Perkembanganprospekperbankansyariahindonesiamea201 PDF
Perkembanganprospekperbankansyariahindonesiamea201 PDF
Pendahuluan
Sebagai negara dengan penduduk muslim terbesar2, sudah selayaknya Indonesia menjadi
pelopor dan kiblat pengembangan keuangan syariah di dunia. Hal ini bukan merupakan ‘impian
yang mustahil’ karena potensi Indonesia untuk menjadi global player keuangan syariah sangat
besar, diantaranya: (i) jumlah penduduk muslim yang besar menjadi potensi nasabah industri
keuangan syariah; (ii) prospek ekonomi yang cerah, tercermin dari pertumbuhan ekonomi yang
relatif tinggi (kisaran 6,0%-6,5%) yang ditopang oleh fundamental ekonomi yang solid; (iii)
peningkatan sovereign credit rating Indonesia menjadi investment grade yang akan meningkatkan
minat investor untuk berinvestasi di sektor keuangan domestik, termasuk industri keuangan
syariah; dan (iv) memiliki sumber daya alam yang melimpah yang dapat dijadikan sebagai
underlying transaksi industri keuangan syariah.
Dalam penilaian Global Islamic Financial Report (GIFR) tahun 2011, Indonesia menduduki
urutan keempat negara yang memiliki potensi dan kondusif dalam pengembangan industri
keuangan syariah setelah Iran, Malaysia dan Saudi Arabia (Grafik 1). Dengan melihat beberapa
aspek dalam penghitungan indeks, seperti jumlah bank syariah, jumlah lembaga keuangan non-
bank syariah, maupun ukuran aset keuangan syariah yang memiliki bobot terbesar, maka
Indonesia diproyeksikan akan menduduki peringkat pertama dalam beberapa tahun ke depan.
Optimisme ini sejalan dengan laju ekspansi kelembagaan dan akselerasi pertumbuhan aset
perbankan syariah yang sangat tinggi, ditambah dengan volume penerbitan sukuk yang terus
meningkat.
Pengembangan keuangan syariah
di Indonesia yang lebih bersifat market
driven dan dorongan bottom up dalam
memenuhi kebutuhan masyarakat
sehingga lebih bertumpu pada sektor riil
juga menjadi keunggulan tersendiri.
Berbeda dengan perkembangan keuangan
syariah di Iran, Malaysia, dan Arab Saudi,
dimana perkembangan keuangan
syariahnya lebih bertumpu pada sektor
keuangan, bukan sektor riil, dan peranan
Grafik 1. Islamic Finance Country Index (IFCI, 2011)
pemerintah sangat dominan. Selain dalam
1
Disampaikan dalam Ceramah Ilmiah Ikatan Ahli Ekonomi Islam (IAEI), Milad ke-8 IAEI, 13 April 2012
2
Jumlah penduduk Indonesia berdasarkan sensus penduduk tahun 2010 mencapai 237,6 juta jiwa.
Hal | 1
Milad ke-8 Ikatan Ahli Ekonomi Islam (IAEI)
bentuk dukungan regulasi, penempatan dana pemerintah dan perusahaan milik negara pada
lembaga keuangan syariah membuat total asetnya meningkat signifikan, terlebih ketika negara-
negara tersebut menikmati windfall profit dari kenaikan harga minyak dan komoditas.
Perkembangan Perbankan Syariah Sumber: Maris Strategies & the Banker, 2010
Selaku regulator, Bank Indonesia memberikan perhatian yang serius dan bersungguh-
sungguh dalam mendorong perkembangan perbankan syariah. Semangat ini dilandasi oleh
keyakinan bahwa perbankan syariah akan membawa ‘maslahat’ bagi peningkatan ekonomi dan
pemerataan kesejahteraan masyarakat. Pertama, bank syariah lebih dekat dengan sektor riil
karena produk yang ditawarkan, khususnya dalam pembiayaan, senantiasa menggunakan
underlying transaksi di sektor riil sehingga dampaknya lebih nyata dalam mendorong
pertumbuhan ekonomi. Kedua, tidak terdapat produk-produk yang bersifat spekulatif (gharar)
sehingga mempunyai daya tahan yang kuat dan teruji ketangguhannya dari direct hit krisis
keuangan global. Secara makro, perbankan syariah dapat memberikan daya dukung terhadap
terciptanya stabilitas sistem keuangan dan perekonomian nasional. Ketiga, sistem bagi hasil
(profit-loss sharing) yang menjadi ruh perbankan syariah akan membawa manfaat yang lebih adil
bagi semua pihak, baik bagi pemilik dana selaku deposan, pengusaha selaku debitur maupun
pihak bank selaku pengelola dana.
