.
 membacakan teks proklamasi indonesia dengan didampingi oleh Drs.
Mohammad Hatta.
 Disebut dengan bapak proklamator indonesia.
Pembahasan:
Golongan muda dan golongan tua berselisih
paham mengenai kapan pelaksanaan proklamasi kemerdekaan. Sutan Sjahrir telah
mendapat kabar bahwa Jepang telah kalah. Sekutu telah membom atom kota
Hiroshima dan Nagashaki Jepang pada tanggal 6 dan 9 Agustus 1945.
Golongan muda membawa Ir. Soekarno dan Drs.
Mohammad Hatta ke Rengasdengklok dengan tujuan untuk menghindarkan beliau
berdua dari pengaruh jepang. Mereka di bawa ke Rengasdengklok pada tanggal 16
Agustus 1945. Mereka seharian disana.
Golongan muda yang membawa Ir. Soekarno dan
Drs. Mohammad Hatta ke Rengasdengklok yaitu
1.Yusuf Kunto
2.Sukarni
3.Singgih.
Di Rengasdengklok, Ir. Soekarno dan Drs.Mohammad Hatta berunding dengan
golongan muda. Golongan Muda sangat segan
terhadap Ir. Soekarno dan Drs. Mohammad Hatta sehingga mereka tidak berani
menekan mereka berdua.Rengasdengklok dipilih untuk menjadi tempat pengamanan
Ir. Soekarno dan Drs. Mohammad Hatta dengan pertimbangan antara
lain:
1.Rengasdengklok dikelilingi oleh laut
sehingga apabila Jepang mneyerang maka mereka dapat meloloskan diri melalui
jalur laut.
2.Di sekitar Rengasdengklok dibentengi
PURWAKARTA dan CIMALAYA yang dikuasai oleh PETA(Pasukan Pembela
Tanah Air).
Pasca terjadi kesepakatan antara golongan
muda dan golongan muda maka penyusunan teks proklamasi segera dilaksanakan di
Jakarta dan jaminan keamanan dari Perwira Jepang yakni LAKSAMANA MAEDA ,
maka Mr. Ahmad Soebardjo menjemput Ir. Soekarno dan Drs. Mohammad Hatta ke
Rengasdengklok. Setelah Ir Soekarno dan rekan-rekannya
menginjakkan kaki kembali ke Jakarta jam 13.30 WIB mereka dibawa ke Jalam Imam
Bonjol No 1 yaitu rumah LAKSMANAN TADHASI MAEDA.
Tokoh yang terlibat dalam perumusan teks
proklamasi yaitu:
a.Achmad Soebarjo
b. Drs. Mohammad Hatta
c. Ir. Soekarno
Saksi penyusunan naskah teks proklamasi
yaitu:
a.Sajuti Melik
b. BM Diah
c. Sudiro
d. Sukarni.
Sajuti Melik bertugas mengetik naskah teks
proklamasi. Pada awalnya teks proklamasi akan ditandatangai oleh PPKI. Akan
tetapi CHAERUL SALEH menolak karena menganggap bahwa PPKI(Panitia
Persiapan
Kemerdekaan Indonesia) merupakan organisasi bentukan Jepang sehingga ada kesan
bahwa kemerdekaan Indonesia merupakan hadiah dari Jepang. Sukarni mengusulkan
agar teks proklamasi ditandatangani oleh Ir. Soekarno dan Drs. Mohammad Hatta
atas nama bangsa Indonesia.
Perumusan teks proklamasi tersebut
berlangsung hingga pukul 04.30 WIB dengan menghasilkan teks proklamasi yang
ditulis sendiri oleh Ir. Soekarno.
Sebelum menjadi ketua PPKI , Ir. Soekarno menjadi pendiri Partai Nasional Indonesia
(PNI). PNI merupakan suatu organisasi yang didirikan oleh kelompok belajar di
Bandung pada tanggal 4 Juli 1927. PNI bertujuan yaitu untuk mencapai
Indonesia merdeka.
Kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh PNI antara lain:
1.Menggalang persatuan dan kesatuan dan memperkuat rasa kebangsaan.
2.Memajukan bidang perdagangan dan koperasi
3.Memperbaiki kedudukan kaum wanita. (Lt)
2. Mohammad Hatta 

Dr.(HC) Drs. H. Mohammad Hatta (lahir dengan nama Mohammad Athar, populer


sebagai Bung Hatta; lahir di Fort de Kock(sekarang Bukittinggi, Sumatera
Barat), Hindia Belanda, 12 Agustus 1902 – meninggal di Jakarta, 14 Maret 1980 pada
umur 77 tahun) adalah tokoh pejuang, negarawan, ekonom, dan juga Wakil Presiden
Indonesia yang pertama. Ia bersama Soekarno memainkan peranan penting untuk
memerdekakan bangsa Indonesia dari penjajahan Belanda
sekaligus memproklamirkannya pada 17 Agustus 1945. Ia juga pernah menjabat
sebagai Perdana Menteri dalam Kabinet Hatta I, Hatta II, dan RIS. Ia mundur dari
jabatan wakil presiden pada tahun 1956, karena berselisih dengan Presiden Soekarno.
Hatta juga dikenal sebagai Bapak KoperasiIndonesia.
Kehidupan awal
Rumah Kelahiran Bung Hatta yang sekarang terletak di Jalan Sukarno-Hatta, Kota
BukittinggiMohammad Hatta lahir dari pasangan Muhammad Djamil dan Siti Saleha
yang berasal dari Minangkabau. Ayahnya merupakan seorang keturunan ulama tarekat
di Batuhampar, dekat Payakumbuh, Sumatera Barat. Sedangkan ibunya berasal dari
keluarga pedagang di Bukittinggi. Ia lahir dengan nama Muhammad Athar pada
tanggal 12 Agustus 1902. Namanya, Athar berasal dari Bahasa Arab, yang berarti
"harum. Ia merupakan anak kedua, setelah Rafiah yang lahir pada tahun 1900. Sejak
kecil, ia telah dididik dan dibesarkan dalam lingkungan keluarga yang taat
melaksanakan ajaran agama Islam. Kakeknya dari pihak ayah, Abdurahman
Batuhampar dikenal sebagai ulama pendiri Surau Batuhampar, sedikit dari surau yang
bertahan pasca Perang Padri.[ Sementara itu, ibunya berasal dari keturunan pedagang.
Beberapa orang mamaknya adalah pengusaha besar di Jakarta.
Ayahnya meninggal pada saat ia masih berumur tujuh bulan. Setelah kematian
ayahnya, ibunya menikah dengan Agus Haji Ning, seorang pedagang dari Palembang,
[8]Haji Ning sering berhubungan dagang dengan Ilyas Bagindo Marah, kakeknya dari
pihak ibu. Dari perkawinan Siti Saleha dengan Haji Ning, mereka dikaruniai empat
orang anak, yang semuanya adalah perempuan.
Pendidikan dan pergaulanSunting
Mohammad Hatta pertama kali mengenyam pendidikan formal di sekolah swasta.
Setelah enam bulan, ia pindah ke sekolah rakyat dan sekelas dengan Rafiah,
kakaknya. Namun, pelajarannya berhenti pada pertengahan semester kelas tiga. Ia lalu
pindah ke ELS di Padang (kini SMA Negeri 1 Padang) sampai tahun 1913. kemudian
melanjutkan ke MULO sampai tahun 1917. Selain pengetahuan umum, ia telah
ditempa ilmu-ilmu agama sejak kecil. Ia pernah belajar agama kepada Muhammad
Jamil Jambek, Abdullah Ahmad, dan beberapa ulama lainnya. Selain keluarga,
perdagangan memengaruhi perhatian Hatta terhadap perekonomian. Di Padang, ia
mengenal pedagang-pedagang yang masuk anggota Serikat Usaha dan juga aktif
dalam Jong Sumatranen Bond sebagai bendahara. Kegiatannya ini tetap
dilanjutkannya ketika ia bersekolah di Prins Hendrik School. Mohammad Hatta tetap
menjadi bendahara di Jakarta.
Kakeknya bermaksud akan ke Mekkah, dan pada kesempatan tersebut, ia dapat
membawa Mohammad Hatta melanjutkan pelajaran di bidang agama, yakni
ke Mesir (Al-Azhar). Ini dilakukan untuk meningkatkan kualitas surau di Batu
Hampar yang memang sudah menurun semenjak ditinggalkan Syaikh Abdurrahman.
Tapi, hal ini diprotes dan mengusulkan pamannya, Idris untuk menggantikannya.
Menurut catatan Amrin Imran, Pak Gaeknya kecewa dan Syekh Arsyad pada akhirnya
menyerahkan kepada Tuhan.
Keluarga
Pada 18 November 1945, Hatta menikah dengan Rahmi Hatta dan tiga hari setelah
menikah, mereka bertempat tinggal di Yogyakarta. Kemudian, dikarunai 3 anak
perempuan yang bernama Meutia Farida Hatta, Gemala Rabi'ah Hatta, dan Halida
Nuriah Hatta.
Hatta wafat pada tanggal 14 Maret 1980pk18.56 di Rumah Sakit Cipto
Mangunkusumo Jakarta setelah sebelas hari ia dirawat di sana. Selama hidupnya,
Bung Hatta telah dirawat di rumah sakit sebanyak 6 kali pada tahun 1963, 1967, 1971,
1976, 1979, dan terakhir pada 3 Maret 1980. Keesokan harinya, dia disemayamkan di
kediamannya Jalan Diponegoro 57, Jakarta dan dikebumikan di TPU Tanah Kusir,
Jakarta disambut dengan upacara kenegaraan yang dipimpin secara langsung oleh
Wakil Presiden pada saat itu, Adam Malik. Ia ditetapkan sebagai pahlawan
proklamator pada tahun 1986 oleh pemerintahan Soeharto.[74][75]
Mendapat gelar pahlawan
Peran Moh. Hatta
1.     Mendirikan perhimpunan Indonesia (IP)
2.    Menjadi pemimpin Putera (Pusat Tenaga Rakyat)
3.    Menjadi anggota Panitia Sembilan dalam merumuskan Piagam Jakarta
4.    Bersama Ir. Soekarno menandatangani naskah Proklamasi Kemerdekaan
Indonesia
5.    Menjadi pemimpin delegasi Indonesia dalam Konferensi Meja Bundar (KMB) di
Den Haag, Belanda tanggal 23 Agustus–2 November 1949
6.    Pada tanggal 27 Desember 1945, menandatangani naskah pengakuan kedaulatan
Republik Indonesia
7.    Drs. Mohammad Hatta dipercaya mendampingi Ir. Soekarno menjadi wakil
presiden pertama Republik Indonesia.

3. Ahmad soebarjo

Mr. Raden Achmad Soebardjo Djojoadisoerjo(lahir di Karawang, Jawa Barat, 23


Maret1896 – meninggal 15 Desember 1978 pada umur 82 tahun) adalah tokoh
pejuang kemerdekaan Indonesia, diplomat, dan seorang Pahlawan Nasional Indonesia.
Ia adalah Menteri Luar Negeri Indonesia yang pertama. Achmad Soebardjo memiliki
gelar Meester in de Rechten, yang diperoleh di Universitas Leiden Belanda pada
tahun 1933
Achmad Soebardjo dilahirkan di Teluk Jambe, Karawang, Jawa Barat, tanggal 23
Maret 1896. Ayahnya bernama Teuku Muhammad Yusuf, masih keturunan
bangsawan Acehdari Pidie. Kakek Achmad Soebardjo dari pihak ayah adalah Ulee
Balang dan ulama di wilayah Lueng Putu, sedangkan Teuku Yusuf adalah pegawai
pemerintahan dengan jabatan Mantri Polisi di wilayah Teluk Jambe, Kerawang. Ibu
Achmad Soebardjo bernama Wardinah. Ia keturunan Jawa-Bugis, dan merupakan
anak dari Camat di Telukagung, Cirebon.
Ayahnya mulanya memberinya nama Teuku Abdul Manaf, sedangkan ibunya
memberinya nama Achmad Soebardjo. Nama Djojoadisoerjo ditambahkannya sendiri
setelah dewasa, saat ia ditahan di penjara Ponorogo karena "Peristiwa 3 Juli 1946".
Ia bersekolah di Hogere Burger School, Jakarta (saat ini setara dengan Sekolah
Menengah Atas) pada tahun 1917. Ia kemudian melanjutkan pendidikannya
di Universitas Leiden, Belanda dan memperoleh ijazah Meester in de Rechten (saat ini
setara dengan Sarjana Hukum) di bidang undang-undang pada tahun 1933.
Riwayat perjuangan
Semasa masih menjadi mahasiswa, Soebardjo aktif dalam
memperjuangkan kemerdekaan Indonesia melalui beberapa organisasi seperti Jong
Java dan Persatuan Mahasiswa Indonesia di Belanda. Pada bulan Februari 1927, ia
pun menjadi wakil Indonesia bersama dengan Mohammad Hatta dan para ahli
gerakan-gerakan Indonesia pada persidangan antarbangsa "Liga Menentang
Imperialisme dan Penindasan Penjajah" yang pertama di Brussels dan kemudiannya
di Jerman. Pada persidangan pertama itu juga ada Jawaharlal Nehru dan pemimpin-
pemimpin nasionalis yang terkenal dari Asiadan Afrika.[4] Sewaktu kembalinya ke
Indonesia, ia aktif menjadi anggota Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan
Indonesia (BPUPKI), dan kemudian Panitia Persiapan Kemerdekaan
Indonesia (PPKI).
Peristiwa Rengasdengklok
Pada tanggal 16 Agustus 1945 Para pemuda pejuang, termasuk Chaerul
Saleh, Sukarni, dan Wikana, Shodanco Singgih, dan pemuda lain,
membawa Soekarno dan Moh. Hatta ke Rengasdengklok. Tujuannya adalah agar Ir.
Soekarno dan Drs. Moh. Hatta tidak terpengaruh oleh Jepang. Peristiwa ini
dinamakan Peristiwa Rengasdengklok.
Di sini, mereka kembali meyakinkan Soekarno bahwa Jepang telah menyerah dan para
pejuang telah siap untuk melawan Jepang, apa pun risikonya. Di Jakarta, golongan
muda, Wikana, dan golongan tua, yaitu Achmad Soebardjo melakukan perundingan.
Achmad Soebardjo menyetujui untuk memproklamasikan kemerdekaan Indonesia di
Jakarta. Maka diutuslah Yusuf Kunto untuk mengantar Achmad Soebardjo ke
Rengasdengklok. Mereka menjemput Soekarno dan Moh. Hatta kembali ke Jakarta.
Achmad Soebardjo berhasil meyakinkan para pemuda untuk tidak terburu-buru
memproklamasikan kemerdekaan.
Naskah proklamasi
Konsep naskah proklamasi disusun oleh Bung Karno, Bung Hatta, dan Achmad
Soebardjo di rumah Laksamana Muda Maeda. Setelah selesai dan beragumentasi
dengan para pemuda, dinihari 17 Agustus 1945, Bung Karno pun segera
memerintahkan Sayuti Melik untuk mengetik naskah proklamasi.
Masa setelah kemerdekaan
Pada tanggal 18 Agustus 1945, Soebardjo dilantik sebagai Menteri Luar
Negeri pada Kabinet Presidensial, kabinet Indonesia yang pertama, dan kembali
menjabat menjadi Menteri Luar Negeri sekali lagi pada tahun 1951 - 1952. Selain itu,
ia juga menjadi Duta Besar Republik Indonesia di Switzerlandantara tahun-
tahun 1957 - 1961.
Dalam bidang pendidikan, Soebardjo merupakan profesor dalam bidang Sejarah
Perlembagaan dan Diplomasi Republik Indonesia di Fakultas
Kesusasteraan, Universitas Indonesia.
Wafat
Achmad Soebardjo Djojoadisoerjo meninggal dunia dalam usia 82 tahun (15
Desember1978) di Rumah Sakit Pertamina, Kebayoran Baru, akibat flu yang
menimbulkan komplikasi. Ia dimakamkan di rumah peristirahatnya
di Cipayung, Bogor.[3]Pemerintah mengangkat almarhum sebagai Pahlawan Nasional
pada tahun 2009.
Peranan Ahmad Subarjo dalam kemerdekaan Republik Indonesia
1. Berjuang melawan penjajah dengan sikap anti penjajahnya
2. Berani baertanggung jawab dan mempertaruhkan nyawanya demi kelangsungan
kemerdekaan Republik Indonesia dalam peristiwa rengasdengklok
3. Membantu Ir. Soekarno dan Moh. Hatta merumuskan dasar negara.
4. Membantu urusan pemerintahan dalam kemerdekaan RI
5. Membantu menyelesaikan konflik antara golongan tua dan muda dalam
kelangsungan Kemerdekaan
6. Mengisi pemerintahan sebagai menteri pada kabinet Ir. Soekarno

4. Soekarni

Soekarni (EYD: Sukarni; lahir di Blitar, Jawa Timur, 14 Juli 1916 – meninggal


di Jakarta, 7 Mei 1971 pada umur 54 tahun), yang nama lengkapnya adalah Soekarni
Kartodiwirjo, adalah tokoh pejuang kemerdekaan dan Pahlawan Nasional Indonesia.
Gelar Pahlawan Nasional Indonesia disematkan oleh Presiden Joko Widodo, pada 7
November2014 kepada perwakilan keluarga di Istana Negara Jakarta.
Kelahiran dan masa kecil
Sukarni lahir hari Kamis Wage di
desa Sumberdiran, Kecamatan Garum, KabupatenBlitar, Jawa Timur. Namanya jika
dijabarkan berarti "Su" artinya lebih sedangkan "Karni" artinya
banyak memperhatikan dengan tujuan oleh orangtuanya agar Sukarni lebih
memperhatikan nasib bangsanya yang kala itu masih dijajah Belanda. Sukarni
merupakan anak keempat dari sembilan bersaudara.
Urutan saudara
- Hono
- Sukarmilah
- Sukardi
- Sukarni
- Suparti (Ny. Suparto)
- Endang Sarti (Ny. Muslimin)
- Endi Sukarto
- Sukarjo
Nama tidak diketahui (meninggal ketika masih kecil)
Ayahnya adalah Kartodiwirjo, keturunan dari Eyang Onggo, juru masak Pangeran
Diponegoro. Ibunya bernama Supiah, gadis asal Kediri. Keluarga Sukarni bisa
dikatakan berkecukupan jika dibanding penduduk yang lain. Ayahnya membuka
toko daging di pasar Garum dan usahanya sangat laris.
Sukarni masuk sekolah di Mardisiswo di Blitar(semacam Taman Siswa yang dibuat
oleh Ki Hajar Dewantara). Di sekolah ini Sukarni belajar
mengenai nasionalisme melalui Moh. Anwar yang berasal dari Banyumas, pendiri
Mardidiswo sekaligus tokoh pergerakan Indonesia.
Sebagai anak muda, Sukarni terkenal kenakalannya karena sering berbuat onar. Dia
sering berkelahi dan hobi menantang orang Belanda. Dia pernah mengumpulkan 30-
50 orang teman-temannya dan mengirim surat tantangan ke anak muda Belanda untuk
berkelahi. Lokasinya di kebun raya Blitar, dekat sebuah kolam. Anak-anak Belanda
menerima tantangan itu dan terjadilah tawuran. Kelompok Sukarni memenangkan
perkelahian itu dan anak Belanda yang kalah dicemplungkan ke kolam.
Menjadi Aktivis Pergerakan
Perkenalan Sukarni dengan dunia pergerakan nasional yang
memperjuangkan kemerdekaanIndonesia dimulai ketika usia masih remaja, 14 tahun,
saat dia masuk menjadi anggota perhimpunan Indonesia Muda tahun 1930. Semenjak
itu dia berkembang menjadi pemuda militan dan revolusioner. Selain itu ia juga
sempat mendirikan organisasi Persatuan Pemuda Kita.
Ketika di MULO, Sukarni dikeluarkan dari sekolah karena mencari masalah dengan
pemerintah kolonial Belanda. Bukannya surut, semangat belajarnya malah semakin
membara. Dia bersekolah ke Yogyakarta, dan kemudian ke Jakarta pada sekolah
kejuruan guru. Atas bantuan Ibu Wardoyo (kakak Bung Karno), Sukarni disekolahkan
di Bandungjurusan jurnalistik.
Pada masa-masa di Bandung inilah, konon Sukarni pernah mengikuti kursus
pengkaderan politik pimpinan Soekarno. Disinilah dia bertemu dan mengikat sahabat
dengan Wikana, Asmara Hadi dan SK Trimurti.
Tahun 1934 Sukarni berhasil menjadi KetuaPengurus Besar Indonesia Muda,
sementara itu Belanda mulai mencurigainya sebagai anak muda militan.
Tahun 1936 pemerintah kolonial melakukan penggerebekan terhadap para pengurus
Indonesia Muda, tetapi Sukarni sendiri berhasil kabur dan hidup dalam pelarian
selama beberapa tahun.
Peristiwa RengasdengklokSunting
Mendengar berita kekalahan Jepang, kelompok pemuda dengan kelompok bawah
tanah di bawah pimpinan Sutan Syahrir, bersepakat bahwa inilah saat yang tepat untuk
memproklamirkan kemerdekaan. Sukarni, Wikana dan kelompok pemuda lainnya
mendesak Soekarno dan Hatta, tetapi mereka berdua menolak. Akhirnya terjadilah
perdebatan sengit yang berakhir dengan penculikan kedua tokoh tersebut, dengan
tujuan menjauhkan Soekarno-Hatta dari "pengaruh" Jepang. Kedua pemimpin itu
"diasingkan" ke Rengasdengklok oleh kelompok pemuda yang dipimpin olehnya[2].
Seputar ProklamasiSunting
Akhirnya semua pihak kemudian bersepakat bahwa proklamasi kemerdekaan akan
segera dilakukan pada 17 Agustus 1945. Selanjutnya, Sukarni mengemban amanat
kemerdekaan serta bahu membahu bersama kelompok pemuda lainnya dalam
meneruskan berita tentang kemerdekaan ini. Sukarni membentuk Comite Van
Aksi (semacam panitia gerak cepat) pada 18 Agustus 1945 yang tugasnya
menyebarkan kabar kemerdekaan ke seluruh Indonesia. Khusus untuk para
pemudanya dibentuk API (Angkatan Pemuda Indonesia) dan untuk buruh dibentuk
BBI (Barisan Buruh Indonesia) yang kemudian melahirkan laskar buruh dan laskar
buruh wanita.
Di zaman RI berkedudukan di Yogyakarta, Sukarni menjabat sebagai Sekretaris
JenderalPersatuan Perjuangan (PP) di bawah ketua Tan Malaka. PP beroposisi dengan
pemerintah dan menolak perundingan pemerintah terhadap Belanda. Aksi PP ini
membuat Sukarni dijebloskan ke penjara pada tahun 1946. Selanjutnya Sukarni juga
mengalami penahanan di Solo, Madiun dan Ponorogo (daerah komunis Muso) pada
masa pemerintahan Amir Syarifudin (1947/1948)
Peran Sukarni antara lain sebagai berikut.
a. Sukarni mengusulkan agar yang menandatangani teks Proklamasi adalah Bung
Karno dan Bung Hatta atas nama bangsa Indonesia.
b. Sukarni jugalah dan para golongan muda yang mendesak Soekarno & Hatta agar
segera mempercepat proklamasi kemerdekaan RI