3
Dengan menggunakan asumsi nilai kurs sebesar Rp9.100/US$, maka nilai aset perbankan syariah pada akhir
tahun 2011 mencapai US$16,37 miliar, outstanding sukuk (negara dan korporasi) sebesar US$4,41 miliar,
asuransi syariah sebesar US$0,97 miliar, reksadana syariah sebesar US$0,61 miliar.
Hal | 2
Milad ke-8 Ikatan Ahli Ekonomi Islam (IAEI)
Sampai dengan bulan Februari 2012, industri perbankan syariah telah mempunyai
jaringan sebanyak 11 Bank Umum Syariah (BUS), 24 Unit Usaha Syariah (UUS), dan 155 BPRS,
dengan total jaringan kantor mencapai 2.380 kantor yang tersebar di hampir seluruh penjuru
nusantara (Tabel 2). Total aset perbankan syariah mencapai Rp149,3 triliun (BUS & UUS Rp145,6
triliun dan BPRS Rp3,7 triliun) atau tumbuh sebesar 51,1% (yoy) dari posisi tahun sebelumnya.
Industri perbankan syariah mampu menunjukkan akselerasi pertumbuhan yang tinggi dengan
rata-rata sebesar 40,2% pertahun dalam lima tahun terakhir (2007-2011), sementara rata-rata
pertumbuhan perbankan nasional hanya sebesar 16,7% pertahun. Oleh karena itu, industri
perbankan syariah dijuluki sebagai ‘the fastest growing industry’.
Akselerasi pertumbuhan perbankan syariah yang jauh lebih tinggi dari pertumbuhan
perbankan nasional berhasil meningkatkan porsi perbankan syariah dalam perbankan nasional
menjadi 4,0%. Jika tren pertumbuhan yang tinggi industri perbankan syariah tersebut dapat
dipertahankan, maka porsi perbankan syariah diperkirakan dapat mencapai 15%-20% dalam
kurun waktu 10 tahun ke depan.
Hal | 3
Milad ke-8 Ikatan Ahli Ekonomi Islam (IAEI)
Sementara penerbitan sukuk oleh pemerintah sebagai implementasi dari UU Sukuk menambah
outlet penempatan dana perbankan syariah dalam rangka pengelolaan likuiditas. Sedangkan
pemberlakukan UU No.42 tahun 2009 merupakan ‘tax neutrality4’ atas transaksi murabahah yang
dilakukan oleh perbankan syariah dimana sebelumnya dikenakan pajak dua kali (double tax).
Perlakuan pajak tersebut sangat merugikan perbankan syariah karena membuat pembiayaan
dengan akad murabahah menjadi lebih mahal, sementara pembiayaan murabahah mempunyai
porsi yang dominan dengan rata-rata 56,8% dalam lima tahun terakhir.
4
Berdasarkan Pasal 1 A ayat (1) huruf h UU No.42 Tahun 2009: ‘penyerahan Barang Kena Pajak oleh Pengusaha
Kena Pajak dalam rangka perjanjian pembiayaan yang dilakukan berdasarkan prinsip syariah, penyerahannya
dianggap langsung dari Pengusaha Kena Pajak kepada pihak yang membutuhkan Barang Kena Pajak’.
Hal | 4
Milad ke-8 Ikatan Ahli Ekonomi Islam (IAEI)
Sementara tantangan yang harus diselesaikan dalam jangka panjang antara lain:
1. Perlunya kerangka hukum yang mampu menyelesaikan permasalahan keuangan syariah
secara komprehensif. Sistem keuangan syariah secara karakteristik berbeda dengan sistem
keuangan konvensional, terdapat beberapa kekhususan yang tidak dapat dipersamakan
sehingga penggunaan kerangka hukum konvensional menjadi kurang memadai.
Penyelesaian perselisihan transaksi syariah juga dapat menggunakan jalur pengadilan
agama, namun tatanan peradilan agama untuk dapat menyelesaikan transaksi keuangan
juga dinilai belum memadai. Penyelesaian perselisihan transaksi keuangan syariah dengan
menggunakan ‘hukum fiqh’ masih dapat menimbulkan perbedaan interpretasi karena
perbedaan mazhab (lack of convergence of sharia interpretation).
Untuk itu, perlu semacam kompilasi hukum ekonomi/keuangan islam yang disepakati
bersama untuk dijadikan rujukan dan disahkan oleh negara. Upaya penyempurnaan
kerangka hukum ini juga perlu dilakukan dalam skala global untuk menyelesaikan
perselisihan yang mungkin terjadi dalam transaksi keuangan syariah antar negara.
Penyempurnaan kerangka hukum akan memberikan suasana yang kondusif bagi
pengembangan keuangan syariah, baik secara nasional maupun global.