5. Sayuti Malik

Mohamad Ibnu Sayuti atau yang lebih dikenal sebagai Sayuti Melik (lahir


di Sleman, Yogyakarta, 22 November 1908 – meninggal di Jakarta, 27
Februari 1989 pada umur 80 tahun), dicatat dalam sejarah Indonesia sebagai
pengetik naskah proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia. Dia adalah suami
dari Soerastri Karma Trimurti, seorang wartawati dan aktivis perempuan di zaman
pergerakan dan zaman setelah kemerdekaan
Masa Muda
Dilahirkan pada tanggal 22 November 1908, anak dari Abdul Mu'in alias
Partoprawito, seorang bekel jajar atau kepala desa di Sleman, Yogyakarta[1].
Sedangkan ibunya bernama Sumilah. Pendidikan dimulai dari Sekolah Ongko Loro
(Setingkat SD) di desa Srowolan, sampai kelas IV dan diteruskan sampai mendapat
Ijazah di Yogyakarta.
Nasionalisme sudah sejak kecil ditanamkan oleh ayahnya kepada Sayuti kecil. Ketika
itu ayahnya menentang kebijaksanaan pemerintah Belanda yang menggunakan
sawahnya untuk ditanami tembakau.
Ketika belajar di sekolah guru di Solo, 1920, ia belajar nasionalisme dari guru
sejarahnya yang berkebangsaan Belanda, H.A. Zurink. Pada usia belasan tahun itu, ia
sudah tertarik membaca majalah Islam Bergerak pimpinan K.H. Misbach di Kauman,
Solo, ulama yang berhaluan kiri. Ketika itu banyak orang, termasuk tokoh Islam,
memandang Marxismesebagai ideologi perjuangan untuk menentang penjajahan. Dari
Kiai Misbach ia belajar Marxisme. Perkenalannya yang pertama dengan Bung
Karno terjadi di Bandung pada 1926.
Tulisan-tulisannya mengenai politik menyebabkan ia ditahan berkali-kali oleh
Belanda. Pada tahun 1926 ditangkap Belanda karena dituduh membantu PKI dan
selanjutnya dibuang ke Boven Digul (1927-1933). Tahun 1936 ditangkap Inggris,
dipenjara di Singapura selama setahun. Setelah diusir dari wilayah Inggris ditangkap
kembali oleh Belanda dan dibawa ke Jakarta, dimasukkan sel di Gang Tengah (1937-
1938).
Sepulangnya dari pembuangan, Sayuti berjumpa dengan SK Trimurti, dan terlibat
dalam berbagai kegiatan pergerakan secara bersama. Akhirnya pada 19 Juli 1938
mereka menikah.
Pada tahun itu juga Mereka mendirikan koran Pesat di Semarang yang terbit tiga kali
seminggu dengan tiras 2 ribu eksemplar. Karena penghasilannya masih kecil,
pasangan suami-istri itu terpaksa melakukan berbagai pekerjaan, dari redaksi hingga
urusan percetakan, dari distribusi dan penjualan hingga langganan.
Trimurti dan Sayuti Melik bergiliran masuk keluar penjara akibat tulisan mereka
mengkritik tajam pemerintah Hindia Belanda. Sayuti sebagai bekas tahanan politik
yang dibuang ke Boven Digul selalu dimata-matai dinas intel Belanda (PID).
Pada zaman pendudukan Jepang, Maret 1942 koran Pesat diberedel Japan, Trimurti
ditangkap Kempetai, Jepang juga mencurigai Sayuti sebagai orang komunis.
Pada 9 Maret 1943, diresmikan berdirinya Putera (Pusat Tenaga Rakyat) dipimpin
“Empat Sekawan” Soekarno, Moh. Hatta, Ki Hadjar Dewantara, dan Kiai Mas
Mansoer. Saat itu Soekarno meminta pemerintah Jepang membebaskan Trimurti, lalu
membawanya ke Jakarta untuk bekerja di Putera, dan kemudian di Djawa Hookoo
Kai, Himpunan Kebaktian Rakyat Seluruh Jawa. Dan lalu Trimurti dan Sayuti Melik
dapat hidup relatif tenteram. Sayuti terus berada di sisi Bung Karno[2].
Anggota PPKI
Peristiwa Rengasdengklok
Sayuti Melik termasuk dalam kelompok Menteng 31, yang berperan dalam penculikan
Sukarno dan Hatta pada tanggal 16 Agustus 1945 (Peristiwa Rengasdengklok). Para
pemuda pejuang, termasuk Chaerul Saleh, Sukarni, dan Wikana, bersama Shodanco
Singgih, salah seorang anggota PETA, dan pemuda lain, membawa Soekarno
(bersama Fatmawati dan Guntur yang baru berusia 9 bulan) dan Hatta,
ke Rengasdengklok. Tujuannya adalah agar Ir. Soekarno dan Drs. Moh. Hatta tidak
terpengaruh oleh Jepang[4].
Di sini, mereka kembali meyakinkan Soekarno bahwa Jepang telah menyerah dan para
pejuang telah siap untuk melawan Jepang, apa pun risikonya.[5] Di Jakarta, golongan
muda, Wikana, dan golongan tua, yaitu Mr. Ahmad Soebardjo melakukan
perundingan. Mr. Ahmad Soebardjo menyetujui untuk memproklamasikan
kemerdekaan Indonesia di Jakarta[6]. maka diutuslah Yusuf Kunto untuk mengantar
Ahmad Soebardjo ke Rengasdengklok[7]. Mereka menjemput Ir. Soekarno dan Drs.
Moh. Hatta kembali ke Jakarta. Mr. Ahmad Soebardjo berhasil meyakinkan para
pemuda untuk tidak terburu - buru memproklamasikan kemerdekaan[8].
Naskah Proklamasi

Naskah asli proklamasi yang ditempatkan di Monumen Nasional


Konsep naskah proklamasi disusun oleh Bung Karno, Bung Hatta, dan Achmad
Subardjo di rumah Laksamana Muda Maeda[1]. Wakil para pemuda, Sukarni dan
Sayuti Melik. Masing-masing sebagai pembantu Bung Hatta dan Bung Karno, ikut
menyaksikan peristiwa tersebut. Setelah selesai, dinihari 17 Agustus 1945, konsep
naskah proklamasi itu dibacakan di hadapan para hadirin. Namun, para pemuda
menolaknya. Naskah proklamasi itu dianggap seperti dibuat oleh Jepang.
Dalam suasana tegang itu, Sayuti memberi gagasan, yakni agar teks proklamasi
ditandatangani Bung Karno dan Bung Hatta saja, atas nama bangsa Indonesia.
Usulnya diterima dan Bung Karno pun segera memerintahkan Sayuti untuk
mengetiknya. Ia mengubah kalimat "Wakil-wakil bangsa Indonesia" menjadi "Atas
nama bangsa Indonesia".
Sayuti Melik adalah tokoh pemuda yang juga sangat berperan dalam Proklamasi
Kemerdekaan Indonesia. Sayuti Melik mengetik naskah Proklamasi setelah  ia
sempurnakan dari tulisan tangan Bung Karno. mengetik naskah proklamasi,anggota
susulan PPKI dan angota KNIP, hadir dalam perumusan naskah proklamasi 
6. Burhannudin Muhammad diah

Burhanuddin Mohammad Diah (lahir di Kutaraja, yang kini dikenal sebagai Banda


Aceh, 7 April 1917 – meninggal di Jakarta, 10 Juni 1996 pada umur 79 tahun) adalah
seorang tokoh pers, pejuang kemerdekaan, diplomat, dan pengusaha Indonesia.
Masa kecil
Nama asli B.M. Diah yang sesungguhnya hanyalah Burhanuddin. Nama ayahnya
adalah Mohammad Diah, yang berasal dari Barus, Sumatera Utara. Ayahnya adalah
seorang pegawai pabean di Aceh Barat yang kemudian menjadi penerjemah.
Burhanuddin kemudian menambahkan nama ayahnya kepada namanya sendiri.
Ibunya, Siti Sa'idah (istri pertama Diah) adalah wanita Aceh yang menjadi ibu rumah
tangga. Burhanuddin, anak bungsu dari 8 bersaudara, juga mempunyai dua orang
saudara tiri dari istri kedua ayahnya.
Mohammad Diah adalah seorang yang terpandang dan kaya di lingkungannya. Namun
hidupnya boros, sehingga ketika ia lahir Burhanuddin tidak dapat menikmati kekayaan
ayahnya. Ditambah lagi karena seminggu setelah kelahirannya, ayahnya meninggal
dunia. Ibunya kemudian mengambil alih tanggung jawab memelihara keluarganya.
Untuk itu ia terjun ke dunia usaha berjualan emas, intan, dan pakaian. Namun delapan
tahun kemudian Siti Sa'idah pun berpulang, sehingga Burhanuddin diasuh oleh kakak
kelas perempuannya, Siti Hafsyah.
Burhanuddin belajar di HIS, kemudian melanjutkan ke Taman Siswa di Medan.
Keputusan ini diambilnya karena ia tidak mau belajar di bawah asuhan guru-
guru Belanda.
Melanjutkan sekolah dan bekerja
Pada usia 17 tahun, Burhanuddin berangkat ke Jakarta dan belajar di Ksatriaan
Instituut (sekarang Sekolah Ksatrian) yang dipimpin oleh Dr. E.E. Douwes Dekker.
Burhanuddin memilih jurusan jurnalistik, namun ia banyak belajar tentang dunia
kewartawanan dari pribadi Douwes Dekker.
Burhanuddin sesungguhnya tidak mampu membayar biaya sekolah. Namun melihat
tekadnya untuk belajar, Dekker mengizinkannya terus belajar dan bahkan memberikan
kesempatan kepadanya menjadi sekretaris di sekolah itu.
Setelah tamat belajar, Burhanuddin kembali ke Medan dan menjadi redaktur
harian Sinar Deli. Ia tidak lama bekerja di sana, karena satu setengah tahun kemudian
ia kembali ke Jakarta dan bekerja di harian Sin Po sebagai tenaga honorer. Tak lama
kemudian ia pindah ke Warta Harian. Tujuh bulan kemudian, koran itu dibubarkan
karena dianggap membahayakan keamanan. Burhanuddin kemudian mendirikan
usahanya sendiri, bulanan Pertjatoeran Doenia.
Setelah tentara Jepang datang dan menjajah Indonesia, Burhanuddin bekerja di
Radio Hosokyoku sebagai penyiar siaran bahasa Inggris. Namun pada saat yang sama
ia pun merangkap bekerja di Asia Raja. Ketika ketahuan bahwa ia bekerja juga di
tempat lain, Burhanuddin pun dijebloskan ke penjara selama empat hari.
Menikah dan mendirikan "Merdeka"
Ketika bekerja di Radio Hosokyoku itulah Burhanuddin bertemu dengan Herawati,
seorang penyiar lulusan jurnalistik dan sosiologi di Amerika Serikat. Mereka
berpacaran, dan tak lama kemudian, pada 18 Agustus 1942 mereka menikah. Pesta
pernikahan mereka ini dihadiri pula oleh Bung Karno dan Bung Hatta.
Pada akhir September 1945, setelah diumumkannya Proklamasi Kemerdekaan
Republik Indonesia, Diah bersama sejumlah rekannya seperti Joesoef
Isak dan Rosihan Anwar, mengangkat senjata dan berusaha merebut percetakan
Jepang "Djawa Shimbun", yang menerbitkan Harian Asia Raja. Meskipun Jepang
telah menyerah kalah, teman-teman Diah ragu-ragu, mengingat Jepang masih
memegang senjata. Namun kenyataannya malah sebaliknya. Tentara Jepang yang
menjaga percetakan tidak melawan, bahkan menyerah. Percetakan pun jatuh ke tangan
Diah dan rekan-rekannya.
Pada 1 Oktober 1945 B.M. Diah mendirikan Harian Merdeka. Diah menjadi
pemimpin redaksi, Joesoef Isak menjadi wakilnya, dan Rosihan Anwar menjadi
redaktur. Diah memimpin surat kabar ini hingga akhir hayatnya, meskipun belakangan
ia lebih banyak menangani PT Masa Merdeka, penerbit Harian "Merdeka".
Ketika baru berdiri Diah menjadi Pemimpin Redaksi, Isak sebagai Wakil, dan Rosihan
sebagai Redaktur. Belakangan Joesoef Isak, seorang Soekarnois, terpaksa
diberhentikan atas desakan pemerintah Orde Baru. Sementara Rosihan Anwar
mendirikan surat kabarnya sendiri, Harian "Pedoman".
Pada April 1945, bersama istrinya Herawati, Diah mendirikan koran
berbahasa Inggris, Indonesian Observer. Ia dinilai sebagai penulis editorial yang baik,
seorang nasional pro-Soekarno dan menentang militerisme. Ia pernah bertolak
pandangan dengan pihak militer setelah Peristiwa 17 Oktober, sehingga ia terpaksa
berpindah-pindah tempat untuk menghindari kejaran petugas-petugas militer.
Ketika pemerintah Orde Baru memutuskan untuk mengubah sebutan "Tionghoa"
menjadi "Cina" dan "Republik Rakyat Tiongkok" menjadi "Republik Rakyat Cina",
Harian "Merdeka"—bersama Harian "Indonesia Raya"—dikenal sebagai satu-satunya
pers yang gigih tetap mempertahankan istilah "Tionghoa" dan "Tiongkok".
Perannya Beliau merupakan tokoh yang berperan sebagai wartawan dalam
menyiarkan kabar berita Indonesia Merdeka ke seluruh penjuru tanah air.

7. Latif hendraningrat

Brigadir Jenderal TNI (Purn.) Raden Mas Abdul Latief Hendraningrat (lahir di Jakarta


, 15 Februari 1911 – meninggal di Jakarta, 14 Maret 1983 pada umur 72 tahun) adalah
seorang prajurit PETA berpangkat Sudanco (komandan Kompi) dan juga pengerek
bendera Sang Saka Merah Putih dengan didampingi oleh Soehoed Sastro Koesoemo,
seorang pemuda dari barisan pelopor. Pada tanggal 17Agustus 1945 di Jalan
Pegangsaan Timur 56, Jakarta Pusat.
Pada saat menjadi petugas upacara bendera pertama usai proklamasi kemerdekaan,
Latief Hendraningrat memakai seragam tentara Jepang karena Latief merupakan
anggota pasukan Pembela Tanah Air (PETA) bentukan Jepang.  Sebelum masuk
PETA, Latief Hendraningrat terlebih dulu bergiat di Pusat Latihan Pemuda (Seinen
Kunrenshoo) yang juga bentukan Jepang. Pada saat PETA dibentuk pada tanggal 3
Oktober 1943, ia mendaftarkan diri dan diterima.
Mengamankan Kemerdekaan
Pada saat proklamasi kemerdekaan Indonesia17 Agustus 1945, Latief Hendraningrat
termasuk golongan muda yang memicu terjadinya Kemerdekaan Indonesia. Berasal
dari siaran radio, kaum muda Indonesia mengetahui bahwa Jepang menyerah kepada
Sekutu pada tanggal 14 Agustus 1945. Para pemuda
menuntut Soekarno dan Hatta untuk mempercepat Kemerdekaan Indonesia. Namun,
Soekarno menolak karena masih menantikan realisasi janji dari Jepang yang akan
memberi kemerdekaan kepada Indonesia dalam waktu dekat. Para pemuda meminta
kepada Latief Hendraningrat sebagai salah satu perwira PETA tertinggi di Jakarta
untuk meyakinkan Soekarno-Hatta, dan terjadilah apa yang kemudian dikenal
sebagai Peristiwa Rengasdengklok pada 16 Agustus 1945. Pada saat itu, Latief
Hendraningrat menjadi orang PETA yang paling bertanggungjawab atas keamanan
Jakarta saat itu. Ia menggantikan tugas atasannya, Kasman Singodimejo, 
Pada tanggal 17 Agustus 1945, anak-anak muda berdatangan menuju Lapangan
Ikada(kini di area Monumen Nasional atau Monas). Mereka mendengar bahwa di sana
Soekarno-Hatta akan menyatakan proklamasi kemerdekaan Indonesia. Namun,
sesampainya di Lapangan Ikada, tentara Jepang sudah siap dengan senjata lengkap.
Rupanya, deklarasi Kemerdekaan Republik Indonesia bukan dilakukan di Lapangan
Ikada, melainkan di Jalan Pegangsaan Timur 56 Jakarta Pusat yang merupakan
kediaman Soekarno. Latief Hendraningrat tidak hanya mengamankan halaman depan
rumah Soekarno yang akan digunakan sebagai lokasi proklamasi kemerdekaan. Ia
juga menempatkan beberapa prajurit PETA pilihannya untuk berjaga-jaga di sekitar
jalan kereta api yang membujur di belakang rumah itu. Usai pembacaan teks
proklamasi, Perannya Latief bertindak sebagai pengibar sang saka Merah-Putih
bersama Suhud Sastro Kusumo.

8. S. Suhud
S. Suhud atau lengkapnya Suhud Sastro Kusumo, sebagai anggota Barisan
pelopor. Beliau adalah salah seorang pengibar bendera pusaka saat Proklamasi
Kemerdekaan Indonesia di Jl. Pegangsaan nomor 56 pada tanggal 17 Agustus 1945.
Tepatnya sebagai pendamping Latif Hendraningrat.
Pada acara proklamasi kemerdekaan, pertama, Soekarno membaca Proklamasi yang
sudah diketik Sajuti Melik dan telah ditandatangani Soekarno-Hatta. Kemudian
Soekarno berpidato singkat tanpa teks . Setelah itu beliau berdoa seraya mengangkat
kedua telapak tangannya. Untuk pengerekan bendera awalnya diminta kesediaan
Trimurti, tapi dia menolak lalu mengusulkan sebaiknya dilakukan oleh seorang
prajurit. Maka Latif Hendraningrat, yang masih memakai seragam lengkap PETA,
maju kedepan sampai dekat tiang bendera. Soehoed didampingi S.K Trimurti muncul
dari belakang membawa sebuah baki nampan berisi bendera Merah Putih (bendera
pusaka yang dijahit Fatmawati beberapa waktu sebelumnya). Maka dikereklah
bendera tersebut oleh Latif dibantu Soehoed, yang dikereknya pada tiang bambu.
(Latief Hendradiningrat sebagai pengerek bendera, S Suhud sebagai pembentang
bendera, dan S.K Trimurti sebagai pembawa bendera yang kini kita kenal sebagai
baki). Setelah berkibar, spontan hadirin menyanyikan lagu Indonesia Raya.