2. Perlunya kodifikasi produk dan standar regulasi yang bersifat nasional dan global untuk
menjembatani perbedaan dalam ‘fiqh muammalah’. Jika kita perhatikan secara jeli dalam
pengembangan keuangan syariah di beberapa negara, kita dapat melihat adanya perbedaan
yang nyata dalam pemahaman ‘fiqh muammalah’. Di satu sisi terdapat negara yang terlalu
berhati-hati (konservatif), namun di sisi lain terdapat negara yang terlalu longgar (liberal)
dalam aplikasi ‘fiqh muammalah’ tersebut sehingga peluang akan terjadinya perbedaan dan
perselisihan sangat terbuka. Walaupun perbedaan pendapat diperbolehkan dan dianggap
sebagai rahmat dalam pandangan Islam, namun perbedaan tersebut jika terkait dengan
transaksi keuangan akan menimbulkan risiko.
Untuk itu, perlu penyelarasan produk secara nasional maupun global sangat diperlukan agar
keuangan islam dapat tumbuh bersama di berbagai negara, tidak saling memproteksi
karena perbedaan mazhab. Hadirnya lembaga internasional seperti, International Financial
Services Board (IFSB), International Islamic Financial Market (IIFM), dan Accounting and
Hal | 5
Milad ke-8 Ikatan Ahli Ekonomi Islam (IAEI)
Auditing Organization for Islamic Financial Institutions (AAOIFI), yang menghadirkan regulasi
yang dapat diadopsi secara global perlu terus didukung dan dikembangkan agar tercipta
‘global regulation convergency’.
3. Perlunya referensi nilai imbal hasil (rate of return) bagi keuangan syariah. Nilai imbal hasil
yang dibagikan (sharing) dalam sistem keuangan syariah, termasuk perbankan syariah,
hendaknya merupakan hasil yang nyata dari aktivitas bisnis. Sayangnya, referensi nilai imbal
hasil tersebut belum tersedia sehingga institusi keuangan syariah seringkali melakukan
penyetaraan dengan suku bunga dalam sistem konvensional. Selain bersifat kurang adil,
perilaku ini dapat menimbulkan risiko reputasi bagi sistem keuangan syariah karena tidak
ada perbedaan yang hakiki dengan sistem konvensional. Bank Indonesia telah mulai
melakukan kajian mengenai referensi nilai imbal hasil untuk sektor pertanian dan
pertambangan, dan masih terus disempurnakan validitasnya. Untuk itu, perlu dukungan dan
peran serta dari kalangan akademisi dan asosiasi para pakar seperti IAEI untuk melakukan
kajian lebih lanjut dan komprehensif mengenai hal ini.
Hal | 6
Milad ke-8 Ikatan Ahli Ekonomi Islam (IAEI)
lebih unggul. Dari sisi profitabilitas, return on asset (ROA) bank syariah lebih kecil dari bank
konvensional, namun dari sisi return on equity (ROE) lebih besar. Hal ini menunjukkan bahwa
kondisi permodalan bank syariah relatif lebih kecil dibanding bank konvensional.
Tabel 4. Perbandingan Indikator Bank Syariah dan Konvensional di Indonesia
ROA ROE BOPO NOM/NIM
Bank
Syariah Konv Syariah Konv Syariah Konv Syariah Konv
Sampel ke-1 1.91 3.38 66.64 23.81 76.54 67.22 2.14 5.51
Sampel ke-2 1.52 3.43 20.79 26.53 85.52 60.87 5.01 6.26
Sampel ke-3 0.40 2.40 3.18 18.04 98.56 79.06 7.59 5.85
Rata-rata 1.28 3.07 30.20 22.79 86.87 69.05 4.91 5.87
Keterangan: Sampel bank untuk kategori syariah dan konvensional berbeda
Kemudian apabila tiga sampel bank syariah tersebut dibandingkan dengan bank syariah di
Malaysia dan Kawasan Timur Tengah, terlihat bahwa indikator BOPO bank syariah di Indonesia
juga lebih tinggi atau masih kalah efisien. Hal ini juga terlihat dari indikator net operational
margin (NOM) bank syariah di Indonesia yang masih sangat bervariasi dan secara rata-rata lebih
tinggi dari bank syariah di Malaysia dan Kawasan Timur Tengah. Namun demikian, bank syariah di
Indonesia lebih profitable dibanding dengan bank syariah di Malaysia maupun Kawasan Timur
Tengah, terlihat dari tingginya indikator ROA maupun ROE (Tabel 5). Tak heran jika banyak
investor asing yang tertarik untuk mendirikan atau membeli bank syariah di Indonesia.
Profitabilitas yang tinggi ini tentunya akan mempercepat akselerasi pertumbuhan aset bank
syariah di Indonesia sehingga dapat mencapai skala ekonomi yang efisien.