9. Suwiryo

Raden Suwiryo (lahir di Wonogiri, Jawa Tengah, 17 Februari 1903 – meninggal


di Jakarta, 27 Agustus 1967 pada umur 64 tahun) adalah seorang tokoh pergerakan
Indonesia. Ia juga pernah menjadi Wali kota Jakarta dan Ketua Umum PNI. Ia juga
pernah menjadi Wakil Perdana Menteri pada Kabinet Sukiman-Suwiryo.
Pendidikan dan pekerjaan
Suwiryo menamatkan AMS dan kuliah di Rechtshogeschool namun tidak tamat.
Suwiryo sempat bekerja sebentar di Centraal Kantoor voor de Statistik. Kemudia ia
bergiat di bidang partikelir, menjadi guru Perguruan Rakyat, kemudian memimpin
majalah Kemudi. Menjadi pegawai pusat Bowkas "Beringin" sebuah kantor asuransi.
Pernah juga menjadi pengusaha obat di Cepu.
Perjuangan
Awal perjuanganSunting
Pada masa mudanya Suwiryo aktif dalam perhimpunan pemuda Jong Java dan
kemudian PNI. Setelah PNI bubar tahun 1931, Suwiryo turut mendirikan Partindo.
Pada zaman kependudukan Jepang, Suwiryo aktif di Jawa Hokokai dan Putera.
Menjadi Wakil Wali kota Jakarta
Proses Suwiryo menjabat sebagai wali kota dimulai pada Juli 1945 pada masa
pendudukan Jepang. Kala itu dia menjabat sebagai wakil wali kota pertama Jakarta,
sedangkan yang menjadi wali kota seorang pembesar Jepang (Tokubetsyu Sityo) dan
wakil wali kota kedua adalah Baginda Dahlan Abdullah. Dengan kapasitasnya sebagai
wakil wali kota, secara diam-diam Suwiryo melakukan nasionalisasi pemerintahan
dan kekuasaan kota.
Peralihan kekuasaan dari Jepang
Pada 10 Agustus 1945, Jepang menyerah pada Sekutu setelah bom atom dijatuhkan di
kota Hiroshima dan Nagasaki. Berita takluknya Jepang ini sengaja ditutup-tutupi. Tapi
Suwiryo, dengan berani menanggung segala akibat menyampaikan kekalahan Jepang
ini pada masyarakat Jakarta dalam suatu pertemuan. Hingga demam kemerdekaan
melanda Ibu Kota, termasuk meminta Bung Karno dan Bung Hatta segera
memproklamasikan kemerdekaan. Perpindahan kekuasaan dari Jepang dilakukan
tanggal 19 September 1945 dan Suwiryo ditunjuk jadi Wali kota Jakarta tanggal 23
September 1945.
Setelah proklamasi kemerdekaan
Ketika kedua pemimpin bangsa ini memproklamirkan kemerdekaan, Suwiryo-lah
salah seorang yang bertanggungjawab atas terselenggaranya proklamasi di kediaman
Bung Karno. Semula akan diselenggarakan di Lapangan Ikada (kini Monas) tetapi
karena balatentara Jepang masih gentayangan dengan senjata lengkap, dipilih di
kediaman Bung Karno.
Rapat Raksasa di Lapangan IKADA
Suwiryo dari PNI pada 17 September 1945 bersama para pemuda ikut menggerakkan
massa rakyat menghadiri rapat raksasa di lapangan Ikada (Monas) untuk mewujudkan
tekad bangsa Indonesia siap mati untuk mempertahankan kemerdekaan. Rapat raksasa
di Ikada ini dihadiri bukan saja oleh warga Jakarta tetapi juga Bogor, Bekasi, dan
Karawang.
Ditangkap NICA
Ketika pasukan Sekutu mendarat yang didomplengi oleh pasukan NICA (Nederlands
Indies Civil Administration), pada awal 1946, Presiden Sukarno dan Wakil Presiden,
Hatta hijrah ke Yogyakarta. Suwiryo yang tetap berada di Jakarta menginstruksikan
kepada semua pegawai pamongpraja agar tetap tinggal di tempat menyelesaikan tugas
seperti biasa. Pada 21 Juli 1947 saat Belanda melancarkan aksi militernya, Suwiryo
diculik oleh pasukan NICA di kediamannya di kawasan Menteng pada pukul 24.00
WIB. Selama lima bulan dia disekap di daerah Jl Gajah Mada, dan kemudian
(Nopember 1947) diterbangkan ke Semarang untuk kemudian ke Yogyakarta.
Perjuangan di Jogja
Di kota perjuangan, wali kota pertama Jakarta ini disambut besar-besaran oleh
Panglima Besar Sudirman yang datang ke stasion Tugu. Di sana Suwiryo ditempatkan
di Kementrian Dalam Negeri RI sebagai pimpinan Biro Urusan Daerah Pendudukan
(1947-1949). Pada September 1949, Suwiryo kembali ke Jakarta sebagai wakil
Pemerintah RI pada Republik Indonesia Serikat (RIS).
Setelah Perang Kemerdekaan
Pada 17 Februari 1950 Presiden RIS, Sukarno mengangkatnya kembali sebagai Wali
kota Jakarta Raya. Pada 2 Mei 1951, Suwiryo diangkat jadi Wakil PM dalam Kabinet
Sukiman-Suwirjo (April 1951 - April 1952). Jabatan wali kota diganti oleh
Syamsurizal (Masyumi). Setelah berhenti menjadi Wakil PM, kemudian Suwiryo
diperbantukan beberapa saat di Kementrian Dalam Negri. Setelah itu Suwiryo
menjabat sebagai Presiden Direktur Bank Umum merangkap Presiden Komisaris
Bank Industri Negara (BIN) yang kemudian dikenal dengan Bapindo. Suwiryo
meninggalkan dunia perbankan setelah terpilih menjadi Ketua Umum PNI. Lepas dari
kegiatan partai, Suwiryo menjadi anggota MPRS dan kemudian menjadi anggota
DPA.
Meninggal dunia
Enam tahun terakhir masa hayatnya, Suwiryo berjuang melawan penyakit yang tidak
dapat dilawannya, akhirnya ia meninggal pada 27 Agustus 1967 dan dimakamkan di
Taman makam Pahlawan Kalibata.
# Peran Soewirjo (Suwiryo) :
Beliau adalah Gubernur Jakarta Raya yang mengusahakan kegiatan upacara
proklamasi dan pembacaan proklamasi berjalan aman dan lancar.

10. Dr. Muwardi


Dr. Moewardi (Pati, Jawa Tengah, 1907 - Surakarta, Jawa Tengah, 13 Oktober 1948)
adalah seorang pahlawan nasional Indonesia. Moewardi adalah seorang dokter
lulusan STOVIA. Setelah lulus, ia melanjutkan pendidikan Spesialisasi Telinga
Hidung Tenggorokan (THT). Selain itu ia adalah ketua Barisan Pelopor tahun 1945
di Surakarta dan terlibat dalam peristiwa proklamasi 17 Agustus 1945. Dalam acara
tersebut, ia juga turut memberikan sambutan setelah Soewirjo, wakil wali
kota Jakarta saat itu.
Sejarah
Di Solo, dr.Muwardi mendirikan sekolah kedokteran dan membentuk gerakan rakyat
untuk melawan aksi-aksi PKI. Pada peristiwa Madiun dia adalah salah satu tokoh
yang dikabarkan hilang dan diduga dibunuh oleh pemberontak selain
Gubernur Soeryo.
Kini namanya diabadikan sebagai nama Rumah Sakit Umum Daerah Surakarta.
Namanya juga diabadikan sebagai sebuah nama jalan di Jakarta.
13 September yang patut dikenang Alkisah pada tahun 1930 di daerah Tanah abang
Jakarta ada seorang lelaki bernama Muwardi, yang terkenal sebagai Dokter Muwardi
atau biasa disebut Dokter Gembel. Karena dokter itu senang bergaul dengan gembel
daripada golongan atas.
Golongan masyarakat yang kebanyakan sangat miskin sekaligus orang-orang yang
sangat membutuhkan pertolongan. Pernah karena diminta pertolongan untuk
mengobati seorang gembel yang tinggal jauh dalam kampung dengan gang becek dan
berlumpur yang hanya kering saat hujan reda.Meskipun hanya gembel, namun gembel
tersebut adalah orang yang mempunyai rasa perikemanusiaan yang luhur.
Dia memandangi pakaian Muwardi yang masih bersih tak bernoda sedikit pun, “baru
ganti itu !”, pikirnya. Sayang kalau ia harus jalan di lumpur. Air kotor dan lumpurnya
tentu akan segera melekat pada sepatu dan celananya. “Tidak !, jangan ! Pak dokter
harus tetap bersih, agar dapat segera mengunjungi orang sakit lainnya,” Akhirnya mau
tidak mau, Muwardi digendong oleh si gembel. Sehingga Muwardi digendong di
punggung si gembel dari jalan besar hingga ke rumah si sakit.

11. Sultan syahril


Sutan Syahrir (ejaan lama: Soetan Sjahrir, lahir di Padang Panjang, Sumatera Barat, 5
Maret 1909 – meninggal di Zürich, Swiss, 9 April 1966 pada umur 57 tahun) adalah
seorang intelektual, perintis, dan revolusioner kemerdekaan Indonesia.[1] Setelah
Indonesia merdeka, ia menjadi politikus dan perdana menteri pertama Indonesia. Ia
menjabat sebagai Perdana Menteri Indonesia dari 14 November 1945 hingga 20
Juni 1947. Syahrir mendirikan Partai Sosialis Indonesia pada tahun 1948. Ia
meninggal dalam pengasingan sebagai tawanan politik dan dimakamkan di TMP
Kalibata, Jakarta. Sutan Syahrir ditetapkan sebagai salah seorang Pahlawan Nasional
Indonesia pada tanggal 9 April 1966 melalui Keppres nomor 76 tahun 1966[2
Syahrir lahir dari pasangan Mohammad Rasad gelar Maharaja Soetan bin Soetan
Leman gelar Soetan Palindih dan Puti Siti Rabiah yang berasal dari Koto
Gadang, Agam, Sumatera Barat [3] Ayahnya menjabat sebagai penasehat sultan
Deli dan kepala jaksa (landraad) di Medan. Syahrir bersaudara seayah dengan Rohana
Kudus, aktivis serta wartawan wanita yang terkemuka.
Sekolah MULO di Medan (sekitar tahun 1925)
Syahrir mengenyam sekolah dasar (ELS) dan sekolah menengah (MULO) terbaik di
Medan. Hal ini mengantarkannya kepada berbagai buku-buku asing dan ratusan novel
Belanda. Malamnya dia mengamen di Hotel De Boer(kini Hotel Natour Dharma Deli),
hotel khusus untuk tamu-tamu Eropa.
Pada 1926, ia selesai dari MULO, masuk sekolah lanjutan atas (AMS) di Bandung,
sekolah termahal di Hindia Belanda saat itu. Di sekolah itu, dia bergabung dalam
Himpunan Teater Mahasiswa Indonesia (Batovis) sebagai sutradara, penulis skenario,
dan juga aktor. Hasil mentas itu dia gunakan untuk membiayai sekolah yang ia
dirikan, Tjahja Volksuniversiteit, Cahaya Universitas Rakyat.
Di kalangan siswa sekolah menengah (AMS) Bandung, Syahrir menjadi seorang
bintang. Syahrir bukanlah tipe siswa yang hanya menyibukkan diri dengan buku-buku
pelajaran dan pekerjaan rumah. Ia aktif dalam klub debat di sekolahnya. Syahrir juga
berkecimpung dalam aksi pendidikan melek huruf secara gratis bagi anak-anak dari
keluarga tak mampu dalam Tjahja Volksuniversiteit.
Aksi sosial Syahrir kemudian menjurus jadi politis. Ketika para pemuda masih terikat
dalam perhimpunan-perhimpunan kedaerahan, pada tanggal 20 Februari 1927, Syahrir
termasuk dalam sepuluh orang penggagas pendirian himpunan pemuda nasionalis,
Jong Indonesië. Perhimpunan itu kemudian berubah nama jadi Pemuda Indonesia
yang menjadi motor penyelenggaraan Kongres Pemuda Indonesia. Kongres
monumental yang mencetuskan Sumpah Pemuda pada 1928.
Sebagai siswa sekolah menengah, Syahrir sudah dikenal oleh polisi Bandung sebagai
pemimpin redaksi majalah himpunan pemuda nasionalis. Dalam kenangan seorang
temannya di AMS, Syahrir kerap lari digebah polisi karena membandel membaca
koran yang memuat berita pemberontakan PKI 1926; koran yang ditempel pada papan
dan selalu dijaga polisi agar tak dibaca para pelajar sekolah.
Syahrir melanjutkan pendidikan ke negeri Belanda di Fakultas Hukum, Universitas
Amsterdam. Di sana, Syahrir mendalami sosialisme. Secara sungguh-sungguh ia
berkutat dengan teori-teori sosialisme. Ia akrab dengan Salomon Tas, Ketua Klub
Mahasiswa Sosial Demokrat, dan istrinya Maria Duchateau, yang kelak dinikahi
Syahrir, meski sebentar. (Kelak Syahrir menikah kembali dengan Poppy, kakak tertua
dari Soedjatmoko dan Miriam Boediardjo).
Dalam tulisan kenangannya, Salomon Tas berkisah perihal Syahrir yang mencari
teman-teman radikal, berkelana kian jauh ke kiri, hingga ke kalangan anarkis yang
mengharamkan segala hal berbau kapitalismedengan bertahan hidup secara kolektif –
saling berbagi satu sama lain kecuali sikat gigi. Demi lebih mengenal dunia proletar
dan organisasi pergerakannya, Syahrir pun bekerja pada Sekretariat Federasi Buruh
Transportasi Internasional.
Selain menceburkan diri dalam sosialisme, Syahrir juga aktif dalam Perhimpunan
Indonesia (PI) yang ketika itu dipimpin oleh Mohammad Hatta. Di awal 1930,
pemerintah Hindia Belanda kian bengis terhadap organisasi pergerakan nasional,
dengan aksi razia dan memenjarakan pemimpin pergerakan di tanah air, yang
berbuntut pembubaran Partai Nasional Indonesia (PNI) oleh aktivis PNI sendiri.
Berita tersebut menimbulkan kekhawatiran di kalangan aktivis PI di Belanda. Mereka
selalu menyerukan agar pergerakan jangan jadi melempem lantaran pemimpinnya
dipenjarakan. Seruan itu mereka sampaikan lewat tulisan. Bersama Hatta, keduanya
rajin menulis di Daulat Rakjat, majalah milik Pendidikan Nasional Indonesia, dan
memisikan pendidikan rakyat harus menjadi tugas utama pemimpin politik.

“ "Pertama-tama, marilah kita mendidik, yaitu memetakan jalan menuju


kemerdekaan," katanya. ”

Pengujung tahun 1931, Syahrir meninggalkan kampusnya untuk kembali ke tanah air
dan terjun dalam pergerakan nasional. Syahrir segera bergabung dalam organisasi
Partai Nasional Indonesia (PNI Baru), yang pada Juni 1932 diketuainya. Pengalaman
mencemplungkan diri dalam dunia proletar ia praktikkan di tanah air. Syahrir terjun
dalam pergerakan buruh. Ia memuat banyak tulisannya tentang perburuhan dalam
Daulat Rakyat. Ia juga kerap berbicara perihal pergerakan buruh dalam forum-forum
politik. Mei 1933, Syahrir didaulat menjadi Ketua Kongres Kaum Buruh Indonesia.
Hatta kemudian kembali ke tanah air pada Agustus 1932, segera pula ia memimpin
PNI Baru. Bersama Hatta, Syahrir mengemudikan PNI Baru sebagai organisasi
pencetak kader-kader pergerakan. Berdasarkan analisis pemerintahan kolonial
Belanda, gerakan politik Hatta dan Syahrir dalam PNI Baru justru lebih radikal
tinimbang Soekarno dengan PNI-nya yang mengandalkan mobilisasi massa. PNI
Baru, menurut polisi kolonial, cukup sebanding dengan organisasi Barat. Meski tanpa
aksi massa dan agitasi; secara cerdas, lamban namun pasti, PNI Baru mendidik kader-
kader pergerakan yang siap bergerak ke arah tujuan revolusionernya.
Karena takut akan potensi revolusioner PNI Baru, pada Februari 1934, pemerintah
kolonial Belanda menangkap, memenjarakan, kemudian membuang Syahrir, Hatta,
dan beberapa pemimpin PNI Baru ke Boven-Digoel. Hampir setahun dalam kawasan
malaria di Papua itu, Hatta dan Syahrir dipindahkan ke Banda Neira untuk menjalani
masa pembuangan selama enam tahun.
Masa pendudukan Jepang
Sementara Soekarno dan Hatta menjalin kerja sama dengan Jepang, Syahrir
membangun jaringan gerakan bawah tanah anti-fasis. Syahrir yakin Jepang tak
mungkin memenangkan perang, oleh karena itu, kaum pergerakan mesti menyiapkan
diri untuk merebut kemerdekaan di saat yang tepat. Simpul-simpul jaringan gerakan
bawah tanah kelompok Syahrir adalah kader-kader PNI Baru yang tetap meneruskan
pergerakan dan kader-kader muda yakni para mahasiswa progresif.
Sastra, seorang tokoh senior pergerakan buruh yang akrab dengan Syahrir, menulis:

“ Di bawah kepemimpinan Syahrir, kami bergerak di bawah tanah,


menyusun kekuatan subjektif, sambil menunggu perkembangan situasi
objektif dan tibanya saat-saat psikologis untuk merebut kekuasaan dan
kemerdekaan. ”