Tabel 5. Perbandingan Indikator Perbankan Syariah Antar Negara
ROA ROE BOPO NOM
Sampel Bank
IND MAL MEC IND MAL MEC IND MAL MEC IND MAL MEC
Sampel ke-1 1.91 0.95 3.64 66.64 27.31 23.37 76.54 29.59 27.83 2.14 2.78 5.15
Sampel ke-2 1.52 1.14 1.54 20.79 17.23 13.85 85.52 39.50 42.31 5.01 2.93 4.41
Sampel ke-3 0.40 0.76 1.12 3.18 9.97 10.94 98.56 64.30 41.04 7.59 4.07 3.60
Rata-rata 1.28 0.95 2.10 30.20 18.17 16.05 86.87 44.46 37.06 4.91 3.26 4.39
Keterangan: Sampel bank untuk masing-masing negara berbeda (IND: Indonesia; MAL: Malaysia; dan MEC: Middle East Countries)
Kelemahan lainnya dalam menghadapi MEA 2015 adalah diferensiasi produk keuangan
syariah di Indonesia yang dinilai masih kurang. Hal ini disebabkan oleh faktor bisnis model industri
keuangan syariah di Indonesia, khususnya perbankan syariah, yang lebih fokus pada pemenuhan
kebutuhan di sektor riil dan sangat menjaga ‘maqasid syariah’. Hal ini berbeda dengan negara lain
yang peranan produk-produk di sektor keuangan (pasar uang dan pasar modal) lebih dominan.
Secara esensi, struktur pengembangan keuangan syariah di Indonesia akan lebih kuat dibanding
dengan negara lain.
Hal | 7
Milad ke-8 Ikatan Ahli Ekonomi Islam (IAEI)
bank sentral menyebabkan pengembangan pasar keuangan syariah menjadi terkendala dan
mekanisme self adjustment menjadi kurang optimal.
Penerbitan Surat Perbendaharaan Negara Syariah (SPNS) dan mekanisme transaksi
‘komoditi murabahah’ dapat menjadi suatu terobosan instrumen yang dapat digunakan oleh
perbankan syariah dalam melakukan pengelolaan likuiditasnya. Ketersediaan instrumen
pengelolaan likuiditas menjadi sangat penting dalam mencegah terjadinya krisis yang
berkelanjutan pada industri keuangan syariah. Para pakar yang tergabung dalam IAEI dapat
membantu industri dalam melakukan inovasi produk keuangan syariah, khususnya untuk
perbankan syariah. Agar jangan sampai kekurangan instrumen keuangan syariah tersebut diisi
oleh instrumen dari negara lain yang belum tentu sesuai dengan kondisi pasar keuangan dan
perbankan syariah domestik.
Kendala lainnya yang perlu mendapat perhatian serius adalah upaya untuk memenuhi gap
SDI dari tenaga kerja domestik agar tidak diisi oleh tenaga kerja asing. Perlu disaari bahwa salah
satu butir kesepakatan dalam MEA 2015 adalah freedom of movement for skilled and talented
labours. Hal ini merupakan tantangan yang serius, mengingat pusat-pusat pendidikan dan
pelatihan keuangan dan perbankan syariah berada di luar negeri seperti Bahrain, Uni Emirat Arab,
dan Malaysia. Pelaku industri perbankan syariah dapat bekerjasama mendirikan ‘pusat
pendidikan dan pelatihan perbankan syariah’ untuk mencetak tenaga ahli guna memenuhi gap
tersebut daripada saling bersaing dan melakukan ‘pembajakan pegawai’. IAEI tentunya dapat
berperan dalam menyediakan tenaga ahli untuk mengajar di pusat pendidikan dan pelatihan
tersebut. Agar lebih terarah dan tepat guna, IAEI juga dapat membantu melakukan penelitian
untuk mengidentifikasi jenis-jenis keahlian yang dibutuhkan oleh industri perbankan syariah
sehingga strategi ‘link and match’ dapat dijalankan.
Penutup
Berbagai peluang dan tantangan di atas menunjukkan bahwa upaya keras dari seluruh
stake holders industri keuangan syariah sangat dibutuhkan. Perlu keterpaduan langkah dari para
praktisi, akademisi maupun asosiasi agar pengembangan menjadi lebih efektif dan efisien karena
dapat menghindari terjadinya redundancy dan suaranya menjadi lebih di dengar. Untuk itu, peran
IAEI dalam mempelopori dan mendorong keterpaduan langkah untuk menjawab berbagai
tantangan tersebut sangat diperlukan sehingga industri keuangan syariah nasional semakin
berkualitas, berkembang secara berkelanjutan dan mampu bersaing dalam kancah persaingan
global, khususnya dalam menyambut MEA 2015.
***
Hal | 8