Situasi objektif itu pun makin terang ketika Jepang makin terdesak oleh pasukan
Sekutu. Syahrir mengetahui perkembangan Perang Dunia dengan cara sembunyi-
sembunyi mendengarkan berita dari stasiun radio luar negeri. Kala itu, semua radio
tak bisa menangkap berita luar negeri karena disegel oleh Jepang. Berita-berita
tersebut kemudian ia sampaikan ke Hatta. Sembari itu, Syahrir menyiapkan gerakan
bawah tanah untuk merebut kekuasaan dari tangan Jepang.
Syahrir yang didukung para pemuda mendesak Soekarno dan Hatta untuk
memproklamasikan kemerdekaan pada 15 Agustus karena Jepang sudah menyerah,
Syahrir siap dengan massa gerakan bawah tanah untuk melancarkan aksi perebutan
kekuasaan sebagai simbol dukungan rakyat. Soekarno dan Hatta yang belum
mengetahui berita menyerahnya Jepang, tidak merespon secara positif. Mereka
menunggu keterangan dari pihak Jepang yang ada di Indonesia, dan proklamasi itu
mesti sesuai prosedur lewat keputusan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia
(PPKI) yang dibentuk oleh Jepang. Sesuai rencana PPKI, kemerdekaan akan
diproklamasikan pada 24 September 1945.
Sikap Soekarno dan Hatta tersebut mengecewakan para pemuda, sebab sikap itu
berisiko kemerdekaan RI dinilai sebagai hadiah Jepang dan RI adalah buatan Jepang.
Guna mendesak lebih keras, para pemuda pun menculik Soekarno dan Hatta pada 16
Agustus. Akhirnya, Soekarno dan Hatta memproklamasikan kemerdekaan RI pada 17
Agustus.
Masa Revolusi Nasional Indonesia
Revolusi menciptakan atmosfer amarah dan ketakutan, karena itu sulit untuk berpikir
jernih. Sehingga sedikit sekali tokoh yang punya konsep dan langkah strategis
meyakinkan guna mengendalikan kecamuk revolusi. Saat itu, ada dua orang dengan
pemikirannya yang populer kemudian dianut banyak kalangan pejuang republik: Tan
Malaka dan Sutan Syahrir. Dua tokoh pergerakan kemerdekaan yang dinilai steril dari
noda kolaborasi dengan Pemerintahan Fasis Jepang, meski kemudian bertentangan
jalan dalam memperjuangan kedaulatan republik.
Pada masa genting itu, Bung Syahrir menulis Perjuangan Kita. Sebuah risalah peta
persoalan dalam revolusi Indonesia, sekaligus analisis ekonomi-politik dunia usai
Perang Dunia II. Perjungan Kita muncul menyentak kesadaran. Risalah itu ibarat
pedoman dan peta guna mengemudikan kapal Republik Indonesia di tengah badai
revolusi.
Tulisan-tulisan Syahrir dalam Perjuangan Kita, membuatnya tampak berseberangan
dan menyerang Soekarno. Jika Soekarno amat terobsesi pada persatuan dan kesatuan,
Syahrir justru menulis, "Tiap persatuan hanya akan bersifat taktis, temporer, dan
karena itu insidental. Usaha-usaha untuk menyatukan secara paksa, hanya
menghasilkan anak banci. Persatuan semacam itu akan terasa sakit, tersesat, dan
merusak pergerakan."
Dan dia mengecam Soekarno. "Nasionalisme yang Soekarno bangun di atas solidaritas
hierarkis, feodalistis: sebenarnya adalah fasisme, musuh terbesar kemajuan dunia dan
rakyat kita." Dia juga mengejek gaya agitasi massa Soekarno yang menurutnya tak
membawa kejernihan.
Perjuangan Kita adalah karya terbesar Syahrir, kata Salomon Tas, bersama surat-surat
politiknya semasa pembuangan di Boven Digul dan Bandaneira. Manuskrip itu
disebut sebagai Indonesianis Ben Anderson sebagai, "Satu-satunya usaha untuk
menganalisa secara sistematis kekuatan domestik dan internasional yang
memperngaruhi Indonesia dan yang memberikan perspektif yang masuk akal bagi
gerakan kemerdekaan pada masa depan."
Terbukti kemudian, pada November ’45 Syahrir didukung pemuda dan ditunjuk
Soekarno menjadi formatur kabinet parlementer. Pada usia 36 tahun, mulailah lakon
Syahrir dalam panggung memperjuangkan kedaulatan Republik Indonesia, sebagai
Perdana Menteri termuda di dunia, merangkap Menteri Luar Negeri dan Menteri
Dalam Negeri.
Penculikan
Penculikan Perdana Menteri Sjahrir merupakan peristiwa yang terjadi pada 26
Juni 1946 di Surakarta oleh kelompok oposisi Persatuan Perjuangan yang tidak puas
atas diplomasi yang dilakukan oleh pemerintahan Kabinet Sjahrir
II dengan pemerintah Belandakarena sangat merugikan perjuangan Bangsa Indonesia
saat itu. Kelompok ini menginginkan pengakuan kedaulatan penuh (Merdeka 100%)
yang dicetuskan oleh Tan Malaka. Sedangkan kabinet yang berkuasa hanya menuntut
pengakuan kedaulatan atas Jawa dan Madura.
Kelompok Persatuan Perjuangan ini dipimpin oleh Mayor Jendral Soedarsono dan 14
pimpinan sipil, di antaranya Tan Malaka dari Persatuan Perjuangan bersama dengan
Panglima besar Jendral sudirman. Perdana Menteri Sjahrir ditahan di suatu rumah
peristirahatan di Paras.
Presiden Soekarno sangat marah atas aksi penculikan ini dan memerintahkan Polisi
Surakarta menangkap para pimpinan kelompok tersebut. Tanggal 1 Juli 1946, ke-14
pimpinan berhasil ditangkap dan dijebloskan ke penjara Wirogunan.
Tanggal 2 Juli 1946, tentara Divisi 3 yang dipimpin Mayor
Jendral Soedarsonomenyerbu penjara Wirogunan dan membebaskan ke 14 pimpinan
penculikan.
Presiden Soekarno marah mendengar penyerbuan penjara dan memerintahkan Letnan
Kolonel Soeharto, pimpinan tentara di Surakarta, untuk menangkap Mayjen
Soedarsono dan pimpinan penculikan. Lt. Kol. Soeharto menolak perintah ini karena
dia tidak mau menangkap pimpinan/atasannya sendiri. Dia hanya mau menangkap
para pemberontak kalau ada perintah langsung dari Kepala Staf militer RI, Jendral
Soedirman. Presiden Soekarno sangat marah atas penolakan ini dan menjuluki Lt. Kol.
Soeharto sebagai perwira keras kepala (koppig).
Lt. Kol. Soeharto berpura-pura bersimpati pada pemberontakan dan menawarkan
perlindungan pada Mayjen Soedarsono dan ke 14 orang pimpinan di markas resimen
tentara di Wiyoro. Malam harinya Lt. Kol. Soeharto membujuk Mayjen Soedarsono
dan para pimpinan pemberontak untuk menghadap Presiden RI di Istana Presiden di
Jogyakarta. Secara rahasia, Lt. Kol. Soeharto juga menghubungi pasukan pengawal
Presiden dan memberitahukan rencana kedatangan Mayjen Soedarsono dan pimpinan
pemberontak.
Tanggal 3 Juli 1946, Mayjen Soedarsono dan pimpinan pemberontak berhasil dilucuti
senjatanya dan ditangkap di dekat Istana Presiden di Yogyakarta oleh pasukan
pengawal presiden. Peristiwa ini lalu dikenal sebagai pemberontakan 3 Juli 1946 yang
gagal.

Akhir hidup
Tahun 1955 PSI gagal mengumpulkan suara dalam pemilihan umum pertama di
Indonesia. Setelah kasus PRRI tahun 1958[5], hubungan Sutan Syahrir dan
Presiden Soekarnomemburuk sampai akhirnya PSI dibubarkan tahun 1960. Tahun
1962 hingga 1965, Syahrir ditangkap dan dipenjarakan tanpa diadili sampai
menderita stroke. Setelah itu Syahrir diizinkan untuk berobat ke Zürich Swiss, salah
seorang kawan dekat yang pernah menjabat wakil ketua PSI Sugondo
Djojopuspitomengantarkannya di Bandara Kemayoran dan Syahrir
memeluk Sugondo dengan air mata. Sjahrir akhirnya meninggal di Swiss pada
tanggal 9 April 1966
Sutan syahrir adalah orang yang pertama kali mendengar berita tentang kekalahan
jepang dalam perang dunia, beliau pun mendesak soekarno-hatta untuk segera
memproklamirkan kemerdekaan pada 15 agustus '45,krn jepang sdh menyerah, syahrir
siap dengan gerakan bawah tanah yang ia bentuk utk melancarkan aksi perebutan
kekuasaan sbg simbol dukungan rakyat.

12. Frans sumanto mendur

Frans Soemarto Mendur (lahir di Kawangkoan, Sulawesi Utara, 16


April 1913 – meninggal di Jakarta, 24 April 1971 pada umur 58 tahun) adalah salah
satu dari para fotografer yang mengabadikan detik-detik proklamasi kemerdekaan
Republik Indonesia 17 Agustus 1945. Bersama saudara kandungnya, Alex Mendur,
mereka turut mengabadikan persitiwa bersejarah ini.[1]Frans Mendur bersama Alex
Mendur, Justus Umbas, Frans "Nyong" Umbas, Alex Mamusung dan Oscar Ganda,
kemudian mendirikan IPPHOS (Indonesia Press Photo Service) pada 2 Oktober 1946.

13. Syahrudin
Syahruddin dalah seorang telegraphis pada kantor berita Jepang (DOMEI) yang
mengabarkan berita proklamasi kemerdekaan Negara Indonesia ke seluruh dunia
secara sembunyi-sembunyi ketika personil jepang istirahat pada tanggal 17 agustus
1945 jam 4 sore. Tanpa jasa syahruddin, maka niscaya berita proklamasi tidak akan
cepat disebarluaskan.
Jumat, 17 Agustus 1945, sekitar jam 17:30 WIB. Saat itu  Pak Jusuf sedang berada di
kantornya, Hoso Kyoku (Radio Militer Jepang di Jakarta). Tiba-tiba muncullah
Syahruddin, seorang pewarta dari kantor berita Jepang Domei dengan tergesa-gesa.
(Catatan: Pak Jusuf sempat meralat kebenaran berita bahwa yang datang itu adalah
sejarawan Des Alwi). Syahruddin yang masuk ke kantor Hoso Kyoku dengan
melompati pagar itu menyerahkan selembar kertas dari Adam Malik yang isinya
“Harap berita terlampir disiarkan”. Berita yang dimaksud adalah Naskah Proklamasi
yang telah dibacakan Bung Karno jam 10 pagi. Masalahnya, semua studio radio Hoso
Kyoku sudah di jaga ketat sejak beberapa hari sebelumnya, tepatnya sehari setelah
Hiroshima dan Nagasaki di bom oleh Amerika. Jusuf kemudian berunding dengan
rekan-rekannya, diantaranya Bachtiar Lubis (kakak dari Sastrawan dan tokoh pers
Indonesia Mochtar Lubis) dan Joe Saragih, seorang teknisi radio.
Beruntung, studio siaran luar negeri tidak dijaga. Saat itu juga dengan bantuan Joe,
kabel di studio siaran dalam negeri di lepas dan disambungkan ke studio siaran luar
negeri. Tepat pukul 19:00 WIB selama kurang lebh 15 menit Jusuf pun membacakan
kabar tentang proklamasi di udara, sementara di studio siaran dalam negeri tetap
berlangsung siaran seperti biasa untuk mengecoh perhatian tentang Jepang.
Belakangan tentara Jepang mengetahui akal bulus Jusuf dan kawan-kawannya.
Mereka pun sempat disiksa. Beruntung mereka selamat. Malam itu pun radio Hoso
Kyoku resmi dinyatakan bubar, tetapi dunia saat itu juga sudah mengetahui kabar
tentang proklamasi langsung dari mulut Jusuf Ronodipuro. Sayang rekaman suara ini
tidak diketahui lagi keberadaannya, atau jangan-jangan sudah tidak ada mengingat
malam itu juga radio tersebut ditutup oleh Jepang.[gs]

14. F.Wuz dan Yusuf Ronodipuro


F.Wuz bersama Yusuf Ronodipuro adalah perintis siaran RRI, F. Wuz adalah tokoh
yang membacakan berita Proklamasi di Radio sedangkan Yusuf Ronodipuro adalah
salah satu pendiri dari Radio Republik Indonesia serta dikenal sebagai penyiar
kemerdekaan Republik Indonesia secara luas.  Pada tanggal 14 Agustus 1945, Jusuf
muda yang bekerja sebagai reporter di Hoso Kyoku datang seperti biasa ke kantornya
di Jalan Medan Merdeka Utara. Suasana pagi itu tampak lain, beberapa orang Jepang
yang bekerja di radio tersebut tampak bergerombol, mereka berbisik-bisik dalam
suasana yang muram, bahkan gadis-gadis Jepang terlihat menangis.
Ternyata pada saat itu bom atom kedua sudah dijatuhkan di Nagasaki dan Jepang
menyerah kepada Sekutu. Kabar tentang menyerahnya Jepang disampaikan oleh
Mochtar Lubis yang juga bekerja di radio tersebut di bagian monitoring. Mochtar
adalah satu-satunya orang Indonesia yang diizinkan mendengarkan siaran radio asing.
Merasa bahwa hal itu penting untuk disampaikan kepada teman-temannya yang biasa
berkumpul di Menteng Raya 31, berangkatlah Jusuf mengendarai sepedanya untuk
memberikan kabar kekalahan Jepang. Sampai di sana, ternyata mereka sudah
mendengar kabar yang sama dari Adam Malik yang bekerja di kantor berita DOME.
Pada hari yang sama, Jusuf mendapat tugas untuk meliput kedatangan
Bung Karno dan Bung Hatta di bandara Kemayoran sepulang dari Saigon. Beberapa
utusan golongan muda di antaranya Sukarni, Chairul Saleh, AM. Hanafi ikut
menjemput dan mendesak Bung Karno dan Hatta agar segera menyatakan
kemerdekaan. Usaha Sukarni dan kawan - kawan tersebut gagal. Menurut penuturan
Jusuf, saat itu Bung Karno hanya berkata, “Saudara-saudara tidak usah menunggu
umurnya jagung, karena jagung sebelum berkembang kita sudah akan merdeka.”
Tidak ada penjelasan lain dari Bung Karno.
Sepulang dari Kemayoran, Jusuf mendapat pesan dari Sukarni agar merebut radio
Hoso Kyoku karena akan ada pengumuman sangat penting. Tetapi di pintu masuk
kantor tampak tentara Kempetai berjaga-jaga dan melarang orang masuk ke kantor.
Karena Jusuf adalah karyawan, ia diizinkan masuk. Jusuf lalu menyampaikan pesan
Sukarni itu kepada Bahtar Lubis yang sama-sama bekerja di bagian pengabaran
(redaksi). Diisolasi Hari itu pimpinan Hoso Kyoku menyampaikan dua pengumuman
kepada para karyawan. Pertama, para karyawan yang sudah di kantor dilarang keluar
lagi dan yang di luar tidak diizinkan masuk. Kedua, siaran luar negeri dihentikan
(mungkin agar berita kekalahan Jepang tidak sampai ke rakyat Indonesia).
Jadilah mereka semua diisolasi di kantor radio dan terpaksa bermalam di sana.
Esoknya, hari Kamis 16 Agustus 1945 tidak ada kejadian berarti, siaran berjalan
seperti biasa. Malam harinya ada sedikit keributan di depan kantor, ternyata Sukarni
datang bersama beberapa orang Jepang tetapi dilarang masuk. Dari dalam mobil,
Sukarni berteriak, “Tunggu, akan ada pengumuman penting,” lalu ia pergi. Di tempat
lain, di sebuah rumah di Pegangsaan 56, tanggal 16 Agustus dini hari, selepas sahur,
Sukarni dkk datang ke rumah Bung Karno. Mereka berusaha meyakinkan Bung Karno
bahwa Jakarta tidak aman karena Jakarta akan menjadi lautan api, sehingga mereka
ingin mengamankan Bung Karno dan Bung Hatta ke Rengasdengklok. Kedua
pemimpin tersebut setuju dan berangkatlah mereka menggunakan mobil ke
Rengasdengklok. Hari itu tak hanya serdadu Jepang yang sibuk mencari Bung Karno
dan Bung Hatta, para anggota PPKI (Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia) juga
mencari karena sedianya hari itu dilakukan rapat.
Malam harinya kedua pemimpin tersebut kembali ke Jakarta dan langsung melakukan
rapat perumusan naskah proklamasi di rumah Laksamana Tadashi Mayda di Jalan
Imam Bonjol No.1 dengan dihadiri anggota PPKI dan angkatan muda.
Kembali ke Jalan Medan Merdeka, hari Jumat 17 Agustus 1945, radio Hoso Kyoku
tetap melakukan siaran seperti biasa. Jusuf dkk tidak mengetahui bahwa Indonesia
telah menyatakan kemerdekaan karena komunikasi dengan dunia luar memang
terputus. “Siang itu beberapa mahasiswa kedokteran berhasil masuk ke lobi membawa
kertas. Di tangga, pistol yang dibawa seorang mahasiswa terjatuh dan diketahui
tentara Kanpetai. Mereka lalu ditendang dan diusir keluar,” Jusuf mengenang.
Kemungkinan mahasiswa tersebut membawa pengumuman proklamasi untuk
disiarkan. Sore hari, sekitar jam 17.30, ketika Jusuf sedang menyiapkan menu berbuka
puasa, masuk seorang teman dari kantor berita Dome (Jusuf lupa namanya). Dengan
pakaian kotor dan basah oleh keringat karena ia meloncati tembok belakang kantor
radio, ia menyampaikan secarik kertas.
Secarik kertas bertuliskan tulisan tangan dari Adam Malik. Tertulis : “Harap berita
terlampir disiarkan.” Lampiran berita yang dimaksud adalah naskah proklamasi yang
sudah dibacakan pukul 10 pagi. Jusuf lalu berembuk dengan Bahtar Lubis dan
beberapa orang lain tentang pesan penting tersebut. “Semua studio dan ruang kontrol
dijaga oleh Kempetai, bahkan saat itu semua naskah siaran harus disensor dulu
termasuk lagu-lagu. Lalu saya teringat studio siaran luar negeri yang sejak tanggal 15
sudah ditutup,” ujar Jusuf. Untunglah nasib baik berpihak kepada mereka, ternyata
studio siaran luar negeri tidak dijaga. Dengan berhati-hati mereka menyelinap masuk
ke dalam studio. Tepat pukul 7 malam, Jusuf siap di depan corong radio untuk
menyampaikan proklamasi kemerdekaan Indonesia ke seluruh penjuru Nusantara dan
dunia.
15. Lambertus Nicodemus Palar - Sang Diplomat

Lambertus Nicodemus Palar atau biasa dikenal dari singkatannya LN Palar. Lahir di


di Rurukan, Tomohon, Sulawesi Utara pada 5 Juni 1900 dan meninggal di Jakarta
pada 12 Februari 1981 di usia 80 tahun.
Pria yang juga akrab dipanggil Babe Palar tersbeut merupakan tokoh dan diplomat
dari Provinsi Sulawesi Utara yang pada 1947 berhasil mendesak Dewan Keamanan
PBB untuk memerintahkan Belanda melakukan gencatan senjata dengan Indonesia.
Dia juga berhasil menyakinkan eksistensi Indonesia kepada perwakilan negara-negara
di PBB.
Anak dari Gerrit Palar dan Jacoba Lumanauw itu pernah menjadi Duta Besar
Indonesia di India, Jerman Timur, Uni Soviet, Kanada, dan Amerika Serikat.
Dia memulai pendidikan di sekolah Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO) di
Tondano. Kemudian melanjut ke Algeme(e)ne Middelbare School (AMS) di
Yogyakarta, dan tinggal bersama Sam Ratulangi. 
Pada 1922, Palar masuk ke Technische Hoogeschool di Bandung, yang kini dikenal
sebagai Institut Teknologi Bandung (ITB) yang mempertemukannya dengan para
tokoh kemerdekaan, termasuk Soekarno.
Setelah sempat menghentikan kuliahnya dan kembali ke Minahasa, Palar kembali
sekolah hukum di Rechtshoogeschool te Batavia, Sekolah Tinggi Hukum di Jakarta
saat itu yang juga menjadi cikal bakal Fakultas Hukum UI). Pada 1928 dia pindah ke
Belanda dan kuliah di Universitas Amsterdam.

Palar juga berjasa dalam mengatasi konflik Belanda dan Indonesia, pengakuan
kemerdekaan Indonesia oleh Belanda hingga masuknya Indonesia ke dalam
keanggotaan PBB.
Saat Indonesia menjadi anggota ke-60 di PBB pada 28 September 1950, Palarlah yang
berpidato sebagai perwakilan Indonesia di muka Sidang Umum PBB. 

16. Soemitro Djojohadikoesoemo

Prof. Dr. Soemitro Djojohadikoesoemo (lahir di Kebumen, Jawa Tengah, 29


Mei 1917 – meninggal di Jakarta, 9 Maret 2001 pada umur 83 tahun) adalah salah
seorang ekonom Indonesia yang terkenal. Murid-muridnya banyak yang berhasil
menjadi menteri pada era Suharto seperti JB Sumarlin, Ali Wardhana, dan Widjojo
Nitisastro. Selain itu, Soemitro juga merupakan ayah dari Mantan
Danjen Kopassus, Prabowo Subianto, ayah mertua dari mantan Gubernur Bank
Indonesia, Soedradjad Djiwandono, dan juga besan dari mantan Presiden
Indonesia, Soeharto.
Soemitro adalah anak dari Raden Mas Margono Djojohadikusumo, pendiri Bank
Negara Indonesia dan Ketua DPAS pertama dan anggota BPUPKI.
Dalam pemerintahan, posisi yang pernah diembannya adalah sebagai Menteri
Keuangan, Menteri Perindustrian dan Menteri Riset atau Menristek saat ini.
Karier
Delegasi Indonesia dalam Konferensi Meja Bundar. Tampak Sumitro duduk di tepi
kiri.
Di usia ke-33, Sumitro pernah menjabat sebagai Menteri Perdagangan dan
Perindustrian RI. Ia meraih gelar doktor di Nederlandse Economise Hogeschool,
Rotterdam, Belanda pada tahun 1943 dengan disertasi berjudul Het
Volkscredietwezen in de Depressie.
Sumitro dikenal aktif menulis, dengan cakupan khusus masalah ekonomi. Buku
terakhir ia tulis adalah Jejak Perlawanan Begawan Pejuang, diterbitkan Pustaka Sinar
Harapan, April 2000. Selama 1942-1994, Sumitro menulis sebanyak 130 buku dan
makalah dalam bahasa Inggris.
Sumitro memperoleh banyak penghargaan, baik dari dalam negeri maupun luar negeri.
Misalnya, Bintang Mahaputra Adipradana (II), Panglima Mangku Negara, Kerajaan
Malaysia, Grand Cross of Most Exalted Order of the White Elephant, First Class dari
Kerajaan Thailand, Grand Cross of the Crown dari Kerajaan Belgia, serta yang
lainnya dari Republik Tunisia dan Prancis.(RSB)
Wafat
Soemitro meninggal dunia di Rumah Sakit Dharma Nugraha, Jalan Balai Pustaka,
Rawamangun, Jakarta Timur pada 9 Maret 2003 dalam usia 84 tahun setelah cukup
lama menderita penyakit jantung dan penyempitan pembuluh darah.[1] Jenazah
disemayamkan di rumah duka, Jalan Metro Kencana IV/22, Pondok Indah, Jakarta
Selatan. Banyak sekali pelayat yang hadir, di antaranya pengusaha Dali Tahir,
pasangan pengusaha keturunan India Marimutu Manimaren dan Marimutu Sinivasan,
Prof. Widjojo Nitikusumo beserta istrinya, mantan Wakil Gubernur DKI Jakarta Eddy
Nalapraya, tokoh Petisi 50 Kemal Idris, pengusaha Ciputra dan tokoh Poros
Tengah, Fuad Bawazier, Menteri Pendidikan Fuad Hasan dan mantan Wakil
Presiden Try Soetrisno. Sesuai wasiatnya agar dimakamkan dengan cara dan di tempat
sederhana, pihak keluarga pun memilih Taman Pemakaman Umum Karet Bivak Blok
A III sebagai tempat persemayaman terakhir begawan ekonomi ini.[2]

Anda mungkin juga menyukai